Anda di halaman 1dari 14

Buku Saku Tatalaksana Malaria

Standar Diagnosis:

1. Setiap individu yang tinggal di daerah endemis malaria yang menderita demam atau
memiliki riwayat demam dalam 48 jam terakhir atau tampak anemi; wajib diduga malaria
tanpa mengesampingka penyebab demam yang lain.
2. Setiap individu yang tinggal di daerah non endemis malaria yang menderita demam atau
riwayat demam dalam 7 hari terakhir dan memiliki risiko tertular malaria; wajib diduga
malaria. Risiko tertular malaria termasuk: riwayat berpergian ke daerah endemis malaria
atau adanya kunjungan individu dari daerah endemis malaria di lingkungan tempat tinggal
penderita atau ada riawayat transfuse darah.
3. Setiap penderita yang diduga malaria harus diperiksa darah malaria dengan mikroskop atau
RDT.
4. Untuk mendapatkan pengobatan yang cepat maka hasil diagnosis malaria harus didapatkan
segera (<24 jam) terhitung sejak pasien memeriksakan diri.

Standar Diagnosis:

1. Pengobatan radikal penderita malaria harus mengikuti kebijakan nasional pengendalian


malaria di Indonesia
2. Pengobatan dengan Artemisin based Combination Therapy (ACT) hanya diberikan kepada
penderita dengan hasil pemeriksaan darah malaria positif.
3. Penderita malaria tanpa komplikasi harus diobati dengan kombinasi berbasis artemisinin
(ACT) ditambah primakuin sesuai dengan jenis plasmodiumnya. Tidak diberikan Primakuin
pada bayi <6 bulan, ibu hamil, ibu menyusui bayi <6 bulan dan penderita malaria dengan
kekurangan G6PD. ACT yang ada disiapkan oleh program adalah Dihidroartemisinin-
Piperakuin (DHP)
4. Pengobatan DHP diberikan selama 3 hari sesuai dengan berat badan, yaitu H(hari) 0 (nol)
pada dosis pertama, H1 pada dosis kedua dan H2 pada dosis ketiga.
5. Penderita malaria berat harus diobati dengan Artesunate intravena atau intramuscular dan
dilanjutkan seperti pengobatan malaria tanpa komplikasi dengan DHP oral dan primakuin.
6. Setiap tenaga kesehatan harus memastikan kepatuhan pasien meminum obat sampai habis
melalui konseling agar tidak terjadi resistensi plasmodium terhadap obat.
7. Jika penderita malaria yang berat akan dirujuk, sebelum dirujuk penderita harus diberi dosis
awal Artesunate intramuscular/intravena.

Gejala :
Manifestasi klinis malaria dapat bervariasi dan dapat menyerupai penyakit lain: seperti tifoid,
dengue, leptospirosis, chikungunya, dan infeksi saluran nafas.
Gejala klasik berupa demam merupakan gejala utama. Pada permulaan dapat dijumpai
demam yang tidak teratur. Sifat demam akut (paroksismal) yang didahului oleh dingin menggigil
diikuti demam tinggi kemudian keringat banyak.
Gejala lain dapat ditemukan seperti nyeri kepala, mual, muntah, diare, pegal-pegal, dan
nyeri otot.
Pada orang yang tinggal di daerah endemis (imun) gejala klasik tidak selalu ditemukan.
Komplikasi
Jika tidak ditangani segera dapat menjadi malaria berat yang menyebabkan kematian
Malaria dapat menyebabkan anemia yang mengakibatkan penurunan kualitas sumber daya manusia
Malaria pada wanita hamil jika tidak diobati dapat menyebabkan keguguran, berat badan lahir
renadh (BBLR) serta lahir mati.

