Anda di halaman 1dari 24

1

2
3
4
5
6
7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Penyakit Paru Obstruktif Kronis

1. Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronis

Penyakit paru obstruktif kronis merupakan penyakit kronis yang

ditandai dengan batuk produktif dan dispnea dan terjadinya obstruksi

saluran napas sekalipun penyakit ini bersifat kronis dan merupakan

gabungan dari emfisema, bronkitis kronik maupun asma, tetapi dalam

keadaan tertentu terjadi perburukan dari fungsi pernapasan. Dalam

beberapa keadaan perburukan dari PPOK ini dapat menyebabkan

terjadinya kegagalan pernapasan (Tabrani, 2017).

Penyakit paru obstruktif kronis adalah suatu istilah yang sering

digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama

yang ditandai oleh adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau

gas yang berbahaya (Grace & Borlay, 2011). Adapun pendapat lain

mengenai PPOK adalah kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea

saat aktivitas dan penurunan aliran udara sebagai gambaran patofisiologi

utamanya (Edward, 2012).


8

2. Etiologi

Menurut Ikawati (2016), ada beberapa faktor resiko utama

berkembangnya penyakit PPOK, yang dibedakan menjadi faktor paparan

lingkungan dan faktor host.

a. Faktor Lingkungan

1) Merokok

Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK,

dengan resiko 30 kali lebih besar pada perokok dibanding dengan

bukan perokok, dan merupakan penyebab dari 85-90% kasus

PPOK. Kurang lebih 15-20% perokok akan mengalami PPOK.

Kematian akibat PPOK terkait dengan banyaknya rokok yang

dihisap, umur mulai merokok, dan status merokok terakhir saat

PPOK berkembang. Namun demikian, tidak semua penderita

PPOK adalah perokok, kurang lebih 10% orang yang tidak

merokok juga mungkin menderita PPOK. Perokok pasif juga

beresiko menderita PPOK.

2) Pekerjaan

Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan

keramik yang terpapar debu silica, atau pekerja yang terpapar

debu katun atau gandum, toluene diisosianat, dan asbes,

mempunyai resiko lebih besar daripada yang bekerja di tempat

selain yang disebutkan di atas.


9

3) Polusi udara

Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin

memburuk gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa

berasal dari luar rumah seperti asap pabrik, asap kendaraan

bermotor, maupun polusi dari dalam rumah seperti asap dapur,

dan lain-lain. Memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi

dapur yang jelek misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan

asap bahan bakar minyak diperkirakan memberi kontribusi sampai

35% .

4) Infeksi

Kolonisasi bakteri pada saluran pernafasan secara kronis

merupakan suatu pemicu inflamasi neutrofilik pada saluran nafas,

terlepas dari paparan rokok. Adanya kolonisasi bakteri

menyebabkan peningkatan kejadian inflamasi yang dapat diukur

dari peningkatan jumlah sputum, peningkatan frekuensi

eksaserbasi dan percepatan penurunan fungsi paru, yang semua ini

meningkatkan resiko kejadian PPOK.

b. Faktor Host

1) Usia

Semakin bertambahnya usia, semakin besar resiko menderita

PPOK. Pada pasien yang didiagnosa PPOK sebelum usia 40


10

tahun, kemungkinan besar dia menderita gangguan genetic yang

hanya dialami < 1% pasien PPOK.

2) Jenis kelamin

Laki-laki lebih beresiko terkena PPOK daripada wanita,

meungkin ini terkait dengan kebiasaan merokok pada pria. Namun

ada kecenderungan peningkatan prevalensi PPOK pada wanita

karena meningkatnya jumlah wanita yang merokok. Selain itu ada

fenomena menarik bahwa wanita ternyata lebih rentan terhadap

bahaya merokok daripada pria. Bukti-bukti klinis menunukkan

bahwa wanita dapat mengalami penurunan fungsi paru yang lebih

besar daripada pria dengan status merokok yang relative sama.

Wanita juga akan mengalami PPOK yang lebih parah daripada

pria, hal ini diduga karena ukuran paru-paru wanita umumnya

relative lebih kecil daripada pria sehingga dengan paparan polusi

yang sama presentase paru yang terpapar pada wanita lebih besar

daripada pria.

3) Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi

Adanya gangguan fungsi paru-paru misalnya defisiensi

immunoglobin A atau infeksi pada masa kanak-kanak seperti TBC

dan bronkietasis. Individu dengan gangguan fungsi paru-paru

mengalami penurunan fungsi paru lebih besar sejalan dengan

waktu daripada yang fungsi parunya normal, sehingga lebih


11

beresiko terhadap berkembangnya PPOK. Termasuk di dalamnya

adalah orang yang pertumbuhan parunya tidak normal karena lahir

dengan berat badan rendah.

4) Predisposisi genetik

Predisposisi genetik yaitu defisiensi ATT (a1 antitripsin)

terutama dikaitkan dengan kejadian emfisema, yang disebabkan

oleh hilangnya elastisitas jaringan di dalam paru-paru secara

progresif karena adanya ketidakseimbangan antara enzim

proteolitik dan faktor protektif. Kekurangan ATT menyebabkan

berkurangnya faktor proteksi terhadap kerusakan paru.

3. Tanda dan Gejala

Adapun gejala klinik PPOK menurut Ikawati (2016) adalah sebagai

berikut:

a. Gejala Umum

1) Smoker’s cough, biasanya hanya diawali batuk sepanjang pagi

yang dingin, kemudian berkembang menjadi sepanjang tahun.

2) Sputum, biasanya banyak dan lengket (mukoid), berwarna kuning,

hijau, atau kekuningan bila terjadi infeksi.

3) Dispnea, terjadi kesulitan ekspirasi pada saluran pernafasan.

b. Gejala eksaserbasi akut

1) Peningkatan volume sputum

2) Perburukan pernafasan secara akut


12

3) Dada terasa berat (chest tightness)

4) Hiperinflasi

5) Peningkatan purulensi sputum

6) Peningkatan kebutuhan bronkodilator

7) Lelah dan lesu

8) Penurunan toleransi terhadap gerakan fisik, seperti cepat lelah dan

terengah-engah.

c. Gejala berat

1) Cyanosis, terjadi kegagalan respirasi

2) Gagal jantung dan oedema perifer

3) Plethoric complexion, yaitu pasien menunjukkan gejala wajah yang

memerah yang disebabkan polycythemia (jumlah eritrosit yang

meningkat), hal ini merupakan respon fisiologis normal karena

kapasitas pengangkutan O2 yang berlebih.

4. Klasifikasi PPOK

a. Bronkhitis Kronis

Bronkhitis kronik adalah batuk berulang dan berdahak selama

lebih dari 3 bulan setiap tahun dalam periode paling sedikit 3 tahun.

Sebab utamanya dalah merokok, berbagai penyakit akibat pekerjaan,

polusi udara, dan usia tua, terutama pada laki-laki. Hipersekresi dan

tanda-tanda adanya penyumbatan saluran napas yang kronik

merupakan tanda dari penyakit ini (Tabrani, 2017).


13

b. Emfisema

Emfisema kronik adalah penyakit yang ditandai dengan

pelebaran dari alveoli yang diikuti oleh destruksi dari dinding alveoli.

Biasanya terdapat bersamaan dengan bronkhitis kronik, akan tetapi

dapat pula berdiri sendiri. Penyebabnya juga sama dengan bronkhitis,

antara lain pada perokok. Akan tetapi pada herediter, dimana terjadi

kekurangan pada globulin alfa antitripsin yang diikuti dengan fibrosis,

maka emfisema muncul pada lobus bawah pada usia muda tanpa harus

terdapat bronkhitis kronik.

Emfisema paru dapat pula terjadi setelah atelektasis atau setelah

lobektomi, yang disebut dengan emfisema kompensasi dimana tanpa

didahului dengan bronkhitis kronik terlebih dahulu. Kebanyakan

emfisema terjadi pada daerah distal dari bronkus, terutama pada asma

bronkhial. Penyempitan bronkus kadang kala menimbulkan perangkap

udara (air tapering), dimana udara dapat masuk tetapi tidak dapat

keluar, sehingga menimbulkan emfisema yang akut. Frekuensi

emfisema lebih banyak pada pria daripada wanita.

Pokok utama dari emfisema adalah adanya hiperinflasi dari paru

yang bersifat ireversibel dengan konsekuensi rongga toraks berubah

menjadi gembung atau barrel chest. Gabungan dari alveoli yang pecah

dapat menimbulkan bula yang besar yang kadang-kadang memberikan

gambaran seperti pneumotoraks (Tabrani, 2017).


