Anda di halaman 1dari 19

Laporan Tutorial Traumatologi

Modul 1
Kesadaran Menurun dan Sesak Napas

Kelompok 4
Muh. Zubair 10542024910
Diyah Sasmi Kurnia 10542025210
Wahyu Febriandi 10542044212
Yahya Djafar 10542044412
Andi Afdalia Reski 10542055614
Andi Sri Wulan Purnama 10542055714
Dyah Ayu Larasaty 10542055814
Alif Adeyani 10542058314
Andi Suci Setyawati 10542058114
Ulfa Sari Al-Bahmi 10542058214

Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Makassar
2017
A. Skenario
Seorang anak laki – laki 5 tahun di bawah ke puskesmas dengan keluhan
sesak napas, penderita terlihat pucat dan kebiruan, nadi teraba cepat dan
lemah. Penderita tidak batuk dan tidak demam.
B. Kata Kunci
1. Laki – laki 5 tahun
2. Sesak napas
3. Pucat dan kebiruan
4. Nadi cepat dan lemah
5. Tidak batuk
6. Tidak demam

C. Pertanyaan
1. Bagaimana penanganan awal pasien pada skenario ?
2. Sebutkan penyakit yang menyebabkan sesak ?
3. Apa Diagnosis Differential dari skenario ?
4. Bagaimana langkah diagnostik dari skenario ?

D. Jawaban
1. Penanganan Awal
1. Nilai keadaan umum pasien
2. Airway + C – spine control
• Look ( Lihat apakah ada sumbatan pada jalan napas)
• Listen ( Dengar ada suara udara / suara tambahan)
• Feel ( Raba lokasi trakea dan tentukan dengan cepat apakah trakea
berada di tengah )
Posisikan dalam keadaan head tilt, jaw thrust, chin lift.
3. Breathing
• Inpeksi dan palpasi leher dan torax untuk adanya deviasi trakea,
ekspansi toraks simetris atau asimetris, pemkaaian otot tambahan
dan tanda cedera lainnya
• Perkusi toraks untuk menentukan redup atau hipersonor
• Auskultasi toraks bilateral.
4. Circulation dan kontrol pendarahan

 Mengetahui sumber pendarahan eksternal yang fatal


 Sumber pendarahan internal
 Nadi
 Tekanan Darah
5. Disability

 Nilai GCS / AVPU


 Nilai Reflex Pupil
6. Exposure

 Buka pakaian penderita tapi cegah hipotermia

2. Penyebab Sesak Napas

3. Differential Diagnosis
A. INTOKSIKASI MAKANAN
 Pengertian
Keracunan makanan adalah suatu penyakit yang terjadi setelah
menyantap makanan yang mengandung racun, berasal dari bahan
beracun yang terbentuk akibat pembusukan makanan dan bakteri
(Arisman, 2009). Junaidi (2011) menyatakan keadaan darurat yang
diakibatkan masuknya suatu zat atau makanan ke dalam tubuh melalui
mulut yang mengakibatkan bahaya bagi tubuh disebut sebagai
keracunan makanan. Perez dan Luke’s (2014) menyatakan
Keracunan makanan adalah keracunan yang terjadi akibat
menelan makanan atau air yang mengandung bakteri, parasit, virus,
jamur atau yang telah terkontaminasi racun.

 Etiologi
Penyebab keracunan makanan adalah kuman Clostridium
botulinum yang hidup dengan kedap udara (anaerobik), yaitu di tempat-
tempat yang tidak ada udaranya (Junaidi, 2011). Keracunan makanan
dapat disebabkan oleh pencemaran bahan-bahan kimia beracun,
kontaminasi zat-zat kimia, mikroba, bakteri, virus dan jamur yang
masuk kedalam tubuh manusia.

