Anda di halaman 1dari 3

HUBUNGAN TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA

ISLAM DENGAN BUDHA

Setiap agama mengajarkan toleransi pada tiap umatnya. enam agama yang diakui di
Indonesia, yakni Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Kong Hu Chu mengajarkan
bahkan menganjurkan untuk saling bertoleransi antar umat. Karena pada dasarnya, tiap
agama –khususnya di sini agama Islam dan Budha- mengajarkan untuk saling mengasihi dan
menyayangi tiap umat tanpa memandang keyakinannya.

“Bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami.” Ayat tersebut tertera dalam surat
(Al-Qur’an) Al-Kafirun ayat 6 yang menggambarkan toleransi dalam agama Islam. Selain
ayat diatas, banyak ayat lain yang tersebar di berbagai surat, praktik toleransi dalam sejarah
Islam, dan hadis Rasulullah, seperti yang berbunyi, “Agama yang paling dicintai Allah
adalah agama yang lurus dan toleran.”

Sedangkan dalam pandangan Budha, berkembangnya perpecahan dan hancurnya persatuan


serta kerukunan mengakibatkan pertentangan dan pertengkaran. Sang Buddha bersabda
dalam Dharma pada ayat 6, yakni “Mereka tidak tahu bahwa dalam pertikaian mereka akan
hancur dan musnah, tetapi mereka yang melihat dan menyadari hal ini akan damai dan
tenang.”

Sekarang, terdapat tujuh wilayah utama tempat umat Buddha dan Muslim hidup bersama,
atau hidup berdekatan, dan berhubungan satu sama lain. Tempat ini meliputi Tibet, Ladakh,
Thailand selatan, Malaysia, Indonesia, Burma/Myanmar, dan Bangladesh. Di tiap tempat itu,
hubungan antara dua kelompok tersebut sangat dipengaruhi oleh unsur ekonomi dan politik,
alih-alih oleh keyakinan agama mereka. Indonesia memiliki penduduk asli yang sebagian
besar merupakan umat Muslim, dengan di sana-sini terdapat minoritas masyarakat Buddha,
yang sebagian besar terdiri dari keturunan Cina dan sebagian keturunan Asia Tenggara.
Kelompok Muslim dan Buddha diatur ketat di dalam tradisi agama masing-masing.

Jika kita melihat dari sejarah anatar Islam dan Budha, orang akan menemukan cukup bukti
mengenai hubungan dan kerja sama yang bersahabat antara umat Buddha dan Muslim di Asia
Selatan dan Tengah dalam bidang politik, ekonomi, dan filsafat. Di sana terdapat banyak
persekutuan politik, sejumlah besar perdagangan, dan kadang-kadang pertukaran metode
kerohanian untuk perbaikan diri. Ini tidak mengingkari fakta bahwa sejumlah kejadian negatif
memang terjadi di antara dua masyarakat tersebut. Bagaimanapun, pengaruh geopolitik dan
dorongan untuk perluasan wilayah dan ekonomi jauh lebih penting dibandingkan alasan-
alasan keagamaan dalam mendorong perselisihan-perselisihan tersebut, meskipun para
pemimpin militan seringkali menggunakan seruan perang suci untuk mengerahkan pasukan.
Selain itu, di kedua agama itu, penguasa yang bijaksana dan bertanggung jawab jauh lebih
banyak dibanding pemimpin fanatik dalam membentuk kebijakan-kebijakan dan peristiwa-
peristiwa.
Buddha dan Muslim atau di antara semua agama di dunia, perlu didasarkan pada kebenaran
universal yang bisa diterima oleh kerangka keagamaan masing-masing kelompok. Kebenaran
universal itu adalah bahwa setiap orang ingin bahagia dan tak seorang pun ingin menderita,
dan bahwa seisi dunia ini saling terhubung dan saling bergantung. Meski demikian, kita
menemukan kesamaan suara di dua agama ini yang mendukung kebijakaan mengenai
tanggung jawab universal.

Guru Buddha India di abad ke-8, Shantidewa, menulis dalam Melibatkan Diri dalam
Perilaku Bodhisattwa (Skt. Bodhisattvacāryāvatāra), VIII 91:

“Meskipun memiliki banyak unsur, dengan pembagian ada tangan dan sebagainya,
tubuh perlu dirawat sebagai sebuah keseluruhan; demikian juga, di samping segala
perbedaan di antara semua makhluk pengembara, terkait dengan kebahagiaan dan
duka, mereka semua sama dengan diri saya yang mengharapkan bahagia, dan
karenanya kita membentuk suatu keseluruhan.”

Hal serupa, sebuah hadist dari Nu'man bin Basyir mencatat sabda Nabi Muhammad:

“Perumpamaan orang-orang mukmin yang saling mencintai dan saling menyayangi


serta saling mengasihi, adalah bagaikan satu tubuh. Apabila sebagian anggota tubuh
itu sakit, maka seluruh tubuhnya ikut merasakan sakit karena tidak bisa tidur dan
demam.”

Melalui ajaran-ajaran semacam itu dan usaha berkelanjutan bukan hanya dari para pemimpin
rohani Buddha dan Islam, tapi juga dukungan dari anggota dua komunitas agama, harapan
bagi keselarasan agama antara umat Buddha dan Muslim serta, secara umum, di antara semua
agama di dunia, tampak cerah.

Di Indonesia masa yang sekarang memang banyak terjadi konflik antar umat beragama.
Namun dilihat dari sisi baiknya, toleransi antar umat beragama, khsusnya Islam dan Budha
sebenarnya sudah berjalan baik. Umat Islam dan Budha telah hidup dengan rukun. Meskipun
sebagian besar umat budha adalah mereka yang berasal dari china, namun semua umat
berbaur dan berinteraksi dengan rukun di masyarakat. Mereka berkomuniksi, bersosialisasi,
belajar bersama, dan saling menghargai. Hal ini bisa dilihat dari setiap hari-hari besar
keagamaan, setiap umat terbiasa saling mengucapkan ucapan selamat hari raya tanpa adanya
rasa diskriminasi tentang mayoritas maupun minoritas. Orang keturunan Cina pada saat hari
raya sering berbagi ang pao pada orang-orang tanpa melihat latar belakang agama sebagai
bentuk rasa toleransi dan peduli sesama. Umat Islam juga membuka pintu rumah mereka
lebar-lebar pada semua orang untuk datang bersilaturahmi ketika hari raya mereka tiba.
Bahkan di Bali, ada tempat yang disebut Puja Mandala, dimana tempat-tempat suci dari
berbagai agama berdiri berdampingan dengan kokoh di sana, termasuk tempat suci agama
Budha dan Islam. Hal ini membuktikan bahwa toleransi dalam beragama sangatlah indah
jika dijalankan oleh semua umat manusia.
RESUME
HUBUNGAN ANTAR UMAT BERAGAMA
ISLAM DAN BUDDHA

OLEH :
NI LUH PUTU DESY TISNA EKAYANTI
(P07120216006)

KELAS 1-A
D-IV KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

Anda mungkin juga menyukai