“Constructed Wetlands”
Oleh
(E1F119036)
FAKULTAS TEKNIK
2020
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL……………………………………………………………………………..
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………….
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………………..
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………………...
2.1 Potensi dan Pengaruh Tanaman Pada Pengolahan Air Limbah Domestik
Dengan Sistem Constructed Wetlands…………………………………………….
2.2 Identifikasi Konflik Perebutan Tanah Adat Di Daerah Lahan Basah
Kabupaten Banjar……………………………………………………………………
2.3 Perlindungan Terhadap Kekayaan Intelektual Indikasi Geografis Hasil
Pertanian Lahan Basah Sebagai Produk Khas Kalimantan Selatan…………...
2.4 Perlindungan Indikasi Geografis bagi Produsen Hasil Pertanian Lahan Basah
di Propinsi Kalimantan Selatan……………………………………………………..
BAB III
PENUTUP…………………………………………………………………………………….......
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………………
3.2 Saran…………………………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lahan basah yang tediri dari hutan gambut, mangrove, dan rawa gelam memiliki
potensi biodiversitas yang sangat tinggi. Lahan basah dengan berbagai kekayaan
alamnya baik flora, fauna, maupun ekosistemnya sangat menarik minat untuk
kegiatan ekowisata. Namun dilain pihak lahan basah mendapat tekanan
pembangunan, sehingga banyak terjadi kerusakkan, penciutan dan kemunduran
fungsinya bagi pendukung kehidupan. Pembangunan ekowisata yang cukup
berhasil di berbagai negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam
bahkan di negara-negara Amerika Latin harus menjadi pemicu bagi perkembangan
membangun ekowisata di Indonesia. Mereka melakukan manajemen ekowisata
yang berusaha secara ketat melindungi dan melestarikan biodiversitas,
meningkatkan sosial ekonomi masyarakat setempat, menumbuhkan perekonomian
daerah, dan bahkan mampu menyumbang perolehan devisa negara. Pendekatan
penulisan makalah adalah menggunakan analisis demand dan supply.
Lahan basah yang dapat dibangun dan dikembangkan menjadi kawasan ekowisata
merupakan hutan alam yang bernilai penting dengan status Kawasan Suaka Alam
(KSA), Kawasan Pelestarian Alam (KPA), dan hutan lindung ataupun Hutan
Masyarakat. Sesuai dengan status kawasannya maka kawasan yang sudah
disiapkan oleh pemerintah bagi kegiatan ekowisata adalah taman nasional yang
dikelola oleh pemerintah c/q Balai Taman Nasional. Di Kalimantan, misalnya
Taman-taman Nasional Tanjung Puting, Sebangau, Khayan Mentarang adalah
contoh-contoh kegiatan ekowisata di lahan basah yang telah berkembang saat ini.
Kawasan ekowisata di luar KPA dan KSA masih belum berkembang secara luas. Di
beberapa daerah di Kalimantan seperti di Kabupaten Tapin, Kabupaten Kutai Barat,
dan Mempawah, serta Kota Banjarbaru sedang disiapkan pembangunan ekowisata
lahan basah. Di Kabupaten Tapin dan Mempawah dengan obyek utama satwa
primata bekantan. Namun pengembangan ekowiata di luar taman-taman nasional
banyak hambatan terutama karena kurangnya pemahaman ekowisata, status
lahan, tekanan penduduk, kebakaran hutan, dan lemahnya kapasitas personil SDM
dan kerjasama antar instansi terkait.
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap permintaan ekowisata yang mempunyai
dinamika, yang mencakup aspek yang luas dan berbeda-beda untuk setiap usaha.
Sehingga sangat sulit mendefinisikan permintaan ekowisata secara tepat. Namun
Cooper et al (1998) telah mencoba mendefinisikan permintaan wisata sebagai
perwakilan dari keinginan wisatawan untuk melakukan perjalanan ke tempat baru,
untuk melepaskan diri dari kegiatan rutin di tempat asalnya, sebagai faktor
pendorong (push factor) untuk melakukan perjalanan. DTW menjadi sangat penting,
karena perannya sebagai faktor penarik (pull factor), yang berfungsi sebagai host
untuk menampung motivasi kegiatan ekowisata.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Potensi dan Pengaruh Tanaman Pada Pengolahan Air Limbah Domestik
Dengan Sistem Constructed Wetlands
Pengolahan air limbah yang mengandung bahan organik, secara biologis dapat
dilakukan dengan beberpa jenis pengolahan, yaitu aerobik, anaerobik atau
gabungan beberapa proses tersebut. Proses pengolahan air limbah secara biologis
tersebut, mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Untuk itu diperlukan upaya
dengan teknologi yang sederhana, murah, mudah, tepat guna, ekonomis serta
operasional dan pemeliharannya yang tidak memerlukan tenaga khusus.