 faktor predisosisi
1. Temperature
Kemampuan jasad renik untuk bertahan pada lingkungan bersuhu
rendah atau tinggi sangat beragam. Berdasarkan temperatur bakteri
dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal. Bakteri
diklasifikasi menjadi 3 kelompok yaitu Psikrofilik, Mesofilik dan
Termofilik.
Bakteri Psikrofilik yaitu bakteri yang senang hidup dalam suasana
dingin, yaitu antara 0-250C dengan temperature optimum 20-250C.
Bakteri Mesofilik yaitu bakteri yang hidup pada temperatur 20-
450C, dengan temperatur optimum 30-370C. Bakteri Termofilik
yaitu bakteri yang hidup pada suhu 7 0C, meskipun toksin dapat
terbentuk pada suhu 100C. pada umumnya, pembentukan toksin
dibawah 200C berlangsung lambat. Toksin yang diproduksi oleh
sebagian bakteri (Clostridium botulinum) bersifat termolabil, ynag
berarti bahwa toksin ini akan rusak jika terpapar oleh panas,
(Staphyloccus aureus) tidak dapat dirusak oleh panas (beat-
resistant), Bacillus aureus sangat bervariasi, yaitu dapat bersifat
beat-labile dan beat-stabile.
2. Waktu
Waktu merupakan parameter yang dapat dikendalikan untuk
menjamin keamanan makanan dalam menilai laju pertumbuhan
jasad renik pathogen. Bakteri akan membelah diri setiap 20-30
menit sekali dengan kondisi lingkungan yang sesuai. Colostridium
perfringis contoh bakteri yang mampu membelah diri dalam waktu
7,1 menit pada suhu 40-450C. pertumbuhan bakteri monocytogenes
pada suhu 100C dalam waktu 1,5 hari, sedangkan pada suhu 1 0C
mencapai 3,3 bulan.
3. Oksigen
Bakteri aerob membutuhkan oksigen untuk pertumbuhan,
sedangkan bakteri anaerob tidak memerlukan oksigen untuk
pertumbuhan. Sebagian bakteri tumbuh dan menghasilkan toksin
pada kondisi anerob, sedangkan sebagian bakteri lain memerlukan
oksigen untuk menghasilkan toksin (Arisman, 2009). Junaidi
(2011) menyatakan Colostridium botulinum adalah kuman yang
hidup dengan kondisi kedap udara (anaerobik), yaitu di tempat-
tempat yang tidak ada udaranya. Kuman Colostridium botulinum
banyak ditemukan pada makanan dalam kaleng yang diolah secara
kurang sempurna.
4. Kondisi makanan dan minuman
Kemasan makanan dan minuman dirancang untuk menjaga mutu
pangan. Fungsi perlindungan kemasan meliputi proteksi terhadap
uap air, oksigen, cahaya, debu,
kerusakan mekanik, serta mencegah invasi mikroba dan serangga.
Kemasan yang buruk dapat memudahkan masuknya jasad renik
kedalam kemasan makanan.

 Tanda Dan Gejala


Akibat keracunan makanan bisa menimbulkan gejala pada
sistem saraf dan saluran cerna. Tanda gejala yang biasa terjadi pada
sistem saraf adalah adanya rasa lemah, kesemutan (parastesi), dan
kelumpuhan (paralisis) otot pernapasan (Arisman, 2009). Suarjana
(2013) menyatakan tanda gejala yang biasa terjadi pada saluran cerna
adalah sakit perut, mual, muntah, bahkan dapat menyebabkan diare.

 Pertolongan Pertama Keracunan Makanan


Pertolongan pertama keracunan makanan yang dapat dilakukan
adalah dengan mengupayakan penderita untuk memuntahkan makanan
yang telah dikonsumsi penderita. Cara yang bisa dilakukan untuk
merangsang muntahan adalah dengan memberikan minuman susu.
Selain itu, cara yang bisa dilakukan adalah dengan meminum segelas
air yang telah dicampur dengan satu sendok teh garam dan berikan
minuman teh pekat (Junaidi, 2011).
Menurut Noriko (2013) tanaman teh memiliki potensi sebagai
antibakteria karena mengandung bioaktif yaitu senyawa tanin. Tanin
adalah senyawa fenolik yang terkandung dalam berbagai jenis
tumbuhan hijau dengan kadar yang berbeda-beda. Manfaat tanin selain
antibakteria adalah sebagai antiseptik dan mempunyai sifat sebagai
agent pengkelat logam karena adanya pengaruh fenolik. Pengaruh
fenolik bisa memberikan antioksidan bagi tubuh.
Hardisman (2014) menyatakan pertolongan pertama keracunan
makanan adalah dengan minum air putih yang banyak, pemberian
larutan air yang telah dicampur dengan garam.
Pertolongan pertama yang bisa dilakukan adalah dengan mengganti
cairan dan elektrolit yang hilang akibat muntah atau diare. Menghindari
terjadinya dehidrasi pada korban segera berikan air minum dan larutan
elektrolit yang banyak untuk korban (Sentra informasi keracunan
nasional & Badan pemeriksaan Makanan dan obat SIKERNAS &
BPOM, 2012).
Menurut Bahri, Sigit, dkk. (2012) cairan elektrolit dapat diperoleh
dari air kelapa. Air kelapa murni tanpa tambahan gula sedikit
menginduksi urinisasi, sedangkan air kelapa yang ditambah dengan
gula banyak menginduksi urinisasi. Penyebab banyaknya menginduksi
urinisasi adalah karena konsentrasi gula yang tinggi, sehingga absobsi
air menjadi lambat dan urinisasi meningkat.