Diagnosis
Manifestasi klinis malaria dapat bervariaso dari ringan hingga berat
Anamnesis riwayat perjalanan ke daerah endemis malaria pada setiap penderita dengan demam
harus ditanyakan
Diagnosis pasti malaria harus ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah secara
mikroskopis atau uji diagnosis cepat (RDT)
Anamnesis:
a. Keluhan : demam, mengigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala, mual, muntah,
diare dan nyeri otot atau pegal-pegal.
b. Riwayat sakit malaria dan riwayat minum obat malaria
c. Riwayat berkunjung ke daerah focus atau endemis tinggi malaria
d. Riwayat tinggal di daerah focus endemis tinggi malaria

Pemeriksaan fisik

a. Suhu tubuh >= 37,5


b. Konjungtiva atau telapak tangan pucat
c. Sklera ikterik
d. Splenomegaly
e. Hepatomegaly

Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan dengan mikroskop


Pemeriksaan sediaan darah tebal dan tipis di puskesmas/lapangan.rumah sakit/
laboratorium klinik untuk mementukan:
1. Ada tidaknya parasite malaria (positif atau negative)
2. Spesies dan stadium plasmodium
3. Kepadatan parasit/jumlah parasite
b. Pemeriksaan dengan uji diagnostic cepat (RDT)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan
menggunakan metoda imunokromatografi. Sebelum menggunakan RDT perlu dibaca
petunjuk penggunaan dan tanggal kadaluarsanya, Pemeriksaan dengan RDT tidak
digunakan untuk mengevaluasi pengobatan

MALARIA BERAT (Dafpus guideline Who jga)


Ditemukannya Plasmodium falciparum atau Plasmodium vivax atau Plasmodium
knowlesi stadium aseksual dengan minimal satu dari manifestasi klinis sebagai berikut:
1. Perubahan kesadaran (GCS <11, Blantyre <3)
2. Prostasi: Kelemahan otot (tak dapat duduk/berjalan)
3. Kejang berulang-lebih dari dua episode dalam 24 jam
4. Asidosis metabolic (bikarbonat plasma <15 mmol/L)
5. Edema paru (didapat dari gambaran radiologi atau saturasi oksigen <92% dan
frekuensi pernafasan >30 kali/menit)
6. Gagal sirkulasi atau syok: pengisian kapiler >3 detik, tekanan sistolik <80 mmHg
(pada anak: <70 mmHG)
7. Jaundice (bilirubin >3mg/dL dan kepadatan parasite >100.000/uL pada malaria
falciparum, pada malaria knowlesi kepadatan parasite >20.000/uL)
8. Perdarahan spontan abnormal: termasuk rekuren atau prolong perdarahan dari
hidung, gusi dan daerah punksi vena; hematemesis atau melena
9. Hipoglikemi (gula darah <40 mg%)
10. Anemia berat pada anak <12 tahun ; Hb <7g/dL, Hematokrit <21% untuk endemis
sedang-rendah ; pada dewasa Hb<7g/dL atau hematokrit <21%
11. Hiperparasitemia (parasite >2% eritrosit atau 100.000 parasit/uL di daerah endemis
rendah atau >5% eritrosit atau > 250.000 parasit /uL di daerah endemis tinggi)
12. Hiperlaktemia (asam laktat >5 mmol/L)
13. Gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >3 mg/dL) atau ureum darah >20 mmol/L

Pada penderita tersangka malaria berat, terapi dapat segera diberikan berdasarkan pemeriksaan
RDTs

PENGOBATAN

Pengobatan malaria yang dianjurkan saat ini menggunakan DHP dan Primakuin. Pemberian
kombinasi ini untuk meningkatkan efektivitas dan mencegah resistensi. Malaria tanpa komplikasi
diobati dengan pemberian DHP secara oral. Disamping itu diberikan primakuin sebagai gametosidal
dan hipnozoidal.
Pengobatan malaria tanpa komplikasi

1. Malaria falsiparum dan malaria vivaks

Pengobatan saat ini menggunakan DHP di tambah primakuin.

Dosis DHP untuk malaria falsiparum sama dengan malaria vivaks, Primakuin untuk malaria
falsiparum hanya diberikan pada hari pertama saja dengan dosis 0,25 mg/kgBB, dan untuk malaria
vivaks selama 14 hari dengan dosis 0,25 mg.kgBB. Primakuin tidak boleh diberikan pada bayi usia <6
bulan dan ibu hamil juga ibu menyusui bayi usia < 6 bulan dan penderita kekurangan G6PD.
Pengobatan malaria falsiparum dan malaria vivaks adalah seperti dibawah ini