Penggunaan tumbuhan air dalam sistem Constructed Wetland sebagai alternatif
sarana pengolahan air limbah, pada beberapa Negara telah banyak digunakan.
Namun di Indonesia, belum begitu populer perkembangannya, karena kajian dan
publikasi mengenai kemampuan tumbuhan air tersebut masih kurang. Berdasarkan
morfologi dari tumbuhan Cattail (Typha Angustifolia) sangat cocok untuk
pengolahan dengan sistem Constructed Wetland.
Tumbuhan Cattail memiliki sistem perakaran yang banyak yang dapat menyerap
zat organik di bagan air. Sedangkan tumbuhan Cattail sangat banyak dan tumbuh
subur di sekitar Surabaya Berdasarkan hal di atas, maka dilakukan peneltian
mengenai kemapuan tumbuhan air Cattail ( Typha Angustifolia ) dalam sistem
Constructed wetland yang diharapkan dapat menurunkan BOD, COD dan TSS air
limbah domestik.
Air limbah adalah cairan atau buanagan dari rumah tangga, industri maupun
tempat-tempat umum lain yang mengandung bahan – bahan yang dapat
membahayakan kehidupan manusia maupun makhluk hidup lain serta mengganggu
kelestarian lingkungan (Metcalf & Eddy dalam Supradata, 2005). Air limbah
domestik, menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 112 Tahun 2003
tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik disebutkan pada Pasal 1 ayat 1, bahwa air
limbah domestik adalah air limbah yang berasal dari usaha dan atau kegiatan
permukiman (real estate), rumah makan (restaurant), perkantoran, perniagaan,
apartemen dan asrama.
Proses pengolahan air limbah dengan teknologi Constructed wetland dapat terjadi
melalui proses kimia, fisika, dan biologis yang merupakan interaksi antara
mikroorganisme . Constructed wetland terbagi menjadi dua tipe yaitu constructed
wetland - emergent plants dan floating plants. karakteristik constructed wetland -
emergent plants yaitu memiliki kedalaman yang sangat dangkal, berada pada range
0,1 – 0,6 meter. sedangkan constructed wetland floating plants dapat mencapai
kedalaman 0,5 – 1,8 meter
Crites and Tchobanuglous (1998) secara principal tipe wetland di bedakan menjadi
Free Water Surface (FWS) Constructed wetland, Subsurface Flow (SF)Constructed
wetland, Floating Aquatic Plant System dan Sistem kombinasi. Free water surface
(FWS) system biasanya berupa kolam atau saluaran-saluran yang dilapisi lapisan
impermeable di bawah saluran atau kolam yang berfungsi untuk mencegah
merembesnya air keluar kolam atau saluran. Kemudian kolam tersebut terisi tanah
sebagai tempat hidup tanaman yang hidup pada air tergenang (Novotny dan Olem,
1994). Pada Subsurface Flow System (SFS), pengolahan terjadi ketika air limbah
mengalir secara perlahan melalui tanaman ditanam pada media berpori, misalnya
batu pecah, kerikil dan tanah yang berbeda (Novotny & Olem, 1994)
Proses pengolahan yang terjadi pada sistem ini adalah filtrasi, adsorbs oleh
mikroorganisme dan adsorbs terhadap tanah dan bahan organik oleh akar-akar.
