Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Acute Flaccid Paralyis (AFP) adalah kondisi abnormal yang ditandai

kelemahan atau kehilangan tonus otot dengan onset cepat. Kelumpuhan atau

paralisis ini biasanya fokal, menyerang anak berusia < 15 tahun, dan bukan

disebabkan oleh ruda paksa (trauma). Akut yaitu perkembangan AFP

berlangsung cepat antara 1 - 14 hari sejak munculnya gejala awal (rasa nyeri,

kesemutan, rasa tebal/kebas) sampai kelumpuhan maksimal. Flaccid artinya

jenis kelumpuhan motorik AFP bersifat lunglai, lemas, layuh, atau terjadi

penurunan tonus otot.1,2

Acute Flaccid Paralyis merupakan paralisis tipe defek lower motor

neuron (LMN), yaitu sel cornu anterior medulla spinalis, sistem saraf tepi,

neuromuscular junction, final common path, dan motor end plate pada otot.

Kelumpuhan ini ditandai karakteristik gejala klinis berupa kelemahan yang

timbul dengan cepat termasuk kelemahan pada otot-otot pernapasan dan

menelan, tanpa disertai gangguan spastisitas susunan saraf pusat traktus

motorik seperti hiperrefleks, klonus, atau respon ekstensor pada plantar.3

B. Epidemiologi

Acute Flaccid Paralyis biasa mengenai kelompok anak berusia < 15 tahun.

Berbagai analisis data kasus AFP selama dua dekade terakhir secara konsisten

melaporkan GBS sebagai penyebab paling umum dari AFP non polio di seluruh

3
dunia dengan frekuensi berkisar antara 20 – 72,2%. WHO memperkirakan

terdapat lebih dari 200 diagnosis yang dapat digolongkan sebagai kasus AFP,

sebagian besar (30 - 60%) kasus AFP yang dilaporkan adalah Guillain-Barre

Syndrome (GBS).4

Acute Flaccid Paralyis tetap menjadi kondisi serius meskipun kasusnya

mulai langka. WHO pada tahun 2017 menyebutkan lebih dari 150 negara

melaporkan kasus AFP non polio, lebih dari 100.000 kasus dilaporkan di seluruh

dunia pada anak berusia kurang dari 15 tahun, dengan angka tahunan sekitar lima

kasus per 100.000 populasi.5

Indonesia melaporkan sekitar 32 diagnosis yang termasuk sebagai kasus

AFP. Jumlah kasus AFP non polio setiap tahun konstan karena tidak ada program

khusus sebagai upaya pemberantasan atau pencegahannya. Berdasarkan data

empiris, perkiraan minimal kasus AFP non polio sebesar 2/100.000 anak usia <15

tahun. Flaccid paralysis terjadi kurang dari 1% dari infeksi poliovirus dan lebih

dari 90% infeksi tanpa gejala atau dengan demam tidak spesifik.6

C. Klasifikasi dan Etiologi

Acute Flaccid Paralyis adalah kelompok heterogen beberapa kondisi medis,

meliputi lesi sel cornu anterior termasuk poliomyelitis, sumsum tulang belakang

(myelitis transversa), saraf perifer (Sindrom Guillain–Barré) dan neuropati toksik

dari berbagai infeksi termasuk difteri, neuromuscular junction (botulisme), dan

kelainan otot seperti myopati metabolik termasuk hipokalemia dan myositis.2,3

Acute Flaccid Paralyis dapat disebabkan oleh infeksi berbagai patogen.

Kondisi AFP diantaranya yaitu poliomielitis, Sindrom Guillain-Barre, miastenia

4
gravis, mielitis transversa, polioensefalitis, dan lain-lain. Patogen penyebab AFP

yaitu poliovirus, enterovirus (tipe 70 dan 71), echovirus, coxackievirus,

adenovirus, west nile virus, HIV-1, HTLV-1.3,4 Selain virus, AFP juga dapat

disebabkan oleh bakteri Borrelia burgdorferi, Corynebacterium diphtheriae,

Clostridium botulinum, dan Mycoplasma pneumonia.4

D. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala AFP tergantung pada penyebabnya. Gejala-gejala

