Standar Diagnosis:
1. Setiap individu yang tinggal di daerah endemis malaria yang menderita demam atau
memiliki riwayat demam dalam 48 jam terakhir atau tampak anemi; wajib diduga malaria
tanpa mengesampingka penyebab demam yang lain.
2. Setiap individu yang tinggal di daerah non endemis malaria yang menderita demam atau
riwayat demam dalam 7 hari terakhir dan memiliki risiko tertular malaria; wajib diduga
malaria. Risiko tertular malaria termasuk: riwayat berpergian ke daerah endemis malaria
atau adanya kunjungan individu dari daerah endemis malaria di lingkungan tempat tinggal
penderita atau ada riawayat transfuse darah.
3. Setiap penderita yang diduga malaria harus diperiksa darah malaria dengan mikroskop atau
RDT.
4. Untuk mendapatkan pengobatan yang cepat maka hasil diagnosis malaria harus didapatkan
segera (<24 jam) terhitung sejak pasien memeriksakan diri.
Standar Diagnosis:
Gejala :
Manifestasi klinis malaria dapat bervariasi dan dapat menyerupai penyakit lain: seperti tifoid,
dengue, leptospirosis, chikungunya, dan infeksi saluran nafas.
Gejala klasik berupa demam merupakan gejala utama. Pada permulaan dapat dijumpai
demam yang tidak teratur. Sifat demam akut (paroksismal) yang didahului oleh dingin menggigil
diikuti demam tinggi kemudian keringat banyak.
Gejala lain dapat ditemukan seperti nyeri kepala, mual, muntah, diare, pegal-pegal, dan
nyeri otot.
Pada orang yang tinggal di daerah endemis (imun) gejala klasik tidak selalu ditemukan.
Komplikasi
Jika tidak ditangani segera dapat menjadi malaria berat yang menyebabkan kematian
Malaria dapat menyebabkan anemia yang mengakibatkan penurunan kualitas sumber daya manusia
Malaria pada wanita hamil jika tidak diobati dapat menyebabkan keguguran, berat badan lahir
renadh (BBLR) serta lahir mati.
Diagnosis
Manifestasi klinis malaria dapat bervariaso dari ringan hingga berat
Anamnesis riwayat perjalanan ke daerah endemis malaria pada setiap penderita dengan demam
harus ditanyakan
Diagnosis pasti malaria harus ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah secara
mikroskopis atau uji diagnosis cepat (RDT)
Anamnesis:
a. Keluhan : demam, mengigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala, mual, muntah,
diare dan nyeri otot atau pegal-pegal.
b. Riwayat sakit malaria dan riwayat minum obat malaria
c. Riwayat berkunjung ke daerah focus atau endemis tinggi malaria
d. Riwayat tinggal di daerah focus endemis tinggi malaria
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan laboratorium
Pada penderita tersangka malaria berat, terapi dapat segera diberikan berdasarkan pemeriksaan
RDTs
PENGOBATAN
Pengobatan malaria yang dianjurkan saat ini menggunakan DHP dan Primakuin. Pemberian
kombinasi ini untuk meningkatkan efektivitas dan mencegah resistensi. Malaria tanpa komplikasi
diobati dengan pemberian DHP secara oral. Disamping itu diberikan primakuin sebagai gametosidal
dan hipnozoidal.
Pengobatan malaria tanpa komplikasi
Dosis DHP untuk malaria falsiparum sama dengan malaria vivaks, Primakuin untuk malaria
falsiparum hanya diberikan pada hari pertama saja dengan dosis 0,25 mg/kgBB, dan untuk malaria
vivaks selama 14 hari dengan dosis 0,25 mg.kgBB. Primakuin tidak boleh diberikan pada bayi usia <6
bulan dan ibu hamil juga ibu menyusui bayi usia < 6 bulan dan penderita kekurangan G6PD.
