Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut International Labor Organisasion (ILO) setiap tahun terjadi

1,1 juta kematian yang disebabkan oleh penyakit atau yang disebabkan oleh

pekerjaan. Ada sektar 300.000 kematian dari 250 juta kecelakaan dan

sisanya ada karena penyakit akibat dari pekerjaan, dimana diperkirakan

terjadi 160 juta penyakit hubungan akibat hubungan pekerjaan baru untuk

setiap tahunya. Data yang diperoleh dari ILO tahun 1999, penyakit kematian

yang berhubungan dengan pekerjaan adalah kanker 34%, kecelakaan 24%,

saluran pernapasan 21%, penyakit kardiovaskuler 15% dan lain-lain 5%

(Buchari, 2007).

Penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) selalu menduduki

peringkat pertama dari 10 penyakit terbanyak di Indonesia. Salah satu

penyebab terjadinya ISPA adalah rendahnya kualitas udara baik di dalam

maupun di luar rumah, baik secara biologis, fisik, maupun kimia. Partikel

debu diameter 2,5μ dan Partikel debu diameter 10μ dapat menyebabkan

pneumonia, gangguan sistem pernapasan, iritasi mata, alergi, bronchitis

khronis. Partikel debu diameter 2,5μdapat masuk kedalam paru yang

berakibat timbulnya emfisema paru, asma bronchial, dan kanker paru-paru

(Kemenkes, 2011).

1
2

Suma’mur (2000) menyatakan bahwa semakin lama seseorang

bekerja pada tempat yang banyak debu maka kemungkinan paru-paru

tertimbun debu semakin besar akibat dari penghirupan debu sehari-hari saat

bekerja. Debu yang tertimbun tersebut dapat menggangu kesehatan paru-

paru. Lama bekerja selama bertahun-tahun memperparah kesehatan

pernapasan karena terlalu frekuensi yang sering untuk terpajan debu setiap

harinya. Pada pekerja batu bata yang ada di Desa kebanyakan dari mereka

memiliki masa kerja yang sudah lebih dari 10 tahun dan masih banyak

yang belum menggunakan alat perlindungan diri seperti masker, hal ini

berisiko untuk menghirup debu dan asap dari hasil pembakaran batu bata

yang mana akan berdampak pada kesehatan saluran pernapasan.

Para pembuat bata setiap harinya selalu tercemar ataupun menghirup

debu dan asap pembakaran bata. Debu atau asap yang dihirup masuk ke

paru- paru akan tertimbun di dalam paru, hal ini akan mengganggu kerja

paru dalam menyalurkan oksigen di darah yang mana nantinya akan

menyebabkan ISPA. ISPA yang dialami pembuat bata adalah mereka yang

dalam satu tahun mengalami infeksi saluran pernapasan lebih dari 2 kali, hal

ini karena mereka sering terpapar dengan udara kurang bersih dan asap dari

pembakaran batu bata itu sendiri. Menurut Susanto (2012) menjelaskan

bahwa produk pembakaran dan pemanas ruangan berupa karbon

monoksida, nitrogen dioksida dan sulfur dioksida. Karbon monoksida adalah

gas tidak berbau dan tidak berwarna yang menimbulkan efek asfiksi karena
3

karbon monoksida akan mengikat hemoglobin membentuk karboksi

hemoglobin yang mengganggu transpor oksigen di darah. Disisi lain mereka

juga belum banyak yang menggunakan alat perlindungan diri, yang mana

bermanfaat bagi keselamatan dan kesehatan kerja mereka.

B. Rumusan Masalah

Untuk mengetahui hubungan antara paparan debu batu bata dengan

kejadian ISPA pada pasien dari Desa Tawangsari di Puskesmas

Tawangsari, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, 2020.

A. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui hubungan antara paparan debu batu bata dengan

kejadian ISPA pada pasien dari Desa Tawangsari di Puskesmas

Tawangsari, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, 2020.

2. Tujuan khusus

a) Mengidentifikasi paparan debu dengan kejadian ISPA di Puskemas

Tawangsari, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, 2020.

b) Mengidentifikasi hubungan antara paparan debu batu bata pada pasien

dengan pekerjaan pembuat batu bata di Puskesmas Tawangsari,

Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, 2020.


4

c) Mengidentifikasi hubungan antara paparan debu batu bata dengan

terjadinya prevalensi ISPA di Puskesmas Tawangsari, Kecamatan

Trowulan, Kabupaten Mojokerto, 2020.

B. Manfaat penelitian

1. Bagi pukesmas

Memberi masukan kepada Puskesmas Tawangsari untuk menurunkan

prevalensi ISPA khususnya pada pekerja pembuat batu bata di wilayah kerja di

Desa Tawangsari, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto.

2. Bagi pengembangan ilmu

Memberi informasi ilmiah mengenai hubungan paparan debu dengan


prevalensi ISPA pada pembuat batu bata dan penelitian lebih lanjut.

3. Bagi masyarakat

Menambah pengetahuan masyarakat tentang ISPA dan diharapkan


meningkatkan kesehatan kerja khususnya kepada pembuat batu bata.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Infeksi Saluran Pernapasan Atas

1. Definisi ISPA

ISPA adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya

menular, yang dapat menimbulkan berbagai macam penyakit, dari penyakit

tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan.

ISPA didefenisikan sebagai penyakit saluran pernapasan akut yang disebabkan

oleh agen infeksius yang ditularkan dari manusia kemanusia. Timbulnya gelaja

biasanya cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari.

Gejalanya meliputi demam, batuk, dan sering juga nyeri tenggorok, coryza

(pilek), sesak napas, mengi, atau kesulitan bernapas (Masriadi, 2017).

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah penyakit saluran

pernapasan akut yang meliputi saluran pernapasan bagian atas seperti rhinitis,

faringitis, dan otitis serta saluran pernapasan bagian bawah seperti laryngitis,

bronkhitis, bronkhiolitis dan pneumonia, yang dapat berlangsung selama 14

hari. Batas waktu 14 hari diambil untuk menentukan batas akut dari penyakit

tersebut (Gagarani, 2015).

