Anda di halaman 1dari 20

Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan 18, no.

2 (2019): 141-160
Copyright © Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan
pISSN: 1411-7649; eISSN: 2684-9194
DOI: 10.36421/veritas.v18i2.330
Submitted: 21 Agustus 2019/Revised: 30 November 2019/Accepted: 16 Desember 2019

Pendekatan Interpretasi Teologis Kitab Suci


dan Prasuposisi-Prasuposisi Teologis di Baliknya

Theological Interpretation of the Scripture


and Theological Presuppositions Behind It

Carmia Margaret
Rohaniwan Gereja Kristen Immanuel (GKIm) Hosanna Bandung
Korespondensi: carmia.margaret95@gmail.com

Abstrak: Cukup banyak tokoh dan tulisan yang berupaya memperkenalkan, mendiskusikan, dan
menunjukkan cara kerja pendekatan Interpretasi Teologis Kitab Suci atau yang lebih dikenal
sebagai Theological Interpretation of Scripture (TIS), tetapi tidak banyak yang sebenarnya mende-
dah pemikiran-pemikiran teologis-filosofis di baliknya. Tulisan ini akan memperkenalkan natur,
esensi, dan karakteristik khas pendekatan TIS melalui beberapa kepercayaan teologis dasar yang
membentuk dan melatarbelakanginya. Kepercayaan-kepercayaan dasar ini dapat diibaratkan se-
bagai “DNA” bagi pendekatan TIS dan sekaligus membedakannya dari pendekatan-pendekatan
tafsir lainnya. Pendekatan TIS agaknya paling baik dipahami sebagai pembacaan yang dilakukan
di dalam dua konteks, yaitu konteks teologis dan eklesial. Dalam konteks teologis, pendekatan
TIS memandang Kitab Suci sebagai tulisan yang bersifat sakral, Kitab Suci adalah medium ko-
munikasi Ilahi kepada umat di sepanjang sejarah bahkan hingga hari ini, Kitab Suci memiliki
kesatuan dalam seluruh bagiannya dengan Yesus Kristus sebagai pusat dan pengikat, dan Kitab
Suci paling baik dibaca dengan kesadaran akan lensa teologis pembacanya. Dalam konteks ekle-
sial, pendekatan TIS menekankan keimaman rajani seluruh anggota tubuh Kristus sebagai pem-
baca teks, keniscayaan komunitas di dalam pembacaan, dan fungsi normatif teks yang bertujuan
menghasilkan transformasi dalam kehidupan umat.
Kata-kata kunci: Interpretasi Teologis Kitab Suci; Pembacaan Teologis, Pembacaan Eklesial
Abstract: There are plenty of figures and writings that attempt to introduce, discuss, and show the
workings of Theological Interpretation of Scripture (TIS) as an approach in reading the Holy Scrip-
ture; however, not many that actually dissect the theological-philosophical thoughts laid behind it.
This paper will discuss the nature, essence, and characteristics of the TIS approach through some of
the forming convictions behind it, which can be said as “DNA” for the TIS approach and at the same
time, differentiates it from other interpretive approaches. The TIS approach seems best understood as
a reading that happened in two contexts, namely theological and ecclesial contexts. In a theological
context, the TIS approach believes that the Scripture is a sacred writing, the Scripture is a medium
of divine communication to people throughout history even today, the Scripture has a unity in all its
parts with Jesus Christ as the center and binding, and the Scripture is best read with an awareness
of theological lenses of the reader. In an ecclesial context, the TIS approach emphasizes the royal
priesthood of all members of the body of Christ as readers of the text, the necessity of the community
of believers in reading, and the normative function of the text aimed at producing transformation in
the lives of the people of God.
Keywords: Theological Interpretation of Scripture, Theological Reading, Ecclesial Reading
141
142 Pendekatan Interpretasi Teologis Kitab Suci (Carmia Margaret)

PENDAHULUAN: BERKENALAN pendekatan ini beserta contoh penerapan-


DENGAN PENDEKATAN TIS nya, sekaligus tulisan-tulisan lain yang beru-
saha membedah dan mengkritisinya.6 Oleh
Pendekatan Interpretasi Teologis Kitab Suci pendukungnya, TIS digadang-gadang sebagai
atau Theological Interpretation of Scripture (se- sebentuk pendekatan penafsiran baru yang
lanjutnya disingkat TIS) sedang mendapatkan dapat menjadi jawaban bagi kebuntuan pe-
lampu sorot dari berbagai kalangan teolog nafsiran masa kini khususnya dalam hal kore-
dan sarjana biblika sejak sekitar awal 1990- lasi fungsi deskriptif dan fungsi normatif teks.
an.1 Minat besar pada subjek ini terlihat dari Di sisi lain, orang-orang yang menolak TIS
banyaknya publikasi yang muncul, mulai dari cenderung beranggapan bahwa pendekatan
proyek,2 monograf, buku, jurnal,3 kamus,4 ser- ini “salah alamat” karena masalah yang hen-
ta tafsiran5 yang berupaya memperkenalkan dak dijawab itu hanya sebuah utopia.
1
Stanley E. Porter, “What Exactly is Theological Inter-
pretation of Scripture, and is It Hermeneutically Robust
Sayangnya, hampir seluruh diskusi ini hanya
Enough for the Task to Which It Has Been Appointed?,” direkam di dalam tulisan-tulisan berbahasa
dalam Horizons in Hermeneutics: A Festschrift in Honor of asing, dan sedikit sekali, atau bahkan ham-
Anthony C. Thiselton, ed. Stanley E. Porter dan Matthew pir tidak ada, tokoh dan tulisan yang mema-
R. Malcolm (Grand Rapids: Eerdmans, 2013), 234. Keter-
tarikan terhadap pendekatan TIS tidak dapat dilepaskan parkannya dalam konteks dan bahasa In-
dari gelombang ressourcement yang sekarang ini marak donesia. Sejauh ini, agaknya hanya Hendry
diminati oleh para teolog Protestan (lih. mis. W. David Ongkowidjojo yang telah menerbitkan tulisan
Buschart dan Kent D. Eilers, Theology as Retrieval: Receiv-
ing the Past, Renewing the Church [Downers Grove: Inter-
pengantar kepada pendekatan TIS di dalam
varsity, 2015]). bahasa Indonesia.7 Ia memaparkan tujuh
2
Misalnya “The Scripture Project,” sebuah proyek ker- menemukan kesamaan, perbedaan, dan keistimewaannya
ja kolektif yang dilakukan oleh 15 orang pendeta dan sar- dari tafsiran-tafsiran lain yang sudah terlebih dahulu ber-
jana dalam ilmu studi biblika dan teologi, yang dibentuk edar dan digunakan (lih. mis. C. Kavin Rowe dan Richard
oleh Center of Theological Inquiry (Princenton, New Jer- B. Hays, “What is a Theological Commentary?: A Book
sey). Kelompok ini bertemu secara berkala selama 4 tahun Symposium on Jaroslav Pelikan, Acts, Brazos Theological
(1998-2002) dan mempunyai misi untuk mengatasi frag- Commentary on the Bible [Grand Rapids: Brazos, 2005],”
mentasi disiplin teologi mereka masing-masing dengan Pro Ecclesia 16, no. 1 [2007]: 26-32; Michael Pasquarello
cara membaca Kitab Suci bersama-sama dan memikirkan III, “Back to the Future: The Promise of Recent Theo-
bagaimana pembacaan Kitab Suci sebaiknya dilakukan logical Commentary,” JTI 3, no. 2 [2009]: 307-315; Seth
dalam konteks edifikasi umat Allah. Hasil dari proyek ko- Haringer, “The Practice of Theological Commentary,”
lektif ini adalah sebuah buku yang sering menjadi acuan JTI 4, no. 1 [2010]: 127-138; Tim Meadowcroft, “Theolog-
bagi diskusi interpretasi teologis Kitab Suci, yaitu Ellen F. ical Commentary: A Diversifying Enterprise,” JTI 7, no. 1
Davis dan Richard B. Hays, ed., The Art of Reading Scrip- [2013]: 133-151; Mark Gignilliat dan Jonathan T. Penning-
ture (Grand Rapids: Eerdmans, 2003). ton, “Theological Commentary,” dalam A Manifesto for
Theological Interpretation, ed. Craig G. Bartholomew dan
3
Seri jurnal yang khusus membahas mengenai pende- Heath A. Thomas [Grand Rapids: Baker Academic, 2016],
katan ini misalnya Journal of Theological Interpretation yang 237-256; Kevin J. Vanhoozer, “Theological Commentary
diterbitkan dua kali setahun oleh penerbit Eisenbrauns se- and ‘the Voice from Heaven’: Exegesis, Ontology, and
jak 2007. the Travail of Biblical Interpretation,” 1-38 dalam On the
Writing on the New Testament Commentary: Festschrift for
4
Mis. Kevin J. Vanhoozer, ed., Dictionary for the Theo- Grant R. Osborne on the Occasion of His 70th Birthday, ed.
logical Interpretation of the Bible (Grand Rapids: Baker Stanley E. Porter dan Eckhard J. Schnabel [Leiden: Brill,
Academic, 2005). Selanjutnya disingkat DTIB. 2012], 267-298).
5
Hal ini dapat dilihat dari masifnya penerbitan dari 6
Lih. mis. D.A. Carson, “Theological Interpretation
berbagai seri dalam kurun waktu yang berdekatan, mi- of Scripture: Yes… But…,” dalam Theological Commen-
salnya seri Brazos Theological Commentary on the Bible tary: Evangelical Perspectives, ed. R. Michael Allen (Lon-
(BTCB) yang volume pertamanya, tafsiran Kisah Para don: T&T Clark, 2011), 187-207; R.W.L. Moberly, “What
Rasul dari Jaroslav Pelikan, terbit tahun 2005, kini sudah is Theological Interpretation of Scripture?,” JTI 3, no. 2
menerbitkan 20 volume dan sedang menyiapkan 25 volu- (2009): 161-178; Porter, “What Exactly is Theological In-
me lain yang masih dalam proses penulisan. Selain itu, ada terpretation of Scripture,” 234-267.
pula Two Horizons Commentary (THC) yang terbitan per-
dananya, tafsiran Filipi dari Stephen E. Fowl, juga terbit 7
Hendry Ongkowidjojo, “Theological Interpretation of
tahun 2005, dan sekarang sudah menerbitkan 19 judul la- Scripture: Suatu Pengantar,” Jurnal Amanat Agung 9, no.
innya. Seiring dengan itu, banyak pula artikel yang meng- 1 (2013): 41-66. Ada satu lagi tulisan tentang pendekat-
ulas bentuk-bentuk dan cara kerja tafsiran teologis untuk an TIS yang ditulis oleh orang Indonesia, yaitu Nathaniel
Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan 18, no. 2 (2019): 141-160 143