Floating Aquatic Plant System atau tanaman air terapung memanfaatkan jenis
tanaman air yang hidup terapung di permukaan air dengan posisi terjerat, sehingga
memungkinkan tanaman tersebut untuk menyerap zatzat yang diperlukan terutama
bahan terlarut yang terjadi di bawah perakaran tanaman dapat meningkatkan
kapasitas pengolahan dan memelihara kondisi aerobik yang di perlukan untuk
proses biologis, dibawah permukaan air
2.2 Identifikasi Konflik Perebutan Tanah Adat Di Daerah Lahan Basah Kabupaten
Banjar
Konflik tanah hak ulayat pada prinsipnya dapat diselesaikan melalui cara non litigasi
atau penyelesaian sengketa alternatif. Secara umum, terbagi menjadi tiga bagian
penting, yaitu tahap musyawarah, pelaksanaan hasil musyawarah, dan penutupan
hasil musyawarah. Tahap musyawarah bertujuan untuk: (a) menentukan siapa yang
akan menjadi juru penengah yang bertugas untuk melakukan pemahaman terhadap
sengketa yang terjadi, penentuan tempat penyelesaian, waktu dan pihak-pihak lain
yang akan dilibatkan serta hal-hal
Konflik tanah terkait kepentingan umum sering melahirkan dampak sosial yang
tidak sedikit baik secara ekonomi, sosial dan lain sejenisnya. Oleh karenanya,
diperlukan strategi untuk mereduksi dampak negatif dari konflik tanah untuk
kepentingan umum. Ini harus diawali dari perubahan cara pandang yang biasanya
selalu menyebut ganti rugi menjadi kompensasi. Ganti rugi selama ini dimaknai
bahwa pemilik hak atas tanah telah merugi sebelum melepaskan tanahnya untuk
kepentingan umum. Sementara kompensasi lebih bermakna positif, yakni balasan
atau imbalan untuk tanah yang dibebaskan. Ada dua bentuk kompensasi yang
umumnya dilakukan, yakni uang dan non uang atau bersifat non fisik. Untuk uang
sesuai dengan jumlah yang harus diterima, hal tersebut merupakan sesuatu yang
bisa dihitung secara matematis dengan pendekatan ekonomi. Namun untuk non
fisik, ini lebih dekat dengan pendekatan sosiologis. Bentuk kompensasi non fisik
adalah sebagai berikut: (1) pembangunan infrastruktur pemukiman baru yang
memadai seperti jalan dan transportasi umum, pelistrikan, dan lain-lain; (2)
pembangunan sarana rekreasi seperti taman umum, tempat pertemuan umum, dan
lain sejenisnya; (3) akses ke tempat strategis, seperti terminal, pasar, sekolah, dan
lain sejenisnya; (4) pembangunan daerah tangkapan air yang meliputi pengelolaan
sumber DAS, penghutanan kembali, dan lain sejenisnya.
Setiap daerah mempunyai produk khas yang merupakan unggulan daerah yang
bersangkuta. Dikatakan produk khas dikarenakan barang-barang yang dimaksud
mempunyai karakteristik khusus yang hanya ada di daerah yang bersangkutan,
dan tidak dapat diperoleh di daerah. Atas dasar fakta inilah, banyak barang-
barang yang beredar di pasaran menggunakan nama daerah untuk menunjukkan
kekhasan produknya.
Yang menjadi persoalan adalah banyak penggunaan nama daerah untuk barang-
barang yang sebenarnya tidak dihasilkan di daerah yang bersangkutan.
Penggunaan nama suatu daerah oleh pihak yang tidak berhak akan menyesatkan
konsumen mengenai asal usul barang. Konsumen akan dirugikan karena ia
mengira telah membeli barang yang mempunyai karakteristik khusus karena
dihasilkan suatu daerah. Pihak produsen penghasil barang juga dirugikan bukan
hanya terkait dengan omset penjualan tetapi penggunaan nama daerah oleh pihak
yang tidak berhak akan merusak reputasi barang dimata konsumen. Dengan latar
belakang demikian maka timbul keinginan untuk melindungi suatu tanda yang
menunjukan daerah asal barang dari penggunaan pihak-pihak yang tidak berhak.
Sebagian besar kondisi tanah di Kalimantan Selatan adalah lahan basah atau lahan
gambut. Artinya, daerah Kalimantan selatan merupakan kawasan rawa terbesar
karena tergenang air, baik secara musiman maupun permanen dan banyak
ditumbuhi vegetasi sehingga secara umum kondisi lahan basah memiliki tekstur,
sifat fisik dan kimia yang khas.Luas lahan basah di Kalimantan Selatan mencapai
382.272 ha. Lahan basah di Kalimantan Selatan merupakan daerah
cekungan pada dataran rendah yang pada musim penghujan tergenang tinggi oleh
air luapan dari sungai atau kumpulan air hujan, pada musim kemarau airnya
menjadi kering. Lahan basah sangat unik dan memiliki kepentingan ekologis yang
luas, mulai tingkat lokal hingga global. Lahan basah bisa diberdayakan secara
produktif bagi ekonomi lokal, sumbangannya terhadap keanekaragaman hayati juga
sangat signifikan. Ribuan jenis tanaman unik dan unggas khas yang bermigrasi
biasanya singgah di kawasan lahan basah.
