Anda di halaman 1dari 40

 

  BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
 
II.1.  Definisi Desa
Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum Negara Kesatuan
 
Republik Indonesia terbentuk. Hal tersebut didasarkan pada penjelasan Pasal 18
  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum perubahan
yang
  menyebutkan bahwa:

  “Dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende


landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali,
  Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya.
Daerah-daerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya dapat
dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia
menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala
peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak
asal usul daerah tersebut” (Penjelasan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa)
[8].
Menurut Bastian (2015), Desa adalah sebuah aglomerasi pemukiman di area
pedesaan yang memiliki nama, letak, dan batas-batas wilayah yang bertujuan untuk
membedakan antara desa yang satu dengan desa yang lain agar memudahkan
pengaturan sistem pemberintahannya. R. Bintarto (1977) mendefinisikan Desa
sebagai perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografis, sosial,
ekonomis politik, serta kultural setempat dalam hubungan dan pengaruh timbal
balik dengan daerah lain. Sedangkan S. Kartohadikusumo (1965) mendefinisikan
Desa sebagai kesatuan hukum tempat tinggal suatu masyarakat yang berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri yaitu pemerintahan terendah di bawah
Camat [9]. Sesuai dengan pengertian Desa menurut S. Kartohadikusumo, secara
administratif Desa berkedudukan di bawah Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal
tersebut dijelaskan dalam pasal 18 ayat (1) UUD 1945 bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia hanya dibagi atas dua pemerintahan daerah otonom yaitu
pemerintahan daerah Provinsi dan pemerintahan daerah Provinsi dibagi atas
pemerintahan daerah Kabupaten/Kota. Walaupun demikian, Desa bukan bagian
dari struktur Pemerintah Kabupaten/Kota karena Desa memiliki hak-hak tradisional
yang dihormati dan diakui oleh Negara sebagaimana dipaparkan dalam perubahan

  II-1
  II-2

 
UUD 1945 pasal 18B ayat (2). Hak dan kewenangan khusus untuk mengurus urusan
 
masyarakat sesuai dengan hak asal-usul dan adat istiadat yang masih hidup
 
tersebutlah yang membedakan desa dengan kelurahan (Mardeli, 2015) [10].
  Menurut Eko (2015) [11], selama ini kekuatan supradessa yaitu negara dan

  modal tidak mengakui dan menghormati Desa sebagai “negara kecil” yang
mempunyai wilayah, kekuasaan, pemerintahan, institusi lokal, penduduk, rakyat,
 
warga, masyarakat, tanah, dan sumber daya ekonomi. Keduanya menempatkan
 
Desa sebagai unit administratif, atau sebagai pemerintahan semu yang menjadi
 
kepanjangan tangan negara. Dalam sejarah pengaturan Desa, telah ditetapkan
  beberapa pengaturan tentang Desa (BPKP, 2015) [12] yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah
4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja Sebagai Bentuk
Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh
Wilayah Republik Indonesia
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang PokokPokok Pemerintahan di
Daerah
6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Diantara peraturan perundang-undangan sebagaimana dipaparkan di atas, UU
Nomor 5 Tahun 1979 merupakan regulasi yang tidak menempatkan desa secara
utuh sebagai kesatuan masyarakat hukum melainkan desa sebagai unit administrasi
pemerintahan terendah di bawah Camat yang bertugas mengeluarkan surat
rekomendasi izin usaha yang dibutuhkan oleh investor. Lebih lanjut lagi Sutoro
menjelaskan bahwa UU Nomor 22 Tahun 1999 maupun UU No. 32 Tahun 2004
sama sekali tidak menguraikan dan menegaskan asas pengakuan dan penghormatan
terhadap desa atau yang disebut nama lain (Eko, 2015) [11]. Hal tersebut tidak

 
  II-3

 
sesuai dengan UUD 1945 pasal 18 B ayat 2 sebagaimana telah dipaparkan
 
sebelumnya.
 
Pada tahun 2014, pemerintah menetapkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang
Desa.
  Dengan berlakunya undang-undang tersebut, aturan tentang Desa dibuat

  terpisah dari dengan Pemerintah Daerah. Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014


tentang desa, yang dimaksud dengan Desa adalah desa dan desa adat atau yang
 
disebut dengan nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas
 
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
 
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,
  dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia [8]. Berlakunya UU Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa menghadirkan harapan baru bagi Desa agar Desa dapat memiliki
kewenangan yang lebih luas dalam mengelola pemerintahannya maupun sumber
daya ekonomi yang dimilikinya. Kewenangan yang dimiliki oleh desa sebagaimana
terdapat dalam pasal 18 Undang-undang No. 6 Tahun 2014 terdiri dari kewenangan
di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa,
pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa. Kewenangan yang
dimiliki oleh desa sebagaimana dipaparkan dalam pasal 19 Undang-undang No. 6
Tahun 2014 meliputi:
a. kewenangan berdasarkan hak asal usul;
b. kewenangan lokal berskala Desa;
c. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan
d. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. [8]
Tidak hanya pengakuan terhadap kewenangan desa, UU No. 6 Tahun 2014
tentang Desa telah menempatkan desa sebagai organisasi campuran (hybrid) antara
masyarakat berpemerintahan (self governing community) dengan pemerintahan
lokal (local self government), sehingga desa berbentuk pemerintahan masyarakat
atau pemerintahan berbasis masyarakat. Eko (2015) [11] menjelaskan bahwa Desa
tidak identik dengan pemerintah desa dan kepala desa. Desa mengandung

 
  II-4

 
pemerintahan dan sekaligus mengandung masyarakat sehingga membentuk
 
kesatuan (entitas) hukum. Selain itu, dengan ditetapkannya UU No. 6 Tahun 2014,
 
pemerintah menerapkan asas rekognisi yaitu mengakui dan menghormati terhadap
keragaman
  desa, kedudukan, kewenangan, dan hak asal usul maupun susunan
  pemerintahan. Penerapan asas rekognisi tersebut juga disertai dengan penerapan
asas subsidiaritas. Asas subsidiaritas berlawanan dengan asas residualitas yang
 
selama ini diterapkan dalam UU No. 32 tahun 2004. Asas residualitas yang
 
mengikuti asas desentralisasi menegaskan bahwa seluruh kewenangan dibagi habis
  pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan terakhir di tangan pemerintah
antara
  kabupaten/kota. Dengan asas desentralisasi dan residualitas itu, desa ditempatkan
dalam sistem pemerintahan kabupaten/kota, yang menerima pelimpahan sebagian
(sisa-sisa) kewenangan dari bupati/walikota (Eko, 2015) [11].
Menurut Mardeli (2015) [10], dengan adanya pengakuan terhadap hak asal
usul berarti desa diakui keberadaannya oleh negara sebagai suatu organisasi
pemerintahan yang sudah ada dan dilakukan dalam kesatuan masyarakat adat
sebelum lahirnya NKRI. Mardeli melanjutkan penjelasannya bahwa sebagai
kesatuan masyarakat adat, desa diakui keberadaannya oleh Negara sebagai satuan
pemerintahan yang paling kecil dan terlibat bagi terbentuknya Negara, sehingga
desa dibiarkan tumbuh dan berkembang diluar susunan Negara. Desa mempunyai
kedudukan yang sederajat dan sama pentingnya dengan kesatuan pemerintahan
seperti kabupaten dan kota. Walaupun desa dibiarkan tumbuh dan berkembang
diluar susunan Negara, namun dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan
desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan
pemberdayaan masyarakat desa harus berdasarkan pada Pancasila, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagaimana tercantum dalam UU Desa Pasal
2 [8].

II.2. Definisi Keuangan Desa


Keuangan desa menurut UU No. 6 Tahun 2014 tentang desa adalah semua
hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa

 
  II-5

 
uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa.
 
Hak dan kewajiban tersebut menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan yang
 
perlu diatur dalam pengelolaan keuangan desa yang berdasarkan asas-asas
transparan,
  akuntabel, pastisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin
  anggaran [8]. Keuangan Desa diwujudkan dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa yang terdiri dari:
 
1. Pendapatan Desa
 
2. Belanja Desa
 
3. Pembiayaan Desa
  Pendapatan Desa adalah semua penerimaan uang melalui rekening Desa yang
merupakan hak Desa dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak perlu dibayar
kembali oleh Desa. Pendapatan Desa yang terdapat dalam APBDes diklasifikasikan
menurut kelompok dan jenis. Kelompok pendapatan desa terdiri dari pendapatan
asli desa, transfer, dan pendapatan lain-lain. Berikut jenis dari masing-masing
kelompok pendapatan Desa berdasarkan Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 [13]:
a. Pendapatan asli desa, terdiri atas jenis:
1) Hasil usaha yang antara lain diperoleh melalui hasil BUMDes, tanah kas
Desa;
2) Hasil aset antara lain diperoleh melalui tambatan perahu, pasar desa, tempat
pemandian umum, jaringan irigasi;
3) Swadaya, partisipasi dan gotong royong yaitu membangun dengan kekuatan
sendiri yang melibatkan peran serta masyarakat berupa tenaga, barang yang
dinilai dengan uang;
4) Lain-lain pendapatan asli desa antara lain hasil pungutan desa sebagaimana
diatur dalam peraturan desa.
b. Transfer terdiri atas jenis:
1) Dana Desa;
2) Bantuan dari Hasil Pajak Daerah Kabupaten/Kota dan Retribusi Daerah;
3) Alokasi Dana Desa;
4) Bantuan keuangan dari APBD Provinsi; dan
5) Bantuan keuangan APBD Kabupaten/Kota.

 
  II-6

 
c. Pendapatan lain-lain terdiri atas jenis:
 
1) Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat yaitu pemberian
 
berupa uang dari pihak ketiga; dan
2)
  Lain-lain pendapatan Desa yang sah antara lain hasil kerja sama dengan pihak

  ketiga dan bantuan perusahaan yang berlokasi di Desa.


Komponen selanjutnya dalam keuangan desa yaitu belanja desa. Belanja Desa
 
meliputi semua pengeluaran dari rekening Desa yang merupakan kewajiban Desa
 
dalam 1 tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh
  Belanja Desa dalam hal ini digunakan untuk mendanai penyelenggaraan
desa.
  kewenangan Desa dengan ketentuan sebagaimana dipaparkan dalam Undang-
undang Nomor 6 Tahun 2014 bahwa belanja Desa diprioritaskan untuk memenuhi
kebutuhan pembangunan yang disepakati dalam musyawarah Desa dan sesuai
dengan prioritas Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Pemerintah Daerah Provinsi,
dan Pemerintah [8]. Klasifikasi belanja Desa sebagaimana tercantum dalam
Permendagri Nomor 113 tahun 2014 [13] terdiri dari:
1. Penyelenggaraan pemerintahan Desa;
2. Pelaksanaan pembangunan Desa;
3. Pembinaan kemasyarakatan Desa;
4. Pemberdayaan masyarakat Desa; dan
5. Belanja tak terduga.
Kelompok belanja tersebut dibagi dalam kegiatan sesuai dengan kebutuhan Desa
yang telah dituangkan dalam RKP Desa yang terdiri atas jenis belanja pegawai,
belanja barang dan jasa, dan belanja modal. Belanja pegawai dianggarkan untuk
pengeluaran penghasilan tetap dan tunjangan bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa
serta tunjangan BPD. Belanja pegawai dianggarkan dalam kelompok
penyelenggaraan pemerintahan Desa yang pelaksanaannya dibayarkan setiap bulan.
Belanja barang dan jasa digunakan untuk pengeluaran pembelian pengadaan barang
yang nilai manfaatnya kurang dari 12 (dua belas) bulan. Sedangkan belanja modal
digunakan untuk pengeluaran dalam rangka pembelian/pengadaan barang atau
bangunan yang nilai manfaatnya lebih dari 12 bulan yang akan digunakan untuk
kegiatan penyelenggaraan kewenangan Desa [13].