karakteristik pendekatan TIS, yaitu: mene- SELAYANG PANDANG PENDEKATAN


gaskan peran penting doktrin di dalam penaf- TIS: KONSTRUKSI BENTUK DAN
siran, melakukan penafsiran secara kanonik, SEJARAH PERKEMBANGANNYA
menafsir dalam dialog dengan penafsir pra-
modern, tetap menerima peran penting meto- Sejarah perkembangan TIS tidak dapat dile-
de historis-kritis, menerima ragam tafsir yang paskan dari pangkal latar belakangnya, yang
bertanggung jawab, mengakui peran gereja oleh kebanyakan literatur diarahkan kepada
sebagai konteks penafsiran, dan melihat apli- ceramah inaugurasi Johann Philipp Gabler
kasi sebagai sebuah keniscayaan penafsiran.8 pada 1787, An Oration on the Proper Distinc-
Pemaparan Ongkowidjojo ini tentu memberi- tion between Biblical and Dogmatic Theology
kan gambaran yang dapat menolong pembaca and the Specific Objectives Each. Ceramah
memahami bentuk dan rupa pendekatan TIS, ini kemudian dinilai sebagai pedang pemisah
khususnya bagi mereka yang baru pertama antara studi historis dengan studi normatif,
kali berkenalan dengan subjek ini. Namun, di- eksegesis biblika dengan teologi sistemati-
perlukan bahan-bahan tambahan untuk lebih ka—dan implikasinya—dunia akademik dan
mendalami natur dan esensi pendekatan TIS pelayanan praktis.10 Kebutuhan akan pem-
itu sendiri. bacaan religius dan teologis terhadap Kitab
Suci yang melampaui hegemoni historis-kritis
Tulisan ini hendak menelisik lebih dalam menelurkan ide-ide dasar TIS, yang menurut
bentuk dan rupa TIS yang sudah diguratkan Joel B. Green, merupakan ketidakpuasan ter-
dalam berbagai literatur, untuk menemukan hadap status quo dari studi biblika yang ber-
berbagai keyakinan dan pemikiran yang me- sifat akademis sekaligus pengembangan cara-
latarbelakangi dan mendasari prinsip dan cara untuk mendengar suara Allah.11
praktik pendekatan TIS. Pada dasarnya, terli-
hat bahwa pendekatan TIS adalah pendekat- Pembacaan teologis-religius sebagai alternatif
an pembacaan yang melibatkan dua konteks, (atau kritik) di tengah studi historis-kritis yang
yaitu konteks teologis dan konteks eklesial. cenderung melakukan “desakralisasi teks,”12
Akan dipaparkan kepercayaan-kepercayaan Wittgenstein [Grand Rapids: Eerdmans, 1980]; Anthony
atau prasuposisi utama yang ada di balik ke- Thiselton, New Horizons in Hermeneutics: The Theory and
dua konteks tersebut, tetapi sebelumnya akan Practice of Transforming Biblical Reading [Grand Rapids:
Zondervan, 1992]).
dipetakan terlebih dahulu pergerakan per-
kembangan TIS baik secara historikal mau­ 10
Rujukan kepada Gabler muncul misalnya pada Ong-
pun konseptual.9 kowidjojo, “Theological Interpretation,” 36-37. Signifi-
kansi ceramah Gabler dalam studi biblika dan teologi, lih.
Charles H.H. Scobie, The Ways of Our God: An Approach
Gray Sutanto, “Toward a Reformed Theological Interpre- of Biblical Theology (Grand Rapids: Eerdmans, 2003), 5,
tation of Scripture,” IJT 1, no. 1 (2013): 103-116. Namun, 15-16; Craig G. Bartholomew, “Biblical Theology,” da-
tulisan kedua ini ditulis dengan menggunakan bahasa lam DTIB, 84-90. Sebenarnya masih terbentang jarak
Inggris. yang panjang antara ceramah Gabler dengan pendekatan
TIS, misalnya saja kehadiran studi teologi biblika kano-
8
Ibid., 45-46. nik yang dimotori Brevard S. Childs di tengah-tengahnya
(lih. Hendrawan Wijoyo, “Analisis Pendekatan Kanonik
9
Perkenalan tentang TIS akan berkaitan erat dengan
Brevard Childs, Evaluasi, dan Perkembangannya dalam
sejarah perkembangannya karena definisi dan bentuk
Studi Biblika,” skripsi, STT SAAT, 2015).
pendekatan TIS terus mengalami perkembangan seiring
dengan sejarahnya. Sebenarnya tidak ada kejelasan kapan 11
Joel B. Green, “The (Re-)Turn to Theology,” JTI 1,
istilah TIS ini mulai digunakan. Konsepsi dasar TIS sendi- no. 1 (2007): 1-3, mengutip Kevin J. Vanhoozer, “Introduc-
ri mengenai “menafsirkan Alkitab secara teologis” sudah tion: What Is Theological Interpretation of the Bible?,”
banyak tersebar di berbagai tulisan dengan istilah senada dalam DTIB, 19-25; bdk. Moberly, “What Is Theological
seperti “hermeneutik teologis,” “pembacaan teologis,” Interpretation of Scripture,” 163; Sutanto, “Reformed,”
atau “eksegesis teologis” (lih. mis. Kevin J. Vanhoozer, 108.
The Drama of Doctrine: A Canonical-Linguistic Approach
to Christian Theology [Louisville: Westminster John Knox, 12
Istilah ini digunakan dalam Kevin J. Vanhoozer, “As-
2005]; Anthony Thiselton, The Two Horizons: New Tes- cending the Mountain; Singing the Rock: Biblical Inter-
tament Hermeneutics and Philosophical Description with pretation Earthed, Typed, and Transfigured,” Modern The-
Special Reference to Heidegger, Bultmann, Gadamer, and ology 28, no. 4 (Oktober 2012): 782, merujuk kepada ekses
144 Pendekatan Interpretasi Teologis Kitab Suci (Carmia Margaret)

oleh sebagian peneliti TIS dilansir muncul bahwa teks Alkitab paling baik dibaca dengan
sejak tafsiran Surat Roma (Dër Romerbrief) menghayati naturnya sebagai tulisan yang
yang ditulis oleh Karl Barth pada 1918-1921 bersifat teologis dan religius. Meskipun be-
dan dijuluki sebagai “bom yang diledakkan di gitu, pendekatan hermeneutisnya bukan se-
arena bermain para teolog” yang mengubah mata-mata sebuah bentuk konfrontasi terha-
arus sejarah teologi modern hingga kini.13 Di dap metode historis-kritis, melainkan sebuah
dalam tafsiran ini, Barth berkeinginan untuk bentuk kristalisasi dari kemampuan eksegesis
menafsir melalui dan melampaui sejarah, teks dan tafsir dokumen-dokumen teologi
kepada “roh” dari teks itu sendiri, yaitu per- Reformed yang dipegangnya.16 Bagi Barth,
kataan Roh Kudus sendiri.14 Keinginan ini metode historis-kritis adalah “bagian penda-
muncul setelah Barth sendiri bergulat dengan huluan” atau tahap pertama dari keseluruh-
konteks kehidupan dan pelayanannya seba- an rangkaian proses hermeneutik.17 Tahapan
gai pendeta jemaat di Safenwil.15 Ia melihat selanjutnya, yang juga merupakan porsi besar
dalam aktivitas hermeneutik, adalah apa yang
dari penekanan studi historis-naturalis, yaitu pengabaian
(atau penolakan) terhadap dimensi sakralitas Kitab Suci
disebutnya sebagai “upaya memahami,” atau
sebagai tulisan dari dan milik Allah. Meskipun demikian, membaca teks dengan melibatkan konteks
perlu dipahami bahwa dalam artikel tersebut, Vanhoozer dan isu-isu kontemporer dalam dunia penafsir
merujuk kepada filsafat nominalisme abad ke-14 setelah untuk memahami makna teks yang lebih utuh
Thomas Aquinas, sementara yang dimaksud dalam tulis-
an ini lebih kepada historis-kritis modern khas pendidikan dan penuh sebagai implikasi dari doktrin in-
Jerman—yang kemudian diadopsi pula oleh Amerika—se- spirasi Kitab Suci.18
bagai buah ceramah Gabler (lih. Daniel J. Treier, Intro-
ducing Theological Interpretation of Scripture: Recovering a Di samping pendukung narasi kelahiran TIS
Christian Practice [Grand Rapids: Baker Academic, 2008], dari Barth, ada pula pihak-pihak yang meme-
13-14).
takan kelahiran TIS pada masa-masa yang
13
Treier, Theological Interpretation, 14-15; Green, “The lebih awal. Angus Paddison misalnya, menya-
(Re-)Turn to Theology,” 1; Mary Kathleen Cunningham, takan bahwa kemunculan TIS dalam tafsiran
“Karl Barth,” dalam Christian Theologies of Scripture: A
Comparative Introduction, ed. Justin S. Holcomb (New
York: New York University Press, 2006), 183; Stephen 16
Denni Boy Saragih, “Disruptive Presence: The On-
Westerholm dan Martin Westerholm, Reading Sacred tology, Theology and Ethics of Reading the Bible as Scrip-
Scripture: Voices from the History of Biblical Interpretation ture in Karl Barth’s Theological Exegesis,” (disertasi,
(Grand Rapids: Eerdmans, 2016), 360. University of Edinburgh, 2015), 50-51. Menurut Burnett,
ada empat prinsip mendasar yang diterapkan Barth untuk
14
Karl Barth, kata pengantar pada edisi pertama, The menafsirkan teks. Pertama, ia berfokus kepada natur uta-
Epistles to the Romans, terj. Edwyn C. Hoskyns (Oxford: ma teks yang adalah perkataan Allah sehingga keberadaan
Oxford University Press, 1968), 1. Allah yang kekal itu menjadi semacam paradigma kontrol
bagi penafsiran. Kedua, pembaca harus “terlibat” di da-
15
Sebenarnya ada beberapa konteks yang menjadi latar
lam dunia penulis teks sebagai upaya memahami makna.
pergumulan teologis Barth di masa-masa ini. Pertama, ia
Ketiga, pembaca harus membaca “dengan lebih banyak
menemukan kebuntuan dari teologi dan tafsir historis-kri-
perhatian dan kasih” ketimbang yang dilakukan oleh para
tis modern yang sampai pada akhirnya sama sekali meng-
ilmuwan modern atau kritikus historis murni. Terakhir, ia
abaikan sakralitas Kitab Suci. Kedua, ia kecewa dengan
bersikukuh pada “pembacaan yang lebih selaras dengan
buah-buah teologi modern, khususnya ketika mendapati
makna Alkitab itu sendiri” (disarikan dari Burnett, Theo-
dosen-dosen teologi modern junjungannya mendukung
logical Exegesis, bab 3-5).
Perang Dunia I secara vokal. Ketiga, ia berhadapan lang-
sung dengan berbagai pergumulan hidup umat di dalam 17
Penggunaan metode historis-kritis sebagai langkah
pelayanan kependetaannya di Safenwil. Pergumulan-per- utama ini terlihat dari: (1) diskusi teks PB bahasa Yuna-
gumulan teologis-eksistensial ini akhirnya menggiring- ni dengan membandingkan antara terjemahan pribadinya
nya untuk “kembali kepada Kitab Suci” dan menemukan dari bahasa Yunani ke bahasa Jerman dan terjemahan
“dunia aneh baru di dalam Kitab Suci” (lih. Richard E. Yunani Nestle-Aland yang merepresentasikan kesarjana-
Burnett, Karl Barth’s Theological Exegesis: The Hermene- an biblika abad ke-19; (2) studi leksiografi Yunani dengan
utical Principles of the Römerbrief Period [Grand Rapids: menggunakan leksikon Cremer-Kögel’s yang diakui terba-
Eerdmans, 2001], 265-275; Gordon H. Clark, Karl Barth’s ik pada masa itu; serta (3) penggunaan buku-buku tafsiran
Theological Method, ed. ke-2 [New Mexico: The Trinity lain yang berasal dari berbagai latar belakang pemikiran
Foundation, 1997], viii; Donald Wood, Barth’s Theology of dan corak teologi (Saragih, “Disruptive Presence,” 51-57).
Interpretation, Barth Studies Series [Burlington: Ashgate,
2007], 11-12; Westerholm dan Westerholm, Reading, 358- 18
Treier, Theological Interpretation, 17; Saragih, “Dis-
359, 361). ruptive Presence,” 57-68.
Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan 18, no. 2 (2019): 141-160 145