B. Alergi
 Definisi
Alergi merupakan suatu reaksi hipersensitivitas akibat induksi
oleh imunoglobulin E (IgE) yang spesifik terhadap alergen tertentu
yang berikatan dengan sel mast atau sel basofil. Ketika antigen terikat,
terjadi silang molekul IgE, sel mast manusia dirangsang untuk
berdegranulasi dan melepaskan histamin, leukotrein, kinin, Plateletes
Activating Factor (PAF), dan mediator lain dari hipersensitivitas,
dimana histamin merupakan penyebab utama berbagai macam
alergi.4,18 Reaksi hipersensitivitas terjadi akibat aktivitas berlebihan
oleh antigen atau gangguan mekanisme yang akan menimbulkan suatu
keadaan imunopatologik.19 Reaksi timbul akibat paparan terhadap
bahan yang pada umumnya tidak berbahaya dan banyak ditemukan
dalam lingkungan. Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas
dibagi dalam 4 tipe, yaitu tipe I, II, III, dan IV, dimana
hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi hipersensitivitas anafilaktik
atau reaksi alergi.
 Etiologi
Eiologi alergi multifaktorial. Diantaranya dapat berasal dari
agen, host, dan lingkungan. Host dapat berupa daya tahan tubuh dan
usia dimana usia dini semakin rentan terhadap alergi. Lingkungan
dapat berupa suhu, musim. Agen dapat berupa alergen. Reaksi
alergi yang timbul akibat paparan alergen pada umumnya tidak
berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan dan sangat
beragam.4 Diantaranya adalah antibiotik, ekstrak alergen, serum
kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah, anestetikum
lokal, makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Antibiotik dapat
berupa penisilin dan derivatnya, basitrasin, neomisin, tetrasiklin,
sterptomisin, sulfonamid. Ekstrak alergen dapat berupa rumput-
rumputan atau jamur, serum ATS, ADS, dan anti bisa ular. Produk
darah seperti gamaglobulin dan kriopresipitat dapat menyebabkan
alergi. Makanan yang dapat menjadi penyebab alergi diantaranya
susu sapi, kerang, kacang-kacangan, ikan, telur, dan udang.

 Epidemiologi Alergi
Prevalensi alergi di dunia meningkat secara dramatis di
negara maju dan negara berkembang. Peningkatan alergi terutama
terjadi pada anak dari meningkatnya tren yang telah terjadi selama
dua dekade terakhir. Meskipun begitu, pelayanan untuk pasien
dengan penyakit alergi jauh dari ideal.1 Prevalensi alergi telah
meningkat, maka alergi harus dianggap sebagai masalah kesehatan
utama. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Diperkirakan
300 juta orang memiliki asma, sekitar 50% diantaranya tinggal di
negara-negara berkembang dengan akses terbatas terhadap obat
esensial. Oleh karena itu, asma sering tidak terkontrol di daerah-
daerah. Empat ratus juta orang di seluruh dunia memiliki rhinitis,
1,2,3
serta 5-15% populasi anak di seluruh dunia menderita alergi.
Dua studi internasional besar mengenai alergi, International
Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) dan
European Community Respiratory Health Survey (ECRHS), telah
mempelajari prevalensi asma dan rhinitis alergi di seluruh dunia
melalui standar kuisioner. ECRHS dan ISAAC telah menunjukkan
variasi yang cukup besar dalam prevalensi asma dan alergi
rhinoconjunctivitis di seluruh negara terutama di wilayah asia
pasifik.1,21

