Anda di halaman 1dari 199

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/328118098

Fenomenologi Dalam Penelitian Ilmu Sosial

Book · August 2018

CITATIONS READS

2 1,443

5 authors, including:

Muhammad Farid Mohammad Adib


STKIP Hatta Sjahrir, Banda Naira Airlangga University
18 PUBLICATIONS   20 CITATIONS    2 PUBLICATIONS   2 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Joni Rusmanto
Universitas Palangka Raya
10 PUBLICATIONS   7 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

National Seminary 2018 View project

cultural framing on social movement View project

All content following this page was uploaded by Joni Rusmanto on 06 October 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Fenomenologi
Dalam Penelitian Ilmu Sosial
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta,
sebagaimana yang telah diatur dan diubah dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, bahwa:
Kutipan Pasal 113
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi seba­ gai­
mana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud da­lam Pasal 9 ayat
(1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dila­ku­kan
dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,- (empat miliar rupiah).
Kata Pengantar
Prof. Dr. E. Armada Riyanto, CM.

Fenomenologi
Dalam Penelitian Ilmu Sosial

Dr. Abdul Main, M. Hum.


Dr. Muhammad Farid, M.Sos.
Dr.Rr. Nanik Setyowati, M.Si.
Dr. Sanggam Siahaan, M.Th.
Dr. Oksiana Jatiningsih, M.Si.
Dr. H. Moh. Adib, Drs., MA.
Moch. Muwaffiqillah, S.IP, M.Fil.I.
Dr. Joni Rusmanto, M.Si.
Fenomenologi
Dalam Penelitian Ilmu Sosial
Edisi Pertama
Copyright © 2018

ISBN 978-602-422-634-3
13.5 x 20.5 cm
xxxiv, 164 hlm
Cetakan ke-1, September 2018

Kencana. 2018.0962

Penulis
Dr. Abdul Main, M. Hum., dkk.

Editor
Dr. Muhammad Farid, M.Sos.
Dr. H. Mohammad Adib, Drs., M.A.

Desain Sampul
Suwito

Penata Letak
Endang Wahyudin

Penerbit
PrenadaMedia Group
(Divisi Kencana)
Jl. Tambra Raya No. 23 Rawamangun - Jakarta 13220
Telp: (021) 478-64657 Faks: (021) 475-4134
e-mail: pmg@prenadamedia.com
www.prenadamedia.com
INDONESIA

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun,
termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit.
Kata Pengantar
Prof. Dr. E. Armada Riyanto, CM.

PHENOMENOLOGICAL RESEARCH
(Catatan Kecil)

T
atkala ilmu pengetahuan sibuk bersitegang mengenai
kebenaran objektif, fenomenologi meletakkan “kebe-
naran” pada nilai-nilai yang dihidupi oleh subjek. Di
dalamnya, terurai pengalaman manusiawi, konflik, rekonsi-
liasi, kebijaksanaan lokal, kebenaran-kebenaran yang diin-
teriorisasi oleh subjek-subjek. Objektivitas, kata Aristoteles,
adalah itu yang merujuk ke objeknya. Sementara, subjektivi-
tas adalah itu yang menjadi milik subjek, milik manusia yang
mengalami atau, menurut Martin Heidegger, milik Existenz.
Karena alasan ini, sungguh naif-lah para ilmuwan yang
meyakini bahwa lawan kata dari objektif adalah subjektif. Za-
man old (dahulu kala), saat para ilmuwan alam melakukan te-
muan-temuan baru di berbagai bidang (kimia, fisika, biologi,
dan yang sejenis), terminologi objektivitas sungguh-sungguh
populer. Hegemoni objektivitas benar-benar melampaui ra-
nah ilmu alam (sampai segitunya lho!). Dan, yang dimaksud
ob­jektivitas ialah itu yang terukur, terstandar, ter-kriteria, atau
dapat dihitung, dikalkulasi, distatistikkan, dan dirata-rata me­­
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

nurut hitungan matematika dengan segala prosedurnya.


Auguste Comte menjadi salah satu yang terkenal kare-
na dia mendeklarasikan diri sebagai “ilmuwan sosial” tetapi
pada saat yang sama dia juga deklarator pendekatan objektif
atau waktu itu terkenal dengan sebutan “positivistik.” Karl
Marx berada di kemah yang sama dengan Comte, positivisme.
Dan, sejarah ilmu pengetahuan mencatat, pendekatan posi-
tivistik itu revolusioner, menggebrak, dan mengubah dunia.
Sampai hari ini tidak sedikit ilmuwan sosial “bermesraan”
dengan pendekatan yang demikian karena meyakini—seperti
para pendahulunya zaman old itu—bisa mengubah dunia de-
ngan deklarasi mengenai objektivitas.
Sebutlah dalam bidang pendidikan, betapa penting itu
lo­rong objektivitas untuk dilalui oleh setiap siswa. Sementa-
ra itu, rute subjektivitas bisa dengan mudah dilupakan. Yang
saya maksud dengan subjektivitas adalah itu yang menjadi
pengalaman subjek; itu yang merupakan “dunia” subjek, pe-
serta didik dan para pendidiknya; atau subjektivitas adalah
yang tidak bisa dikalkulasi, tak mungkin distatistikkan, tak va-
lid bila dirata-rata menurut hitungan matematika.
Saat menulis “notes on phenomenological research” ini
saya turut sedih dan prihatin dengan peristiwa memilukan di
dunia pendidikan yang melanda tetangga saya, di Pulau Ma-
dura, di mana seorang siswa yang tidur saat jam pelajaran,
lantas “ditegur” guru dalam cara yang unik, siswa itu bangun
dan memukul sang guru, hingga akhirnya sang guru muda,
pengajar kesenian tersebut, yang juga adalah guru tidak tetap
(dan karenanya gaji kecil), menghembuskan nafas kehidup-
annya. Sang guru itu yang disebut-sebut sebagai pahlawan
tanpa tanda jasa, memang telah menjadi “pahlawan”. What
went wrong in system of education?
Mungkin, sistem edukasi kita perlu lebih menggarap wi-
layah subjektif, dunia pengalaman subjek yang sangat kom-
pleks, tetapi memiliki “harta karun” yang tidak bisa dikalku-
lasi begitu saja. Sekali lagi mungkin, relasionalitas subjektif

vi
kata pengantar

antara siswa dan pendidik dan orangtua masih menyimpan


kebenaran-kebenaran yang belum terkuak, yang bisa mem-
beri “guidance” untuk shifting sistem edukasi kita. Sistem
edukasi kita barangkali masih menafikan wilayah subjektif
baik dari peserta didik maupun para pendidiknya.
***
Fenomenologi, bila dipahami dari akarnya, memiliki no­
ta-nota “ilmiah” yang mengguyur bagai air segar di ladang
riset yang mengalami musim kering panjang, riset disiplin
sosial. Fenomenologi pertama-tama merupakan “ilmu” (me-
nurut pencetusnya, Edmund Husserl). Husserl menyebutnya
“ilmu”, sebab dengan berkata demikian, fenomenologi tidak
bisa “dimitologisasikan”. Artinya, fenomenologi bukan filsa-
fat sejenis “kebijaksanaan” yang dideklarasikan oleh Sokra-
tes. Fenomenologi itu science seperti ilmu-ilmu pengetahu-
an pada zamannya yang mengubah peradaban dunia. Alfred
Schutz lantas menyebut bahwa fenomenologi itu sebuah
metodologi. Disebut metodologi, karena konsep-konsep fe-
nomenologi menawarkan implikasi-implikasi prosedural ba-
gaimana kebenaran diraih, bagaimana realitas dipahami se-
cara apa adanya, bagaimana hidup manusia didekati dalam
caranya yang khas yang menjadi milik subjek.
Dunia pengalaman manusia adalah dunia subjektif. Teta-
pi, janganlah langsung berkata bahwa karena dunia subjektif,
maka kebenaran yang dihadirkannya tidak objektif. Ketika apa
yang terjadi di Madura itu keprihatinan dan kengerian nyata,
karena menjadi pengalaman manusia yang nyata, janganlah
itu dipandang sebagai tidak objektif, karena hanya terjadi satu
kali dan kena pada satu orang (sebab untuk disebut objektif
halnya kekurangan sampel). Jangan sampai demikian. Meng-
apa? Ini sebabnya.
Sebabnya ialah itu pengalaman manusia. Sebagai sebuah
pengalaman, halnya menjadi milik dari keseharian (Everyday
life). Dan, dari keseharian, kita semua mendulang nilai-nilai

vii
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

kehidupan manusiawi. Dan, nilai-nilai manusiawi itu yang


menjadi hidup kita, yang kita hayati, kita pegang teguh, dan
kita bela mati-matian. Artinya, perkara subjektivitas kebenar-
an adalah perkara pengalaman nyata.
Fenomenologi meminati terutama dunia pengalaman
manusia. Dan, dunia pengalaman manusia adalah dunia se-
jarah manusia (historisitas). Hegel, yang bukan pencetus fe-
nomenologi seperti yang sedang diurai di sini, pernah berkata
bahwa tokoh sejarah itu adalah Geist (Roh). Muridnya, Soren
Kierkegaard, menegaskan kebalikannya, bahwa tokoh seja-
rah manusia adalah dirinya (pribadi manusia yang bersang-
kutan). Manusia dengan pengalamannya adalah komponen
tunggal dari yang disebut sejarah. Oleh karena itu, nilai-nilai
kehidupan atau nilai-nilai yang terkait dengan edukasi atau
yang sejenisnya tidak datang dari langit atau dari pedoman
etika penguasa siapa pun, melainkan datang dari manusia de-
ngan pengalamannya. Kierkegaard bukan seorang fenomeno-
log, melainkan seorang filosof eksistensialis. Peminat sejarah
filsafat akan segera mengenali bahwa dengan eksistensialis-
me, bahan filsafat adalah kehidupan dan pengalaman manu-
sia setiap hari. Kelak, Martin Heidegger, yang adalah seorang
fenomenolog sejati, murid yang dikagumi gurunya Edmund
Husserl, menyebut manusia sebagai existenz (atau manusia
adalah dia yang bereksistensi).
Nah, kalau bahan filsafat (d.k.l. bahan kebijaksanaan)
adalah hidup dan pengalaman sehari-hari, bisakah kita mem-
bayangkan akan atmosfir macam apa yang dihirup dan dite-
guk oleh anak-anak bangsa ini apabila keseharian dipenuhi
dengan pengalaman diskriminasi yang dibiarkan, kekerasan
dan kebencian berlatar agama merebak di mana-mana, kata-
kata kasar dalam berkomunikasi, apusan (hoax) dalam berso-
sial media, kedangkalan pemikiran mengenai ideologi Pan-
casila dan tata hidup bersama, dan kesemrawutan opini dan
kebijakan publik lainnya?
Filsafat fenomenologi juga adalah seni mempertanyakan

viii
kata pengantar

kemapanan, kedangkalan, dan kesemrawutan yang kerap ti-


dak dirasa, tidak dinyana. Sebab fenomenologi adalah filsafat
yang anti-kemapanan. Fenomenologi mengedepankan peng-
alaman manusia, bukan formalisme kebenaran-kebenaran.
***
Phenomenological research method, dengan demikian,
adalah metodologi penelitian yang berada dalam ranah peng-
alaman manusia (subjek). Riset fenomenologi meminati mea-
ning; jangkauannya ada pada platform Verstehen (Understan-
ding); interprestasinya harus lolos prosedur ilmiah interpritif
hermeneutika; perspektifnya memiliki fokus pada world view
subjek (bukan peneliti); verifikasi dan triangulasinya ada pada
testimony subjek, bukan semata-mata peristiwa-peristiwa de-
ngan platform serumpun atau serupa; otentisitas temuannya
memiliki dimensi kesadaran-kesadaran manusiawi-subjektif;
imbas produknya melampaui batas-batas pengalaman perso-
nal (meski berasal dari fundasi pengalaman subjektif); keilmi-
ahannya mengatasi sekadar rasio signifikan atau kurang sig-
nifikan, sebab bahasa pengalaman berada dalam pertaruhan
otentisitas subjektif manusianya.
***
Untuk apa riset fenomenologis? Saat saya menulis ini, ka-
bar duka datang dari tanah Papua. Suku Asmat mengalami
gizi buruk, dan akses kesehatan sangat sulit. Kematian bayi
dan masa depan anak-anak berada di ambang kesuraman.
Sementara itu, bantuan pun juga memiliki kendala yang tidak
ringan, karena medan yang tidak ramah.
Apa hubungannya dengan riset fenomenologis? Suatu
keprihatinan bangsa harus memiliki gambaran kurang lebih
sama seperti keadaan yang sesungguhnya. Apabila menda-
sarkan pada data-data kuantitatif, menurut Kompas.com 29
Januari 2018, terdapat 12.398 anak-anak telah diperiksa; se-
banyak 646 menderita campak; 144 terkena busung lapar (gizi

ix
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

buruk); dan 25 menderita campak dan gizi buruk.


Sebuah kesadaran solidaritas memang bisa muncul dari
pengetahuan jumlah penderita. Tetapi yang juga tidak boleh
kelewatan ialah pengalaman manusiawi para penderita. Saat
melihat jumlah (angka) seberapa banyak penderita gizi buruk
di Papua, kita mendapat penjelasan tentang keadaannya. Na-
mun, jelas tidak cukup. Kita tidak bisa menafikan pengalam-
an ketakutan, kecemasan, kegalauan para ibu, dan orangtua
yang anaknya menghadapi masa depan suram. Kita juga tidak
bisa memandang sepele bahwa mereka memiliki ketakutan
mati secara mengenaskan. Pengalaman-pengalaman subjek-
tif-manusiawi ini penting untuk “menguji” kebijakan pemba-
ngunan apa saja. Dan, subjektivitas yang demikian tak bisa
digantikan dengan penjelasan tentang angka-angka. Persis
seperti Amartya Sen, pemenang Nobel bidang Ekonomi, yang
berkata bahwa pembangunan ekonomi terbaik adalah pem-
bangunan manusianya.
Riset fenomenologis bukan sekadar narasi historis atau
catatan pengalaman harian. Riset fenomenologi memiliki ke-
pentingan untuk “menguak” realitas (kebijakan) sosial hingga
pada wilayah autentiknya. Riset semacam ini bukan berada
dalam platform problem solving atau memahami causa effect
atau untuk kepentingan pemenangan pilkada atau mempre-
diksi pooling siapa para kandidat yang berpeluang menang.
Riset fenomenologi berada pada wilayah makna (meaning),
dan halnya tidak difondasikan pada kehebatan dari si peneliti
dalam memaknai, melainkan pada keseluruhan meaning sub-
jek yang mengalami.
***
Riset fenomenologis menaruh minat juga pada perkara
“kearifan lokal”. Dengan “kearifan lokal” (local wisdom), saya
maksudkan kesadaran-kesadaran pikiran, perasaan, nilai-
nilai kebersamaan, nilai religius, nilai rekonsiliatif, nilai kul-
tural-relasional, nilai organisasional gerakan terkait dengan

x
kata pengantar

relasionalitas dengan sesamanya siapa pun termasuk yang bu-


kan dari komunitasnya, dengan alam dan lingkungan hidup,
dan tentu saja juga konsep-konsep kultural terhadap Yang
ilahi atau Sang Pencipta. Saya menyebut fenomenologis, ka-
rena halnya berkaitan dengan pengalaman subjek (manusia).
Dalam penelitian fenomenologis, yang diwawancarai tidak
disebut “responden” atau “informan” atau apalagi “sample”,
melainkan “subjek penelitian”. Artinya, semua yang dimak-
sudkan sebagai penghayatan kearifan lokal, halnya langsung
berkaitan dengan pengalaman hidup manusia-manusia se-
tempat. Dalam fenomenologi, manusia adalah sumber ilmu
pengetahuan. Manusia adalah pencipta sejarahnya. Manusia
adalah dia yang membangun “pandangan hidup dan dunia-
nya” (Weltanchauung).
Bagaimana mendulang data dalam riset fenomenologis?
“Data” dalam konteks fenomenologi memaksudkan keselu-
ruhan yang menjadi komponen pengalaman manusia. Arti-
nya, tidak ada distingsi tegas antara yang disebut data primer
atau data sekunder (apabila data itu berasal dari subjek yang
mengalami). Data primer atau sekunder untuk membedakan
data-data yang biasanya berasal dari penelitian jenis yang
lain. Apakah “data” juga bisa didapatkan dari luar subjek yang
mengalami? Tergantung data apa yang mau dikejar di sini.
Apabila mengenai hidup subjek atau pengalaman subjek, bia-
sanya otentisitasnya berada pada “kewenangan” subjek yang
bersangkutan. Tetapi apabila halnya terkait dengan konteks,
dan subjek yang mengalami memiliki keterbatasan, halnya
memang baik jika data tersebut dikebangkan dari yang lain.
Cara terbaik mendulang pengalaman dari subjek ialah
menjadi one of them. Artinya, observasi dan depth interview
jelas sangat diperlukan. Tetapi, menjadi “salah satu dari me-
reka” akan memproduksi temuan-temuan pengalaman yang
autentik dan perspektif dia atau mereka yang mengalami.
Menjadi one of them, bukankah itu akan menggiring pene-
liti pada “pemihakan” lantaran peneliti larut dalam solidaritas

xi
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

dengan subjek yang mengalami? Seorang kolega Prof. Ramlan


Surbakti menegaskan dalam salah satu ujian kandidat dok-
tor, bahwa “pemihakan” bukan sesuatu yang tabu atau bias
dalam penelitian ilmiah. Saya mengamini komentar kolega
dan sahabat saya ini. Dalam kasus menguak realitas bencana
gizi buruk di Papua, peneliti tidak boleh atau jangan sampai
bersikap “ambil jarak”. Justru setiap cetusan solidaritas dan
pemihakan terhadap pengalaman mereka di Papua membe-
ri makna mendalam kepada suatu perubahan kebijakan atau
aksi yang nyata dan efektif.
Contoh lain juga dialami oleh “seorang turis” dari Cina
yang mengunjungi Pelestarian satwa liar di Kenya. Sang turis
itu melihat dan menyimak kisah-kisah memilukan terkait de-
ngan pertarungan antara hewan liar dengan suku Masai (se-
butlah demikian). Mereka saling membunuh. Dan, kenyata-
an itu membuat perlindungan satwa liar menjadi tidak pasti;
sementara penduduk Masai yang tinggal di bush berada da-
lam ketakutan dan kecemasan diserang oleh satwa liar. Sang
turis terenyuh dan lantas ambil sikap untuk “meninggalkan”
keluarga dan jabatan yang nyaman di Cina lantas terjun un-
tuk membantu melakukan “rekonsiliasi” antara hewan liar
dengan penduduk Masai. Artinya, pemihakan sang turis ber-
asal dari solidaritas dan menjelmakan suatu “aksi” yang kelak
akan mengubah realitas itu ke arah yang lebih baik.
Seorang koresponden atau wartawan CNN, Christian
Aman­pour, saat melaporkan keadaan di Sarajevo, Bosnia-
Herzegovina, tahun 1995/6 mengenai konflik penduduk ka-
rena agama atau sekitar itu, mengalami hal serupa. Dia tidak
hanya melaporkan jumlah korban atau sebab konflik atau po-
tensi penyebarannya, melainkan juga “pemihakan” terhadap
para korban dan masyarakat sekitar. Laporan itu dipandang
sebagai salah satu yang “mengubah” kebijakan negara-negara
di dunia untuk peduli terhadap konflik di sana. Dan, kita se-
mua menyaksikan betapa halnya sangat kompleks dan mem-
prihatinkan.

xii
kata pengantar

“Netralitas” peneliti dalam sebuah penelitian sosial—di


beberapa konteks kasus—malahan menjadi sesuatu yang
absurd. Seorang kawan yang melakukan penelitian sedekat
mungkin dunia pelacuran (atau Pekerja Seks Komersial) dan
Trafficking tidak bisa membiarkan subjek yang dia teliti bera-
da dalam kondisi yang menegangkan, antara hidup dan mati.
Kawan tadi juga ambil bagian dalam tindakan penyelamatan
dan menaruh hormat atas beban hidup dan beratnya penga-
laman penderitaan. Di sini, kawan peneliti justru memasuki
sebuah dunia yang—selama ini hampir setiap orang selalu
mencibirkan seorang PSK dengan berbagai perspektif norma-
norma susila maupun agama—dia alami sebagai sebuah “rea-
litas penderitaan hebat”, yang di hadapannya sang kawan tadi
merasa sangat kecil dan rendah.
Dalam penelitian fenomenologi, peneliti tidak bertindak
seperti “helikopter” yang seakan-akan terbang lebih tinggi
berada di atas realitas. Peneliti adalah dia yang memasuki wi-
layah itu, belajar dari pengalaman para subjek, menyimaknya
atau juga melakukan “perjalanan” pengalaman bersama sub-
jek, dan lantas “keluar dari wilayah pengalaman itu” sebagai
seorang peneliti yang telah mendapatkan pencerahan luar bi-
asa; dan karena itu, pencerahan itu perlu dibagikan, diekspo-
sisikan, diteoretisasikan, dan terus dikembangkan.
***
Apakah “temuan” riset fenomenologis? Penelitian kuan-
titatif memiliki pertaruhan signifikasi pada komponen-kom-
ponen temuan. Penelitian ketahanan pangan masyarakat pe-
desaan terhadap kerentanan bencana alam, misalnya, mesti
sampai pada temuan komponen-komponen “ketahanan”
yang – dalam bacaan penelitian itu—punya pengaruh signifi-
kan atau kurang signifikan terhadap kemampuan desa terse-
but. Riset fenomenologis “melampaui” statements signifikan.
Temuan riset fenomenologis ada pada “frameworks” ba-
hasa-bahasa yang melukiskan agility nyata dari masyarakat

xiii
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

pedesaan sedemikian rupa dalam hal negosiasi, kolaborasi,


relasi intersubjektif, gerakan-gerakan komuniter desa, ke-
terbukaan akan teknologi baru yang lebih sophisticated dan
terbarukan, relasionalitas masyarakat dengan alam, world
view mereka tentang kehidupan, kesadaran-kesadaran yang
menjadi local wisdom mengenai “bencana alam”, makna ke-
pemimpinan gender (perempuan) dan konsep “kolaborasi”
atau “kebersatuan” atau “solidaritas” di antara mereka, dan
seterusnya.
Ada adagium yang mengatakan, “Manusia hidup tidak ha-
nya dari makanan saja, melainkan juga dari setiap kebijaksa-
naan yang mereka hidupi.” Artinya, kemampuan masyarakat
dalam hal ketahanan makanan, tidak boleh semata-mata di-
mengerti sebagai yang tergantung dari jumlah makanan yang
tersedia atau seberapa banyak panen dalam tahun itu terjadi.
Tetapi, ketahanan pangan itu juga perlu diurai dari konsep-
konsep kebijaksanaan atau kesadaran atau kebenaran-kebe-
naran atau yang sejenisnya yang merupakan “pengalaman
subjektif” naratif dari masyarakat yang bersangkutan. Riset
fenomenologis meminati frameworks temuan-temuan pene-
litian semacam itu.
***
What is Phenomenology? Konteks fenomenologi adalah fil­­
sa­­fat (sungguh pun di depan saya menulis “ilmu”). Artinya orang
perlu mengenal filsafat agar bisa memahami fenomenologi.
Jika hendak dibahasakan secara mudah, filsafat adalah
elaborasi relasi saya dengan dunia (alam), sesama manusia,
dan Tuhan. Filsafat berada pada perincian aneka kepentingan
refleksi pemahaman dunia saya. Dunia di sini bukan semata
soal dunia fisik, alam, gunung, sungai, dan sawah. Melainkan,
dunia dalam arti yang luas, mendalam, dan melimpah. Dunia
mencakup segala perkara yang berurusan dengan hidup saya.
Filsafat menyoal tentang “manusia”, karena soal manusia
adalah soal dunia hidup saya. Filsafat merefleksikan “siapa-

xiv
kata pengantar

kah aku” dan “siapakah liyan”, karena wacana tentang aku


sebagai manusia yang menyejarah menunjuk langsung kepa-
da dunia hidupku. Dan, demikian bahkan filsafat menggagas
tentang Tuhan, karena refleksi Sang Ada absolut mengisi ru-
ang dunia hidupku. Dengan singkat kata, filsafat berupa ela-
borasi hubungan saya dengan dunia yang saya hidupi.
Jika diringkas elaborasi relasi manusia dengan dunia da-
lam sejarah perkembangan filsafat, akan dijumpai suatu alur
pemikiran filsafat yang mengalir, bergulir dari zaman ke za-
man. Mula-mula, pada zaman sebelum filsafat (dalam artian
filsafat Yunani), manusia memahami dunianya dengan segala
peristiwanya dalam mitos-mitos. Hujan, misalnya, merupa-
kan “tangisan dewi.” Penjelasan hujan sebagai suatu tangisan
dewi merupakan mitos, sebab penjelasan itu tidak menyen-
tuh halnya (dari hujan ke mitos tangisan dewi).
Menurut ilmu pengetahuan, hujan tidak lain merupakan
jatuhnya uap air dari udara setelah mencapai titik suhu ke-
nisbian tertentu. Tetapi, harus segera ditambahkan, bahwa
mitos bukan mengatakan salah benar suatu penjelasan. Da-
lam pemahaman kemudian, akan dijumpai bahwa mitos se-
benarnya bukanlah dimaksudkan untuk menjelaskan halnya
(hujan) atau proses peristiwanya (berupa air turun dari atas).
Melainkan, mitos dimaksudkan untuk melukiskan relasi ma-
nusia dengan alam, dengan dunianya, dengan bahkan realitas
yang mengatasi hidupnya. Misalnya, apabila hujan turun ber-
lebihan dan menyebabkan banjir, orang langsung bertanya
apa yang dikehendaki dewa terhadap manusia. Atau, banjir
dimengerti dalam kaitannya dengan bentuk ungkapan kema-
rahan dewi atau dewa atas hidup manusia yang dirasa tidak
memenuhi ketentuan yang digariskan oleh sang penyeleng-
gara kehidupan. Jadi mitos bukan penjelasan hal atau peristi-
wa hujannya melainkan elaborasi relasi manusia dengan du-
nia. Kelihatannya hal ini cara pandang kuno. Tetapi, bahkan
di zaman modern ini pun model berpikir mitologis semacam
ini juga masih hidup.