 
  II-7

 
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 pasal 100 [14],
 
Belanja desa yang ditetapkan dalam APBDes penggunaannya harus sesuai dengan
 
ketentuan sebagai berikut:
1. Paling
  sedikit 70% dari jumlah anggaran belanja Desa digunakan untuk
  mendanai penyelenggaraan pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan
Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
 
2. Paling banyak 30% dari jumlah anggaran belanja Desa digunakan untuk
 
penghasilan tetap dan tunjangan Kepala Desa serta Perangkat Desa, operasional
 
Pemerintah Desa, tunjangan dan operasional BPD, dan insentif RT/RW yang
  merupakan bantuan kelembagaan yang digunakan untuk operasional RT dan
RW.
Komponen dalam APBDes yang terakhir yaitu Pembiayaan. Pembiayaan
Desa meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran
yang akan diterima kembali baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun
pada tahun-tahun anggaran berikutnya [13]. Kelompok pembiayaan Desa terdiri
dari:
1. Penerimaan pembiayaan, meliputi:
a. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya yang diperoleh
melalui pelampauan penerimaan pendapatan terhadap belanja, penghematan
belanja, dan sisa dana kegiatan lanjutan;
b. Pencairan dana cadangan; dan
c. Hasil penjualan kekayaan Desa yang dipisahkan.
2. Pengeluaran pembiayaan, meliputi:
a. Pembentukan Dana Cadangan; dan
b. Penyertaan modal desa.

II.3. Definisi Dana Desa


Program pemerintah untuk pembangunan desa bukan hal yang baru. Sebelum
adanya dana desa terdapat serangkaian program bantuan kepada desa antara lain
bantuan desa (bandes), dana pembangunan desa (bangdes), serta inpres desa
tertinggal/IDT. Sebelum berlakunya UU No. 6 Tahun 2014 tentang desa, dalam PP

 
  II-8

 
No. 72 tahun 2005 tentang desa menyebutkan salah satu sumber pendapatan desa
 
yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang terdapat dalam APBD yaitu
 
alokasi dana desa (ADD). Konsep ADD merupakan koreksi terhadap model
bantuan
  desa yang diberikan oleh pemerintah pusat bersamaan dengan agenda
  pembangunan desa sejak tahun 1969 (Mahfudz dalam Abidin, 2016) [15].
Bantuan yang diberikan kepada Desa selama ini dilakukan dengan dua skema
 
(Eko, 2015) [10]. Pertama dana yang diberikan melalui mekanisme transfer daerah
 
dan kedua dana yang diberikan melalui skema belanja pusat di daerah. Arus
 
keuangan yang diberikan kepada Desa dalam bentuk transfer daerah diberikan
  dalam bentuk Dana Alokasi Khusus, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil dan
Dana Penyesuaian. Aliran dana tersebut tergabung dalam APBD kemudian
diberikan kepada Desa dalam bentuk Alokasi Dana Desa. Sementara itu, untuk
aliran fiskal yang diberikan kepada masyarakat desa lebih banyak. Bantuan
Langsung Masyarakat yang diberikan bersumber dari:
1. Kementerian/Lembaga yang diberikan kepada SKPD dalam bentuk Dana
Dekonsentrasi, Dana Tugas Pembantuan dan dana vertikal yang diberikan
kepada lembaga-lembaga vertikal pemerintah;
2. Kementerian/Lembaga untuk program nasional seperti PNPM Mandiri, BOS,
dan Jamkesmas;
3. Subsidi untuk komoditi seperti pupuk, listrik, BBM, dan pangan.
Berdasarkan PMK No. 248/PMK.07/2010 [16] tentang Perubahan atas PMK
No. 156/PMK.07/2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan, dana tugas pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN
yang dilaksanakan oleh daerah dan desa yang mencakup semua penerimaan dan
pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas yang diberikan oleh Pemerintah Pusat
kepada daerah dan/atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan
mempertanggungjawabkan pelaksaannya kepada yang menugaskan. Pendanaan
dalam rangka tugas pembantuan dialokasikan untuk kegiatan bersifat fisik, yaitu
kegiatan yang menghasilkan keluaran yang menambah nilai aset pemerintah pusat.
Sedangkan dana dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang
dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah yang mencakup semua

 
  II-9

 
penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak
 
termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah. Pendanaan
 
dalam rangka dekonsentrasi dilalokasikan untuk kegiatan bersifat non-fisik, yaitu
kegiatan
  yang menghasilkan keluaran yang tidak menambah aset tetap seperti
  sinkronisasi dan koordinasi perencanaan, fasilitasi, bimbingan teknis, pelatihan,
penyuluhan, supervisi, penelitian dan survey, pembinaan dan pengawasan, serta
 
pengendalian.
 
Berdasarkan uraian tersebut, sebelum adanya dana Desa sebagian besar dana
  diterima oleh Desa dikelola oleh lembaga-lembaga masyarakat yang ada di
yang
  Desa seperti program PNPM Mandiri. Adapun bantuan yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Desa itu sendiri seperti Dana Tugas Pembantuan dilaksanakan sesuai
dengan program yang telah ditetapkan oleh Kementerian/Lembaga pemberi tugas
pembantuan tersebut. Dana desa hadir dengan perbaikan atas bantuan-bantuan
sebelumnya. Sebagaimana dipaparkan dalam PP No. 60 tahun 2014 [17], dana desa
merupakan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
yang diperuntukan bagi desa yang ditransfer melalui anggaran pendapatan dan
belanja kabupaten/kota. Dana desa dapat digunakan oleh desa untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan
kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan penjelasan PP No.
60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN [17], anggaran dana
desa merupakan realokasi belanja pusat dari program berbasis desa.
Kementerian/lembaga mengajukan anggaran untuk program yang berbasis desa
kepada Menteri Keuangan untuk ditetapkan sebagai sumber dana desa. Sumber
dana desa yang telah ditetapkan kemudian akan ditempatkan sebagai belanja pusat
nonkementerian/lembaga yang kemudian akan dibahas bersama-sama dengan DPR
sebelum ditetapkan menjadi anggaran transfer daerah dan desa. Dengan demikian,
terdapat sejumlah program bantuan berbasis desa yang pada awalnya dikelola oleh
Kementerian/Lembaga direalokasi menjadi dana desa sehingga mulai tahun 2015
program tersebut dihentikan. Program pemerintah yang dihentikan dan direalokasi
menjadi dana desa yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Mandiri Perdesaan dari Kementerian Dalam Negeri, Program Sistem Penyediaan

 
  II-10

 
Air Minum (SPAM) Perdesaan dan Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan
 
(PPIP) dari Kementerian Pekerjaan Umum [18].
 
Sebagaimana dipaparkan dalam PP No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa
yang
  Bersumber dari APBN [16], dana desa dapat digunakan untuk

  penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan


kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Ketentuan lebih lanjut mengenai
 
prioritas penggunaan dana desa diatur dalam peraturan Menteri Desa,
 
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Prioritas penggunaan dana
desa  untuk program dan kegiatan di bidang pemberdayaan masyarakat desa
  dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas
hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan. Sedangkan prioritas penggunaan
dana desa dalam bidang pemberdayaan masyarakat desa dialokasikan untuk
mendanai kegiatan yang bertujuan meningkatkan kapasitas warga atau masyarakat
desa dalam pengembangan wirausaha, peningkatan pendapatan, serta perluasan
skala ekonomi individu warga atau kelompok masyarakat dan desa [19].
Berdasarkan prioritas penggunaan dana desa yang ditetapkan oleh Menteri
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dapat disimpulkan bahwa dana desa
bertujuan untuk mengingkatkan kualitas hidup, menanggulangi kemiskinan, dan
meningkatkan kapasitas masyarakat desa. Dengan demikian, manfaat dari dana
desa menurut Haryanto (2014) [20] yaitu dapat mempercepat pertumbuhan dan
pembangunan desa dalam rangka mengatasi berbagai persoalan yang selama ini
dihadapi oleh desa. Dengan anggaran yang meningkat maka desa dapat
mengembangkan kualitas dan kesejahteraan masyarakatnya. Masyarakat desa yang
berkualitas dapat menjadi input yang bermanfaat baik bagi desa itu sendiri maupun
bagi daerah lainnya.
Pada pelaksanaan program dana desa di tahun 2015, terdapat perubahan
peraturan yaitu diubahnya PP No. 60 Tahun 2014 menjadi PP No. 22 Tahun 2015
tentang Perubahan atas PP No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber
dari APBN. Dengan diberlakukannya peraturan ini, anggaran dana desa tidak
disimpan sebagai pos belanja pusat nonkementerian/lembaga terlebih dahulu
namun langsung dianggarkan dalam transfer ke daerah dan dana desa [21]. Dana

 
  II-11

 
desa yang dianggarkan dalam transfer ke daerah dan dana desa dialokasikan
 
berdasarkan alokasi dasar dan alokasi formula. Proporsi alokasi dasar yaitu 90%
 
dari total anggaran dana desa, yang mana setiap desa akan menerima jumlah yang
sama.
  Sedangkan alokasi formula sebesar 10% dihitung dengan memperhatikan

  jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan kesulitan geografis desa
setiap kabupaten/kota sehingga nilainya berbeda-beda untuk masing-masing desa.
 
