NIM : P17321203027
FILSAFAT KETUHANAN
Dalam QS : 28 (Al-Qashash) : 38, perkataan ilah dipakai oleh Fir‘aun untuk dirinya
sendiri:
dan berkata Fir'aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui Tuhan bagimu
selainaku. Maka bakarlah Hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku
bangunan yang Tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan Sesungguhnya
aku benar-benar yakin bahwa Dia Termasuk orang-orang pendusta".
Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa
mengandungarti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi) maupun
benda nyata(Fir‘aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam Al-
Quran juga dipakai dalambentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna:
ilaahaini), dan banyak (jama‘:aalihatun).Derifasi makna dari kata ilah tersebut
mengandung makna bahwa bertuhan nol‘ atau atheisme adalah tidak mungkin. Untuk
dapat mengerti dengan definisi Tuhan atau Ilah yangtepat, berdasarkan logika Al-Quran
sebagai berikut:
Tuhan (Ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh
manusiasedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya.
Perkataandipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang
dipuja, dicintai,diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau
kegembiraan, dantermasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau
kerugian.
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-Ilah sebagai berikut:
Al-Ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya,
merendahkan diridi hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat
berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa, dan bertawakal kepadanya untuk
kemaslahatan diri, memintaperlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan
di saat mengingatnya dan terpautcinta kepadanya (M. Imaduddin, 1989 : 56)
Atas dasar definisi ini, tuhan bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan manusia.
Yangpasti, manusia tidak mungkin atheis, tidak mungkin tidak ber-tuhan. Berdasarkan
logika Al-Quran, setiap manusia pasti ada sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan
begitu, orang-orangkomunis pada hakikatnya ber-tuhan juga. Adapun tuhan mereka
ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat laailaahaillaAllah. Susunan kalimat
tersebutdimulai dengan peniadaan, yaitu tidak ada Tuhan kemudian baru diikuti
dengan penegasan melainkan Allah.Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus
membersihkan diri darisegala macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam
hatinya hanya ada satuTuhan, yaitu Allah SWT.
Untuk lebih jelas memahami tentang siapakah Allah, DR. M. Yusuf Musa menjelaskan
dalam makalahnya yang berjudul“Al Ilahiyyat Baina Ibnu Sina wa Ibnu Rusyd”yang
telahdi edit oleh DR. Ahmad Daudy, MA dalam buku Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam
Islam. Beliau mengatakan : Dalam ajaran Islam, Allah SWT adalah pencipta segala
sesuatu ;tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa kehendak-Nya, serta tidak ada sesuatu
yang kekal tanpapemeliharaan-Nya. Allah SWT mengetahui segala sesuatu yang paling
kecil dan paling halussekali pun. Ia yang menciptakan alam ini, dari tidak ada kepada
ada, tanpa perantara darisiapa pun. Ia memiliki berbagai sifat yang maha indah dan
agung.
C. Iman
Iman secara umum dipahami sebagai suatu keyakinan yang dibenarkan dalam hati,
diirarkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan amal perbuatan yang didasari niat yang
tulus dan ikhlas dan selalu mengikuti petunjuk Allah Swt serta sunnah Nabi Muhammad
Saw.
Iman adalah sikap atau attitude, yaitu kondisi mental yang menunjukkan
kecenderungan atau keimanan luar biasa terhadap Allah Swt. Orang yang beriman
kepada Allah Swt adalah orang yang rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk
mewujudkan harapan atau kemauan yang dituntut Allah Swt kepadanya. (Mahfud,
2011: 12).
Fitrah iman pada setiap individu seharusnya telah di pelihara sejak dini, individu
harus dibiasakan mengamalkan apa yang diimaninya itu dalam kehidupan sehari-hari
secara benar dan istiqamah,ddailam Rukun Iman dan dan Rukun Islam terdapat nilai-
nilai bimbingan dan konseling yang dapat diterapkan dalam praktik di lapangan.
1. Nilai-nilai Bimbingan dan Konseling dalam Rukun Iman
a) Iman kepada Allah Swt
Iman kepada Allah memiliki hubungan kuat dengan kesembuhan
suatu penyakit. Ketahanan seseorang ketika melemah, dihadapi dengan
faktor iman yang menjadi energi fisik maupun psikis yang mampu
menambah ketahanan diri ketika mengadapi penderitaan atau penyakit.