Barth lebih merupakan sebuah pembaharuan ripture oleh Stephen Fowl,23 Is There a Mean-
atau penamaan ulang daripada kemunculan ing in This Text24 dan First Theology dari Kevin
perdana, karena baginya esensi TIS yang me- J. Vanhoozer.25 Definisi mula-mula terhadap
rupakan pembacaan Kitab Suci dalam kon- pendekatan TIS juga muncul dari Vanhoozer
teks eklesial sama sekali tidak pernah alpa dalam kata pengantarnya pada Dictionary for
dari sejarah gereja.19 Penerapan TIS di dalam Theological Interpretation of the Bible.26 Na-
sejarah gereja terwujud misalnya di dalam mun, definisi yang diberikan hanya sebatas
khotbah, pembacaan teks secara publik, sakra- apa yang bukan dan tidak dimaksud pende-
men, dan aksi-aksi karitas. Robert W. Jenson katan TIS. Pertama, meskipun pengakuan
juga mengemukakan bahwa penafsiran secara iman dan tradisi teologis penafsir merupakan
teologis sudah terjadi sejak gereja mula-mula sesuatu yang penting dalam penafsiran, TIS
dalam rupa liturgi gerejawi, devosi, dan ka- pada naturnya tidak berusaha untuk mema-
tekisasi.20 Dengan demikian, agaknya dapat sukkan sistem teologi atau kerangka konfesi
disimpulkan bahwa TIS secara substansial, iman dari tradisi tertentu ke dalam teks Ki-
atau esensial, sebenarnya sudah diterapkan di tab Suci untuk mendapatkan justifikasi atau
dalam kehidupan bergereja sejak awal sejarah
kekristenan, tetapi TIS secara formal, atau teks Alkitab yang dibaca dalam konteks gerejawi, kebu-
dengan kesadaran teologis dan eksegetikal dayaan, dan sosial-politik kontemporer (sehingga locus
pembacaan yang berbeda dapat mendiskusikan isu teolo-
tertentu, dibangkitkan kembali di abad ke-20
gis yang berbeda pula). Bagi Watson, eksegesis dan teologi
seiring dengan kebutuhan pembacaan alter- selalu bersifat dialektis. Pembacaan teks pasti akan dipe-
natif di tengah kebuntuan-kebuntuan dalam ngaruhi oleh lensa teologi (atau ideologi) pembaca, dan
metode historis-kritis modern. Penelusuran hasil pembacaan pun akan merekonstuksi lensa tersebut
terus-menerus. Paparan Watson ini cukup melawan arus
sejarah ini memberikan kesan bahwa TIS eksegetikal pada masa itu yang menganggap lensa teologis
memiliki dua corak utama, yaitu pembacaan atau ideologi pembaca adalah bias yang harus disingkirkan
dalam konteks gerejawi dan pembacaan yang demi kejernihan penafsiran.
melampaui pendekatan historis-kritis. 23
Stephen E. Fowl, Engaging Scripture: A Model for
Theological Interpretation (Oxford: Blackwell, 1998). Tu-
Perlu diakui bahwa belum ada semacam fi- lisan Fowl menekankan pentingnya kembali kepada natur
nalitas definisi dan langkah-langkah di dalam Alkitab sebagai Kitab Suci orang Kristen dan tidak bias
TIS karena pendekatan ini pun masih terus dibaca secara netral. Ia juga menunjukkan kelemahan-
kelemahan pendekatan teologi biblika yang meskipun ber-
berkembang.21 Namun, banyak upaya yang upaya untuk menyintesis pandangan teologis penulis atau
sudah dilakukan untuk memberi identitas ke- corpus kitab tertentu, tetapi masih belum dapat memben-
pada sketsa bentuk yang sudah tampak sema- tuk kerangka teologis bagi penafsiran khususnya dalam
kin jelas ini. Beberapa karya yang mula-mula memahami kesatuan Kitab Suci dan kontinuitas narasi Al-
lah antara dunia Kitab Suci dan dunia pembaca masa kini.
membuka ruang diskusi dan pemikiran bagi
pendekatan TIS misalnya Text, Church, and 24
Kevin J. Vanhoozer, Is There a Meaning in This Text?:
the World oleh Francis Watson,22 Engaging Sc- The Bible, The Reader, and the Morality of Literary Knowl-
edge (Grand Rapids: Zondervan, 1998). Buku ini merupa-
19
Angus Paddison, “The History and Reemergence of kan pemikiran mula-mula Vanhoozer tentang hermeneutik
Theological Interpretation,” dalam Manifesto, 1, 28. teologis, meskipun pada waktu itu ia belum secara khusus
mengkristalisasikan pandangannya menjadi sebuah “ben-
20
Robert W. Jenson, “Hermeneutics and the Life of tuk” pendekatan. Dalam buku ini, Vanhoozer mendiskusi-
the Church,” dalam Reclaiming the Bible for the Church, kan bahwa semua isu dalam penafsiran sejatinya adalah isu
ed. Carl E. Brateen dan Robert W. Jenson (Grand Rapids: teologis. Ia memberi apresiasi kepada dekonstruksionisme
Eerdmans, 1995), 90-91. dan hermeneutika filosofis, khususnya filsafat bahasa, dan
menyatakan keniscayaan pemberian ruang bagi pembaca
21
Gregg R. Allison, “Theological Interpretation of dalam menemukan makna.
Scripture: An Introduction and Preliminary Evaluation,”
SBJT 14, no. 2 (2010): 29. 25
Kevin J. Vanhoozer, First Theology: God, Scripture,
and Hermeneutics (Downers Grove: InterVarsity, 2002).
22
Francis Watson, Text, Church, and World: Biblical Argumentasi utama dalam buku ini adalah bahwa doktrin
Interpretation in Theological Perspective (Grand Rapids: seseorang tentang Allah akan memengaruhi caranya me-
Eerdmans, 1994). Dalam buku ini, Watson mengemuka- mandang dan menafsir Kitab Suci.
kan bahwa kerja eksegesis harus juga memperhatikan dan
bersinggungan dengan isu-isu teologis yang muncul dari 26
Kevin J. Vanhoozer, “Introduction,” dalam DTIB, 19.
146 Pendekatan Interpretasi Teologis Kitab Suci (Carmia Margaret)

legitimasi semata. Kedua, TIS juga bukan umum. Buku pengantar ketiga yang juga tak
upaya memasukkan teori hermeneutik umum kalah penting adalah The Word of God for the
atau teori penafsiran yang biasa dipakai bagi People of God dari J. Todd Billings.31 Billings
teks-teks lain ke dalam teks Kitab Suci karena menegaskan bahwa pendekatan TIS bukan-
pada dasarnya Kitab Suci adalah tulisan ilahi, lah sebuah metode tunggal atau disiplin khu-
tidak sama dengan buku-buku lain. Terakhir, sus yang dapat diterapkan secara pragmatis,
TIS juga tidak hanya mengulangi kritik his- melainkan TIS adalah ragam praktik dengan
toris, literaris, atau sosiologis yang lebih ba- cakupan luas yang dilakukan oleh berbagai
nyak berurusan dengan dunia “di belakang,” kelompok umat Allah dalam membaca dan
“mengenai,” atau “di depan” teks, tetapi TIS menggumulkan teks Kitab Suci sebagai pe-
menekankan bahwa kegiatan menafsir sejati- nyataan diri Allah dan bagian dari sejarah
nya merupakan partisipasi umat Allah dalam keselamatan.
karya keselamatan yang masih berlangsung
hingga kini.27 Produk dari pendekatan TIS mulai terli-
hat setelah terbitnya sebuah kumpulan esai
Setelahnya, mulai bermunculan buku peng- yang menjadi pengantar untuk terbitan seri
antar yang mempermudah pembaca untuk Two Horizons Commentary, berjudul Between
memahami dan mengenali wajah pendekatan Two Horizons, pada 2000.32 Intensi penerbit-
TIS. Ada tiga buku pengantar yang dapat di- an kumpulan esai dan seri tafsiran ini adalah
katakan paling menolong untuk berkenalan untuk mengintegrasikan kembali eksegesis
dengan pendekatan TIS. Pertama, Seized by biblika dengan teologi kontemporer bagi pe-
the Truth dari Joel Green, yang tesis utama- layanan kepada gereja Allah.33 Tafsiran Two
nya adalah menggaungkan kembali pemba- Horizons diperkenalkan sebagai jalan ketiga
caan Alkitab sebagai Kitab Suci Kristen dan bagi ketidakpuasan terhadap hegemoni histo-
harus berujung pada dimensi normatif, yaitu ris-kritis dan kurang lengkapnya pendekatan
pembentukan pola pikir dan cara hidup umat teologi biblika, dengan menyediakan ekspo-
Kristen.28 Kedua, Introducing Theological In- sisi teologis terhadap teks, analisis terhadap
terpretation dari Daniel J. Treier,29 yang oleh kontribusi teks bagi teologi biblika, dan re-
Stanley Porter bahkan dinobatkan sebagai fleksi teologis kontemporer yang lebih luas.34
pengantar yang dapat dikatakan paling leng- Meskipun di kemudian hari seri tafsiran Two
kap untuk subjek ini.30 Dalam buku ini, Treier Horizons ini diperdebatkan oleh berbagai
memberikan napak tilas sejarah TIS dan kalangan sarjana biblika karena dinilai tidak
kontribusinya bagi pergumulan hermeneuti- mencerminkan sebuah karya eksegesis yang
ka posmodern yang sangat dipengaruhi oleh murni, tetapi penerbitannya menunjukkan
pembacaan-pembacaan komunal. Treier juga kehausan sekaligus upaya untuk memperkecil
menunjukkan konsensus-konsensus dalam sekat antara studi biblika “murni” dan studi
pendekatan TIS berikut tantangan-tantang- teologi “sistematik.” Sintesa keduanya, seca-
an yang masih harus dijawab, misalnya relasi ra sederhana, dapat dipahami sebagai model-
TIS dengan teologi biblika dan hermeneutika model pembacaan teologis. Keseriusan ter-
hadap pendekatan TIS juga terlihat semakin
27
Ibid.
31
J. Todd Billings, The Word of God for the People of
28
Joel B. Green, Seized by the Truth: Reading the Bible God: An Entryway to the Theological Interpretation of Scrip-
as Scripture (Nashville: Abingdon, 2007), 3, 5. Pembaca- ture (Grand Rapids: Eerdmans, 2010).
an seperti ini, bagi Green, ideal apabila dilakukan dalam
konteks eklesial, dibentuk oleh konfesi teologi yang sudah 32
Joel B. Green dan Max Turner, ed., Between Two
diyakini dalam tradisi tertentu sepanjang sejarah, diwarnai Horizons: Spanning New Testament Studies and Systematic
oleh perjumpaan-perjumpaan kritis dengan pembacaan Theology (Grand Rapids: Eerdmans, 2000).
dari tradisi lain, dan dituntun oleh Roh Kudus sendiri.
33
Max Turner dan Joel B. Green, “New Testament
29
Treier, Theological Interpretation. Commentary and Systematic Theology: Strangers or
Friends?,” dalam Between Two Horizons, 2.
30
Lih. Porter, “What Exactly is Theological Interpreta-
tion of Scripture,” 237-239. 34
Ibid., 11.
Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan 18, no. 2 (2019): 141-160 147

meningkat dengan munculnya jurnal akade- salah satu unsur determinatif dalam penaf-
mis bertajuk Journal for Theological Interpre- siran. Ketiga, pendekatan TIS memandang
tation pada tahun 2007, yang menunjukkan kegiatan penafsiran sebagai bentuk partisipa-
bahwa subjek TIS sudah dipercakapkan da- si umat Allah di dalam sejarah keselamatan
lam taraf akademik dan bukan hanya menjadi yang masih terus berlangsung sehingga unsur
sebuah wacana pemikiran yang acak sifatnya. yang perlu diperhatikan dalam penafsiran bu-
kan hanya teks dan penulis, tetapi juga pem-
Sampai hari ini, semakin banyak tokoh dan baca itu sendiri. Keempat, pendekatan TIS
karya yang mencoba memperjelas definisi, secara sederhana memberi ruang yang sama
bentuk, dan tugas kerja pendekatan TIS.35 besar bagi fungsi normatif atau aplikasi teks
Definisi-definisi yang diberikan untuk pen- dalam kehidupan pembaca, bukan hanya bagi
dekatan TIS pun beragam, mulai dari yang fungsi deskriptif atau hasil eksegesis dari teks
sangat filosofis hingga yang sangat praktis.36 yang dibaca sebagaimana yang berlaku dalam
Dari berbagai sumber yang dapat diteliti, ada “studi biblika” selama ini.
beberapa kesamaan yang dapat ditarik. Per-
tama, pendekatan TIS mencoba mengemba- Ada juga beberapa hal yang perlu dipahami
likan keyakinan penafsir terhadap natur Al- sebagai sebuah catatan awal sebelum lebih
kitab yang merupakan Kitab Suci milik orang jauh menelusuri natur dan prasuposisi-prasu-
Kristen, yang sifatnya sakral dan tidak netral, posisi pembentuk pendekatan TIS. Pertama,
sehingga cara membacanya pun semestinya TIS bukan sebuah metode atau langkah-lang-
berbeda dengan pembacaan buku-buku lain. kah yang dapat diterapkan secara metodik
Kedua, pendekatan TIS menunjukkan bah- dan seragam, melainkan TIS lebih merupa-
wa prasuposisi teologi seseorang merupakan kan sebuah pendekatan, cara berpikir, atau
kerangka kerja (framework) di dalam menaf-
35
Lih. mis. Mark Alan Bowald, “The Character of sir Kitab Suci. Cara terbaik untuk memahami
Theological Interpretation of Scripture,” IJST 12, no.
2 (April 2010): 168; John Webster, “Editorial,” IJST 12,
TIS, menurut John Webster, adalah dengan
no. 2 (April 2010): 116; Kevin J. Vanhoozer, “Exegesis I menerapkannya.37 Argumentasi ini memang
Know, and Theology I Know, But Who Are You?’: Acts terkesan sirkular karena bagaimana mungkin
19 and the Theological Interpretation of Scripture,” dalam kita dapat menerapkan sesuatu yang belum
Theological Theology: Essays in Honor of John B. Webster,
ed. R. David Nelson, Darren Sarisky dan Justin Stratis ada atau belum jelas metodenya? Namun,
(Bloomsbury: T&T Clark, 2015), 291. Buku lain yang juga berdasarkan keyakinan Webster ini, justru
penting dibaca apabila hendak mendalami natur dan sub- kita diperkenalkan terhadap natur pendekat-
stansi pendekatan TIS adalah Mark Alan Bowald, Render-
ing the Word in Theological Hermeneutics: Mapping Divine
an TIS itu sendiri, yaitu beragam praktik di
and Human Agency, Studies in Historical and Systematic dalam membaca dan menggumulkan Alkitab
Theology (Bellingham: Lexham, 2015); Ephraim Radner, sebagai pesan Allah bagi kehidupan kita seba-
Time and The Word: Figural Reading of the Christian Scrip- gai umat-Nya di masa kini.
ture (Grand Rapids: Eerdmans, 2016); D. Christopher
Spinks, The Bible and the Crisis of Meaning: Debates on Kedua, pendekatan TIS sendiri memiliki ba-
the Theological Interpretation of Scripture (London: T&T
Clark, 2007), 7; Craig A. Carter, Interpreting Scripture With nyak spektrum yang bisa dilihat dari berbagai
the Great Tradition: Recovering the Genius of Premodern tolok ukur sehingga diskusi tentang TIS seca-
Exegesis (Grand Rapids: Baker, 2018). Judul yang terakhir ra luas agaknya lebih tepat dipahami sebagai
ini cukup kontroversial karena oleh beberapa pihak diang-
gap “terlalu berlebihan” dan kurang tepat dalam membaca
“interpretasi-interpretasi teologis” (jamak)
pandangan hermeneutik teologis dari John Webster. Na- terhadap Kitab Suci, dan ketika kita mem-
mun, bab-bab awal dari buku ini, khususnya bagian me- bahas “sebuah” pendekatan TIS, kita perlu
ngenai hermeneutik teologis, perlu dipelajari oleh peminat menyamakan pandangan terlebih dahulu me-
serius.
ngenai spektrum pendekatan TIS mana yang
36
Ongkowidjojo sendiri, yang tulisannya dirujuk di awal dibahas dari cakupannya yang begitu luas dan
tulisan ini, mendefinisikan pendekatan TIS sebagai “suatu
metode tafsir Kitab Suci yang bersifat menyeluruh, yang
memberikan tempat sepatutnya kepada doktrin dan apli-
kasi, tanpa mengabaikan pemakaian alat-alat bantu ekse-
gesis modern” (“Theological Interpretation,” 35). 37
Webster, “Editorial,” 116.
148 Pendekatan Interpretasi Teologis Kitab Suci (Carmia Margaret)