Berdasarkan Peraturan Bupati No. 306 Tahun 2015 tentang Tata Cara
 
Pembagian dan Penetapan Rincian Besaran Dana Desa pada Setiap Desa di
 
Kabupaten Garut Tahun Anggaran 2015 [22] dan Peraturan Bupati No. 10 Tahun
  2016 tentang Tata Cara Pembagian dan Penetapan Rincian Besaran Dana Desa pada
Setiap Desa di Kabupaten Garut Tahun Anggaran 2016 [23], dana desa setiap desa
dihitung secara berkeadilan berdasarkan
a. Alokasi dasar
b. Alokasi formula yang dihitung dengan mempehatikan jumlah penduduk, angka
kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis yang ditunjukkan
dengan indeks kesulitan geografis.
Indeks kesulitan geografis desa ditentukan oleh ketersediaan prasarana pelayanan
dasar, kondisi infrastruktur, dan aksesibilitas/transportasi. Data mengenai jumlah
penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis setiap
desa bersumber dari Kementerian yang berwenang dan/atau lembaga/instansi yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik. Alokasi dasar dihitung
dengan menglikan alokasi dasar yang telah ditetapkan oleh pemerintah dengan
jumlah desa. Sedangkan alokasi formula yang dihitung memperhatikan jumlah
penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis setiap
desa dengan perhitungan bobot sebagai berikut:
a. 25% untuk jumlah penduduk desa
b. 35% untuk angka kemiskinan desa
c. 10% untuk luas wilayah desa
d. 30% untuk tingkat kesulitan geografis desa

 
  II-12

 
Perhitungan rincian dana desa setiap desa dilakukan dengan formula:
 
W = (0,25 X Z1) + (0,35 X Z2) + (0,10 X Z3) + (0,30 X Z4)
 
Keterangan:
W =  Dana Desa setiap Desa yang dihitung berdasarkan jumlah penduduk, angka
  kemiskinan, luas wilayah dan tingkat kesulitan geografis setiap Desa
Z1 = rasio jumlah penduduk setiap Desa terhadap total penduduk Desa
 
Z2 = rasio jumlah penduduk miskin setiap Desa terhadap total penduduk miskin
 
Desa
  rasio luas wilayah setiap Desa terhadap luas wilayah Desa
Z3 =
  Z4 = rasio IKG setiap Desa terhadap total IKG Desa

II.4. Prosedur Penyaluran Dana Desa


Mekanisme penyaluran dana desa dilakukan secara berjenjang. Penyaluran
dana desa dilakukan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum
Negara (RKUN) ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) untuk selanjutnya
dilakukan pemindahbukuan dari RKUD ke Rekening Kas Desa (RKD).

Gambar II.1 Mekanisme penyaluran dana desa dari RKUN sampai ke RKD.
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, 2016 [3]
Sebelum dilakukannya penyaluran dana desa dari RKUN ke RKUD,
pemerintah pusat melakukan persiapan untuk menyediakan dana desa yang
nantinya akan disalurkan ke RKUD. Kegiatan yang dilakukan yaitu sebagai berikut:

 
  II-13

 
1. Menteri keuangan selaku penguasa anggaran bendahara umum negara
 
menetapkan direktur pembiayaan dan transfer non dana perimbangan sebagai
 
kuasa pengguna anggaran bendahara umum negara transfer non dana
perimbangan.
 

  2. Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara (KPA BUN) transfer non
dana perimbangan menyusun DIPA dana desa berdasarkan rincian dana desa
 
setiap kabupaten/kota kemudian DIPA tersebut disampaikan kepada Direktorat
 
Jenderal Anggaran (DJA) untuk mendapat pengesahan.
 
3. KPA BUN transfer non dana perimbangan menerbitkan Surat Keputusan
  Penetapan Rincian Dana Desa (SKPRDD) yang merupakan dasar pelaksanaan
penyaluran dana desa.
4. Berdasarkan SKPRDD diterbitkan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) yang
merupakan dasar penerbitan Surat perintah Membayar (SPM).
5. KPA BUN transfer non dana perimbangan kemudian melakukan penyaluran
dana desa dari RKUN ke RKUD.
Penyaluran dana desa dari RKUN ke RKUD dan dari RKUD ke RKD diatur
dalam PMK No. 247/PMK.07/2015 sebagai petunjuk teknis dalam penyaluran dana
desa pada tahun 2015. Namun mulai tahun 2016, PMK No. 247/PMK.07/2015
digantikan dengan PMK No. 49/PMK.07/2016 tentang tata cara pengalokasian,
penyaluran, penggunaan, pemantauan, dan evaluasi dana desa. Hal yang mendasari
adanya perubahan PMK No. 247/PMK.07/2015 menjadi PMK No.
49/PMK.07/2016 dikarenakan selama pelaksanaan dana desa di tahun 2015,
terdapat hambatan yang menyebabkan rendahnya realisasi penyaluran dana desa
dari Kabupaten/kota ke Desa. Berikut hasil evaluasi yang dilakukan oleh Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan (2016) [3].
1. Sebagian daerah belum memasukkan dana desa dalam APBD induk.
2. Sebagian Daerah terlambat menetapkan Perbup/perwali tentang pengalokasian
Dana Desa per Desa.
3. Sebagian Daerah harus mengubah penetapan alokasi Dana Desa per desa
karena jumlah desanya berbeda dengan yang ditetapkan dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri.

 
  II-14

 
4. Sebagian Daerah terlambat menetapkan Perbup/Perwali tentang Pedoman
 
pengalolaan Keuangan Desa dan tentang pengadaan barang/jasa di Desa.
 
5. Sebagian Daerah menambahkan persyaratan penyaluran Dana Desa dari RKUD
 ke Rekening Kas Desa, berupa dokumen RPJMDes dan RKPDes, yang semakin

  menyulitkan bagi desa untuk segera menerima Dana Desa.


6. Sebagian Daerah memeriksa dokumen pertanggungjawaban Dana Desa sebagai
 
syarat penyaluran tahapan.
 
7. Terdapat Daerah belum berani menyalurkan Dana Desa ke Desa dan sebagian
 desa belum berani menggunakan dana desa karena belum ada pendamping desa.

  8. Kekhawatiran perangkat desa terjerat kasus hukum karena kesalahan


administrasi.
Perbedaan dari PMK No. 247/PMK.07/2015 dengan PMK No.
49/PMK.07/2016 pada dasarnya terletak dalam jumlah tahapan penyaluran dana
desa. Pada PMK No. 247/PMK.07/2015 tahapan penyaluran dana desa dilakukan
sebanyak 3 tahap sedangkan pada PMK No. 49/PMK.07/2016, penyaluran dana
desa dilakukan dalam 2 tahap.

II.4.1. Penyaluran Dana Desa Berdasarkan PMK No. 247/PMK.07/2015


Penyaluran dana desa dari RKUN ke RKUD maupun dari RKUD ke RKD
dilakukan secara bertahap. Ketentuan mengenai tahap penyaluran dana desa
berdasarkan PMK No. 247/PMK.07/2015 [24] yaitu sebagai berikut.
a. Tahap I dilakukan pada bulan April dengan proporsi dana desa yang disalurkan
yaitu sebesar 40% (empat puluh per seratus),
b. Tahap II dilakukan pada bulan Agustus dengan proporsi dana desa yang
disalurkan yaitu 40% (empat puluh per seratus),
c. Tahap III dilakukan pada bulan Oktober dengan proporsi dana desa yang
disalurkan yaitu 20% (dua puluh per seratus).
Penyaluran dana desa dari RKUN ke RKUD dilaksanakan oleh KPA Transfer
ke Daerah dan Dana Desa yang dilakukan paling lambat pada minggu kedua bulan
yang bersangkutan. Setelah melakukan penyaluran dana desa dari RKUN ke
RKUD, KPA transfer ke Daerah dan dana desa melaukan penatausahaan, akuntansi,

 
  II-15

 
dan pelaporan keuangan. Penatausahaan, akuntansi, dan pelaporan keuangan yang
 
dilakukan oleh KPA Transfer ke Daerah dan Dana Desa dilakukan sesuai dengan
 
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  Penyaluran dana desa dari RKUN ke RKUD tahap I dilakukan setelah

  bupati/walikota menyampaikan peraturan daerah mengenai APBD tahun anggaran


berjalan, peraturan bupati/walikota mengenai tata cara pembagian dan penetapan
 
rincian dana desa setiap desa, dan laporan realisasi penyaluran dan konsolidasi
 
penggunaan dana desa tahun anggaran sebelumnya. Persyaratan tersebut
 
disampaikan kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri
  Keuangan paling lambat pada minggu ke empat bulan Maret. Selanjutnya
penyaluran dana desa tahap I dari RKUD ke RKD dilakukan oleh bupati/walikota.
Penyaluran tersebut dilakukan setelah kepala desa menyampaikan peraturan desa
mengenai APB Desa dan laporan realisasi penggunaan dana desa tahun anggaran
sebelumnya kepada bupati/walikota paling lambat minggu kedua bulan Maret.
Penyaluran dana desa tahap II dilakukan setelah bupati/walikota
menyampaikan laporan penyaluran dan penggunaan dana desa tahap I kepada
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri Keuangan paling
lambat minggu keempat bulan Juli. Laporan penyaluran dan penggunaan dana desa
tahap I menunjukkan paling kurang dana desa tahap I telah disalurakan sebesar 50%
(lima puluh per seratus) dari RKUD ke RKD. Setelah diterima di RKUD,
penyaluran dana desa tahap II ke RKD dilakukan setelah kepala desa
menyampaikan laporan penggunaan dana desa tahap I kepada bupati/walikota
paling lambat minggu kedua bulan Juli. Laporan penggunaan dana desa tahap I
merupakan laporan penggunaan dana desa semester I yang diserahkan oleh kepala
desa menunjukkan paling kurang dana desa tahap I telah digunakan sebesar 50%
(lima puluh per seratus).
Penyaluran dana desa tahap III dilakukan setelah bupati/walikota
menyampaikan laporan penyaluran dan penggunaan dana desa tahap I dan tahap II
kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat minggu keempat
bulan September. Laporan penyaluran dan penggunaan dana desa tahap I dan tahap
II menunjukkan paling kurang dana desa tahap I dan tahap II telah disalurkan

 
  II-16

 
sebesar 50% (lima puluh per seratus) dari RKUD ke RKD. Penyaluran dana desa
 
tahap III dilakukan setelah kepala desa menyampaikan laporan penggunaan dana
 
desa tahap I dan tahap II kepada bupati/walikota yang menunjukkan paling kurang
dana  desa tahap I dan tahap II telah digunakan sebesar 50% (lima puluh per seratus).
  Laporan tersebut disampaikan oleh bupati/walikota paling lambat minggu kedua
bulan September.
 