14

c. Bronkiektasis

Bronkiektasis adalah suatu kelainan yang permanen dimana

terjadi dilatasi dari bronkus. Bronkus yang terkena umumnya adalah

bronkus bagian lobus bawah (lobus inferior), terutama lobus kanan

bawah. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena letak anatomis dari

lobus ini yang lebih mudah terkena infeksi. Bagian yang lebih banyak

mengalami ektasi adalah bronkus subsegmental.

Bronkus yang terkena dapat fokal, dapat pula difus atau bilateral.

Yang fokal pada umumnya terjadi karena terdapat pembesaran

kelenjar limfe yang menyumbat bronkus atau dapat pula disebabkan

karena benda asing. Sedangkan yang difus pada umumnya terjadi bila

bronkus mengalami infeksi yang berulang, baik karena aspirasi cairan

lambung maupun akibat dari inhalasi gas.

Pada bronkus yang rusak adalah otot bronkusnya sehingga

bronkus kehilangan fleksibilitasnya. Selain itu pada bronkus dapat

pula terjadi luka yang dapat menimbulkan infeksi sehingga

menyebabkan fibroblast membentuk jaringan parut di bronkus. Antara

bronkus dan parenkim paru dapat pula saling mempengaruhi, artinya

infeksi bronkus pada bronkiektasis dapat menyebabkan pneumonia

lobaris dan sebaliknya pneumonia lobaris yang berulang dapat pula

menyebabkan terjadinya bronkiektasis (Tabrani, 2017).


15

Menurut Maranatha (2010) klasifikasi PPOK juga dapat dilihat

dari derajat faal parunya, yaitu dibagi atas 4 derajat yaitu :

Tabel 2.1 Klasifikasi PPOK

Derajat Gejala Klinis Faal paru


Derajat I Gejala batuk kronik dan  VEP 1/KVP < 70%
PPOK produksi sputum ada tapi  VEP 1 ≥ 80%
Ringan tidak sering Prediksi
Derajat II Gejala sesak nafas mulai  VEP 1/KVP < 70%
PPOK dirasakan dan kadang  50 < VEP 1 < 80%
Sedang ditemukan gejala Prediksi
produksi sputum dan
batuk produktif
Derajat III Gejala sesak lebih berat  VEP 1/KVP < 70%
PPOK Berat dan penurunan aktifitas,  30 < VEP 1 < 50%
rasa lelah dan ekserbasi Prediksi
makin sering
Derajat IV Gejala diatas ditambah  VEP 1/KVP < 70%
PPOK tanda – tanda gagal nafas  VEP 1 < 30%
Sangat dan gagal jantung kanan Prediksi atau VEP 1
Berat ditambah ketergantungan < 50% disertai gagal
oksigen. nafas kronik
Sumber: Maranatha, 2010

5. Komplikasi PPOK

Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) menurut

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal nafas kronik,

gagal nafas akut, infeksi berulang, dan kor pulmonal. Gagal nafas kronis

ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO250 mmHg, serta Ph

dapat normal. Gagal nafas akut pada gagal nafas kronis ditandai oleh

sesak nafas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan

purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK produksi


16

sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini

memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronis ini

imunitas tubuh menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar

limfosit darah. Adanya kor pulmonal ditandai oleh P pulmonal pada EKG,

hematokrit > 50 %, dan dapat disertai gagal jantung kanan (Grace &

Borlay, 2011).

6. Patofisiologi

Deformitas pada postural dapat terjadi sebagai respon terhadap

hiperinflasi dan peningkatan kerja pernapasan. Perubahan postural dapat

mencakup elevasi, protraksi, abduksi scapula, medial rotasi humerus, dan

deformitas kifosis tulang belakang. Hiperinflasi dada menyebabkan otot

pectoralis mayor memendek, meningkatkan resistensi dinding dada

terhadap ekspansi, dan meningkatkan kerja pernapasan. Seiring

bertambahnya tingkat keparahan PPOK, penggunaan ekstremitas atas

untuk aktifitas fungsional juga semakin sulit. Akibat dari tidak

digunakannya ekstremitas atas dapat menyebabkan peningkatan

penegangan otot, kekakuan otot, dan peningkatan resistensi dinding dada

(Fajriah, 2014).

