Anda di halaman 1dari 29

BAB II

Tinjauan Pustaka

A. Burnout

1. Definisi Burnout
Menurut Tuner dan Helms (1995) burnout adalah konsep
yang terkait dengan diskusi stres kita yang lebih lama dan
mengacu pada menipisnya kebangkitan fisik, emosional, dan
mental karena tekanan yang berulang-ulang.
Menurut Porteous (1997) burnout adalah konsep yang
relatif baru yang berkaitan erat dengan pengalaman stres.
Menurut Lubis (2009) burnout adalah keadaan seseorang di
tempat kerja yang ditandai dengan menurunnya produktivitas
karena stres di tempat kerja yang terus-menerus. Biasanya
seseorang dengan burnout menunjukkan gejala depresi.
Menurut Cordes dan Dougherty (dalam Aamodt, 2010)
burnout adalah keadaan diliputi oleh stres, biasanya dialami
oleh para profesional yang bermotivasi tinggi menghadapi
tuntutan pekerjaan yang tinggi. Selama bertahun-tahun, definisi
tersebut telah meluas hingga mencakup jenis pekerjaan lain
yang menjadi lelah secara emosional dan tidak lagi mereka
merasa memiliki dampak positif pada orang lain atau pekerjaan
mereka. Orang yang merasa burnout kekurangan energi dan
dipenuhi dengan frustasi dan ketegangan. Gejala emosional
kelelahan termasuk ketakutan datang untuk bekerja setiap hari.
Menurut Schaufeli dan Enzmann (dalam Tanner, 2011)
burnout didefinisikan sebagai reaksi stres kronis dan dalam
praktiknya, akar teori burnout terutama dalam teori stres
umum, yang menekankan interaksi antara karakteristik kerja
dan karyawan.
Menurut Maslach, Jackson dan Leiter (dalam Peeters,
Jonge dan Taris, 2014) burnout adalah sindrom kelelahan
emosional, depersonalisasi, dan berkurangnya pencapaian
pribadi yang dapat terjadi diantara individual yang bekerja dan
semacamnya.
Menurut Maslach dan Leiter (dalam Cooper, Camphell, dan
Schbracq, 2015) burnout adalah masalah kronis yang
mencerminkan hubungan tidak nyaman antar individu dan
pekerjaan mereka.
Berdasarkan definisi dari tokoh diatas dapat disimpulkan
bahwa burnout adalah kelelahan emosional yang berkaitan erat
dengan pengalaman stres dimana individu mencerminkan
hubungan tidak nyaman antar individu dan pekerjaan mereka.
Termasuk dalam keadaan kelelahan emosional dipersonalisasi
dan berkurangnya pencapaian pribadi, ini bisa dialami oleh
para profesional yang bermotivasi tinggi.
2. Dimensi – Dimensi Burnout
Menurut Maslach, Schaufeli dan Leiter (dalam Peeters,
Jonge dan Taris, 2014) ada tiga dimensi burnout, yaitu:
a. Kelelahan Emosional (Emotional Exhaustion)
Dimensi burnout yang ditandai dengan perasaan letih
atau perasaan seluruh energi habis digunakan baik
secara fisik (sakit kepala, flu, insomnia, dan lain – lain).
Mental (tidak bahagia, tidak berharga, rasa gagal), dan
emosional (bosan, sedih, tertekan). Ketika seseorang
mengalami kelelahan emosional seseorang mencoba
mengurangi stres emosional terhadap orang lain dengan
cara memisahkan diri dari orang lain. Mereka mulai
menjaga jarak emosional dengan orang lain.
b. Depersonalization
Seseorang dengan burnout melihat orang lain sebagai
objek atau nomor. Mereka perlakukan orang lain
dengan kasar dan kritis. Hal ini bisa berupa sikap sinis
terhadap orang-orang yang berada dalam lingkup
pekerjaan dan kecenderungan untuk menarik diri serta
mengurangi keterlibatan diri dalam bekerja. Perilaku
tersebut diperlihatkan sebagai upaya melindungi diri
dari perasaan kecewa, karena penderitanya menganggap
bahwa dengan berperilaku seperti itu, maka mereka
akan aman dan terhindar dari ketidakpastian dalam
pekerjaan.
c. Berkurangnya Pecapaian Pribadi (Reduced Personal
Accomplisment)
Seseorang dengan burnout mencoba mengurangi beban
kerjanya dengan menghindari kerja, absen,
mengerjakan sesedikit mungkin, tidak mengerjakan
tugas tertentu yang dianggap lebih berat dan memakan
waktu lama. Biasanya ditandai juga dengan perasaan
tidak puas terhadap diri sendiri, perkerjaan bahkan
terhadap kehidupan. Mereka merasa bahwa dunia luar