Infeksi saluran pernapasan akut yang lebih dikenal dengan ISPA

biasanya disebabkan oleh virus atau bakteri. Infeksi ini diawali dengan atau

5
6

tanpa demam yang disertai dengan salah satu atau beberapa gejala berikut ini,

diantaranya sakit tenggorokan atau nyeri telan, pilek, dan batuk baik kering

ataupun berdahak. Infeksi ini bersifat akut, yang artinya proses infeksi ini dapat

berlangsung hingga 14 hari. Infeksi ini menyerang salah satu bagian/lebih dari

saluran napas mulai hidung sampai alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga

telinga tengah, pleura) (Gagarani, 2015).

2. Epidemiologi

Menurut World Health Organzation (WHO) tahun 2016 jumlah

penderita ISPA adalah 59.417 anak dan memperkirakan di Negara

berkembang berkisar 40-80 kali lebih tinggi dari negara maju.

Tabel II.1 : Jumlah Penderita ISPA menurut


Wilayah di Kabupaten Mojokerto, 2018 - 2020
7

Sumber : https://mojokerto.epuskesmas.id/grafi

Menurut Kemenkes RI (2017) kasus ISPA mencapai 28% dengan

533,187 kasus yang ditemukan pada tahun 2016 dengan 18 provinsi

diantaranya. mempunyai prevalensi di atas angka nasional. Selain itu

ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit

dan Puskesmas. Untuk Puskesmas Tawangsari sendiri jumlah kasus ISPA

pada bulan Mei 2020 menduduki peringkat 1 penyakit terbanyak.

Acute Upper respiratory


infection, unspesified
2%
4%3% myalgia
5% fever with chills
32%
7% Headache
Fever of other and
8% umknown origin
diarrhoea and
gastroenteritis of presume
9% general examination and
investigation
28% essential hipertension
supervision of other normal
pregnancy
8

Gambar II.1: Proporsi Prevalensi Penyakit di Puskesmas


Tawangsari, Kabupaten Mojokerto, 2018-2020 (Sumber: Sumber :
https://mojokerto.epuskesmas.id/grafik.)

3. Patofisiologi

Proses terjadinya ISPA diawali dengan masuknya beberapa bakteri

dari genus streptokokus, stafilokous, pnemokokus, hemofilius, bordetella dan

korinebakterium dan virus dari golongan mikrovirus (termasuk didalamnya

virus pada influenza dan virus campak), adenoverius, koronavirus,

pikornavirus, herpesvirus kedalam tubuh manusia melalui partikel udara

(droplet infection) . Timbul mekanisme pertahanan pada jalan napas seperti

filtrasi udara inspirasi di rongga hidung, refleksi batuk, refleksi epiglotis,

pembersihan mukosilier dan fagositosis. Karena menurunnya daya tahan tubuh

penderita maka bakteri phatogen dapat melewati mekanisme sistem pertahanan

tersebut akibatnya terjadi invasi di daerah-daerah saluran pernapasan atas

maupun bawah. Kuman ini akan melekat pada sel epitel hidung dengan

mengikuti proses pernapasan maka kuman tersebut bisa masuk ke bronkus dan

masuk ke saluran pernapasan, yang mengakibatkan demam, batuk, pilek, sakit

kepala dan sebagainya (Marni, 2014).

4. Manifestasi klinis

Tanda dan gejala ISPA sangat bervariasi antara lain demam, pusing,

malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah),

photophobia (takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara napas),
9

dyspnea (kesulitan bernapas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada),

hipoksia (kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal napas apabila tidak

mendapat pertolongan dan dapat mengakibatkan kematian (Behrman, 1999).

Tanda dan gejala menurut tingkat keparahannya menurut Kementrian

Kesehatan (Kemenkes) RI tahun 2008, yaitu:

a. ISPA ringan : ISPA ringan yaitu jika ditemukan satu atau lebih gejala-

gejala berikut:

1) Batuk

2) Pilek dengan atau tanpa demam

b. ISPA sedang :ISPA sedang yaitu dijumpai berupa gejala ringan disertai

satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:

1) Pernapasan cepat:

Umur 2 bulan - <12 bulan : 50 kali atau lebih permenit

Umur 12 bulan - <5 tahun : 40 kali atau lebih permenit

2) Wheezing (mengi) yaitu napas bersuara

3) Sakit atau keluar cairan dari telinga

4) Bercak kemerahan (campak)

c. ISPA berat : ISPA berat ditandai dengan gejala-gejala ringan atau ISPA

sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:

1) Penarikan dinding dada

2) Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) saat bernapas.

3) Kesadaran menurun
10

4) Bibir/kulit pucat kebiruan

5) Stridor yaitu suara napas mengorok

5. Diagnosis

Diagnosis infeksi saluran pernapasan akut dapat di tegakkan dengan

anamnesis dan tidak memerlukan peemriksaan penunjang sebagai tes

konfirmasi. Tetapi, bergantung pada gejalanya, uji laboratorium dan radiologi

dapat digunakan untuk menyingkirkan kecurigaan pada penyakit lain atau

infeksi sekunder seperti Influenza, faringitis akut, atau mononukleosis (Short

dkk, 2017).

6. Anamnesis

Gejala umum yang biasanya diawali dengan demam, batuk, hidung

tersumbat, sakit tenggorokan, muntah adanya suara tambahan: wheezing, ronki,

krakles, (Hartono, 2015). Penyakit ISPA apabila tidak diobati dan jika disertai

dengan malnutrisi, maka penyakit tersebut akan menjadi berat dan akan

menyebabkan terjadinya bronchitis, pneumonia, otitis media, sinusitis, gagal

napas, cardiac arrest, syok dan sebagainya (Hartono, 2015)

7. Penatalaksanaan ISPA

Penggunaan antibiotik pada terapi penyakit infeksi yang disebabkan

oleh bakteri, sebaiknya sebelum memulai terapi dengan antibiotik sangat

penting untuk dipastikan apakah infeksi yang disebabkan oleh bakteri benar-

benar ada. Penggunaan antibiotik tanpa adanya landasan atau bukti adanya

infeksi dapat menyebabkan resistensi terhadap suatu antibiotik. Bukti infeksi


11

dapat dilihat dari kondisi klinis pasien yaitu demam, leukositsis maupun hasil

kultur (Depkes RI, 2005). Berikut beberapa antibiotik yang digunakan

sebagai pengobatan ISPA:

a. Penisilin

Amoksisilin adalah antibiotik derivat penisilin yang berspektrum

luas dengan mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel bakteri

yang mencakup E. Coli, Streptococcus pyogenes, Streptococcus

pneumoniae, Haemophilus influenzae, Neisseria gonorrhoeae.