xv
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

Periode awal kehadiran filsafat Yunani ditandai dengan


campur baur mentalitas berpikir. Tidak sepenuhnya mitos
ditinggalkan. Tetapi, gerakan intelektual yang berusaha me-
narik garis tegas antara penjelasan mitologis dan ilmiah juga
makin menghebat. Apa yang disebut sebagai “ilmiah” dalam
periode awal filsafat Yunani jelas berbeda dengan periode
modern.
“Ilmiah” dalam Yunani awali berkaitan dengan argumen-
tasi, refleksi, dan predikasi. Adapun, dalam periode modern
keilmiahan menunjuk pada metodologi. Apalagi dengan ke-
bangkitan ilmu-ilmu empiris yang mengalir kepada ilmu-
ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, pergumulan keilmiahan ber-
arti pergumulan seputar metodologi.
Perkembangan filsafat Yunani mencapai puncak sistema-
tis pada pemikiran Aristoteles. Plato dari sendirinya juga perlu
disebut di sini. Tetapi, elaborasi tentang relasi dunia dan ma-
nusia ditemukan dalam cara yang mengesankan pada Aristo-
teles, tanpa mengecilkan peran hebat dari filsafat Plato pula.
Bagi Aristoteles relasi manusia dan dunia identik dengan
relasi rasio dan realitas. Artinya, pengetahuan manusia ten-
tang dunia adalah pengetahuan rasional tentang realitas. Da-
lam Aristoteles, untuk pertama kalinya dalam sejarah filsafat,
apa yang disebut dengan pengetahuan ialah soal relasi ke-
sesuaian antara apa yang ada dalam akal budi dengan objek
real yang diketahui (di luar akal budi). Plato tidak memikirkan
demikian. Kesejatian pengetahuan platonis merujuk dan me-
nunjuk pada Forma atau Idea. Kesejatian maksudnya keuni-
versalan. Berbeda dengan Aristoteles yang realis, Plato adalah
seorang idealis.
Kembali kepada Aristoteles. Dalam Aristoteles pengeta­
huan memiliki makna, jika pengetahuan itu benar, sahih, dan
valid. Dan apa yang dimaksudkan dengan soal kebenaran, ke-
sahihan, dan validitas ialah soal verifikasi apa yang ada dalam
rasio dengan objek realnya di luar rasio. Jika suatu pengeta-
huan akal budi benar, itu maksudnya pengetahuan itu sesu-

xvi
kata pengantar

ai dengan objek nyata. Dan, kebalikannya, jika pengetahuan


salah, artinya pengetahuan itu tidak sesuai dengan objeknya.
Contoh, Indonesia terdiri dari 17.000 pulau. Pengetahuan “In-
donesia terdiri dari 17.000 pulau” ini benar hanya apabila me-
mang ada sekian jumlahnya dalam kenyataan. Bila ternyata
tidak sampai 17.000 pulau, berarti pengetahuan itu salah. De-
ngan demikian, kebenaran suatu ilmu pengetahuan—dalam
cara berpikir Aristotelian—ialah kebenaran objektif. Kebenar-
an objektif berarti kebenaran yang menunjuk kepada realitas
objeknya. Dalam filsafat Aristotelian, kebenaran objektif ada-
lah kebenaran universal.
Berbeda dengan Plato yang berkata bahwa kebenaran
uni­­­­versal tak pernah menunjuk kepada objek nyata, sebab ob-
jek nyata hanyalah percikan dari realitas universal, Ide; gagas-
an Aristoteles menjadi semacam fondasi metodologi untuk
ilmu pengetahuan modern. Objek nyata merupakan rujukan
dari kebenaran. Maksudnya, ilmu pengetahuan bertumpu
pada objek realnya. Suatu pernyataan ilmiah ditarik dari reali­
tas objektifnya. Inilah sebabnya sering kali filsafat Aristoteles
disebut sebagai filsafat esse. Artinya, filsafat Aristotelian berto-
lak dari ada, dari realitas, dari segala apa yang ada.
Dalam konteks epistemologis, filsafat Aristotelian terus
berlangsung sampai Descartes muncul. Descartes adalah
pendobrak gaya justifikasi model Aristotelian. Dia tidak ber-
tolak dari objek, melainkan dari subjek. Apa artinya bertolak
dari subjek? Artinya bertolak dari apa yang paling melukiskan
subjektivitasnya, yaitu rasio, akal budi, kesadaran diri. Filsa-
fat Descartes sering kali disebut sebagai filsafat kesadaran,
semata-mata karena dia melucuti suatu pengetahuan dari di-
mensi objektifnya. Pengetahuan itu urusan kesadaran. Urusan
apa yang paling menentukan subjektivitas seseorang. Orang
mengetahui kapal, misalnya, itu berarti akal budi orang terse-
but sedang “menyadari” kapal. Descartes berkata dengan be-
nar, cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada). Kesadar-
an mendahului ada. Atau, cogito (saya menyadari, berpikir)

xvii
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

mendahului sum (realitas ada saya). Filsafat Descartes juga


disebut filsafat cogito, filsafat “saya berpikir” atau dengan kata
lain filsafat kesadaran (conscientia). Ergo sum (maka saya ada)
lantas mengalir dari kesadaran. Bukan memang realitasnya
saya ada, maka saya menyadari. Dalam Descartes, dengan de-
mikian, seluruh elaborasi mengenai ada saya berangkat dari
kesadaran.
Karena kesadaran memiliki karakter subjektif, maka juga
soal pengetahuan benar atau salah sangat berurusan dengan
“pembenahan” subjektivitas. Artinya, dalam cara berpikir de-
mikian, objektivitas (kebenaran yang berkaitan dengan objek-
nya) mulai ditinggalkan. Nanti Descartes akan menegaskan
bahwa apa yang disebut dengan pengetahuan adalah ingat-
an sejauh manusia menyadari. Pengetahuan manusia ada-
lah “bawaan” sejak lahir. Mengenal atau mengetahui berarti
mengingat kembali ide bawaan sejak lahir tersebut.
Dikatakan bahwa Descartes mendobrak filsafat Aristo-
teles, di mana letak pendobrakkannya? Di sini, bahwa sejak
Descartes peran rasio makin mengemuka dan menghebat.
Maksudnya, akal budi manusia benar-benar menjadi hampir
segala-galanya dalam tataran filsafat. Rasionalisme, dalam
konteks epistemologis, praktis menunjuk pada filsafat Des-
cartes. Kepastian ilmu pengetahuan bukan lagi perkara kores-
pondensi atau diskrepansi rasio dengan realitas, melainkan
perkara kesadaran rasional manusia. Kerja tentang perkara
sesuai atau tidak sesuai antara akal budi dengan objek nyata-
nya ditinggalkan. Ide tentang subjektivitas atau subjektivisme
(kalau itu berurusan dengan paham) berangkat dari filsafat
Cartesius (sebutan dalam bahasa Latin untuk Descartes).
Rasionalisme Cartesian (Descartes) mengalami puncak
elaborasi pada filsafat Immanuel Kant. Dalam Kant, ilmu pe-
ngetahuan bukan ingatan (Descartes), bukan pula kesesuaian
antara rasio dan realitas (Aristoteles), melainkan sintetis ap-
riori. Artinya, pengetahuan itu ada dalam akal budi sendiri
yang memiliki struktur kategoris. Seakan-akan akal budi itu

xviii
kata pengantar

sendiri yang memproduksi pengetahuan. Kant menulis buku


critique of pure reason, buku yang menggariskan filsafatnya
tentang pengetahuan akal budi murni. Murni artinya tidak
tercampur. Tak tercampur apa? Tak tercampur pengalaman.
Pengetahuan itu disebut sintetis apriori (sebelum), sebab pe-
ngetahuan itu tidak mengandaikan pengalaman. Bagi Kant,
realitas itu tertutup. Akal budi kita tidak mungkin menembus-
nya. Mengenai realitas, Kant membedakan dua hal: realitas
dalam dirinya sendiri (thing in itself) dan dalam penampak-
annya (thing in its appearances). Suatu pengetahuan tentang
thing in itself tidak mungkin. Kesadaran kita tertutup sama
sekali mengenai suatu realitas dalam dirinya sendiri. Pengeta-
huan kita hanyalah seputar thing in its appearances.
Karena tesis filosofis yang demikian, maka dalam Kant,
manusia sesungguhnya “tidak tahu” apa-apa. Maksudnya,
bukan ignorant, tetapi skema pengetahuan manusia tentang
realitas sudah ada dalam akal budinya. Bukunya yang sangat
terkenal itu diberi judul critique, bukan karena mengemuka-
kan kritik-kritik melainkan buku menjadi semacam diskur-
sus final tuntas tentang pengetahuan manusia. Filsafat Kant
membuat krisis metafisika Aristotelian, dan itu berarti juga
teologi Kristiani (karena teologi kristen bergerak dari model
berpikir Aristotelian). Mengapa? Karena dengan Kant esse
atau realitas seakan tidak diperlukan lagi. Pengetahuan sudah
tercakup dalam akal budi manusia sedemikian rupa. Critique
of pure reason menisbikan pengalaman akan realitas. Padahal
Thomas Aquinas, misalnya, kalau memberi kuliah tentang
pembuktian eksistensi Tuhan berangkat dari pengalaman
akan realitas. Umpanya dalam jalan pertama bukti eksisten-
si Tuhan, Aquinas menyebut pengalaman bahwa segala apa
yang ada ini bergerak. Nah, gila bukan itu filsafat Kantian. Ia
benar-benar membuntu secara telak diskursus tentang Tuhan
dari pengalaman!
Ilmu-ilmu empiris memiliki jalur yang lain lagi. Natural
scientists menggagas keilmiahan dalam suatu cara yang baru

xix
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

sama sekali. Keilmiahan berurusan dengan metodologi. Me-


todologi ilmiah bagi para ilmuwan ilmu-ilmu alam berarti,
metodologi penelitian yang memiliki komponen karakteris-
tik: experimental, kalkulatif, dan matematis. Segala apa yang
tidak bisa dihitung, dikalkulasi, distatistikkan itu omong ko-
song belaka. Cuma ilusi. Para punggawa ilmu-ilmu empiris
tidak main-main. Sebab, memang siapakah yang dapat mem-
buktikan bahwa dalil-dalil matematis tidak abadi. Tidak ada
yang dapat melampaui kepastian kebenaran matematis.
Gaya berpikir yang mengedepankan cara-cara penghi-
tungan semacam ini—dalam perkembangan filsafat selanjut-
nya—disebut positivisme. Artinya, sebagaimana dimaksud-
kan dalam terminologinya (ponere posui positus), sesuatu itu
disebut sahih, valid, benar kalau bisa “diletakkan.” Maksud-
nya, sesuatu itu meyakinkan bila dapat dihitung, dikalkulasi,
dieksperimentasikan. Auguste Comte adalah pendekar positi-
visme untuk bidang ilmu sosial, yang kemudian akan dikenal
dengan ilmu sosiologi. Warisan positivisme Comte diteruskan
oleh para ahli-ahli ilmu sosial yang hampir semuanya me-
ninggalkan cara-cara berpikir yang spekulatif, bawaan filsafat
Abad Pertengahan.
Comte bergerak di sosiologi. Di bidang psikologi, model-
model eksperimentasi dengan hitungan-hitungan prediktif
juga sangat dominan. Dalam ilmu psikologi, gaya berpikir
yang semacam itu lantas pada awal abad 20-an disebut psi-
kologisme. Positivisme dalam ilmu psikologi menjadi puncak
“kejayaan” perkembangan ilmu-ilmu humanities.
Tetapi, seorang ilmuwan muda matematika yang sangat
tersohor justru gelisah. Gelisah oleh pertanyaan, benarkah
sebuah ilmu pengetahuan itu baru meyakinkan kalau sudah
menunjukkan hitungan-hitungan matematis yang sahih dan
valid? Tidakkah, bila demikian halnya, kebenaran itu lantas
seakan hanya menjadi hak paten dari satu dua orang yang
bernama ilmuwan belaka? Benarkah kebenaran itu hanya mi-
lik dari segelintir orang yang tahu statistik, hitungan aritma-

xx
kata pengantar

tika, geometri? Sang ahli matematika yang tersohor itu ialah


Edmund Husserl.
Husserlah pencetus fenomenologi, meski Brentano juga
mengatakan terlebih dahulu hal yang kurang lebih sama. Apa-
kah fenomenologi? Fenomenologi itu filsafat, ilmu pengeta-
huan, sekaligus metodologi.
***
Fenomenologi membuka horison cara berpikir baru, se­
kaligus menggebrak “kesombongan” para scientists positivis­
tik (dalam psikologisme para psikolog positivistik mendek­
larasikan diri sebagai “penemu manusia”) dan menjadi
se­­ka­ligus metode untuk meraih sebuah kebenaran-kebenar-
an yang mencengangkan di zaman dahulu.
Fenomenologi memiliki tema-tema sentral yang sangat
penting. Ide tentang lifeworld menjadi salah satunya. Life-
world yang dapat diterjemahkan dunia hidup keseharian me-
maksudkan kurang lebih sama dengan apa yang disebut oleh
Alfred Schutz sebagai everyday life. Artinya, keseluruhan dari
ruang lingkup hidup saya, relasi-relasi saya, peristiwa-peristi-
wa di sekitar saya, aneka informasi yang mengerumuni saya,
budaya dengan segala cetusannya sehari-hari yang menjadi
konteks hidup saya.
Lifeworld juga memiliki makna aktualitas. Lifeworld tidak
hanya berkaitan dengan orientasi masa lalu atau masa depan,
tetapi terutama masa sekarang.
Dari “horison” ke “fenomenon.” Dari cakrawala, orientasi,
wacana kepada peristiwa. Inilah juga yang disumbang oleh
fenomenologi. Cinta, misalnya. Dalam konteks filsafat feno-
menologi, bukan lagi sebuah wacana, orientasi. Melainkan
fenomen, peristiwa. Seseorang pasti belum merasa sebagai
manusia jika belum masuk dalam “perisitiwa” cinta. Hal yang
sama juga demikian untuk memahami wahyu. Wahyu itu
bukan wacana. Bukan pula suatu orientasi, melainkan sua-
tu peristiwa. Tuhan menghadirkan dirinya. Tinggal di antara

xxi
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

kita. Dengan demikian, lebih dari sekadar berkaitan dengan


dogma-dogma kebenaran iman, wahyu adalah peristiwa Tu-
han yang memasuki lifeworld saya. Hampir-hampir dapat
dikatakan bahwa penghayatan iman yang sejati ialah apabila
saya menggarap lifeworld saya, karena Tuhan hadir dan men-
jadi bagian dari peristiwa hidup saya.
***
What is not? Fenomenologi itu bukan apa? Yang sudah je-
las, fenomenologi kontra positivisme dan psikologisme. Dua
paham yang disebut menandai sebuah wacana ilmu penge-
tahuan yang mengandalkan eksperimentasi, kalkulasi, dan
statistik. Selain itu, fenomenologi juga menembus kebuntuan
filsafat Kantian untuk sampai bisa mengenal thing. Fenemo-
nologi memiliki adagium revolusioner back to the thing itself.
Artinya, kesadaran kita adalah kesadaran yang merujuk (in-
tensionalitas) kepada thing, kepada realitas. Fenomenologi
me­nyibak kemandegan pengenalan oleh pengalaman yang
telah dinisbikan oleh Kant.
Selain itu, fenomenologi juga bukan idealisme. Idealisme
menggagas realitas dalam ketunggalan, keseluruhan, keuni-
versalan. Realitas dapat diringkas dalam idea, dalam apa yang
seorang idealis memaksudkannya sebagai idea. Fenomenolo-
gi jauh dari pemaknaan idealis.
Fenomenologi bukan formalisme. Artinya fenomeno-
logi bukan suatu perincian pemikiran yang memiliki kate-
gori-kategori formal, ketat, dan rigid. Formalisme berkaitan
dengan disiplin ilmu-ilmu sosial yang memiliki target-target
formal menggariskan metodologi sah, sahih, objektif (dalam
kacamata tuntutan ilmu mereka). Fenomenologi bukan ba-
gian dari ilmu sosial. Keketatan pendekatannya mengatasi
batas-batas apa yang disebut sebagai sah, sahih, dan valid da-
lam konteks ilmu sosial. Fenomenologi tidak memiliki ambisi
formal apa pun.
Fenomenologi bukan pula realisme. Realisme konteks

xxii
kata pengantar

epistemologis memiliki akar pandangan dari Aristoteles. Da-


lam filsafat Aristotelian, suatu pengetahuan memiliki pondasi
kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan objek. Artinya, se-
buah pengetahuan pasti berurusan dengan justifikasi, pem-
buktian, pembenaran validitas. Realisme menggagas bahwa
setiap pembenaran berarti objektivasi. Dengan demikian,
soal validitas tidak lain dan tidak bukan adalah soal korespon­
densi atau diskrepansi apa yang saya ketahui dalam akal budi
dengan objek atau realitas dari yang saya ketahui tersebut.
Fenomenologi bukan realisme, karena realisme memiliki ke-
terkaitan dengan objektivisme. Objektivisme jauh dari apa
yang disebut sebagai pemaknaan fenomenologi. Alasannya:
objektivisme merupakan paham yang memiliki ambisi uni-
versalisme suatu pengertian tentang realitas yang—dalam fe-
nomenologi—sangat tidak bisa diandaikan.
***
Fenomenologi lantas dekat dengan apa? Fenomenolo-
gi dekat sekali dengan “eksistensialisme” (dalam arti yang
melampaui filsafat). Fenomenologi mengelola dunia penga-
laman eksistensi manusia, horison kehidupannya, nilai-nilai
kesehariannya, kebenaran-kebenaran hidup bersamanya.
Fenomenologi adalah soal meaning yang mendalam tentang
subjektivitas pengertian tentang dunia. Relevansi fenome-
nologi dapat disebut beberapa di bawah ini, misalnya: The
sense of actual time. Makna aktualitas zaman menjadi cetus-
an paling gamblang dari relevansi fenomenologi. Ide tentang
“membaca tanda-tanda zaman” (the signs of the time) meru-
pakan ungkapan filosofis yang merujuk pada fenomenologi.
Time bukan lagi dipikirkan dalam konteks kosmologis (seba-
gai semata bentuk perubahan-perubahan fisik) pun bukan
dalam konteks metafisis (sebagai suatu aktualitas esse). Mela-
inkan time tampil sebagai suatu pemaknaan aneka peristiwa,
aneka fenomena yang menjadi everyday life. Hidup kesehari-
an adalah bahasa yang mudah dicerna dari apa yang disebut

xxiii
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

lifeworld. Yang dimaksud dengan everyday life bukanlah acara


atau kesibukan personal harian kita, melainkan segenap pe-
ristiwa yang menjadi gelombang, gerak, dan emosi dari kese-
luruhan hidup kita pada zaman ini.
Fenomenologi mengurai dinamisme pemaknaan inter-
subjektivitas. Gagasan intersubjektivitas menunjuk pada pan-
dangan yang membuat urusan subjek mengemuka. Intersub-
yektivitas adalah relasionalitas, kekuatan interrelasi. Bukan
jargon kebersamaan. Dalam makna kekuatan kebersamaan,
dicakup aneka kepentingan subjek yang mengatasi segala
upaya objektivifikasi. Artinya, setelah intersubyektivitas me-
nyusul apa yang disebut sebagai komunikasi intersubjektif.
Komunikasi intersubjektif merupakan ciri khas “kekuatan”
komunitas. Komunikasi intersubjektif—dalam Habermas—
akan dipahami sebagai lawan dari suatu bentuk komunikasi
kepentingan yang digagas oleh Max Weber. Komunikasi ke-
pentingan mendasarkan komunikasi dalam konteks-kon-
teks wilayah kepentingan bersama. Komunikasi kepentingan
memiliki tujuan. Maka, sering kali komunikasi semacam ini
juga disebut “komunikasi kepentingan tujuan.” Gagasan ini
berasal dari wilayah ilmu-ilmu sosial. Weber merupakan sa-
lah satu pendekarnya. Dalam konteks ilmu sosial, komunikasi
itu mesti memiliki karakter efektif. Efektivitas suatu bentuk
komunikasi masyarakat komuniter lantas sangat bergantung
pada sejauh mana masyarakat tersebut mampu menjaga ko-
munikasi.
Belajar fenomenologi bukan saja belajar filsafat atau bel-
ajar ilmu pengetahuan, melainkan belajar tentang realitas
kehidupan itu sendiri. Ketika hidup disimak dengan sangat
detail dan teliti, akan tersibak kebenaran-kebenaran yang me-
ngejutkan dan mencengangkan. Dalam arti inilah fenomeno-
logi menjadi sebuah keniscayaan model pencarian manusia
akan kebenaran hidup dan dirinya, sesamanya, dunianya, dan
relasionalitasnya dengan alam dan Tuhannya.
Buku ini bukan hanya dimaksudkan sebagai catatan-ca­

xxiv
kata pengantar

tatan indah kebersamaan di kelas metodologi riset di program


doktoral FISIP Unair melainkan juga terutama share tentang
sesuatu yang “melampaui kelas.” Artinya, indahnya sebuah
metodologi memang memiliki destinasi yang “melampaui
kelas,” yaitu diterjemahkan dalam penelitian yang mengubah
realitas sosial hidup sehari-hari ke yang lebih baik, lebih ma-
nusiawi.
***

Awal Februari 2018


Kampus STFT Widya Sasana, Malang

xxv
Pengantar Editor

K
risis kemanusiaan di Eropa pada masa perang dunia
pertama telah menghancurkan seluruh harapan dan
cita-cita pencerahan. Krisis diakibatkan cara pandang
pengetahuan modern yang terjebak pada naturalisme dan
objektivisme dan berimplikasi pada hilangnya kesadaran ni-
lai-nilai kemanusiaan dan kebebasan yang justru menjadi inti
dari kehidupan manusia.
Krisis Eropa itulah yang memicu lahirnya gagasan “Feno-
menologi”, sebuah falsafah tentang fenomena. Namun berbe-
da dari pengertian umumnya, sebagai suatu peristiwa hebat
dan besar (lihat kbbi.web.id), fenomenologi justru memak-
sudkan sebuah peristiwa tentang pengalaman hidup sehari-
hari. Bersumber dari catatan-catatan kecil kehidupan, dari ce-
rita-cerita pinggiran. Edmund Husserl menyebutnya sebagai
Lebenswelt atau “dunia kehidupan”. Martin Heidegger mene-
gaskannya dalam being in the world, atau pengalaman hidup
manusia yang sekaligus wilayah pengetahuannya. Sementara
Alfred Schutz memperkenalkan ide tentang social-world.
Dalam cermatan Schutz, “dunia-sosial” adalah dunia ke­
hidupan individu-individu sehari-hari yang bertindak dan
mempersepsi segala sesuatunya secara sadar (Schutz, 1967).
Panorama keseharian ini meliputi; kecemasan duka kegembi-
raan yang menjadi milik setiap orang. Di mana semua orang
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

dapat mengajukan pengetahuan-pengetahuan valid dengan


dan dalam pengalamannya.
Selain persoalan “dunia sehari-hari” sebagai yang auten­
tik, fenomenologi juga mengurusi persoalan “makna” dan
ba­gaimana ia terbentuk dalam dunia sosial. Makna tidak se­
kadar dimengerti sebagai bentukan dari kesadaran yang sub-
jektif, melainkan sebuah hasil dari relasi kesadaran antarsub-
jek. Hubungan saling terkait ini disebut “intersubjektifitas”,
sebuah konsep tentang eksistensi individu yang tidak pernah
hadir secara independen (terpisah) dari orang lain melainkan
hidup bersama “yang lain” (the other). Makna dengan demi-
kian terbentuk oleh kesadaran dan tindakan subjek yang tak
terpisahkan dari “yang lain.”
Pemeriksaan terhadap pengalaman hidup dan kesadar-
an individu secara rigid ini membuat fenomenologi sukar
di­pahami sebatas renungan filsafat, tetapi sekaligus menjadi
sebuah prinsip-prinsip teknis-metodis bagaimana memper-
oleh pengetahuan. Daymon & Holloway dalam Qualitative
Research in Public Relations, menyebutkan bahwa para pe-
neliti fenomenologi umumnya tertarik pada bagaimana pe-
serta memahami dunia di sekitar mereka; bagaimana mereka
menggambarkan struktur penting dari pengalaman individu
dan maknanya bagi mereka (Daymon & Holloway, 2011: 181)
pengalaman hidup dan kesadaran subjek inilah sumber data
autentik, yang dari sana lahir makna-makna.
Penelitian fenomenologi, juga sangat membantu dalam
memahami pengalaman hidup orang lain (aktor atau subjek);
memudahkan peneliti untuk melihat sesuatu dari perspek-
tif aktor; menawarkan cara memahami perkembangan aktor
dari waktu ke waktu, bagaimana sang aktor membuat sesuatu
yang bermakna, seperti misalnya menciptakan peristiwa baru,
menjalani pengalaman hidupnya, atau membuat benda-ben-
da yang nyata. Fenomenologi sangat menekankan pengamat-
an terhadap pengalaman individu dan mengembangkannya
dalam bentuk reflektif.

xxviii
pengantar editor

Buku yang ada di tangan pembaca ini adalah buah dari


Doktor diskursus fenomenologis yang disemai dalam ruang
kelas Ilmu Sosial Angkatan 2010 di Pascasarjana Universitas
Airlangga Surabaya. Di bawah arahan sang fenomenolog, Prof.
Dr. Armada Riyanto CM, para penulis mencoba diri mencan-
dra panorama sosial yang terhampar luas dalam “dunia kehi-
dupan”. Memahami aneka peristiwa keseharian yang menja-
di milik setiap orang, di mana pengalaman subjek adalah hal
yang utama, dan validitas kebenarannya bersumber dari dan
dalam pengetahuan-pengalaman hidupnya.
Semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca, khususnya
para penikmat teori-teori fenomenologi sosial. Selamat mem-
baca.