 Patofisiologi
Patofisiologi alergi terjadi akibat pengaruh mediator pada
organ target. Mediator tersebut dibagi dalam dua kelompok, yaitu
mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (performed
mediator) dan mediator yang terbentuk kemudian (newly fored
mediator). Menurut asalnya mediator ini dibagi dalam dua
kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator
primer), dan mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator
primer (mediator sekunder).
Mekanisme alergi terjadi akibat induksi IgE yang spesifik
terhadap alergen tertentu berikatan dengan mediator alergi yaitu sel
mast.4,19 Reaksi alergi dimulai dengan cross-linking dua atau lebih
IgE yang terikat pada sel mast atau basofil dengan alergen.
Rangsang ini meneruskan sinyal untuk mengaktifkan sistem
nukleotida siklik yang meninggikan rasio cGMP terhadap cAMP
dan masuknya ion Ca++ ke dalam sel. Peristiwa ini akan
menyebabkan pelepasan mediator lain.
Mediator yang telah ada di dalam granula sel mast
diantaranya histamin, eosinophil chemotactic factor of anaphylactic
(ECF-A), dan neutrophil chemotactic factor (NCF). Histamin
memiliki peranan penting pada fase awal setelah kontak dengan
alergen (terutama pada mata, hidung, dan kulit). Histamin dapat
menyebabkan hidung tersumbat, berair, sesak napas, dan kulit gatal.
22,23
Histamin menyebabkan kontraksi otot polos bronkus dan
menyebabkan bronkokonstriksi. Pada sistem vaskular menyebabkan
dilatasi venula kecil, sedangkan pada pembuluh darah yang lebih
besar konstriksi karena kontraksi otot polos. Histamin meninggikan
permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler. Perubahan vaskular
menyebabkan respons wheal-flare (triple respons dari Lewis) dan
jika terjadi secara sistemik dapat menyebabkan hipotensi, urtikaria,
dan angioderma. Pada traktus gastrointestinal, histamin menaikkan
sekresi mukosa lambung dan apabila pelepasan histamin terjadi
secara sistemik, aktivitas otot polos usus dapat meningkat dan
menyebabkan diare dan hipermotilitas.
Newly synthesized mediator diantaranya adalah leukotrein,
prostagladin, dan tromboksan. Leukotrein dapat menyebabkan
kontraksi otot polos, peningkatan permeabilitas, dan sekresi mukus.
Prostaglandin A dan F menyebabkan kontraksi otot polos dan
meningkatkan permeabilitas kapiler, sedangkan prostaglandin E1
dan E2 secara langsung menyebabkan dilatasi otot polos bronkus.
Kalikrein menghasilkan kinin yang mempengaruhi permeabilitas
pembuluh darah dan tekanan darah. ECF-A menarik eosinofil ke
daerah tempat reaksi dan memecah kompleks antigen-antibodi dan
menghalangi newly synthetized mediator dan histamin. Plateletes
Activating Factor (PAF) menyebabkan bronkokonstriksi dan
menaikkan permeabilitas pembuluh darah, mengaktifkan faktor XII
yang akan menginduksi pembuatan bradikinin. Bradikinin
menyebabkan kontraksi otot bronkus dan vaskular secara lambat,
lama, dan hebat. Bradikinin juga merangsang produksi mukus
dalam traktus respiratorius dan lambung. Serotonin dalam
trombosit yang dilepaskan waktu agregasi trombosit melalui
mekanisme lain menyebabkan kontraksi otot bronkus yang
pengaruhnya sebentar.
Faktor Risiko Alergi

Gambar 1. Mekanisme reaksi tipe 1 4

 Manifestasi Alergi
Manifestasi alergi tampak berbeda-beda sesuai dengan letak
dan rute paparan terhadap alergen.
1) Asma Bronkial

Alergen memasuki tubuh dari rute saluran pernapasan,


gejala sesak napas yang akan berlanjut ke serangan asma. Hal
tersebut terjadi karena penyempitan saluran napas, terutama
pada malam hari. Alergen pada umumnya menyebabkan
timbulnya banyak lendir pada saluran pernapasan. Kebanyakan
anak yang menderita asma mengalami gejala pertama sebelum
usia 5 tahun.27 Gejala yang menonjol dari asma dapat berupa
sesak napas, mengi, dan batuk berulang. Hingga usia lima
tahun, diameter saluran napas bagian bawah pada anak relatif
lebih kecil dibandingkan dengan dewasa sehingga lebih mudah
terjadi obstruksi. Dinding dada pada bayi kurang kaku sehingga
mempercepat penutupan saluran napas. Demikian pula tulang
rawan trakea dan bronkus pada bayi kurang kaku sehingga
mempermudah kolaps saat ekspirasi. Otot bronkus masih
sedikit menyebabkan brokodilator tidak memberikan hasil yang
diharapkan. Pada dinding bronkus utama anak ditemukan
banyak kelenjar mukosa sehingga dapat mengakibatkan
hipersekresi dan memperberat obstruksi. Insertio diafragma
pada bayi dan anak posisinya adalah horizontal, sehingga pada
inspirasi diafragma akan menarik dada ke dalam (retraksi).
2) Rhinitis alergi

Manifestasi klinis baru ditemukan pada anak usia 4-5


tahun dan insidennya meningkat progresif dan akan mencapai
10-15% pada usia dewasa. Gejalanya hidung tersumbat, gatal di
hidung dan mata, bersin, dan sekresi hidung. Anak yang
menderita rinitis alergi kronik dapat memiliki bentuk wajah khas
yaitu warna gelap serta bengkak di bawah mata. Bila hidung
tersumbat berat, sering terlihat mulut selalu terbuka (adenoid
face). Keadaan ini memudahkan timbul gejala lengkung palatum
yang tinggi, overbite serta maloklusi. Anak yang sering
menggosok hidung karena gatal menunjukkan tanda Allergic
salute.
3) Dermatitis Atopik (Eksim)

