Anda di halaman 1dari 3

Nama : Masriyul Adim

NIM : 18930017

Islam dan Covid-19 ;Antara Khayalan dan Ilmiah

Ketika COVID-19 menyerang dunia, kita mendapati fenomena menarik: mereka yang
ingin memerangi virus semata dengan “agama”. Mereka beredar di grup-grup Whatsapp,
menyebarkan konspirasi-konspirasi, menyerukan orang untuk tetap ke mesjid dan berkumpul
bersama meskipun ada pembatasan sosial berskala besar, dan lain-lain.

Yang seperti ini banyak ragamnya. Sebagian muncul secara sporadis; dengan menganggap
bahwa COVID-19 ini adalah konspirasi WHO, menyerukan untuk “tidak memakai vaksi Bill
Gates”, atau malah menyalahkan pihak-pihak yang menyosialisasikan pembatasan sosial
untuk tidak mudik atau tidak ke tempat ibadah. Lalu beredar video kelompok keagamaan
yang tetap berkumpul dalam skala besar di awal mula penyebaran virus, hingga muncul artis-
artis yang bersikeras mencari masjid untuk salat Jumat walaupun sudah dilarang.

Lalu kemudian mereka menjadi ‘kluster’ baru penyebaran virus dan berkontribusi terhadap
transmisi lokal. Ada perilaku lain yang lebih terstruktur dan massif. Bilang bahwa COVID-19
bisa dilawan dengan ‘qunut’ atau sekadar berdoa; menolak saran ilmuwan dan otoritas
kesehatan dengan membuka pariwisata, hingga kemudian merespons COVID-19 dengan
candaancandaan. Sedihnya, pernyataan seperti ini jutru terlontar dari orang-orang yang
dianggap punya otoritas.

Salahkah perilaku semacam ini?

Tidak ada yang salah dengan doa, aktivitas keagamaan, datang ke masjid, atau memperkuat
ibadah mahdhah. Konspirasi mungkin bisa ada sedikit kebenarannya. Tapi itu semua tidak
akan membantu kita menghadapi COVID-19 dan dampak-dampak sosial, ekonomi, dan
politik turunannya. Kita perlu sedikit menggeser pemahaman Islam yang “utopis” ini dengan
cara pemahaman yang “Ilmiah”. Terutama untuk hal-hal yang bersifat mu’amalah
duniawiyah seperti masalah pandemik dan kesehatan masyarakat.

Dari mana kita mulai?


Berhubung kita akan memasuki bulan Ramadhan, ada baiknya mengulang kembali sejarah
turunnya Al-Qur’an. Kita semua tahu bahwa perintah pertama yang muncul dalam Al-Qur’an
adalah: Iqra! Bacalah!

Syahdan, ketika Malaikat Jibril pertama kali bertemu Nabi Muhammad di Gua Hira, tiga kali
kata Iqra’ terucap. Tapi Baginda Nabi Muhamma—sebagai seorang tokoh yang ummi, tak
pandai membaca dan menulis masa itu, menjawab: aku tidak bisa membaca. Hingga
kemudian Malaikat Jibril membacakan lima ayat pertama dalam Surah Al-Alaq.

Dalam Surat Al-Alaq, Allah menyuruh kita untuk melakukan tiga hal penting: membaca,
menulis, dan mengajarkan pengetahuan. Ini tiga elemen penting yang mendasari pijakan
berkembangnya Islam hingga berabad-abad kemudian. Menurut Fazlur Rahman, bahkan
pengetahuan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan manusia sejak Nabi
Adam.

Tanpa kemauan membaca, susah mengharapkan tumbuhnya ‘ummat’ yang memiliki etos
untuk mendorong kemajuan dalam peradaban. Tanpa kemauan menulis, ‘ilmu’ hanya akan
berhenti di kalangan elite-elite tertentu, meninggalkan umat dalam kejumudan. Tanpa
mengajarkan pengetahuan, kita akan gagal untuk memberikan pencerahan bagi orang lain.

Dengan konsepsi ini, kita tidak bisa memahami membaca sebatas ayat-ayat Al-Qur’an yang
bersifat qauliyah, hanya pada membaca Al-Qur’an sebagai sebuah rutinitas. Iqra’ juga berarti
membaca ayat-ayat kauniyah, yang berarti memahami cara alam bekerja dan memahami
bagaimana manusia berinteraksi dengan alam, mengolahnya untuk bertahan hidup, membantu
manusia lainnya, dan mengatasi masalah-masalah yang muncul ketika ‘alam’ menguji
peradaban manusia –seperti munculnya penyakit dan virus.

Semuanya perlu dipelajari melalui satu hal penting: sains.

Kita tidak mempelajari sains dan ilmu pengetahuan yang luas semata sebagai ‘mengikuti
tradisi Barat’. Islam justru yang mula-mula menjadikan pengetahuan sebagai panglima dalam
memahami realitas-realitas sosial dan alam. Ilmu tentu tidak bisa dipilah hanya menurut
kategori ‘geografis’ semacam Barat dan Timur.

Pada praktiknya, ilmuwan Muslim menerjemahkan teks-teks klasik filsafat dan pengetahuan
Yunani dan mengembangkannya dalam konteks masa itu. Pada masa pencerahan, giliran
teks-teks Muslim yang diterjemahkan. Tapi ada satu hal yang penting: perintah untuk
menuntut ilmu adalah bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam yang mulia.
Cukupkah hal tersebut? Ternyata belum.

Dua tahun berselang setelah surah Al-Alaq turun, tidak ada tanda bahwa akan ada wahyu
selanjutnya. Nabi gelisah, dan menurut riwayat mendapati diri beliau terasing dari orang-
orang dan takut. Lalu muncullah ayat kedua.

Para ulama berbeda pendapat tentang ayat ini. Pendapat yang umum melihat bahwa wahyu
kedua adalah QS al-Mudatsir 1-5. Tapi ada juga yang menyatakan kalau wahyu kedua adalah
awal Surat al-Qalam.

Terlepas dari debat itu, mari kita bedah ayat ini. Allah berfirman dalam surah AlMuddatsir:
Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan dan Tuhanmu agungkanlah,
dan pakaianmu bersihkanlah.’ (Al-Mudatsir: 1-5)

Ayat ini menyuruh kita untuk turun dan menyampaikan peringatan kepada masyarakat. Jika
kita memahami ayat ini dengan Surah Al-Alaq, perintah Allah adalah bahwa ketika kita
sudah punya pengetahuan yang cukup, maka berilah peringatan. Bangunlah dari selimut,
bersihkanlah pakaian dan atribut keduniaan kita, dan agungkanlah Tuhan. Perbaiki niat,
pahami kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat, dan dorong kemajuan dalam masyarakat.
Itulah pengejawantahan ajaran Islam.

Perintah dalam Surah Al-Muddatsir adalah perintah untuk melakukan “dakwah”. Di sini,
dakwah penting untuk diinterpretasikan ulang, bukan hanya sebagai seruan kepada
masyarakat atas ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi juga pengorganisasian kolektif untuk dua hal:
menolak kontradiksi-kontradiksi yang terjadi dalam masyarakat, dan berdasarkan
pembacaaan yang ilmiah atas kontradiksi tersebut, mencoba menawarkan tatanan masyarakat
yang adil.

Anda mungkin juga menyukai