 
II.4.2. Penyaluran Dana Desa Berdasarkan PMK No. 49/PMK.07/2016
  Beberapa bulan setelah ditetapkannya PMK No. 247/PMK.07/2015, Menteri

  Keuangan menetapkan peraturan baru yaitu PMK No. 49/PMK.07/2016. Dengan


diberlakukannya peraturan baru tersebut maka PMK No. 247/PMK.07/2015
dinyatakan tidak berlaku lagi semenjak tanggal PMK No. 49/PMK.07/2016
ditetapkan. Berdasarkan PMK No. 49/PMK.07/2016 [25], penyaluran dana desa
dilakukan secara bertahap dengan ketentuan sebagai berikut.
a. Tahap I dilakukan pada bulan Maret dengan proporsi sebesar 60% (enam puluh
per seratus) dari total anggaran dana desa,
b. Tahap II dilakukan pada bulan Agustus dengan proporsi sebesar 40% (empat
puluh per seratus) dari total anggaran dana desa.
Penyaluran dana desa dari RKUN ke RKUD dilaksanakan oleh KPA BUN Transfer
Non Dana Perimbangan. Setelah melakukan penyaluran dana desa, KPA BUN
Transfer Non Dana Perimbangan melakukan penatausahaan, akuntansi, dan
pelaporan keuangan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Penyaluran
dana desa dilakukan paling lambat 7 hari kerja setelah dana desa diterima di RKUD.
Penyaluran dana desa tahap I dilakukan setelah Direktur Jenderal
Perimbangan Keuangan atas nama Menteri Keuangan menerima peraturan daerah
mengenai APBD kabupaten/kota tahun anggaran berjalan, peraturan
bupati/walikota mengenai tata cara pembagian dan penetapan rincian dana desa
setiap desa, serta laporan realisasi penyaluran dan konsolidasi penggunaan dana
desa tahun anggaran sebelumnya dari bupati/walikota. Setelah dana desa diterima
di RKUD maka tahap selanjutnya yaitu bupati/walikota melakukan penyaluran
dana desa dari RKUD ke RKD. Penyaluran dana desa dari RKUD ke RKD

 
  II-17

 
dilakukan setelah bupati/walikota menerima peraturan desa mengenai APB Desa,
 
dan laporan realisasi penggunaan dana desa tahun anggaran sebelumnya dari kepala
 
desa.
  Penyaluran dana desa tahap II dilakukan setelah Direktorat Jenderal

  Perimbangan Keuangan atas nama Menteri Keuangan menerima laporan realisasi


penyaluran dan konsolidasi penggunaan dana desa tahap I dari bupati/walikota
 
dengan syarat laporan realisasi penyaluran dan konsolidasi penggunaan dana desa
 
menunjukkan paling kurang sebesar 50% (lima puluh per seratus). Selanjutnya
 
penyaluran dana desa tahap II dari RKUD ke RKD dilakukan setelah
  bupati/walikota menerima laporan realisasi penggunaan dana desa tahap pertama
dari kepala desa dengan syarat laporan realisasi penggunaan dana desa tahap
pertama telah digunakan paling kurang 50%.

II.5. Pengelolaan Dana Desa


Berdasarkan Permendagri Nomor 113 Tahun 2014, pengelolaan keuangan
desa didefinisikan sebagai keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan desa
[13]. Dana desa merupakan salah satu komponen pendapatan transfer yang
merupakan bagian dari keuangan desa sehingga pengelolaannya mengikuti
mekanisme pengelolaan keuangan desa. Sebagaimana dicantumkan dalam PP No.
60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN pasal 7 ayat (2),
Pengelolaan dana desa dalam APB Desa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan desa [17]. Dengan
demikian pengelolaan dana desa harus sesuai dengan Permendagri No. 113 Tahun
2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa serta dengan peraturan teknis yang
dibuat oleh pemerintah Kabupaten/Kota.
Pendapatan yang diterima desa semakin besar dikarenakan bertambahnya
komponen pendapatan desa dari transfer pemerintah pusat yaitu dana desa, dengan
demikian dibutuhkan manajemen yang baik sehingga pendapatan yang diperoleh
Desa dapat dioptimalkan untuk mencapai tujuan desa bersangkutan. Menurut
Bastian (2015) [9], manajemen Desa dimaknai sebagai proses mengatur,

 
  II-18

 
mengendalikan, atau menata yang menjadi acuan pengelola dalam melaksanakan
 
kegiatan untuk mencapai tujuan Desa yang diwujudkan dengan melakukan
 
pembangunan di Desa tersebut. Lebih lanjut Bastian menjelaskan bahwa fungsi
manajemen
  adalah elemen-elemen dasar yang selalu ada dan melekat dalam proses
  manajemen yang akan dijadikan acuan oleh manajer ketika melaksanakan kegiatan
untuk mencapai tujuan. Dalam menjalankan fungsi manajemen harus memenuhi
 
prinsip-prinsip umum manajemen yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi khusus
 
dan situasi yang berubah. Menurut Henry Fayol (dalam Bastian, 2015) [9], prinsip-
 
prinsip umum manajemen terdiri dari:
  1. Pembagian kerja (division of work)
2. Wewenang dan tanggungjawab (authority and responsibility)
3. Disiplin (discipline)
4. Kesatuan perintah (unity of command)
5. Mengutamakan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadi (unity
of direction)
6. Penggajian pegawai
7. Pemusatan (centralization)
8. Hierarki (tingkatan)
9. Ketertiban (order)
10. Keadilan dan kejujuran
11. Stabilitas dan kondisi karyawan
12. Prakarsa (initiative)
13. Semangat kesatuan, semangat korps
Salah satu prinsip manajemen yang harus dipenuhi sebagaimana yang
dipaparkan oleh Henry Fayol yaitu adanya pembagian kerja, wewenang dan
tanggung jawab. Hal tersebut juga diperlukan dalam manajemen Desa karena dalam
melakukan pengelolaan keuangan desa harus didukung oleh sumber daya yang
kompeten dan berkualitas serta harus terdapat sistem dan prosedur keuangan yang
memadai. Oleh karena itu, pemerintah desa harus memiliki struktur organisasi
pengelolaan keuangan dan uraian tugas yang menjadi acuan dalam melakukan
kegiatan pengelolaan. Struktur organisasi pengelolaan keuangan desa terdiri dari
kepala desa dan PTPKD (Pelaksana Teknis Pengelola Keuangan Desa) yang terdiri
dari sekretaris desa, kepala seksi, dan bendahara. Berikut ini kewenangan kepala
desa dan tugas PTPKD sebagaimana tercantum dalam Permendagri No. 113 Tahun
2014 [13]:

 
  II-19

 
1. Kepala Desa sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa
 
mempunyai kewenangan:
 
a. menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APB Desa;
b.
  menetapkan PTPKD;

  c. menetapkan petugas yang melakukan pemungutan penerimaan desa;


d. menyetujui pengeluaran atas kegiatan yang ditetapkan dalam APB Desa; dan
 
e. melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban APB Desa.
 
2. Sekretaris Desa selaku koordinator pelaksana teknis pengelolaan keuangan desa
 
mempunyai tugas:
  a. menyusun dan melaksanakan Kebijakan Pengelolaan APB Desa;
b. menyusun Rancangan Peraturan Desa tentang APB Desa, perubahan APB
Desa dan pertanggung jawaban pelaksanaan APB Desa;
c. melakukan pengendalian terhadap pelaksanaan kegiatan yang telah
ditetapkan dalam APB Desa;
d. menyusun pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APB Desa; dan
e. melakukan verifikasi terhadap bukti-bukti penerimaan dan pengeluaran
APBDesa.
3. Kepala Seksi bertindak sebagai pelaksana kegiatan sesuai dengan bidangnya.
Kepala seksi mempunyai tugas:
a. menyusun rencana pelaksanaan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya;
b. melaksanakan kegiatan dan/atau bersama Lembaga Kemasyarakatan Desa
yang telah ditetapkan di dalam APB Desa;
c. melakukan tindakan pengeluaran yang menyebabkan atas beban anggaran
belanja kegiatan;
d. mengendalikan pelaksanaan kegiatan;
e. melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan kepada Kepala Desa; dan
f. menyiapkan dokumen anggaran atas beban pengeluaran pelaksanaan
kegiatan.
4. Bendahara adalah posisi dalam organisasi pengelolaan keuangan desa yang
dijabat oleh staf urusan keuangan. Bendahara mempunyai tugas menerima,
menyimpan, menyetorkan atau membayar, menatausahakan, dan

 
  II-20

 
mempertanggungjawabkan penerimaan pendapatan desa dan pengeluaran
 
pendapatan desa dalam rangka pelaksanaan APBDesa.
 
Kepala desa, sekretaris desa, kepala seksi, dan bendahara desa merupakan pihak-
pihak
  yang terlibat dalam tahapan pengelolaan keuangan desa. Siklus pengelolaan

  keuangan desa terdiri dari perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan,


penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban, untuk periode 1 tahun
 
anggaran. Dikarenakan dana desa merupakan bagian dari keuangan desa maka
 
pengelolaannya mengikuti pengelolaan keuangan desa dan mengacu terhadap
 
peraturan-peraturan Menteri-Menteri terkait.
 
1. Perencanaan
Perencanaan adalah sebuah proses yang dimulai dari penetapan tujuan
organisasi, penentuan strategi untuk mencapai tujuan organisasi tersebut secara
menyeluruh, perumusan sistem perencanaan yang menyeluruh untuk
mengintegrasikan dan mengoordinasikan seluruh pekerjaan organisasi, hingga
pencapaian tujuan organisasi (Robbins dan Coulter dalam Bastian, 2015) [9]. Dari
pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perencanaan bertujuan agar
kegiatan yang akan dilaksanakan secara terarah sehingga tujuan organisasi dapat
tercapai. Perencanaan yang telah dilakukan biasanya didokumentasikan yang
bertujuan sebagai alat untuk monitoring dan evaluasi atas kegiatan yang
dilaksanakan. Menurut Indra Bastian (2015) [9], dokumen perencanaan adalah
dokumen pedoman dan petunjuk pelaksanaan evaluasi kinerja untuk menjamin
keseragaman metode, materi, dan ukuran yang sesuai bagi masing-masing jangka
waktu. Secara konsepsional, perencanaan sangat ditentukan oleh cara, sifat, dan
proses pengambilan keputusan, sehingga banyak komponen yang ikut terlibat
didalam proses perencanaan. Dalam perencanaan Desa, komponen-komponen yang
terlibat dalam proses perencanaan adalah:
1. Tujuan pembangunan nasional bangsa yang akan mengambil keputusan dalam
rangka kebijakan nasional di tingkat Kecamatan dan Desa

 
  II-21

 
2. Masalah strategi termasuk penanganan kebijakan secara operasional yang akan
 
mewarnai proses pelaksanaan perencanaan Desa sehingga perlu ketepatan dalam
 
pelaksanaan perencanaan Desa.
  Jenis rencana ada dua yaitu rencana stategis yang disusun untuk mencapai

  tujuan umum organisasi yaitu pelaksanaan misi organisasi dan rencana operasional
yang merupakan rincian tentang bagaimana rencana strategis tersebut dilaksanakan
 
(Bastian, 2015) [9]. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah desa menyusun
 
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) sebagai rencana
 
strategis Desa untuk jangka waktu 6 tahun yang disesuaikan dengan kewenanganya
  dan mengacu pada perencanaan pembangunan kabupaten/kota. Rencana
pembangunan desa disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan. RPJM Desa merupakan
rencana kegiatan pembangunan desa yang memuat visi dan misi kepala desa,
pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan, pemberdayaan
masyarakat serta arah kebijakan pembanguan desa. RPJM Desa memiliki tujuan
dan manfaat yaitu untuk mewujudkan perencanaan sesuai kebutuhan dan keadaan
setempat, menciptakan rasa memiliki dan tanggungjawab bersama masyarakat,
memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan di desa, dan
menumbuhkembangkan dan mendorong peran serta aktif masyarakat. RPJM Desa
merupakan pedoman penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Desa yang
merupakan penjabaran dari RPJM Desa untuk jangka waktu 1 tahun [26].
RKP Desa disusun oleh Pemerintah Desa sesuai dengan informasi dari
pemerintah daerah kabupaten/kota berkaitan dengan pagu indikatif desa dan
rencana kegiatan pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah
kabupaten/kota. RKP Desa mulai disusun oleh pemerintah desa pada bulan Juli
tahun berjalan dan sudah harus ditetapkan paling lambat bulan September tahun
anggaran berjalan. Rancangan RKP Desa paling sedikit berisi uraian sebagai
berikut:
a. Evaluasi pelaksanaan RKP Desa tahun sebelumnya,
b. Prioritas program, kegiatan, dan anggaran desa yang dikelola oleh desa,
c. Prioritas program, kegiatan, dan anggaran desa yang dikelola melalui kerja
sama antar desa dan pihak ketiga;