beragam.38 Di dalam diskursus akademik sen- PRASUPOSISI-PRASUPOSISI POKOK


diri misalnya, Treier memetakan pendekatan DI BALIK RUPA PENDEKATAN TIS
TIS ke dalam tiga mazhab berdasarkan pe-
mikiran tiga “pemain utama,” yaitu Francis Dari berbagai definisi dan prinsip-prinsip
Watson, Stephen Fowl, dan Kevin J. Vanhoozer kerja pendekatan TIS yang sudah dipaparkan
yang mewakili dua aliran sekolah pemikiran, oleh banyak tokoh, dapat ditelusuri beberapa
yaitu Yale dan Duke.39 Ketiga mazhab ini ber- keyakinan dan prasuposisi utama yang dipe-
beda dalam memandang unsur mana yang gang oleh semua tokoh tersebut.41 Keyakinan
perlu diberi fokus lebih dalam penafsiran. dan prasuposisi tersebut sangat mungkin ter-
Watson lebih banyak menekankan penting- kesan beririsan atau serupa dengan pendekat-
nya suara dari dalam teks itu sendiri sehingga an tafsir lain yang mendahuluinya, tetapi kita
mengutamakan studi intrateks­tualitas dalam dapat menilik dasar berpikir yang jelas akan
teks, Fowl lebih menekankan unsur pembaca membedakannya dari keyakinan-keyakinan
yang menemukan sendiri makna bagi konteks tafsir yang lain. Karena pendekatan TIS pada
kehidupan partikular yang berbeda satu de- dasarnya dilakukan dalam konteks teologis
ngan yang lain, sementara Vanhoozer, yang dan konteks eklesial, maka prasuposisi-prasu-
agaknya paling bisa diterima oleh kalangan posisi utama yang melatarbelakanginya pun
Injili, menekankan pentingnya makna dari akan dibahas dalam kerangka dua konteks
pengarang sebagai kontrol sekaligus muara tersebut.
bagi penafsiran teologis yang lebih luas.40 Pe- Pembacaan dalam Konteks Teologis
mahaman kepelbagaian spektrum ini penting
agar pembahasan mengenai pendekatan TIS Teks Kitab Suci adalah Tulisan Sakral
tidak berlangsung secara sempit dan menjadi yang Berbeda dari Buku Biasa
generalisasi. Menariknya, terlepas dari segala
Salah satu dampak dari beragam bentuk pe-
perbedaan spektrum yang ada, ketiga mazhab
nafsiran kritis terhadap Alkitab setelah Pen-
ini tetap sama-sama memberi penghormatan
cerahan adalah “terpinggirkannya” kesadar-
terhadap natur teks Kitab Suci sebagai tulis-
an teologis tentang natur Alkitab sebagai
an sakral dan Allah sebagai pengarang utama
penyataan ilahi.42 Prasuposisi yang menjadi
yang berbicara sampai hari ini kepada pemba-
semacam prinsip kontrol dalam penafsiran
ca. Dari persamaan-persamaan inilah muncul
adalah pembacaan Alkitab seperti buku bi-
berbagai prasuposisi umum yang dapat diteli-
asa.43 Benjamin Jowett, misalnya, menegas-
ti sebagai natur atau “DNA” bagi pendekatan
kan bahwa seorang penafsir yang baik perlu
TIS itu sendiri.
“membuka matanya” untuk melihat hal yang

38
Mark Alan Bowald di dalam bukunya Rendering the 41
Beberapa tokoh mencoba merumuskan prinsip-prin-
Word misalnya, membuat klasifikasi dan pemetaan pemi- sip TIS dalam bentuk tesis, misalnya “Nine Theses on the
kir-pemikir TIS berdasarkan proporsi keterlibatan unsur Interpretation of Scripture,” dalam Davis dan Hays, The
Ilahi dan unsur manusia dalam penulisan dan penafsiran Art, 1-5 yang kemudian ditambahkan dengan lima tesis
teks. Pemetaan lain juga dapat dibuat, misalnya, berdasar- suplemental dalam Bowald, “The Character,” 181-182;
kan sejauh mana tokoh-tokoh TIS ini memberi ruang bagi Kevin J. Vanhoozer, “Ten Theses on the Theological In-
pendekatan historis-kritis. terpretation of Scripture,” Modern Reformation 19, no. 4
(2010): 16-19. Prinsip-prinsip TIS yang disajikan dalam ba-
39
Daniel Treier, “What is Theological Interpretation? gian ini merupakan sintesis dan klasifikasi dari tesis-tesis
An Ecclesial Reduction,” IJST 12, no. 2 (2010): 146-148. di atas ditambah sumber-sumber lainnya.
Kelompok Yale di sini misalnya Christopher Seitz dan
penulis-penulis lain dalam festschrift Theological Exege- 42
Vanhoozer, First Theology, 128. Keterpinggiran ini
sis: Essays in Honor of Brevard S. Childs (Grand Rapids: dapat disinyalir, misalnya, dalam penekanan bahwa bahasa
Eerdmans, 1999), sementara kelompok kerja The Scrip- dan tradisi teks Kitab Suci berakar pada sejarah manusia
ture Project yang menelurkan buku The Art of Reading daripada “hembusan nafas Allah” (2Tim. 3:16).
Scripture editan Richard Hays dan Ellen F. Davis dianggap
mewakili warna pemikiran sekolah Duke.
43
Benjamin Jowett, “On the Interpretation of Scrip-
ture,” Essays and Reviews, ed. ke-7 (London: Longman,
40
Ibid. 1861), 7.
Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan 18, no. 2 (2019): 141-160 149

sebenarnya terjadi di dalam teks dengan tidak penafsiran yang juga bersifat teologis, tidak
mengandalkan tradisi konvensional.44 semata-mata historis, apalagi netral tanpa
muatan keyakinan iman tertentu. Tentu saja
Seperti sebuah antitesis dari keyakinan terse- ini tidak berarti akurasi historis di dalam teks
but, TIS berpendapat bahwa Alkitab adalah Kitab Suci itu sendiri diragukan, melainkan
Kitab Suci Kristen yang mempunyai karakter penulisannya dilakukan dalam perspektif te-
unik dan sama sekali tidak dapat dibaca se- ologi umat Allah.
perti buku biasa atau dokumen historis pada
umumnya.45 Vanhoozer berpendapat bahwa Keyakinan bahwa Kitab Suci merupakan tu-
jika kita ingin menerapkan konsep “membaca lisan sakral juga mensyaratkan keterlibatan
Alkitab seperti buku biasa” yang pada dasar- afeksi dan meditasi di dalam pembacaan.
nya menekankan penilaian objektif terhadap Pembacaan ini tidak berangkat dari kecuriga-
teks, maka kita perlu adil di dalam memberi- an, melainkan ketundukan dan penerimaan
kan penilaian objektif terhadap natur teks Ki- terhadap perkataan Allah.49 Kitab Suci dipan-
tab Suci yang sejatinya adalah perkataan Allah dang sebagai subjek yang dapat menyatakan
sendiri.46 Lebih tajam lagi, di dalam sepuluh sesuatu tentang pembaca sehingga praktik
tesis yang dipublikasikannya belakangan, ia penafsiran itu dapat dipandang sebagai se-
menandaskan bahwa penerimaan terhadap buah percakapan yang sehat (mutual) antara
natur teologis Kitab Suci berarti, sekaligus dua subjek, sebagaimana dinyatakan Billings:
mensyaratkan, sebuah penolakan terhadap
“ateisme metodologis” yang memandang teks When we seek to understand a text, we
hanya memiliki sejarah netral dan harus di- should not treat it as an object over which we
dekati secara kritis-natural.47 Nathaniel Gray exercise control (in a subject-object relation).
Sutanto turut menyuarakan: Instead, reading a text is more like a healthy
conversation, a subject-subject relationship
TIS presupposes the necessity of acknowl- in which we do not treat the other person as
edging the character of God and Scripture to an object to be understood and thus domi-
be able to interpret it rightly. It demands that nated. In a healthy conversation we display
Scripture must be read according to the “rule an openness toward the person’s claim on us:
of faith” and that a neutral reading of Scrip- It is a genuine listening.50
ture is impossible. . . . History does not make
a claim upon our lives. Scripture does. From Implikasinya, pembaca Kitab Suci perlu mem-
the very beginning, when one comes to read bawa seluruh kehidupannya di dalam pemba-
the Bible one is immediately encountered by caan untuk dapat dijumpai oleh Allah mela-
Yahweh, a God who demands a total alle- lui pembacaan dan diperbarui terus-menerus
giance to Him.48 menuju kesempurnaan yang dikehendaki
Allah.51
Kesadaran bahwa Kitab Suci pada dasar-
nya adalah tulisan teologis (bukan semata
historis) dan bersifat sakral karena ditulis
oleh Allah sendiri tentu akan menghasilkan

44
Jowett, “On the Interpretation of Scripture,” 7. 49
Miroslav Volf, Captive to the Word of God: Engag-
45
Bowald, “The Character,” 181; Sutanto, “Reformed,” ing the Scripture for Contemporary Theological Reflection
109. (Grand Rapids: Eerdmans, 2010), 34; bdk. David Kelsey,
Eccentric Existence: A Theological Anthropology (Louis-
46
Kevin J. Vanhoozer, Is There a Meaning in This Text?: ville: Westminster John Knox, 2009), 140-156.
The Bible, The Reader, and the Morality of Literary Knowl-
edge [Grand Rapids: Zondervan, 1998], 455.
50
Billings, The Word of God, 42; bdk. Andrew Louth,
Discerning the Mystery: An Essay on the Nature of Theology
47
Vanhoozer, “Ten Theses,” 17. (Oxford: Oxford University Press, 1983), 39-41.
48
Sutanto, “Reformed,” 109. 51
Billings, The Word of God, 41.
150 Pendekatan Interpretasi Teologis Kitab Suci (Carmia Margaret)