Kerusakan saluran napas kronik pada PPOK berhubungan erat

dengan terjadinya hiperinflasi toraks yang ditandai dengan penurunan

ekspansi toraks. Hiperinflasi toraks merupakan respon dari berbagai

perubahan fisiologi seperti terjadi kekakuan dan kelemahan pada otot-otot


17

pernapasan termasuk perubahan otot diafragma yang menjadi lebih

mendatar dimana pada keadaan normal, otot diafragma berbentuk

menyerupai kubah yang terletak pada bagian dasar paru-paru. Ketika

diafragma berkontraksi, otot-ototnya akan memendek dan mendatar, hal

ini akan menciptakan tekanan negatif sehingga terjadi pemasukan udara ke

dalam paru-paru atau disebut inspirasi. Hiperinflasi paru terjadi ketika

otot-otot diafragma tidak dapat bekerja maksimal yaitu mengalami

penurunan efisiensi ventilasi dan ekspansi toraks. Hal ini kemudian akan

memicu peningkatan kerja paru, yaitu akan membuat otot diafragma

berkontraksi cenderung lebih keras dan akhirnya dapat mengalami

kelelahan (Williams & Bourdet, 2014).

B. Tinjauan Umum Tentang Mobilisasi Chest

1. Definisi Mobilisasi Chest

Mobilisasi chest adalah salah satu dari banyak teknik dan sangat

penting dalam fisioterapi dada konvensional untuk meningkatkan ekspansi

toraks dan meningkatkan fungsi pernapasan. Baik mobilisasi dada pasif

atau aktif dapat membantu meningkatkan ekspansi toraks, fleksibilitas,

dan kemampuan dada. Konsep dari teknik ini dengan meningkatkan

panjang otot interkostal, membantu melakukan kontraksi otot yang efektif

(Leelarungrayub, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Setiawan (2014) di BBKPM

Surakarta bahwa dengan mobilisasi chest dapat meningkatkan ekspansi


18

toraks dan menurunkan sesak nafas serta memperingan kerja otot-otot

pernafasan dengan menurunnya respiratori permenit. Latihan mobilisasi

chest merupakan bentuk latihan nafas yang melibatkan pernafasan dinding

dada yang dapat memperbaiki inspirasi secara maksimal (Gupta, et al.

2014).

Mobilisasi chest merupakan latihan yang menggabungkan gerakan

aktif dari batang tubuh atau ekstremitas dengan breathing. Digunakan

untuk mempertahankan atau meningkatkan ekspansi toraks, batang tubuh,

dan bahu yang mempengaruhi ventilasi atau postur. Latihan khusus dari

mobilisasi chest, yaitu : (1) mobilisasi satu sisi pada chest (2) mobilisasi

pada upper chest dan stretch pectoralis muscles, (3) mobilisasi pada

upper chest dan shoulders (Kisner & Colby, 2007).

2. Tujuan Mobilisasi Chest

a. Memelihara atau memperbaiki mobilitas dinding chest, trunk dan

shoulder akibat gangguan respirasi.

b. Memperkuat khususnya deep breathing dan control ekspirasi (Kisner

& Colby, 2007).

3. Manfaat Mobilisasi Chest

Mobilisasi chest dapat meningkatkan volume inhalasi dan membantu

meningkatkan aliran udara masuk melalui saluran ventilasi colateral.

Latihan mobilisasi chest yang dilakukan secara verbal dan stimulasi taktil,

penguluran secara cepat dan ditambah tahanan yang diberikan melalui


19

tangan terapis dengan mengambil keuntungan memanjangnya ketegangan

secara optimal pada otot-otot inspirasi sehingga dapat memperbaiki

inspirasi maksimal (Suseno, 2011).

4. Efek Mobilisasi Chest

Kelemahan otot satu sisi menyebabkan dinding chest di bagian

tersebut tidak mengembang dengan maksimal selama inspirasi sehingga

efek latihan mobilisasi chest dengan kombinasi stretching otot dan deep

breathing akan memperbaiki ventilasi samping chest tersebut. Pasien

dapat memperbaiki ekspirasi dengan membungkuk ke depan pada hip atau

fleksi spine saat pasien ekspirasi. Posisi ini mendorong viscera superior ke

dalam diaphragma dan selanjutnya memperkuat ekspirasi (Kisner &

Colby, 2007).