Malang, April 2018

Editor
Muhammad Farid
Mohammad Adib

xxix
daftar isi

Kata Pengantar v
■■ Prof. Dr. E. Armada Riyanto, CM.
Pengantar Editor xxvii
Daftar isi xxxi

Bagian Pertama
Fenomenologi Sebagai Filsafat dan Metode
dalam Penelitian Sosiologi 1
Abdul Main

A. Filsafat Fenomenologi 1
B. Fenomenologi sebagai Metode Penelitian Sosiologi 13
C. Penerapan Metode Fenomenologi 16
D. Tahapan-Tahapan dalam Penelitian Fenomenologis 23
Daftar Bacaan 30

Bagian Kedua
FENOMENOLOGI PERDAMAIAN: Makna Damai
Menurut Eks-Kombatan Perang Ambon 35
Muhammad Farid 35

A. Pendahuluan 35
B. Damai dalam Frame Fenomenologis 38
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

C. Eks-Kombatan sebagai Subjek 41


D. Fenomena Damai Eks-Kombatan Perang Ambon 43
E. Penutup 48
Daftar Bacaan 49

bagian ketiga
FENOMENA KEKERASAAN SUPORTER Sepakbola 51
Rr. Nanik Setyowati 51

A. Pendahuluan 51
B. Perspektif Fenomenologi 52
C. Diskursus Teori-Teori Kekerasan 54
D. Fenomena Kekerasan Suporter Sepakbola 57
Daftar Bacaan 63

Bagian Keempat
MAKNA KEKERASAN TERHADAP BURUH PEREMPUAN 65
Sanggam M.l. Siahaan

A. Pendahuluan 65
B. Kekerasan Perspektif Fenomenologis 67
C. Kekerasan dalam Frame Teoretis Pierre Boudieu 68
D. Makna Kekerasan terhadap Buruh Perempuan 73
E. Penutup 76
Daftar Bacaan 79

Bagian Kelima
FENOMENA PEREMPUAN DALAM BELENGGU PATRIARkI 81
Oksiana Jatiningsih

A. Pendahuluan 81
B. Metode Fenomenologi 84
C. Kehidupan Masyarakat Patriarki 100
D. Perempuan dalam Belenggu Mentalitas Patriarki 106
Daftar Bacaan 115

xxxii
Daftar Isi

Bagian Keenam
SOCIETAS NEGOSIATIF DALAM JARINGAN SOSIAL 117
Mohammad Adib

A. Pengantar 117
B. Jaringan Sosial (Social Network) 121
C. Fenomenologi: Societas Negosiatif 125
Daftar Bacaan 128

Bagian Ketujuh
PERGULATAN IDENTITAS INTELEKTUAL PARA AKADEMISI
PERGURUAN TINGGI KEAGAMAAN ISLAM: Sebuah Tamasya
Fenomenologis 131
Moch. Muwaffiqillah 131

A. Kuasa Makna Ilmu Pengetahuan 131


B. Identitas Pengetahuan sebagai Pergulatan Kuasa 134
C. Fenomenologi Sosial 137
D. Fenomenologi Politik Identitas Intelektual 140
Daftar Bacaan 142

Bagian Kedelapan
FENOMENA AGAMA TUA DI KALIMANTAN TENGAH: Makna Agama
Menurut Kepercayaan Kaharingan Tua 143
Joni Rusmanto

A. Pendahuluan 143
B. Sketsa Fenomenologi 145
C. Kaharingan Tua yang Terlupakan 147
D. Penutup 153
Daftar Bacaan 154

Para Penulis 157

xxxiii
Bagian Pertama

Fenomenologi Sebagai Filsafat


dan Metode dalam Penelitian Sosiologi
Abdul Main
Widyaiswara Balai Pendidikan dan Pelatihan Kementrian Agama Jawa Timur
Email: abdulmainwi@yahoo.co.id

A. FILSAFAT FENOMENOLOGI
Kata “fenomenologi” berasal dari bahasa Yunani “phai-
nomenon”, yaitu sesuatu yang tampak, yang terlihat karena
bercahaya, yang dalam bahasa Indonesia disebut “fenome-
na”; Inggris (phenomenon; jamak phenomena) dan logos (akal
budi). Jadi fenomenologi adalah ilmu tentang penampakan,
yaitu penampakan tentang apa yang menampakkan diri ke
pengalaman subjek (Adian, 2010: 5). Secara istilah, fenomeno-
logi merujuk kepada teori yang mengatakan bahwa pengeta-
huan itu terbatas pada fenomena fisik dan fenomena mental.
Fenomena fisik merupakan objek persepsi, sedangkan feno-
mena mental merupakan objek introspeksi (Afandi, 2007: 1).
Sementara Hadiwijono (1980: 140) menjelaskan bahwa sua-
tu fenomena tidak perlu harus dapat diamati dengan indra,
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

sebab fenomena dapat juga dilihat atau ditilik secara rohani,


tanpa melawan indera. Juga fenomena tidak perlu suatu pe-
ristiwa. Untuk sementara dapat dikatakan, bahwa menurut
para pengikut filsafat fenomenologi, fenomena adalah “apa
yang menampakkan diri dengan dirinya sendiri,” apa yang
menampakkan diri seperti apa adanya, apa yang jelas di ha-
dapan kita.
Nampak jelas bahwa fenomena itu ada dua: fenomena fi-
sik dan fenomena mental (psikis). Yang pertama merupakan
objek persepsi, sedangkan yang kedua menjadi objek intro-
speksi. Dalam Dictionary of Philosophy, Dogobert D. Runes
menjelaskan bahwa fenomenalisme mengasumsikan dua
makna: pertama, menolak ada realitas di balik fenomena; ke-
dua, menegaskan bahwa realitas adalah things in themselves,
namun menolak bahwa realitas semacam itu dapat diketahui.
Pengertian yang hampir sama dengan rumusan Runes juga
dapat ditemukan dalam Dictionary of Philosophy susunan Pe-
ter A. Angeles, bahwa fenomena adalah objek persepsi atau
objek yang bisa dipahami; fenomena adalah objek dari sence
experience, yakni objek pengalaman indera; fenomena adalah
sesuatu yang hadir ke dalam kesadaran; fenomena adalah se-
tiap fakta atau kejadian yang dapat diobservasi.
Dalam tradisi filsafat Continental mulai Descartes, Kant
sampai Hegel, kata fenomenologi kemudian menjadi tema
filsafat yang menunjuk kepada makna “the thinking subject”
subjek yang berpikir (Don, 1971). Makna tersebut juga dapat
ditemukan dalam karya perdana Hegel (1770-1831) Phenome-
nology of Mind1 (1806), yang terbit ketika penulisnya berusia
36 tahun.
Fenomenologi adalah filsafat tentang fenomena. Fe-

1
Ulasan perinci mengenai Phenomenology of Mind (Fenomenologi Akal), lihat: antara lain
pada entri: “Hegel’s Philosophy of Mind,” dalam The Encyclopedia of the Philsophical Science
(Oxford: Clarendon Press, 1894); dan Herbert Marcuse, Reason and Revolution: Hegel and The Rise
of Social Theory, yang diterjemahkan oleh Imam Baehaqie “Rasio dan Revolusi: Menyuguhkan
kembali Doktrin Hegel untuk Umum.” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).

2
Bagian Pertama • FENOMENOLOGI SEBAGAI FILSAFAT DAN METODE ...

nomena memaksudkan peristiwa pengalaman keseharian,


kecemasan, duka, kegembiraan yang menggumuli kesehari-
an setiap orang. Sebagai sebuah ilmu, fenomenologi adalah
juga sebuah metodologi untuk menggapai kebenaran. Karena
pengalaman milik semua orang, kebenaran itu tidak dieksklu-
sifkan dari mereka semua. Semua dapat mengajukan pengeta-
huan-pengetahuan valid dengan dan dalam pengalamannya
(Riyanto, 2010: 32). Dalam epistemologi, makna subjektif-
objektif tidak mengatakan kewibawaan posisi pemahaman,
pun tidak mengatakan bermutu tidaknya sebuah makna, apa-
lagi mengatakan perkara benar atau salahnya (valid tidaknya)
atau rivalitas etis baik buruknya sebuah pengetahuan. Sub-
jektivitas dan objektivitas adalah perkara perspektif asal usul
sebuah pengetahuan. Dalam subjektivitas diandaikan sebuah
keterlibatan, komitmen, dan intensitas. Sementara dalam ob-
jektivitas diartikulasikan relasi ide dengan objeknya atau ke-
terpisahan ide dengan subjek yang mengalami. Objektivitas
dekat dengan pengetahuan positivistik-abstraktif. Subjekti-
vitas mendeklarasikan pengetahuan kontekstual-personal.
Objek­tivitas tidak dimiliki siapa pun. Sementara subjektivitas
dimiliki oleh manusia.
Jadi fenomenologi melihat, merekam, mengonstruk re-
alitas dengan menepis semua asumsi yang mengontaminasi
pengalaman konkret manusia (subjek). Itu sebabnya fenome-
nologi disebut sebagai cara berpikir yang radikal. Fenomeno-
logi menekankan upaya menggapai “esensi”, lepas dari segala
presuposisi dengan cara “kembali kepada halnya sendiri”—
sebagaimana akan kita lihat dalam uraian selanjutnya—tan-
pa pengaruh apa pun juga, apakah metafisika, sains agama,
takhayul, mitos, kebudayaan, kepercayaan, dan sebagainya.
Semuanya harus dihindari, sehingga fenomena tampak jernih
sejernih-jernihnya.
Proyek besar fenomenologi adalah memurnikan kembali
(purifikasi) cara berfilsafat ke penghayatan sehari-hari sub-
jek pengetahuan, kembali ke kekayaan pengalaman manusia

3
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

yang konkret, lekat dan dihayati. Fenomenologi juga menolak


klaim representasionalisme epistemologi modern, klaim yang
menjelaskan pengetahuan sebagai jiplakan batin dari apa
yang ada di luar benak manusia bahwa benak adalah cermin
semesta. Klaim tersebut mengandaikan keterpisahan subjek
dan objek pengetahuan. Pengalaman subjek pengetahuan ha-
rus dipandang sebagai pengalaman yang terlibat aktif dengan
dunia.
Cara berfilsafat fenomenologis yang demikian ini tak pe-
lak, kemudian menjadi salah satu arus pemikiran yang paling
berpengaruh pada abad ke-20. Di antara tokoh yang menda-
pat pengaruh fenomenologi antara lain filsuf Ernst Cassirer
(neokantianisme), McTaggart (idealisme), Frege (logisme),
Dil­they (hermeneutika), Kierkegaard (filsafat eksistensialis-
me), dan Derrida (postrukturalisme). (Adian, 2010: 4).
Di tangan para eksponen dan penganutnya, fenomeno-
logi berkembang menjadi, tidak saja aliran filsafat yang se-
lanjutnya menjadi suatu “ajaran”, tetapi fenomenologi juga
menjadi metode atau cara memperoleh pengetahuan secara
purified. Prof. Drijarkara (2006: 1319-36) dalam karya leng-
kapnya menjelaskan hal ini dengan membedakan dua cabang
mengenai fenomenologi: yaitu fenomenologi sebagai sebuah
ajaran dan fenomenolgi sebagai suatu metode. Baik sebagai
filsafat maupun sebagai metode, ciri khas fenomenologi ada-
lah hasrat yang kuat untuk mengerti yang sebenarnya dan
keyakinan bahwa pengertian itu dapat dicapai jika kita meng-
amati fenomena atau pertemuan kita dengan realitas (Driyar-
kara, 2006: 1324).
Sebelum penulis menjelaskan cara kerja penelitian di da­
lam bingkai fenomenologi, ada baiknya kita meninjau dahu­
lu—meskipun serba singkat—berbagai pemikiran para ahli
fenomenologi untuk mendapatkan zeitgeist dari masing-ma­
sing filsuf itu. Dari sekian banyak nama fenomenolog yang
penulis pelajari, di ruang terbatas ini akan penulis kutipkan
tiga saja, bukan berarti nama-nama lain tidak penting. Tetapi

4
Bagian Pertama • FENOMENOLOGI SEBAGAI FILSAFAT DAN METODE ...

dengan meninjau pemikiran ketiga tokoh berikut ini kiranya


diperoleh gambaran yang memadai mengenai apa itu feno-
menologi dan bagaimana bekerja di alam fenomenologi. Keti-
ga nama tersebut adalah Edmund Husserl, Martin Heidegger,
dan Alfred Schutz.

1. Fenomenologi Edmund Husserl


Edmund Husserl (1859-1938),2 adalah pelopor aliran fil-
safat fenomenologi, bahkan dia disebut Bapak Fenomeno-
logi. Meneruskan tradisi Continental, Husserl mengusung
fe­nomenologi sebagai gerakan filsafat dan mengenalkan pe-
mikirannya tentang transendensi fenomenologis, reduksi fe-
nomenologis, epoche, eidetic vision, intentionalitas, content,
consciousness, descriptive psychology, liebensweld (live world,
dunia hidup, yakni dunia pengalaman sehari-hari, dll. Husserl
menegaskan bahwa “...phenomenology is identical with des-
criptive psychology”, yakni a priori science vis a vis psikologi
genetik empirik. Husserl menolak kenyataan bahwa fenome-
nologi yang dia kembangkan di Jerman, dipahami orang lain
sebagai disiplin yang berada di bawah psikologi empirik. Pe-
nolakan Husserl tersebut dapat dibaca dalam bukunya, Idea:
General Introduction to Phenomenology (1962). Dia menyata-

2
Edmund Husserl, lahir di kota Prosznits di daerah Moravia, pada waktu itu bagian dari
wilayah kekaisaran Austria-Hongaria, tetapi sejak akhir Perang Dunia I (1918) termasuk
wilayah Cekoslowakia dan sejak republik itu dipisahkan jadi dua kini termasuk Ceko. Ia
berasal dari keluarga Yahudi. Nama Husserl berasal dari Iserle (Israel). Terpengaruh oleh
sahabatnya, G. Albrechet, sekitar umur 27 tahun ia dibaptis dalam Gereja Kristen Protestan.
Husserl belajar di universitas di Leipzig, Berlin, dan Wina dalam bidang matematika, fisika,
astronmomi, dan filsafat. Ia meraih gelar “doktor filsafat” dengan sebuah disertasi tentang
filsafat matematika yang berjudul Beditrage zur Variationsrechnung (1883). ... Sebagai bapak
dari filsafat fenomenologi, Edmund Husserl banyak menyumbangkan karya pemikirannya
yang sangat penting. Pada saat kematiannya ia meninggalkan banyak tulisan, sekitar
50.000 lembar naskah untuk diterbitkan, baik berupa catatan-catatan kuliah, surat-surat
serta dokumen-dokumen pribadi lainnya, yang sebagian besar dalam bentuk stenografi.
Adalah Peter H. L. Van Breda O.F.M. yang menelaah catatan-catatan Husserl dalam rangka
persiapan disertasinya. Untuk maksud itu, Nyonya Husserl mengijinkan agar seluruh harta
pusaka Husserl, baik karyanya, perpustakaan pribadinya, termasuk meja-kursinya, untuk
dipindahkan ke Universitas Leuven Belgia (Bertens, 2002: 104-108).

5
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

kan: “phenomenology will be established not as a science of fact


but as a science of essential Being, as eidetic science; its aims as
establishing knowledge of essence and absolutely no fact” (Hus-
serl, 1962: 39). Fenomenologi hendak dibakukan tidak sebagai
sains tentang fakta (wadag atau rigorous), tetapi sebagai sa-
ins tentang keberadaan yang esensial, sebagai eidetic sciences;
tujuannya adalah memantapkan pengetahuan tentang esensi
dan benar-benar bukan fakta (wadag).
Pada bagian lain Husserl menyatakan: “all eidetic sciences
is instrinsically independent of all science of fact,” semua sa-
ins tentang eidetik bebas dari semua sains tentang fakta. Se-
jak awal fenomenologi yang dia bangun adalah fenomenologi
yang telah dirintis gurunya, Brentano. Fenomenologi adalah
ilmu deskriptif dengan cara kerja a priori, ideal science, dan
non-empirik. Keduanya (Husserl dan Brentano) membeda-
kan antara empirical science dengan a priori science; keduanya
juga menihilkan antara truth of fact dengan truth of reason.
Truth of fact adalah wilayah garapan ilmu empirik semisal
natural science yang berusaha menjelaskan atau memahami
fenomena fisik, termasuk di dalamnya ilmu sosiologi empi-
rik. Sementara truth of reason adalah ilmu deskriptif, a priori,
ilmu ideal dan bukan garapan ilmu empirik tetapi garapan fil-
safat, sehingga dengan cara ini filsafat berdiri sejajar dengan
ilmu empirik.
Fokus pemikirannya yang berhubungan dengan perkem­
bangan karakteristik fenomenologi, baik metode maupun
ambisi di baliknya dapat dilacak dari tiga hal berikut. Pertama,
Husserl memulai perjalanan intelektualnya dari lingkungan
akademik formal di bidang logika dan matematika. Kedua,
gagasan fenomenologi Husserl dipengaruhi oleh Frans Bren-
tano, utamanya persoalan kesadaran dan intensio­nalitas. Ke-
tiga, ada sebuah perhatian khusus Husserl yang kemudian
menjadi tema sentral dari Logical Investigations dan karya-
karya setelahnya, yaitu antinaturalisme. Sebuah penyanggah-
an bahwa natural science memiliki kemampuan menjelaskan

6
Bagian Pertama • FENOMENOLOGI SEBAGAI FILSAFAT DAN METODE ...

realitas secara tuntas (Adian, 2010: 24-25).


Bagi Husserl, kata “realitas” sebenarnya merupakan per-
luasan dari “nature.” Artinya, natural science hanya menggu-
nakan realitas sebagai bentuk keseluruhan dari benda-benda
materiel dalam ruang dan waktu yang diatur oleh hukum-
hukum yang ajeg. Di sini pemahaman Husserl terhadap na-
turalisme diarahkan pada klaim kebenaran natural science
sebagai presuposisi, tetapi tidak bisa menjamin dirinya sen-
diri. Singkatnya, tidak setiap kebenaran adalah kebenaran na-
turalistik (David R. Cerbone, 2006). Dan, seluruh upaya inte-
lektualitas Husserl itu diarahkan pada sebuah aliran dan cara
berfilsafat yang baru, yaitu fenomenologi. (ibid)
Akar fenomenologi Husserl dapat dilacak dari rasionali-
tas Rene Descartes dan Immanuel Kant, serta psikologisme
deskriptif Frans Brentano, gurunya (sebagaimana disinggung
di atas). Husserl memahami bahwa kesadaran memegang
peran sentral dari semua kegiatan berfilsafat, sebagaimana
Descartes. Tetapi Husserl juga belajar dari Kant bahwa teori
kesadaran harus berfokus pada “forma” kesadaran sebagai isi
kesadaran itu sendiri. (ibid, hlm. 26)
Husserl mengatakan bahwa kesadaran tidak lain adalah
sebuah tindakan. Kesadaran senantiasa mengarah kepada se-
suatu yang disadari. Artinya, kesadaran selalu mengarah ke-
pada dua bagian, yaitu cogitations (aktivitas intensional atau
noesis), dan cogitata (objek intensional atau noema) yang se-
lalu berada dalam kesadaran berkorelasi. Tesis Husserl adalah
setiap tindakan menyadari, merupakan tindakan menyadari
sesuatu. Oleh sebab itu, pengertian “kesadaran” oleh Husse-
rl selalu dihubungkan dengan kutub objektivitas, yakni objek
yang disadari, tidak mungkin membayangkan kekosongan
(ibid, hlm. 30-31).
Menurut Husserl, “prinsip segala prinsip” adalah hanya
intuisi langsung (dengan tidak menggunakan perantara apa
pun juga) dapat dipakai sebagai kriterium terakhir bidang fil-
safat. Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menja-

7
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

di dasar filsafat. Alasannya ialah bahwa hanya kesadaran se-


cara langsung diberikan kepada saya selaku subjek. Baginya
tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan kita dari reali-
tas; realitas itu sendiri tampak pada kita. Kesadaran kita tidak
dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya ada
kesadaran memang diandaikan tiga hal, yaitu: (1) ada “sub-
jek”, (2) “subjek” itu terbuka untuk objek-objek, dan (3) ada
“objek”. Jadi ada keterarahan “subjek” kepada “objek-objek,”
yang menurut istilah Husserl disebut Intensionalitas. Objek-
objek harus diberi kesempatan untuk “berbicara”, artinya bi-
arlah fenomena-fenomena itu membanjiri diri kita. Sehingga
yang nampak pada kita adalah berbagai jenis perspektif: tam-
pak depan, samping, belakang, atas, dan lain-lain (Bertens,
2002: 109-111).
Logika Husserlian, bahwa setiap manusia dengan dan da-
lam pengalamannya memiliki pengetahuan valid diteguhkan
dengan ide metafisis dari muridnya, Martin Heidegger, yang
berkata bahwa manusia adalah manusia yang ada (being) di
dunia, manusia adalah manusia yang memiliki pengalaman
dan peziarahannya. Artinya, manusia karena pengalaman-
nya, adalah produsen pengetahuan sekaligus wilayah penge-
tahuan itu sendiri. (Armada Riyanto, hlm. 32).
Husserl mengajar para muridnya ide tantang Lebenswelt
(atau life world) yang diinspirasikan dari Frans Brentano. Life
world artinya dunia hidup manusia yang penuh makna. Life
world yang dapat diterjemahkan dunia hidup keseharian me-
maksudkan kurang lebih persis dengan apa yang oleh Alfred
Schutz disebut sebagai everyday life.
Life world adalah horison atau orientasi keseharian. Life
world juga memiliki makna aktualitas. Life world tidak ha-
nya berkaitan dengan orientasi masa lalu atau masa depan,
tetapi terutama masa sekarang. (Riyanto, 33). Life world ada-
lah pengalaman hidup manusia yang selalu diperoleh secara
“taken for granted” (Kuper & Kuper, 1985).

8
Bagian Pertama • FENOMENOLOGI SEBAGAI FILSAFAT DAN METODE ...

2. Fenomenologi Martin Heidegger


Fenomenologi Heidegger3 merupakan sebuah usaha
trans­formasi fenomenologi Edmund Husserl berdasarkan pe-
mikiran teoretis dan kebutuhan praktis pada zamannya. Hei-
degger mengakui bahwa ada pengaruh kental Husserl dalam
fenomenologinya, meski ia sendiri mengeritik nuansa ideal-
isme yang melingkupi fenomenologi Husserl. Heidegger me-
nyadari bahwa persoalan kesadaran adalah masalah yang sa-
ngat mendasar, karena pemahaman tentang esensi kesadaran
dan aktivitasnya bisa dijadikan sebagai solusi guna mengha-
dapi krisis ilmu pengetahuan, misalnya menggunakan pema-
haman tentang esensi dan aktivitas kesadaran sebagai landas-
an teori-teori ilmiah tentang manusia. Dengan demikian, ilmu
pengetahuan tentang manusia akan memperoleh landasan
kokoh bila asumsi-asumsi ontologis dan epistemologisnya di-
dasarkan di atas pengetahuan esensi kesadaran dan aktivitas-
aktivitasnya secara fenomenologis (Adian, 2010: 49-50).
Konsep “Being in the world”, (Jerman: in-der-Welt–sein),
(Prancis: l,etre-dans-lemonde), artinya manusia hidup atau
mengungkapkan keberadaannya dengan meng-ada di dalam
dunia. Istilah ada dalam yang digunakan oleh Heidegger me-
miliki arti yang dinamis, yakni mengacu kepada hadirnya sub-
jek yang selalu berproses. Demikian pula, dunia yang dikemu-
kakan oleh Heidegger itu harus dimengerti sebagai hal yang
dinamis, yakni suatu dunia yang terbuka tempat keseluruhan
keberadaan manusia terdapat, bisa hadir dan menampakkan
diri, dan bukan dunia yang tertutup atau semata-mata suatu
dunia fisis-geografis yang terbatas dan membatasi manusia.
Heidegger sendiri menekankan bahwa ada dalam dunia ada-

3
Martin Heidegger lahir di Black Forest, Messkirch, Jerman, 26 September 1889. Semasa
muda bersekolah menengah di Gymnasium kota Konstanz di tepi danau Bodensee pada
tahun 1906. Kemudian melanjutkan pendidikan di kota Freiburg im Bresgau. Dari sini Hei-
degger memperoleh fondasi yang kokoh untuk belajar di Universitas Freiburg, Jerman hingga
memperoleh pada tahun 1913, dengan judul disertasi: “Die Lehre vom Urteil im Psychologismus”
(ajaran tentang putusan dalam psikologisme). (Adian, 2010: 45-46).

9
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

lah Seinkonnen, yang berarti manusia mampu berada. Jadi,


ada dalam dunia itu tidak menunjuk kepada fakta beradanya
manusia di dalam dunia seperti beras ada di dalam karung
atau baju ada di dalam lemari, melainkan menunjuk kepada
realitas dasar bahwa manusia hidup atau mengungkapkan
keberadaannya di dalam dunia sambil merancang, mengolah,
atau membangun dunianya itu. Patut dicatat pula bahwa ma-
nusia dan dunia, sebagaimana telah disinggung di muka, ada-
lah suatu totalitas yang menjalin relasi dialektis (penggunaan
tanda hubung dalam istilah ada dalam dunia itu pun sudah
mengisyaratkan pandangan total dan dialektis dari Heidegger
mengenai manusia-dunia). Totalitas dan dialektika manu-
sia-dunia itu mengandung implikasi bahwa keberadaan dan
perkembangan manusia tidak terlepas dari keberadaan dan
perkembangan dunia (Riyanto, 2009).
Tentang Being and Time (Ada dan Waktu), bahwa Ada
memiliki kaitan erat dengan waktu, karena Ada adalah waktu
itu sendiri. Kalau kita menyadari frasa berikut: “Ada menuju
dirinya sendiri,” secara serentak melibatkan waktu di dalam
Ada itu sendiri. Heidegger memperlihatkan bahwa dimensi
Ada yang membuatnya berada dalam waktu juga tempat kita
menemukan diri kita di sana, yaitu dalam keseharian (ibid).
Fenomenologi Martin Heidegger ini dapat digunakan untuk
mengungkap sebuah fenomena yang bisa kita temui dalam
masyarakat kita sehari-hari.

3. Fenomenologi Alfred Schutz


Alfred Schutz4 (1899-1959) adalah tokoh terpenting da-
lam kemunculan sosiologi fenomenologis. Ia merupakan mu-
rid Husserl yang sangat intens memodifikasi doktrin-doktrin
4
Alfred Schutz lahir di Vienna tahun 1899. Belajar hukum dan ilmu sosial di University
of Vienna di bawah bimbingan seorang filsuf hukum, Hans Kelsen; juga belajar ekonomi
kepada Ludwig von Mises, pakar ekonomi Austria. Dia juga belajar di bawah bimbingan
sosiolog Frederich von Weiser dan Othmar Spann. Schutz sangat tertarik pemikiran sosiolog
Jerman, Max Weber khususnya dalam usahanya untuk membangun landasan metodologis
ilmu sosial… (Schutz, 1967: xvii).

