HAMZAH FANSURI
BAPAK BAHASA DAN SASTRA MELAYU
Abdul Hadi W. M
Dalam beberapa dekade terakhir setelah Indonesia merdeka, karya penulis sufi
Nusantara tidak banyak yang dikaji atau diteliti. Terutama karya penulis sufi Melayu
yang mempelopori kebangkitan bahasa dan kesusastraan Melayu sesudah datangnya
agama Islam. Karya-karya mereka, baik prosa maupun puisi, berperan ganda, yaitu
sebagai media penyebaran ajaran agama mengenai berbagai aspek kehidupan dan
sekaligus peningkatan peran dan kedudukan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan
utama dalam masyarakat multi-etnik dan ras di bidang sosial, ilmu pengetahuan,
keagamaan dan sastra serta perdagangan.
Salah seorang tokohnya adalah Syekh Hamzah Fanusri, seorang penyair dan ahli
tasawuf yang hidup pada abad ke-16 M. Sayang sekali sampai sekarang tidak ada
keterangan tertulis kapan beliau dilahirkan dan kapan pula dia meninggal dunia, serta di
mana dia memperoleh pendidikan agama, sastra dan tasawuf. Tetapi secara umum kita
hanya tahu bahwa Syekh adalah seorang tokoh intelektual dan kerohanian terkemuka
pada zamannya. Melihat nama takhallusnya Fansuri, para sarjana memperkirakan dia
dilahirkan di Barus. Orang Arab dan Persia menyebutnya Fansur. Sejak akhir abad ke-16
M tanah kelahirannya masuk ke dalam wilayah ke kerajaan Aceh Darussalam. Menurut
Ali Hasymi (1984), bersama saudaranya Ali Fansuri, dia mendirikan sebuah dayah
(pesantren) besar di daerah Singkil, tidak jauh dari tempat kelahirannya.
Karangan-karangan prosa Hamzah Fansuri berupa risalah tasawuf. Para sarjana
seperti al-Attas (1972) berpendapat bahwa karangan-karangan prosanya itu merupakan
karangan ilmiah pertama dalam bahasa Melayu. Sistematika karangan Hamzah Fansuri
itu jelas, begitu pula rujukannya serta pemaparannya menggunakan bahasa diskursif yang
jelas. Adapun puisi-puisinya adalah berbentuk syair, yaitu puisi empat baris dengan pola
bunyi akhir AAAA dan setiap barisnya terdiri dari 8 sampai 10 suku kata. Dalam hal ini
Hamzah Fansuri juga dianggap sebagai pencipta syair Melayu. Sebagai bentuk puisi,
syair Melayu dipengaruhi oleh bentuk persajakan Arab dan Persia yang disebut ruba`/
(kata jamaknya rubaiyat). Sebagai ungkapan estetis sastra, syair digunakan oleh penulis
Melayu untuk menyampaikan gagasan secara naratif, bahkan kemudian digunakan untuk
menyampaikan hikayat atau cerita. Sekali lagi Hamzah Fansuri dikatakan sebagai
pencipta awal dari syair Melayu, suatu bentuk puisi yang masih digunakan sampai
sekarang di Indonesia dan Malaysia.
2
apabila menulis ghazal, yaitu pada bait terakhir setiap untaian ghazalnya. Kata takahllus berasal dari
bahasa Arab, dari akar kata kh l, yang artinya ’menjadi bebas’. Berdasarkan hal ini takhalluas digunakan
sebagai pembebasan diri. Lihat Henry Blochman, The Prosody of the Persian According to Saifi, Jami and
Other Writers. (St. Leonard-Amsterdam: Ad Orienttem Ltd and Philo Press, 1970: 91).
4
Perkataan “Cahayanya cahaya yang lama“ dapat dirujuk pada konsep Nur
Muhammad atau haqiqat al-muhammadiyah, yaitu lambang hakikat sejati diri manusia,
pertama-tama sebagai makhluq kerohanian dan kedua sebagai khalifah Tuhan di atas
bumi dan sekaligus hamba-Nya. Dalam sajaknya penyair menyebut Tauhid sebagai
”suluh yang terang” dan ”jalan yang henang”. Dikemukakan juga bahwa halangan
terbesar dalam mencapai makna terdalam tauhid ialah hawa nafsu. Perjuangan
menundukkan hawa nafsu itu disebut mujahadah. Jalan yang dilalui ialah memperbanyak
ibadah dan melakukan penyucian diri (thadkiya al-nafs). Kata Syekh dalam syairnya:
...