Penyakit yang sering dijumpai pada bayi dan anak, 5


ditandai dengan reaksi inflamasi pada kulit yang didasari oleh
faktor herediter dan lingkungan. Eksim atau dermatitis atopi
terjadi pada bayi sebelum berusia 6 bulan dan jarang terjadi
dibawah usia 8 minggu. Angka kejadian1-3% di masyarakat.
Terdapat tiga bentuk klinis dermatitis atopik, yaitu bentuk
infant, bentuk anak, dan bentuk dewasa. Bentuk infant
predileksi daerah muka terutama pipi lebih sering pada bayi
yang masih muda dan ekstensor ekstremitas pada bayi sudah
merangkak. Lesi yang menonjol adalah vesikel dan papula,
serta garukan yang menyebabkan krusta dan terkadang infeksi
sekunder (infeksi bakteri maupun jamur). Gatal merupakan
gejala yang mencolok sehingga bayi sering rewel dan gelisah
dengan tidur yang tergangg.
Bentuk anak merupakan lanjutan bentuk infant. gejala
klinis ditandai kulit kering (xerosis) bersifat kronis dengan
predileksi daerah flexura antecubiti, poplitea, tangan, kaki, dan
periorbita. Bentuk dewasa terjadi sekitar usia 20 tahun.
Umumnya berlokasi di daerah lipatan, muka, leher, badan
bagian atas, dan ekstremitas.

4) Urtikaria (kaligata, biduran)


Sebanyak 3,2 -12,8% dari populasi pernah mengalami
urtikaria. Gejalanya bentol (plaques edematous) multipel yang
berbatas tegas, kemerahan, dan gatal. Warna memerah bila
ditekan akan memutih. Berbentuk sirkuler atau serpiginosa
(merambat). Jika dibiarkan dapat menjadi pembengkakan di
hidung, muka, dan bibir. bahkan jika terjadi di mulut dapat
terjadi gangguan pernapasan.
5) Alergi saluran pencernaan

Alergi pada saluran pencernaan jarang terjadi pada bayi


dengan asupan ASI. Paling banyak terjadi pada anak yang
minum susu sapi dengan gejala muntah, diare, kolik,
konstipasi, buang air besar bardarah, dan kehilangan nafsu
makan.

 Diagnosis Alergi
Diagnosis alergi tergantung terutama pada riwayat klinis.
Anamnesis, diperjelas oleh pemeriksaan fisik, tes sensitivitas
IgE, tes kulit atau alergen spesifik serum. Skin-prick testing
(SPT) diujikan pada kulit, dilakukan dengan ekstrak alergen.
Pemeriksaan darah dilakukan dengan memeriksa IgE total dan
IgE spesifik Radio Allergosorbent test (RAST). Pemeriksaan
IgE total digunakan sebagai marker diagnosis alergi, tetapi
memiliki kelemahan karena kurang spesifik. Hal tersebut
disebabkan IgE meningkat pada penyakit alergi dan juga non
alergi seperti infestasi parasit. Pemeriksaan IgE spesifik
dilakukan dengan mengukur IgE spesifik alergen dalam serum
pasien. Selain itu, pemeriksaan lainnya untuk menegakkan
diagnosis penyakit alergi adalah skrining antibodi IgE multi-
alergen, triptase sel mast, dan Cellular antigen stimulation test
(CAST).28\

 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dilakukan bertujuan untuk
mengendalikan gejala alergi, meringankan intensitas serangan,
mengurangi frekuensi serangan, dan membatasi penggunaan
obat karena pada prinsipnya alergi tidak dapat disembuhkan.
Penatalaksanaan dermatitis atopik pada sebagian penderita
mengalami perbaikan dengan sendirinya sesuai dengan
bertambahnya usia. Menghindari atau mengurangi faktor
penyebab menjadi langkah pertama penatalaksanaannya.
Sedangkan untuk penatalaksanaan rinitis alergi pada anak
dilakukan dengan penghindaran alergen penyebab dan kontrol
lingkungan. Medikamentosa diberikan bila perlu dengan
antihistamin oral sebagai obat pilihan utama. 19,28
Asma dibagi dalam tiga derajat, yaitu asma episodik
jarang, sering dan persisten. Untuk “asma episodik jarang” tidak
perlu menggunakan anti inflamasi. Terapi “asma episodik
sering” pada anak menggunakan anti inflamasi dan obat non
steroid. Terapi “asma persisten” menggunakan anti inflamasi
dan obat steroid.19,28
Tetralogy Of Fallot
C.
 Definisi
Tetralogy of fallot (ToF) merupakan penyakit jantung bawaan sianotik
yang terdiri dari empat kelainan khas, yaitu defek septum ventrikel
(ventricular septal defect, VSD), stenosis infundibulum ventrikel kanan
atau biasa disebut stenosis pulmonal, hipertrofi ventrikel kanan, dan
overriding aorta.