Pengobatan malaria falsiparum dan malaria vivaks adalah seperti dibawah ini
TABEL 1 HAL 10
Catatan :
a. Sebaiknya dosis pemberian DHP berdasarkan berat badan, apabila penimbangan berat
badan tidak dapat dilakukan maka pemberian obat dapat berdasarkan kelompok umur
b. Apabila da ketidaksesuaian antara umur dan berat badan (pada table pengobatan), maka
dosis yang dipakai adalah berdasarkan berat badan
c. Untuk anak dengan obesitas digunakan dosis berdasarkan berat bedan ideal
d. Primakuin tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan ibu menyusui bayi <6 bulan
e. Pemberian primakuin harus disertai edukasi pemantauan warna urin selama 3 hari pertama
setelah minum obat. Jika warna urin menjadi coklat tua atau hitam, segera hentikan
pengobatan dan rujuk ke rumah sakit
f. Khusus untuk penderita defisiensi enzim G6PD yang dicurigai melalui anamnesis ada keluhan
atau riwayat warna urin coklat kehitaman setekah minim obat, segera kirim ke fasilitas
rujukan. Dosis primakuin pada penderita malaria dengan defisiensi G^P 0,75 mg/kgBB/
minggu diberikan selama 8 minggu dengan pemantauan warna urin dan kadar hemoglobin
2. Pengobatan malaria vivaks yang relaps
Pengobatan kasus malaria vivaks relaps (kambuh) diberikan dengan regimen ACT yang sama
tetapi dosis primakuin ditingkatkan menjadi 0,5 mg/kgBB/hari (harus disertai dengan
pemeriksaan laboratorium kadar enzim G6PD)
Pengobatan malaria ovale saat ini menggunakan ACT yaitu DHP selama 3 hari ditambah dengan
primakuin selama 14 hari. Dosis pemberian obatnya sama dengan untuk malaria vivaks.
Pengobatan P. malariae diberikan DHP selama 3 hari, dengan dosis sama dengan pengobatan
malaria lainnya dan tidak diberikan primakuin
TABEL 3 hal 12
Diagnosa malaria knowlesi ditegakkan dengan PCR. Pengobatan suspek malaria knowlesi sama
seperti malaria falciparum.
algoritme
Guidelines for the treatment of malaria 3rd WHO
Gejala dan tanda malaria bervariaso dan tidak spesifik. Malaria dicurigai secara klinis berdasarkan
riwayat demam
Pada daerah endemis malaria, malaria harus dicurigai pada pasien dengan riwayat demam dengan
suhu >37,5 derjat dan tidak ada penyebab lain yang jelas.
Semua kasus yang dicurigai malaria harus diakukan pemeriksaan parasitologis (mikroskopik atau
RDT)
Pemeriksaan parasit yang rutin digunakan adalah pemeriksaan darah mikroskopik dan RDT
imunokromatografi.
Pada semua kasus yang asimtomatik , pemeriksaan darah tipis dan tebal pada kasusu positif akan
memperlihatkan parasit malaria.
Malaria tanpa komplikasi: pasien dengan gejala malaria dan positif pemeriksaan parasit tetapi tanpa
tanda dan gejala malaria berat
Tatalaksana Malaria P. falciparum tanpa komplikasi
Tujuan untuk mengobati infeksi secepat mungkin dan untuk mencegah progresivitas penyakit.
“cure” didefinisikan sebagai eliminasi semua parasit dalam tubuh
Anak-anak dan dewasa diberikan terapi dengan ACT (kecuali wanita hamil pada trimester pertama)
ACT adalah kombbinasi rapidly acting atemisin derivat dengan obat lain yang lebih long-acting.
Tatalaksana kombinasi ini meliputi dua siklus aseksual dan memastikan hanya bagian kecil parasit
yang tersisa untuk diklirens dengan obat kombinasi. Kombinasi ini juga megurangi kemungkinan
resistensi
-artemether + lumefantrine
- artessunat + amodiakuin
-artesunat + meflokuin
-artesunat + SP
- dihidroartemisin + piperakuin
Hal ini disebabkan karna reinfeksi atau kegagalan terapi. Kegagalan terapi dapat disebabkan
resistensi atau terapi yang inadekuat
Pasien dengan ko-infeksi HIV hindari penggunaan artesunat + SP jika pasien mendapat terapi cotrim
Jika spesies malaria tidak diketahui secara jelas, tatalaksana seperti malaria palcifarum tanpa
komplikasi
Pada area dengan sensitif terhadap klorokuin, tatalaksana malaria P viva P ovale P knowlesi tanpa
komplikasi pada anak-anak dan dewasa dengan ACT atau klorokuin
Tujuan terapi malaria viva dan ovale adalah untuk mengobati stage darah dan infeksi hepar , dan
juga mencegah peningkatan keparahan dan relaps kasus
Malaria dapatt dicegah dengan mengkonsumsi obat yang mencegah perkembangan stadium hepar
(pre-erythrocytic) (profilaksis kausal) atau obat yang membunuh bentuk aseksual pada stadium
darah (profilaksis supresif). Profilaksis kausal (atovaquon + proguanil, primakuin)dapat dihentikan
segera setelah meninggalkan daerah endemis, sedangkan terapi profilaksis supresid harus di
konsumsi setidakna 4 minggu setelah mninggalkan daerah endemik. Untuk orang yang berpergian,
kemoprofikasi dimulai sebelum memasuki daerah endemis untuk mengetahui tolerabilitas dan untuk
mengeliminasi obat secara pelahan untuk membentuk konsentrasi terapetik
Patogenesis Malaria
Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit, inang dan lingkungan.