10
Bagian Pertama • FENOMENOLOGI SEBAGAI FILSAFAT DAN METODE ...

Husserl dengan cara mencampurnya dengan arus-arus pe-


mikiran yang relevan. Dengan mengintegrasikan kepekaan-
kepekaan Eropa khas Husserl, Max Weber, dan Henri Bergson
dengan pandangan-pandangan Amerika khas Willaim James,
John Dewey, dan George Herbert Mead, Schutz mencipta-
kan suatu konstruksionisme sinkretik yang berfungsi sebagai
katalisator bagi berbagai rangkaian penelitian interaksionis
kontemporer (Flaherty, 2012: 360).
Seperti halnya Husserl, dia memberi prioritas pada isu-isu
fundamental tentang epistemologi. Menurut Schutz, “semua
fakta sejak awalnya adalah fakta-fakta yang dipilih dari suatu
konteks universal melalui aktivitas-aktivitas pemikiran kita.”
Dengan demikian, tidak ada fakta yang benar-benar fakta per
se—yang ada hanyalah fakta-fakta yang sudah diinterpretasi-
kan. Interpretasi tentu saja melibatkan kesadaran yang pada
gilirannya, melibatkan kebudayaan. Semua pengetahuan kita
tentang dunia, dalam pemikiran akal sehat maupun dalam
pemikiran ilmiah, melibatkan konsepsi-konsepsi (ibid).
Sebagai sosiolog, pemikiran Schutz sangat erat dengan
Weber tentang makna dan motif (Ritzer dan Goodman, 2004)
atau tentang verstehen (Turner, 2011). Konsep verstehen yang
oleh filsuf sejarah Johann Gustav Droyesen (1838-1908) di-
pakai untuk menyerang pandangan positivis itu oleh Weber
(1864-1920) dipertegas sebagai bentuk pengetahuan kausal.
Menurut Weber, penjelasan dalam ilmu sosial harus bertu-
juan untuk memberi keterangan kausal yang memadai dan
bermakna. Cara berpikir ini pula yang mengilhami Schutz.
Fenomenologi Schutz,5 karenanya, berhutang budi pada Hus-

5
Pemikiran-pemikiran Schutz banyak yang telah diterbitkan dan diterjemahkan, di
antaranya The Phenomenology of The Social World, (Northwestern University Press: Evenston,
1967), diterbitkan untuk pertama kalinya (di dalam bahasa Jerman) pada tahun 1932, enam
tahun sebelum ia meninggalkan Austria untuk kemudian menetap di New York, tempat dia
bekerja pada New School for Social Research dan Bussines. Collected papers I. The problem of social
reality, (The Hauge: Martinus Nijhoff, 1962), Collected papers II. Studies in social theory, (The Hauge:
Martinus Nijhoff, 1964), Den sociala världens fenomenologi, (Göteborg: Daidalos, 1999), The Struc-
tures of the Life-World. Evanston: Northwestern Unversity Press, 1973), Reflection on the Problem of

11
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

serl dan Weber, di mana atas jasa kedua tokoh itu Schutz da-
pat “mengonvergensikan” antara fenomenologi transenden-
tal Husserl dengan konsepnya Weber mengenai verstehen.
Konsep Schutz mengenai societas sesungguhnya dilandasi
oleh kesadaran (consciousness) karena menurutnya di dalam
kesadaran itu terdapat hubungan antara orang (orang-orang)
dengan objek-objek. Dengan kesadaran itu pulalah kita da-
pat memberi makna atas berbagai objek yang ada. Tindakan
sosial yang dimaksudkan oleh Schutz sebenarnya merujuk
kepada konsepnya Weber, dan sementara itu konsep inter-
subjektivitas Husserl juga sangat kental terasa. Di mana inter-
subjektivitas dianggap oleh Schutz sebagai suatu konsep atau
model yang ideal yang menggambarkan pengetahuan atau
pengalaman kita di dalam dunia keseharian.
Schutz beranggapan bahwa dunia sosial keseharian se-
nantiasa merupakan suatu yang intersubjektif dan pengalam-
an penuh makna. Dengan demikian, fenomena yang ditam-
pakkan oleh individu merupakan refleksi dari pengalaman
transendental dan pemahaman (verstehen) tentang makna
(Waters, 1994: 32).
Dalam karyanya yang berjudul The Phenomenology of the
Social World, Schutz tertarik menggabungkan pandangan-
pandangan fenomenologi dengan sosiologi melalui kritik
sosiologis atas karya Weber. Dia mengatakan bahwa reduksi
fenomenologis, pengesampingan pengetahuan kita tentang
dunia, meninggalkan kita dengan apa yang ia sebut sebagai
suatu “arus pengalaman” (stream of experience). Sebutan fe-
nomenologis berarti studi tentang cara di mana fenomena
muncul kepada kita, dan cara yang paling mendasar dari pe-
munculannya adalah sebagai suatu aliran pengalaman-peng-
alaman indrawi yang berkesinambungan yang kita terima
melalui pancaindra kita (Craib, 1986: 128).

Relevance (Yale University Press: New Haven, 1970), bagian dari sebuah karya teoretis sistematis
yang tak pernah ia selesaikan.

12
Bagian Pertama • FENOMENOLOGI SEBAGAI FILSAFAT DAN METODE ...

Karya terpenting Schutz berbicara tentang “waktu” yang


dijadikannya sebagai isu sentral. Seperti Husserl dan Bergson,
dia membedakan tentang pengalaman batiniah kita tentang
waktu (duree) dan waktu objektif atau kosmik. Pembeda-
an itu dia maksudkan untuk batu loncatan analisisnya ten-
tang “struktur waktu yang ada pada self”. Meminjam konsep
Mead, dia mengadopsi pembedaan pragmatis antara I dan me
sebagai fase-fase self dalam interaksi sosial. Momentum dari
tindakan I (aku) adalah satu langkah yang tidak pasti untuk
memasuki masa depan, sedangkan momentum dari refleksi
me, adalah penilaian self tentang tindakan-tindakan sendiri
(Flaherty, 2012: 373).

b. FENOMENOLOGI SEBAGAI METODE PENELITIAN SOSIOLOGI


Para peneliti sosiologi yang menggunakan metode feno-
menologi, pertama-tama harus memilih paradigma sosiologi
yang relevan dengan teori maupun metode fenomenologi.
Sebab tidak semua paradigma sosiologi cocok diteliti dengan
teori dan metode fenomenologi. Paradigma sosiologi sebagai-
mana dikenalkan oleh Ritzer dan Goodman (2011: 697-700)
ada tiga, yaitu: paradigma fakta sosial, paradigma definisi
sosial, dan paradigma perilaku sosial. Masing-masing para-
digma memiliki akar epistemologi dan ontologi yang berbe-
da. Oleh karena itu, masing-masing paradigma hanya cocok
dipasangkan dengan teori-teori tertentu saja, dan sebaliknya,
tidak cocok dengan sembarang teori. Ibarat alat untuk meng-
ukur panjang sebuah bidang menggunakan centimeter dan
untuk mengukur volume air menggunakan mililiter. Demi-
kian juga paradigma sosiologi, masing-masing memiliki pa-
sangan yang relevan dengan teori-teori tertentu. Penegasan
status paradigma ini penting untuk menentukan teori sosial
mana yang akan dipakai. Hotman M. Siahaan (2011) mene-
gaskan bahwa penggunaan teori haruslah mempertimbang-
kan relevansi dan kontekstualisasi.

13
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

Paradigma fakta sosial, mengikuti jalan pikiran Emile


Durkheim, fokus pada domain ontologis struktur dan insti-
tusi sosial skala besar. Teori-teori yang cocok digunakan an-
tara lain teori struktural fungsional, teori konflik, dan teori
sistem. Di pihak lain, paradigma definisi sosial fokus pada
(domain ontologis) cara aktor mendefinisikan situasi sosial
mereka dan efek definisi-definisi tersebut terhadap tindakan
dan interaksi yang ditimbulkannya. Eksemplar yang dirujuk
para definisionis adalah karya Weber tentang tindakan sosial.
Teori-teori yang relevan digunakan para definisionis, antara
lain teori tindakan, interaksionisme simbolik, fenomenologi,
etnometodologi, eksistensialisme, dan teori strukturasi. Se-
mentara paradigma perilaku sosial fokus pada domain onto-
logis perilaku manusia. Tokoh yang dianut adalah B. F. Skin-
ner. Adapun teori-teori yang relevan digunakan adalah teori
sosiologi behavioral yang sangat dekat dengan behaviorisme
psikologi dan teori pertukaran.
Domain ontologis penelitian dengan metode fenomeno-
logi umumnya berada di ranah mikro subjektif dan berbasis
studi kasus. Dengan mikro subjektif memaksudkan bahwa
tingkatan realitas sosial yang diteliti merupakan bagian ke-
cil saja dari kontinum sosial makro yang secara sengaja di-
bidik sebagai fokus penelitian dalam ranah terbatas. Sebagai
konsekuensinya, studi fenomenologi tidak berambisi untuk
menggeneralisasi realitas sosial secara makro, tetapi berusaha
menafsirkan dan memahami realitas sosial yang dikonstruksi
para aktor berhadapan dengan dunianya (Abdul Main, 2016).
Metode verstehen dari Max Weber (1864-1920) adalah
ancangan yang tepat untuk disandingkan dengan metode
fenomenologi. Verstehen, istilah yang dipakai oleh filsuf seja-
rah Johann Gustav Droyesen (1838-1908) untuk menyerang
pandangan positivis itu oleh Weber dipertegas sebagai ben-
tuk pengetahuan kausal. Menurut Weber, penelitian sosiologi
berusaha menafsirkan dan memahami (interpretative under­
standing) tindakan sosial serta antarhubungan sosial untuk

14
Bagian Pertama • FENOMENOLOGI SEBAGAI FILSAFAT DAN METODE ...

sampai kepada penjelasan kausal (Ritzer, 2010: 38). Karena itu


metode Weber juga dikenal sebagai metode penafsiran dan
pemahaman (verstehen) sebagai ancangan utama untuk me-
mahami fenomena sosial mikro.
Kendatipun teori dan metode fenomenologi adalah
khas­nya sosiologi mikro, bukan tidak mungkin diintegrasi-
kan dengan teori-teori sosiologi makro. Sebagaimana Ritzer
dan Goodman (2004: 482-3) dua orang eksponen paradigma
integratif mengusulkan integrasi mikro-makro yang meng-
andaikan bahwa realitas sosial merupakan suatu kontinum
yang bergerak menuju suatu titik tertentu, bisa dari mikro ke
makro atau dari makro ke mikro. Dalam kaitan ini karya Abra-
ham Edel (1959), George Gurvitch (1964), Bosserman (1968),
dan Smelser (1977) merupakan karya-karya yang dirujuk Rit-
zer untuk membangun eksemplar paradigma integratifnya.
Karya-karya lain tentang penggunaan paradigma integratif
ditunjukkan oleh Coleman (1986, 1987) yang mengguna-
kan analisis Mikro-Makro dan karya Allen Liska (1990) ten-
tan­g Makro-Mikro. Namun kedua pendekatan tersebut oleh
Antho­ny Giddens (1984) dinilai kurang memadai.
Giddens kemudian mengusulkan paradigma integratif
yang berbeda dari model analisis Mikro-Makro dan Makro-
Mikro. Giddens melihat analisis sosiologi maupun sejarah se-
lalu menyangkut perhubungan antara tindakan agen dengan
struktur, meski tak berarti bahwa struktur “menentukan” tin-
dakan agen atau sebaliknya (Ritzer dan Goodman, 2004: 507).
Tujuan teori integrasi agen-struktur yang kemudian dinamai
“teori strukturasi” Giddens adalah untuk menjelaskan dialek-
tika dan saling memengaruhi antara agen dan struktur. Agen
dan struktur tidak dapat dipahami dalam keadaan saling ter-
pisah satu sama lain, agen dan struktur adalah dwi-rangkap
ibarat dua sisi mata uang. Seluruh tindakan sosial memerlu-
kan struktur dan seluruh struktur memerlukan tindakan sosi-
al. (Ritzer dan Goodman, 2004: 508).
Teori strukturasi boleh jadi merupakan contoh paradig-

15
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

ma integratif paling maju di jajaran teori-teori sosial modern.


Namun demikian tidak ada klaim kebenaran yang adekuat.
Benar saja apa yang dikatakan Sanderson (2011: 18), bahwa
“masing-masing pendekatan memberikan pemahaman ter-
hadap realitas yang valid secara parsial, dan apabila pende-
katan-pendekatan yang ada dikombinasi, maka pemahaman
yang lebih lengkap akan tercapai.” Atas argumen itu, maka
sebuah analisis dalam penelitian hendaknya tidak kaku kare-
na fenomena yang diteliti bukanlah hitam-putih. Seorang pe-
neliti harus berani membuka diri untuk tidak terkungkung di
dalam satu cara pandang terhadap realitas sosial. Sebab “ting-
katan realitas sosial” yang diteliti merupakan kesatuan sosial
yang kompleks dan saling berhubungan, sehingga akan lebih
memadai jika analisis dialektik-eklektif dilakukan.
Sebagai konsekuensinya, sangatlah mungkin sebuah pe-
nelitian akan melahirkan paradigma baru (selain teori baru
tentunya). Memang peneliti harus berani menciptakan suatu
paradigma baru jika kompleksitas fenomena yang ditemu-
kan dalam penelitian menuntut demikian. Seperti dikatakan
Kuhn (2008: 52-53) ketika berbicara tentang anomali dan
munculnya penemuan sains, bahwa “...riset yang mengikuti
paradigma harus merupakan cara yang betul-betul efektif un-
tuk mendorong perubahan paradigma... penemuan diawali
dari kesadaran akan anomali, yakni dengan pengakuan bah-
wa alam, (penulis tambahkan, realitas sosial) telah berjalan
di luar dari paradigma yang menguasai sains yang normal.”
Suatu paradigma dan juga teori bukanlah diktum yang mati,
melainkan senyawa yang hidup dan dapat berdialog dengan
realitas sosial dalam kontinum pengetahuan sepanjang masa.

c. PENERAPAN METODE FENOMENOLOGI


Sebagai sebuah metode penelitian, fenomenologi akan
terasa cukup rumit bagi yang belum terbiasa bekerja di alam
filsafat. Para peneliti pada umumnya akan terkendala pada ba-

16
Bagian Pertama • FENOMENOLOGI SEBAGAI FILSAFAT DAN METODE ...

gaimana “membumikan” derajat filosofis kepada implemen­


tasi praktis metodologis. Sebab tidak bisa dipungkiri bahwa
alam pikiran filsafat fenomenologi yang sangat mengawang
harus ditransformasi ke alam pikiran praktis-metodologis. Ka-
rena di dalam dan dengan fenomenologi, peneliti akan mene-
lusuri dunia nyata fenomena yang being tanpa prasangka dan
pada saat yang sama peneliti harus mampu membuat tipifikasi
atau penggambaran mental keseharian subjek. Tipifikasi dila-
kukan dengan mengolah fakta, data, dan informasi ke dalam
deskripsi tekstural dan struktural melalui reduksi transenden-
tal hingga sampai kepada kesadaran transendental. Inilah yang
saya maksud dengan membumikan derajat filosofis filsafat fe-
nomenologi yang sangat tinggi ke tataran praktis-metodologis.
Fenomenologi sosiologi konsen pada cara aktor mengin-
terpretasi dunia sosialnya dengan membentuk sense-data ke
dalam tipifikasi atau penggambaran mental (Waters, 1994: 8).
Maka metode verstehen adalah tepat sebagai pintu masuk (ac-
cess point) peneliti untuk memasuki dunia fenomena meng-
ungkap kebenaran makna yang terselubung, sehingga feno-
mena nampak sejernih-jernihnya.
Dalam ruang terbatas ini, penulis akan coba mengons-
truksi metode fenomenologi Husserlian yang sangat filosofis
menjadi metode yang teknis-aplikatif (tentu bukan bermak-
sud mendistorsi). Dan dalam beberapa hal juga akan me-
ngonvergensi dengan fenomenologi Schutzian, terutama kon-
sepnya mengenai “ada” sebagai pintu masuk (access point) ke
makna-makna intersubjektif, sehingga menjadi metode yang
bernada Husserlian-Schutzian. Lalu secara teknis-aplikatif,
penulis akan menurunkan derajat filosofis ke derajat teknis-
aplikatif dengan mengadopsi Moustakas (1994) terutama ten-
tang cara dia membangun deskripsi tekstural dan struktural.
Cara berpikir ini sekilas terkesan reduksionis, tetapi metode
menggapai kebenaran secara fenomenologis memang harus-
lah dilalui dengan keberanian melakukan transformasi meto-
dik seperti itu.

17
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

Dengan ikhtiar tersebut penulis berharap para pembaca


sekaligus peminat motode fenomenologi memperoleh gam-
baran aplikatif bagaimana cara menggapai kebenaran yang
maknawi: merasakan jadi bagian dari fenomena, menyadari
keberadaan fenomena, memotret dan mengonstruksi nara-
si fenomena yang dirasakan, diamati, dan diteliti. Dan yang
tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menyajikan hasil
penelitian fenomenologis dalam bentuk narasi yang hidup,
metaforis, dan menumental.
Berikut adalah langkah-langkah metodis Husserlian-
Schutzian yang penulis mix dan rekonstruksi:
1. Peneliti harus bertendensi untuk mengungkap makna
intersubjektif suatu fenomena yang “being.” Karena di
dalam “being” itu terdapat makna yang tampak dari per-
gumulan pengalaman antar subjek. Karena makna tidak
dapat dipisahkan dari subjektivitas dan dari inter subjek-
tivitas6 yang mencapai kesatuannya melalui konvergensi
pengalaman masa lampau dan pengalaman masa kini
para subjek. Jadi makna intersubjektif tidak lain ada-
lah makna yang disadari dan diproduksi bersama antar
subjek di dalam “being”dan di dalam lintasan ruang dan
waktu.
2. Di tengah situasi pergumulan makna semacam itu, pene-
liti masuk (tune in) dengan dorongan kuat untuk mencari
kebenaran ilmiah tanpa prasangka melalui apa yang oleh
Husserl disebut <epoche>,7 yaitu bahwa peneliti mem-be­
baskan diri dari/dan menyingkirkan pengandaian-peng­
andaian serta rekayasa pikiran untuk membentuk pe-
ngetahuan, ke dalam tanda kurung (Einklammern atau
bracketing), tetapi berusaha mengeksplorasi fenomena
yang mengada dari sendirinya secara terang benderang
tanpa ada distorsi dan pengaburan oleh peneliti.
6
Sanggahan Marleau-Ponty terhadap Rasionalitas Husserl. Lihat: Kees Bertens, Fenomenologi
Eksistensial (Seri Filsafat Atma Jaya 6) (Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 2006), hlm. 52.
7
Kata“Epoche” berasal dari bahasa Yunani yang berarti penundaan atau penghentian.

18
Bagian Pertama • FENOMENOLOGI SEBAGAI FILSAFAT DAN METODE ...

3. Peneliti harus mampu mendeskripsi secara fenomeno-


logis melalui tiga fase sebagaimana penafsiran Spiegel-
berg (Misiax dan Sexton, 2005: 7) terhadap Husserl, yaitu:
mengintuisi, menganalisis, dan menjabarkan. Mengintu-
isi berarti peneliti mengonsentrasikan secara intens atau
merenungkan fenomena; menganalisis berarti menemu-
kan berbagai unsur atau bagian-bagian pokok dari feno-
mena dan pertaliannya; sedangkan menjabarkan adalah
menguraikan fenomena yang telah diintuisi dan dianali-
sis, sehingga fenomena itu bisa dipahami oleh orang lain.
4. Peneliti harus mampu melakukan reduksi fenomenolo-
gis; yaitu menyaring pengalaman subjek, sehingga yang
tampak hanyalah fenomena yang semurni-murninya
supaya fenomena mewujud terang benderang. Sebagai-
mana diktum Husserl “Nach den Sachen selbst,” kembali
pada halnya sendiri (Driyarkara, 2006: 1323).
5. Setelah kembali pada halnya (esensinya) sendiri, pada ta-
hapan berikutnya peneliti melakukan ideation atau mem-
buat idea melalui proses reduksi eidetic. Dengan reduksi
eidetic dimaksudkan bahwa subjek peneliti ingin sampai
kepada eidos-nya, yaitu hakikat yang diteliti sampai yang
sejatinya, atau sampai Wessen-nya kata Husserl. Artinya
di sini kita melihat hakikat yang niscaya dari sesuatu yang
diteliti. (Driyarkara, ibid).
6. Di tengah keniscayaan esensi fenomena (Wessen-nya)
peneliti melakukan reduksi transendental dalam rangka
memperoleh kesadaran transendental. Menurut Husse-
rl di depan kesadaran transendental itu dunia terentang
dengan kejernihan tanpa kegelapan apa pun, sehingga
dunia dijiwai sepenuhnya oleh serangkaian apersepsi
(apperzeption) yang menjadi tugas peneliti untuk mere-
konstruksinya dengan berpangkal pada tujuan penelitian
yang hendak dicapai.8

8
Apersepsi menjiwai pengindraan. Jika dalam persepsi orang mempunyai pengindraan-

19
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

Melalui beberapa langkah metodologis Husserlian-Schut­


zian tersebut maka cara menggapai kebenaran ilmiah, atau
lebih jauh lagi, metode penciptaan ilmu pengetahuan ba­ru,
sesungguhnya mengalami purifikasi yang sangat menda­sar.
Karena cara memperoleh kebenaran dilakukan tanpa pra-
sangka, dengan cara kembali kepada fenomenanya sendiri se-
jernih-jernihnya, hingga fenomena mengada sebagai dirinya
sendiri.
Dengan cara pandang fenomenologis, maka penelitian
diharapkan: (1) mampu menggali because motive dan in or-
der to motive dari fenomena; (2) berhati-hati dalam mengons-
truksi makna-makna dari fenomena yang diamati, konstruksi
makna realitas harus dilakukan setelah melalui proses reduk-
si. Dengan reduksi, ada upaya menunda proses penyimpulan
dari setiap prasangka terhadap realitas, sehingga makna-mak-
na yang terkonstruksi dalam pemahaman adalah benar-benar
jernih; (3) mampu menggali dunia subjektif yang unik, aktif,
dan khas secara interpretatif; (4) mampu menyajikan makna-
makna yang berkembang di luar makna umum; (5) mampu
membangun dialektika antara individu dan lingkungan, hing-
ga mencapai keseimbangan dalam memahami fenomena so-
sial; (6) mampu memahami aktivitas manusia sebagai sesuatu
yang bermakna bagi aktor dalam masyarakat.
Beberapa sifat dasar penelitian kualitatif yang relevan de-
ngan metode fenomenologi adalah sebagai berikut:
1. Menggali nilai-nilai dalam pengalaman dan kehidupan
manusia.
2. Fokus penelitian adalah pada keseluruhan, bukan pada
per bagian yang membentuk keseluruhan itu.
3. Tujuan penelitian adalah menemukan makna dan haki-
kat dari pengalaman, bukan sekadar mencari penjelasan

pengindraan, maka dalam apersepsi orang mengetahuai bahwa ia mempunyai pengindraan-


pengeindraan (sadar bahwa ia tahu). Melalui persepsi, pengindraan itu ‘ada’, tetapi dalam
apersepsi ia mendapat maknanya (Bertens, 2006: 35). Inilah bentuk pengetahuan tertinggi
menurut Al-Ghazali.

20
Bagian Pertama • FENOMENOLOGI SEBAGAI FILSAFAT DAN METODE ...

dan mencari ukuran-ukuran dari realitas.


4. Memperoleh gambaran kehidupan dari sudut pandang
orang pertama melalu wawancara mendalam, baik for-
mal maupun informal.
5. Data yang diperoleh adalah dasar bagi pengetahuan ilmi-
ah untuk memahami perilaku manusia.
6. Pertanyaan yang dibuat merefleksikan kepentingan, ke-
terlibatan, dan komitmen pribadi dari peneliti.
7. Melihat pengalaman dan perilaku sebagai satu kesatu-
an yang tidak dapat dipisahkan, baik itu kesatuan antara
subjek dan objek, maupun antara bagian dan keseluruh-
annya (Koeswara, 2009: 36-37).
Sifat-sifat penelitian kualitatif tersebut akan sejalan de-
ngan ciri-ciri penelitian fenomenologi berikut ini:
1. Fokus pada sesuatu yang nampak, kembali kepada yang
sebanarnya (esensi), keluar dari rutinitas, dan keluar dari
apa yang diyakini sebagai kebenaran dan kebiasaan da-
lam kehidupan sehari-hari.
2. Fenomenologi tertarik dengan keseluruhan, dengan
meng­amati entitas dari berbagai perspektif sampai dida-
pat pandangan yang esensi dari pengalaman atau feno­
me­na yang diamati.
3. Fenomenologi mencari makna dan hakikat dari penam-
pakan, dengan intuisi dan refleksi dalam tindakan sa-
dar melalui pengalaman. Makna ini yang pada akhirnya
membawa kepada ide, konsep, penilaian, dan pemaham-
an yang hakiki.
4. Fenomenologi mendeskripsikan pengalaman, bukan
men­ jelaskan atau menganalisisnya. Sebuah deskripsi
fe­
nomenologi akan sangat dekat dengan kealamiahan
(teks­tur, kualitas, dan sifat-sifat penunjang) dari sesuatu.
Se­hingga deskripsi akan mempertahankan fenomena itu
apa adanya, dan menonjolkan sifat alamiah dan makna di
baliknya. Selain itu, deskripsi juga akan membuat feno-

21
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

mena “hidup” dalam terma yang akurat dan lengkap. De-


ngan kata lain, sama hidupnya antara yang tampak dalam
kesadaran dengan yang tampak oleh pancaindra.
5. Fenonomenologi berakar pada pertanyaan-pertanyaan
yang langsung berhubungan dengan makna dari fenome-
na yang diamati. Dengan demikian, peneliti fenomenolo-
gi akan sangat dekat dengan fenomena yang diamati.
6. Integrasi dari sebuah subjek dan objek. Persepsi peneli-
ti akan sama dengan apa yang dilihat dan didengarnya.
Pengalaman tentang suatu tindakan akan membuat ob-
jek menjadi subjek, dan subjek menjadi objek.
7. Investigasi yang dilakukan dalam kerangka intersubjek-
tif, realitas adalah satu bagian dari proses secara keselu­
ruhan.
8. Data yang diperoleh (melalui berpikir, intuisi, refleksi,
dan penilaian) menjadi bukti-bukti utama dalam peneli-
tian ilmiah.
9. Pertanyaan-pertanyaan penelitian harus dirumuskan de-
ngan sangat hati-hati. Setiap kata harus dipilih, di mana
kata yang terpilih adalah kata paling utama, sehingga
dapat menunjukkan makna yang utama pula. (ibid, hlm.
­37-38).

Alfred Schutz adalah filsuf pertama yang disebut-sebut


menggunakan fenomenologi dalam penelitian ilmu sosial. Dia
mengatakan bahwa objek penelitian ilmu sosial pada dasarnya
adalah berhubungan dengan interpretasi terhadap realitas.
Jadi sebagai peneliti sosial, kita pun harus membuat interpre-
tasi terhadap realitas yang diamati. Orang-orang saling terikat
satu sama lain ketika membuat interpretasi ini. Tugas peneliti
ilmu sosial-lah untuk menjelaskan secara ilmiah proses ini.
Menurut Orleans, fenomenologi secara mendasar digu-
nakan dalam dua hal penting dalam ilmu sosial: (1) untuk
menteorikan masalah sosiologi yang substansial; (2) untuk
meningkatkan kecukupan metode penelitian sosiologis. Se-

22
Bagian Pertama • FENOMENOLOGI SEBAGAI FILSAFAT DAN METODE ...

mentara Collins mengatakan, metode fenomenologi dapat


digunakan untuk mengungkapkan objek secara meyakinkan,
meskipun objek itu berupa objek kognitif maupun tindakan
dan ucapan. Fenomenologi dirasa tepat untuk melakukannya,
karena segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia selalu
melibatkan proses mental Koeswara (2009: 47). Demikianlah
fenomenologi dapat diterapkan pada semua aspek kehidupan
manusia.