 
  II-22

 
d. Rencana program, kegiatan, dan anggaran desa yang dikelola oleh desa
  sebagi kewenangan penugasan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan
pemerintah daerah kabupaten/kota;
 
e. Pelaksana kegiatan desa yang terdiri dari atas unsur perangkat desa
  dan/atau unsur masyarakat desa.
Rancangan RKP Desa dilampiri dengan rencana kegiatan dan rencana anggaran
 
biaya. Selanjutnya, kepala desa menyelenggarakan Musrenbangdes yang diadakan
 
untuk membahas dan menyepakati rancangan RKP Desa. Rancangan RKP Desa
memuat
  rencana penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan,
pembinaan
  kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat desa [26].
Selain rencana strategis dan rencana operasional, anggaran merupakan salah
 
satu bagian penting dalam organisasi sektor publik. Menurut Mardiasmo (2004)
[27], anggaran sektor publik sangat penting karena:
1. Anggaran merupakan alat bagi pemerintah untuk mengarahkan
pembangunan sosial-ekonomi, menjamin kesinambungan, dan
meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
2. Anggaran diperlukan karena adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat
yang tak terbatas dan terus berkembang, sedangkan sumber daya yang ada
terbatas. Anggaran diperlukan karena adanya masalah keterbatasan
sumber daya (scarcity of resources), pilihan (choice), dan trade offs.
3. Anggaran diperlukan untuk meyakinkan bahwa pemerintah telah
bertanggung jawab terhadap rakyat. Dalam hal ini anggaran publik
merupakan instrumen pelaksanaan akuntabilitas publik oleh lembaga-
lembaga publik yang ada.
Lebih lanjut Mardiasmo memaparkan bahwa anggaran sektor publik memiliki
beberapa fungsi utama yaitu sebagai alat perencanaan, alat pengendalian, alat
kebijakan fiskal, alat politik, alat koordinasi dan komunikasi, alat penilaian kinerja,
alat motivasi, dan alat menciptakan ruang publik.
Seperti halnya organisasi sektor publik lain, Desa harus menyusun anggaran
sebagai payung hukum atas kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Desa. RPJMDes
dan RKPDes menjadi dasar untuk penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa. Mekanisme perencanaan APBDes menurut Permendagri No. 113 tahun 2014
dimulai dengan penyusunan rancangan peraturan desa tentang APB Desa
berdasarkan RKP Desa oleh sekretaris desa yang kemudian disampaikan kepada
kepala desa. Terkait dengan perencanaan kegiatan yang didanai dengan Dana Desa,

 
  II-23

 
Pemerintah Desa harus menyesuaikan kegiatan yang direncanakannya dengan
 
peraturan Menteri Desa PDTT tentang prioritas penggunaan dana desa. Rancangan
 
peraturan desa tentang APB Desa disampaikan oleh kepala desa kepada Badan
Permusyawaratan
  Desa (BPD) untuk pembahasan lebih lanjut. Rancangan tersebut
  kemudian disepakati bersama paling lambat bulan Oktober tahun berjalan yang
kemudian disampaikan oleh kepala desa kepada Bupati/Walikota melalui camat
 
atau sebutan lain paling lambat 3 hari sejak disepakati untuk dievaluasi [13].
 
Berdasarkan Peraturan Bupati Garut Nomor 102 Tahun 2015 tentang Tata
Cara  Evaluasi Rancangan Peraturan Desa tentang APBDes [28], evaluasi adalah
  sinkronisasi/harmonisasi kebijakan Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Desa
agar tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dalam lampiran
Perbup tersebut dipaparkan bahwa evaluasi dilakukan oleh pejabat dan/atau staf
perangkat daerah dari sistem Sekretariat Daerah, Dinas atau Badan di lingkungan
Pemerintah Daerah sesuai kebutuhan, yang memiliki kompetensi untuk melakukan
evaluasi Rancangan Peraturan Desa tentang APB Desa atau Rancangan Peraturan
Desa tentang Perubahan APB Desa. Evaluasi yang dilakukan tersebut meliputi:
1. Aspek administrasi yang meliputi identifikasi kelengkapan data dan
informasi yang disajikan dalam Rancangan Peraturan Desa tentang APB
Desa atau Rancangan Peraturan Desa tentang Perubahan APB Desa;
2. Aspek legalitas yang meliputi identifikasi peraturan-peraturan yang
melandasi penyusunan Rancangan Peraturan Desa tentang APB Desa atau
Rancangan Peraturan Desa tentang Perubahan APB Desa;
3. Aspek kebijakan yang meliputi identifikasi korelasi dan konsistensi
substansi dan materi yang termuat dalam Rancangan Peraturan Desa
tentang APB Desa atau Rancangan Peraturan Desa tentang Perubahan
APB Desa, dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM
Desa)/Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP Desa);
4. Aspek struktur anggaran yang meliputi identifikasi keserasian antara
kebijakan Pemerintah Desa dan kebijakan Pemerintah Daerah yang
dituangkan dalam pedoman penyusunan APB Desa tahun anggaran
berkenaan, dan digunakan sebagai acuan dalam penetapan anggaran
pendapatan, anggaran belanja dan anggaran pembiayaan.
Dalam evaluasi tersebut seluruh kegiatan yang direncanakan oleh Desa
termasuk kegiatan yang bersumber dari dana desa diteliti kesesuaiannya dengan
peraturan terkait seperti peraturan tentang prioritas penggunaan Dana Desa.
Bupati/Walikota menetapkan hasil evaluasi RAPB Desa paling lama 20 hari kerja

 
  II-24

 
sejak diterimanya RAPB Desa tersebut. Hasil evaluasi yang dilakukan
 
Bupati/Walikota disampaikan kepada kepala desa untuk dilakukan penyempurnaan
 
paling lama 7 hari kerja terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. Apabila hasil
evaluasi
  tidak ditindaklanjuti oleh kepala desa dan kepala desa tetap menetapkan
  RAPBDesa menjadi peraturan desa, Bupati/Walikota dapat membatalkan peraturan
desa dengan keputusan Bupati/Walikota yang artinya pagu APBDesa yang berlaku
 
adalah pagu APBDesa tahun anggaran sebelumnya. Apabila dalam jangka waktu
 
20 hari kerja Bupati/Walikota tidak memberikan hasil evaluasi maka peraturan desa
 
tersebut berlaku dengan sendirinya.
 
2. Pelaksanaan
Peraturan desa tentang APBDes yang telah ditetapkan merupakan dasar
hukum bagi pelaksanaan anggaran penerimaan desa maupun pengeluaran desa.
Pelaksanaan terdiri dari pelaksanaan anggaran dan pelaksanaan kegiatan. Dana desa
diterima di rekening kas Desa setelah pemerintah Desa memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Bupati yang
telah dipaparkan sebelumnya pada proses penyaluran Dana Desa dari rekening kas
daerah hingga diterima di rekening kas Desa. Menurut Bastian (2015) [9], setelah
tahap penganggaran tahap selanjutnya yaitu tahap realisasi program Desa yang
dibagi ke dalam tiga tahapan kegiatan yaitu persiapan, pelaksanaan, dan
penyelesaian. Masing-masing tahapan realisasi program Desa tersebut terbagi lagi
ke dalam tiga kegiatan utama yaitu pencairan anggaran, realisasi pendapatan, dan
pelaksanaan program. Berikut rangkaian kegiatan dalam realisasi program menurut
Indra Bastian yang disajikan dalam tabel II.1.
Berdasarkan tabel II.1 atas kegiatan utama yang berkaitan dengan
pelaksanaan anggaran dana desa yaitu kegiatan pencairan anggaran dan
pelaksanaan program. Proses pelaksanaan yang mengakibatkan pengeluaran
anggaran Dana Desa yaitu adanya belanja barang/jasa/modal yang dilakukan oleh
Pemerintah Desa. Berdasarkan Peraturan Bupati Garut Nomor 11 Tahun 2016
tentang Pengadaan Barang/Jasa di Desa, pelaksanaan pengadaan barang/jasa di
Desa dilakukan melalui swakelola atau pemilihan penyedia barang/jasa. Adapun

 
  II-25

 
pengertian swakelola berdasarkan Peraturan Bupati Garut Nomor 11 Tahun 2016
 
yaitu kegiatan pengadaan barang/jasa dimana pekerjaannya direncanakan,
 
dikerjakan dan/atau diawasi sendiri oleh Desa sebagai penanggungjawab anggaran.
  Tabel II.1 Kegiatan dalam Realisasi Program Desa
Tahapan dan Siklus Realisasi Program
  Kegiatan Utama
Persiapan Proses Pelaksanaan Penyelesaian
  Pencairan anggaran Belanja barang, jasa serta
Pemenuhan prosedur Pengumpulan bukti untuk
dan formulir anggaran modal pencatatan
 
Tata prosedur pencatatan
barang dan modal
  Membuat anggaran kas
Pelaporan aktivitas
  pelayanan
Realisasi pendapatan Menghitung potensi Penerimaan pendapatan Rekapitulasi realisasi
Memenuhi prosedur dan pendapatan
formulir
Pelaksanaan program Konsolidasi masyarakat Pelaksanaan pekerjaan Peresmian hasil kegiatan
Pembentukan panitia kegiatan Pembuatan laporan SPJ
kegiatan
Rembug Desa tentang Pertanggungjawaban
pelaksanaan kegiatan kepada masyarakat
Sumber: Bastian (2015)
Pihak-pihak yang terlibat dalam pengadaan barang/jasa di Desa yaitu Tim
Pengelola Kegiatan (TPK), Panitia Penerima Hasil Pekerjaan, dan Penyedia
Barang/Jasa. Pengadaan barang/jasa di Desa pada prinsipnya dilaksanakan melalui
mekanisme swakelola dengan memaksimalkan penggunaan material/bahan dari
wilayah setempat, dilaksanakan secara gotong royong dengan melibatkan
partisipasi masyarakat setempat untuk memperluas kesempatan kerja dan
pemberdayaan masyarakat setempat. Pelaksanaan swakelola dilakukan oleh TPK
meliputi kegiatan persiapan, pelaksanaan, pengawasan, penyerahan, pelaporan, dan
pertanggungjawaban hasil pekerjaan. Persiapan yang dilakukan oleh TPK meliputi
jadwal pelaksanaan pekerjaan, rencana penggunaan tenaga kerja, peralatan dan alat,
menetapkan gambar rencana kerja, spesifikasi teknis dan perkiraan biaya (Perbup
No. 11 Tahun 2016) [29].
Proses pelaksanaan kegiatan dimulai dengan pengajuan pendanaan oleh
Pelaksana Kegiatan untuk melaksanakan kegiatan yang disertai dengan rencana
anggaran biaya. Rencana anggaran biaya kemudian diverifkasi oleh Sekretaris Desa
dan di sahkan oleh Kepala Desa. Berdasarkan rencana anggaran biaya, Pelaksana

 
  II-26

 
Kegiatan mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP), pernyataan
 
tanggungjawab belanja dan lampiran bukti transaksi kepada Kepala Desa. SPP yang
 
diajukan tidak boleh dilakukan sebelum barang dan atau jasa diterima. Dalam
pengajuan
  pelaksanaan pembayaran, Sekretaris Desa akan meneliti kelengkapan
  permintaan pembayaran yang diajukan oleh pelaksana kegiatan, menguji kebenaran
perhitungan tagihan atas beban APBDesa yang tercantum dalam permintaan
 
pembayaran, menguji ketersediaan dana untuk kegiatan yang dimaksud, dan
 
menolak pengajuan permintaan pembayaran oleh Pelaksana Kegiatan apabila tidak
 
memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Berdasarkan SPP yang telah diverifkasi
  Sekretaris Desa, Kepala Desa menyetujui permintaan pembayaran dan bendahara
melakukan pembayaran kemudian bendahara melakukan pencatatan pengeluaran.