Penyakit merupakan sumber dari keguncangan jiwa seperti gelisah, takut,
dan marah. Individu yang memiliki keimanan yang kukuh tidak mudah
gelisah dan takut dalam mengadapi kekuatan yang lebi besar, lantaran dia
yakin bahwa di atas semua ada yang memiliki kekuatan yang sebenarnya,
ia yakin bahwa Allah yang maha menyembukan dari segala penyakit dan
Allah maha yang mampu memberi jalan keluar dalam menghadapi segala
kesulitan.
Beriman kepada Allah Swt merupakan kewajiban bagi tiap muslim
dengan beriman kepada Allah Swt manusia akanmendapat anugerah yang
luar biasa di dunia dan di akhirat. Beriman kepada Allah Swt dapat
dicapai dengan jalan mengenal Allah dan sifat-sifatNya. Dengan demikian,
insya Allah akan tertanam iman yang kuat dalam dada sehingga landasan
kepercayaan dan iman kita kepada Allah Swt bukan hanya ikut ikutan
melainkan betul –betul timbul dari kesadaran dan keinsyafan (Abidin,
2007: 9).
Manfaat Beriman Kepada Allah Swt yakni mudah menyelesaikan
persoalan hidup yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan dan
akal manusia, menambah ilmu pengetahuan karena dalam kitab Allah di
samping berisi tentang perintah dan larangan juga menjelaskan pokok-
pokok ilmu pengetahuan yang mendorong manusia mengembangkan nya
sesuai perkembangan zaman, serta menanamkan sikap toleransi
terhadap pengikut agama lain karena dengan beriman kepada kitab kitab
Allah manusia akan selalu menghormati dan menghargai orang lain
(Fatoni, 2013: 44).
b) Iman Kepada Malaikat
Keimanan kepada malaikat sangat penting bagi individu mengingat
manusia dalam perjalanan hidupnya sering melanggar rambu-rambu
moral dan etika dalam hubungannya dengan manusia lain. Dengan
keimanan kepada malaikat, manusia selalu merasa bawa segala tingka
laku dan ucapannyaada yang mengontrol. Oleh sebab itu, mereka selalu
berhati- hati dalam bertindak dan berucap. Orang yang sehat jiwanya
adalah orang yang pikiran, perasaan, dan perilakunya selalu baik, tidak
melanggar hukum dan norma-norma sosial.
Menurut bahasa (etimologi). Malaikat berarti utusan. Lafazhnya
berasal dari kata malaka. Secara istilah (terminologi), malaikat berarti
sosok yang lembut (halus) yang diberi kemampuan menyerupai beragam
bentuk makhluk yang berbeda, yang bertempat tinggal di langit (Thayyib,
2012: 21).
Malaikat adalah makhluk yang selalu patuh pada ketentuan dan
perintah Allah. Menurut bahasa Arab, kata “malaikah” adalah bentuk
jamak dari kata malak yang berarti “kekuatan”. Malaikat dicipatakan
Allah dari cahaya (nur).
Iman kepada Malaikat adalah meyakini adanya malaikat, meski
kita tidak dapat melihatnya. Namun begitu, jika Allah berkehendak,
malaikat dapat dilihat manusia, yang biasanya terjadi pada para Nabi dan
Rasul. Malaikat selalu menampakan diri dalam wujud laki-laki kepada
para Nabi dan Rasul (Fatoni, 2013: 51).
Dengan beriman kepada Malaikat seseorang akan lebih mengenal
kebesaran dan kekuasaan Allah Swt yang menciptakan dan menugaskan
para Malaikat tersebut, bersyukur kepada Allah Swt atas perhatian dan
perlindunganNya terhadap hamba-hambaNya dengan menugaskan para
Malaikat untuk menjaga, membantu dan mendo‟akan hamba-hambaNya,
berusaha berhubungan dengan para Malaikat dengan jalan mensucikan
jiwa, membersihkan hati dan meningkatkan ibadah kepada Allah Swt
sehingga seseorang akan sangat beruntung bila termasuk golongan yang
dido‟akan oleh para Malaikat sebab do‟a Malaikat tidak pernah ditolak
Tuhan, serta berusaha selalu berbuat kebaikan dan menjauhi segala
kemaksiatan serta ingat senantiasa kepada Allah Swt sebab para Malaikat
selalu mengawasi dan mencatat amal perbuatan manusia (Ilyas, 2013:
92).