umum termasuk atrofi otot, demam, insufisiensi pernapasan, kesemutan telapak

tangan dan telapak kaki, kram, kehilangan sensorik, dan hilangnya kontrol

kandung kemih. Gejala klinis minor berupa demam, sakit kepala, mual dan

muntah. Apabila penyakit berlanjut ke gejala mayor, timbul nyeri otot berat,

kaku kuduk dan punggung, serta terjadi kelumpuhan (paralisis) atau

kelemahan, gangguan gaya berjalan, gangguan koordinasi satu atau beberapa

ekstremitas dengan onset cepat, ditandai adanya flaksiditas tanpa sebab lain

yang jelas (misalnya trauma), terjadi pada anak-anak berusia kurang dari 15

tahun.7, 8

Gambaran AFP paling umum terkait polio paralitik adalah distribusi

asimetrisnya (tidak memengaruhi kedua sisi tubuh secara merata, umumnya

hanya melibatkan satu tungkai. Dapat juga terjadi pada satu lengan atau kedua

sisi ekstremitas, meskipun ini jarang terjadi), lebih sering memengaruhi

kelompok otot di bagian proksimal dibandingkan distal, berkembang selama 2-

3 hari, dapat disertai nyeri leher, punggung, dan demam saat onset. AFP yang

5
disebabkan oleh Sindrom Guillain-Barré dapat muncul sebagai kelumpuhan

simetris dan berkembang hingga 10 hari.8, 9

Lesi AFP merupakan tipe susunan lower motor neuron, berarti lesi tersebut

merusak motor neuron, akson, motor end plate dan otot skeletal sehingga tidak

terdapat gerakan atau rangsang motorik yang disampaikan ke motor neuron.

Kelumpuhan tersebut sesuai dengan gejala lower motor neuron yaitu:3

1. Hilangnya gerakan voluntar dan reflektorik, sehingga reflek tendon hilang dan

reflek patologik tidak muncul.

2. Tonus otot hilang

3. Musnahnya motor neuron beserta akson sehingga satuan motorik hilang dan

terjadi atrofi otot.

Karakteristik khas AFP pada anak yang sudah besar yaitu pincang atau tidak

dapat berjalan, tidak dapat meloncat satu kaki, tidak dapat berjongkok lalu berdiri

lagi, tidak dapat berjalan dgn jari-jari kaki atau tumit, tidak dapat mengangkat

kakinya dari tempat tidur, tidak ada tahanan pada kaki.8

Manifestasi klinis khas pada bayi lumpuh layu yaitu floppy infant, dimana

ketika bayi ditidurkan maka lututnya jatuh ke samping menyentuh tempat tidur.

Bayi tidak aktif bergerak, artinya otot bayi tidak dapat berkontraksi dan tidak

mampu mempertahankan gravitasi sehingga terjatuh ke samping dan tidak dapat

digerakkan.8 Manifestasi klinis lainnya yaitu:7,8

- Kuadriparesis flaksid simetris (melibatkan fungsi respirasi dengan/tanpa

mengenai medulla oblongata) disertai arefleksia; dapat terjadi kehilangan

6
fungsi sensorik minimal seperti pada neuropoti atau poliradikulopati akut

(misalnya sindrom Guillain Barre)

- Kelemahan simetris otot-otot proksimal tanpa gejala atau tanda “kerusakan

sensorik serta disertai adanya “refleks”, seperti pada neuropati akut

- Kelemahan otot akibat kelelahan (diplopia, ptosis, disfungsi medulla oblongata

seperti pada miastenia gravis dan kerusakan neuromuskular lainnya)

- Paraparesis flaksid dengan gangguan di tingkat sensorik (lebih sering

melibatkan tungkai bawah dan disfungsi kandung kemih) seperti pada sindrom

kauda ekuina, lesi medulla spinalis setinggi vertebra torakal (misalnya mielitis

transversa, atau infark medulla spinalis)

- Kerusakan yang mengenai medulla oblongata seperti pada botulisme, miastenia

gravis, penyakit motorneuron (misalnya ALS, penyakit Kennedy), atau adanya

lesi di pons

- Oftalmoplegia disertai kelemahan motorik, seperti pada varian Miller-Fischer

dari sindrom Guillain Barre (arefleksia), botulisme, dan paralisis tik, miastenia

gravis

- Disfungsi otonom (seperti pada sindrom Guillain Barre), sindrom

paraneoplastik, keracunan organofosfat (rangsang kolinergik muskarinik yang

berlebihan), dan botulisme.