dirinya menentang upaya untuk melakukan perbaikan
dan kemajuan sehingga kondisi tersebut akhirnya
membuat mereka merasa kehilangan kepercayaan
terhadap kemampuannya sendiri dan juga kehilangan
kepercayaan dari orang lain akibat perilakunya.
3. Karakteristik Burnout
Menurut Baron dan Greenberg (1995) menguraikan
mengenai karakteristik burnout ke dalam empat bentuk, yaitu:
a. Kelelahan fisik yang ditandai dengan serangan sakit
kepala, mual, susah tidur, dan kurangnya nafsu makan.
b. Kelelahan emosional yang ditandai dengan depresi,
perasaan tidak berdaya, merasa terperangkap dalam
pekerjaannya, mudah marah serta cepat tersinggung.
c. Kelelahan mental yang ditandai dengan sikap sinis
terhadap orang lain, bersikap negatif terhadap orang,
cenderung merugikan diri sendiri, pekerjaan, organisasi,
dan kehidupan pada umumnya.
d. Rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri yang
ditandai dengan tidak pernah puas terhadap hasil kerja
sendiri, merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang
bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain.
4. Tahapan Burnout
Menurut Girdano, Everly, Dusek (1993), ada tiga tahapan
burnout, yaitu:
a. Rangsangan stres
1) Lekas marah yang konstan
2) Kecemasan yang terus-menerus
3) Periode tekanan darah tinggi
4) Bruxism (menggertakan gigi di malam hari)
5) Insomnia
6) Kelupaan
7) Jantung berdebar
8) Irama jantung yang tidak biasa (detak jantung
terlewati)
9) Ketidakmampuan untuk berkonsentrasi
10) Sakit
b. Konservasi Energi
1) Terlambat untuk bekerja
2) Penundaan
3) Diperlukan tiga hari akhir pekan
4) Menurunkan hasrat seksual
5) Lelah yang konsisten di pagi hari
6) Mengaktifkan kerja terlambat
7) Penarikan sosial (dari teman dan atau keluarga)
8) Sikap sinis
9) Perhatian
10) Meningkatkan konsumsi alkohol
11) Meningkatkan konsumsi kopi, teh, atau cola
12) Sikap “saya tidak peduli”
c. Kelelahan
1) Kesedihan atau depresi kronis
2) Masalah perut atau usus kronis
3) Kelelahan mental kronis
4) Kelelahan fisik kronis
5) Sakit kepala kronis
6) Keinginan untuk “keluar” dari masyarakat
7) Keinginan untuk pindah dari teman, bekerja,
dan bahkan mungkin keluarga
8) Mungkin ingin melakukan bunuh diri
5. Aspek-Aspek Burnout
Menurut Lubis (2009) ada lima aspek burnout, yaitu:
a. Membuat lebih banyak ekspresi dan lebih dapat
menikmati sesuatu (walaupun sedikit energi untuk
melakukan pekerjaan tersebut).
b. Jarang kehilangan berat badan, menjadi lamban, atau
melaporkan keinginan bunuh diri.
c. Memiliki perasaan yang lebih realistis mengenai rasa
bersalah jika mereka bersalah.
d. Cenderung menganggap kesulitan mengambil
keputusan karena capai daripada karena penyakit.
e. Kesulitan untuk tidur, sedangkan pada kasus depresi
seseorang cenderung bangun terlalu pagi.
6. Faktor-Faktor Burnout
Menurut Cherniss, Maslach, dan Sullivan (dalam Lubis,
2009) ada empat faktor burnout, yaitu:
a. Keterlibatan Dengan Pelanggan
Dalam beberapa pekerjaan tertentu, para pekerjanya
memiliki keterlibatan langsung dengan objek kerja atau
kliennya, keterlibatan yang tinggi dengan pelanggan
dan disertai masalah dalam berhubungan dengan
pelanggan dapat menyebabkan burnout.
b. Lingkungan Kerja
Berkaitan dengan beban kerja yang berlebihan, konflik
peran, ambiguitas peran, dukungan sosial dari rekan
kerja yang tidak memadai, dukungan sosial dari atasan
tidak memadai, kontrol yang rendah terhadap pekerjaan,
peraturan-peraturan yang kaku, dan kurangnya stimulasi
dalam pekerjaan.
c. Individu
Meliputi faktor demografik (jenis kelamin, latar
belakang etnis, usia, status perkawinan, latar belakang
pendidikan), dan karakteristik kepribadian (konsep diri
rendah, kebutuhan dan motivasi diri terlalu besar,
kemampuan yang rendah dalam mengendalikan emosi,
locus of control eksternal, introvert).
d. Sosial Budaya
Meliputi keseluruhan nilai yang dianut masyarakat
umum berkaitan dengan profesi yang diambil.
B. Kecerdasan Emosional