3. Penatausahaan
Pelaksanaan APB Desa menyebabkan terjadinya transaksi penerimaan dan
pengeluaran anggaran sehingga diperlukan penatausahaan baik itu penatausahaan
pendapatan maupun penatausahaan belanja. Penatausahaan adalah pencatatan
seluruh transaksi keuangan yang dilakukan oleh bendahara, baik penerimaan
maupun pengeluaran uang, dalam satu tahun anggaran atau kegiatan yang nyaris
dilakukan sepanjang tahun anggaran (Murtiono, 2015) [30]. Berdasarkan
Permendagri Nomor 113 tahun 2014, kegiatan penatausahaan keuangan Desa
dimulai dengan urutan sebagai berikut:
a. Penatausahaan dilakukan oleh Bendahara Desa dan wajib melakukan pencatatan
setiap penerimaan dan pengeluaran serta melakukan tutup buku setiap akhir
bulan secara tertib. Bendahara Desa wajib mempertanggungjawabkan uang
melalui laporan pertanggungjawaban. Laporan pertanggungjawaban
disampaikan setiap bulan kepada Kepala Desa dan paling lambat tanggal 10
bulan berikutnya;
b. Penatausahaan penerimaan dan pengeluaran keuangan Desa dengan
menggunakan buku kas umum, buku kas pembantu pajak, dan buku bank.
Dalam melakukan penatausahaan keuangan, bendahara desa membutuhkan
dokumen sumber untuk dicatat pada buku kas umum, buku kas pembantu pajak dan

 
  II-27

 
buku bank. Dokumen penatausahaan adalah dokumen resmi milik pemerintah desa
 
yang dapat berfungsi sebagai sumber data untuk keperluan pemeriksaan/audit, dan
 
sebagai barang bukti apabila diperlukan dalam proses hukum, manakala terjadi
dugaan
  penyelewengan keuangan atau tindak pidana lain terkait keuangan desa
  (Murtiono, 2015) [30]. Penatausahaan merupakan kegiatan administrasi yang
terkait dengan pencatatan pembukuan keuangan yang seakan-akan tidak
 
memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat, prinsip akuntabilitas dan
 
keterbukaan tetap menjadi hal utama. Dengan demikian, sangat dibutuhkan sikap
  teguh, serius, taat asas, dan jujur dalam mejalankan tugas-tugas berat tersebut
yang
  sehingga kualitas pengelolaan keuangan tetap terjaga dengan baik (Murtiono, 2015)
[30]. Agar para pejabat pengelola keuangan desa, khususnya bendahara yang
mempunyai tugas penatausahaan, terhindar dari persoalan-persoalan akuntabilitas,
maka harus diperhatikan beberapa ketentuan pokok dalam penatausahaan berikut
ini:
1. Rekening Desa
Rekening Desa dibuat oleh pemerintah desa pada bank pemerintah atau bank
pemerintah daerah atas nama pemerintah desa. Bagi desa yang belum memiliki
layanan perbankan di wilayahnya akan diatur oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
Spesimen tanda tangan pada rekening desa atas nama kepala desa dan bendahara
desa dengan jumlah rekening sesuai kebutuhan
2. Penerimaan Desa
Penerimaan desa sesuai dengan Permendagri No. 113 Tahun 2014 Pasal 24, 25,
dan 26 maka harus tertib administrasi dan taat peraturan, bahwa penerimaan
desa:
a. Disetorkan langsung oleh Bendahara Desa ke Rekening Desa dan didukung
bukti yang lengkap dan sah.
b. Disetorkan langsung oleh pemerintah supra desa atau pihak ketiga ke
Rekening Desa.
c. Dipungut oleh petugas yang selanjutnya dapat diserahkan kepada Bendahara
Desa atau disetor langsung ke rekening desa.

 
  II-28

 
d. Pungutan dapat dibuktikan dengan karcis pungutan yang disahkan oleh
 
Kepala Desa, Surat tanda bukti pembayaran oleh pihak ketiga, bukti
 
pembayaran lainnya yang sah
e.  Penerimaan oleh Bendahara Desa harus disetor ke Rekening Desa paling
  lambat tujuh hari kerja dibuktikan dengan surat tanda setoran.
f. Pemerintah desa dilarang melakukan pungutan sebagai pemasukkan selain
 
yang ditetapkan dalam Peraturan Desa.
 
g. Bendahara dapat menyimpan uang di Kas Desa dalam rangka memenuhi
  kebutuhan operasional dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan

  Peraturan Bupati/Walikota.
3. Pengeluaran Desa
Pengeluaran desa sesuai dengan Permendagri No. 113 Tahun 2014 Pasal 24, 25,
dan 26 dapat dilakukan dengan ketentuan:
a. Dokumen penatausahaan pengeluaran harus disesuaikan dengan peraturan
desa tentang APBDesa atau peraturan desa tentang Perubahan APBDesa.
b. Pengeluaran dilakukan melalui pengajuan Surat Permintaan Pembayaran
(SPP).
c. Pengeluaran desa tidak dapat dilakukan sebelum Rancangan Peraturan Desa
tentang APBDesa ditetapkan.
d. Pengeluaran desa tidak termasuk untuk Belanja Pegawai yang bersifat
mengikat dan operasional perkantoran.
Penatausahaan keuangan yang dilakukan oleh bendahara desa sebagaimana
dipaparkan sebelumnya masih menggunakan cara yang sederhana yaitu berupa
pembukuan belum menggunakan jurnal akuntansi. Bendahara desa melakukan
pencatatan atas seluruh penerimaan dan pengeluaran dalam buku kas umum untuk
transaksi yang bersifat tunai. Sedangkan transaksi penerimaan dan pengeluaran
yang melalui bank/transfer dicatat dalam buku bank. Buku kas pembantu pajak
digunakan oleh bendahara desa untuk mencatat penerimaan uang yang berasal dari
pungutan pajak dan mencatat pengeluaran berupa penyetoran pajak ke kas negara.
Khusus untuk pendapatan dan pembiayaan, terdapat buku pembantu berupa buku
rincian pendapatan dan buku rincian pembiayaan. Terkait dengan penerimaan

 
  II-29

 
maupun pengeluaran yang bersumber dari dana desa, penatausahaan yang
 
dilakukan oleh Bendahara Desa yaitu pada saat dana desa diterima di rekening kas
 
desa dan pada saat terjadi pengeluaran anggaran yang bersumber dari dana desa.
 

  4. Pelaporan
Laporan didefinisikan sebagai dokumen yang berisi informasi terorganisasi
 
dalam sebuah narasi, grafik, atau bentuk tabular, yang disusun atas dasar ad hoc,
 
periodik, rutin atau ketika diperlukan (Bastian, 2015) [9]. Pemerintah Desa sebagai
 
organisasi sektor publik harus membuat laporan yang menunjukan informasi
  mengenai kegiatan yang telah dilaksanakan baik itu kegiatan dalam pembangunan
infrastruktur ataupun kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat. Menurut
Bastian, secara spesifik tujuan khusus dari pelaporan kecamatan dan desa adalah
menyediakan informasi yang relevan bagi pengambilan keputusan dan menunjukan
akuntabilitas desa atas sumber daya yang dipercayakan kepadanya, selain itu
dengan adanya pelaporan juga membawa manfaat bagi pengguna laporan itu sendiri
diantaranya:
1. Menyediakan informasi mengenai sumber-sumber, alokasi, dan penggunaan
sumber daya keuangan Desa;
2. Menyediakan informasi mengenai bagaimana organisasi Desa mendanai
aktivitasnya serta memenuhi kebutuhan kasnya;
3. Menyediakan informasi yang berguna untuk mengevaluasi kemempuan
organisasi Desa dalam membiayai aktivitasnya dan memenuhi kewajiban serta
komitmennya;
4. Menyediakan informasi mengenai kondisi keuangan organisasi Desa serta
perubahannya;
5. Meyediakan informasi keseluruhan yang berguna ketika mengevaluasi kinerja
organisasi Desa dalam hal biaya jasa, efisiensi, dan pencapaian tujuan
pembangunan.

 
  II-30

 
Laporan yang wajib dibuat oleh Pemerintah Desa sebagaimana tercantum
 
dalam Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa
 
pasal 37 [13] yaitu:
1. Laporan
  semester pertama realisasi APBDes yang disampaikan paling lambat
  pada akhir bulan Juli tahun anggaran berjalan kepada Bupati/Walikota; dan
2. Laporan semester akhir tahun yang disampaikan kepada Bupati/Walikota paling
 
lambat pada akhir bulan Januari tahun berikutnya.
 
Selain laporan realisasi APBDes Pemerintah Desa diwajibkan untuk membuat
 
laporan penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana tercantum dalam Peraturan
  Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 48-52 [14], dalam melaksanakan tugas,
kewenangan, hak, dan kewajibannya, Kepala Desa wajib:
a. menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa setiap akhir
Tahun Anggaran kepada Bupati/Walikota melalui Camat atau sebutan lain
paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Tahun Anggaran.;
b. menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa pada akhir
masa jabatan kepada Bupati/Walikota yang paling sedikit memuat:
pertanggungjawaban penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
pertanggungjawaban pelaksanaan pembangunan; pelaksanaan pembinaan
kemasyarakatan; dan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat;
c. menyampaikan laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan secara
tertulis kepada Badan Permusyawaratan Desa setiap akhir Tahun
Anggaran.

Secara berkala pemerintah Desa harus melaporkan apa saja kegiatan yang
dilaksanakannya dalam periode tertentu seperti semesteran atau tahunan. Menurut
Bastian (2015) [9], fungsi mendasar dari laporan yang dibuat oleh Desa yaitu
sebagai berikut.
1. Sumber dokumentasi informasi tentang apa yang telah dicapai selama periode
pelaporan;
2. Sebagai alat promosi yang kreatif bagi desa melalui integritas pelaporan;
3. Menambah daya tarik Desa di mata masyarakat;
4. Sebagai dokumen lengkap yang melaporkan secara mendetail kinerja organisasi
desa beserta kondisi keuangan dalam periode tertentu;

 
  II-31

 
5. Memberikan gambaran mengenai tugas, peran, dan pekerjaan masing-masing
 
bidang dalam struktur organisasi desa.
 