TABEL 1 HAL 10

Catatan :

a. Sebaiknya dosis pemberian DHP berdasarkan berat badan, apabila penimbangan berat
badan tidak dapat dilakukan maka pemberian obat dapat berdasarkan kelompok umur
b. Apabila da ketidaksesuaian antara umur dan berat badan (pada table pengobatan), maka
dosis yang dipakai adalah berdasarkan berat badan
c. Untuk anak dengan obesitas digunakan dosis berdasarkan berat bedan ideal
d. Primakuin tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan ibu menyusui bayi <6 bulan
e. Pemberian primakuin harus disertai edukasi pemantauan warna urin selama 3 hari pertama
setelah minum obat. Jika warna urin menjadi coklat tua atau hitam, segera hentikan
pengobatan dan rujuk ke rumah sakit
f. Khusus untuk penderita defisiensi enzim G6PD yang dicurigai melalui anamnesis ada keluhan
atau riwayat warna urin coklat kehitaman setekah minim obat, segera kirim ke fasilitas
rujukan. Dosis primakuin pada penderita malaria dengan defisiensi G^P 0,75 mg/kgBB/
minggu diberikan selama 8 minggu dengan pemantauan warna urin dan kadar hemoglobin
2. Pengobatan malaria vivaks yang relaps
Pengobatan kasus malaria vivaks relaps (kambuh) diberikan dengan regimen ACT yang sama
tetapi dosis primakuin ditingkatkan menjadi 0,5 mg/kgBB/hari (harus disertai dengan
pemeriksaan laboratorium kadar enzim G6PD)

3. Pengobatan malaria ovale

Pengobatan malaria ovale saat ini menggunakan ACT yaitu DHP selama 3 hari ditambah dengan
primakuin selama 14 hari. Dosis pemberian obatnya sama dengan untuk malaria vivaks.

4. Pengobatan malaria malariae

Pengobatan P. malariae diberikan DHP selama 3 hari, dengan dosis sama dengan pengobatan
malaria lainnya dan tidak diberikan primakuin

5. Pengobatan infeksi campur P. falciparum + P. viva / P. ovale


Pada penderita dengan infeksi campur diberikan DHP selama 3 hari serta primakuin dengan
dosis 0,25 mg/kgBB/hari selama 14 hari.

TABEL 3 hal 12

6. Pengobatan malaria knowlesi

Diagnosa malaria knowlesi ditegakkan dengan PCR. Pengobatan suspek malaria knowlesi sama
seperti malaria falciparum.

algoritme
Guidelines for the treatment of malaria 3rd WHO

Gejala dan tanda malaria bervariaso dan tidak spesifik. Malaria dicurigai secara klinis berdasarkan
riwayat demam

Pada daerah endemis malaria, malaria harus dicurigai pada pasien dengan riwayat demam dengan
suhu >37,5 derjat dan tidak ada penyebab lain yang jelas.

Semua kasus yang dicurigai malaria harus diakukan pemeriksaan parasitologis (mikroskopik atau
RDT)

Pemeriksaan parasit yang rutin digunakan adalah pemeriksaan darah mikroskopik dan RDT
imunokromatografi.

Pada semua kasus yang asimtomatik , pemeriksaan darah tipis dan tebal pada kasusu positif akan
memperlihatkan parasit malaria.

Malaria tanpa komplikasi: pasien dengan gejala malaria dan positif pemeriksaan parasit tetapi tanpa
tanda dan gejala malaria berat
Tatalaksana Malaria P. falciparum tanpa komplikasi

Tujuan untuk mengobati infeksi secepat mungkin dan untuk mencegah progresivitas penyakit.
“cure” didefinisikan sebagai eliminasi semua parasit dalam tubuh

Anak-anak dan dewasa diberikan terapi dengan ACT (kecuali wanita hamil pada trimester pertama)

ACT adalah kombbinasi rapidly acting atemisin derivat dengan obat lain yang lebih long-acting.
Tatalaksana kombinasi ini meliputi dua siklus aseksual dan memastikan hanya bagian kecil parasit
yang tersisa untuk diklirens dengan obat kombinasi. Kombinasi ini juga megurangi kemungkinan
resistensi

Rekomendasi ACT untuk malaria falciparum tanpa komplikasi

-artemether + lumefantrine

- artessunat + amodiakuin

-artesunat + meflokuin

-artesunat + SP

- dihidroartemisin + piperakuin

Regimen ACT diberikan 3 hari dengan artemisin derivat

Malaria falciparum rekuren

Hal ini disebabkan karna reinfeksi atau kegagalan terapi. Kegagalan terapi dapat disebabkan
resistensi atau terapi yang inadekuat

Kegagalan terapi harus dikonfirmasi secara lab juka memungkinkan.