Teks Kitab Suci adalah Bentuk Komunikasi berlangsung hingga sekarang.54 Mengenai hal
Ilahi di Sepanjang Sejarah ini, Watson berkomentar, “Though grounded
in the past, the divine self-communication con-
Hermeneutika modern kerap memandang tinues. The written Word is in no sense a substi-
bahwa penulis buku-buku di dalam Kitab Suci tute for a speaking God; rather, it is the place
berbicara pada dan untuk pembaca di masa and the means of God’s continued speaking.”55
lampau. Dalam keyakinan yang demikian, Kitab Suci bukan semata-mata tempat atau si-
pada umumnya pembaca teks masa kini di­ tus untuk menemukan perkataan Allah, mela-
ajak untuk menemukan makna asali yang ber- inkan itu adalah bentuk kata-kata Allah yang
laku bagi pembaca pertama di masa lampau, sedang dan terus-menerus disuarakan hingga
kemudian baru menemukan aplikasinya bagi kini.
kehidupan di zaman ini. Ada pula pandangan
lain yang beranggapan bahwa pengarang teks Keyakinan mengenai komunikasi ilahi yang
“sudah mati” atau tidak terlalu berperan di masih terus berlangsung di dalam teks Kitab
dalam menentukan makna, dan teks berbica- Suci akan menjadi semakin kokoh bila di-
ra di dalam dan melalui dirinya sendiri berda- pandang dalam bingkai karya penyelamatan
sarkan fitur-fitur yang dapat diamati seperti Trinitas. Vanhoozer mengungkapkan bahwa
bentuk atau alur narasi.52 natur dan fungsi Alkitab belum terengkuh se-
penuhnya jika Alkitab belum dipandang seba-
Berbeda dengan kedua keyakinan tersebut, gai sebuah elemen di dalam ekonomi penye-
TIS percaya bahwa pengarang Kitab Suci lamatan Trinitas.56 Artinya, pemberian dan
masih hidup, berkarya, dan berbicara sampai penafsiran Kitab Suci merupakan cara Allah
sekarang.53 Ini bukan berarti penulis manusia untuk menyatakan diri-Nya agar manusia
teks masih hidup sampai sekarang, bukan pula dapat mengenal-Nya dan beroleh keselamat-
berarti kanon masih terbuka dan dapat se- an.57 Komposisi, kanonisasi, resepsi, bahkan
waktu-waktu ditambahkan, melainkan meru- interpretasi teks adalah bagian intrinsik di da-
juk kepada Allah sebagai penulis firman yang lam garis sejarah penyelamatan Allah.58 De-
masih dan terus bekerja sampai sekarang di ngan demikian, tindakan menafsir sejatinya
dalam hati dan kehidupan umat-Nya sehingga adalah partisipasi manusia di dalam drama
firman yang ditulis di masa lampau itu masih
berkuasa, berguna, memiliki arti dan relevan
untuk menuntun kehidupan umat masa kini
dengan segala kompleksitas pergumulannya.
Sebagaimana karya penyelamatan Allah yang 54
Francis Watson, “Hermeneutics and the Doctrine of
memang genap di dalam salib Yesus Kris- Scripture: Why They Need Each Other,” IJST 12, no. 2
tus tetapi masih berlangsung hingga seka- (April 2010): 124; bdk. Stephen E. Fowl, Theological In-
terpretation of Scripture, Cascade Companions (Eugene:
rang, demikian pula Kitab Suci dipandang
Cascade, 2009), 6-7.
sebagai tindakan komunikasi ilahi yang terus
55
Watson, “Hermeneutics,” 127.
52
Meskipun dikatakan ekstrem, pandangan ini mempu- 56
Vanhoozer, “Ten Theses,” 3. Penomoran halaman
nyai kontribusi positifnya sendiri, khususnya dalam inten- berbeda dengan data jurnal yang dijadikan referensi (lih.
sinya untuk menemukan makna objektif dari suatu teks di catatan kaki nomor 41) karena teks yang dirujuk ini meru-
dalam teks itu sendiri dan meniadakan kemungkinan pe- pakan ketikan asli berjumlah sepuluh halaman yang diki-
nyelewengan atau pergeseran makna oleh penulis atau ko- rimkan penulis melalui surel.
munitas tradisinya, dengan menerapkan serangkaian ana-
lisis pada bentuk dan struktur teks tersebut (lih. Hariyono 57
Craig G. Bartholomew, Introducing Biblical Herme-
Wongsohadi, “Tinjauan Kritis terhadap Hermeneutika neutics: A Comprehensive Framework for Hearing God in
Teks Gadamer dari Perspektif Hermeneutika Kaum In- Scripture (Grand Rapids: Baker Academic, 2015), 5.
jili,” (skripsi, STT SAAT, 2014), 3-4; Stanley E. Porter dan
Jason C. Robinson, Hermeneutics: An Introduction to Inter-
58
Vanhoozer, “Ten Theses,” 5; Bowald, “The Charac-
pretive Theory [Grand Rapids: Eerdmans, 2011], 154-189). ter,” 181. Ini juga selaras dengan tesis pertama dan kedua
Davis dan Hays, yaitu “Kitab Suci dengan penuh kebenar-
53
Bowald, “The Character,” 172; Sutanto, “Reformed,” an menuturkan cerita perbuatan Allah dalam mencipta,
109. menghakimi, dan menyelamatkan dunia” (The Art, 1).
Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan 18, no. 2 (2019): 141-160 151

penebusan ilahi yang sudah, sedang, dan terus hari Kristus Yesus ketika makna yang sem-
berlangsung di dalam dunia.59 purna dan sejati itu dinyatakan.62
Implikasinya, pertama, tindakan hermeneutis Kesatuan Narasi Perjanjian Lama dan
dapat dipandang sebagai sebuah dialog anta- Perjanjian Baru di dalam Yesus Kristus
ra partisipan sejarah Allah dari masa lalu de-
ngan masa kini, yaitu pembaca pertama teks, TIS tidak membaca setiap buku atau kelom-
penerima teks dalam berbagai bentuk, sampai pok buku di dalam Kitab Suci secara mandiri
pembaca kontemporer.60 Maka, studi historis, dan terpisah-pisah satu sama lain. TIS juga ti-
literaris, leksiografis, dan narasi sejarah pe- dak berfokus untuk menyelidiki teologi penu-
nafsiran di dalam tradisi yang berbeda-beda lis kitab yang berbeda-beda tentang satu topik
merupakan sebuah keniscayaan bagi pemba- sebagaimana dikerjakan oleh teologi bibli-
ca kontemporer. Meskipun mungkin tidak ka.63 Alih-alih demikian, TIS mengembang-
semua langkah diterapkan, atau diterapkan kan pembacaan menyeluruh secara kanonis
dalam urutan yang berlainan, pembaca masa yang bertumpu pada kesinambungan kedua
kini perlu membangun sebuah kesadaran Perjanjian di dalam kehidupan dan karya sa-
bahwa teks tidak diterima di dalam ruang lib Yesus Kristus.64
vakum, melainkan secara sinambung dari pe-
nulis, penerima pertama, serta gereja Kristen Davis dan Hays mengatakan bahwa penafsir-
sepanjang zaman. an yang setia terhadap Kitab Suci menuntut
sebuah perjumpaan dengan keseluruhan na-
Kedua, tugas hermeneutika tidak hanya ber- rasinya.65 Perjanjian Baru tidak dapat dipa-
henti pada menanyakan maksud penulis bagi hami dengan tepat jika terpisah dari Perjan-
pembaca pertama, melainkan juga mena- jian Lama, demikian pula Perjanjian Lama
nyakan maksud Allah di dalam teks kepada tidak dapat dipahami dengan tepat jika terpi-
pembaca hari ini. Sutanto menegaskan, “the sah dari Perjanjian Baru.66 Menurut Billings,
primary locus of meaning is thus in the context tanpa kanon yang mengikat secara inheren,
of the divine author and his intentions for the buku-buku di dalam Kitab Suci hanya akan
reader, instead of that of the mind of the histor- menjadi teks yang terpisah-pisah, tidak dapat
ical author and his context.”61 Aplikasi pesan disatukan, dan justru menjadi ragam suara
teks, yang sering dianggap sebagai tahapan yang berkontradiksi satu dengan lainnya dan
homiletis, kini justru harus dimulai dan tidak tidak memberi kesaksian terhadap apa pun
dapat dipisahkan dari tahapan hermeneutis. juga.67
Konteks pembaca yang kerap dihindari guna
objektivitas penafsiran, oleh TIS tidak bisa Implikasi dari keyakinan ini adalah pemba-
tidak diperhitungkan mengingat pesan yang caan teks yang kanonik dan kristosentrik, de-
sedang dan akan terus-menerus disampaikan ngan persepsi bahwa Yesus Kristus menjadi
Allah. Ini juga berarti bahwa setiap pemba- “batu penjuru” di dalam teks yang menyatu-
ca Kitab Suci diundang untuk terus-menerus kan seluruh diversitas.68 Ini menghidupkan
memperbarui pembacaan dan memperdalam 62
Davis dan Hays, The Art, 5.
pengertiannya terhadap teks, sampai kepada 63
Fowl, Engaging Scripture, 18-19.
64
Sutanto, “Reformed,” 110; Christopher Seitz, The
Character of Christian Scripture, Studies in Theological In-
terpretation (Grand Rapids: Baker Academic, 2011), 43;
59
Matthew Levering, Participatory Biblical Exegesis: A
Kevin J. Vanhoozer, “Theological Commentary,” 5.
Theology of Biblical Interpretation (Notre Dame: University
of Notre Dame, 2008), 1, 5; Billings, The Word of God, 200- 65
Davis dan Hays, The Art, 2.
202; Bowald, “The Character,” 182; Sutanto, “Reformed,”
109. 66
Vanhoozer, “Ten Theses,” 5; Volf, Captive, 24.
60
Levering, Participatory, 63. 67
Billings, The Word of God, 33.
61
Sutanto, “Reformed,” 109. 68
Ongkowidjojo, “Theological Interpretation,” 42.
152 Pendekatan Interpretasi Teologis Kitab Suci (Carmia Margaret)

kembali cara pembacaan yang dilakukan oleh adalah proses interaksi yang kompleks dan
penafsir-penafsir patristik seperti Origen dan panjang antara pengakuan iman, praktik hi-
Ireaneus, yang mempelajari semua detail di dup, dan keprihatinan-keprihatinan kristi-
dalam teks tetapi memandangnya dengan ani.72 Kedua pernyataan ini menunjukkan
lensa kesinambungan dan similaritas pengge- bahwa ada “sesuatu” yang dibawa ketika se-
napannya di dalam Yesus Kristus. Pembacaan seorang mendekati dan membaca teks.
seperti ini memungkinkan satu teks ditafsir di
dalam terang teks lainnya. Pada taraf terten- Pada praksisnya, seseorang memang tidak per-
tu, pembacaan seperti ini juga akan mengarah nah datang kepada Kitab Suci dengan sama
kepada—dan tidak dapat dilepaskan dari— sekali “polos” seperti tabularasa. Bapa-bapa
pembacaan spiritual karena seluruh konten di Gereja dan penafsir pramodern yang lebih
dalam Kitab Suci diterangi oleh motif Yesus pagi pun sudah membaca teks dalam bingkai
Kristus.69 Selain itu, pembacaan teks Kitab pengakuan iman.73 Ada konsep, asumsi, atau
Suci di dalam bingkai narasi seperti ini juga prapengetahuan yang akan selalu berinteraksi
menjadi pintu bagi peletakan wawasan du- dengan teks yang dibaca dan dimaknai. TIS
nia Kristen karena pembaca masa kini akan memberi ruang lebih luas bagi prapengeta-
dilatih melihat dan menempatkan dirinya di huan yang bersifat teologis, yang terbentuk
dalam jalan cerita Allah yang masih terus ber- misalnya melalui pembacaan sebelumnya,
langsung di dalam dan bagi dunia. kehidupan bergereja, pengakuan iman, iden-
titas, atau pengalaman pribadi sebagai orang
Keterlibatan Lensa dan Tradisi Teologis percaya.
di dalam Pembacaan Perlu dipahami bahwa pembacaan dengan
Lensa atau tradisi teologis penafsir, yang kesadaran dan keterlibatan lensa teologis bu-
oleh ceramah Gabler dan keilmuan modern kan berarti mencocokkan kebenaran teks de-
dianggap sebagai “kutuk” yang mendistorsi ngan keyakinan teologis yang sudah dimiliki.
penafsiran, justru oleh TIS dianggap seba- Melainkan, sebagaimana dikatakan Treier,
gai “berkat” yang mencerahkan penafsiran.70 kerangka doktrinal yang dibawa untuk men-
TIS justru ingin memberikan tempat yang dekati teks justru akan menantang pembaca
seharusnya bagi teologi sebagai sesuatu yang untuk menyadari asumsi-asumsi yang dimi-
mutlak perlu dan niscaya di dalam penafsiran. liki selama ini dan “merevisinya” di dalam
Tugas penafsiran di dalam kerangka berpikir terang pemahaman gerejawi terhadap Kitab
TIS bukan hanya mencermati teks, tetapi juga Suci.74 Dengan demikian, tindakan penafsir-
lensa teologis yang dikenakan oleh penafsir. an menjadi sebuah proses yang berlangsung
terus-menerus, dengan dipengaruhi dan me-
Billings menyatakan, “My claim is that Chris- mengaruhi lensa dan tradisi teologis di dalam
tian should not seek to come to Scripture as a refleksi iman. Makna yang diperoleh juga bu-
blank slate, but they should be both open and kan berarti bisa berubah-ubah dalam setiap
self-aware about the theological lens they bring momen pembacaan, melainkan pembaca da-
to Scripture, the assumptions that make up our pat memahami makna yang semakin lama se-
theological hermeneutic.”71 Pembaca yang cer- makin penuh dan mendalam, sampai kepada
mat perlu menyadari bahwa proses menafsir 72
Fowl, Engaging Scripture, 8.
itu bukan hanya berkaitan dengan teks, teta-
pi juga dengan kacamata yang digunakannya 73
Treier, Theological Interpretation, 46; Frances M.
untuk membaca teks. Fowl juga mengata- Young, Biblical Exegesis and the Formation of Christian
Culture (Peabody: Hendrickson, 2002), 18; David C.
kan bahwa tindakan menafsir sesungguhnya Steinmetz, “The Superiority of Pre-Critical Exegesis,”
Theology Today 37 (1980): 30; Christopher A. Hall, Reading
69
Treier, Theological Interpretation, 45-50. Scripture with the Church Fathers (Downers Grove: Inter-
Varsity Academic, 1998), 13-15; Vanhoozer, “Theological
70
Ibid., 39-40. Commentary,” 5.
71
Billings, The Word of God, 12. 74
Treier, Theological Interpretation, 77.
Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan 18, no. 2 (2019): 141-160 153