D. TAHAPAN-TAHAPAN DALAM PENELITIAN FENOMENOLOGIS


Penelitian fenomenologi pada dasarnya berprinsip a pri-
ori, tidak didasari oleh teori tertentu. Peneliti justru berangkat
dari perspektif filsafat, mengenai apa yang diamati dan bagai-
mana cara mengamatinya. Adapun premis-premis dasar yang
digunakan dalam penelitian fenomenologis adalah sebagai
berikut: (1) sebuah peristiwa akan berarti bagi mereka yang
mengalaminya secara langsung; (2) pemahaman objektif di-
mediasi oleh pengamatan subjektif; (3) pengalaman manusia
terdapat dalam struktur pengalaman itu sendiri, tidak dikon-
struksi oleh peneliti (Koeswara, 2009: 58).

1. Tahap Perencanaan Penelitian


Perencanaan penelitian diawali dari penyusunan propo-
sal penelitian yang menggambarkan adanya latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat pene-
litian, sigifikansi penelitian, konseptualisasi, paradigma pene-
litian, dan metode penelitian. Dalam rangka itu, (Koeswara,
2009: 58-63) mengutip beberapa sumber, memberikan lang-
kah-langkah sebagai berikut:
a. Membuat daftar pertanyaan, menurut Moustakas (1984)
dalam Creswell, harus memenuhi syarat berikut: (1)
struktur makna yang mungkin dari peristiwa yang dia-
mati; (2) tema-tema dan konteks yang bermakna dari
peristiwa yang diamati; (3) struktur universal mengenai

23
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

perasaan dan pemahaman informan terhadap peristiwa;


(4) tema-tema struktur invariant (unit-unit makna) yang
memfasilitasi penjelasan peristiwa.
b. Menjelaskan latar belakang penelitian yang menggam-
barkan ketertarikan peneliti pada permasalahan peneliti-
an agar peneliti lebih fokus pada inti penelitian dan tidak
bias.
c. Memilih informan yang tepat, yaitu: (1) terlibat langsung
dengan fenomena yang diteliti; (2) mampu menggam-
barkan kembali fenomena yang dialaminya; (3) bersedia
diwawancarai dan terlibat dalam proses penelitian; (4)
menyetujui makna-makna instersubjektif atas fenomena
yang disusun peneliti.
d. Telaah dokumen, yang menurut Cooper (1989) ada em-
pat jenis atau cara: (1) tinjauan integratif, yaitu tinjauan
literatur yang berhubungan dengan topik penelitian; (2)
tinjauan teori; (3) tinjauan metodologi; (4) tinjauan tema-
tik, yaitu tinjauan terhadap tema-tema inti tentang feno-
menologi yang pernah ada sebelumnya.

2. Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data dalam penelitian fenomeno-
logi berfokus pada interviu mendalam (in-depth interviews)
dan narasi (narratives) sebagai metode-metode kunci untuk
membuat deskripsi dari pengalaman-pengalaman yang dila-
lui dalam hidup. Selain mendeskripsikan lifeworld, juga pen-
ting untuk mengumpulkan data melalui metode dokumentasi
(documentary methods) atau metode visual (visual methods).
Apa pun metode pengumpulan data yang digunakan, peneli-
ti fenomenologi menjadi seorang mediator antara pendapat
(voices) dan pengalaman informan serta masyarakat luas yang
terlibat (Bloor & Wood, 2006: 128).
Kegiatan pengumpulan data yang utama pada penelitian
fenomenologi adalah wawancara mendalam atau wawancara
kualitatif. Karena dengan metode inilah esensi dari fenomena

24
Bagian Pertama • FENOMENOLOGI SEBAGAI FILSAFAT DAN METODE ...

yang diamati dapat diceritakan dari sudut pandang orang per-


tama (orang yang mengalaminya langsung). Menurut Cres-
well (2007), teknik pengumplan data dalam penelitian feno-
menologi adalah: (a) wawancara mendalam; (b) refleksi diri;
dan (3) gambaran realitas di luar konteks penelitian.
Berikut pedoman dari Creswell yang kiranya penting un-
tuk dikutip di sini:

Yang diamati Beberapa individu yang pernah mengalami


fenomena.
Akses data Menemukan individu yang pernah mengalami
fenomena.
Strategi penentuan Menemukan informan yang benar-benar
informan pernah mengalami fenomena yang diamati.
Bentuk data Wawancara dengan informan sampai 10 orang
(menurut penulis lain tidak mutlak).
Proses perekaman data Wawancara mendalam dalam jangka waktu
lama.
Isu lapangan Menempatkan fenomena yang dialami
informan dalam tanda kurung. (tentunya
fenomena yang tidak sesuai dengan fokus
amatan, penulis).
Penyimpanan data Transkrip wawancara dan file kompuer.
Sumber: Koeswara (2009: 55).

Wawancara pada penelitian fenomenologi biasanya di-


lakukan secara informal, interaktif, dan melalui pertanyaan
dan jawaban yang terbuka. Walaupun pada awalnya peneliti
sudah mempersiapkan daftar pertanyaan, pada pelaksanaan-
nya tidak kaku mengikuti daftar pertanyaan yang telah dibuat,
sehingga wawancara mengalir sesuai dengan respons dan ja-
waban subjek. Hal terpenting dalam wawancara adalah dapat
menggali data sedalam-dalamnya.
Beberapa jenis pertanyaan yang akan membantu mem-
berikan penjelasan fenomenologis adalah: (1) peristiwa apa
dan siapa aktor yang terlibat; (2) bagaimana peristiwa itu me-
mengaruhi subjek; (3) bagaimana peristiwa yang dialami sub-

25
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

jek memengaruhi orang lain di sekitarnya; (4) apa perasaan


yang muncul dalam peristiwa itu; (5) apa yang dipikirkan sub-
jek dengan peristiwa yang dialaminya; dan (6) apa perubahan
dan keadaan yang diingat subjek ketika mengalami peristi­wa
itu?

3. Tahap Analisis Data


Di kalangan para ahli metode fenomenologi terdapat be-
berapa varian dalam tahap analisis data. Creswell (2007: 77-
78) mengidentifikasi dua di antaranya, yaitu metode yang di-
gunakan Polkinghorne (1989) dan Moustakas (1994). Ada pun
metode Moustakas dapat diekstraksi (diperas) dan diperjelas
dalam alur pada Gambar 1.1
Dari Gambar 1.1 alur kerja analisis data dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Data-data yang sudah terkumpul dikelompokkan sesuai
dengan sub-sub tema penelitian atau sesuai permasalah-
an yang telah dirumuskan. Pada tahap ini peneliti mem-
buat daftar pertanyaan berikut jawaban yang relevan de-
ngan permasalahan yang diteliti.
b. Reduksi dan eliminasi data. Pada tahap ini peneliti meng-
uji data dengan cara epoche, yaitu mengosongkan tenden-
si untuk tidak “asal” memperoleh data sebanyak-banyak-
nya, tetapi harus selektif memilih data yang benar-benar
sesuai dengan fenomena yang dibidik, sehingga data
yang tidak penting akan dikurung dulu masuk bracketing;
sedangkan data yang penting akan diproses lebih lanjut.
c. Memberi tema-tema data yang sudah mulai nampak ei-
dos-nya, yaitu invariant constitute yang tersisa dari proses
eliminasi data untuk selanjutnya ditematisasi (dinamai)
sesuai dengan pokok permasalahan penelitian.
d. Identifikasi data, yaitu memilah data yang telah memi-
liki eidos-eidos untuk divalidasi. Apakah data yang telah
nampak eidos-nya dinyatakan secara eksplisit oleh sub-
jek? Dan apakah cocok dengan permasalahan penelitian

26
Bagian Pertama • FENOMENOLOGI SEBAGAI FILSAFAT DAN METODE ...

Membuat daftar dan


pengelompokan data
yang telah diperoleh

Reduksi dan eliminasi data; apakah


data mengandung aspek penting
untuk memahami fenomena

Penting?
Tidak
Ya
Reduksi
Memberi tema-tema data yang tidak
Fenome- tereliminasi sesuai kelompok data
nologis yang menggambarkan tema-tema inti
penelitian Ephoce

Identifikasi data; apakah data cocok


dengan tema penelitian
Bracketing
Deskripsi
Cocok?
Fenome- Tidak
nologis Reduksi eidetic Ya

Mengonstruk deskripsi tekstural dari


masing-masing informan; apakah
berguna bagi penelitian selanjutnya

Berguna?
Tidak
Ya
Membuat deskripsi struktural;
Reduksi menggabungkan deskripsi tekstural
Transen- dengan mengintuisi fenomena
dental

Membuat sintesa data yang


menjawab semua masalah penelitian

Gambar 1.1 Alur Kerja Analisis Data


Sumber: Abdul Main (2016: 142).

27
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

dan tematisasi atau penamaan data sebelumnya? Jika


terdapat data yang tumpang-tindih dan tidak cocok de-
ngan permasalahan penelitian, maka akan dikurung dulu
di bracketing; sedangkan data yang cocok akan diproses
lebih lanjut.
e. Mengonstruk deskripsi tekstural dari masing-masing in-
forman; yaitu membahasakan ulang tanpa mengurangi
esensi dari apa yang telah dinyatakan oleh subjek. Data
hasil deskripsi tekstural tersebut kemudian dipilah lagi,
apakah berguna bagi penelitian selanjutnya; jika tidak
berguna maka di-einklamerung masuk bracketing; se-
dangkan data yang berguna akan diproses labih lanjut.
f. Membuat deskripsi struktural, yaitu menggabungkan
deskripsi tekstural dengan data-data yang diperoleh dari
mengintuisi fenomena melalui reduksi transendental.
Maka sampailah peneliti kepada kesadaran transenden-
tal, di mana telah nampak terang data dari fenomena dan
cocok dengan permasalahan penelitian.
g. Membuat sintesa data dan menjawab semua permasalah­
an penelitian, yaitu merekonstruksi makna-makna dan
esensi-esensi fenomena yang merepresentasikan semua
permasalahan penelitian.

4. Teknik Validasi Data


Pada dasarnya tidak ada satu teknik tunggal yang disepa-
kati para penulis metode fenomenologi. Tetapi secara prinsi-
piel berbagai teknik yang ada menunjukkan kesamaan tuju-
an, bahwa validasi data bertujuan untuk mencapai data yang
terjaga kevalidan dan keandalannya supaya hasil penelitian
dapat dipakai untuk menjelaskan fenomena lain yang serupa.
Berikut adalah teknik validasi data dalam penelitian fenome-
nologi:

28
Bagian Pertama • FENOMENOLOGI SEBAGAI FILSAFAT DAN METODE ...

Refleksi terhadap makna dari peristiwa yang


diamati (kembali ke reduksi transendental)

Apakah ada unsur


Ya emosi peneliti?

Meminta pendapat dari peneliti Meminta pendapat dari


lain yang polanya mirip (Dukes, informan (Dukes,[ 1984];
[1984]; Koeswara, [2009]) Koeswara, [2009])

Analisis rasional, apakah pola penjelasan sudah


logis? Apakah bisa digunakan untuk pola penjelasan
yang lain? (Dukes, 1984). Membangun validitas
intersubjektif (Koeswara, 2007).

Logis
Tidak
Ya

Rumuskan implikasi teoretis

Gambar 1.2 Proses Validasi Data


Sumber: Abdul Main (2016: 145).

Berdasarkan Gambar 1.2 di atas, proses validasi data dapat


dijelaskan sebagai berikut:
a. Peneliti pertama-tama harus melakukan refleksi terhadap
makna-makna yang ditangkap dari fenomena yang telah
disintesa. Pada langkah ini boleh jadi peneliti harus tetap
melakukan reduksi transendental bersamaan proses sin-
tesa data. Jika dalam proses sintesa terdapat unsur emosi
peneliti, yang berarti bahwa fenomena yang dideskripsi-
kan tidak “Wessen”, maka mengulangi refleksi lagi sampai

29
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

ditemukan hasil sintesa yang benar-benar maknawi yang


hakiki dari fenomena. Sebaliknya, jika proses refleksi te­
lah menemukan “meaning” yang maknawi dan hakiki
ma­ka dapat dilanjutkan ke proses berikutnya.
b. Meminta pendapat dari kolega atau peneliti lain (peer re-
viewer) yang konsen terhadap permasalahan penelitian,
kepada dosen, dan kepada informan untuk memperolah
kemantapan bahwa makna-makna yang telah dikonstruk­
si peneliti adalah benar.
c. Analisis rasional, yaitu menelaah apakah deskripsi feno-
menologis dari makna-makna intersubjektif secara kese-
luruhan sudah logis atau belum. Jika belum logis maka
dilakukan analisis rasional ulang sampai diperoleh des-
kripsi fenomenologis yang “fixed”, sebaliknya jika des-
kripsi makna-makna fenomenologis sudah logis maka
disusunlah rumusan implikasi teoretis.
Demikianlah prosedur dan tahapan-tahapan dalam pe-
nelitian fenomenologis. Secara umum prinsip-prinisp meto-
dologis-fenomenologis telah memberikan landasan kompre-
hensif tentang cara menggapai kebenaran fenomena. Tidak
ada claim kebenaran tunggal tentang cara menggapai kebe-
naran fenomana. Yang ada malah perbedaan. Perbedaan, se-
jauh menyangkut “cara, metode, dan paradigma” adalah sah.
Justru di sinilah pangkal tolak perdebatan ilmuwan sepanjang
zaman: sejak awali hingga kini; mulai dari ilmuwan yang men-
dewakan “positivisme” sampai yang “naturalisme-konstrukti-
visme”; dari mereka yang menjunjung tinggi metode kuantita-
tif sampai yang kualitatif. Dalam cara berpikir paradigmatik,
perbedaan adalah niscaya, sama niscayanya dengan kebenar-
an fenomena itu sendiri.

30
Bagian Pertama • FENOMENOLOGI SEBAGAI FILSAFAT DAN METODE ...

DAFTAR BACAAN
Afandi, Abdullah Khozin. 2007. Fenomenologi: Pemahaman
terhadap pikiran-pikiran Edmund Husserl. Surabaya: El-
Kaf.
Bertens, K. 2006. Fenomenologi Eksistensial (Seri Filsafat Atma
Jaya: 8). Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya.
-------. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Ja-
karta: Gramedia Pustaka Utama.
Bloor, Michael & Wood, Fiona 2006. Keywords in Qualitati-
ve Methods: A Vocabualry of Reseacrh Concepts. London:
Sage.
Creswell, John W. 2007. Qualitatif Inquiry and Research Desig-
ne: Chosing Among Five Approaches. London: Sage Publi-
cation.
Driyarkara. 2006. Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai filsafat
pemikian yang terlibat penuh dalam perjuangan bangsa;
Penyunting, A. Sudiarja, et.al., Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Flaherty, Michael G. 2012. “Fenomenologi” dalam Teori Sosial
dari Klasik sampai Postmodern; editor, Bryan S. Turner.
Yogyakarya: Pustaka Pelajar. hlm. 360-89.
Giddens, Anthony. 2003. The Constitution of Society: Teori
Strukturasi untuk Analisis Sosial. Pasuruan: Pedati.
-------. 2010. Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan
Struk­tur Sosial Masyarakat; Penerjemah, Maufur dan
Daryatno. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat, Yogya-
karta: Kanisius.
Koeswara, E. 2009. Metode penelitian komunikasi Fenomeno-
logi: konsepsi, pedoman dan contoh penelitiannya. Ban-
dung: Widya Padjadjara.
Kuper, Adam and Kuper, J., ed., The Social Science Encyclope-
dia. London: Routledge & Kegan Paul, 1985, hlm. 587.
Kuhn, Thomas S. 2008. The Structure of Scientific Revolution

31
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

= Peran Paradigma dalam Revolusi Sains; Penerjemah,


Tjun Surjaman, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet, ke-6.
Main, Abdul. 2016. “Praktik Gratifikasi dalam Pelayanan Ni-
kah di Kantor Urusan Agama (KUA) Kota Surabaya: Studi
Perspektif Teori Strukturasi”. Disertasi Universitas Air-
langga, Surabaya.
Marcuse, Herbert. 2004. Rasio dan Revolusi: Menyuguhkan
kembali Doktrin Hegel untuk Umum; Penerjemah, Imam
Baehaqie. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Misiak, Henryk dan Sexton, Virginia Staudt. 2005. Psikologi
fenomenologi Eksistenaial dan humanistik: suatu survey
historis; Penerjemah, E. Koeswara. Bandung: Refika Adi-
tama.
Moustakas C. 1994. Phenomenological Research Methods.,
Thounsand Oaks, CA: Sage Publication.
Outhwaite, William, ed., 2008. Kamus Lengkap Pemikiran So-
sial Modern (edisi kedua); Tri Wibowo B.S., Jakarta: Ken-
cana.
Riyanto, E. Armada. 2009. Politik, Sejarah, Identitas, Post-
modernitas: Rivalitas dan Harmonitasnya di Indonesia
(Sketsa-filosofis-fenomenologis). Malang: Widya Sasana
Publication.
Ritzer, George & Goodman, D.G. 2011. Teori Sosiologi; Pener-
jemah, Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, Cet. Ke-6.
Ritzer, George dan Goodman, D.J. 2004. Teori Sosiologi Mo-
dern, ed. Ke-6; Penerjemah, Alimandan. Jakarta: Prenada
Media.
Russel, Bertran. 2002. Sejarah filsafat Barat: Kaitannya dengan
kondisi sosio-politik zaman kuno hingga sekarang; Pener-
jemah, Sigit Jatmiko, et.al., Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sanderson, Stephen K. 2011. Makrososiologi: Sebuah Pen-
dekatan terhadap Realitas Sosiologi; Penerjemah, Farid
Wajidi dan S. Menno. Jakarta: Rajawali Pres.
Schutz, Alfred. 1967. The Phenomenolgy of the Social World.
George Walsh: Northwestern University Press.

32
Bagian Pertama • FENOMENOLOGI SEBAGAI FILSAFAT DAN METODE ...

Siahaan, Hotman M. 2010. “Kontekstualisasi Teoretis”, dalam


Bagong Suyanto dan Khusna Amala (ed.), Anatomi dan
Perkembangan Teori Sosial, Malang : Aditya Media Pub-
lishing.
Turner, Bryan S., ed. 2012. Teori Sosial dari Klasik sampai Pos-
tmodern; Penerjemah, E. Setiyawati A. dan Roh Shufiyati.
Yogyakarya: Pustaka Pelajar.
Waters, Malcolm. 1994. Modern Sociological Theory. London:
Sage Publication.

33
Bagian Kedua

FENOMENOLOGI PERDAMAIAN: Makna Damai


Menurut Eks-Kombatan Perang Ambon
Muhammad Farid
Dosen Sosiologi STKIP Hatta-Sjahrir, Banda Naira, Maluku Tengah
Email: mfarid01@yahoo.com

A. PENDAHULUAN
Ambon menerima isyarat damai pasca Malino II tahun
2002. John Gos (2000) dalam Understanding the Maluku Wars,
mengafirmasi hal itu, bahwa meski terdapat sejumlah peno-
lakan dari pihak-pihak bertikai, namun berbagai upaya yang
mendorong terciptanya rekonsiliasi dan rekonstruksi dari
warga sipil telah mengindikasikan kehidupan normal kemba-
li tampak di kota Ambon (Gos, 2000: 28, lihat juga Kompas,
2002; FKAWJ, 2002).
Di antara yang signifikan adalah suatu gerakan yang dike-
nal dengan sebutan Baku Bae1—gerakan yang telah muncul
sebelum peristiwa Malino, berisikan para inisiator yang me-

1
Baku Bae adalah istilah umum yang berarti “saling bermaaf-an”, atau “bermaaf-maafan
di antara sesama”.
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

lahir kan 11 point damai di Malino II2—dan berbagai upaya


berkelanjutan dari para aktivis LSM dalam menengahi per-
temuan antara dua pihak yang dulunya saling berlawanan.
Upaya-upaya ini dinilai turut memberikan harapan baru bagi
hidup bersama orang Maluku yang damai. Van Klinken (2007)
misalnya, mengafirmasi suksesnya kesepakatan Malino II da-
lam meminimalisir kekerasan di Ambon dan Maluku. Mes-
kipun Klinken tetap memberi signal bahwa rekonsiliasi yang
dibangun masih menyimpan potensi-potensi yang merisau-
kan akibat keengganan orang Maluku untuk jujur terhadap
kebenaran dibalik konflik tahun 1999. John Braithwaite, dkk.
(2010) dalam Anomie and Violence bahkan melihat harapan
besar bagi Ambon-Maluku yang diyakininya memiliki pros-
pek perdamaian untuk waktu yang lama (Braithwaite & Dunn,
2010:147-242).
Namun dalam pandangan Trijono (2009), daerah-daerah
yang mengalami konflik di masa transisi, seperti Maluku dan
lainnya, meski berangsung-angsur membaik, tetapi masih
menghadapi berbagai tantangan pembangunan perdamaian
yang bersumber bukan hanya karena belum teratasinya ma-
salah-masalah konflik di masa lalu, tetapi juga karena masih
rentannya kondisi perdamaian akibat belum efektif dan ma-
junya pembangunan perdamaian (Trijono, 2009: 49). Karena-
nya, Trijono (2009) mengusulkan dua langkah strategis untuk
mengatasinya, dengan tujuan agar konflik-kekerasan tidak
kembali muncul (relapsed), dan perdamaian berkelanjutan
bisa dicapai di daerah-daerah pasca-konflik. Pertama, diper-
lukan pemahaman atas konflik kekerasan terjadi selama ini,
baik dari segi pola maupun karakteristiknya, sehingga bisa
dicegah kemungkinan dan kecenderungan terjadinya konflik
kembali muncul ke permukaan. Kedua, upaya mengurangi

2
Sebelas point kesepakatan Malino II antara lain; mengembalikan supremasi hukum,
melindungi negara kesatuan, membangun kebebasan bergerak, menghilangkan organisasi
bersenjata, mengembalikan pengungsi ke rumah mereka, membangun kembali infrastruktur,
menjaga netralitas pasukan keamanan, dan merekonstruksi sebuah universitas yang terintegrasi.

36
Bagian Kedua • FENOMENOLOGI PERDAMAIAN: ...

potensi konflik agar tidak kembali muncul ke permukaan, di


satu sisi, dan meningkatkan kapasitas perdamaian yang ada,
di sisi lain (Trijono, 2009: 67).
Kerisauan para ahli tentang situasi rentan di Maluku pas-
ca Malino II pada akhirnya terjawab. Konflik kembali merebak
pada tahun 2004, 2010, 2011, 2012, dan baru-baru ini tahun
2015, meskipun dua yang terakhir terjadi di luar kota Ambon
dan lebih akibat faktor budaya dan adat. Patrick Barron dkk.,
(2012) dalam Seusai Perang Komunal, menunjukkan dua te-
muan penting dalam mencermati konflik-konflik susulan di
Maluku ini; pertama bahwa konflik susulan masih dimainkan
oleh para “pemain lama” atau mereka para alumnus kom-
batan tahun 1999. Dan kedua, eks-kombatan, di samping di-
motivasi oleh motif ideologis, sebagian juga bermotif materi.
Dan yang disebut belakangan pada umumnya adalah mereka
yang mendukung kekerasan lanjutan. Menurut Barron, kon-
flik-konflik susulan itu telah menjelma menjadi semacam ko-
moditi atau “penghasilan tambahan” bagi para eks-kombatan
tahun 1999. Mereka mencari keuntungan dibalik kekerasan
yang dilakukan, membuat upaya-upaya perdamaian yang di-
lakukan selama ini menemui kendala yang cukup serius (Bar-
ron dkk., 2012: 128-137).
Dari temuan-temuan penelitian sebelumnya, membukti-
kan bahwa persoalan damai di Maluku, khusus kota Ambon,
masih sangat relevan dan urgent untuk ditelaah. Apa yang di-
khawatirkan Trijono (2009) perihal “konflik-kekerasan yang
dapat kembali muncul” (relapsed), atau Barron (2012) dengan
“konflik sebagai matapencaharian baru”, juga Badrus Sho-
leh (2013) “kekerasan menyejarah”, sesungguhnya sedang
mengatakan sebuah warning yang serius bagi societas Malu-
ku dalam menjalani kehidupannya di masa-masa yang akan
datang. Maka urgensi penelitian ini dapat dipahami sebagai
sebuah telaah lanjutan atas temuan sebelumnya itu, mes-
ki dengan fokus pengamatan pada subjek mantan petarung
(eks-kombatan) tahun 1999.