1. Definisi Kecerdasan Emosional


Menurut Goleman (1997) kecerdasan emosional adalah
kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi
diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan
emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa.
Menurut Bar-On (1997) kecerdasan emosional adalah
pemahaman secara efektif mengenai diri sendiri dan orang lain,
berhubungan baik dengan orang lain, dan menyesuaikan diri
terhadap lingkungan sekitar dengan cepat.
Menurut Howes dan Herald (1999) kecerdasan emosional
adalah komponen yang membuat seseorang menjadi pintar
menggunakan emosi.
Menurut Mayer, Salovey, dan Caruso (2004)
mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kapasitas
berfikir dengan menggunakan emosi dan meningkatkan
pemikiran.
Menurut Syahmuharnis dan Sidharta (2006) kecerdasan
emosional adalah kemampuan mengelola emosi diri sendiri dan
hubungan dengan orang lain.
Menurut Kumar dan Rooprai (2009), kecerdasan emosional
adalah kemampuan sosial yang membuat individu untuk
memungkinkan individu mengenali emosi dan perasaan yang
dimiliki oleh diri sendiri serta orang lain.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
kecerdasan emosional adalah kemampuan dalam memahami
tentang diri sendiri, juga menghargai, mengekspresikan emosi,
serta menggunakan dan memanfaatkan emosi untuk membina
hubungan dengan orang lain.
2. Komponen Kecerdasan Emosional
Menurut Goleman (1999) ada lima dasar komponen dalam
kecerdasan emosional, yaitu:
a. Kesadaran diri
Mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat, dan
menggunakannya untuk memadu pengambilan
keputusan diri sendiri; memiliki tolok ukur yang
realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri
yang kuat.
b. Pengaturan diri
Menangani emosi kita sedemikian sehingga berdampak
positif kepada pelaksanaan tugas; peka terhadap kata
hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum
tercapainya suatu sasaran, mampu pulih kembali dari
tekanan emosi.
c. Motivasi
Menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk
menggerakkan dan menuntun kita menuju sasaran,
membantu kita mengambil inisiatif dan bertindak
sangat efektif, dan untuk bertahan menghadapi
kegagalan dan frustasi.
d. Empati
Merasakan yang dirasakan oleh orang lain, mampu
memahami perspektif mereka, menumbuhkan
hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri
dengan bermacam-macam orang.
e. Keterampilan sosial
Menangani emosi dengan baik ketika berhubungan
dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi
dan jaringan sosial; berinteraksi dengan lancar;
menggunakan keterampilan-keterampilan ini untuk
mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan
menyelesaikan perselisihan, dan untuk bekerja sama
dan bekerja dalam tim.
3. Ciri – Ciri Kecerdasan Emosional
Menurut Goleman (1999), ciri – ciri kecerdasan emosional
adalah sebagai berikut:
a. Mampu memotivasi diri sendiri
b. Mampu bertahan menghadapi frustasi
c. Lebih cakap untuk menjalankan jaringan informasi atau
memotivasi (memiliki tiga variasi yaitu jaringan
komunikasi, jaringan keahlian, dan jaringan
kepercayaan).
d. Mampu mengendalikan dorongan negatif.
e. Cukup luwes untuk mengubah sasaran semula sulit
untuk dijangkau.
f. Tetap memiliki kepercayaan yang tinggi bahwa segala
sesuatu akan terkendali ketika menghadapi tahap sulit.
4. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional
Menurut Salovey dan Mayer (1990), merumuskan
kecerdasan emosional sehingga menjadi tiga aspek dari
kemampuan adaptif, diantaranya:
a. Penilaian dan Ekspresi Emosi Diri Sendiri dan Orang
Lain
1) Emosi Dalam Diri Sendiri
Proses yang mendasari kecerdasan emosional
dimulai ketika informasi bermuatan perasaan
pertama memasuki sistem perseptual.
Kecerdasan emosional memberikan penilaian
dan ekspresi perasaan yang akurat dan stabil
dapat menguasai sistem perseptual. Penilaian-
penilaian emosional ini menjadi bagian yang
menentukan berbagai ekspresi emosi.
a) Verbal
Suatu medium dimana emosi dinilai dan
diekspresikan sebagai bahasa. Pemahaman
mengenai emosi tergantung pada bagian
yang dibicarakan secara jelas melalui
bahasa. Pembelajaran interaksi sosial
dengan keterampilan untuk mengintropeksi
diri dan membentuk rencana yang koheren
terhadap dasar dari intropeksi.
b) Non-Verbal
Beberapa komunikasi emosional terjadi
melalui saluran non-verbal. Perbedaan
individual dalam kemurnian persepsi dari
sinyal-sinyal yang digambarkan melalui
ekspresi, seringkali dikatakan sebagai
ketepatan pengiriman non-verbal.
Hubungan yang konsisten telah ditemukan
antara komunikasi emosional, empati, dan
depresi (dimana memiliki hubungan yang
berlawanan). Kemampuan ekpresif ini
kurang jelas jika dikaitkan dengan wilayah
non- afektif. Hasil yang kontradiktif
didapatkan ketik memprediksi kecerdasan
emosional, dengan kecerdasan, ektraversi,
dan ketergantungan pada suatu bidang.
2) Emosi Dalam Diri Orang Lain
a) Persepsi Non-Verbal Emosi
Berdasarkan sudut pandang evolusioner,
menjadi hal yang sangat penting jika
individu dapat merasakan emosi yang tidak
hanya berasal dari diri sendiri, tetapi juga
emosi individu lain disekitarnya.
Kemampuan merasakan memastikan
kerjasama interpersonal yang lebih halus,
contohnya adalah merasakan dan menerima
ketidaksenangan dari seseorang. Terdapat
beberapa indikasi dimana ada perbedaan
individual dalam interpretasi emosi melalui
ekspresi wajah.
b) Empati
Persamaan khusus diantara penilaian dan
ekspresi emosional yang dimunculkan
adalah empati. Empati adalah kemampuan
untuk memahami perasaan individu lain
dan merasakan kembali apa yang dirasakan
ke dalam diri sendiri. Ketika seseorang
berhubungan secara positif satu sama lain,
mereka merasakan kepuasaan hidup yang
lebih baik dan stres yang rendah.
b. Regulasi Emosi Dalam Diri Sendiri dan Orang Lain
Individu meraskan suasana hati secara langsung dan
reflektif. Dalam pengalaman reflektif, individu
memiliki akses untuk memahami suasana hati diri
sendiri dan orang lain. Pengalaman ini menunjukkan
kesediaan dan kemampuan untuk menerima,
mengevaluasi, serta meregulasi emosi. Individu yang
memiliki kecerdasaan emosional dapat beradaptasi
dengan proses tersebut untuk mencapai tujuan tertentu.
Sisi postififnya adalah individu dapat mengembangkan
suasana hati dirinya sendiri serta orang lain bahkan
mengatur emosi sehingga dapat memotivasi orang lain.
1) Regulasi Emosi Dalam Diri Sendiri
Terdapat berbagai pengalaman dimana seseorang
mengalami suatu suasana hati. Pengalaman
tersebut dapat didefinisikan sebagai hasil sistem
regulasi yang menerima, mengevaluasi, dan
melakukan tindakan terhadap perubahan suasana
hati. Walaupun banyak aspek dalam regulasi
suasana hati yang terjadi secara otomatis,
pengalaman tersebut terjadi secara sadar dan
terbuka untuk diteliti.
2) Regulasi Emosi Dalam Diri Orang Lain
Kecerdasan emosional yang meliputi kemampuan
untuk meregulasi diri, mengubah reaksi afektif