 Epidemiologi
ToF merupakan jenis penyakit jantung bawaan tersering. Sekitar 3-5%
bayi yang lahir dengan penyakit jantung bawaan menderita jenis ToF. 3 Di
AS, 10% kasus penyakit jantung kongenital adalah ToF, sedikit lebih
banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan. Seiring dengan
meningkatnya angka kelahiran di Indonesia, jumlah bayi yang lahir
dengan penyakit jantung juga meningkat. Dua per tiga kasus penyakit
jantung bawaan di Indonesia memperlihatkan gejala pada masa neonatus.
Sebanyak 25-30% penderita penyakit jantung bawaan yang
memperlihatkan gejala pada masa neonatus meninggal pada bulan pertama
usianya jika tanpa penanganan yang baik. Sekitar 25% pasien ToF yang
tidak diterapi akan meninggal dalam 1 tahun pertama kehidupan, 40%
meninggal sampai usia 4 tahun, 70% meninggal sampai usia 10 tahun, dan
95% meninggal sampai usia 40 tahun.

 Patofisiologi
Sirkulasi darah penderita ToF berbeda dibanding pada anak
normal. Kelainan yang memegang peranan penting adalah stenosis
pulmonal dan VSD. Tekanan antara ventrikel kiri dan kanan pada pasien
ToF adalah sama akibat adanya VSD. Hal ini menyebabkan darah bebas
mengalir bolak-balik melalui celah ini. Tingkat keparahan hambatan pada
jalan keluar darah di ventrikel kanan akan menentukan arah aliran darah
pasien ToF. Aliran darah ke paru akan menurun akibat adanya hambatan
pada jalan aliran darah dari ventrikel kanan; hambatan yang tinggi di sini
akan menyebabkan makin banyak darah bergerak dari ventrikel kanan ke
kiri. Hal ini berarti makin banyak darah miskin oksigen yang akan ikut
masuk ke dalam aorta sehingga akan menurunkan saturasi oksigen darah
yang beredar ke seluruh tubuh, dapat menyebabkan sianosis. Jika terjadi
hambatan parah, tubuh akan bergantung pada duktus arteriosus dan
cabang-cabang arteri pulmonalis untuk mendapatkan suplai darah yang
mengandung oksigen. Onset gejala, tingkat keparahan sianosis yang terjadi
sangat bergantung pada tingkat keparahan hambatan yang terjadi pada
jalan keluar aliran darah di ventrikel kanan.

 Manifestasi Klinis
Derajat stenosis pulmonal berpengaruh langsung pada berbagai
macam manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada pasien ToF. Seorang
pasien dengan stenosis pulmonalringan mungkin tidak memiliki gejala apa
pun sampai akhir masa kanak-kanak, sementara pasien dengan stenosis
pulmonal berat memiliki kemungkinan lebih tinggi muncul gejala klinis
dalam bulan pertama kehidupan. Bayi tidak menunjukkan sianosis pada
saat lahir, gejala mulai berkembang antara umur 2-6 bulan. Manifestasi
klinis paling umum adalah murmur asimtomatik dan sianosis. Saturasi
oksigen arteri bayi ToF bisa tiba-tiba menurun dengan nyata. Fenomena
ini disebut “hypercyanotic spell”, biasanya merupakan hasil penyempitan
secara mendadak aliran darah ke paru. Serangan dapat terjadi setiap waktu
antara usia 1 bulan dan 12 tahun, terutama terjadi antara bulan ke-2 dan
ke-3. Paling sering terlihat setelah bangun tidur, menangis, buang air
besar, dan makan. Serangan ditandai dengan meningkatnya kecepatan dan
kedalaman pernapasan (hiperpnea) dengan sianosis yang bertambah parah.
Anak ToF menjadi iritatif dalam keadaan kadar oksigen berkurang,
atau memerlukan asupan oksigen yang lebih banyak, anak dapat menjadi
mudah lelah, mengantuk, atau bahkan tidak merespons ketika dipanggil,
menyusu yang terputus-putus. Anak dengan hypercyanotic spell akan
melakukan gerakan jongkok (squating), agar aliran darah ke paru menjadi
bertambah, dan serangan sianosis dan sesak menjadi berkurang. Pada anak
ToF, biasanya dijumpai keterlambatan pertumbuhan, tinggi dan berat
badan dan ukuran tubuh kurus yang tidak sesuai dengan usia anak.