37
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

B. DAMAI DALAM FRAME FENOMENOLOGIS


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “fenomena” diar-
tikan sebagai hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancain-
dra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah, seperti;
gejala alam; peristiwa luar biasa; keajaiban; fakta; kenyataan;
peristiwa yang tak terlupakan (lihat kbbi.web.id). Maka feno-
mena dipahami bukan sekadar apa yang tampak, tetapi juga
sesuatu yang “besar” dan “tak terlupakan.” Namun pengerti-
an ini justru mendapatkan kritik tajam dari para fenomeno-
log, yang berpandangan bahwa dalam fenomenologi tidak
ada peristiwa kecil yang tidak bermakna, di mana segala ce-
tusan hidup sehari-hari adalah yang utama dan fondasi mak-
na (Overgaard & Zahavi 1996).
Kenyataan hidup sehari-hari menjadi poin penting bagi
para punggawa fenomenologi. Edmund Husserl menyebut-
nya dengan lebenswelt, Alfred Schutz mengistilahkan dengan
the life-world, Erving Gofman dengan everyday life yang se-
mua itu merujuk pada arti “dunia sehari-hari” (lih. Duranti
2010; Overgaard & Zahavi 1996; Thompson 2005; Ritzer 1975).
Dan bagi Alfred Schutz (1967), “dunia sehari-hari” adalah du-
nia individu-individu yang hidup dalam kesadarannya, lewat
tindakan kognitif dan persepsinya, serta bagaimana mereka
berupaya memperoleh nilai atau dihargai secara estetis (Wil-
son, paper read). Schutz sangat menitikberatkan aspek indi-
vidu-individu dalam menjelaskan sebuah realitas sosial.
Maka, sebuah “fenomena” sesungguhnya tidak dapat di-
pahami hanya berada pada suatu lapisan peristiwa saja, atau
sebagai yang hanya tampak dipermukaan dan begitu luar bia-
sa, namun juga, sebagai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada
lapisan-lapisan lain yang lebih kecil, dari cerita-cerita ping-
giran, relasi-relasinya, peristiwa-peristiwa disekitarnya, ane-
ka informasi yang mengerumuninya, budaya dengan segala
cetusannya yang menjadi konteks hidup sehari-hari, penga-
laman sakit, sehat, cemas, duka, gembira, dan galau (Armada,

38
Bagian Kedua • FENOMENOLOGI PERDAMAIAN: ...

2009), yang boleh jadi sering terabaikan, namun begitu pen-


ting dan tidak kalah bermakna. Telaah atas fenomena damai
subjek eks-kombatan Ambon tentu saja merupakan sebuah
upaya massif dalam mengungkap persoalan damai di kota
Ambon pada ranah lapisan kedua ini, atau yang merujuk pada
narasi-narasi kecil dan yang terabaikan dari hidup sehari-hari
seorang subjek eks-kombatan.
Peristiwa damai di Malino II di Sulawesi Tengah adalah
contoh dari fenomena damai objektif bagi Maluku. Termasuk
di dalamnya berbagai upaya damai yang digagas pemerintah
maupun LSM/NGO di Maluku dalam rentang waktu sebelum
dan sesudah Malino itu. Sejumlah peristiwa besar sebelum
dan sesudah Malino II pada umumnya dibaca para ahli da-
lam ranah teori-teori, seperti teori “resolusi konflik” (confli-
ct resolution), teori peacekeeping, dan teori “pembangunan
perdamaian pasca-konflik” (peacebuilding post-conflict). Se-
perti misalnya, konsepsi Ball (1996) tentang “negosiasi” dan
“penandatanganan formal” misalnya, adalah relevan dengan
berbagai upaya perdamaian yang telah dilakukan di Maluku
pascakonflik tahun 1999, demikian dampak yang dirasakan
masyarakat Maluku. Gagasan resolusi konflik yang mengan-
dalkan upaya intervensi militeristik menjadi “realitas objektif”
karena merupakan suatu peristiwa massif, meliputi hampir
seluruh masyarakat Maluku. Di mana pemberlakuan status
darurat sipil, serta pengerahan pasukan militer di setiap su-
dut-sudut kota, demi untuk menjaga keamanan dan perda-
maian. Namun sejauh mana efektifitasnya menjadi pertanya-
an. Beberapa bahkan meragukan, bahwa upaya militeristik
dapat menjadi solusi perdamaian itu sendiri.
Dalam konteks Pembangunan Perdamaian Pasca-Konflik
(peacebuilding post-conlifct) fenomena seperti yang ditunjuk-
kan Goss (2000), perihal gerakan “Baku Bae” dan usaha berba-
gai LSM untuk membangun damai dalam menginisiasi berba-
gai pertemuan antara dua pihak yang berlawanan di berbagai
kesempatan adalah wujud konkretnya. Pertemuan-pertemu-

39
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

an itu sangat berdampak positif, yang kemudian dimasukkan


ke dalam kesepakatan Malino II pada tahun 2002. Juga inisiasi
yang dilakukan Go-East Institute Jakarta, bekerjasama dengan
Crisis Centre Keuskupan Amboina dan pemerintah daerah3
dalam menyelenggarakan simposium nasional. Ada juga NGO
seperti Mercy Corps bekerjasama dengan rekan-rekan lokal,
yang menyediakan kebutuhan darurat, dan memperkuat hu-
bungan antarmasyarakat melalui proyek swasembada kope-
rasi dan kegiatan pengembangan kapasitas masyarakat. Tidak
kalah pentingnya sebuah Gerakan Perempuan Peduli (GPP
Maluku) sebuah organisasi Kristen Ambon yang berkolabora-
si dengan aktivis perempuan Muslim Ambon dalam berbagai
kampanye perdamaian, kegiatan konseling trauma, dan pela-
tihan lokakarya untuk ibu dan remaja yang sangat rentan ter-
hadap provokasi (Gos, 2000: 32).
Namun berbagai program dan inisiasi warga memba-
ngun “damai” dikejutkan berulang kali dengan banyaknya
konflik-konflik susulan yang terus terjadi pada tahun-tahun
berikutnya. Beberapa yang signifikan terjadi pada tahun 2004
di mana konflik terjadi seteleh para simpatisan FKM-RMS
merayakan HUT RMS. Tahun 2010, terjadi antara dua warga
di desa Batu Merah yang menimbulkan korban jiwa dan har-
ta. Menyusul setelahnya pada September tahun 2011, berawal
dari kematian seorang tukang ojek, Darfin Saimen, sehingga
memicu konflik meluas di kota Ambon dan akhirnya menim-
bulkan korban luka-luka dan meninggal, juga pengungsian
massal. Adapun konflik pada tahun 2012 (di Desa Pelau), dan

3
Kerjasama kedua lembaga menyelenggarakan simposium di Kei Maret 2001, dengan
tema “Dialog Nasional Revitalisasi Budaya Lokal untuk Rehabilitasi dan Pembangunan di
Maluku menuju Indonesia Baru. Dihadiri oleh hampir 1.500 pemimpin regional, pertemuan
ini mengeluarkan seruan bagi para pemimpin tradisional atau Bapa Raja memainkan peran
instrumental dan menganjurkan “penggunaan tradisi lokal sebagai titik pertemuan untuk
mengakomodasi kepentingan kelompok yang berbeda di provinsi.” Meskipun pertemuan
itu berdampak terbatas di luar Maluku Tenggara karena kelemahan relatif tradisi tempat
lain, itu menyoroti potensi kontribusi lembaga adat dalam menghindari konflik dan mediasi
(Gos, 2000: 28).

40
Bagian Kedua • FENOMENOLOGI PERDAMAIAN: ...

baru-baru ini di tahun 2015 (antara desa Mamala dan Morela)


adalah terjadi desa-desa di luar kota Ambon dengan lebih di-
akibatkan faktor adat dan budaya setempat.
Sejumlah konflik susulan di atas membuat berbagai upa-
ya perdamaian yang dilakukan selama ini kembali dipertanya-
kan, dianggap tidak memberikan hasil signifikan, atau hanya
dipermukaan. Para ahli bahkan menilai kerja-kerja perdamai-
an yang dilakukan hanya sebatas formalitas belaka, yang tidak
menyentuh persoalan riil publik. Demikian juga halnya yang
dirasakan eks-kombatan Muslim. Beberapa di antara mereka
menganggap kegagalan kerja-kerja perdamaian oleh LSM/
NGO di Maluku adalah disebabkan akibat ketidakpahaman
pada persoalan riil konflik Ambon masa lalu. Juga pandangan-
pandangan stereotip terhadap para pelaku-pelaku perang
(eks-kombatan) yang umumnya dipahami sebagai individu
yang tidak mengenal perikemanusiaan, haus darah, atau bah-
kan hanya mengutamakan kepentingan ekonomis semata, se-
hingga pada akhirnya tidak mampu menyentuh pemahaman
yang memadai dari para pelaku sekaligus korban konflik itu.
Disinilah pentingnya memahami siapakah diri eks-kom-
batan? Bagaimana narasi hidupnya? Dan juga bagaimana re-
lasi yang dibangun bersama individu yang berbeda darinya?

C. EKS-KOMBATAN SEBAGAI SUBJEK


Memilih pelaku perang untuk “mengurusi” perkara da-
mai tentu memunculkan tanda tanya, apakah mungkin se­
orang yang dalam pikirannya tiada lain selain mengenal me-
nang dan kalah mampu mencetuskan damai bagi sesama?
Justru di sinilah tantangan sebuah penelitian fenomenologis.
Dengan mendasarkan pada ide Husserl tentang back to things
them selves atau “kembali pada benda-benda itu sendiri”,
perkara damai sepatutnya menjadi milik semua orang, tentu
saja termasuk milik pelaku perang. Penelitian dengan meng-
gunakan pendekatan fenomenologis ini memposisikan sebu-

41
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

ah kebenaran yang tidak dieksklusikan dari siapapun. Maka,


semua orang dapat mengajukan pengetahuan-pengetahuan
valid dengan, dan dalam pengalamannya.
Siapakah eks-kombatan? Jika merujuk pada beberapa
penelitian tentang eks-kombatan GAM, misalnya, beberapa
kriteria yang bisa dilekatkan pada seorang kombatan seperti;
seorang yang terdidik berperang; yang terlatih menggunakan
senjata; atau pasukan perang profesional atau prajurit. Dari
pengakuan Ari Muzakki (2014), seorang eks-GAM, diketahui
bahwa para kombatan adalah mereka yang benar-benar ter-
latih untuk melakukan pertempuran, menghadapi musuh
de­ngan strategi, bahkan siap untuk melawan pasukan mili-
ter resmi suatu negara sekalipun (lihat Muzakki, 2014 dalam
Kunci Pembinaan Eks-Kombatan). Maka ketika konflik dan
peperangan telah usai, para kombatan ini umumnya mem-
peroleh posisi istimewa, menjadi elit berkelas. Sementara bagi
yang tidak memperoleh keuntungan biasanya akan membuat
kegaduhan, menjadi pelaku kejahatan, atau terlibat dalam
tindakan-tindakan ilegal dengan bayaran yang secukupnya.
Laporan ICG tahun 2007 menunjukkan para eks-kombat-
an GAM pada umumnya masuk dalam jajaran elit Aceh dan
terlibat korupsi akut, juga dalang dibalik pemerasan, peram-
pokan, dan illegal loging. Sebagian yang telah kaya raya terus
menciptakan jaringan patronase yang menguntungkan bagi
lingkarannya untuk sejumlah kontrak kerja dan proyek (ICG,
oktober 2007)
Jika mengacu pada Barron dkk, maka pelaku perang Am-
bon dibagi menjadi, setidaknya, dua tipe; yaitu kombatan elit
dan kombatan non-elit. Barron mencermati figur kombat-
an Maluku dengan sangat baik, meskipun tampaknya lebih
memberi perhatian besar pada tipe pertama. Bahkan ketika
mengulas perihal “motivasi warga”, di mana kombatan non-
elit sebagai salah satu faktor penyebab konflik susulan pasca
Malino II, justru menunjukkan besarnya pengaruh elit terha-
dap non-elit, sehingga uraiannya tentang “motivasi” warga

42
Bagian Kedua • FENOMENOLOGI PERDAMAIAN: ...

tampak menjauh dari arti subjektif kombatan.


Menarik untuk mencermati Eks-kombatan tipe kedua
dari klasifikasi Barron di atas, yaitu kombatan tipe non-elit.
Dengan ciri-ciri yang tidak menonjol; berasal dari kalangan
biasa, bukan figur publik, juga bukan dari kalangan elit biro-
krat, apalagi yang terlatih secara militer, adalah alasan tepat
sebagaimana yang disebutkan oleh Schutz tentang jenis-jenis
ideal dari sumber informasi sosial, yang dia bagi ke dalam tiga
tipe “warga”, yaitu; the man on the street (warga awam), well-
informed (warga berpengetahuan), dan the expert (pakar).
Bagi Schutz, pengetahuan disosialisasikan dan didistribusi-
kan mengacu pada 3 jenis ini dan yang diterima apa adanya
oleh masing-masing nya, dengan mengacu pada sistem rele-
vansi nya. Ketiga tipe warga ini beroperasi sesuai dengan apa
yang relevan oleh nya, dengan ‘resep pengetahuan’ nya yang
cukup (lihat Wilson, 2002: 5).
Maka, upaya mengurai damai lewat narasi subjek eks-
kombatan bukan saja fenomenologis, namun juga sebuah
tantangan metodologis yang tidak ringan dalam sebuah pe-
nyelidikan ilmiah.

D. FENOMENA DAMAI EKS-KOMBATAN PERANG AMBON


1. Siapakah Eks-Kombatan?
Mencermati apa yang ditemukan Patrick Barron (2012)
perihal bekas-pejuang, tentu akan membuat siapa pun ragu
apakah perdamaian akan benar-benar hadir di bumi Malu-
ku, mengingat bahwa kedua kelompok petarung masih tetap
eksis di Maluku, dan insentif kekerasaan yang didapat sangat
menjanjikan. Namun hemat penulis, telaah Barron terlalu
menitikberatkan kepada tipe petarung elit-materialis, sehing-
ga berakibat pada simplifikasi seluruh petarung perang Am-
bon tahun 1999. Barron justru mengabaikan tipe petarung
lain yang berasal dari “non-elit”, yang dalam hal ini penulis
kategorikan sebagai non-elit-ideologis. Studi ini, sebaliknya,

43
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

lebih menaruh perhatian kepada kategori “non-elit” ini, seo-


rang bekas-pejuang yang bukan seorang figur publik, bukan
pula elit birokrat, apalagi yang terlatih secara militer.
Bagaimana sosok bekas-pejuang Muslim Ambon mampu
merefleksikan dirinya menerima “damai” Ambon hari ini? Hal
pertama yang penting diketahui bahwa jauh sebelum konflik
tahun 1999 terjadi, kehidupan mereka relatif harmonis ber-
sama pemeluk non-Muslim di kota Ambon. Seorang pribadi
Kristiani (nasrani) dalam ‘tabungan pengetahuan’ (stock of
knowledge) bekas-pejuang Muslim dipersonifikasikan sebagai
tetangga yang baik, sahabat, dan bahkan kerabat atau basuda-
ra (saudara). Memori ini selanjutnya membentuk kesadaran
rasional sekaligus relasional yang sangat positif, sehingga ikut
membingkai kehidupan kebersamaan mereka sehari-hari.
Namun peristiwa awal Januari tahun 1999 menggugat sega-
la kemapanan pikiran dan tindakan bekas-pejuang Muslim.
Mengguncang kesadaran rasional dan relasionalnya dengan
sangat hebat, ketika menyaksikan kekerasan massif yang ha-
dir di depan matanya. Situasi demikian terus menekan batin
dan keyakinannya, bahkan turut mengancam diri dan kelu-
arganya, sehingga membuatnya harus mengambil tindakan
untuk mempertahankan dan membela diri sebagai jalan satu-
satunya untuk diambil. Perilaku menyerang, membunuh, dan
membakar, kemudian menjadi sesuatu yang seakan-akan
“rasional” di masa itu. Karena tidak ada “pilihan” lain, kare-
na merupakan tuntutan survival diri dari ancaman kematian.
Artinya, bahwa jauh sebelum menjelma menjadi sosok yang
membunuh “musuhnya”, bekas-pejuang Muslim sejatinya te-
lah “berperang” melawan batinnya sendiri.
Ketika ketegangan kota Ambon berangsur mereda, di
mana nyawa tidak lagi terancam, dan imannya tidak lagi ter-
usi­
k, maka para bekas-pejuang Muslim mencoba kembali
merefleksikan makna tindakannya terhadap “orang-lain”
(the-others) atau individu non-Muslim. Refleksi makna ke-
mudian memengaruhi seluruh cetusan sikap dan tindakan

44
Bagian Kedua • FENOMENOLOGI PERDAMAIAN: ...

sehari-harinya, mengubahnya menjadi sosok yang mampu


bergaul, merangkul, dan mau hidup bersama orang-lain (the-
others). Proses perubahan ini dapat dijelaskan melalui kon-
sep-konsep Schutz perihal stock of knowledge, typification,
dan recipes, di mana seluruh pengertian-pengertian tentang
individu Nasrani sebagai “musuh” nya dahulu kemudian diti-
pifikasi (typification) menjadi sosok yang harus diperlakukan
secara baik. Dari tipe-tipe pengertian itu kemudian memben-
tuk resep-resep (recipes) tindakan yang dianggapnya tepat
dan bermakna bagi orang lain yang hidup sezaman dengan-
nya (contemporaries). Dari sana, bekas-pejuang Muslim men-
coba perlahan untuk membuka diri, menjalin relasi bersama
“musuh” lamanya.

2. Relasi
Sebagai individu beragama, bekas-pejuang Muslim
mem­buka kemungkinan relasi bersama “orang-lain” (indivi-
du Kristen), meskipun dengan pola relasi yang sangat khas.
Dalam kesadaran kognitifnya, sosok orang-lain dipersepsi se-
bagai sahabat, rekan kerja, bahkan sebagai saudara kandung-
nya sendiri. Namun akibat konflik di masa lalu yang mendera
kehidupannya, orang-lain bagi pribadi bekas-pejuang Mus-
lim masih dipandang secara subjektif-negatif sebagai “priba-
di yang sulit dipercaya” atau yang berpotensi “menindak di-
rinya”. Namun, asumsi subjektif itu tidak serta membuatnya
menganggap rendah orang-lain, atau bahkan bersikap anti-
sosial terhadap mereka. Hanya saja bekas-pejuang Muslim
meragukan segala bentuk kerjasama di antara mereka dapat
terbangun dalam waktu yang lama.
Pandangan tentang orang-lain yang selalu “meng-objek
diriku” sejalan dengan apa yang dikonsepsikan Sartre tentang
Other yang dipahami sebagai sosok yang “selalu menindak-
ku, menilikku”, sehingga membuat “Aku kehilangan kebebas-
anku”. Inilah mengapa, Sartre menyebut “orang-lain adalah
neraka bagiku” atau hell is other people (Armada dkk., 2011:

45
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

79). Namun asumsi tentang orang-lain ini bukan dipahami


sebagai suatu pandangan semena-mena terhadap orang-lain,
melainkan justru suatu pandangan yang menuntut tanggung
jawab “Aku” yang sangat besar terhadap orang-lain. Di sini,
kebebasan manusia dipahami bukan sekadar tindakan bebas
semaunya saja, melainkan kebebasan yang diperolehnya dari
kesadaran yang penuh dan autentik. Kehadiran orang-lain
yang tidak dikehendaki sekalipun justru harus dihargai. Mes-
kipun orang lain adalah neraka baginya, manusia harus selalu
sadar bahwa dari kehadiran orang lain itulah tercetus tang-
gung jawab dirinya (Sartre, 1965: 803).
Dari sini, dipahami bahwa relasi yang terbangun antara
diri bekas-pejuang Muslim bersama individu Nasrani meski-
pun bersifat konfliktual, namun membuka kemungkinan ter-
jalinnya relasi di antara mereka sejauh dirinya tidak menjadi
objek, atau diintervensi. Meski kehadiran individu Nasrani
selalu diasumsikan sebagai ancaman terhadap dirinya, atau
tidak menghendaki kehadirannya, namun pandangan demi-
kian justru mencetuskan tanggung jawab moral dirinya untuk
berlaku baik terhadap individu Nasrani, dan bukan sebalik-
nya, membencinya.

3. Persahabatan
Dalam konteks kebebasannya, sosok bekas-pejuang Mus-
lim memiripkan dengan kesadaran ala Sartrean yang men-
dambakan kebebasannya, dan menolak untuk diusik keber-
adaannya. Bekas-pejuang Muslim bahkan membenci segala
bentuk penindasan eksistensinya. Sebab realitas masa lalunya
telah memberikan pelajaran, bahwa idealismenya tentang ke-
bebasan eksistensial itu hanya mimpi belaka; kebebasannya
pernah dipasung, hak-haknya dimanipulasi, kehadirannya
tidak dikehendaki orang lain, bahkan nyaris dihilangkan.
Namun peristiwa masa lalu itu tidak serta membuat dirinya
paranoia terhadap orang lain. Sebaliknya, kesadaran dirinya
tak pernah terpisahkan dari yang-lain. Kesadaran dirinya se-

46
Bagian Kedua • FENOMENOLOGI PERDAMAIAN: ...

lalu terbagi bersama sahabatnya, bahkan dengan orang yang


asing sekalipun. Sosok bekas-pejuang Muslim, betapa pun
eksklusifitas dirinya, namun tetap memungkinkan persaha-
batan dengan “musuh lamanya”, sejauh dirinya tidak menjadi
objek, atau diintervensi.
Persahabatan, sebagaimana Armada (2014), hanya pu-
nya makna dalam konteks relasi dengan orang lain (liyan).
Karena dengan liyan, Aku dapat ambil bagian dalam kegem-
biraan, dan harapan duka dan kecemasan meski beda agama
(Armada, 2014: 112). Begitu juga subjek bekas-pejuang Mus-
lim adalah pribadi yang menjalani hidupnya dengan penuh
keteguhan di satu sisi, namun kerapuhan pada sisi yang lain
hanya dalam konteks relasinya bersama sahabat nasraninya.
Ia menghendaki kebebasan eksistensial namun kecemasan
selalu saja menghantui dirinya. Kecemasan terhadap kenya-
taan buruk yang bisa jadi hadir tiba-tiba. Kecemasan tentang
masa depan dirinya, keterpurukan hidupnya, juga nasib kelu-
arga dan anak-anaknya. Kepenuhan dirinya hanya hadir jika
“orang lain” mau memahami dirinya. Sebagaimana yang juga
diakui Schutz bahwa kecemasan mendasar individu adalah
kematian mengingat hal tersebut selalu membayangi individu
akan berbagai harapannya yang belum selesai selama dirinya
berhadapan dengan realitas puncak, yaitu harapan tentang
hidup harmoni bersama orang-lain, sahabatnya.

4. Persaudaraan
Persaudaraan bagi bekas-pejuang Muslim bukan sekadar
kesatuan biologis yang sempit, melainkan juga kesatuan kul-
tural, dan juga kemanusiaan. Jika bersaudara hanya diartikan
sebagai “satu darah”, halnya akan menegasikan pribadi-pri-
badi yang bukan “sedarah”. Menurut bekas-pejuang Muslim,
konsep satudarah yang “terkenal” di Maluku itu justru proble-
matik. Apalagi ketika dihadapkan pada realitas sosial Maluku
yang majemuk secara etnik maupun agama. Kemajemukan
Maluku justru akan tereduksi oleh sekat-sekat keturunan dan

47
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

kultur semata. Persahabatan yang begitu kaya akan menjadi


miskin makna. Persaudaraan yang universal menjadi menge-
cil dan menyempit. Bagi bekas-pejuang Muslim, persahabat-
an dan persaudaraan akan jauh lebih bermakna dalam bing-
kai kesatuan kemanusiaan, di mana setiap individu manusia
diandaikan memiliki afeksi untuk melihat, mendengar, mera-
sakan, dan menyatukan dirinya dengan individu lain diseki-
tarnya sebagai saudara.
Persaudaraan pela bagi bekas-pejuang Muslim tidak
men­­janjikan perdamaian apa pun. Berbagai kegagalan dari
hasil kesepakatan pela di masa konflik menjadi bukti nyata
bahwa pela sulit diandalkan. Para bekas-pejuang memilih
skeptis pada ikatan kultur ini. Hal ini dikarenakan jangkauan
ritus pela hanya terbatas pada sejumlah kecil perkampungan
yang ada di wilayah kepulauan Maluku. Dengan demikian,
daya kohesifitasnya pun sangat terbatas. Jika persaudaraan
pela menjadi satu-satunya solusi konflik Maluku, maka ba-
gaimana societas adat dan budaya lain yang hidup di Maluku
dan tidak “terjangkau” pela?

E. PENUTUP
Situasi terkini di kota Ambon dipraktikkan oleh bekas-
pejuang Muslim dalam suasana batin yang penuh kewaspa-
daan. Sikap damai yang ditampilkan adalah sebentuk “damai
yang dijaga”, mengingat hubungan antar individu beda agama
berlangsung dalam sikap saling “menjaga” perasaan, ucapan,
dan tindakan, semata-mata demi tujuan harmoni. Jika meng-
acu pada teori positive peace dari Johan Galtung, maka praktik
berdamai para bekas-pejuang Muslim Ambon berbeda seca-
ra signifikan, khususnya terhadap sejumlah prinsip di dalam
“hubungan positif” (positive relations) yang diklaim Galtung
dapat menyemai perdamaian, seperti; (1) kerja sama, (2) be-
bas dari rasa takut, (3) bebas berkehendak, (4) tidak adanya
eksploitasi, (5) kebebasan bertindak, dan (6) pluralism.

48
Bagian Kedua • FENOMENOLOGI PERDAMAIAN: ...

Faktanya, para bekas-pejuang Muslim Ambon mampu


bersikap terbuka terhadap “orang lain” (non-Muslim), na-
mun tetap memiliki perasaan khawatir dan was-was terhadap
situasi terkini. Mereka bersedia bekerjasama meski keadilan
dan kesetaraan belum dirasakan. Mereka mampu “bersaha-
bat dengan musuh” lamanya, namun tidak pernah akan me-
lupakan masa lalunya. Sikap berdamai yang ditampilkannya
dengan cara-cara “menjaga” dan membatasi perasaan, ucap-
an, dan tindakan, semata-mata demi tujuan harmoni. Bekas-
pejuang Muslim Ambon juga enggan masuk-masuk ke dalam
ritualitas agama dan keyakinan “orang lain”, bahkan menolak
tegas prinsip-prinsip pluralisme agama yang menyetarakan
kebenaran semua agama. Paham seperti ini menurut mereka
sangat berisiko karena mengandaikan kesatuan jalan menuju
satu Tuhan, atau bahkan tidak menganggap penting beragam
“jalan” tersebut. Pada kelanjutannya, praktik-praktik religi-
us yang dibangun lintas agama cenderung meremehkan ke-
khasan masing-masing agama, sehingga yang terjadi bukan
lagi toleransi melainkan asimilasi banyak agama. Bagi bekas-
pejuang Muslim Ambon, penghormatan terhadap kekhasan
agama orang lain adalah mutlak. Masing-masing umat ber-
agama harus diberikan kebebasan mengekspresikan model
peribadatan yang beraneka rupa, namun tidak sampai harus
menerabas batas-batas keyakinan orang lain. Praktik persa-
habatan yang terbangun bersama non-Muslim adalah sebuat
relasi sosial murni dan tidak menyentuh persoalan inti keya-
kinan beragama.

DAFTAR BACAAN
Braithwaite, John. 2010. Anomie and Violence. The Australian
National University (e-press).
Barron, Patrick (dkk). 2012. Seusai Perang Komunal. Yogyakar-
ta: CSPS BOOKS.
Goss, John, 2000. Understanding the Maluku Wars. Departe-

49
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

men of Geography University of Hawaii, dalam Journal


Cakalele Vol.11, 200-: h. 7-39.
Klinken, G.v., 2010. Dialog dan Refleksi Bersama 10 tahun
konflik Maluku. Ambon 19 Januari.
________. 2007. Communal Violence Democratization in In-
donesia: Small Town Wars. British Library Cataloguing in
Publication Data, 2007, h. 88-106.
Overgaard & Zahavi, 1996. Phenomenological Sociology - The
Subjectivity of Everyday Life, in Hviid, Jacobsen, m (ed.),
2009. Encountering the Everyday: An Introduction to the
Sociologies of the Unnoticed, Palgrave Macmilan Basing-
stoke, p.93-115.
Ritzer G. 1993. 1975. Contemporary Sociological Theory. 3rd
edition, McGraw Hill, New York.
________. 1983.1985. The Rise of Micro-Sociological Theory.
Sociological Theory, vol 3, p. 88 – 98.
Riyanto, Armada, CM. 2009. Politik, Sejarah, Identitas, Posmo-
dernitas. Malang. Widya Sasana Publication.
________. 2011. Aku dan Liyan: Kata Filsafat dan Sayap. Ma-
lang. Widya Sasana Publication.
________. 2014. Menjadi Mencintai: Berfilsafat Teologis Sehari-
Hari. Jakarta. Pustaka Filsafat Kanisius.
Soleh, Badrus. 2013. The Dynamics of Muslim and Christian
Relations in Ambon. International Journal of Bussines and
Social Science. Vol. 4. No. 3.
Trijono, Trijono, 2009. Pembangunan Perdamaian Pasca-
Konflik di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Volume 13, Nomor 1, Juli 2009 (48-70). ISSN 1410-4946.
Wilson, T.D., 2002. Alfred Schutz, Phenomenology and Resear-
ch Methodology for Information Behavior Research. ISIC.