dari orang lain.
c. Penggunaan Emosi Secara Adaptif
Setiap individu berbeda dalam kemampuan untuk
memanfaatkan emosi dirinya sendiri untuk dapat
menyelesaikan masalah. Emosi dan suasana hati
dengan halus tetapi secara sistematis mempengaruhi
beberapa komponen dan strategi dalam penyelesaian
masalah. Pertama, perubahan emosi dapat menyediakan
berbagai rencana yang akan datang. Kedua, emosi
positif dapat mengubah organisasi memori sehingga
meterial kognitif terintegrasi secara lebih baik dan
berbagai ide yang berhubungan akan bermunculan.
Ketiga, emosi melakukan pemotongan terhadap sistem
yang kompleks, keluar degan segera pada tingkat
pemrosesan yang diberikan dan lebih berfokus kepada
hal yang dibutuhkan. Emosi dan suasana hati dapat
digunakan sebagai motivasi dan mendampingi kinerja
pada tugas kecerdasan yang kompleks.
1) Perencanaan yang Fleksibel
Salah satu aspek sentral adalah perubahan
suasana hati dimana individu mengalami
perbedaan dalam frekuensi dan seberapa luas
perubahan afeksi yang dominan. Perubahan
suasana hati dapat menuntun orang dengan
pemikiran yang terpecah mengenai masa
depannya dan mengharapkan kemungkinan yang
lebih luas atas hasil yang dikeluarkan.
Konsekuensinya adalah menghasilkan banyak
perencanaan untuk masa yang akan datang bagi
mereka dan lebih baik mempersiapkan
pengambilan keuntungan dari kesempatan di
masa mendatang.
2) Berpikir Kreatif
Suasana hati juga dapat menuntun penyelesaian
suatu permasalahan dengan gambaran dampak
dalam pengorganisasian dan penggunaan
informasi dalam memori. Kejelasan kategorisasi
informasi memiliki dampak positif dalam
menyelesaikan masalah secara kreatif.
3) Suasana Hati yang Mengubah Langsung
Perhatian
Perhatian berhubungan langsung dengan masalah
baru ketika emosi yang kuat muncul. Ketika
individu merasakan kehadiran perasaan,
kemungkinan akan dialihkan langsung dari
masalah yang sedang terjadi ke dalam suatu
kepentingan baru yang langsung dan lebih baik.
4) Memotivasi Emosi
Suasana hati dapat digunakan untuk memotivasi
secara persisten terhadap tugas yang menantang.
Individu dengan sikap yang positif terhadap
kehidupan yang membangun interpersonal dapat
menunjukkan hasil lebih baik dan penghargaan
yang lebih besar untuk dirinya sendiri dan orang
lain.
5. Faktor – Faktor Kecerdasan Emosional
Menurut Goleman (2000) ada lima faktor kecerdasan
emosional, yaitu:
a. Mengenali Emosi Diri
Suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu
perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar
dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi
menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni
kesadaran seseorang akan emosinya sendiri.
b. Mengelola Emosi
Kemampuan individu dalam  menangani perasaan agar
dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga
tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga
agar emosi yang merisaukan tetap terkendali
merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi
berlebihan, yang meningkat dengan intensitas
terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita.
Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk
menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan,
kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat
yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit
dari perasaan-perasaan yang menekan.
c. Memotivasi Diri Sendiri
Presatasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi
dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan
untuk menahan diri terhadap kepuasan dan
mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai
perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme,
gairah, optimis dan keyakinan diri.
d. Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau
peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang.
Individu yang memiliki kemampuan empati lebih
mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang
tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang
dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu
menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap
perasaan orang lain dan lebih mampu untuk
mendengarkan orang lain.
e. Membina Hubungan
Suatu keterampilan yang menunjang popularitas,
kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi.
Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan
kemampuan dasar dalam keberhasilan membina
hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang
diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta
kemauan orang lain.
Dan menurut Petrides (2009), ada empat faktor – faktor
kecerdasan emosional, yaitu:
a. Emotionality
Individu dengan nilai yang tinggi pada faktor ini,
berada dalam hubungan mereka sendiri dan perasaan
orang lain. Mereka dapat memahami dan
mengekspresikan emosi dan menggunakan kualitas ini
untuk mengembangkan dan mempertahankan hubungan
yang erat dengan orang lain. Individu dengan nilai
rendah pada faktor ini sulit untuk mengenali emosi
internal mereka dan untuk mengekspresikan perasaan
mereka kepada orang lain, yang dapat mengakibatkan
kurangnya hubungan pribadi.
b. Self – Control
Individu dengan nilai yang tinggi pada faktor ini
memiliki tingkat kontrol diri yang sehat atas dorongan
dan keinginan. Selain mengendalikan impuls, mereka
pandai mengatur tekanan eksternal dan stres. Mereka
tidak terbelenggu dan tidak terlalu ekspresif.
Sebaliknya, nilai yang rendah pada self-control rentan
terhadap perilaku impulsif dan mungkin merasa sulit
untuk mengelola stres.
c. Sociabillity
Faktor sociabillity menekankan kepada hubungan sosial
dan pengaruh sosial. Faktor sociabillity berfokus pada
individu sebagai agen dalam konteks sosial, bukan pada
hubungan pribadi dengan keluarga dan teman dekat.
Individu dengan nilai yang tinggi pada faktor ini lebih
baik dalam interaksi sosial, pendengar yang baik dan
dapat berkomunikasi dengan jelas, serta percaya diri
dengan orang-orang dari latar belakang yang berbeda.
Individu dengan nilai rendah percaya bahwa mereka
tidak mampu memengaruhi emosi orang lain dan kecil
kemungkinan untuk menjadi negosiator yang baik dan
netwoker. Individu tidak yakin dengan apa yang harus
dilakukan atau dikatakan dalam situasi sosial dan
sebagai akibatnya sering tampak malu dan pendiam.
d. Well-being
Nilai yang tinggi pada faktor ini mencerminkan
perasaan umum kesejahteran yang membentang dari
hasil pencapaian yang lalu sampai kepada harapan di
masa depan. Secara keseluruhan, individu dengan nilai
tinggi merasa positif, bahagia, dan terpenuhi.
Sebaliknya, individu dengan nilai rendah cenderung
memiliki harga diri yang rendah dan merasa kecewa
tentang kehidupan di masa sekarang.
Berdasarkan faktor-faktor kecerdasan emosional di atas
peneliti menggunakan faktor-faktor kecerdasan emosional
menurut Goleman (2000) yaitu mengenali emosi diri,
mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi
orang lain, membina hubungan.