’Payung iram’ ialah payung kehormatan raja-raja. Sang Sufi hendak menyatakan
bahwa jalan cinta (`isyq) akan membawa seorang ahli suluk mencapai hakikat dirinya dan
dengan demikian mengenal kemuliaan dirinya sebagai hakikat ciptaan. Ini bisa dirujuk
pada pendapat Rumi yang menyatakan bahwa ”Cinta merupakan cara paling tinggi dalam
mencapai pengetahuan hakikat, sebab cintalah yang membawa pencinta menyeberangi
keraguan menuju kepastian (haqq al-yaqin) dan menembus rupa lahir menuju hakikat
yang batin” (Reza Arasteh 1984:80).
6
Empat alam adalah empat anasir jasmani manusia, yaitu tanah, air, api dan udara.
Di jalan cinta empat unsur jasmani ini dilebur dalam lautan wujud kerohanian. Dengan
demikian ia menjadi bagian utuh dari kepribadian kita. Menurut para sufi semakin
seseorang itu mencintai Tuhan, maka semakin taat pula dia menjalankan perintah-Nya.
Misalnya sebagaimana dinyatakan sufi abad ke-8 M, Rabi’ah al-Adawiyah., ”Cinta
adalah landasan ketaatan kepada Tuhan” ( Nadeem 1979:18-9).
Cinta dan pencarian diri, dua gagasan sufi yang saling berkaitan maknanya,
merupakan tema penting dalam syair-syair Hamzah Fansuri. Luluhnya diri jasmani
(nafslu lahir) ke dalam diri rohani, merupakan tanda bahwa seorang ahli suluk telah
mengenal hakikat dirinya. Pencapaian semacam itu disebut juga fana’ (hapus). Keadaan
ruhani ini diikuti keadaan ruhani lain yang disebut baqa’, yaitu menetapnya perasaan
bersatu seorang `asyiq terhadap sang Mahbub di dalam batinnya. Hamzah Fansuri
menyatakan dengan ungkapan lain dalam Ikat-ikatan XXVI Ms. Jak. Mal. 83:
Kata dagang memang berarti merantau dan menjadi orang asing di sebuah negeri.
Ia diterjemahkan dari kata Arab gharib (asing) dan selalu dirujuk pada Hadis, yang
bunyinya, ”Kun fi al-dunya ka’annaka gharibun aw ’abiru sablin wa `udhdha nafsahu
min ashabi al-qubur” (”Jadilah orang asing atau dagang di dunia ini, singgahlah
sementara dalam perjalananmu, dan ingatlah akan azhab kubur.”). Dalam syairnya
Hamzah Fansuri menulis:
Dalam syairnya yang lain (Ikat-ikatan II, Ms.. Jak. Mal. 83) seorang faqir sejati
diumpamakan galuh-galuh atau laron yang berani terjun ke dalam nyala api disebabkan
cintanya yang mendalam kepada cahaya. Ia adalah contoh dari jiwa yang berani berkuban
demi cita-cita keruhanian yang tinggi. Dalam kaitan ini penyair menyatakan:
Anak dagang juga digambarkan sebagai anak mu’alim yang tahu jalan. Cintanya
yang mendalam dan imannya yang teguh, memberinya pula pengetahuan diri yang
mendalam.
9
Pengaruh
Sebagai penyair besar dan pencetus syair, Hamzah Fansuri tidak hanya
mempengaruhi perkembangan sastra Melayu abad ke-17 dan 18 M, tetapi juga
sesudahnya. Syair, sebagai bentuk puisi empat baris berpola bunyi akhir AAAA, sangat
digemari oleh penulis Nusantara sampai abad ke-20. Penanda kepenyairan faqir, dagang
dan sejenis juga berkembang menjadi konvensi sastra Melayu. Bahkan penanda ini tidak
hanya dipakai dalam penulisan syair tasawuf dan keagamaan, tetapi juga dalam syair
hikayat, kisah pelipur lara dan penulisan karya bercorak sejarah. Sebagai contoh ialah
bagian permulaan Syair Perang Makassar, yang ditulis oleh Encik Amin pada akhir abad
ke-17 seusai perang tersebut:
(Skinner 1963:26-7).
...