Selain kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dipaparkan sebelumnya,
Kepala
  Desa wajib menyampaikan laporan khusus yang menyangkut penggunaan
  dana desa kepada bupati/walikota sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan dan Peraturan Bupati terkait.
 

 
5. Pertanggungjawaban
  Pertanggungjawaban penggunaan dana desa terintegrasi dengan
  pertanggungjawaban pelaksanaan APBDes. Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2014 dan telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47
Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa [31], selain penyampaian laporan realisasi pelaksanaan APBDesa,
Kepala Desa juga menyampaikan laporan pertanggungjawaban realisasi
pelaksanaan APBDesa kepada Bupati/Walikota melalui camat atau sebutan lain
setiap akhir Tahun Anggaran. Laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan
APBDesa, terdiri dari akun pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Laporan
pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APBDesa ditetapkan dengan Peraturan
Desa.
Peraturan Desa tentang laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan
APBDesa dilampiri dengan Laporan Pertanggungjawaban Realisasi Pelaksanaan
APBDesa Tahun Anggaran berkenaan, Laporan Kekayaan Milik Desa per 31
Desember Tahun Anggaran berkenaan, dan Laporan Program Pemerintah dan
Pemerintah Daerah yang masuk ke desa yang disampaikan paling lambat 1 (satu)
bulan setelah akhir Tahun Anggaran berkenaan. Laporan realisasi dan laporan
pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APBDesa diinformasikan kepada
masyarakat secara tertulis dan dengan media informasi yang mudah diakses oleh
masyarakat. Media informasi antara lain papan pengumuman, radio komunitas, dan
media informasi lainnya.

 
  II-32

 
II.5.1. Peraturan terkait Pengelolaan Dana Desa pada Tahun 2015
 
Dalam merencanakan program dan kegiatan yang terdapat dalam APB Desa
 
yang sumber dananya berasal dari dana desa harus mengacu pada prioritas
penggunaan
  dana desa khususnya tahun 2015 telah ditetapkan dalam Peraturan
  Menteri Desa, PDTT Nomor 5 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa
Tahun 2015. Berdasarkan Peraturan Menteri Desa, PDTT Nomor 5 tentang
 
Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015 [32], dana desa
 
diprioritaskan untuk membiayai belanja pembangunan dan pemberdayaan
 
masyarakat. Prioritas penggunaan Dana Desa untuk pembangunan Desa
  dialokasikan untuk mencapai tujuan pembangunan Desa yaitu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan
kemiskinan, melalui:
a. pemenuhan kebutuhan dasar yang meliputi pengembangan pos kesehatan Desa
dan Polindes, pengelolaan dan pembinaan Posyandu, dan pembinaan dan
pengelolaan pendidikan anak usia dini;
b. pembangunan sarana dan prasarana Desa meliputi pembangunan dan
pemeliharaan jalan Desa, pembangunan dan pemeliharaan jalan usaha tani,
pembangunan dan pemeliharaan embung Desa, pembangunan energi baru dan
terbarukan, pembangunan dan pemeliharaan sanitasi lingkungan, pembangunan
dan pengelolaan air bersih berskala Desa, pembangunan dan pemeliharaan
irigasi tersier, pembangunan dan pemeliharaan serta pengelolaan saluran untuk
budidaya perikanan, dan pengembangan sarana dan prasarana produksi di Desa;
c. pengembangan potensi ekonomi lokal meliputi pendirian dan pengembangan
BUM Desa, pembangunan dan pengelolaan pasar Desa dan kios Desa,
pembangunan dan pengelolaan tempat pelelangan ikan milik Desa,
pembangunan dan pengelolaan keramba jaring apung dan bagan ikan,
pembangunan dan pengelolaan lumbung pangan Desa, pembuatan pupuk dan
pakan organik untuk pertanian dan perikanan, pengembangan benih lokal,
pengembangan ternak secara kolektif, pembangunan dan pengelolaan energi
mandiri, pembangunan dan pengelolaan tambatan perahu, pengelolaan padang

 
  II-33

 
gembala, pengembangan Desa Wisata, dan pengembangan teknologi tepat guna
 
pengolahan hasil pertanian dan perikanan; dan
 
d. pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan meliputi
komoditas
  tambang mineral bukan logam, komoditas tambang batuan, rumput
  laut, hutan milik Desa, dan pengelolaan sampah.
Selain digunakan untuk belanja pembangunan, penggunaan Dana Desa yang
 
bersumber dari APBN tahun anggaran 2015 dapat digunakan untuk Pemberdayaan
 
Masyarakat Desa terutama untuk penanggulangan kemiskinan dan peningkatan
  atas sumber daya ekonomi, sejalan dengan pencapaian target RPJM Desa dan
akses
  RKP Desa setiap tahunnya, yang diantaranya dapat mencakup:
a. peningkatan kualitas proses perencanaan Desa;
b. mendukung kegiatan ekonomi baik yang dikembangkan oleh BUM Desa
maupun oleh kelompok usaha masyarakat Desa lainnya;
c. pembentukan dan peningkatan kapasitas Kader Pemberdayaan Masyarakat
Desa;
d. pengorganisasian melalui pembentukan dan fasilitasi paralegal untuk
memberikan bantuan hukum kepada warga masyarakat Desa;
e. penyelenggaraan promosi kesehatan dan gerakan hidup bersih dan sehat;
f. dukungan terhadap kegiatan desa dan masyarakat pengelolaan Hutan Desa dan
Hutan Kemasyarakatan; dan
g. peningkatan kapasitas kelompok masyarakat melalui:
1) kelompok usaha ekonomi produktif;
2) kelompok perempuan;
3) kelompok tani;
4) kelompok masyarakat miskin;
5) kelompok nelayan;
6) kelompok pengrajin;
7) kelompok pemerhati dan perlindungan anak;
8) kelompok pemuda; dan
9) kelompok lain sesuai kondisi Desa.

 
  II-34

 
Berdasarkan prioritas program dan kegiatan yang ditetapkan oleh pemerintah desa
 
sesuai dengan Permendes PDTT kemudian dimusyawarahkan dengan masyarakat
 
desa menjadi dasar dalam penyusunan RKP Desa. RKP Desa juga tetap mengacu
pada  RPJM Desa. Dengan dibuatnya RKP Desa ini, merupakan dasar bagi
  pemerintah desa dalam menyusun anggaran belanja yang terdapat dalam APB Desa.
Setelah APB Desa tersusun maka APB Desa disampaikan kepada Bupati/Walikota
 
sebagai syarat penyaluran dana desa tahap I. Berdasarkan Peraturan Bupati Garut
 
Nomor 306 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pembagian dan Penetapan Rincian
 
Besaran Dana Desa Setiap Desa di Kabupaten Garut Tahun Anggaran 2015 [22]
  dipaparkan bahwa penyaluran dana desa dilakukan secara bertahap dengan
ketentuan:
a. tahap I pada bulan April sebesar 40% dilakukan apabila APB Desa telah
ditetapkan;
b. tahap II pada bulan Agustus sebesar 40% dilakukan setelah kepala desa
menyampaikan laporan realisasi penggunaan dana desa tahap I;
c. tahap III pada bulan Oktober sebesar 20% dilakukan setelah kepala desa
menyampaikan laporan realisasi penggunaan dana desa tahap II.
Setelah dilakukannya pencairan dana desa maka tahap selanjutnya yaitu dilakukan
pelaksanaan program dan kegiatan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam APB
Desa dan RKP Desa. Penerimaan dana desa dan pengeluaran untuk belanja yang
sumber dananya berasal dari dana desa dilakukan penatausahaan oleh bendahara
desa. Kepala desa menyampaikan laporan realisasi penggunaan dana desa kepada
bupati setiap semester. Ketentuan dalam penyampaian laporan realisasi penggunaan
dana desa dalam Peraturan Bupati Garut Nomor 306 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Pembagian dan Penetapan Rincian Besaran Dana Desa Setiap Desa di Kabupaten
Garut Tahun Anggaran 2015 [21] yaitu:
a. semester I paling lambat minggu keempat bulan Juli tahun anggaran berjalan dan
b. semester II paling lambat minggu keempat bulan Januari tahun anggaran
berikutnya.
Laporan realisasi penggunaan dana desa dikoordinasikan oleh Camat. Apabila
kepala desa tidak atau terlambat menyampaikan laporan realisasi penggunaan dana

 
  II-35

 
desa semester I dan/atau semester II maka bupati dapat menunda penyaluran dana
 
desa sampai dengan disampaikannya laporan realisasi penggunaan dana desa.
 
Apabila SiLPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) dana desa yang terdapat dalam
laporan
  realisasi penggunaan dana desa lebih dari 30% pada akhir tahun anggaran
  sebelumnya, bupati dapat memberikan sanksi administratif berupa penundaan
penyaluran dana desa tahap I tahun anggaran berjalan sebesar SiLPA dana desa.
 
Apabila pada tahun anggaran berjalan masih terdapat SiLPA dana desa lebih dari
 
30% maka bupati dapat memberikan sanksi administratif berupa pemotongan dana
desa  tahun anggaran berikutnya sebesar SiLPA dana desa tahun berjalan.
 
II.5.2. Peraturan terkait Pengelolaan Dana Desa pada Tahun 2016
Perencanaan program dan kegiatan yang bersumber dari dana desa tahun
anggaran 2016 mengacu pada Peraturan Menteri Desa, PDTT Nomor 21 Tahun
2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2016 [19]. Dana
Desa diprioritaskan untuk membiayai pelaksanaan program dan kegiatan berskala
lokal Desa bidang Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa.
Penggunaan Dana Desa untuk prioritas bidang Pembangunan Desa dan
Pemberdayaan Masyarakat Desa, menjadi prioritas kegiatan, anggaran dan belanja
Desa yang disepakati dan diputuskan melalui Musyawarah Desa yang menjadi
acuan bagi penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Desa dan APB Desa. Dalam
perencanaan program dan kegiatan pembangunan desa serta pemberdayaan
masyarakat desa, dapat mempertimbangkan tipologi Desa berdasarkan tingkat
perkembangan kemajuan desa, meliputi:
a. Desa tertinggal dan/atau sangat tertinggal, mengutamakan kegiatan
pembangunan melalui penyediaan sarana dan prasarana untuk pemenuhan
kebutuhan atau akses kehidupan masyarakat Desa;
b. Desa berkembang, memprioritaskan pembangunan sarana dan prasarana
pelayanan umum dan sosial dasar baik pendidikan dan kesehatan masyarakat
desa untuk mengembangkan potensi dan kapasitas masyarakat Desa; dan
c. Desa maju dan/atau mandiri, memprioritaskan kegiatan pembangunan sarana
dan prasarana yang berdampak pada perluasan skala ekonomi dan investasi desa,

 
  II-36

 
termasuk prakarsa Desa dalam membuka lapangan kerja, padat teknologi tepat
 
guna dan investasi melalui pengembangan BUM Desa.
 