C. Mahasiswa yang Menjadi Asisten di Laboratorium

1. Mahasiswa
a. Definisi Mahasiswa
Menurut Tilaar (1998) mahasiswa adalah manusia muda yang
mulai mengarungi ilmu pengetahuan serta manangani masalah-
masalah sosial oleh sebab itu adalah suatu yang wajar apabila
mahasiswa ikut prihatin terhadap problema-problema masyarakat
dewasa ini.
Menurut Budiman (2006) mahasiswa adalah orang yang belajar
di sekolah tingkat perguruan tinggi untuk mempersiapkan dirinya
bagi suatu keahlian tingkat sarjana.
Menurut Antoni (2012) mahasiswa adalah insan yang
dipercaya untuk mengemban tugas-tugas keilmuan sesuai potensi
dan kadar intelektual yang dimiliki masing-masingnya.
Menurut Sanit (dalam Elfani, 2013) mahasiswa adalah
gerakan moral yang tulus pembelaannya.
Menurut Rizki (2018) mahasiswa adalah pemuda yang
berusia produktif maka wajar bila ia merupakan aset, cadangan,
harapan bangsa untuk masa depan.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
mahasiswa adalah orang yang sekolah di perguruan tinggi
bertujuan untuk mempersiapkan diri bagi suatu keahlian tingkat
sarjana dan mengaruhi ilmu serta problema-problema sosial.
b. Fungsi Mahasiswa
Menurut Budiman (2006), fungsi mahasiswa ada dua, yaitu:
1) Fungsi Primer : Belajar dan mempersiapkan diri
untuk suatu keahlian tertentu.
2) Fungsi Sekunder : Selain menjadi seorang
mahasiswa mereka juga aktif sebagai olahragawan
dan lain sebagainya disebut fungsi sekunder.
c. Peran Mahasiswa
Menurut Rizki (2018) peran adalah sesuatu yang harus
dipenuhi oleh sebab mengagungkan peran tersebut. Secara
umum peran mahasiswa ada tiga, yaitu:
1) Iron Stock atau Generasi Penerus
Sebagai tulang punggung bangsa di masa depan,
mahasiswa diharapkan menjadi manusia-manusia
tangguh yang memiliki kemampuan dan akhlak mulia
yang nantinya dapat menggantikan generasi-generasi
sebelumnya. Mahasiswa itu pemuda yang berusia
produktif maka wajar bila ia merupakan aset, cadangan,
dan harapan bangsa untuk masa depan. Tak dapat
dipungkiri bahwa seluruh organisasi yang ada akan
bersifat mengalir, yaitu ditandai dengan pergantian
kekuasaan dari golongan tua ke golongan muda, oleh
karena itu kaderisasi harus dilakukan terus-menerus.
Sehingga kampus dianggap juga sebagai pencetak calon
penerus bangsa yang ideal karena mereka dibekali ilmu
yang sangat dibutuhkan dari masa ke masa untuk
mengembangkan suatu peradaban.
2) Agent Of Change atau Generasi Perubahan
Mahasiswa diharapkan mampu menjadi agen-agen
pembawa perubahan di masyarakat. Agen perubahan
ini berarti mereka bergerak bisa bersama-sama ataupun
sendiri-sendiri namun yang jelas mereka bisa memulai
sesuai dengan disiplin ilmunya masing - masing dalam
membantu pembangunan bangsa untuk menjadi lebih
baik ke depannya.
3) Social Control atau Pengontrol Sosial
Mahasiswa menjadi pengontrol dalam masyarakat,
berlandasan dengan pengetahuannya, dengan tingkat
pendidikannya, dan norma-norma yang berlaku
disekitarnya. Jadi, selain pintar dalam bidang akademis,
mahasiswa juga harus pintar dalam bersosialisasi dan
memiliki kepekaan dengan lingkungan. Mahasiswa
diupayakan agar mampu mengkritik,memberi saran dan
memberi solusi jika keadaan sosial bangsa sudah tidak
sesuai dengan cita-cita dan tujuan bangsa ,memiliki
kepekaan, kepedulian, dan kontribusi nyata terhadap
masyarakat sekitar tentang kondisi yang teraktual.
Asumsi yang kita harapkan dengan perubahan kondisi
sosial masyarakat tentu akan berimbas pada perubahan
bangsa. Intinya mahasiswa diharapkan memiliki sense
of belonging yang tinggi sehingga mampu melakukan
hal-hal yang bermanfaat bagi masyarakat. Tugas inilah
yang dapat menjadikan dirinya sebagai harapan
bangsa, yaitu menjadi orang yang senantiasa
mencarikan solusi berbagai masalah yang sedang
menyelimuti mereka.
d. Ciri-Ciri Mahasiswa
Menurut Kartono (dalam Ulfah, 2010) terdapat empat ciri-
ciri mahasiswa, yaitu:
1) Memiliki kemampuan dan juga kesempatan untuk
belajar di perguruan tinggi, sehingga dapat digolongkan
dalam golongan intelegensia.
2) Dengan memiliki kesempatan yang ada, mahasiswa
diharapkan kelak bisa bertindak sebagai pemimpin
yang mampu serta terampil, baik sebagai pemimpin
masyarakat maupun dalam dunia kerja nantinnya.
3) Mahasiswa diharapkan dapat menjadi daya penggerak
yang dinamis bagi proses modernisasi dalam kehidupan
mayarakat.
4) Mahasiswa diharapkan mampu memasuki dunia kerja
sebagai tenaga yang berkualitas serta profesional.