(Ibid 95).
bagi Pujangga Baru ”Mengarang adalah mengungkapkan gerakan sukma” (Teeuw 1994).
Meskipun tidak semua sajak Sanusi Pane memiliki afinitas dengan karya penyair Melayu
klasik, namun sajaknya ”Dibawa Gelombang” (Madah Kelana 16) akan mengingatkan
pembaca pada syair Hamzah Fansuri yang juga menggunakan tamsil perahu:
Memang pola bunyi akhir sajak tersebut ABAB seperti pantun, namun puitikanya
adalah puitika syair. Bandingkan dengan bait-bait syair Hamzah Fansuri yang
menggunakan tamsil perahu:
(Doorenbos 1933:71)
Dalam ”Berdiri Aku” Amir Hamzah menulis dengan nada seperti syair Hamzah
Fansuri::
11
....
Dari uraian yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa Hamzah Fansuri
adalah penyair Melayu lama yang sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan puisi
Melayu dan besar pula jasanya bagi pertumbuhan bahasa serta kebudayaan Melayu.
Penutup
Saya akhiri perbincangan ini dengan mengucapkan terimakasih kepada panitia
seminar ini. Agar tersosialisasikan ketokohan dan peran Hamzah Fansuri selaku penyair
Melayu Nusantara yang cemerlang, seringlah diadakan diskusi dan seminar membahas
karya-karyanya. Puisi Hamzah Fansuri bisa dikaji dan diteliti dalam berbagai aspeknya
yang kaya. Sebagai kajian ilmu bahasa pun syair-syair Hamzah Fansuri sangat menarik.
Tidak kurang 1200 kata-kata Arab dan Persia kita temui dalam syair-syairnya.Sebagai
kajian tasawuf pun tidak kalah menarik. Risalahnya Asrar al-`Arifin sebenarnya adalah
tafsir hermeneutik terhadap puisi karangan penyair itu sendiri. Tafsir menjelma menjadi
risalah tasawuf yang luas bahasannya dan mendalam.
Untuk kajian filsafat, karangan-karangan puisi Hamzah Fansuri juga tidak kalah
menarik. Khususya berkenaan dengan estetika sufi yang dia terapkan dalam penciptaan
puisinya. Bidang ini masih jarang dilakukan oleh sarjana filsafat dan sastra di Indonesia.
Sekian dan terimakasih.
Daftar Pustaka
Abdullah Yusuf Ali (1983). The Holy Qur’an. Brentwood Maryland: Amana Corp.
Reza Arasteh (1974). Rumi, the Persian, The Sufi. London: Routledge and Kegan Paul.
12
Syed M. Naquib al-Attas (1968). The Origin of the Malay Sha`ir. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
------------------ (1992). “Puisi Sufi Perintis Jalan” (Análisis Sillar-syair Hamzah Fansuri
tentang Kekasih, Anggur dan Laut.) Ceramah di Sudut Penulis, Dewan Bahasa
dan Pustaka, Kuala Lumpur 27-8 Oktober.
L. Brakel (1979). “Hamza Fansuri, Notes on Yoga Practice, Lahir dan Zahir, the
Taxallos,
a difficult passage in the Kitab al-Muntahi, Hamza’s likely place of birth and
Hamza’s imagery”. JMBRAS no. 52/1:7-98.
Edwar Djamaris (1990). Menggali Khazanah Sastra Melayu Klasik. Jakarta: Balai
Pustaka.
Terpstra.
Ali Hasymi (1975). Syarah Ruba`i Hamzah Fansuri oleh Syamsudin al-Sumaterani.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
-------------- (1984). “Hamzah Fansuri Sastrawan Sufi Abad XVII”. Dalam Hamzah
Fansuri, Penyair Sufi Aceh. Ed. Abdul Hadi W.M. dan L. K. Ara. Jakarrta: Lotkala.
Seyyed Hosein Nasr (1987). Islamic Art and Spirituality.Cambridge: Golgonoza Press.
Annemarie Schimmel (1981). Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: The University
of North Carolina Press.
C. Skinner (1963). Syair Perang Mengkasar. VKI, XL. The Hague: Martinus Nijhoff.
A.Teeuw (1979). Modern Indonesian Literature. Vol. I. The Hague: Martinus Nijhoff.
J. S. Tirmingham (1973). The Sufi Orders in Islam. Oxford: Oxford University Press.