pemahaman yang sempurna ketika pembaca Bahkan, spektrum pemikiran yang tidak ter-
bertemu dengan Kristus muka dengan muka. lalu mementingkan doktrin gereja di dalam
penafsiran teks, beranggapan bahwa Kitab
Pembacaan dalam Konteks Eklesial Suci terbuka dan dapat diterima oleh semua
kalangan tanpa mementingkan keyakinan re-
Penafsiran sebagai Kegiatan Bersama ligius atau nilai-nilai pribadinya.80 Pandangan
dalam Komunitas Umat Beriman yang terakhir agaknya terlalu ekstrem karena
Pada Reformasi Protestan 1517, Luther meng- justru dapat menjadi sama dengan ekses pan-
gaungkan keterbukaan akses seluas-luasnya dangan naturalisme modern yang membiar-
terhadap pembacaan Kitab Suci termasuk kan teks dibaca tanpa keyakinan religius bah-
bagi kaum awam yang pada masa itu umum- kan menjadi sama seperti buku biasa. Jalan
nya tidak membaca teks.75 Ironinya, meskipun tengah yang mungkin dapat diambil berkena-
alat-alat tafsir modern semakin mudah diak- an dengan keyakinan ini adalah bahwa Kitab
ses oleh semua kalangan, peluang untuk pe- Suci adalah teks religius yang memang dapat
nafsiran yang individualis dan terbatas pada dibaca oleh semua orang, tetapi dalam hal ini
kaum terpelajar justru semakin besar.76 Salah gereja dipanggil untuk menjelaskan teks ke-
satu aspek yang melatarbelakangi fenomena pada dunia.81
ini adalah ketegangan mengenai pemegang Namun, pandangan mengenai keterbukaan
otoritas penafsiran di tengah diversitas ke- akses Kitab Suci bagi semua orang ini juga
lompok Kristen setelah Reformasi Protestan tidak jauh dari ekses dan perdebatan. Per-
yang secara bersamaan juga menghasilkan pe- tama, adanya semacam “ketakutan” umum
nafsiran yang jamak.77 bahwa kaum awam dapat membaca teks de-
Mewarisi tradisi penafsiran Kristen mula- ngan tidak tepat, salah menafsirkan, bahkan
mula, TIS melibatkan kaum awam di dalam berpotensi jatuh kepada kesesatan. Kedua,
pembacaan dengan bersandarkan kepada karena semua orang bisa membaca teks, sa-
tuntunan Roh Kudus yang memberi penger- ngat mungkin timbul “keegoisan interpre-
tian.78 Kaum awam atau orang-orang yang ti- tatif” yang mengunggulkan penafsirannya
dak mengenyam pendidikan Alkitab pun ter- sendiri dan memandang rendah atau salah
hitung ke dalam bagian “imamat yang rajani” penafsiran-penafsiran lain, sebagaimana di-
(1Ptr. 2:9) sehingga mungkin dan dapat untuk katakan Vanhoozer:
membaca dan menafsir teks. Dalam perspek- Here, in a nutshell, is the Protestant dilemma:
tif misi dan kesaksian gereja di tengah dunia, sola scriptura, coupled with the priesthood of
Kitab Suci juga dianggap sebagai “teks pub- all believers, seems to make each individual
lik” yang tidak eksklusif bagi kalangan terten- the final authority, and yet various Protestant
tu, tetapi dapat diakses oleh semua orang.79 individuals, each guided and illumined by
75
Alister E. McGrath, “Reclaiming Our Roots and Vi-
komunitas lain di luar gereja karena dari komunitas lain
sion: Scripture and the Stability of the Christian Church,”
pun umat beriman dapat mengambil pelajaran.
dalam Reclaiming the Bible, 69; Iain Provan, The Reforma-
tion and the Right Reading of Scripture (Waco: Baylor Uni- 80
Bradley Pace, “Public Reason and Public Theology:
versity Press, 2017), 3-8. How the Church Should Interfere,” Anglican Theological
Review 91 (2009): 274.
Treier, Theological Interpretation, 79.
76

81
Kevin J. Vanhoozer, The Drama of Doctrine, 118;
77
Kevin J. Vanhoozer, Biblical Authority after Babel: Re-
bdk. David Yeago, “The Bible,” dalam Knowing the Triune
trieving the Solas in the Spirit of Mere Protestant Christianity
God, ed. James J. Buckley dan David S. Yeago (Grand Ra-
(Grand Rapids: Brazos, 2016), 16-17.
pids: Eerdmans, 2001), 58. Vanhoozer memandang Filipus
Treier, Theological Interpretation, 79-80.
78 sebagai simbol dari gereja yang menafsirkan teks bagi
orang-orang yang tidak mengerti jika tidak ada yang men-
Angus Paddison, “Theological Interpretation and the
79
jelaskan (Kis. 8:30-31). Dalam hal ini, gereja mempunyai
Bible as Public Text,” JTI 8, no. 2 (2014): 177, 180, 182-183; pemahaman yang lebih daripada orang-orang yang tidak
bdk. Davis dan Hays, The Art, 4-5. Davis dan Hays ber- percaya, yaitu pemahaman akan kebangkitan Kristus yang
anggapan bahwa teks perlu dibaca dalam dialog dengan menjadi dasar atau tumpuan bagi penafsiran teks.
154 Pendekatan Interpretasi Teologis Kitab Suci (Carmia Margaret)

the Holy Spirit, disagree with one another. . . . di dalam konteks komunitas penafsir yang
The misleading picture of the priesthood of berdiri dan berkarya sepanjang zaman untuk
all believers as granting every individual the menemukan pesan Allah bagi dunia.87 Impli-
right to start a church fits hand in glove with kasinya, penafsiran yang murni mandiri ada-
what we may call interpretive egoism. . . . lah sebuah kemustahilan atau justru menjadi
Extreme interpretive egoism is the view that sebuah keterlepasan diri dari komunitas pe-
privileges my interpretations simply because nafsir yang beriman.
they are mine.82
Gereja sebagai Konteks Utama Penafsiran
Kritik yang pertama agaknya tidak terlalu
banyak dibicarakan dalam diskusi TIS kare- Berkaitan dengan konsep kebebasan penaf-
na ada perbedaan perspektif tentang kebe- siran individu dalam konteks komunal, TIS
naran makna. Kewaspadaan akan kesalahan memandang gereja sebagai konteks utama
tafsir atau kesesatan makna muncul dari pan- dan terbaik untuk dibangun dan berlangsung-
dangan yang mengasumsikan hanya ada satu nya penafsiran.88 Hal ini disebabkan oleh be-
makna yang tepat dan presisi, sementara TIS berapa alasan. Pertama, gereja adalah tempat
menerima ragam makna selama masih diikat terbaik untuk tergenapinya tujuan komunika-
dalam motif Yesus Kristus dan dibingkai da- si ilahi di dalam Kitab Suci, yaitu memben-
lam pengakuan iman.83 tuk persekutuan antara Allah dengan umat
dan sesama umat.89 Kedua, gereja itu sendiri
Kritik yang kedua mengenai keegoisan in- memiliki identitas sebagai pengantin Kristus
terpretatif dijawab Vanhoozer dengan meng­ yang kepadanya Kristus memperdengarkan
ingatkan bahwa “keimaman yang rajani” dari isi hati dan kehendak-Nya.90 Ketiga, pemben-
semua orang percaya itu berlangsung di dalam tukan kanon itu sendiri dipengaruhi oleh par-
“tubuh” yang dikepalai oleh Yesus Kristus se- tisipasi aktif gereja, sebagaimana dikatakan
bagai Imam Besar Agung.84 Vanhoozer me- Childs:
ngatakan, “The Reformers emphasized the
priesthood of all believers not as isolated but as These writings did not fall unmediated from
gathered individuals, baptized members of a lo- heaven. Canon lays stress on the process of
cal body anointed with the Holy Spirit.”85 Impli- receiving and transmitting the treasured ora-
kasinya, setiap orang di dalam tubuh Kristus cles of God. Moreover, this process of recep-
memiliki kesempatan, kebebasan, dan tang- tion was not that of the recipients serving a
gung jawab yang setara untuk melayankan passive role as an inert conduit, but as liv-
firman dan karitas, tetapi tidak untuk mene- ing and active tradents who both selected,
tapkan nilai benar atau salah untuk pelayanan formed, and ordered the Scriptures toward
anggota tubuh yang lain.86
Penafsiran di dalam konteks komunitas umat 87
Komunitas penafsir yang dimaksud kebanyakan ber-
beriman tidak hanya memungkinkan semua asal dari era pramodern ketika pembacaan teks berlang-
orang melakukan pembacaan dan pelayanan sung dalam konteks gerejawi dan bertujuan untuk men-
firman, tetapi juga mengimplikasikan kenis- dengar suara Allah bagi umat (lih. mis. Fowl, Theological
Interpretation, 54-54; Billings, The Word of God, 151-155).
cayaan sejarah penafsiran. Sebagai pembaca
masa kini, menafsir artinya melibatkan diri 88
Vanhoozer, “Ten Theses,” 7; Robby Holt dan Aubrey
Spears, “The Ecclesia as Primary Context for the Recep-
tion of the Bible,” dalam Manifesto, 72-73.
82
Vanhoozer, Biblical Authority, 19-20.
89
Vanhoozer, “Ten Theses,” 7; Elizabeth Achtemeier,
83
Davis dan Hays, The Art, 2-3.
“The Canon as the Voice of the Living God,” dalam Re-
84
Vanhoozer, Biblical Authority, 148, 157-15. claiming the Bible, 119.