2. Tugas-Tugas Mahasiswa
Menurut Merdekawati (2015) tugas-tugas sebagai
mahasiswa ada tiga, yaitu:
a. Melakukan pendidikan
Tugas mulia yang pertama sebagai mahasiswa adalah
dengan melakukan kegiatan pendidikan. Pendidikan di
sini adalah mahasiswa yang menutut kepada pihak
lembaga pendidikan dalam hal ini kampus untuk
memberikan pendidikan, pengajaran, dan fasilitas yang
maksimal dalam proses kegiatan belajar dan mengajar.
b. Melakukan penelitian
Tugas yang kedua untuk mahasiswa adalah penelitian.
Tugas ke-dua mahasiswa ini terbilang medium hard,
karena mahasiswa kali ini dituntut dapat menemukan
solusi dari suatu permasalahan, sehingga menciptakan
solusi baru dalam menyelesaikan permasalahan yang ia
temukan di dalam masyarakat.
Hasil penelitian mahasiswa pun dituntut agar
profesional, bukan hasil jiplakan karya orang lain dan
bukan dari hasil penelitian prematur. Keberadaan
mahasiswa dituntut sebagai agent of change dalam
melakukan perubahan di masyarakat. Sehingga
mahasiswa ini dapat berfungsi sebagai “penyambung
lidah” antara masyarakat bawah dengan pemerintah
yang tengah berkuasa.
c. Pengabdian kepada masyarakat
Tugas terakhir sebagai mahasiswa adalah mengabdi
kepada masyarakat. Banyak mahasiswa yang saat ini
belum menyadari bahwa tugas utama dari seorang
mahasiswa adalah mengabdi pada masyarakat.
Keberadaan mahasiswa di Indonesia adalah diharapkan
menjadi agent of change at local distric, atau menjadi
pioner untuk perubahan di daerahnya.
Keberadaan mahasiswa di beberapa negara maju,
mereka menjadi para pembaharu di lingkungan tempat
tinggalnya. Mereka yang lulus menjadi sarjana,
berupaya membangun daerahnya dengan jerih payah
mereka, dengan idenya, dengan gagasannya, dengan
hasil karya mereka. Sehingga masyarakat tidak
berbondong-bondong menuju kota besar.
3. Asisten
a. Definisi Asisten
Menurut Setiawan (dalam Afwah, 2012) asisten adalah
orang yang bertugas membantu orang lain dalam melaksanakan
tugas profesional, misalnya dalam pekerjaan, profesi, dan
kedinasan.
Menurut Patisa (2018) asisten adalah seseorang yang
bertugas untuk membantu orang lain yang memiliki jabatan
lebih tinggi untuk menyelesaikan pekerjaannya. Asisten
memiliki banyak tanggung jawab, dan pekerjaan ini
membutuhkan keterampilan yang bagus pula.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
asisten adalah individu yang bertugas membantu seseorang
untuk menyelesaikan sebuah pekerjaannya. Dan asisten harus
memiliki tanggung jawab, keterampilan yang bagus, harus
menjaga diri tetap jernih dalam berpikir, mampu menangangi
banyak tugas sekaligus dan memiliki keterampilan mengelola
sebuah pekerjaan dengan cepat dan tepat.

4. Laboratorium
a. Definisi Laboratorium
Menurut Moedjadi (1979) laboratorium adalah tempat
dimana percobaan dan penyelidikan dilakukan. Tempat ini
dapat merupakan suatu ruang tertutup,kamar, atau ruang
terbuka.
Menurut Emha (2002) laboratorium adalah suatu tempat
untuk mengadakan percobaan, penyelidikan, dan sebagainya
yang berhubungan dengan ilmu fisika, kimia, dan biologi atau
bidang ilmu lain.
Menurut Ketut (dalam Salman, 2010) laboratorium adalah
tempat bagi peserta didik untuk melakukan eksperimen-
eksperimen dari teori yang telah diberikan di kelas.
Menurut Koesmadji (dalam Afwah, 2012) laboratorium
adalah tempat yang dapat berbentuk ruangan terbuka, ruangan
tertutup, kebun sekolah, rumah kaca atau lingkungan lain untuk
melakukan percobaan atau penelitian.
Menurut Rizky (dalam Afwah, 2012) laboratorium adalah
tempat mengadakan percobaan.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
laboratorium adalah suatu ruangan yang di dalamnya
dilengkapi sarana dan prasaranan, baik peralatan maupun
bahan-bahan yang digunakan untuk kepentingan praktikum.
b. Fungsi Laboratorium
Menurut Amien (1998) ada tiga fungsi laboratorium,yaitu:
1) Tempat mempraktekkan sesuatu yang diketahui.
2) Tempat untuk membuktikan benar tidaknya faktor-
faktor atau fenomena-fenomena tertentu. Suatu
fenomena dapat dijadikan suatu hukum atau dalil,
apabila sudah dibuktikan kebenarannya. Pembuktian
suatu fenomena melalui tahap-tahap tertentu sesuai
dengan kaidah metode ilmiah.
3) Tempat untuk menentukan hubungan antara sebab
akibat.