50
bagian ketiga

FENOMENA KEKERASAAN
SUPORTER Sepakbola
Rr. Nanik Setyowati
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (FISH), Universitas Negeri Surabaya
Email: rr_nanik_setyowati@yahoo.com

a. PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari, kekerasan tampak begitu
nyata terjadi. Kenyataan itu dapat kita lihat di media massa
baik cetak maupun elektronik. Bahkan tidak jarang dapat kita
lihat langsung di depan mata kita sendiri. Di dalam ruang ini-
lah, kita akan menemukan sesuatu yang dinamik, kompleks
adanya tentang pergolakan nilai-nilai antara manusia yang
satu dengan lainnya. Dari sinilah juga kita mampu berpijak
dan bangkit untuk membuka mata hati pengetahuan yang
telah membentuk kesadaran objektif kita selama ini tentang
kekerasan yang terjadi di sekitar kita. Sekarang ini banyak ma-
syarakat yang melakukan suatu perilaku tidak berdasar nor-
ma dan nilai yang benar, tetapi celakanya masyarakat sudah
terpola melakukan suatu perilaku yang tidak berdasar norma
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

dan nilai tetapi dianggap benar. Mereka melakukan pattern of


behaviour bukan pattern for behaviour. Ada banyak bentuk pe-
rilaku kekerasan, salah satunya adalah kekerasan di ranah olah
raga, khususnya mereka yang mengatasnamakan suporter se-
pakbola yang ber-sifat anarkhis dan merugikan masyarakat.

b. PERSPEKTIF FENOMENOLOGI
Fenomenologi, adalah gagasan pemikiran terhadap sebu-
ah gejala-gejala dalam berbagai dinamika pengalaman-peng-
alaman subjek yang memberi makna tentang suatu peristiwa.
Bukan peristiwa yang kaku, tetapi peristiwa yang mengalami
proses menuju pembentukan makna sebuah pengalaman
subjek dalam suatu peristiwa hidup. Ia bisa saja mencakup
pengalaman-pengalaman yang kompleksitas, berlanjut, sa-
ling terkait dan bersifat partikular. Pengalaman subjektif yang
satu, akan ditelusuri dalam kaitannya terhadap pengalaman
subjektif manusia yang lain. Singkatnya, fenomenologi me-
meriksa pengalaman yang unik dari setiap pengalaman ma-
nusia yang membentuk kesadaran, sehingga membentuk
pe­ngetahuannya tentang sesuatu. Setiap sketsa berkesinam-
bungan (atau dapat pula repetitif) dengan yang lain dalam
perspektif fenomenologinya bukan dalam pembahasannya.
Berfilsafat fenomenologis tidak sama dengan berfilsafat
tran-sendental metafisis, melainkan identik dengan aktivitas
akal budi yang mengurai dan mengeksplorasi pengalaman
hidup setiap hari. Dalam fenomenologi tidak ada peristiwa
kecil yang tidak bermakna. Fenomenologi memungkinkan
akal budi kita mengerti keanekaragaman peristiwa dalam
ranah harmonis dan rivalitasnya yang penuh makna. Dari
namanya fenomenologi adalah filsafat tentang fenomen. Fe-
nomen memaksudkan peristiwa, pengalaman keseharian, ke-
cemasan-duka-kegembiraan yang menjadi milik setiap orang.
Fenomenologis itu rigorus, karena ia fokus merenungkan pe-
ristiwa kehidupan keseharian penuh makna. Menurut Schutz

52
Bagian ketiga • FENOMENA KEKERASAAN SUPORTER SEPAKBOLA

fenomenologi adalah pandangan terhadap suatu hal, di mana


fenomenologi sosial mengambil subjek permasalannya hanya
berdasarkan pengalaman langsung kita tentang dunia sosial
yang diterima melalui data dalam rangkaian-rangkaian feno-
mena (Waters, Malcom. 1994. Modern Sociological Theory.
Sage Publications: 31).
Sebagaimana yang dilihat Husserl, fenomenologi bercita-
cita menjadi sebuah metode yang darinya kita bisa memun-
culkan kebenaran-kebenaran yang tak terbantahkan; sebuah
metode yang akan membawa kita ke akar, ke dasar dari yang
tak terbantahkan. (Luijpen, William A. Fenomenologi dan Hu-
manisme. 1966. University Press, Pitsburgh, PA).
Sebagai teori yang bernaung di bawah paradigma definisi
sosial, fenomenologi maju selangkah lagi dengan mengatakan
bahwa kenyataan sosial itu tidak tergantung kepada makna
yang diberikan oleh individu, melainkan pada kesadaran sub-
jektif si aktor. Tujuan dari fenomeno logi adalah menganalisis,
dan melukiskan kehidupan sehari-hari atau dunia kehidup-
an sebagaimana disadari oleh aktor. Dalam melakukan studi
ini seorang aktor harus mengurungkan (braceketing off) atau
menanggalkan semua asumsi atau pengetahuan yang sudah
ada tentang struktur sosial dan mengamati secara langsung.
Pendukung teori ini berpendapat bahwa sekalipun orang me-
lihat kehidupan sehari-hari seperti terjadi begitu saja, namun
analisis feno menologi bisa menunjukkan bagaimana dunia
sehari-hari itu tercipta (Raho, 2007).
Ketika kita mempemperhatikan kekerasan yang dilaku-
kan dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat dan dalam
rumah tangga, kehidupan beragama serta dalam olahraga
maka tidak sekadar menyajikan data, tetapi kita mengguna­kan
pendekatan fenomenologi yaitu sampai ke akarnya mengapa
mereka melakukan kekerasan. Faktor-faktor apa yang menye-
babkannya mereka melakukannya dan kita harus menggali-
nya karena apa yang nampak di permukaan tidak atau belum
tentu sama dengan hal yang sebenarnya.

53
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

c. DISKURSUS TEORI-TEORI KEKERASAN


Teori Faktor Individual. Beberapa ahli berpendapat bah-
wa setiap perilaku kelompok, termasuk perilaku kekerasan,
selalu berawal dari perilaku individu. Faktor penyebab dari
perilaku kekerasan adalah faktor pribadi dan faktor sosial.
Faktor pribadi meliputi kelainan jiwa. Faktor yang bersifat so-
sial antara lain konflik rumah tangga, faktor budaya, dan fak-
tor media massa.
Teori Faktor Kelompok. Individu cenderung membentuk
kelompok dengan mengedepankan identitas berdasarkan
per­samaan ras, agama atau etnik. Identitas kelompok inilah
yang cenderung dibawa ketika seseorang berinteraksi dengan
orang lain. Benturan antara identitas kelompok yang berbeda
sering menjadi penyebab kekerasan.
Teori Dinamika Kelompok. Menurut teori ini, kekeras-
an timbul karena adanya deprivasi relatif yang terjadi dalam
kelompok atau masyarakat. Artinya, perubahan-perubahan
sosial yang terjadi demikian cepat dalam sebuah masyarakat
tidak mampu ditanggap dengan seimbang oleh sistem sosial
dan masyarakatnya.
Menurut Thomas Santoso, terdapat 3 teori tentang keke-
rasan, yaitu:
a. Teori Kekerasan sebagai tindakan aktor (individu) atau
kelompok. Manusia melakukan kekerasan karena adanya
faktor bawaan, seperti kelainan genetik atau fisiologis.
b. Teori Kekerasan Struktural. Kekerasan bukan berasal dari
orang tertentu melainkan terbentuk dalam suatu sistem
sosial. Para ahli memandang kekerasan tidak hanya dila-
kukan oleh aktor atau kelompok semata melainkan dipe-
ngaruhi oleh suatu struktur.
c. Teori Kekerasan sebagai kaitan antara aktor dan struk-
tural. Konflik merupakan sesuatu yang telah ditentukan
sehingga bersifat endemik bagi kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu ada 4 jenis kekerasan yang diidentifikasi-

54
Bagian ketiga • FENOMENA KEKERASAAN SUPORTER SEPAKBOLA

kan, yaitu:
a. kekerasan terbuka (yang dapat dilihat).
b. kekerasan tertutup (kekerasan tersembunyi, berupa an-
caman).
c. kekerasan agresif (kekerasan yang dilakukan untuk men-
dapatkan sesuatu, penjambretan).
d. kekerasan defensif (kekerasan yang dilakukan untuk me-
lindungi diri).
Cara Pengendalian Konflik dan Kekerasan. Ada 3 syarat
agar konflik tidak berakhir dengan kekerasan:
a. Setiap kelompok yang terlibat dalam konflik harus me-
nyadari akan adanya situasi konflik di antara mereka.
b. Pengendalian konflik-konflik tersebut hanya mungkin
bisa dilakukan apabila berbagai kekuatan sosial yang sa-
ling bertentangan itu terorganisasi dengan jelas.
c. Setiap kelompok yang terlibat dalam konflik harus me-
matuhi aturan-aturan main tertentu yang telah disepa-
kati bersama.
Pada umumnya, masyarakat memiliki sarana atau me-
kanisme untuk mengendalikan konflik di dalam tubuhnya.
Beberapa ahli menyebutnya sebagai katup penyelamat (sa-
fety valve) yaitu suatu mekanisme khusus yang dipakai untuk
mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik. Lewis
A. Coser melihat katup penyelamat itu sebagai jalan keluar
yang dapat meredakan permusuhan antara 2 pihak yang ber-
lawanan. Secara umum, ada 3 macam bentuk pengendalian
konflik:
a. Konsiliasi, pengendalian konflik yang dilakukan dengan
melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan
diskusi dan pengambilan keputusan yang adil di antara
pihak-pihak bertikai.
b. Mediasi, pengendalian yang dilakukan apabila kedua pi-
hak yang berkonflik sepakat untuk menunjuk pihak ketiga
sebagai mediator.

55
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

c. Arbitrase, pengendalian yang dilakukan apabila kedua


belah pihak yang berkonflik sepakat untuk menerima
atau terpaksa menerima hadirnya pihak ketiga yang akan
memberikan keputusan-keputusan tertentu untuk me­
nyelesaikan konflik. (Konflik & Kekerasan http://www.sc-
ribd.com /doc/ 24472806/ Sosiologi-Konflik-Kekerasan)
Saya merasa sekarang ini berbagai peristiwa kekerasan se-
makin dekat dan lekat dalam kehidupan kita sehari-hari. Yang
terjadi di dalam lingkup keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Pelakunya keluarga sendiri, tetangga, teman, guru atau bah-
kan aparat. Dalam kehidupan rumah tangga, agama, olahraga,
dan pendidikan. Luar biasa bukan?
Konflik dan Kekerasan. Konflik dan Kekerasan Dalam
KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai perbuatan seseorang
atau kelompok yang menyebabkan cidera atau matinya orang
lain, atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang
lain.
Menurut N.J. Smelser ada 5 tahap dalam kerusuhan mas-
sal. Kelima tahap itu berlangsung secara kronologis dan tidak
dapat terjadi 1 atau 2 tahap saja. Tahap-tahap tersebut adalah:
a. Situasi sosial yang memungkinkan timbulnya kerusuhan
yang disebabkan oleh struktur sosial tertentu.
b. Tekanan sosial, yaitu suatu kondisi saat sejumlah besar
anggota masyarakat merasa bahwa banyak nilai dan nor-
ma yang sudah dilanggar. Tekanan ini tidak cukup me-
nimbulkan kerusuhan atau kekerasan, tetapi juga menja-
di pendorong terjadinya kekerasan.
c. Berkembangnya perasaan kebencian yang meluas terha-
dap suatu sasaran tertentu. Sasaran kebencian itu berka-
itan dengan faktor pencetus, yaitu peristiwa yang memicu
kekerasan.
d. Mobilisasi untuk beraksi, yaitu tindakan nyata berupa
peng­organisasi diri untuk bertindak. Tahap ini merupa-
kan tahap akhir dari akumulasi yang memungkinkan ter-

56
Bagian ketiga • FENOMENA KEKERASAAN SUPORTER SEPAKBOLA

jadinya kekerasan.
e. Kontrol sosial, yaitu tindakan pihak ketiga seperti apa-
rat keamanan untuk mengendalikan, menghambat, dan
mengakhiri kekerasan.

D. FENOMENA KEKERASAN SUPORTER Sepakbola


Konflik dalam hal sepakbola dimulai sejak tahun 1967,
di mana terjadi kerusuhan dalam pertandingan Liga Perseri-
katan antara Persebaya Surabaya melawan Persema Malang
di Surabaya. Kondisi ini dibalas oleh Arek-arek Malang dalam
pertandingan Persema Malang melawan Persebaya Surabaya
di Malang. Akhirnya, konflik suporter yang merupakan perta-
rungan geng Malang-Surabaya ini terus berlanjut pada tahun
70-an. Periode 80-an menjadi puncak ketegangan antara Bo-
nek dan Ngalamania, dimana tahun 1984 terjadi Perang Badar
antara Ngalamania dengan Bonek. Peperangan yang terjadi
antara Arek Malang dan Arek Suroboyo itu membuat Presiden
Soeharto kala itu menyikapinya dengan ucapan “kalau sepak-
bola membuat persatuan hancur, lebih baik tidak usah.”
Hasil penelitian yang saya lakukan untuk mengetahui
persepsi masyarakat terhadap perilaku agresif suporter se-
pakbola dalam hal ini suporter Bonek, ternyata mayoritas ti-
dak suka dengan perilaku mereka bahkan mereka lebih suka
dengan tidak adanya sepakbola. Kerugian yang ditimbulkan
oleh suporter Bonek sangat luar biasa mencapai ratusan juta
rupiah. Belum yang tidak dapat dihitung secara materi, yaitu
perasaan sentimen kedaerahan dan rasa takut yang menda-
lam dari korban suporter Bonek.
Tingkah polah pendukung klub sepakbola kembali hadir
dan menghiasi media. Kekerasan dan tawuran seolah lekat
dengan citra suporter bola. Jika kita lebih dalam menying-
kap fenomena kekerasan para suporter, terbentang sebuah
kepelikan masalah. Penyebabnya tak lain dan tak bukan, du-
nia bola adalah arena yang menampilkan realitas sosial itu

57
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

sendiri. Selanjutnya, pokok dari kategori struktur masyarakat


adalah persoalan gender, karena berkat perbedaan gender
sebuah tatanan sosial terkonstruksi. Berangkat dari fondasi
tesis diatas, pemahaman tingkah kekerasan, kemudian tidak
gam-pang jatuh pada penyederhanaan masalah bahwa amuk
para pendukung klub sepakbola hanya disebabkan oleh vari-
abel kelaparan, kemiskinan, dan dunia preman kota. Tak di-
ragukan, dunia bola adalah dunia yang dikuasai para lelaki.
Mereka merasa bahwa sepakbola selalu identik dengan kejan-
tanan, kegagahan, dan keberanian.
Berkaitan dengan kekerasan yang dilakukan oleh su-
porter Bonek kita memahami data dengan cara membagi
dan mengalokasikan mental mereka sesuai kategori masing-
masing. Feno-menologis sosial menjelaskan individu melalui
penyampaian data mengenai dunia sosial lalu mengalokasi-
kan data tersebut sebagai kategori dalam fenomena sosial.
Perlu diketahui bahwa untuk menganalisis apakah kategori
tersebut sudah diketahui oleh anggota masyarakat, maka per-
lu juga diamati bagaimana tanggapan mereka. Schutz setuju
bahwa dalam pendapat Weber masih terdapat beberapa as-
pek problematika terutama gagasannya yang secara subjektif
bermakna perbaikan dalam hal tingkah laku. Schutz kemu-
dian beralih pada pemikiran tentang motif di mana seseorang
kemudian memahami alasannya maupun hal-hal lain dalam
kehidupan sehari-hari. Jadi ketika para suporter melakukan
aksinya kita harus mencari akar masalahnya secara langsung
(Waters, Malcom 1994. Modern Sociological Theory. Sage
Publications: 31).
Akhirnya, memahami kekerasan para suporter sepakbola
adalah membaca realitas sosial masyarakat kita sendiri. Dari
sini kita memperoleh pemahaman bahwa mengeliminasi
kekerasan suporter bola juga segendang permainan dengan
agenda penghapusan ketidakadilan struktur berbasis gender.
Penanganan kekerasan suporter bola pun mesti komprehen-
sif jika akan berhasil.

58
Bagian ketiga • FENOMENA KEKERASAAN SUPORTER SEPAKBOLA

Bonek kembali membawa berita. Bukan hal baru me-


nyaksikan kelompok pendukung Persebaya itu melakukan
tindak kekerasan di dalam dan luar lapangan sepakbola. Yang
terbaru, di sepanjang jalur kereta api yang mereka lewati un-
tuk mendukung kesebelasan mereka yang bertanding di Ban-
dung, para pedagang kaki lima menutup dagangan. Batu-batu
beterbangan dan membawa korban luka. Kota yang mereka
kunjungi selalu menyiagakan diri.
Tindak kekerasan yang diperlihatkan para Bonek terse-
but tergolong kekerasan kolektif. Dilakukan secara bersama-
sama dan terjadi dengan sendirinya. Adalah Gustave Le Bon,
seorang psikolog sosial, yang pertama melemparkan gagas-
an tentang psikologi kerumunan dalam buku klasiknya, The
Crowd: A Study Populer Mind (1896). Menurut dia, kekerasan
kolektif memiliki hubungan dengan irasionalitas, emosiona-
litas, dan peniruan individu. Orang-orang yang tergabung di
dalam satu kelompok (crowd) dianggap saling meniru, se-
hingga memperkuat dan memperbesar emosionalitas dan
ira­sionalitas sesamanya.
Berdasar teori tersebut, jelaslah bahwa perilaku kekeras-
an para Bonek terlihat seperti roh yang demikian cepat menu-
lar dan menjadi bola salju yang membesar saat terguling. Saat
satu orang mulai melempar batu, tanpa dikomando, yang lain
mengikutinya tanpa pernah tahu alasan atas tindakannya itu.
Tiba-tiba saja hujan batu menyerang tempat-tempat yang
mereka lalui. Demikian juga perilaku yang irasional, seperti
kita saksikan di tayangan televisi, para Bonek rela bergelan-
tungan di sisi kereta api tanpa memperhitungkan risiko dan
bahaya yang dihadapi.
Fakta membuktikan, ada bonek yang tergelincir dari ke-
reta dan tewas. Tapi, itulah sifat psikologi kerumunan, seka-
lipun bahaya menantang, yakni risiko ditangkap aparat atau
kematian, tidak ada satu pun yang jera. Berdasar teori terse-
but, para petugas keamanan Inggris khususnya dan Eropa
umumnya sudah mengantisipasi siapa pelempar batu perta-

59
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

ma melalui pengawasan ketat, baik secara visual maupun me-


lalui kamera video. Hal itulah yang perlu ditiru dalam mena-
ngani Bonek yang memang benar-benar nekat. Orang-orang
tertentu perlu ditandai sebagai pembuat keonaran atau ber-
potensi membuat keonaran. Mereka pula yang menjadi sasar-
an penangkapan jika terjadi tindakan anarkistis.
Teori konvergensi menyatakan bahwa perilaku kerumun-
an bukan merupakan produk dari orang itu sendiri, tetapi di-
bawa ke kerumunan oleh individu-individu tertentu. Itulah
kuncinya untuk menghadapi para Bonek. Teknologi dapat
dimanfaatkan untuk menemukan dan menandai siapa-siapa
yang menjadi pembawa budaya kerusuhan di dalam keru-
munan.
Bonek sudah menjadi fenomena sosial yang tidak bisa di-
hambat keberadaannya. Tetapi, persoalannya adalah bagai-
mana menghadapi tindak kekerasan dan mematikan ideologi
anarkistis di dalam kelompok itu?
Jika menengok ke belakang, kerusuhan suporter Perse-
baya bukanlah kali pertama. Berkali-kali suporter Persebaya
berlaku tidak bersahabat dan sering kali membuat kericuh-
an. Kerusuhan dan aksi kekerasan dalam sepakbola tidaklah
selalu milik suporter Persebaya, namun bisa dilakukan oleh
kelompok suporter mana pun. Lantas, bagaimana menjelas-
kan aksi anarkis yang dilakukan suporter sepakbola? Suporter
di manapun tentu mengharapkan kemenangan dan kejaya-
an timnya. Kemenangan merupakan dimensi tujuan setiap
suporter menyaksikan pertandingan. Namun sayangnya, di-
mensi tujuan itu menjadi harga mati dan menimbulkan pera-
saan frustasi yang berlebihan apabila jauh dari harapan. Agre-
si bisa muncul sebagai reaksi terhadap rasa frustasi. Tindakan
kerusuhan yang dilakukan suporter merupakan fenomena
yang sering disebut kartasis. Rasa frustasi menyebabkan ener-
gi dalam diri individu maupun komunitas sosial membuncah
dan disalurkan lewat perilaku agresi. Adanya rasa frustasi ti-
dak selalu berhubungan langsung dengan sepakbola alias ha-

60
Bagian ketiga • FENOMENA KEKERASAAN SUPORTER SEPAKBOLA

rapan kemenangan yang tidak tercapai.


Suporter adalah komunitas yang terdiri dari beragam
latar belakang dan menjalani keseharian hidup dalam alam
realitas. Alam realitas yang sering kali tidak selaras dengan
konsep idealnya juga bisa menyebabkan seseorang menjadi
frustasi. Tidak adanya keadilan, kesejahteraan, dan kema-
panan hidup yang dicita-citakan semakin menambah kepe-
natan seseorang. Individu-individu dalam masyarakat akan
mewujud menjadi kekuatan sosial terorganisir jika memiliki
kesamaan nasib antara satu dengan lainnya. Sepakbola bisa
sebagai alternatif menghilangkan rasa frustasi akibat him-
pitan hidup yang kian hari kian berat. Dalam konteks sosial.
sepakbola bisa dijadikan media untuk menumpahkan segala
kepenatan dan rasa frustasi masyarakat. Masyarakat tidak se-
kadar mencari hiburan untuk mengurangi kepenatan hidup
lewat permainan akraktif pesepakbola di lapangan, tetapi se-
ring kali mengidentifikasi kesebelasan favoritnya sebagai wa-
kil penyampaian aspirasinya.
Terkait kerusuhan suporter sepakbola seperti yang dila-
kukan Bonek semaksimal mungkin memang harus diminima-
lisir, bahkan dilenyapkan dari dunia persepakbolaan Indo-
nesia. Analisis psiko-sosiokultural terkait ulah negatif Bonek
telah banyak dikemukakan. Perasaan terasing di negerinya
sendiri, lebih khusus lagi di kotanya sendiri, telah memben-
tuk mental perilaku mereka yang serba nekat. Kebanyakan
dari mereka adalah kaum yang termarjinalkan secara sosial
ekonomi. Kesulitan mendapatkan akses kesejahteraan hidup
dialami mereka. Kondisi keterpurukan dan ketidakberdayaan
dari komunitas Bonek tersebut kemudian dikompensasikan
lewat tindakan-tindakan anarkis dan kekerasan. Mengacu
pada Social Learning Theory, perilaku individu-individu yang
tergabung dalam bonek didapatkan dari proses interaksi de-
ngan lingkungan sosialnya.
Banyak perilaku agresif diperoleh dari hasil observasi
perilaku agresif orang-orang di sekitarnya. Boleh jadi tidak

61
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

setiap suporter Persebaya memiliki sikap dan perilaku anar-


ki­s, tapi hanya pengaruh komunitas suporternya. Di sisi lain,
stigma Bonek (bondho nekat) yang dilekatkan pada suporter
Persebaya justru berdampak tidak baik. Pengaruh stigma ini
perlahan juga ditiru oleh generasi berikutnya dan menjadi ke-
banggaan semu. Ini terbukti sejak dekade 1980-an lalu deka-
de 1990-an dan dekade 2000-an. Saya lihat dan alami sendiri
para Bonek ini adalah mereka yang masih usia anak-anak dan
remaja. Mereka dari kelompok yang terpinggirkan, termarji-
nalkan. Tahun itu sampai sekarang para Bonek adalah anak-
anak dan remaja belasan tahun yang sepuluh tahun kemudi-
an lahir generasi seperti mereka pula. Dan sampai sekarang di
lapangan saya lihat masih seperti itu. Sungguh mengenaskan.
Dalam hal ini, mengatasi permasalahan aksi anarkis su-
porter sepakbola selayaknya tak sekadar dilihat dari kaca
mata hukum. Denda dan hukuman bisa saja diberikan sesuai
aturan perundang-undangan, namun tak sepenuhnya me­
nye­lesaikan masalah. Pemerintah tidak bisa menggunakan
paradigma benar-salah dalam memandang setiap aksi keke-
rasan yang menggejala di dunia sepakbola. Pemerintah harus
bersikap arif dan memperbarui komitmen mewujudkan ta-
tanan Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera. Keadilan
sosial perlu ditegakkan tanpa diskriminatif.
Konflik-konflik yang timbul juga tidak luput dari perma-
salah sosial dan budaya dalam sebuah masyarakat. Masalah
hegemoni dan pengakuan akan the one and the best juga men-
jadi salah satu permasalah konflik suporter Indonesia. Perso-
alan chauvinisme dan fanatisme dalam sebuah masyarakat
juga tidak dapat dihilangkan sebagai faktor-faktor pemicu
konflik. Belum lagi soal dendam yang berasal dari peristiwa
yang terjadi sebelumnya. Begitu banyak permasalahan yang
timbul dalam masyarakat, sehingga terbawa dalam kancah
sepakbola membuat stadion masih belum menjadi tempat
yang nyaman dalam menikmati pertandingan sepakbola.
Dengan mempelajari proses historis perseteruan kedua

62
Bagian ketiga • FENOMENA KEKERASAAN SUPORTER SEPAKBOLA

kelompok suporter ini diharapkan adanya pembelajaran ser-


ta solusi agar konflik-konflik yang terbangun menjadi sportif
dan tidak anarkis. Kajian konflik dalam perspektif sosiologi—
di mana masyarakat dan kondisi kultural akan menjadi objek
yang dikaji—diharapkan akan timbul sebuah mediasi, apakah
berupa negoisasi atau yang lainnya. Dengan begitu posisi su-
porter sebagai sebuah pendukung klub akan terjadi hubung-
an timbal balik dengan klub yang didukung. Selain itu diha-
rapkan pula perdamaian antar suporter sepakbola yang ada
di Indonesia dapat terjadi.