Prioritas penggunaan dana desa dalam bidang pembangunan desa dilakukan
untuk
  meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia

  serta penanggulangan kemiskinan, prioritas penggunaan Dana Desa diarahkan


untuk pelaksanaan program dan kegiatan Pembangunan Desa, meliputi:
 
a. pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan infrasruktur atau sarana dan
 
prasarana fisik untuk penghidupan, termasuk ketahanan pangan dan
 
permukiman;
  b. pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan sarana dan prasarana kesehatan
masyarakat;
c. pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan sarana dan prasarana
pendidikan, sosial dan kebudayaan;
d. pengembangan usaha ekonomi masyarakat, meliputi pembangunan dan
pemeliharaan sarana prasarana produksi dan distribusi; dan/atau
e. pembangunan dan pengembangan sarana-prasarana energi terbarukan serta
kegiatan pelestarian lingkungan hidup.
Prioritas penggunaan Dana Desa untuk program dan kegiatan bidang
Pemberdayaan Masyarakat Desa, dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang
bertujuan meningkatkan kapasitas warga atau masyarakat desa dalam
pengembangan wirausaha, peningkatan pendapatan, serta perluasan skala ekonomi
individu warga atau kelompok masyarakat dan desa, antara lain:
a. peningkatan investasi ekonomi desa melalui pengadaan, pengembangan atau
bantuan alat-alat produksi, permodalan, dan peningkatan kapasitas melalui
pelatihan dan pemagangan;
b. dukungan kegiatan ekonomi baik yang dikembangkan oleh BUM Desa atau
BUM Desa Bersama, maupun oleh kelompok dan atau lembaga ekonomi
masyarakat Desa lainnya;
c. bantuan peningkatan kapasitas untuk program dan kegiatan ketahanan pangan
Desa;

 
  II-37

 
d. pengorganisasian masyarakat, fasilitasi dan pelatihan paralegal dan bantuan
 
hukum masyarakat Desa, termasuk pembentukan Kader Pemberdayaan
 
Masyarakat Desa (KPMD) dan pengembangan kapasitas Ruang Belajar
Masyarakat
  di Desa (Community Centre);
  e. promosi dan edukasi kesehatan masyarakat serta gerakan hidup bersih dan sehat,
termasuk peningkatan kapasitas pengelolaan Posyandu, Poskesdes, Polindes,
 
dan ketersediaan atau keberfungsian tenaga medis/swamedikasi di Desa;
 
f. dukungan terhadap kegiatan pengelolaan Hutan/Pantai Desa dan Hutan/Pantai
 
Kemasyarakatan;
  g. peningkatan kapasitas kelompok masyarakat untuk energi terbarukan dan
pelestarian lingkungan hidup; dan/atau
h. bidang kegiatan pemberdayaan ekonomi lainnya yang sesuai dengan analisa
kebutuhan desa dan telah ditetapkan dalam Musyawarah Desa.
Berdasarkan program dan kegiatan yang sumber pendanaanya dari dana desa
tahun anggaran 2016 harus mengacu pada Peraturan Menteri Desa, PDTT Nomor
21 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2016.
Program dan kegiatan yang telah ditetapkan kemudian dimusyawarahkan bersama-
sama dengan masyarakat. Hasil dari musyawarah tersebut kemudian dituangkan
dalam RKP Desa. RKP Desa menjadi dasar untuk menyusun APB Desa oleh
pemerintah desa. APB Desa yang telah ditetapkan menjadi dasar dalam tahap
pelaksanaan. Berdasarkan Peraturan Bupati Garut No. 10 Tahun 2016 tentang Tata
Cara Pembagian dan Penetapan Rincian Besaran Dana Desa pada Setiap Desa di
Kabupaten Garut Tahun Anggaran 2016 [23], penyaluran dana desa dilakukan
secara bertahap pada tahun anggaran berjalan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. tahap I sebesar 60% yang dilakukan setelah bupati menerima peraturan desa
mengenai APB Desa, laporan realisasi penggunaan dana desa tahun anggaran
sebelumnya dari kepala desa, dan
b. tahap II sebesar 40% dilakukan setelah bupati menerima laporan realisasi
penggunaan dana desa tahap I dari kepala desa yang menunjukkan paling kurang
dana desa tahap I telah digunakan sebesar 50%.

 
  II-38

 
Setelah diterimanya dana desa di RKD, maka tahap selanjutnya yaitu pelaksanaan
 
program dan kegiatan yang telah ditetapkan dalam RKP Desa sebelumnya.
 
Penerimaan dana desa dan pengeluaran untuk belanja yang sumber dananya berasal
dari  dana desa dilakukan penatausahaan oleh bendahara desa. Hasil penatausahaan
  yang dilakukan oleh bendahara desa menjadi data untuk menyusun laporan
penggunaan dana desa. Berdasarkan Peraturan Bupati Garut No. 10 Tahun 2016
 
tentang Tata Cara Pembagian dan Penetapan Rincian Besaran Dana Desa pada
 
Setiap Desa di Kabupaten Garut Tahun Anggaran 2016 [23], kepala desa
 
menyampaikan laporan realisasi setiap tahap kepada bupati yang terdiri dari:
  a. Laporan realisasi penggunaan dana desa tahun anggaran sebelumnya yang
disampaikan paling lambat minggu kedua bulan Februari dan
b. Laporan realisasi penggunaan dana desa tahap I yang disampaikan paling lambat
minggu kedua bulan Juli tahun anggaran berjalan
Penyampaian laporan realisasi penggunaan dana desa tersebut dikoordinasikan oleh
Camat. Apabila kepala desa tidak atau terlambat menyampaikan laporan realisasi
penggunaan dana desa maka bupati dapat menunda penyaluran dana desa sampai
dengan laporan realisasi penggunaan dana desa disampaikan kepada bupati.
Apabila terdapat SiLPA dana desa lebih dari 30% pada akhir tahun anggaran
sebelumnya, bupati memberikan sanksi administratif kepada desa yang
bersangkutan berupa penundaan penyaluran dana desa tahap I tahun anggaran
berjalan sebesar SiLPA Dana Desa. Apabila pada tahun anggaran berjalan masih
terdapat SiLPA dana desa lebih dari 30%, bupati dapat memberikan sanksi
administratif kepada desa yang bersangkutan berupa pemotongan dana desa tahun
anggaran berikutnya sebesar SiLPA Dana Desa tahun berjalan.

II.6. Penelitian Terdahulu


Penelitian terdahulu yang relevan menjadi salah satu acuan penulis dalam
melakukan penelitian sehingga penulis dapat memperkaya teori yang digunakan
dalam mengkaji penelitian yang dilakukan. Dalam hal ini, penelitian terdahulu
yang dijadikan acuan yaitu terkait dengan dana desa dan metodologi penelitian yang
sesuai dengan penelitian ini. Oleh karena itu, penulis melakukan kajian terhadap

 
  II-39

 
beberapa hasil penelitian berupa jurnal-jurnal yang diperoleh dari internet.
 
Penelitian-penelitian terdahulu yang dijadikan referensi dalam penelitian ini
 
ditampilkan dalam tabel II.2.
  Tabel II.2 Penelitian Terdahulu
Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian
  Aris Tri Haryanto, Perbandingan Sebelum Dengan adanya pinjaman dana PNPM
Septiana Novita Dewi dan Sesudah Penerapan meningkatkan produksi anggota kelompook
  (2017) program PNPM Mandiri UPPKS sebesar 95%.
dalam Pendapatan Kartu
  Keluarga Miskin
M. Rinaldi Aulia Analisis Pengelolaan Pengelolaan dana desa yang dilakukan oleh
(2016) Dana Desa pada Nagari Sikucur dan Nagari Campago cukup
 
Pemerintah Desa (Studi baik mulai dari perencanaan sampai dengan
Kasus pada Desa di pertangungjawabannya. Dari segi
  Kecamatan V Koto perencanaan, wali nagari dari kedua nagari
Kampung dalam mengadakan musrenbang terlebih dahulu
Kabupaten Padang setelah itu menyusun APBNagari. Dari segi
Pariaman Tahun pelaksanaan, wali nagari meminta TPK untuk
Anggaran 2015) menjalankan kegiatan yang telah diberikan
kepadanya. Dari segi penatausahaan,
Bendahara TPK dan Bendahara Nagari
bertugas membuat pembukuan dan laporan
pertanggungjawaban dana desa. Dari segi
pertanggungjawaban, laporan
pertanggungjawaban yang disampaikan oleh
wali nagari kepada bupati melalui camat
sedikit terlambat dikarenakan dana desa yang
diterima datangnya terlambat dan juga
kemampuan SDM yang kurang memadai.
Nunuk Riyani (2016) Analisis Pengelolaan Pengelolaan Dana Desa di Desa Singopuran
Dana Desa (Studi Kasus Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo
di Desa Singopuran sudah digunakan untuk pembangunan dengan
Kecamatan Kartasura baik sesuai dengan rencana namun masih ada
Kabupaten Sukoharjo evaluasi yang perlu diperbaiki antara lain
Tahun 2016) kurangnya rasa tanggungjawab antara
perangkat desa dalam pengelolaan dana desa,
kurangnya masyarakat yang peduli terhadap
pembangunan, dan kurangnya rapat untuk
menyampaian informasi dana desa terhadap
masyarakat.

Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Aris Tri Haryanto dan Septiana
Novita Dewi mengenai Perbandingan Sebelum dan Sesudah Penerapan program
PNPM Mandiri dalam Pendapatan Kartu Keluarga Miskin menunjukan bahwa
dengan adanya PNPM Mandiri dapat meningkatkan jumlah tenaga kerja dan
meningkatkan penghasilan masyarakat. Semenjak tahun 2015, PNPM Mandiri yang
berbasis di daerah pedesaan direalokasi menjadi Dana Desa. Penelitian mengenai
pengelolaan dana desa pada tahun 2015 dilakukan oleh M. Rinaldi di Nagari

 
  II-40

 
Sikucur dan Nagari Campago menunjukan bahwa dana desa yang diterima oleh
 
kedua Nagari tersebut tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan
 
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 247/PMK.07/2015
sehingga
  menghambat proses pelaporan dan pertanggungjawabannya. Penelitian
  selanjutnya mengenai dana desa dilakukan oleh Nunuk Riyani yang meneliti
pengelolaan dana desa di Desa Singopuran tahun 2016, penelitian tersebut
 
menunjukan bahwa pembangunan yang didanai dengan dana desa sudah sesuai
 
dengan rencana. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu
 
penulis meneliti bagaimana pengelolaan dana desa pada tahun 2015 dan 2016 di
  Desa Haurpanggung Kabupaten Garut yang dilihat dari aspek perencanaan,
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban penggunaan dana
desa dikarenakan pada tahun 2016 terjadi perubahan mekanisme penyaluran dana
desa sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 49/PMK.07/2016
tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan
Evaluasi Dana Desa.

Anda mungkin juga menyukai