Cara Memperoleh Hak atas Indikasi geografis
Sebagaimana merek maka untuk memperoleh hak atas indikasi geografis dilakukan
melalui pendaftaran. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan apabila ingin
mengajukan pendaftaran indikasi geografis. Berdasarkan Pasal 56 angka (4) jo
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis
tidak dapat didaftar apabila tanda yang dimohonkan pendaftarannya :
c. Merupakan nama indikasi geografis setempat yang telah digunakan sebagai nama
varietas tanaman, dan digunakan bagi varietas tanaman sejenis; atau ---Apabila
suatu indikasi georafis digunakan sebagai nama varietas tanaman tertentu, nama
indikasi geografis tersebut hanya dapat digunakan untuk varietas tanaman ybs saja.
Contoh : nama/kata “cianjur” telah dikenal sebagai nama salah satu varietas
tanaman padi. Oleh karenanya nama Cianjur tidak diperkenankan untuk digunakan
sebagai indikasi geografis bagi varietas tanaman padi lainnya sekalipun
pembudidayaannya dilakukan didaerah Cianjur. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari timbulnya kemungkinan yang menyesatkan. Walaupun demikian, kata
Cianjur dapat digunakan sebagai indikasi geografis bagi varietas tanaman lain
ataupun barang lainnya. Misalnya salak, markisa, tauco dsb
Letak astronomis Propinsi Kalimantan Selatan adalah diantara 114 19’ 13” – 116
33’ 28 “ Bujur Timur dan 1 21’ 49” – 4 10’ 14 “ Lintang Selatan. Secara geografis
terletak di bagian selatan Pulau Kalimantan.
Struktur geologi tanah di Kalimantan Selatan sebagian besar adalah tanah basah
(alluvial) yaitu sebesar 22,76 %. Pada sepanjang daerah aliran sungai juga
merupakan tanah rawa/gambut yang memiliki tingkat keasaman yang cukup tinggi.
Sebanyak 74,81 % wilayah terletak pada kemiringan dibawah 15% dan 31,09 %
wilayah berada di ketinggian 25-100 meter diatas permukaan laut.
Luas wilayah Propinsi Kalimantan Selatan adalah sekitar 37.530,52 km2 atau 6,98
% dari luas Pulau Kalimantan dan 1,96 % dari luas wilayah Indonesia dengan
jumlah penduduk berdasarkan data tahun 2012 adalah sebanyak 3.790.071 jiwa.
Propinsi Kalimantan Selatan terdiri dari 2 kota dan 11 kabupaten .
Indikasi geografis merupakan sebuah nama dagang yang dikaitkan, dipakai atau
dilekatkan pada kemasan suatu produk dan berfungsi menunjukkan asal tempat
produk tersebut. Asal tempat itu mengisyaratkan bahwa kualitas produk tersebut
amat dipengaruhi tempat asalnya, sehingga produk itu bernilai unik dibenak
masyarakat, khususnya konsumen yang tahu bahwa tempat asal itu memang
punya kelebihan khusus dalam menghasilkan suatu produk )5.
Atas dasar inilah, indikasi geografis dilindungi dari pemakaian oleh pihak yang tidak
berhak. Pemakaian oleh pihak yang tidak berhak akan merugikan pihak yang
menghasilkan atau mengusahakan barang dan sekaligus pula akan merugikan
konsumen karena telah menyesatkan asal usul barang.
2.4 Perlindungan Indikasi Geografis bagi Produsen Hasil Pertanian Lahan Basah
di Propinsi Kalimantan Selatan
Indikasi geografis merupakan sebuah nama dagang yang dikaitkan, dipakai atau
dilekatkan pada kemasan suatu produk dan berfungsi menunjukan asal tempat
produk tersebut. Asal tempat itu mengisyaratkan bahwa produk tersebut amat
dipengaruhi tempat asalnya, sehingga produk itu bernilai unik di-benak masyarakat,
khususnya konsu-men yang tahu bahwa tempat asal itu memang punya kelebihan
khusus dalam menghasilkan suatu produk.2 Persoalannya banyak penggunaan
nama daerah untuk barang yang se-benarnya tidak dihasilkan di daerah yang
bersangkutan. Perbuatan demi-kian akan menyesatkan konsumen me-ngenai asal
usul barang. Konsumen dirugikan karena ia mengira telah membeli barang yang
mempunyai ka-rakteristik khusus karena dihasilkan suatu daerah. Pihak produsen
peng-hasil barang juga dirugikan bukan hanya terkait dengan omset penjualan
tetapi penggunaan nama daerah oleh pihak yang tidak berhak akan merusak
reputasi barang dimata konsumen. Dengan latar belakang demikian maka timbul
keinginan untuk melindungi suatu tanda yang menunjukan daerah asal barang dari
penggunaan pihak-pihak yang tidak berhak.