c) Iman Kepada Kitab Allah Swt
Al Qur‟an adalah panduan hidup bagi manusia, ia adalah pedoman
bagi setiap pribadi dan undang-undang bagi seluruh masyarakat. Di
dalamnya terkandung pedoman praktis bagi setiap pribadi dalam
hubungannya dengan Tuhannya, lingkungan sekitarnya, keluarganya,
dirinya sendiri, dengan sesama muslim, dan juga non muslim baik yang
berdamai maupun yang memeranginya, individu yang mengikuti panduan
ini pasti selamat dalam hidupnya di dunia maupun akhirat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan, kitab dalam hal
ini memiliki arti buku, bacaan, atau wahyu Tuhan yang dibukukan. Yang
dimaksud iman kepada kitab-kitab Allah Swt adalah meyakini dengan
sepenuh hati bahwa Allah Swt menurunkan Kitab-Kitab-Nya bagi umat
manusia supaya meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat (Fatoni,
2013: 87).
Adapun di antara Kitab-Kitab yang diturunkan Allah Swt adalah,
Taurat ditulis menggunakan bahasa Ibrani, berisikan syariat (hukum) dan
kepercayaan yang benar dan diturunkan melalui Musa, Zabur berisi
tentang mazmur atau nyanyian pujian bagi Allah yang dibawakan Dawud
dengan menggunakan bahasa Qibti, Injil pertama kali ditulis
menggunakan bahasa Suryani melalui mutid-murid Isa untuk bangsa
Israil sebagai penggenap ajaran Musa, serta Al-Qur‟an merupakan
firman-firman yang diberikan Allah kepada Muhammad Saw sebagai
kesatuan kitab untuk pedoman hidup bagi seluruh umat manusia.
Hikmah mengimani kitab Allah Swt yaitu mengetahui perhatian
Allah terhadap hamba-hamba-Nya dengan menurunkan kitab yang
menjadi hidayah (petunjuk) bagi setiap manusia, mengetahui hikmah
Allah Swt dalam syara‟ atau hukum-Nya, sehingga menetapkan hukum
yang sesuai dengan tabiat setiap umat (Fatoni, 2013: 116).
d) Iman kepada Para Rasul Allah
Hubungan iman kepada Rasul dengan bimbingan dan konseling yakni
membimbing ternyata bukan hanya sekadar pengetahuan dan
ketrampilan memberikan layangan bimbingan. Tetapi lebi dari itu adala
ketepatan memilih rujukan yang menjadi pegangan dalam memberikan
layangan bimbingan. Apa yang diucapkan dan dikerjakaran Rasulullah
Saw telah dikumpulkan dan dibukukan oleh para imam hadis mencakup
berbagai kehidupan manusia dan ini dijadikan rujukan manusia dalam
kehidupan.
Rasul-rasul yang diutus Allah Swt memiliki syariat yang berbeda,
namun misi profetik diutusnya mereka adalah sama yaitu
memperjuangkan tegaknya akidah yang mengesakan Allah Swt. Nabi dan
rasul terdahulu mempunyai umat masing-masing; mereka hadir untuk
memberikan bimbingan dan penyuluhan ruhani kepada tiap-tiap
umatnya sehingga mereka memiliki keterbatasan waktu dan tempat.
Keadaan ini berbeda dengan Rasul yang terakhir, Muhammad Saw, Ia
datang untuk menyempurnakan syariat rasul-rasul sebelumnya dan
berlaku untuk seluruh umat manusia yang ada di jagad raya ini (Mahfud,
2011: 18).