Penambahan gugus β-laktamase inhibitor seperti klavulanat memperluas

cakupan hingga Staphylococcus aureus, Bacteroides catarrhalis.

Sehingga saat ini amoksisilin klavulanat merupakan alternatif bagi

pasien yang tidak dapat mentoleransi alternatif lain setelah resisten

dengan amoksisilin (Depkes RI, 2005).

b. Kotrimoksasol

Kotrimoksasol merupakan antibiotik golongan sulfonamid,

yang dikombinasikan dari sulfametoksasol dengan trimetropim.

Mekanisme kerjanya menghambat sintesis asam folat sedangkan

trimetropim menghambat reduksi asam dihydrofolat menjadi

tetrahydrofolat sehingga menghambat enzim pada jalur sintesis

asam folat. Aktivitas yang dimiliki kotrimoksasol meliputi bakteri

gram negatif seperti E.coli, klebsiella, enterobacter sp, M morganii,

P. Mirabilis, P. Vulgaris, H. Influenza, salmonela, serta gram


12

positif seperti S. Pneumoniae, Pneumocytis carinii, serta parasit

seperti Nocardia sp (Depkes RI, 2005).

8. Faktor risiko

Salah satu faktor resiko terjadinya ISPA adalah utama adalah karena

adanya kondisi lingkungan yang buruk seperti polutan udara (World Health

Organization, 2007).

a. Konsentrasi debu

Semakin tinggi konsentrasi debu di udara tempat kerja, maka semakin

besar kemungkinan terjadinya gangguan kesehatan.

Ukuran partikel debu

Ukuran partikel besar akan di tangkap oleh saluran nafas bagian atas.

Ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit pada saluran

pernapasan. Dari hasil penelitian ukuran tersebut dapat mencapai target

organ sebagai berikut :

1) Ukuran debu 5 – 10 mikron, akan tertahan olah cilia pada saluran

pernapasan bagian atas.

2) Ukuran debu 3 – 5 mikron, akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian

tengah.

3) Ukuran debu 1 – 3 mikron, sampai dipermukaan alveoli.

4) Ukuran debu 0,5 – 1 mikron, hinggap dipermukaan alveoli, selaput lendir

sehingga menyebabkan fibrosis paru.


13

5) Ukuran debu 0,1 – 0,5 mikron, melayang dipermukaan alveoli.

b. Jenis debu

Jenis debu terkait dengan daya larut dan sifat kimianya (Lihat Tabel II.2).
14

Tabel II.2. Jenis Debu Yang Dapat Menimbulkan Gangguan Kesehatan


Pada Manusia

NO Jenis Debu Contoh (Jenis Debu)

1 Organik Batu bara, karbon hitam, arang, granit,


a. Alamiah TBC, antraks, enzim, bacilus substilis.
1. Fosil Koksidiomikosis, Histoplasmosis.
2. Bakteri Actinomycosis, kriptokokus, thermophilic.
3. Jamur Cacar air, Q fever, Psikatosis. Kompos
4. Virus jamur, ampas tebu, tepung padi, gabus,
5. Sayuran serat nanas, atap alang-alang, katun, rami.
6. Binatang
b. Sintesis
1. Plastik
2. Reagen
2 Anorganik Quarz, trymite, cristobalite diatomaceous
a. Silika bebas earth, silica gel
1. Crystaline Asbestosis, silinamite, talk mika, kaolin,
2. Amorphous debu semen
b. Silika Besi, barium, titanium, aluminium berilium
1. Fibrosis arsen, kobal, nikel hematite, uranium,
2. Lain-lain khrom
c. Metal
1. Inert
2. Lain-lain
3. Bersifat keganasan
(Sumber:Suma’mur.P.K.2009)

Demikian juga tingkat kerusakan yang ditimbulkannya juga akan berbeda pula.

Suma‟mur (2009) mengelompokkan partikel debu menjadi dua yaitu debu organik

dan anorganik.

c. Pengenceran polutan debu (ventilasi ruang kerja)

General Ventilasi atau Dilusi Ventilasi atau Ventilasi


Pengenceran Udara, dan banyak istilah yang digunkan di masyarakat
industry. Pada buku ini penulis mengunakan istilah, yaitu “Sistim
Ventilasi Pengenceran Udara “ Sistim Ventilasi Pengencran Udara,
adalah pengenceran terhadap udara yang terkontaminasi di dalam
bangunan atau ruangan, dengan meniup udara bersih (tidak tercemar),
15

tujuannya untuk mengendalikan bahaya di tempat kerja (Heinz F dkk,


2006).
Sistem ventilasi pengenceran udara, sebagai sebuah metode
untuk melindungi pekerja, dengan keterbatasannya sebagai berikut
(Heinz F dkk, 2006) :
1) Tidak sepenuhnya menghapus kontaminan.
2) Tidak bisa digunakan untuk bahan kimia sangat beracun.
3) Tidak efektif untuk debu atau uap logam, dengan jumlah yang besar.
4) Memerlukan jumlah besar makeup udara yang akan dipanaskan atau
didinginkan.
5) Tidak efektif untuk menangani uap atau emisi tidak teratur.
d. Waktu paparan

Faktor lama paparan dalam sehari merupakan salah satu faktor risiko

dalam terjadinya gangguan faal paru pekerja. Suma’mur (2013),

menyatakan bahwa semakin lama masa kerja seseorang, maka semakin

tinggi pula tingkat risiko dalam terjadinya gangguan faal paru.

Seseorang yang bekerja dengan baik dalam sehari pada umumnya

hanya sekitar 6 – 10 jam. Sisanya (14- 18 jam) dipergunakan untuk kegiatan

sehari-hari seperti bersosialisasi dengan keluarga, masyarakat, istirahat, tidur

dan lain – lain. Memperpanjang waktu kerja lebih dari kemampuan lama

kerja tersebut biasanya tidak disertai efisiensi, efektivitas, dan produktivitas

kerja yang optimal, bahkan biasanya terlihat penurunan kualitas dan hasil

kerja serta bekerja dengan waktu yang berkepanjangan timbul


16

kecenderungan untuk terjadi kelelahan, gangguan kesehatan, penyakit dan

dapat terjadi kecelakaan kerja ( Suma’mur, 2009).

e. Penggunaan APD (alat pelindung diri)

Alat pelindung diri adalah alat yang mampu melindungi seseorang

saat bekerja dan menimalkan terjadinya paparan zat berbahaya saat berada

ditempat kerja. Perusahaan harus menyediakan APD untuk pekerja dan harus

memenuhi Standar Negara Indonesia (SNI). Jenis APD sesuai standar

menurut peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik

Indonesia Nomor PER.08/MEN/VII/2010 tentang APD: Alat pelindung kaki,

alat pelindung pernapasan, alat pelindung tangan, alat pelindung mata, dan

pakaian pelindung (Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2016).