 Diagnosis
1. Anamnesis
Pada pasien ToF biasanya terdapat keluhan utama sianosis,
pernafasan cepat. Selanjutnya perlu ditanyakan kepada orang tua atau
pengasuh pasien, kapan pertama kali munculnya sianosis, apakah sianosis
ditemukan sejak lahir, tempat sianosis muncul, misalnya pada mukosa
membran bibir dan mulut, jari tangan atau kaki, apakah munculnya tanda-
tanda sianosis didahului oleh faktor pencetus, salah satunya aktivitas
berlebihan atau menangis.
Riwayat serangan sianotik (hypercyanotic spell) juga harus
ditanyakan kepada orang tua pasien atau pengasuh pasien. Jika anak sudah
dapat berjalan apakah sering jongkok (squating) setelah berjalan beberapa
langkah sebelum melanjutkan kembali berjalan. Penting juga ditanyakan
faktor risiko yang mungkin mendukung diagnosis ToF yaitu seperti faktor
genetik, riwayat keluarga yang mempunyai penyakit jantung bawaan.
Riwayat tumbuh kembang anak juga perlu ditanyakan,
pemeriksaan tumbuh kembang dapat digunakan juga untuk mengetahui
apakah terjadi gagal tumbuh kembang akibat perjalanan penyakit ToF.

2. Pemeriksaan Fisik
Sianosis sentral dapat diamati pada sebagian besar kasus ToF;
desaturasi arteri ringan mungkin tidak menimbulkan sianosis klinis.
Clubbing fi ngers dapat diamati pada beberapa bulan pertama kehidupan.
Tanda-tanda gagal jantung kongestif juga jarang ditemukan, kecuali pada
kasus regurgitasi pulmonal berat atau ToF yang dibarengi dengan tidak
adanya katup pulmonal.
Impuls ventrikel kanan yang lebih kuat mungkin didapatkan pada
palpasi. Systolic thrill bisa didapatkan di perbatasan sternal kiri bawah.
Murmur sistolik grade III dan IV disebabkan oleh aliran darah dari
ventrikel kanan ke saluran paru. Selama serangan hypercyanotic spell
muncul, murmur menghilang atau menjadi sangat lembut. Sama halnya
pada ToF dengan atresia paru, tidak akan terdengar murmur karena tidak
ada aliran darah balik ke ventrikel kanan. Aliran darah yang menuju atau
melewati celah antar ventrikel tidak menimbulkan turbulensi, sehingga
biasanya tidak terdengar kelainan auskultasi.5 Murmur ejeksi sistolik
tergantung dari derajat obstruksi aliran darah di ventrikel kanan. Makin
sianosis berarti memiliki obstruksi lebih hebat dan murmur lebih halus.
Pasien asianotik dengan ToF (pink tet) memiliki murmur sistolik yang
panjang dan keras dengan thrill sepanjang aliran darah ventrikel kanan.
Selain itu bisa ditemukan klik ejeksi aorta, S2 tunggal (penutupan katup
pulmonal tidak terdengar). Sering pula pasien ToF mengalami skoliosis
dan retinal engorgement.
3. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium darah dapat dijumpai peningkatan
jumlah eritrosit dan hematokrit (polisitemia vera) yang sesuai dengan
desaturasi dan stenosis.6 Oksimetri dan analisis gas darah arteri
mendapatkan saturasi oksigen yang bervariasi, tetapi pH dan pCO2 normal
kecuali pada kondisi tet spell. Oksimetri berguna pada pasien kulit hitam
atau pasien anemia yang tingkat sianotiknya tidak jelas. Sianosis tidak
akan tampak kecuali bila hemoglobin tereduksi mencapai 5 mg/dL.
Penurunan resistensi vaskular sistemik selama aktivitas, mandi, maupun
demam akan mencetuskan pirau kanan ke kiri dan menyebabkan
hipoksemia.
Pemeriksaan elektrokardiogram dapat menemukan deviasi aksis ke
kanan (+120° - +150°), hipertrofi ventrikel kanan atau kedua ventrikel,
maupun hipertrofi atrium kanan. Kekuatan ventrikel kanan yang menonjol
terlihat dengan gelombang R besar di sadapan prekordial anterior dan
gelombang S besar di sadapan prekordial lateralis.
Pemeriksaan foto rontgen thorax dapat menemukan gambaran
jantung berbentuk sepatu (boot-shaped heart/ couer-en-sabot) dan
penurunan vaskularisasi paru karena berkurangnya aliran darah yang
menuju ke paru akibat penyempitan katup pulmonal paru (stenosis
pulmonal).
Ekokardiogram sangat membantu mengonfi rmasi diagnosis dan
mengevaluasi beberapa masalah yang terkait dengan ToF. Pembesaran
ventrikel kanan, defek septum ventrikel, overriding aorta, dan obstruksi
saluran ventrikel kanan dapat ditampilkan secara jelas; dapat ditunjukkan
shunting yang melewati VSD dan peningkatan kecepatan aliran Doppler
yang melewati ventrikel kanan. Ukuran cabang utama arteri pulmonalis
dan proksimal serta setiap aliran darah tambahan lain menuju ke paru
dapat dievaluasi, tetapi arteri pulmonalis bagian distal tidak dapat dengan
mudah dilihat oleh ekokardiogram.
 Penatalaksanaan
Tata laksana ToF tergantung dari beratnya gejala dan dari tingkat
hambatan pulmoner. Operasi merupakan satu-satunya terapi kelainan ini,
bertujuan meningkatkan sirkulasi arteri pulmonal. Prostaglandin (0,2
μg/kg/menit) dapat diberikan untuk mempertahankan duktus arteriosus
sambil menunggu operasi. Dapat dilakukan dua jenis operasi yakni operasi
paliatif dan operasi korektif. Operasi paliatif adalah dengan membuat
sambungan antara aorta dengan arteri pulmonal. Metode yang paling
dikenal ialah Blalock-Taussig shunt, yaitu a. subklavia ditranseksi dan
dianastomosis end-to-side ke a. pulmonal ipsilateral. Tingkat mortalitas
metode ini dilaporkan kurang dari 1%.
Dikenal pula modified Blalock-Taussig shunt menggunakan
Goretex graft untuk menghubungkan a. subklavia dengan a pulmonal.
Potts shunt yaitu anastomosis side-to-side antara aorta desenden dengan
a.pulmonal. Waterston-Cooley shunt, mirip dengan Potts shunt yaitu
anastomosis side-toside antara aorta asenden dengan a. pulmonal.
Bedah koreksi menjadi pilihan tata laksana ToF ideal yang
bertujuan menutup defek septum ventrikel, reseksi area stenosis
infundibulum, dan menghilangkan obstruksi aliran darah ventrikel kanan.
Kebanyakan pusat kesehatan hanya akan melakukan operasi korektif pada
usia tiga sampai enam bulan. Jika operasi harus dilakukan sebelumnya,
maka operasi paliatif menjadi pilihan utama. Kapan saat operasi untuk
mendapatkan hasil yang optimal masih belum dapat ditentukan.
D. Asthma
 Defenisi
GINA (Global Initiative for Asthma) :
 Inflamasi kronik saluran respiratorik, peranan sel-sel
Sel Mast, Eosinofil, dan Limfosit T.
 Inflamasi  Obstruksi yang reversibel  orang yang rentan
 episode wheezing (berulang), sesak napas, rasa dada
tertekan, dan batuk (>>malam).
 Hyperreaktifitas bronkus (HRB)
Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) :
 Wheezing dan/atau batuk dengan karakteristik :
 Episodik (berulang) dan/atau kronik
 Malam/dini hari (nokturnal)  variabilitas
 Musiman
 Ada faktor pencetus  hiperreaktifitas
 Bersifat reversibel  spontAan atau dengan obat
 Riwayat faktor atopi pasien/keluarga