Patogenesis lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah daripada
koagulasi intravaskuler. Oleh karena skizogoni menyebabkan kerusakan eritrosit maka akan terjadi
anemia. Beratnya anemi tidak sebanding dengan parasitemia menunjukkan adanya kelainan eritrosit
selain yang mengandung parasit.Hal ini diduga akibat adanya toksin malaria yang menyebabkan
gangguan fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah melalui limpa sehingga parasit keluar. Faktor
lain yang menyebabkan terjadinya anemia mungkin karena terbentuknya antibodi terhadap eritrosit.
Pada malaria beratm mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan invasi merozoit ke dalam
eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit mengalami perubahan struktur
danmbiomolekular sel untuk mempertahankan kehidupan parasit. Perubahan tersebut meliputi
mekanisme, diantaranya transport membran sel, sitoadherensi, sekuestrasi dan resetting.
Sitoadherensi merupakan peristiwa perlekatan eritrosit yang telah terinfeksi P. falciparum pada
reseptor di bagian endotelium venule dan kapiler.Selain itu eritrosit juga dapat melekat pada
eritrosit yang tidak terinfeksi sehingga terbentuk roset. .
Resetting adalah suatu fenomena perlekatan antara sebuah eritrosit yang mengandung merozoit
matang yang diselubungi oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit non parasit, sehingga berbentu seperti
bunga. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya resetting adalah golongan darah dimana
terdapatnya antigen golongan darah A dan B yang bertindak sebagai reseptor pada permukaan
eritrosit yang tidak terinfeksi.
1. Demam
Pelepasan merozoit pada tempat dimana sirkulasi melambat mempermudah infasi sel darah
yang berdekatan, sehingga parasitemia falsifarum mungkin lebih besar daripada parasitemia spesies
lain, dimana robekan skizon terjadi pada sirkulasi yang aktif. Sedangkan plasmodium falsifarum
menginvasi semua eritrosit tanpa memandang umur, plasmodium vivax menyerang terutama
retikulosit, dan plasmodium malariae menginvasi sel darah merah matang, sifat-sifat ini yang
cenderung membatasi parasitemia dari dua bentuk terakhir diatas sampai kurang dari 20.000 sel
darah merah /mm3. Infeksi falsifarum pada anak non imun dapat mencapai kepadatan hingga
500.000 parasit/mm3. 5
2. Anemia
Akibat hemolisis, sekuestrasi eritrosit di limpa dan organ lain, dan depresi sumsum tulang
Hemolisis sering menyebabkan kenaikan dalam billirubin serum, dan pada malaria falsifarum ia
dapat cukup kuat untuk mengakibatkan hemoglobinuria (blackwater fever). Perubahan autoantigen
yang dihasilkan dalam sel darah merah oleh parasit mungkin turut menyebabkan hemolisis,
perubahan-perubahan ini dan peningkatan fragilitas osmotic terjadi pada semua eritrosit, apakah
terinfeksi apa tidak. Hemolisis dapat juga diinduksi oleh kuinin atau primakuin pada orang-orang
dengan defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase herediter.
Pigmen yang keluar kedalam sirkulasi pada penghancuran sel darah merah berakumulasi dalam
sel retikuloendotelial limfa, dimana folikelnya menjadi hiperplastik dan kadang-kadang nekrotik,
dalam sel kupffer hati dan dalam sumsum tulang, otak, dan organ lain. Pengendapan pigmen dan
hemosiderin yang cukup mengakibatkan warna abu-abu kebiruan pada organ.
3. Kejadian immunopatologi
Sporozoit yang masuk kedalam darah segera dihadapi oleh respon imun non spesifik yang
terutama dilakukan oleh magrofag dan monosit, yang menghasilkan sitokin-sitokin seperti TNF, IL1,
IL2, IL4, IL6, IL8, dan IL10, secara langsung menghambat pertumbuhan parasit (sitostatik),
membunuh parasit (sitotoksik). 5
Merupakan tanggapan system imun terhadap infeksi malaria mempunyai sifat spesies spesifik,
strain spesifik, dan stage spesifik. 5
4. Anoxia jaringan
parasit P. falciparum matur: timbul knob pada permukaan sel darah merah berparasit yang
memfasilitasi cytoadherence P. falciparum-parasitized red cells ke sel-sel endotel vaskular otak,
ginal, organ yang terkena lainnya à obstruksi aliran darah & kerusakan kapiler à leakage protein dan
cairan vaskular, edema, serta anoxia jaringan otak, jantung, paru, usus, ginjal.