85
Ibid., bdk. Robert McAfee Brown, The Spirit of Prot-
90
Holt dan Spears, “The Ecclesia,” 72-73; Sutanto,
estantism (Oxford: Oxford University Press, 1965), 97. “Reformed,” 110; Richard Swinburne, Revelation: From
Metaphor to Analogy, ed. ke-2 (New York: Oxford Univer-
86
Vanhoozer, Biblical Authority, 158. sity Press, 2007), 255.
Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan 18, no. 2 (2019): 141-160 155

the goal of engendering faith and instructing dari tubuh Kristus yang Am dan sama sekali
every successive generation in righteousness.91 bukan sarjana terisolasi yang hanya meneliti
teks untuk ilmu pengetahuan atau kuriositas
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa ek- pribadi.96 Kedua, segala penafsiran atau te-
sistensi teks Kitab Suci dan eksistensi gereja ologi yang dihasilkan harus kembali dituju-
Kristen saling memengaruhi dan mutlak tidak kan untuk melayani dan membangun tubuh
dapat dipisahkan. Kristus yang Am.97
TIS berkeyakinan bahwa teks Kitab Suci di-
berikan Allah pertama-tama untuk gereja, Transformasi Hidup Umat
bukan kalangan akademis. Pembacaan Kitab sebagai Tujuan Akhir Penafsiran
Suci sebenarnya dimaksudkan untuk terjadi Pendekatan TIS beranggapan bahwa tugas
dalam mode “mendengar suara Allah,” bu- penafsiran belum selesai jika belum ada dam-
kan semata-mata menyelidiki arti kata, data pak nyata di dalam kehidupan umat.98 Penaf-
historis, filsafat, atau pandangan teologi pe- siran yang hanya berhenti pada pemahaman
nulis.92 TIS ingin menghidupkan kembali saja dianggap tidak cukup atau bahkan gagal.
praktik-praktik hermeneutika teologis yang Aplikasi pesan teks bagi pembaca masa kini
dianggap telah dan akan terus berlangsung di yang umumnya ditempatkan pada tahapan
dalam kehidupan bergereja, misalnya dalam homiletis,99 kini menjadi bagian yang inheren
bentuk liturgi, devosi, katekisasi, dan homili.93 pada tahapan hermeneutis. Pertanyaan uta-
Dengan keyakinan akan karya dan pimpinan ma di dalam tugas hermeneutika bukan lagi
Roh Kudus, orang-orang kudus di dalam ge- “what it meant” tetapi juga “what it means,”
reja dapat saling mengajar, mengoreksi, dan atau dengan kata lain, pesan yang ingin di-
menjadi saksi untuk penafsiran dan penerap- sampaikan penulis teks, yaitu Allah sendiri,
an Kitab Suci di dalam kehidupan.94 Di sisi kepada pembaca masa kini dengan pergumul-
lain, perjalanan terus-menerus untuk mencari annya masing-masing.100
dan memahami suara Allah ini membuat ge-
reja tidak bisa memandang diri sebagai stan- 96
Bdk. Richard Muller dan John L. Thompson, “The
dar final penafsiran.95 Significance of Precritical Exegesis: Retrospect and Pros-
pect,” dalam Biblical Interpretation in the Era of the Refor-
Dengan demikian, penafsiran akademis-kritis mation: Essays Presented to David C. Steinmetz in Honor
of His Sixtieth Birthday, ed. Richard Muller dan John L.
tidak dianggap lebih rendah atau tidak pen- Thompson (Grand Rapids: Eerdmans, 1996), 341.
ting dibanding penafsiran praktis di dalam
kehidupan gereja. Penafsiran dengan alat-alat
97
Treier, Theological Interpretation, 188; Kevin J.
Vanhoozer, “In the Evangelical Mood: The Purpose of
bantu kritis tetap diperlukan dengan mem- Pastor-Theologian,” dalam Pastor as Public Theologians:
pertimbangkan dua hal. Pertama, penafsir Reclaiming a Lost Vision (Grand Rapids: Baker Academic,
perlu menyadari bahwa ia merupakan bagian 2015), 112-113.
98
Ongkowidjojo, “Theological Interpretation,” 49;
Vanhoozer, “Theological Commentary,” 5.
91
Brevard S. Childs, “On Reclaiming the Bible for
Christian Theology,” dalam Reclaiming the Bible, 9. 99
Lih. mis. Grant R. Osborne, The Hermeneutical Spi-
ral: A Comprehensive Introduction to Biblical Interpretation,
92
Holt dan Spears, “The Ecclesia,” 82-83; Markus
ed. rev (Downers Grove: InterVarsity Academic, 2006), 24-
Bockmuehl, Seeing the Word: Refocusing the New Testament
25, 29-30; William W. Klein, Craig L. Blomberg dan Rob-
Studies, Studies in Theological Interpretation (Grand
ert L. Hubbard, Jr., Introduction to Biblical Interpretation,
Rapids: Baker Academic, 2006), 92.
ed. rev (Nashville: Thomas Nelson, 2004), 3-5; 18-19; An-
93
Jenson, “Hermeneutics and the Life of the Church,” dreas Köstenberger dan Richard D. Patterson, Invitation
90-92; Ongkowidjojo, “Theological Interpretation,” 47-48; to Biblical Interpretation: Exploring the Hermeneutical Triad
Watson, Text, Church, and the World, 5; Volf, Captive, 34. of History, Literature, and Theology, Invitation to Theolog-
ical Studies Series (Grand Rapids: Kregel, 2011), 790-795;
Treier, Theological Interpretation, 89; Billings, The
94
Sidney Greidanus, The Modern Preacher and the Ancient
Word of God, 134. Text: Interpreting and Preaching Biblical Literature (Grand
Rapids; Leicester: Eerdmans; InterVarsity, 2003), 10-16.
95
Ongkowidjojo, “Theological Interpretation,” 48-49;
Billings, The Word of God, 134. 100
Volf, Captive, 25-26.
156 Pendekatan Interpretasi Teologis Kitab Suci (Carmia Margaret)

Penekanan kepada aplikasi ini timbul dari sikap hening, rendah hati, dan terbuka da-
keyakinan bahwa tujuan utama membaca lam menanti-nantikan Allah. Lebih lanjut,
Kitab Suci adalah untuk membiarkan Allah jika perkataan Allah itu kemudian menjum-
menjumpai kemanusiaan yang berdosa dan pai atau mengonfrontasi bagian diri kita yang
memberikan panduan, penghiburan, tegur- tidak berkenan di hadapan-Nya, kita perlu
an, dan perubahan menuju keserupaan de- merelakan diri kita untuk dikoreksi dan dipu-
ngan Kristus bagi pelayanan kepada dunia.101 lihkan kembali sampai kita merengkuh kese-
Transformasi hidup yang diharapkan terjadi rupaan yang lebih penuh dan sempurna de-
juga bukan semata-mata penambahan infor- ngan Sang Firman itu sendiri.
masi, melainkan perubahan menyeluruh bagi
keutuhan pribadi dan totalitas gereja, meli- KESIMPULAN: PENDEKATAN TIS DAN
puti dimensi-dimensi kognitif, emosional, so- PENGGUNAANNYA
sial, spasial, dan psikologis.102
Melalui pemaparan di atas, terlihat bahwa se-
Postur pembacaan yang sesuai dengan keya- jatinya pendekatan TIS adalah sebuah pende-
kinan ini adalah postur yang atentif dan pe- katan pembacaan Kitab Suci yang terjadi di
nuh respek untuk mendengar suara Allah, dalam dua konteks sekaligus, yaitu konteks
sebagaimana doa Samuel kecil, “Berbicara- teologis dan konteks eklesial. Keyakinan ini
lah, sebab hamba-Mu ini mendengar” (1Sam. berarti Kitab Suci dibaca dengan kesadaran
3:10).103 Sikap mendengar ini ditandai dengan penuh akan naturnya sebagai tulisan yang
keheningan pada kedalaman diri demi me- bersifat teologis-spiritual dan perlu dibaca
nemukan suara Allah sendiri.104 Menariknya, selaras dengan natur tersebut. Pembacaan
Dietrich Bonhoeffer mengomentari hal ini: yang setia terhadap natur teks yang demiki-
an agaknya paling baik terjadi di dalam, oleh,
Even in its acts of construing and interpret- dan bagi komunitas umat percaya dengan
ing, in bringing a communicative interest to pimpinan Roh Kudus. Sampai di sini, kita da-
bear upon the text, Christian reading act is a pat melihat bahwa keyakinan dan praktik TIS
kind of surrender. Above all, faithful reading sebenarnya bukan sesuatu yang sama sekali
is an aspect of mortificatio sui, a repudia- baru, melainkan sudah dan akan terus dilaku-
tion of the desire to assemble all realities, in- kan di dalam gereja Tuhan di sepanjang abad
cluding texts, including even the revelation of dan tempat. Upaya yang dilakukan tokoh-
God, around the steady centre of my will.105 tokoh dan tulisan-tulisan yang mendiskusikan
Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa pendekatan TIS tidak lain adalah “menamai”
pembacaan teks yang dimotori oleh kerindu- sesuatu yang memang sudah sangat lazim di-
an untuk mendengar dan menaati perkataan jumpai dalam praktik kehidupan beriman dan
Allah yang transformatif itu identik dengan tradisi Kristen hingga hari ini.
Ada beberapa implikasi praktis yang dapat
101
Heath A. Thomas, “The Telos (Goal) of Theolog- dipikirkan lebih lanjut atau diterapkan di
ical Interpretation,” dalam Manifesto, 197-198; Jenson, dalam gereja Kristen untuk mengejawan-
“Hermeneutics and the Life of the Church,” 91.
tahkan pendekatan TIS ini di dalam bahasa
102
Thomas, “The Telos,” 205; George H. Guthrie, Read yang lebih sederhana dan relevan. Pertama,
the Bible for Life: Your Guide to Understanding and Living para rohaniwan dapat memperluas cakra-
God’s Word (Nashville: Broadman & Holman, 2011), 5.
wala hermeneutis dan homiletisnya, khusus-
103
Bartholomew, Introducing Biblical Hermeneutics, 18. nya di dalam berkhotbah, untuk tidak hanya
104
Ibid., 20; bdk. G.C. Fiumara, The Other Side of Lan- menggali dan mengkhotbahkan makna satu
guage: A Philosophy of Listening (London: Routledge, bagian tertentu di dalam Kitab Suci semata,
1995), 115. tetapi mengaitkannya dengan keseluruhan
105
Dietrich Bonhoeffer, Life Together; Prayerbook of the narasi penyelamatan Trinitas di dalam Yesus
Bible, Dietrich Bonhoeffer Works 5 (Minneapolis: For- Kristus. Kedua, gereja dapat memberlakukan
tress, 1996), 99.
Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan 18, no. 2 (2019): 141-160 157

kembali pembacaan publik terhadap Kitab Bockmuehl, Markus. Seeing the Word: Refo-
Suci di dalam ibadah-ibadah korporat kare- cusing the New Testament Studies. Stud-
na pembacaan dari bagian-bagian teks yang ies in Theological Interpretation. Grand
berbeda tetapi dirangkai secara leksionaris Rapids: Baker Academic, 2006.
justru akan mengembangkan kerangka narasi
Alkitab yang utuh di dalam hati dan pikiran Bonhoeffer, Dietrich. Life Together; Prayer-
umat. Ketiga, jika selama ini kegiatan pem- book of the Bible. Dietrich Bonhoeffer
bacaan dan pembelajaran Alkitab lebih me- Works 5. Minneapolis: Fortress, 1996.
nekankan fungsi pengajar yang memaparkan Bowald, Mark Alan. “The Character of Theo-
teks kepada umat, agaknya kini penekanan- logical Interpretation of Scripture.” IJST
nya dapat dialihkan kepada partisipasi umat 12, no. 2 (April 2010): 162-183.
sebagai orang-orang kudus yang bersama-
sama menggumulkan dan membicarakan Ki- Brown, Robert McAfee. The Spirit of Protes-
tab Suci dalam pergulatan iman dan keseha- tantism. Oxford: Oxford University Press,
rian. Kiranya Allah Trinitas di dalam kuasa 1965.
Roh Kudus membentuk gereja-Nya menjadi
Burnett, Richard E. Karl Barth’s Theological
pembaca teks yang saleh dan setia, dan pem-
Exegesis: The Hermeneutical Principles of
bacaan teks Kitab Suci yang saleh dan setia
the Römerbrief Period. Grand Rapids:
akan membentuk gereja menjadi mempelai
Eerdmans, 2001.
yang semakin berkenan di hadapan Pengan-
tin Kudus-Nya. Carson, D. A. “Theological Interpretation of
Scripture: Yes… But…” Dalam Theologi-
DAFTAR KEPUSTAKAAN cal Commentary: Evangelical Perspectives,
diedit oleh R. Michael Allen, 781-803.
Achtemeier, Elizabeth. “The Canon as the
London: T&T Clark, 2011.
Voice of the Living God.” Dalam Re-
claiming the Bible for the Church, diedit Childs, Brevard S. “On Reclaiming the Bible
oleh Carl E. Brateen dan Robert W. Jen- for Christian Theology.” Dalam Reclaim-
son, 119-130. Grand Rapids: Eerdmans, ing the Bible for the Church, diedit oleh
1995. Carl E. Brateen dan Robert W. Jenson,
1-18. Grand Rapids: Eerdmans, 1995.
Allison, Gregg R. “Theological Interpreta-
tion of Scripture: An Introduction and Cunningham, Mary Kathleen. “Karl Barth.”
Preliminary Evaluation.” SBJT 14, no. 2 Dalam Christian Theologies of Scripture,
(2010): 28-36. diedit oleh Justin S. Holcomb, 183-201.
New York: New York University Press,
Bartholomew, Craig G. Introducing Biblical
2006.
Hermeneutics: A Comprehensive Frame-
work for Hearing God in Scripture. Grand Davis, Ellen F., dan Richard B. Hays, ed. The
Rapids: Baker Academic, 2015. Art of Reading Scripture. Grand Rapids:
Eerdmans, 2004.
Billings, J. Todd. The Word of God for the Peo-
ple of God: An Entryway to the Theological Fowl, Stephen E. Engaging Scripture: A Mod-
Interpretation of Scripture. Grand Rapids: el for Theological Interpretation. Oxford:
Eerdmans, 2010. Blackwell, 1998.
Blomberg, Craig L. “The Historical Criti- ———. Theological Interpretation of Scripture.
cal/Grammatical View.” Dalam Bibli- Cascade Companions. Eugene: Cascade,
cal Hermeneutics: Five Views, diedit oleh 2009.
Stanley E. Porter dan Beth M. Stovell, 27-
47. Downers Grove: Intervarsity, 2012. Green, Joel B. “The (Re-)Turn to Theology.”
JTI 1, no. 1 (2007): 1-3.
158 Pendekatan Interpretasi Teologis Kitab Suci (Carmia Margaret)