 FAKTOR PENCETUS/RESIKO
1. Genetik : peran gen : etiologi, patogenesis dan tata laksana. Asma
dipengaruhi banyak gen “complex genetic disorder” tidak mengikuti
hukum Mendelian. Saat ini ± 80 gen berkaitan dg asma  ADAM 33
(adisintegrin and metalloprotease)  Ekspresi Molekul ADAM 33 
hipereaktifitas otot polos bronkus Bronkospasme.
2. Lingkungan : debu tungau (house dust mite), asap rokok, serbuk sari
(pollen), asap industri, exercise, bulu kucing/binatang, udara dingin, dll.

 GAMBARAN KLINIK
Wheezing dan/atau batuk dengan karakteristik:
 Episodik (berulang) dan/atau kronik
 Malam/dini hari (nokturnal)  variabilitas
 Musiman
 Ada faktor pencetus  hiperreaktifitas
 Bersifat reversibel  spontan atau dengan obat
 Riwayat faktor atopi pasien/keluarga
Daftar Pustaka
1. Breitbart R, Flyer D. Tetralogy of fallot. In: Flyer DC, editor. Nadas’
Pediatric Cardiology 2ed. Philadelphia: Saunders-Elsevier,2006.
2. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of
pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Saunders-Elsevier; 2007.
3. Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A. Buku Ajar
Neonatalogi. Jakarta: IDAI; 2008.

Anda mungkin juga menyukai