Manfaat dan Urgensi Beriman kepada Para Rasul Allah yakni,
bertambah iman kepada Allah dengan mengetahui bahwa Rasul benar-
benar manusia pilihan Allah, mengamalkan apa yang disampaikan para
Rasul, memercayai tugas-tugas yang dibawanya untuk disampaikan
kepada umatnya, lebih mencintai dan menghormati rasul atas
perjuangannya, serta memperoleh teladan yang baik untuk menjalani
hidup.
e) Iman kepada Hari Kiamat
Hari kiamat disebut juga dengan yaumul akhir (hari akhir), yaumul
ba‟ats (hari kebangkitan), yaumul hisab (hari perhitungan), yaumul zaja‟i
(hari pembalasan), yaitu pembalasan atas segala amal perbuatan manusia
selama hidup di dunia. Keyakinan dan kepercayaan akan adanya hari
kiamat memeberikan satu pelajaran bahwa semua yang bernyawa,
terutama manusia akan mengalami kematian dan akan dibangkitkan
kembali untuk mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya di
dunia.
Kepercayaan akan adanya hari kiamat memeberikan satu pelajaran
bahwa semua yang bernyawa, terutama manusia akan mengalami
kematian dan akan dibangkitkan kembali untuk mempertanggung
jawabkan segala amal perbuatannya di dunia.
Setelah peniupan sangkakala dan semua manusia mati serta
kondisi umum bumi dan langit saling berbenturan, sangkakala ditiupkan
lagi. Maka semua manusia yang ada di alam barzakh akan bangkit dan
hidup kembali. Mereka hadi untuk perhitungan amal dan
pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt (Amin, 2009: 117).
Hikmah mengimani hari akhir, keyakinan dan kepercayaan adanya
hari kiamat memberikan satu pelajaran bahwa semua yang bernyawa,
terutama manusia akan mengalami kematian dan akan dibangkitkan
kembali untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya di
dunia. Hari kiamat menandai babak akhir dari sejarah hidup manusia di
dunia. Kedatangan hari kiamat tidak dapat diragukan lagi bahkan proses
terjadinya pun sangat jelas.
Orang-orang yang beriman dan beramal sholih akan merasakan
kenikmatan surga bahkan kekal di dalamnya. Sebaliknya, orang yang
menolak perintah Allah Swt dan melanggar larangan-Nya dilukiskan
mendapat siksaan yang pedih (Mahfud, 2011: 19).
f) Iman kepada Qadha dan Qadar
Iman kepada takdir Allah mengandung makna bahwa ada ketentuan
Allah yang pasti berlaku untuk setiap individu, apa yang diupayakan
individu bisa terujud hanya dengan izin Allah, musibah yang menimpa
individu juga tidak mungkin terjadi tanpa izin Allah. Individu yang telah
mengimani takdir dengan sepenuh hati ridha menerima ketentuan Allah
yang berlaku atas dirinya sambil terus berikhtiar.
Qadha biasanya diterjemahkan dengan berbagai arti seperti kehendak
dan perintah. Qadar berarti batasan, menetapkan ukuran.Iman kepada
Qadha dan Qadar memberikan pemahaman bahwa kita wajib meyakini
kemahabesaran dan kemahakuasaan Allah Swt sebagai satu-satunya Dzat
yang memiliki otoritas tunggal dalam menurunkan dan menentukan
ketentuan apa saja bagi makhluk ciptaan-Nya. Manusia diberi
kemampuan (qudrat) dan otonomi untuk menentukan sendiri nasibnya
dengan ikhtiar dan do‟anya kepada Allah Swt.
Manusia memiliki halatul ikhtiar, otonomi untuk menentukan dan memilih jalan
yang baik atau buruk. Manusia di uji melalui entry point yaitu mengemban posisi
sebagai khalifah dan mengemban amanah Allah. Kedua point tadi bersifat tantangan
yang diajukan oleh Allah kepada manusia, dan manusia pun siap mewujudkan
tantangan tersebut dalam bentuk perbuatan.
Melaksanakan dua hal tersebut manusia memerlukan kelengkapan berupa anggota
badan (qalb), iradat (pilihan), masyi‟ah (putusan), kudrah (daya), dan kemampuan.
Dengan otonomi atau halatul ikhtiar yang dimilikinya, manusia boleh memilih untuk
menerima wahyu dan pertimbangan akal sehatnya (baik) atau memilih rayuan hawa
nafsu (jahat). Keduanya, merupakan produk yang melahirkan akibat yang positif dan
negatif dan semua akibat ini akan dipertanggungjawabkan (Mahfud, 2011: 21).