Pada trimester pertama kehamilan diberikan quinine + klindamisin selama 7 hari

Anak dengan BB dibawah 5 kg sama dengan anak bb 5 kg

Pasien dengan ko-infeksi HIV hindari penggunaan artesunat + SP jika pasien mendapat terapi cotrim

TATALAKSANA malaria P viva P ovale P knowlesi tanpa komplikasi

Blood stage infection

Jika spesies malaria tidak diketahui secara jelas, tatalaksana seperti malaria palcifarum tanpa
komplikasi

Pada area dengan sensitif terhadap klorokuin, tatalaksana malaria P viva P ovale P knowlesi tanpa
komplikasi pada anak-anak dan dewasa dengan ACT atau klorokuin

Pada daerah resisten klorokuin, berikan terapi dengan ACT

Terapi wanita hamil trimester 1 yang resisten klorokuin dengan kuinin

Tujuan terapi malaria viva dan ovale adalah untuk mengobati stage darah dan infeksi hepar , dan
juga mencegah peningkatan keparahan dan relaps kasus

TATALAJSANA malaria berat


Tatalaksana kasus malaria berat dengan terapi iv dan im artesunat setidaknya 24 jam sampai pasien
bisa mentoleransi pengobatan oral. Dilanjutkan dengan tatalaksana ACT selama 3 hari

Kemoprofilaks pada kelompok beresiko

Malaria dapatt dicegah dengan mengkonsumsi obat yang mencegah perkembangan stadium hepar
(pre-erythrocytic) (profilaksis kausal) atau obat yang membunuh bentuk aseksual pada stadium
darah (profilaksis supresif). Profilaksis kausal (atovaquon + proguanil, primakuin)dapat dihentikan
segera setelah meninggalkan daerah endemis, sedangkan terapi profilaksis supresid harus di
konsumsi setidakna 4 minggu setelah mninggalkan daerah endemik. Untuk orang yang berpergian,
kemoprofikasi dimulai sebelum memasuki daerah endemis untuk mengetahui tolerabilitas dan untuk
mengeliminasi obat secara pelahan untuk membentuk konsentrasi terapetik

Patogenesis Malaria

Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit, inang dan lingkungan.
Patogenesis lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah daripada
koagulasi intravaskuler. Oleh karena skizogoni menyebabkan kerusakan eritrosit maka akan terjadi
anemia. Beratnya anemi tidak sebanding dengan parasitemia menunjukkan adanya kelainan eritrosit
selain yang mengandung parasit.Hal ini diduga akibat adanya toksin malaria yang menyebabkan
gangguan fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah melalui limpa sehingga parasit keluar. Faktor
lain yang menyebabkan terjadinya anemia mungkin karena terbentuknya antibodi terhadap eritrosit.

Limpa mengalami pembesaran dan pembendungan serta pigmentasi sehingga mudah


pecah.Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis dari
eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi.Pada malaria kronis terjadi hyperplasia dari
retikulosit diserta peningkatan makrofag.

Pada malaria beratm mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan invasi merozoit ke dalam
eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit mengalami perubahan struktur
danmbiomolekular sel untuk mempertahankan kehidupan parasit. Perubahan tersebut meliputi
mekanisme, diantaranya transport membran sel, sitoadherensi, sekuestrasi dan resetting.

Sitoadherensi merupakan peristiwa perlekatan eritrosit yang telah terinfeksi P. falciparum pada
reseptor di bagian endotelium venule dan kapiler.Selain itu eritrosit juga dapat melekat pada
eritrosit yang tidak terinfeksi sehingga terbentuk roset. .