E. Diagnosis
Kasus AFP didiagnosis dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Pemeriksaan penunjang yang sesuai dilakukan untuk mengetahui dan memastikan

etiologi yang mendasarinya.

7
Anamnesis
Seluruh kasus AFP memerlukan informasi detail mengenai gejala (demam,

myalgia, distribusi kelumpuhan, waktu, dan perkembangan paralisis), lama

serangan (misal berapa jam/hari/minggu/bulan), perkembangan penyakit (misal

ascending paralysis), gangguan fungsi sensorik (baal, kehilangan keseimbangan

terutama dalam gelap, nyeri/rasa terbakar), gangguan bulbar (perubahan

suara/menelan), kelemahan nervus fasialis (gangguan mengunyah, menghisap,

dan meniup), kelemahan otot ekstraokular (ptosis atau diplopia), gangguan

pernapasan (dispnea atau orthopnea), gangguan kandung kemih atau

gastrointestinal, gangguan sistem otonom (diare, pusing, hipotensi ortostatik,

retensi urin, palpitasi), gejala sistemik (demam, penurunan berat badan, ruam,

nyeri sendi), faktor-faktor presipitasi (kerja keras, pemberian karbohidrat-paralisis

periodik), kelemahan berfluktuasi (misalnya variasi diurnal, kelelahan otot pada

miastenia gravis), riwayat terpajan obat/racun (makanan kaleng/kadaluarsa,

pestisida, statin).10

Gejala paralisis dapat termasuk gangguan gaya berjalan, kelemahan, atau

gangguan koordinasi satu atau beberapa ekstremitas. Penilaian cermat terhadap

riwayat kesehatan pasien sangat penting untuk menyempitkan diagnosis banding.

Informasi tersebut termasuk penyakit yang baru atau pernah diderita, konsumsi

makanan dan air, paparan bahan kimia (pelarut organik), gigitan serangga (kutu)

atau ular, riwayat keluarga, vaksin, masalah psikogenik (termasuk demensia).

Trauma atau kompresi sumsum tulang belakang harus dipertimbangkan sebagai

penyebab yang jelas dari AFP.10-12

Pemeriksaan Fisik

8
Seluruh kasus AFP harus diinvestigasi secara penuh dan dievaluasi klinis

secara lengkap dengan pemeriksanan neurologis lengkap, termasuk penilaian

kekuatan dan tonus otot, memeriksa otot-otot ekstraokular (ptosis), otot-otot

fasial, leher, lengan, tungkai, tendon. Selain itu juga menilai refleks (apakah

terdapat penurunan atau peningkatan) termasuk refleks fisiologis dan patologis.

Refleks fisiologis (deep reflexes) meliputi biceps, triceps, brachioradialis, patella,

dan Achilles. Sedangkan refleks patologis meliputi babinsky’s sign, Chaddock’s

sign, dan Oppenheim’s sign.11

Pemeriksaan tersebut diperlukan untuk menggambarkan pola kelemahan

yang terjadi (paraparesis, multifokal), fungsi saraf cranial, dan fungsi sensoris

(apakah terdapat gangguan sensorik terhadap modalitas tertentu baik sensasi

taktil, getaran/proprioseptif, nyeri/protopatik, dan persepsi kinestetik). Perlu

diperhatikan adanya tanda-tanda meningismus, gangguan saraf pusat (ataxia) atau

sistem saraf otonom (fungsi usus dan kandung kemih, tonus sfingter, refleks

kandung kemih, neurogenik).12, 13

- Gambaran umum
 Tes fungsi otonom (refleks pupil, keringat abnormal, respons pupil, ileus)
 Kulit: ruam pada penyakit Lyme (eritema kronis migrans), garis-garis kuku

pada keracunan arsen (Mee’s Line), fotosensitif, tik

 Nyeri tekan spinal (pada abses epidural atau hematom, tumor spinalis)

 Nyeri saat tungkai diangkat (radikulopati)