Para pekerja batu bata sangat memerlukan APD untuk digunakan

sehari-hari yang dapat disesuaikan di bagian mana pekerja tersebut bekerja.

Seperti penelitian yang dilakukan oleh wahyuni dan ekawati:

1) proses persiapan bahan baku, pencampuran bahan, dan pencetakan batu

bata memerlukan APD berupa: tutup kepala (caping, topi) dan baju kerja

lengan panjang untuk mengurangi paparan panas matahari dan masker

berguna untuk menghindari paparan debu.

2) Pada proses pengeringan, pengangkutan, dan penyusunan batu bata yang

telah kering menjadi semacam bangunan piramid, dapat menggunakan

APD berupa: tutup kepala (caping,topi) dan baju panjang untuk


17

mengurangi paparan panas matahari serta sepatu yang tertutup (sepatu

boot) berguna untuk melindungi kaki dari luka yang diakibatkan

tersandung atau terkena benda tajam.

3) Pada proses pembakaran sebaiknya pekerja menggunakan APD berupa:

tutup kepala (topi, caping), masker, baju panjang, sepatu boot dan sarung

tangan.

Paparan debu dapat menyebabkan gangguan pernapasan akut maupun

kronis. Partikel debu yang dapat mengakibatkan gangguan pernapasan akut

salah satunya adalah hasil industri yang dapat mencemari udara seperti debu

batu bara, semen, kapas, asbes, zat-zat kimia, gas beracun, debu pada

penggilingan padi (debu organik) dan lain-lain. Berbagai faktor berpengaruh

terhadap timbulnya penyakit atau gangguan pada saluran napas akibat debu.

Faktor itu antara lain adalah faktor debu yang meliputi partikel, bentuk,

konsentrasi, daya larut dan sifat kimiawi serta lama paparan. Faktor

individual meliputi mekanisme pertahanan paru, anatomi dan fisiologi

saluran pernapasan (Depkes, 2005).

B. Debu

1. Definisi Debu

Debu adalah zat kimia padat, yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan

alami atau mekanis seperti pengolahan,penghancuran, pelembutan, pengepakan

yang cepat, peledakan, dan lain-lain dari benda, baik organik maupun anorganik
18

(Suma’mur, 2009). Menurut Departemen Kesehatan RI (2003) debu ialah

partikel-partikel kecil yang dihasilkan oleh proses mekanis. Jadi, pada dasarnya

pengertian debu adalah partikel yang berukuran kecil sebagai hasil dari proses

alami maupun mekanik.

2. Sifat-sifat debu
Menurut Departemen Kesehatan RI yang dikutip oleh Sitepu (2002),

partikel-partikel debu di udara mempunyai sifat:

a. Sifat pengendapan

Sifat pengendapan adalah sifat debu yang cenderung selalu mengendap

karena gaya gravitasi bumi. Namun karena kecilnya ukuran debu, kadang-

kadang debu ini relatif tetap berada di udara.

b. Sifat permukaan basah

Sifat permukaan debu akan cenderung selalu basah, dilapisi oleh lapisan air

yang sangat tipis. Sifat ini penting dalam pengendalian debu dalam tempat

kerja.

c. Sifat penggumpalan

Oleh karena permukaan debu selalu basah, sehingga dapat menempel satu

sama lain dan dapat menggumpal. Turbulensi udara meningkatkan

pembentukan penggumpalan debu. Kelembaban di bawah saturasi, kecil

pengaruhnya terhadap penggumpalan debu. Kelembaban yang melebihi

tingkat huminitas di atas titik saturasi mempermudah penggumpalan debu.


19

Oleh karena itu partikel debu bias merupakan inti dari pada air yang

berkonsentrasi sehingga partikel menjadi besar.

d. Sifat listrik statis

Debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat menarik partikel lain

yang berlawanan. Dengan demikian, partikel dalam larutan debu

mempercepat terjadinya proses penggumpalan.

e. Sifat optis

Debu atau partikel basah atau lembab lainnya dapat memancarkan sinar

yang dapat terlihat dalam kamar gelap.

Partikel debu yang berdiameter lebih besar dari 10 mikron

dihasilkan dari proses-proses mekanis seperti erosi angin, penghancuran

dan penyemprotan , dan pelindasan benda-benda oleh kendaraan atau

pejalan kaki. Partikel yang berdiameter antara 1-10 mikron biasanya

termasuk tanah dan produk-produk pembakaran dari industri lokal. Partikel

yang mempunyai diameter 0,1-1 mikron terutama merupakan produk

pembakaran dan aerosol fotokimia (Fardiaz, 1992).

Polutan partikel masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui

sistem pernapasan, oleh karena itu pengaruh yang merugikan terutama

terjadi pada sistem pernapasan. Faktor lain yang paling berpengaruh

terhadap sistem pernapasan terutama adalah ukuran partikel, karena ukuran

partikel yang menentukan seberapa jauh penetrasi partikel ke dalam

pernapasan. Debu-debu yang berukuran 5-10 mikron akan ditahan oleh


20

jalan pernapasan bagian atas, sedangkan yang berukuran 3-5 mikron

ditahan oleh bagian tengah jalan pernapasan (Yunus, 1997).

American Lung Association membagi penyakit paru akibat kerja

mejadi dua kelompok besar : Pneumokoniosis disebabkan karena debu

yang masuk ke dalam paru serta penyakit hipersensitivitas seperti asma

yang disebabkan karena reaksi yang berlebihan terhadap polutan di udara

(Suma‟mur, 2009).