5. Asisten Laboratorium
a. Definisi Asisten Laboratorium
Menurut Efendy (2008) asisten laboratorium adalah
mahasiswa yang diberi tugas oleh pembimbing laboratorium
untuk membantu kelancaran pelaksanaan laboratorium, dan
bertanggung jawab kepada pembimbing laboratorium.
Menurut Rachmat (2011) asisten laboratorium adalah
seseorang yang mendapatkan tugas dan tanggung jawab yang
berkaitan dengan perangkat dan seluruh peralatan yang
dipergunakan dalam kegiatan belajar mengajar, disertai dengan
adanya perawatan dan perbaikan pada seluruh kelengkapan
perangkat pembelajaran di laboratorium.
Menurut Mallafi (2015) asisten laboratorium adalah asisten
yang diberi tugas untuk membantu dosen melaksanakan dan
mengevaluasi kegiatan praktikum mahasiswa. Dan umumnya
yang menjadi asisten laboratorium adalah mahasiswa yang
telah mencapai semester III dan memiliki nilai yang cukup baik
untuk menjadi asisten laboratorium.
Menurut Tsuryani (2018) asisten laboratorium adalah
mahasiswa yang didaulat mendampingi kegiatan praktikum.
Berdasakan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa asisten
laboratorium adalah seseorang yang berdasarkan persyaratan
pendidikan dan keahlian ditugaskan membantu dosen dalam
kegiatan praktikum dan berhubungan langsung dengan
mahasiswa (praktikan).

6. Tugas Tanggung Jawab, dan Tata tertib Asisten Laboratorium


a. Tugas Asisten Laboratorium
Menurut Amarany (2015) tugas asisten laboratorium ada
10, yaitu:
1) Membantu kepala laboratorium dalam proses
pelaksanaan praktikum.
2) Ikut serta dalam pengembangan materi praktikum.
3) Mengecek alat-alat sebelum praktikum.
4) Menyiapkan absensi praktikan.
5) Membimbing praktikan dalam melakukan praktikum.
6) Mengkoreksi laporan.
7) Menilai laporan.
8) Memberikan soal pretest sebelum melakukan
praktikum.
9) Memberikan soal posttest setalah melakukan
praktikum.
10) Memberikan blanko atau surat peringatan kepada
praktikan yang tidak taat peraturan.
b. Tanggung Jawab Asisten Laboratorium
Menurut Amarany (2015) tanggung jawab asisten
laboratorium ada empat, yaitu:
1) Merawat ruang laboratorium
2) Menjaga alat-alat praktikum
3) Menjaga kebersihan ruang laboratorium
4) Tanggung jawab terhadap nilai yang diberikan kepada
praktikan.
c. Tata Tertib Asisten Laboratorium
Menurut Amarany (2019) ada 13 tata tertib, yaitu:
1) Asisten laboratorium merupakan asisten yang tidak
terikat kontrak atau bekerja dengan instasi lain.
2) Asisten wajib hadir 30 menit sebelum praktikum (shift
yang diampu) dimulai.
3) Asisten bertugas sesuai dengan jadwal (shift) yang telah
diatur oleh koordinator asisten dan disetujui oleh kepala
laboratorium masing-masing (tidak ada kewajiban
standby) untuk asisten reguler).
4) Asisten wajib hadir pada jadwal yang sudah ditetapkan.
Jika berhalangan hadir karena alasan tertentu, asisten
wajib mencari pengganti dan meminta izin serta
memberitahukan kepada kepala laboratorium masing-
masing atapun staff dan koordinator asisten.
5) Asisten bertugas melayani dan membimbing praktikan
agar dapat melaksanakan praktikum dengan baik.
6) Asisten diharapkan dapat menjaga ketertiban dan
ketenangan selama di dalam ruang laboratorium,
khususnya selama praktikum berlangsung.
7) Asisten turut bertanggung jawab atas kerapihan dan
kebersihan di laboratorium, meliputi:
a) Mempersiapkan alat tes dan peralatan yang akan
digunakan selama praktikum.
b) Menjaga dan merawat alat tes dan peralatan yang
akan digunakan selama praktikum.
c) Merapikan kembali alat tes dan peralatan
praktikum sesudah praktikum dilaksanakan.
d) Tas dan barang-barang yang dibawa wajib
disimpan dengan rapi.
e) Mengembalikan piring dan gelas ke tempatnya.
f) Membuang sampah pada tempatnya.
8) Asisten turut bertanggung jawab untuk menjaga
keamanan laboratorium, dengan:
a) Tidak meninggalkan laboratorium dalam keadaan
kosong (terutama pada saat istirahat). Setidaknya
ada satu orang asisten yang bertugas di ruang
laboratorium.
b) Tidak meninggalkan laboratorium dalam keadaan
tidak terkunci setelah praktikum selesai.
9) Peraturan mengenai pakaian dan rambut:
a) Asisten wajib berpenampilan sopan, bersih, rapi.
b) Rambut rapi, tidak boleh gondrong atau dicat.
c) Pakaian untuk wanita:
- Kemeja atau blus tidak boleh pendek, ketat
dan menerawang (bukan bahan jeans atau
kaos).
- Rok di bawah lutut, tidak ketat dan
menerawang (bukan bahan jeans atau kaos).
- Sepatu tertutup atau pantofel (formal).
d) Pakaian untuk pria:
- Kemeja rapi (bukan berbahan jeans atau
kaos).
- Celana bahan (bukan berbahan jeans atau
kaos).
- Sepatu tertutup atau pantofel (formal).
10) Asisten tidak diperkenankan berganti pakaian di dalam
ruang lab.
11) Asisten tidak diperkenankan menyimpan atau
meninggalkan barang milik pribadi di dalam
laboratorium.
12) Peraturan apapun yang dibuat oleh asisten berkenaan
dengan praktikum harus mendapatkan persetujuan
tertulis dari kepala laboratorium dan diketahui oleh
koordinator laboratorium.
13) Semua kegiatan yang dilakukan atas nama laboratorium
(seperti refreshing bersama asisten) wajib mendapatkan
izin dari kepala laboratorium dan koordinator
laboratorium.

B. Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Burnout Pada


Mahasiswa yang Menjadi Asisten di Laboratorium Universitas X
Praktikum merupakan salah satu kegiatan akademik yang
dilakukan mahasiswa di laboratorium. Kegiatan ini dilakukan untuk
mengembangkan kompetensi motorik mahasiswa pada beberapa mata
kuliah yang memiliki praktikum. Sehingga pemahaman teori dapat
dipraktekkan dikegiatan ini. Dalam kegiatan praktikum ini melibatkan
asisten laboratorium, dimana asisten laboratorium adalah para
mahasiswa yang dipilih melalui seleksi untuk mengemban tugas yaitu
membimbing praktikan dalam kegiatan praktikum (Sulviyana,
Tejawati, dan Hairah, 2017). Penerimaan asisten laboratorium baru
merupakan tahapan dimana laboran melakukan proses perekrutan
asisten laboratorium yang memenuhi kriteria. Kriteria yang telah
ditetapkan oleh laboran diharapkan dapat menjadi alat patokan
penilaian dari kualifikasi yang dimiliki oleh masing-masing calon
asisten laboratorium yang mendaftar (Satrio, 2018).
Cordes dan Dougherty (dalam Aamodt, 2010) mendefiniskan
burnout sebagai keadaan diliputi oleh stres, biasanya dialami oleh para
profesional yang bermotivasi tinggi menghadapi tuntutan pekerjaan
yang tinggi. Selama bertahun-tahun, definisi tersebut telah meluas
hingga mencakup jenis pekerjaan lain yang menjadi lelah secara
emosional dan tidak lagi mereka merasa memiliki dampak positif pada
orang lain atau pekerjaan mereka. Orang yang merasa burnout
kekurangan energi dan dipenuhi dengan frustasi dan ketegangan.
Gejala emosional kelelahan termasuk ketakutan datang untuk bekerja
setiap hari.
Salah satu dimensi burnout menurut Maslach, Jackson dan Leiter
(dalam Peeters, Jonge dan Taris, 2014), yaitu kelelahan emosional
yang di dalamnya terdapat emotionality intelligence, depersonalization
di dalamnya terdapat self-control dari faktor kecerdasan emosional,
dan berkurangnya pencapaian pribadi di dalamnya terdapat sociability,
dan well-being dari faktor kecerdasan emosional. Hal tersebut
menunjukkan bahwa adanya kaitan antara kecerdasan emosional dan
burnout.
Goleman (1997) mendefiniskan kecerdasan emosional sebagai
kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri,
ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan
menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dan menurut Kumar
dan Rooprai (2009), kecerdasan emosional adalah kemampuan sosial
yang membuat individu untuk memungkinkan individu mengenali
emosi dan perasaan yang dimiliki oleh diri sendiri serta orang lain.
Penelitian yang dilakukan oleh Widjaja, Sitorus, dan Himawan
(2016) terdapat hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan yang
signifikan antara kecerdasan emosional dengan burnout pada karyawan
bagian pemasaran. Hubungan yang ada bersifat negatif, artinya
semakin tinggi tingkat kecerdasan emosional seseorang, maka tingkat
burnout semakin rendah, dan begitu sebaliknya.
Dalam penelitian Saiiari, Moslehi, dan Valizadeh (2011)
membuktikkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan
antara kecerdasan emosional dengan burnout pada guru sekolah
menengah atas. Artinya bagi individu yang memiliki kecerdasan
emosional yang tinggi maka semakin rendah tingkat burnout di dalam
bekerja.
Selain itu, pada penelitian Adilogullari, Ulucan, dan Senel (2014)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bersifat negatif antara
kecerdasan emosional dengan burnout, artinya semakin tinggi tingkat
kecerdasan emosional seseorang, maka tingkat burnout semakin
rendah, dan sebaliknya.

C. Hipotesis

Berdasarkan penuturan teori-teori di atas, maka hipotesis penelitian


ini adalah adanya hubungan negatif antara kecerdasan emosional
dengan burnout. Jika kecerdasan emosional tinggi maka burnout
rendah. Jika kecerdasan emosional rendah maka burnout tinggi.

Anda mungkin juga menyukai