Sebagian besar kondisi tanah di Kalimantan Selatan adalah lahan ba-sah atau
lahan gambut. Artinya, daerah Kalimantan selatan merupakan kawas-an rawa
terbesar karena tergenang air, baik secara musiman maupun per-manen dan
banyak ditumbuhi vegetasi, sehingga secara umum kondisi lahan basah memiliki
tekstur, sifat fisik dan kimia yang khas. Luas lahan basah di Kalimantan Selatan
mencapai 382.272 ha. Lahan basah di Kalimantan Selatan merupakan daerah
cekungan pada da-taran rendah yang pada musim peng-hujan tergenang tinggi
oleh air luapan dari sungai atau kumpulan air hujan, pada musim kemarau airnya
menjadi kering. Lahan basah sangat unik dan memiliki kepentingan ekologis yang
luas, mulai tingkat lokal hingga global. Lahan basah bisa diberdayakan secara
produktif bagi ekonomi lokal, sum-bangannya terhadap keanekaragaman hayati
juga sangat signifikan. Ribuan jenis tanaman unik dan unggas khas yang
bermigrasi biasanya singgah di kawasan lahan basah.
Oleh karena itu penting untuk me-lakukan indentifikasi terhadap tanam-an pangan
dan holtikultura Kalimantan Selatan yang memiliki potensi indikasi geografis.
Dengan mengetahui potensi tersebut, maka diharapkan produsen penghasil akan
melakukan usaha-usaha untuk melindungi indikasi geo-grafis bukan saja dengan
mendaftar-kannya tetapi juga mengembangkan produk itu lebih lanjut dengan men-
jaga kualitas dan keberlangsung-annya dimasa depan demi mengangkat ke-
sejahteraan mereka.
Kriteria Hasil Pertanian Lahan Basah yang Memenuhi Klasifikasi Hak kekayaan
Intelektual Indikasi Geografis
Budidaya jeruk siam Banjar di Kecamatan Sungai Tabuk dari dahulu sampai
sekarang dilakukan secara tumpang sari artinya jeruk ditanam di atas galangan
yang dibuat sela-sela ta-naman padi. Beda dengan areal jeruk di Kecamatan
Trantang Kabupaten Barito Kuala yang memang khusus di-tanami jeruk. Dengan
demikian dapat dikatakan, jeruk bukan penghasilan utama para petani. Penghasilan
utama mereka adalah menanam padi dan jeruk sebagai penghasilan tambahan
Untuk mengetahui apakah barang hasil pertanian telah memenuhi kriteria in-dikasi
geografis dilakukan dengan menanamnya di luar daerah asalnya. Apabila dari
segi rasa, aroma maupun bentuk buahnya tidak berubah, klasi-fikasi indikasi
geografis tidak ter-penuhi. Sebaliknya, kalau hasilnya berbeda telah memenuhi
klasifikasi. Barang hasil pertanian tersebut mempunyai ciri dan kualitas tertentu
terkait dengan lingkungan geografisnya. Padi siam mutiara, siam saba, nenas
Tamban dan jeruk siam Banjar adalah spesifik hasil pertanian daerah lahan basah.
Ada dua kendala yang dihadapi para petani apabila mereka ingin melindungi
indikasi geografis. Per-tama, ketidaktahuan tentang apa itu indikasi geografis,
manfaat dan tujuan perlindungannya. Kedua, koperasi yang menjadi wadah
kelompok-ke-lompok tani ternyata tidak ber-kembang sebagaimana yang diharap-
kan. Ketidakpercayaan antara anggota dengan pengurus koperasi menjadi masalah
krusial yang sulit diatasi, sehingga kebanyakan koperasi di lokasi yang menjadi
obyek penelitian stagnan/tidak aktif lagi. Padahal indi-kasi geografis merupakan hak
kolektif, maka yang dapat mengajukan pendaf-taran adalah kelompok produsen
yang tergabung dalam koperasi atau asosias
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Semoga para pembaca dapat mengerti maksuddari makalah ini. Jika terdapat
kesalahan atau kekeliruan, kritik dan saran dari pembaca sangat di butuhkan oleh
penulis
DAFTAR PUSTAKA
Hidayah nurul & aditya wahyu. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol.2 No. 2. POTENSI
DAN PENGARUH TANAMAN PADA PENGOLAHAN AIR LIMBAH DOMESTIK
DENGAN SISTEM CONSTRUCTED WETLAND
Wahyu supriadi & mariatul kiptiah.(2016). Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan. IDENTIFIKASI KONFLIK PEREBUTAN TANAH ADAT DI DAERAH
LAHAN BASAH KABUPATEN BANJAR