Menurut Suma‟mur (1996), debu yang dapat menimbulkan

ganggguan kesehatan bergantung dari :

1) Solubility

Jika bahan-bahan kimia penyusun debu mudah larut dalam air, maka

bahan- bahan itu akan larut dan langsung masuk ke pembuluh darah

kapiler alveoli. Apabila bahan-bahan tersebut tidak mudah larut, tetapi

ukurannya kecil, maka partikel-partikel itu dapat memasuki dinding

alveoli, lalu ke saluran limpa atau ke ruang peri bronchial menuju ke

luar bronchial oleh rambut-rambut getar di kembalikan ke atas.

2) Komposisi kimia debu

a) Inert dust

Golongan debu ini tidak menyebabkan kerusakan atau

reaksi fibrosis pada paru. Efeknya sangat sedikit atau tidak ada

sama sekali pada penghirupan normal.

b) Poliferal dust
21

Golongan debu ini di dalam paru akan membentuk

jaringan parut atau fibrosis. Fibrosis ini akan membuat pengerasan

pada jaringan alveoli sehingga mengganggu fungsi paru. Debu

golongan ini menyebabkan fibrocytic pneumoconiosis,

contohnya : debu silika, asbestosis, kapas, berilium dan

sebagainya.

c) Tidak termasuk inert dust dan poliferatif dust

Kelompok debu ini merupakan kelompok debu yang tidak

tahan di dalam paru, namun dapat ditimbulkan efek iritasi yaitu

debu yang bersifat asam atau asam kuat.

3. Sumber debu
Debu yang terdapat di dalam udara terbagi dua, yaitu deposite particulate

matter adalah partikel debu yang hanya berada sementara di udara, partikel ini

segera mengendap karena ada daya tarik bumi. Suspended particulate matter

adalah debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap (Yunus,

1997). Sumber-sumber debu dapat berasal dari udara, tanah, aktivitas mesin

maupun akibat aktivitas manusia yang tertiup angin.


BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konsep Penelitian

LINGKUNGAN KERJA
PEMBUATAN BATU BATA

PAPARAN DEBU DI AREA KERJA


(LINGKUNGAN KERJA)

ADA TIDAKNYA FAKTOR RISIKO


DEBU:
FAKTOR
YANKES

FAKTOR
PERILAKU Gangguan Pada FAKTOR
Saluran Napas Akut KETURUNAN
Pemakaian APD atau Bawah

Keterangan :
: Variabel yang tidak diteliti
: Variabel yang diteliti

Gambar III.1. Kerangka Konsep Penelitian Tentang Hubungan Paparan Debu


Dengan Prevalensi ISPA Pasien dari Desa Tawangsari di Puskesmas
Tawangsari

22
23

Penjelasan Kerangka Konsep Penelitian

Dari kerangka konsep penelitian diatas dapat diketahui bahwa kejadian

ISPA terjadi akibat paparan debu di area kerja yang mempunyai faktor-

faktor resiko yang ditimbulkan karena kegiatan pembuatan batu bata.

Faktor-faktor seperti konsentrasi debu, jenis debu, waktu lamanya paparan

debu di tempat kerja serta pengenceran paparan debu. Selain itu ada

beberapa faktor pula yang dapat menyebabkan kejadian ISPA seperti faktor

yankes atau pelayanan kesehatan, faktor perilaku seperti penggunaan APD

dan faktor keturunan yang dapat menyebabkan gangguan pada saluran napas

akut. Dari faktor-faktor diatas yang diteliti adalah faktor-faktor resiko di

lingkungan kerja dan yang tidak diteliti adalah faktor yankes, faktor perilaku

dan faktor keturunan.

B. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disusun hipotesis penelitian

sebagai berikut:

Ada hubungan antara paparan debu dengan prevalensi ISPA pada pasien

pembuat batu bata dari Desa Tawangsari wilayah kerja Puskesmas

Tawangsari, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, 2020.


BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian Observasional yang

mengkaji hubungan antara paparan debu dengan kejadiann ISPA pada

pekerja batu bata dari desa Tawangsari di Puskesmas Tawangsari tahun

2020.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi penelitian

Populasi penelitian ini adalah pasien dari Desa Tawangsari di

Puskesmas Tawangsari dan tercatat dalam rekmedik puskesmas tahun

2020.

2. Besar sampel

Penentuan besar sampel pada penelitian ini menurut Slovin (Sevilla

et. al., 1960) dengan rumus sebagai berikut :

N
n=
1+ Nα 2

Keterangan :

n : besar sampel

N: besar populasi

24
25

α : tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki (ditetapkan

oleh peneliti) → 0,1

Sehingga besar sampel penelitian ini dapat dihitung :

N
n= 2
1+ N (α )

375
¿
1+375 (0,1)2

375
¿
4,75

¿ 78,9

Jadi dalam penelitian ini diperlukan sampel dibulatkan menjadi

sebanyak 79 orang.

Kriteria inklusi :

a) Semua pasien yang berasal dari Desa Tawangsari yang tercatat

pada lembar rekam medik di Puskesmas Tawangsari Kab.

Mojokerto tahun 2020.

b) Rekam medis Puskesmas Tawangsari Kab. Mojokerto tahun 2020

lengkap dengan menyebutkan asal dari Desa Tawangsari , dan

jenis pekerjaannya.

Kriteria ekslusi :

a) Lembar rekam medik dengan diagnosis ISPA tahun 2020 yang

sulit atau menimbulkan keraguan saat dibaca .


26

3. Teknik pengambilan Sampel

Penelitian ini menggunakan teknik simple random sampling dengan

mengambil secara acak sederhana semua rekam medis pasien di Puskesmas

Tawangsari Mojokerto yang berasal dari Desa Tawangsari tahun 2020 dan

memenuhi kriteria inklusi sebanyak 79 pasien.

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi penelitian

Lokasi Penelitian dilakukan di Puskesmas Tawangsari Desa

Tawangsari Kecamatan Trowulan Kab. Mojokerto

2. Waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2020.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas

Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah paparan debu.