Gambar 2.1. Algoritma evaluasi klinis kelemahan ekstremitas atau respiratorik.12

9
Pemeriksaan Penunjang
- Pada negara endemik polio, setiap kasus AFP harus dilaporkan. Dua spesimen

feses (dengan jarak 24-48 jam) diperiksa dalam 14 hari setelah onset paralisis

dan isolasi virus harus dilakukan oleh laboratorium terkualifikasi. Jika tidak

memungkinkan, spesimen feses dikumpulkan hingga 2 bulan (60 hari) dari

awal paralisis (pada kasus ini harus ditindaklanjuti untuk memeriksa gejala sisa

termasuk paralisis.14

- Neuroimaging (kepala/medulla spinalis). Pencitraan tulang belakang seperti

radiografi, CT-Scan atau magnetic resonance imaging (MRI) diindikasikan

10
untuk menyingkirkan adanya kompresi tulang belakang, trauma, mielopati,

poliradikulopati spondilosis, atau neoplasma.11, 12

- Pemeriksaan elektrocardiogram dapat mengidentifikasi adanya gangguan

metabolisme elektrolit seperti kelumpuhan periodik yang diakibatkan oleh

keadaan hipovolemi.13

- Pungsi lumbal untuk menilai CSS diindikasikan untuk menyingkirkan adanya

infeksi bakteri pada sistem saraf yang ditunjukkan dengan adanya netrofil,

leukosit PMN, tingkat glukosa rendah, dan kandungan protein tinggi.13

- Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk melihat laju sedimen sel darah

merah, difensiasi eritrosit dan leukosit, kadar natrium, kalium, kalsium,

magnesium, klorida, karbonat, fosfat, kreatinin, asam urat, porfirin, dan

tiroksin, B12, TSH, ANA, RF, ACA pada darah dan urin (sesuai indikasi).11-13

- Elektroforesis protein serum.12

- Penapisan antibodi paraneoplastik (terutama anti-HU).12

- Tes elektrofisiologis (kecepatan hantar saraf dan EMG) untuk kepentingan

diagnosis dan prognosis dari penyakit motorneuron.13

- Tes tensilon/tes prostigmin (sesuai indikasi).10, 12

- Pemeriksaan kultur bakteri akan mengidentifikasi adanya mikroorganisme

spesifik.13

- Kepastian diagnosa laboratorium ditegakkan dengan isolasi virus dari sampel

tinja, sekresi oropharyng dan LCS pada sistem kultur sel dari manusia atau

monyet (primate cells). Diferensiasi dari virus liar dengan strain virus vaksin

dapat diagnosis presumtif dibuat dengan adanya peningkatan titer antibodi

11
empat kali lipat atau lebih, namun neutralizing antibodies spesifik mungkin

sudah muncul begitu kelumpuhan terjadi. Respons antibodi setelah pemberian

imunisasi sama dengan respons antibodi sebagai akibat infeksi virus polio liar.

Oleh karena pemakaian vaksin polio yang berisi virus hidup sangat luas, maka

interpretasi terhadap respons antibodi menjadi sulit apakah karena disebabkan

virus vaksin ataukah virus liar. Kecuali untuk mengesampingkan diagnosa

polio pada anak-anak dengan immunocompetent namun tidak terbentuk

antibodi.10-13

F. Tatalaksana

Prioritas tatalaksana AFP adalah ABC (Airway, Breathing, Circulation)

yaitu dengan memastikan saluran napas terjaga dan ventilasi cukup, memeriksa

tekanan darah/frekuensi nadi pada kasus bradi/takiaritmia atau kegagalan otonom.

Perawatan di ICU harus dipertimbangkan sesuai dengan perkembangan neurologis

atau defek yang ada. Sebanyak 20% pasien memerlukan ventilasi mekanik. Selain

itu juga diberikan tatalaksana khusus sesuai etiologi yang mendasari.13, 15

Tatalaksana penyakit polio belum ada pengobatan kausal khusus, namun

poliomielitis dapat dicegah melalui vaksinasi. Anak-anak kecil yang terkena polio

seringkali hanya mengalami gejala ringan dan menjadi kebal terhadap polio.13

Tatalaksana GBS secara umum bersifat simtomik karena sebagian besar

penderita dapat sembuh sendiri. Namun perlu dipikirkan waktu perawatan yang

cukup lama dan angka morbiditasnya cukup tinggi sehingga pengobatan tetap

harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan

mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi). Plasmaparesis

12
atau plasma exchange pada SGB bertujuan mengeluarkan faktor autoantibodi

yang beredar, memperlihatkan hasil yang baik berupa perbaikan klinis lebih cepat,

penggunaan alat bantu nafas lebih sedikit, dan lama perawatan lebih pendek.

Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14

hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala

(minggu pertama). Pengobatan dengan gamma globulin intervena (Imunoglobulin

IV) lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek

samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3

hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai

sembuh. Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan yaitu 6 merkaptopurin (6-MP),

azathioprine, dan cyclophosphamid. Efek samping dari obat-obat tersebut adalah

alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.15

Pada kasus miastenia gravis diberikan obat-obatan yang dapat menekan

reaksi autoimun atau antibodi yang menyerang acetylcholine. Beberapa pilihan

terapinya yaitu cuci darah atau hemodialisis dengan menyaring antibodi dan

membuatnya tidak aktif lagi. Lalu jika pada kasus penderita thymoma, maka

tumor pada kelenjar thymus harus dioperasi. Selain itu dapat diberikan obat yang

dapat meningkatkan jumlah asetilkolin untuk melakukan pengujian guna

memperkuat diagnosis misalnya edrofonium. Jika obat ini disuntikkan intravena,

maka untuk sementara waktu akan memperbaiki kekuatan otot pada penderita

miastenia gravis.15

Penderita botulisme dapat mengalami kesulitan bernafas (pada stadium

lanjut) sehingga membutuhkan alat bantuan nafas atau ventilator selama

13
berminggu-minggu (biasanya 4 minggu) atau sampai efek toksin habis, ditambah

perawatan dan pengobatan intensif. Setelah beberapa minggu, paralisis secara

bertahap muncul dan semakin jelas. Jika diagnosis ditegakkan dari awal,

foodborne dan wound botulisme dapat diobati dengan anti toksin untuk memblok

aksi toksin dalam peredaran darah. Mungkin diperlukan enema agar penderita

muntah untuk mengeluarkan makanan beracun yang masih ada di dalam usus.

Luka harus segera diobati, biasanya dengan operasi untuk menyingkirkan sumber

produksi dari toksin botulisme. Penggunaan anti toksin tidak untuk mengobati

infant botulisme perlu dipikirkan lagi, sedangkan antibiotik tidak dibutuhkan,

kecuali pada wound botulisme.16

G. Komplikasi

Komplikasi polio paling berat adalah kelumpuhan yang menetap.

Kelumpuhan terjadi sebanyak kurang dari 1 dari setiap 100 kasus, tetapi

kelemahan satu atau beberapa otot, sering ditemukan. Kadang bagian dari otak

yang berfungsi mengatur pernafasan terserang polio, sehingga terjadi kelemahan

atau kelumpuhan pada otot dada. Beberapa penderita mengalami komplikasi 20-

30 tahun setelah terserang polio. Keadaan ini disebut sindroma post-poliomielitis,

yang terdiri dari kelemahan otot yang progresif, yang seringkali menyebabkan

kelumpuhan.13

Botulisme dapat menyebabkan kematian karena kegagalan nafas. Dalam 50

tahun terakhir, banyak pasien dengan botulisme yang meninggal menurun dari

50% menjadi 8%. Pasien dengan botulisme yang parah membutuhkan alat bantu

14
pernafasan sebagai bentuk pengobatan dan perawatan yang intensif selama

beberapa bulan. Pasien yang selamat dari racun botulisme dapat menjadi lemah

dan nafas yang pendek selama beberapa tahun dan terapi jangka panjang

dibutuhkan untuk proses pemulihan.16

H. Prognosis
Prognosis AFP tergantung dari keadaan masing-masing penderita dan

penyebab yang mendasarinya. Pada umumnya penderita GBS mempunyai

prognosis baik tetapi sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai

gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila

dengan keadaan antara lain pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal,

mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset, progresivitas

penyakit lambat dan pendek, penderita berusia 30-60 tahun. Sementara itu

prognosis botulisme bervariasi, tergantung dari jenis botulisme yang menginfeksi

dan kecepatan diagnosis dan pemberian obat. Makin awal diagnosis dapat

ditegakkan atau makin cepat penderita berobat, makin baik prognosisnya.14,16

15

Anda mungkin juga menyukai