Resetting adalah suatu fenomena perlekatan antara sebuah eritrosit yang mengandung merozoit
matang yang diselubungi oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit non parasit, sehingga berbentu seperti
bunga. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya resetting adalah golongan darah dimana
terdapatnya antigen golongan darah A dan B yang bertindak sebagai reseptor pada permukaan
eritrosit yang tidak terinfeksi.
1. Demam

Akibat ruptur eritrosit → merozoit dilepas ke sirkulasi

Pelepasan merozoit pada tempat dimana sirkulasi melambat mempermudah infasi sel darah
yang berdekatan, sehingga parasitemia falsifarum mungkin lebih besar daripada parasitemia spesies
lain, dimana robekan skizon terjadi pada sirkulasi yang aktif. Sedangkan plasmodium falsifarum
menginvasi semua eritrosit tanpa memandang umur, plasmodium vivax menyerang terutama
retikulosit, dan plasmodium malariae menginvasi sel darah merah matang, sifat-sifat ini yang
cenderung membatasi parasitemia dari dua bentuk terakhir diatas sampai kurang dari 20.000 sel
darah merah /mm3. Infeksi falsifarum pada anak non imun dapat mencapai kepadatan hingga
500.000 parasit/mm3. 5

2. Anemia

Akibat hemolisis, sekuestrasi eritrosit di limpa dan organ lain, dan depresi sumsum tulang

Hemolisis sering menyebabkan kenaikan dalam billirubin serum, dan pada malaria falsifarum ia
dapat cukup kuat untuk mengakibatkan hemoglobinuria (blackwater fever). Perubahan autoantigen
yang dihasilkan dalam sel darah merah oleh parasit mungkin turut menyebabkan hemolisis,
perubahan-perubahan ini dan peningkatan fragilitas osmotic terjadi pada semua eritrosit, apakah
terinfeksi apa tidak. Hemolisis dapat juga diinduksi oleh kuinin atau primakuin pada orang-orang
dengan defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase herediter.

Pigmen yang keluar kedalam sirkulasi pada penghancuran sel darah merah berakumulasi dalam
sel retikuloendotelial limfa, dimana folikelnya menjadi hiperplastik dan kadang-kadang nekrotik,
dalam sel kupffer hati dan dalam sumsum tulang, otak, dan organ lain. Pengendapan pigmen dan
hemosiderin yang cukup mengakibatkan warna abu-abu kebiruan pada organ.

3. Kejadian immunopatologi

Aktivasi poliklonal → hipergamaglobulinemia, pembentukan kompleks imun, depresi immun,


pelepasan sitokin seperti TNF

Bentuk imunitas terhadap malaria dapat dibedakan atas :

a) Imunitas alamiah non imunologis

Berupa kelainan-kelainan genetic polimorfisme yang dikaitkan dengan resistensi terhadap


malaria, misalnya: Hb S, Hb C, Hb E, thallasemin alafa-beta, defisiensi glukosa 6-fosfat
dehidrogenase, golingan darah duffy negative kebal terhadap infeksi plasmodium vivax, individu
dengan HLA-Bw 53 lebih rentan terhadap malaria dan melindungi terhadap malaria berat.

b) Imunitas didapat non spesifik

Sporozoit yang masuk kedalam darah segera dihadapi oleh respon imun non spesifik yang
terutama dilakukan oleh magrofag dan monosit, yang menghasilkan sitokin-sitokin seperti TNF, IL1,
IL2, IL4, IL6, IL8, dan IL10, secara langsung menghambat pertumbuhan parasit (sitostatik),
membunuh parasit (sitotoksik). 5

c) Imunitas didapat spesifik.

Merupakan tanggapan system imun terhadap infeksi malaria mempunyai sifat spesies spesifik,
strain spesifik, dan stage spesifik. 5

4. Anoxia jaringan

parasit P. falciparum matur: timbul knob pada permukaan sel darah merah berparasit yang
memfasilitasi cytoadherence P. falciparum-parasitized red cells ke sel-sel endotel vaskular otak,
ginal, organ yang terkena lainnya à obstruksi aliran darah & kerusakan kapiler à leakage protein dan
cairan vaskular, edema, serta anoxia jaringan otak, jantung, paru, usus, ginjal.

 P. vivax dan P. ovale : menyerang eritrosit imatur


 P. malariae: menyerang eritrosit matur
 P. falciparum: menyerang eritrosit matur & imatur à parasitemia lebih berat
 Kerentanan bervariasi secara genetik, beberapa fenotip sel darah merah:
 Hemoglobin S
 Hemoglobin F
 Thalassemia
 Resisten (parsial) terhadap infeksi P. falciparum. 5

5 Gunawan S. Epidemiologi Malaria. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria, Epidemiologi,


Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta: EGC, 2000; Hal: 1-15.

Anda mungkin juga menyukai