2. Variabel terikat

Variabel terikat yang digunakan dalam penelitian ini adalah prevalensi ISPA.
27

E. Definisi Operasional

Teknik Skala
No Variabel Definsi Operasional Kategori/Kriteria
pengukuran Data
Semua pasien 1 = Ya : bila Data rekam
dengan paparan bekerja sebagai medis
debu batu bata pembuat batu bata Puskesmas
karena 2 = Tidak: bila 2018-2020
Paparan
1 pekerjaannya di tidak bekerja Nominal
debu
Desa Tawangsari sebagai pembuat
dengan kategori : batu bata
1. Ya (Terpapar)
2. Tidak
Radang akut pada saluran Data rekam
pernapasan dengan 1 = Ya: bila medis
2 ISPA kategori: didiagnosis ISPA Puskesmas Nominal
1. Ya (ISPA) 2 = Tidak : tidak 2018-2020
2. Tidak (tidak ISPA) didiagnosis ISPA

F. Bahan dan Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah rekam medik

Puskesas Tawangsari tahun 2020.

Alat yang digunakan adalah alat tulis kantor.

G. Jenis Data

Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder

adalah data yang diperoleh dari pihak lain, tidak langsung diperoleh peneliti

dari subyek penelitian (Sugiyono, 2012). Dimana data sekunder didapat dari

hasil rekam medik Puskesmas Tawangsari dengan pasien yang berasal dari

Desa Tawangsari.
28

H. Pengumpulan dan Pengolahan Data

Cara pengumpulan data yaitu dengan menggunakan data sekunder.

Data diperoleh dengan mengumpulkan semua lembar rekam medik pasien

yang berasal dari Desa Tawangsari di Puskesmas Tawangsari tahun 2020.

Data diolah dengan menggunakan program pengolahan data statistik

SPSS. Hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk tabel.

I. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji Chi Square untuk

menguji hipotesis sebagai berikut:

Ho. : Tidak ada hubungan antara pekerjaan pembuat batu bata

dengan kejadian ISPA pada pasien dari Desa Tawangsari di

Puskesmas Tawangsari tahun 2020

H1 : Ada hubungan antara pekerjaan pembuat batu bata dengan

kejadian ISPA pada pasien dari desa Tawangsari di Puskesmas

Tawangsari tahun 2020


BAB V

HASIL PENELITIAN

A. Karakteristik Pasien

Dari hasil pengumpulan data diperoleh 79 pasien yang memenuhi

kriteria inklusi seperti tercantum dalam tabel berikut.

1. Usia pasien

Tabel V.1 Distribusi Frekuensi Usia Pasien dari Desa Tawangsari di


Puskesmas Tawangsari tahun 2020

Karakteristik Persentase
Frekuensi (f)
%
Usia
≤ 44 Tahun 64 81.0
45 – 49 Tahun 12 15.2
≥ 50 Tahun 3 3.8
Total 79 100
Sumber : Data sekunder 2020

Berdasarkan hasil tabel V.1 diketahui bahwa usia pasien


Puskesmas Tawangsari dari tahun 2020 memiliki rentang antara
sekitar 44 – 50 tahun dengan usia terbanyak di bawah 44 tahun
sebanyak 81,0%.

2. Jenis kelamin pasien

Tabel V.2: Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Pasien dari Desa


Tawangsari di Puskesmas Tawangsari tahun 2020

Karakteristik Frekuensi Persentase


%

Jenis Kelamin
Laki-Laki 59 74.7
Perempuan 20 25.3
Total 79 100

29
30

Sumber : Data sekunder 2020

Berdasarkan hasil tabel V.2 diketahui bahwa jenis kelamin

pasien Puskesmas Tawangsari dari tahun 2020 memiliki pekerja

dengan jenis kelamin paling banyak adalah laki – laki dengan jumlah

74,7 %.

3. Jenis pekerjaan pasien

Tabel V.3: Distribusi Frekuensi Jenis Pekerjaan Pasien dari Desa


Tawangsari di Puskesmas Tawangsari tahun 2020

Pembuat Frekuensi (F) Presentase%


batu bata
Ya 59 74.7
Tidak 20 25.3
Total 79 100.0

Sumber : Data Sekunder 2020

Berdasarkan hasil tabel V.3 diketahui bahwa pekerjaan pasien Puskesmas

Tawangsari dari tahun 2020 paling banyak adalah pekerja pembuat batu bata

yaitu sebanyak 74.7 %.

4. Prevalensi ISPA

Tabel V.4: Distribusi Frekuensi Prevalensi ISPA Pasien dari Desa


Tawangsari di Puskesmas Tawangsari tahun 2020

ISPA Frekuensi (F) Presentase%


Ya 57 72.2
Tidak 22 27.8
Total 79 100.0
Sumber : Data Sekunder 2020
31

Berdasarkan hasil tabel V.4 diketahui bahwa banyaknya pasien

Puskesmas Tawangsari dari tahun 2020 yang terkena ISPA sebanyak

72.2%.

B. Analisis

Analisis digunakan untuk menguji hipotesis statistik sebagai berikut:

Ho. : Tidak ada hubungan antara paparan debu batu bata dengan ISPA

H1. : Ada hubungan antara paparan debu batu bata dengan ISPA

Tabel V.5: Prevalensi ISPA menurut Paparan Debu Batu Bata di


Puskesmas Tawangsari pada tahun 2020

ISPA P
Paparan Ya Tidak Jumlah
Debu N % N % N %
Ya 5 9 2 3 5 1 0.000

7 6, , 9 0
6 6 0
Tidak 5 3 1 6 2 1
3, 5 6 0 0
3 , 0
7
Total 6 7 1 2 7 1
2 8. 7 1 9 0
5 . 0
5
Sumber :oleh data SPSS 2020
32

Tabel V.5 menunjukkan bahwa pada tahun 2018-2020 pasien dari Desa

Tawangsari 78,5 diantaranya menderita ISPA. Dari kelompok pasien yang

terpapar debu batu bata di desa Tawangsari 96,6% diantaranya menderita

ISPA, sedangkan yang tidak terpapar 33,3% menderita ISPA. Perbedaan ini

ditunjang oleh hasil uji statistik metode Chi Square dengan p = 0,000 lebih

kecil dari 0,05, sehingga Ho ditolak atau ada hubungan yang bermakna

antara paparan debu batu bata dengan prevalensi terjadinya ISPA


BAB VI
PEMBAHASAN

Pembahasan ini akan menguraikan makna hasil penelitian yang dilakukan

tentang hubungan antara paparan debu batu bata dengan kejadian ISPA pada pasien

dari Desa Tawangsari di Puskesmas Tawangsari, Kecematan Trowulan, Kabupaten

Mojokerto tahun 2020. Pembahasan ini mencakupi hasil penelitian dengan konsep

teoritis dari penelitian sebelumnnya.