———. “Scripture and Theology: Uniting the Exploring the Hermeneutical Triad of His-
So Long Divided.” Dalam Between Two tory, Literature, and Theology. Invitation
Horizons: Spanning New Testament Stud- to Theological Studies Series. Grand
ies and Systematic Theology, diedit oleh Rapids: Kregel, 2011.
Joel B. Green dan Max Turner, 23-43.
Grand Rapids: Eerdmans, 2000. Levering, Matthew. Participatory Biblical Exe-
gesis: A Theology of Biblical Interpretation.
———. Seized by the Truth: Reading the Bible Notre Dame: University of Notre Dame,
as Scripture. Nashville: Abingdon, 2007. 2008.
Greidanus, Sidney. The Modern Preacher and Louth, Andrew. Discerning the Mystery: An
the Ancient Text: Interpreting and Preach- Essay on the Nature of Theology. Oxford:
ing Biblical Literature. Grand Rapids: Ee- Oxford University Press, 1983.
rdmans, 2003.
McGrath, Alister E. “Reclaiming Our Roots
Guthrie, George H. Read the Bible for Life: and Vision: Scripture and the Stability of
Your Guide to Understanding and Living the Christian Church.” Dalam Reclaiming
God’s Word. Nashville: Broadman & Hol- the Bible for the Church, diedit oleh Carl
man, 2011. E. Brateen dan Robert W. Jenson, 63-88.
Grand Rapids: Eerdmans, 1995.
Hall, Christopher A. Reading Scripture with
the Church Fathers. Downers Grove: In- Moberly, R.W. L. “What Is Theological In-
tervarsity Academic, 1998. terpretation of Scripture?.” JTI 3, no. 2
(2009): 161-178.
Holt, Robby, dan Aubrey Spears. “The Ec-
clesia as Primary Context for the Recep- Muller, Richard, dan John L. Thompson,
tion of the Bible.” Dalam A Manifesto “The Significance of Precritical Exegesis:
for Theological Interpretation, diedit oleh Retrospect and Prospect.” Dalam Biblical
Craig G. Bartholomew dan Heath A. Interpretation in the Era of the Reformation:
Thomas, 72-93. Grand Rapids: Baker Ac- Essays Presented to David C. Steinmetz in
ademic, 2015. Honor of His Sixtieth Birthday, diedit oleh
Richard Muller dan John L. Thompson,
Jenson, Robert W. “Hermeneutics and the 335-345. Grand Rapids: Eerdmans, 1996.
Life of the Church.” Dalam Reclaiming
the Bible for the Church, diedit oleh Carl Ongkowidjojo, Hendry. “Theological Inter-
E. Brateen dan Robert W. Jenson, 89-105. pretation of Scripture: Suatu Pengantar.”
Grand Rapids: Eerdmans, 1995. Jurnal Amanat Agung 9, no. 1 (Juni 2013):
35-55.
Jowett, Benjamin. “On the Interpretation of
Scripture.” Dalam Essays and Reviews. Ed. Osborne, Grant R. The Hermeneutical Spiral:
ke-7. London: Longman, 1861. A Comprehensive Introduction to Biblical
Interpretation. Revised and Expanded.
Kelsey, David. Eccentric Existence: A Theolog- Downers Grove: Intervarsity, 2006.
ical Anthropology. Louisville: Westmin-
ster John Knox, 2009. Pace, Bradley. “Public Reason and Public
Theology: How the Church Should In-
Klein, William W., Craig L. Blomberg, dan terfere.” Anglican Theological Review 91
Robert L. Hubbard, Jr. Introduction to (2009): 273-292.
Biblical Interpretation. Edisi Revisi. Nash-
ville: Thomas Nelson, 2004. Paddison, Angus. “The History and Reemer-
gence of Theological Interpretation.” Da-
Köstenberger, Andreas, dan Richard D. Pat- lam A Manifesto for Theological Interpre-
terson. Invitation to Biblical Interpretation: tation, diedit oleh Craig G. Bartholomew
Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan 18, no. 2 (2019): 141-160 159

dan Heath A. Thomas, 27-47. Grand Seitz, Christopher. The Character of Christian
Rapids: Baker Academic, 2015. Scripture. Studies in Theological Interpre-
tation. Grand Rapids: Baker Academic,
———. “Theological Interpretation and the 2011.
Bible as Public Text.” JTI 8, no. 2 (2014):
175-192. Spinks, D. Christopher. The Bible and the Cri-
sis of Meaning: Debates on the Theological
Pasquarello III, Michael. “Back to the Future: Interpretation of Scripture. London: T&T
The Promise of Recent Theological Com- Clark, 2007.
mentary.” JTI 3, no. 2 (2009): 307-315.
Steinmetz, David C. “The Superiority of
Porter, Stanley E. “What Exactly Is Theolog- Pre-Critical Exegesis.” Theology Today 37
ical Interpretation of Scripture, and It Is (1980): 27-38.
Hermeneutically Robust Enough for the
Task to Which It Has Been Appointed?.” Sutanto, Nathaniel Gray. “Toward a Re-
Dalam Horizons in Hermeneutics: A Fest- formed Theological Interpretation of
schrift in Honor of Anthony C. Thiselton, Scripture.” Jurnal Teologi Indonesia 1, no.
diedit oleh Stanley E. Porter dan Mat- 1 (2013): 103-116.
thew R. Malcolm, 234-267. Grand Rap-
ids: Eerdmans, 2013. Swinburne, Richard. Revelation: From Meta-
phor to Analogy. Ed. ke-2. New York: Ox-
Provan, Iain. The Reformation and the Right ford University Press, 2007.
Reading of Scripture. Waco: Baylor Uni-
versity Press, 2017. Thomas, Heath A. “The Telos (Goal) of
Theological Interpretation.” Dalam A
Rae, Murray. “Theological Interpretation Manifesto for Theological Interpretation,
and Historical Criticism.” Dalam A Man- diedit oleh Craig G. Bartholomew dan
ifesto for Theological Interpretation, diedit Heath A. Thomas, 27-47. Grand Rapids:
oleh Craig G. Bartholomew dan Heath Baker Academic, 2015.
A. Thomas, 94-109. Grand Rapids: Baker
Academic, 2015. Treier, Daniel J. Introducing Theological Inter-
pretation of Scripture: Recovering a Chris-
Rowe, C. Kavin, dan Richard B. Hays, “What tian Practice. Grand Rapids: Baker Aca-
is a Theological Commentary?: A Book demic, 2008.
Symposium on Jaroslav Pelikan, Acts,
Brazos Theological Commentary on the ———. “What is Theological Interpretation?
Bible (Grand Rapids: Brazos, 2005).” Pro An Ecclesiological Reduction.” IJST 12,
Ecclesia 16, no. 1 (2007): 26-32 no. 2 (April 2010): 144-161.

Saragih, Denni Boy. “Disruptive Presence: Turner, Max, dan Joel B. Green. “New Tes-
The Ontology, Theology andEthics of tament Commentary and Systematic
Reading the Bible as Scripture in Karl Theology: Strangers or Friends?.” Dalam
Barth’s Theological Exegesis.” Disertasi, Between Two Horizons: Spanning New Tes-
University of Edinburgh, 2015. tament Studies and Systematic Theology,
diedit oleh Joel B. Green dan Max Turn-
Sarisky, Darren. “What is Theological Inter- er, 1-22. Grand Rapids: Eerdmans, 2000.
pretation?.” IJST 12, no. 2 (April 2010):
201-216. Vanhoozer, Kevin J. “Ascending the Moun-
tain; Singing the Rock: Biblical Interpre-
Scobie, Charles H. H. The Ways of Our God: tation Earthed, Typed, and Transfigured.”
An Approach of Biblical Theology. Grand Modern Theology 28, no. 4 (Oktober
Rapids: Eerdmans, 2003. 2012): 781-803.
160 Pendekatan Interpretasi Teologis Kitab Suci (Carmia Margaret)

———. Biblical Authority after Babel: Retriev- ———. “Theological Commentary and ‘the
ing the Solas in the Spirit of Mere Protestant Voice from Heaven’” Exegesis, Ontolo-
Christianity. Grand Rapids: Brazos, 2016. gy, and the Travail of Biblical Interpreta-
tion.” Dalam On the Writing on the New
———. The Drama of Doctrine: A Canoni- Testament Commentary: Festschrift for
cal-Linguistic Approach to Christian The- Grant R. Osborne on the Occasion of His
ology. Louisville: Westminster John Knox, 70th Birthday, diedit oleh Stanley E. Por-
2005. ter dan Eckhard J. Schnabel, 267-298.
———. “Exegesis I Know, and Theology I Leiden: Brill, 2012.
Know, But Who Are You?’: Acts 19 and ———. “Ten Theses on the Theological In-
the Theological Interpretation of Scrip- terpretation of Scripture.” Modern Refor-
ture.” Dalam Theological Theology: Essays mation 19, no. 4 (2010): 16-19.
in Honor of John B. Webster, diedit oleh R.
David Nelson, Darren Sarisky dan Justin Volf, Miroslav. Captive to the Word of God:
Stratis, 289-306. Bloomsbury: T&T Clark, Engaging the Scripture for Contemporary
2015. Theological Reflection. Grand Rapids:
Eerdmans, 2010.
———. First Theology: God, Scripture, and
Hermeneutics. Downers Grove: Intervar- Watson, Francis. “Hermeneutics and the
sity, 2002. Doctrine of Scripture: Why They Need
Each Other.” IJST 12, no. 2 (April 2010):
———. “In the Evangelical Mood: The Pur- 118-143.
pose of Pastor-Theologian.” Dalam Kevin
J. Vanhoozer dan Owen J. Stratchan, The ———. Text, Church, and World: Biblical Inter-
Pastor as Public Theologians: Reclaiming a pretation in Theological Perspective. Grand
Lost Vision, 103-131. Grand Rapids: Bak- Rapids: Eerdmans, 1994.
er Academic, 2015.
Webster, John. “Editorial.” IJST 12, no. 2
———. “Introduction: What is Theological (April 2010): 116.
Interpretation of the Bible.?” Dalam Dic-
tionary for the Theological Interpretation of Yeago, David. “The Bible.” Dalam Knowing
the Bible, diedit oleh Kevin J. Vanhoozer, the Triune God, diedit oleh James J. Buck-
19-25. Grand Rapids: Baker Academic, ley dan David S. Yeago, 49-94. Grand
2005. Rapids: Eerdmans, 2001.

———. Is There a Meaning in This Text?: The Young, Frances M. Biblical Exegesis and the
Bible, The Reader, and the Morality of Lit- Formation of Christian Culture. Peabody:
erary Knowledge. Grand Rapids: Zonder- Hendrickson, 2002.
van, 1998.

Anda mungkin juga menyukai