5. Kontraindikasi Mobilisasi Chest

a. Pasien yang mengalami nyeri dada

b. Pasien yang mengalami sesak napas berat

c. Tanda-tanda vital yang tidak stabil

d. Fraktur tulang rusuk yang parah dan tidak stabil (Kisner & Colby,

2007).
20

6. Teknik-teknik Mobilisasi Chest

a. Mobilisasi satu sisi pada chest

1) Posisi duduk, pasien membengkokkan chest ke samping sehingga

terjadi penguluran dan ekspansi samping berlawanan selama

inspirasi

2) Kemudian pasien meletakkan genggaman tangan di sampingg

chest lalu bengkokkan chest ke lateral kearah genggaman tangan

sambil ekspirasi.

3) Tingkatkan latihan ini dengan menempatkan tangan lebih tinggi.

Gambar 2.1
Mobilisasi satu sisi pada chest
Sumber : Kisner & Colby (2007)

b. Mobilisasi pada upper chest dan stretch pectoralis muscles

1) Pasien duduk di kursi dengan tangan di belakang kepala, kedua

tangan posisi abduksi horizontal selama inspirasi dalam


21

2)

Instruksikan pasien membungkuk ke depan bersama elbow lalu

ekspirasi.

Gambar 2.2
Mobilisasi pada upper chest dan stretch pectoralis muscles
Sumber : Kisner & Colby (2007)

c. Mobilisasi pada upper chest dan shoulder

1) Pasien duduk di kursi dengan kedua tangan di atas kepala (fleksi

shoulder bilateral 180o dan sedikit abduksi) selama inspirasi.

2) Minta pasien untuk membungkuk ke depan hip dan meraih lantai

selama ekspirasi (Kisner & Colby, 2007).


22

Gambar 2.3
Mobilisasi pada upper chest dan shoulder
Sumber : Kisner & Colby (2007)

C. Tinjauan Alat Ukur

Salah satu pengukuran antropometri dimensi tubuh manusia adalah

lingkar tubuh (body girth) yang merupakan pengukuran keliling lingkar tubuh

dengan standar anatomikal, diukur dengan peralatan pita ukur. Pengukuran ini

digunakan untuk

menentukan komposisi

dan ukuran tubuh, serta

memonitoring

perubahannya dalam

parameter ini (Djohan

dkk, 2016).

Pengukuran ekspansi toraks dilakukan secara kuantitatif dengan satuan

centimeter menggunakan pengukuran pita ukur yang dibagi menjadi tiga


23

bagian, yaitu axilla, toraks 4-5 dan proc. xyphoideus. Pengukuran ini

bertujuan untuk mengetahui nilai dari penurunan sangkar toraks dan dapat

pula digunakan selanjutnya untuk mengevaluasi ekspansi toraks setelah

diberikan terapi latihan mobilisasi chest.

1. Langkah-langkah pengukuran ekspansi toraks menggunakan pita ukur

a. Instruksikan pasien agar melepaskan kemejanya, sesuai lokasi yang

akan diukur.

b. Beri tanda lokasi yang akan diukur.

c. Pastikan saat mengukur, pita ukur tidak terlalu ketat atau juga

longgar.

d. Minta pasien untuk melakukan inspirasi dan ekspirasi untuk

mengetahui nilai ekspansi toraks.

e. Catat hasil pengukuran (Djohan dkk, 2016).

2. Kriteria Ekspansi Toraks

Tabel 2.2 Pengukuran ekspansi toraks

Titik pengukuran Nilai normal


Axilla 2 - 3 cm
Costa 4-5 4 - 5 cm
Proc. xyphoideus 6 -7 cm

Sumber : Fajriah, 2014


24

Pengukuran ekspansi toraks ini diukur pada saat inspirasi maksimal

dan ekspirasi maksimal. Nilai normal dari ekspansi toraks adalah 2,5 cm

– 7 cm. Pada penderita PPOK yang memiliki selisih hasil pengukuran

dibawah dari nilai normal maka mengalami penurunan ekspansi toraks

(Fajriah, 2014).

Anda mungkin juga menyukai