ISPA adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya menular,

yang dapat menimbulkan berbagai macam penyakit, dari penyakit tanpa gejala atau

infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan. ISPA didefenisikan

sebagai penyakit saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh agen infeksius yang

ditularkan dari manusia kemanusia. Timbulnya gelaja biasanya cepat, yaitu dalam

waktu beberapa jam sampai beberapa hari. Gejalanya meliputi demam, batuk, dan

sering juga nyeri tenggorok, coryza (pilek), sesak napas, mengi, atau kesulitan

bernapas (Masriadi, 2017).

Paparan debu dapat menyebabkan gangguan pernapasan akut maupun kronis.

Partikel debu yang dapat mengakibatkan gangguan pernapasan akut salah satunya

adalah hasil industri yang dapat mencemari udara seperti debu batu bara, semen,

kapas, asbes, zat-zat kimia, gas beracun, debu pada penggilingan padi (debu organik)

dan lain-lain (Depkes, 2015). Debu adalah zat kimia padat, yang disebabkan oleh

kekuatan-kekuatan alami atau mekanis seperti pengolahan,penghancuran,

pelembutan, pengepakan yang cepat, peledakan, dan lain-lain dari benda, baik

33
34

organik maupun anorganik (Suma’mur, 2009). Menurut Departemen Kesehatan RI

(2003) debu ialah partikel-partikel kecil yang dihasilkan oleh proses mekanis. Jadi,

pada dasarnya pengertian debu adalah partikel yang berukuran kecil sebagai hasil

dari proses alami maupun mekanik.

A. Hubungan Paparan Debu Batu Bata Dengan Kejadian ISPA Pada Pasien Dari

Desa Tawangsari Di Puskesmas Tawangsari, Kecamatan Trowulan, Kabupaten

Mojokerto, 2020.

Menurut WHO, ISPA adalah penyakit menular dari saluran pernapasan atas

atau bawah yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit berkisar dari

infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada patogen

penyebabnya, faktor pejamu dan faktor lingkungan. Lingkungan berperan penting

terhadap terjadinya gangguan pernapasan (Ardiyanto et all, 2012). Indonesia, data

prevalensi kejadian ISPA pada kelompok orang dewasa belum tersedia. 3,9

Kebiasaan merokok merupakan faktor predisposisi atau faktor pendukung. Sanitasi

lingkungan yang buruk dengan diikuti aktivitas yang buruk pula akan

mengakibatkan kualitas udara semakin tercemar.

Hasil penelitian ini menunjukan 79 responden menunjukkan bahwa pada tahun

2018-2020 pasien dari Desa Tawangsari 78,5 diantaranya menderita ISPA. Dari

kelompok pasien yang terpapar debu batu bata di desa Tawangsari 96,6%

diantaranya menderita ISPA, sedangkan yang tidak terpapar 33,3% menderita ISPA.

Dan dalam penelitian ini diperoleh nilai signifikan = 0,000 (P < 0,005), artinya Ho

di tolak atau ada huungan yang bermakna antara paparan debu batu bata dengan

terjadinya ISPA.
35

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Purnamasari ,Y. 2015 Hasil penelitian

menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara paparan debu dengan kejadian

gangguan saluran pernapasaan di Kelurahan Kairagi Satu Lingkungan 3 Kota

Manado. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden. berdasarkan hasil analisis

statistik tersebut di dapatkan adanya hubungan antara paparan debu dengan

kejadian gangguan saluran pernapasan di Kelurahan Kairagi Satu Lingkungan 3

Kota Manado.

Hikmawati (2013), paparan debu adalah partikel debu yang dihirup masyarakat

di luar ruangan maupun di dalam ruangan, paparan debu dapat menggangu saluran

pernapasan pekerja, seperti debu. Faktor lingkungan yang mempengaruhi gangguan

saluran pernapasan adalah paparan debu di lingkungan kerja. Bangunan yang sempit

dan tidak sesuai dengan jumlah pekerja akan berdampak berkurangnya O2 dalam

ruangan yang menyebabkan daya tahan tubuh menurun, sehingga mempercepat

timbulnya penyakit gangguan saluran pernapasan.

Dalam hal ini penggunaan APD dapat melindungi seseorang saat bekerja dan

menimalkan terjadinya paparan zat berbahaya saat berada ditempat kerja. APD Jenis

APD sesuai standar menurut peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Republik Indonesia Nomor PER.08/MEN/VII/2010 tentang APD: Alat pelindung

kaki, alat pelindung pernapasan, alat pelindung tangan, alat pelindung mata, dan

pakaian pelindung (Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2016).


BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil chi-square menunjukan bahwa hipotesis penelitian mengenai

hubungan antara pekerja batu bata dengan kejadian ISPA di Puskesmas

Tawangsari, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, 2020, yaitu:

1. Ada hubungan antara paparan debu batu bata dengan kejadian ISPA di

Puskesmas Tawangsari, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, 2020

dengan hasil (P=0,0000).

2. Ada hubungan antara pekerja batu bata dengan kejadian ISPA di Puskesmas

Tawangsari, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, 2020 dengan hasil

(P=0,000).

3. Ada hubungan antara paparan debu batu bata dengan prevalensi terjadinya

ISPA di Puskesmas Tawangsari, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto,

2020 dengan hasil (P=0,000).

B. Saran

1. Penderita ISPA hendak menggunakan apd sebelum bekerja untuk mengurangi

angka kejadian ISPA.

2. Bagi pemilik pembuat batu bata memperhatikan pekerjanya terutama pada

penggunaan apd, sebaiknya di sediakan apd buat para pekerja,dan menjaga

kebersihan penggilingannya agar pekerja menjadi nyaman saat bekerja.

36
37

LAMPIRAN

LEMBAR PENGAMBILAN DATA

A. No. Sampel :
No.Rekam Medis :
B. Data Rekam Medis
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Alamat :
Pendidikan :
Riwayat Kebiasaan :
- Merokok : YA/TIDAK
- Penggunaan APD : YA/TDAK
DAFTAR PUSTAKA

Behrman, R. E. (1999). Nelson Ilmu kesehatan Anak Volume 1 Edisi 15. Jakarta: EGC

Buchari (2007), Kebisingan Industri dan Hearing Conservation Program, Repository USU

Departement Kesehatan RI. Pharmacheutical Care untuk penyakit Infeksi Saluran Pernapasan.
Jakarta : Ditjen Bina Kefarmasian dan alat kesehatan RI ; 2005

Frick Heinz, Ardiyanto A dan Darmawan AMS. 2006. Ilmu Fisika Bangunan: Pengantar
pemahaman cahaya, kalor, kelembapan, iklim, gempa bumi, bunyi, dan kebakaran.
Semarang.

Gagarani, Y. (2015). Hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan pengelolaan awal
infeksi saluran pernapasan akut pada anak, skripsi. Denpasar. Universitas Udayana.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Promosi Kesehatan Di Daerah


Bermasalah Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Marni, S. (2014). Asuhan Keperawatan pada anak dengan gangguan pernapasan.skripsi,


Yogyakarta : Gosyen Publising. Diakses pada tanggal 14 agustus 2019, dari
http://eprints.umc.ac. id

Masriadi. (2017). Hubungan Merokok dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Wilayah Kerja
Puskesmas Bangko Kecamatan Bangko Kabupaten Merangin Provinsi Jambi.

Short S dkk. 2017. Health Care Guideline: Diagnosis and Treatment of Respiratory Illness in
Children and Adults. Institute for Clinical Systems Improvement.

Suma’mur. 2000. Hiegiene Perusahaan dan Keselaamatan Kerja. Jakarta : CV Sagung Seto

Susanto, A. D. (2012). Rokok Elektronik (Electronic Cigarette). Jurnal Respirasi Indonesia,


32(1), 53-61.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. (2010). [Internet].
Diakses pada 9 Maret 2010.

Wahyuni Ida dan Ekawati. 2016. Analisis Bahaya dan Penilaian Kebutuhan APD pada
Pekerja Pembuat Batu Bata di Demak, Jawa Tengah. Semarang. Vol.10, No.1.

World Health Organization. Pencegahan dan Pengendalian infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA) yang cenderung menjadi epidemi dan pandemi di fasilitas pelayanan
kesehatan ; 2007 (di unduh 6 september 2015)

38
39

BERITA ACARA PERBAIKAN


Kegiatan / laporan : Laporan Penelitian
N Uraian Perbaikan Yang Keterangan Paraf
O Diharapkan
1 Latar belakang Dilengkapi Sudah
dilengkapi
2 Tujuan khusus Dilengkapi Sudah
dilengkapi
3 Tinjauan Dilengkapi Sudah
Pustaka dilengkapi
4 Kerangka Dilengkapi Sudah
Konsep dilengkapi
5 Hipotesis Dilengkapi Sudah
Penelitian dilengkapi
6 Hipotesis Dilengkapi Sudah
Statistik dilengkapi
7 Kesimpulan Dilengkapi Sudah
dilengkapi
8 Perbaikan Dilengkapi Sudah
Penulisan dilengkapi
Judul : Hubungan Paparan Debu Batu Bata Dengan
Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Atas Pada
Pasien Dari Desa Tawangsari Di Puskesmas
Tawangsari , Kecamatan Trowulan, Kabupaten
Mojokerto 2020
Nama yang memberikan revisi : Ayu C. Noviana, dr.,M.KKK
Tanggal presentasi : 17 Juni 2020
Tempat presentasi : Daring Zoom

Penguji I
Prof. H.Didik Sarudji, M.Sc : .......................................................
NIDK : 889030016
Penguji II
Dr. Sugiharto, dr.Mkes (MARS) : .......................................................
NIDN : 070310711004
Pembimbing
Ayu C. Noviana, dr.,M.KKK : .......................................................
40

NIDN : 0707116903
41

BERITA ACARA PERBAIKAN


Kegiatan / laporan : Laporan Penelitian
N Uraian Perbaikan Yang Keterangan Paraf
O Diharapkan
1 Perbaikan Dilengkapi Sudah
Penulisan dilengkapi
2 Perbaikan Judul Dilengkapi Sudah
dilengkapi
3 Kerangka Dilengkapi Sudah
Konsep dilengkapi
4 Metode Dilengkapi Sudah
Penelitian dilengkapi
5 Definisi Dilengkapi Sudah
Operasional dilengkapi
6 Pembahasan Dilengkapi Sudah
dilengkapi
7 Kesimpulan dan Dilengkapi Sudah
Saran dilengkapi
Judul : Hubungan Paparan Debu Batu Bata Dengan
Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Atas Pada
Pasien Dari Desa Tawangsari Di Puskesmas
Tawangsari , Kecamatan Trowulan, Kabupaten
Mojokerto 2020
Nama yang memberikan revisi : Prof. H. Didik Sarudji, M.Sc
Tanggal presentasi : 17 Juni 2020
Tempat presentasi : Daring Zoom

Penguji I
Prof. H.Didik Sarudji, M.Sc : .......................................................
NIDK : 889030016
Penguji II
Dr. Sugiharto, dr.Mkes (MARS) : .......................................................
NIDN : 070310711004
Pembimbing
Ayu C. Noviana, dr.,M.KKK : .......................................................
NIDN : 0707116903
42
43

BERITA ACARA PERBAIKAN


Kegiatan / laporan : Laporan Penelitian
N Uraian Perbaikan Yang Keterangan Paraf
O Diharapkan

1 Perbaikan Judul Dilengkapi Sudah


dilengkapi
2 Perbaikan Dilengkapi Sudah
Penulisan dilengkapi
3 Kesimpulan dan Dilengkapi Sudah
Saran dilengkapi
Judul : Hubungan Paparan Debu Batu Bata Dengan
Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Atas Pada
Pasien Dari Desa Tawangsari Di Puskesmas
Tawangsari , Kecamatan Trowulan, Kabupaten
Mojokerto 2020
Nama yang memberikan revisi : Dr. Sugiharto, dr.Mkes (MARS)
Tanggal presentasi : 17 Juni 2020
Tempat presentasi : Daring Zoom

Penguji I
Prof. H.Didik Sarudji, M.Sc : .......................................................
NIDK : 889030016
Penguji II
Dr. Sugiharto, dr.Mkes (MARS) : .......................................................
NIDN : 070310711004
Pembimbing
Ayu C. Noviana, dr.,M.KKK : .......................................................
NIDN : 0707116903

Anda mungkin juga menyukai