DAFTAR BACAAN
Arifin, Syamsul. 2010. Memutus Rantai Kekerasan Agama.
[Koran-Digital] Armada Riyanto 2010 Wajah Liyan Sumiati.
Rabu, 24 November | 02:59 WIB
Riyanto, Armada. 2009. Politik, Sejarah, Identitas, Postmoder-
nitas. Malang: Widya Sasana Publication.
---------------------. 2010. Dialog Interrelegius. Historisitas, Te-
sis, Pergumulan, Wajah. Yogyakarta: Kanisius.
Fenomena Kekerasan Suporter Sepakbola. 2010. http://ba-
yutampan.blogspot.com/2010/03 fenomena- kekerasan-
suporter-sepak-bola.html Kekerasan Kolektif Bonek Di-
terbitkan Januari, 28 2010 Artikel Pengamat Ditulis oleh
Sonny Eli Zaluchu http://gagasanhukum.wordpress.
com/2010/01/28/kekerasan-kolektif-bonek/ Konflik &
Kekerasan TT http://www.scribd.com /doc/ 24472806/
Sosiologi-Konflik-Kekerasan).
Megawangi, Ratana. 2007. Semua Berakar pada Karakter. Ja-
karta: Lembaga Penerbit FE Universitas Indonesia.
Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Katalog
dalam terbitan.
Ritzer, George dan Douglas J.Goodman. 2010. Teori Sosiologi:
Dari Teori Klasik sampai Teori Sosial Posmodern. Yogya-
karta: Penerbit Kreasi Wacana.

63
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

Schutz, Alfred. 1967. The Phenomenology of the Social World.


Northwestern University Press.
Setyowati, Rr Nanik. 2009. Model Instruksional Pendidikan
Multikultural untuk Mengeliminasi Praktik Kekerasan di
Sekolah Dasar (School Bullying). Surabaya: Unesa. Lapor-
an Penelitian tidak dipublikasikan.
-------------------------. 2000. Persepsi Masyarakat terhadap
Agresivitas Ramaja Dalam Sepakbola dan Pengaruhnya
terhadap Ketahanan Wilayah (Studi terhadap Suporter
Bonek Surabaya).
Tesis S2 UGM. Yogyakarta: Tidak dipublikasikan.
-------------------------. 2010. Pendidikan Karakter dan Keke-
rasan di Sekolah (School Bullying). Disampaikan dalam
Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis Unesa ke 46,
Sabtu 18 Desember 2010.
Waters, Malcom. 1994. Modern Sociological Theory. Sage
Publications:31.

64
Bagian Keempat

MAKNA KEKERASAN TERHADAP BURUH


PEREMPUAN
Sanggam M.l. Siahaan
Dosen Sosiologi STT-HKBP Pematangsiantar, Sumatera Utara
Email: lasmaria75@yahoo.com

a. PENDAHULUAN
Definisi tentang pekerjaan sering kali tidak hanya me-
nyangkut apa yang dilakukan seseorang, tetapi juga me-
nyangkut kondisi yang melatarbelakangi kerja tersebut, serta
penilaian sosial yang diberikan terhadap pekerjaan tersebut.
Hakikat kerja perempuan biasanya dikaitkan dengan re-
produksi biologis dan tenaga kerja, namun perempuan juga
memegang peranan penting dalam kerja reproduksi sosial,
seperti dalam kerja yang melestarikan status keluarga atau
dalam kegiatan-kegiatan komunitas (Moore, 1988: 43).
Prinsip kapitalis mencari keuntungan besar dari ha-
sil produksi dengan menekan biaya pengeluaran produksi
dilakukan dengan merekrut lebih banyak perempuan un-
tuk bekerja. Penghasilan buruh perempuan dinilai sekadar
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

“membantu” atau hanya sebagai penghasilan tambahan bagi


keluarga. Pekerjaan kasar dengan upah rendah menegaskan
kembali bahwa perempuan tetap pada posisi rendah dalam
keseluruhan proses ekonomi kapitalis. Kondisi ini pada akhir-
nya menggambarkan buruh perempuan berada pada sub-
ordinasi berganda, pada satu pihak, mereka bersama buruh
laki-laki merupakan bagian dari alat produksi yang berfungsi
sebagai penghasil produk dan di pihak lain, buruh perempu-
an mengalami penindasan dampak status gender perempu-
annya yakni mitos dan streotip yang diciptakan masyarakat
untuk mereka.
Pada umumnya perusahaan cenderung mempekerjakan
perempuan dengan anggapan bahwa perempuan lebih teliti
dan lebih sabar daripada laki-laki, sehingga kualitas hasil kerja
lebih baik. Kesabaran dan ketelitian perempuan dinilai bukan
bagian dari kemampuan pekerja dan pengalaman yang terus
ditingkatkan, namun merupakan sesuatu berdasarkan kod-
rat perempuan. Pekerjaan yang didominasi oleh perempuan
di pabrik, kebanyakan dinilai merupakan pekerjaan yang ri-
ngan yang memerlukan ketelitian, kecepatan, dan kerapihan
yang ada pada pekerjaan seperti pada ikat atau bundel, jahit,
pres, lipat, bagging sekaligus memperlihatkan pekerjaan yang
tidak membutuhkan pendidikan atau keterampilan khusus.
Dengan kata lain, pekerja pada kategori pekerjaan ini meru-
pakan pekerja yang kurang berpendidikan atau perempuan
merupakan pekerja yang kurang berpendidikan, sehingga la-
yak ditempatkan pada pekerjaan-pekerjaan yang telah dise-
butkan.
Posisi sebagai pekerja yang kurang berpengalaman mem-
perlihatkan adanya pihak yang mendominasi dan yang di-
dominasi. Keberadaan buruh perempuan di sektor industri
memperlihatkan adanya dominasi patriarki di sektor industri
melalui streotip masyarakat. Dominasi patriarki ini merupa-
kan bagian dari dominasi patriarki yang telah berjalan sangat
lama dalam tatanan sosial, yang mana telah menentukan

66
Bagian keempat • makna kekerasan terhadap buruh perempuan

posisi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, demiki-


an juga yang terjadi pada posisi buruh perempuan di pabrik.
Buruh perempuan menempati posisi tawar rendah sebagai
perempuan dan buruh. Dengan adanya keberadaan buruh
perempuan di pabrik, seolah pabrik telah mengangkat status
perempuan yang memiliki kesempatan sama dengan laki-laki
bekerja di ranah publik yang mana pekerjaan perempuan me-
miliki nilai ekonomi. Lebih jauh lagi, dengan jumlah buruh
perempuan yang lebih banyak dari jumlah buruh laki-laki,
memperlihatkan kepedulian perusahaan terhadap kesejahte-
raan perempuan. Jumlah ini berdampak pada meningkatnya
jumlah keberadan buruh perempuan di sektor industri.

b. KEKERASAN PERSPEKTIF FENOMENOLOGIS


Filsafat fenomenologis menurut W.A Lujipen berang-
kat dari pemikiran Husserlian back to thing themselves, yang
mengajak manusia untuk kembali pada pengalaman dan me-
nemukan makna di dalamnya (Luijpen, 1966: 14). Pengalam-
an adalah realitas manusia. Setiap manusia punya pengalam-
an yang berbeda dalam setiap realita, karena setiap manusia
adalah eksistensi dirinya sendiri. Ketika peneliti bertemu
dengan partisipan itu berarti ada pertemuan existensi yang
berbeda yang mewakili exsistensi masing-masing, tidak ada
exsistensi yang lebih tinggi. Kekerasan dan penderitaan yang
dialami para buruh migrant menjadi fenomena yang patut
untuk diteliti, bukan saja karena penderitaan mereka, na-
mun lebih dari itu mereka adalah being yang berbeda dengan
“ada” lain. Mereka perlu didengarkan, pengalaman mereka,
kegembiraan, tangisan, rintihan adalah realitas kemanusiaan,
milik semua orang. Manusia dan pengalaman oleh Husserli-
an memiliki pengetahuan. Manusia Karena pengalamannya,
adalah produsen pengetahuan sekaligus wilayah penegtahu-
an itu sendiri (Armada Riyanto, 2009: 5).
Karena melibatkan pengamatan, keterlibatan langsung

67
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

melalui interaksi dan interperetsi maka metode fenomeno-


logi akan melihat semua pengalaman tersebut dengan pe-
nelitian kualitatif. Metode ini akan berangkat dari verstehen
maka dengan metode fenomenologi meniscayakan metode
penelitian kualitatif. Metode ini membutuhkan keterlibatan
dalam pengamatan, kemampuan berempati, abstraksi, dan
daya interpretasi melalui verstehen. Para ahli fenomenologi
melihat perilaku manusia mengenai apa yang dikatakan dan
dilakukan manusia sebagai hasil dari bagaimana manusia
menafsirkan dunia mereka. Setiap orang akan memiliki cara
pandang yang berbeda pada sebuah situasi atau aspek-aspek
situasi, karena setiap orang membawa keunikan masa lalunya
untuk menafsirkan apa yang dilihatnya. Oleh karenanya, bisa
jadi tangisan ibu yang mengiringi kematian anaknya setelah
menjadi tenaga kerja asing akan dipikirkan berbeda oleh para
pengirim tenaga kerja yang hanya mengutamakan uang atau
bahkan oleh pemerintah dengan berpikir, toh akan masih ba-
nyak lagi tenaga kerja yang akan mendaftar untuk bekerja se-
bagi tenaga kerja asing.

c. KEKERASAN DALAM FRAME TEORETIs PIERRE BOUDIEU


Bourdieu dikenal sebagai seorang sosiolog Perancis, la-
hir tahun 1930 memiliki konsentrasi kajian sosiologi pada
hubungan objektivisme dan subjektivisme. Berangkat dari
keinginan Bourdieu untuk menanggulangi kekeliruan yang
mempertentangkan antara objektivisme dan subjektivisme,
ia mengkritik perspektif strukturalisme (Ritzer, 2014: 478-479)
karena menekankan perhatian pada struktur objektif dan
mengabaikan proses konstruksi sosial, di mana melalui pro-
ses tersebut agen merasakan, memikirkan dan membangun
struktur yang kemudian bertindak berdasarkan struktur yang
dibangunnya. Bourdieu menginginkan teoretis strukturalis
yang tidak mengabaikan agen dan mengembalikannya pada
kehidupan nyata dan mengkritik penganut subjektivisme

68
Bagian keempat • makna kekerasan terhadap buruh perempuan

yang memusatkan perhatian terhadap pada agen (pelaku)


dan mengabaikan struktur. Struktur objektivisme menekan-
kan peranan struktur secara makro dalam menentukan agen
dan lingkungannya, sedangkan struktur subjektivisme, secara
mikro menekankan tindakan agen dan analisisnya.
Studi ini memahami kekerasan yang dialami oleh buruh
perempuan, dalam frame teoretis Pierre Bourdieu, khusus-
nya perihal kekerasan simbolik. Bourdieu menjelaskan bahwa
kekerasan yang paling sulit diatasi adalah kekerasan simbolik
yang beroperasi pada wacana. Kekerasan simbolik tidak me-
ninggalkan luka secara fisik, tidak mengakibatkan traumatis,
kegelisahan, ketakutan bagi korbannya, bahkan korban tidak
merasa bahwa mereka sedang menerima perlakuan dido­
minasi.
Kekerasan simbolik oleh Bourdieu (Ritzer dan Goodman.
2010: 526) adalah bentuk lunak dari kekerasan yang diguna-
kan terhadap agen sosial dengan keterlibatannya. Pihak yang
mendominsi melakukan tindakan yang tidak langsung mela-
kukan paksaan terhadap pihak yang terdominasi. Tindakan
ini dilakukan untuk membantu posisi penguasa dengan me-
ngaburkan apa yang mereka kerjakan dari pandangan ma-
syarakat yang dikuasai (Swartz, 197: 89 dalam Ritzer dan Go-
odman). Pada kajian ini perusahaan sebagai pihak dominasi
melakukan kekerasan simbolik terhadap buruh perempuan.
Adapun pihak yang terdominasi mengalami kekerasan sim-
bolik melalui pelaksanaan Undang-Undang Ketenagakerjaan
yang diperlihatkan oleh buruh perempuan melalui sikap dan
peran perempuan yang rajin, patuh dalam menerima segala
tanggung jawab. Kekerasan simbolik bekerja melalui sikap
dan peran setiap individu yang telah ditentukan seperti sikap
dan peran seorang perempuan yang rajin, patuh, dan mene-
rima segala bentuk tanggung jawab di ranah publik menjadi
habitus perempuan sebagai agen.
Pendapatnya tentang kekerasan simbolik memperlihat-
kan bagaimana dialektika habitus mempertemukan agen dan

69
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

struktur dan saling memengaruhi. Habitus adalah “struktur


mental atau kognitif” yang digunakan agen untuk menghadapi
kehidupan sosial. Secara dialektika, habitus adalah “produk
internalisasi struktur” dunia sosial yang memiliki sifat berta-
han lama. Sebagai hasil dialektika, habitus memiliki sifat “ber-
tahan lama”, yakni Pertama, bertahan dalam rentang waktu
yang sangat lama dalam kehidupan agen; Kedua, “bisa dipin-
dahalihkan”, artinya habitus bisa melahirkan praktik-praktik
diberbagai arena aktivitas yang beragam yang publik arti bah-
wa habitus memiliki pola yang beragam, sehingga agen tidak
harus tunduk pada habitus; Ketiga, merupakan “struktur yang
distrukturkan” yakni mengikut sertakan kondisi sosial objek-
tif pembentukannya; keempat, “struktur-struktur yang men-
struktur”, artinya dapat melahirkan praktik-praktik dengan
situasi tertentu.
Dari definisi di atas habitus dapat dijelaskan sebagai
tin­dakan yang berulang dan terstuktur serta memengaruhi
tindakan individu dalam arena tertentu. Tindakan yang di-
lakukan agen berada dalam situasi nyata yang diatur oleh
seperangkat relasi sosial yang objektif. Selanjutnya pemben-
tukan sosial distrukturkan melalui serangkaian arena yang te-
rorganisasi secara hierarki (arena ekonomi, arena pendidikan,
arena politik, arena kultural dan lain sebagainya).
Meski setiap arena relatif otonom, namun secara struk-
tural mereka tetap homolog satu sama lainnya. Pengalaman
kekerasan yang dialami buruh perempuan memperlihatkan
adanya dominasi dalam setiap relasi yang terjadi di persa-
haan. Seperti di tengah tindak kekerasan yang mereka alami,
arena kultural terlihat mendominasi dalam setiap relasi. Re-
lasi buruh perempuan dihadapkan dengan aturan, relasi de-
ngan pemilik perusahaan dan relasi terhadap laki-laki di tem-
pat kerja.
Keberadaan buruh perempuan di ranah publik khusus-
nya di sektor industri tidak sepenuhnya dilihat dari arena eko-
nomi, namun arena ekonomi dan kultural yang saling mene-

70
Bagian keempat • makna kekerasan terhadap buruh perempuan

gaskan keberadaan buruh perempuan dinilai secara seksual.


Dengan kata lain pembagian kerja secara seksual juga me-
negaskan dominasi merupakan realitas tatanan sosial. Pada
pembagian kerja tertera bahwa laki-laki memiliki kesempatan
bekerja dan mengembangkan pekerjaannya di ranah publik,
sedangkan perempuan bertanggung jawab atas seluruh pe-
kerjaan di ranah domestik. Pembagian kerja secara seksual
tertera pertama-tama dalam pembagian yang dilakukan atas
aktivitas-aktivitas produktif yang disosialisasikan dengan ga-
gasan tentang kerja.
Pengalaman tentang tatanan sosial yang diatur secara
“seksual” dan peringatan-peringatan tentang tatanan ekspli-
sit yang diucapkan orangtua kepada anak-anak perempuan.
Otonomi relatif dari ekonomi harta simbolik (perkawinan me-
rupakan sentral ekonomi harta simbolik) menjadikan domi-
nasi maskulin terus berjalan meski terjadi transformasi-trans-
formasi pada corak-corak produksi ekonomis. Fakta biologis
antar seks yaitu antara tubuh maskulin dan tubuh feminin,
dan khususnya perbedaan anatomis antar organ-organ sek-
sual hadir sebagai justifikasi kodrat atas perbedaan yang di-
konstruksi secara sosial antargender dan terutama justifikasi
kodrat terhadap pembagian kerja secara seksual (Bourdieu,
2010: 15).
Bekerjanya justifikasi kodrat terhadap pembagian kerja
secara seksual menghasilkan perempuan yang berbahagia
dengan kesempatan kerja yang diperolehnya, di sektor indus-
tri sehingga mereka menjadi buruh yang paling mudah diatur
dan tidak banyak menuntut. Streotip perempuan yang mu-
dah diatur dan tidak banyak menuntut menjadi mitos yang
dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan
untuk mengakumulasi modal (Tjandraningsih, 1997: 253 da-
lam Daulay, 2006: 2) seperti yang dilakukan perusahaan.
Dalam kekeraan simbolik ada dominasi yang terus mela-
kukan aksinya dominasinya terhadap perempuan, Bourdieu
menyebutnya sebagai dominasi maskulin. Dominasi masku-

71
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

lin atau patriarki merupakan produk dari suatu kerja repro-


duksi tanpa henti (jadi bersifat historis), dilakukan oleh agen
tunggal (termasuk para laki-laki dengan senjata-senjatanya
seperti kekerasan fisik dan kekerasan simbolik). Beberapa
institusi (keluarga, agama, sekolah, dan Negara) turut punya
andil menghadirkan produk itu. Pernyataan agama melalui
tafsiran Kitab Sucinya diterima keluarga dalam jangka wak-
tu yang sudah cukup lama membentuk cara berpikir penga-
nutnya dalam memandang orang lain. Effendi (2006: 37-38)
mengatakan agama-agama wahyu berangkat dari interpretasi
yang sama tentang perempuan, bahwa perempuan dicipta-
kan setelah laki-laki. Interpretasi yang bias gender menem-
patkan perempuan pada posisi lebih rendah dari laki-laki.
Pandangan terhadap perbedaan kerja sejak awal telah di-
lakukan keluarga dengan membedakan perhatian terhadap
anak laki-laki dan perempuan dari barang-barang mainan,
pekerjaan sehari-hari di rumah dan pendidikan. Sejak kecil
anak perempuan diberikan mainan berkaitan dengan tang-
gung jawab domestik, mulai dari urusan dapur, kebersihan
rumah dan mengurus anak. Para orangtua sejak awal telah
mempersiapkan anak perempuan menjadi istri yang baik
yang akan mengurus rumah, suami, dan anak-anaknya.
Para orangtua juga dibekali prinsip-prinsip dari pan-
dangan yang diperoleh pengalaman-pengalaman yang sama
tentang kehidupan dalam masyarakat termasuk di dalamnya
kehidupan keluarga. Kehidupan keluarga yang memuat nilai-
nilai patriarki menentukan sikap dan peran yang dilakukan
oleh setiap kepala keluarga dan anggota keluarga. Prinsip-
prinsip dominan terus berlangsung dalam tatanan sosial pada
jangka waktu yang sangat lama, sehingga membuat anak-
anak perempuan menganggap normal, bahkan natural, ta-
tanan sosial itu sebagaimana adanya dan membuat mereka
menentukan takdir berdasarkan tatanan tersebut.
Demikian juga laki-laki menilai semua yang berlaku da-
lam tatanan sosial sebagai sesuatu yang normal terutama

72
Bagian keempat • makna kekerasan terhadap buruh perempuan

posisi laki-laki sebagai pimpinan memiliki hak mengatur, me-


ngontrol dan menentukan nilai-nilai yang berlaku. Berangkat
dari pemikiran bahwa laki-laki akan mengembangkan karir-
nya di ranah publik sebagai kepala rumah tangga mengondisi­
kan laki-laki untuk senanantiasa diutamakan untuk memper-
oleh pendidikan formal dan perlakuan istimewa dengan tidak
dilibatkan dalam melakukan pekerjaan domestik. Peran laki-
laki di ranah publik mengikuti kegiatan sosial dan organisasi
kemasyarakan dinilai sebagai peran dan pekerjaan utama.
Keluarga adalah penjaga utamamodal “simbolik” (Bour-
dieu, 2010: 113), perempuan disingkirkan dari urusan yang
serius, yaitu dari urusan-urusan publik dan terutama dari
masalah-masalah ekonomi. Karena itu perempuan sejak
lama ditempatkan di ranah domestik dan dikhususkan da-
lam aktivitas-aktivitas yang diasosiasikan dengan reproduksi
biologis dan reproduksi sosial garis keturunan. Ketika kerja
domestik itu mulai terlihat, maka kerja itu menjadi “terderea-
lisasi” dengan mengalihkannya ke dalam urusan spiritualitas,
moral dan perasaan. Pengalihan itu dimudahkan oleh karak-
ter-karakter “tidak mendatangkan uang” dan “bebas kepen-
tingan” yang ada pada kerja domestik itu. Fakta bahwa kerja
domestik tidak dapat diukur dengan uang turut menjadikan
kerja itu kurang berharga, bahkan di mata perempuan itu sen-
diri. Keberadaan buruh perempuan di sektor domestik turut
memperlihatkan bagaimana perempuan ingin pekerjaannya
dinilai berharga seperti pekerjaan laki-laki, meskipun mereka
menyadari pekerjaan di ranah domestik merupakan tanggung
jawab penuh perempuan dan pekerjaan di sektor industri ti-
dak lepas dari persetujuan suami, karena semua yang dilaku-
kan merupakan kepatuhan istri kepada suami.

d. MAKNA KEKERASAN TERHADAP BURUH PEREMPUAN


Berangkat dari subjektivitas buruh perempuan, kekeras-
an yang terjadi terhadap mereka adalah kebijakan perusahaan

73
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

yang menempatkan posisi buruh perempuan sebagai tenaga


kerja kelas dua. Studi ini menunjukkan masyarakat patriarki
yang memandang eksisensi perempuan sebagi “Objek” men-
jadi alasan berpikr dan bertindak perusahaan menempatkan
buruh perempuan pada posisi tawar yang rendah. Buruh pe-
rempuan menjadi pihak yang selalu diatur, dikontrol dan di-
tentukan, dan buruh perempuan meneriman segala bentuk
kekerasan yang dihadapkan padanya, karena dia perempuan.
Kondisi yang terlihat dari kesabaran dan kepatuhan buruh pe-
rempuan dan porsi kecil yang diberikan perusahaan kepada
buruh perempuan pada posisi mengatur, mengontrol, dan
menentukan seperti yang diperlihatkan oleh supervisor. Dika-
renakan perempuan adalah pekerja kelas dua, maka penda-
patan buruh perempuan relatif lebih rendah dibanding laki-
laki ditambah anggapan bahwa perempuan bukanlah pencari
nafkah utama namun perempuan adalah pencari nafkah tam-
bahan.
Dalam pengalaman buruh perempuan posisi sebagai ke-
las dua setelah laki-laki dalam berbagai bentuk perlakuan di
pabrik diterima sebagai sesuatu yang biasa dan tidak perlu di-
ubah. Kondisi ini diperlihatkan buruh perempuan yang tetap
bertahan untuk tetap bekerja di sektor industri dengan sabar,
teliti dan tidak protes. Hal ini juga telah diwariskan oleh lem-
baga agama melalui perkawinan, menjadikan seksualitas di-
ordinasi dan tersubordinasi untuk transmisi warisan. Sebagai
penjaga simbolik, keluarga dalam undang-undang perkawin-
an yang diatur Negara menegaskan keluarga patriarki berada
dalam wawasan laki-laki, di mana laki-laki menjadi kepala,
perempuan menjadi anggota dalam kelaurga untuk meng-
hadapi kehidupannya. Peran sebagai istri yang baik tetap di-
tuntut dari buruh perempuan, yakni kepatuhan, karena jika
sikap tersebut tidak diperlihatkan, maka suami sebagai kepa-
la keluarga merasa dipermalukan. Melalui pembagian peran
tersebut, buruh perempuan sangatlah takut untuk mengece-
wakan suami termasuk di dalamnya sikap perempuan yang

74
Bagian keempat • makna kekerasan terhadap buruh perempuan

bergembira karena diijinkan bekerja di ranah publik. Kondisi


ini selalu melekat pada perempuan sebagiamana dikatakan
oleh Beauvoir merujuk pada pandangan St. Thomas bahwa
perempuan adalah “laki-laki yang tidak sempurna” atau juga
pandangan tentang Hawa yang disimbolkan oleh Bossuet “se-
buah tulang tambahan” Adam.
Kapitalis sebagai perpanjangan patriarki terlihat melalui
implementasi aturan dan kebijakan perusahaan terhadap bu-
ruh perempuan. Mengacu pada pandangan Beauvoir, ketika
perempuan turut ambil bagian pada dunia (dalam hal ini sek-
tor industri dan politik), itu berarti perempuan masih berada
pada dunia yang diperuntukkan untuk laki-laki. Dengan kata
lain, buruh perempuan menyadari bahwa dirinya tidak dapat
melepaskan diri dari dominasi patriarki.
Studi ini menghasilkan beberapa proposisi:
Pertama, Kekerasan berdampak pada hak perempuan
dalam perolehan posisi kerja. Buruh perempuan menerima
perbedaan dan posisi pekerjaan lebih tinggi cenderung dibe-
rikan perusahaan kepada laki-laki sebagai sesuatu yang biasa,
karena sejak awal laki-laki sudah berada di ranah publik dan
perempuan di ranah domestik.
Kedua, Kekerasan berdampak pada posisi kepengurusan
serikat buruh. Meski hak berserikat merupakan hak setiap in-
dividu. Namun buruh perempuan memilih untuk tidak duduk
pada kapasitas pengurus serikat buruh. Keikutsertaan buruh
perempuan sebagai pengurus serikat buruh berkaitan dengan
keputusan suami. Sebagai istri yang masih bertanggung jawab
pada urusan domestik meski telah menanggung ekonomi ke-
luarga, istri harus patuh terhadap keputusan suami
Ketiga, Kekerasan berdampak pada eksistensi perempuan
sehingga menjadi objek. Citra perempuan yang patuh, sabar,
dan teliti menjadi habitus dalam relasi antara struktur dan
agen; struktur masyarakat dan agen yakni perusahaan dan pe-
rempuan. Sikap perusahaan yang selalu menjadi subjek juga
merupakan habitus yang melatarbelakangi tindakan perusa-

75
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

haan terhadap buruh perempuan untuk selalu menempatkan


buruh perempuan sebagai “Objek”.
Keempat, Perlawanan yang dilakukan buruh perempuan
dalam bentuknya yang khas perempuan. Meski perempuan
harus patuh terhadap aturan dan kebijakan perusahaan, na-
mun pelanggaran terhadap eksistensi perempuan tidak dapat
dibiarkan untuk sepenuhnya ditentukan perusahaan. Kondisi
ini diperlihatkan buruh perempuan untuk melakukan perla-
wanan dalam kekhasan mereka. Perlawanan ini diperlihatkan
buruh perempuan dengan cara menolak untuk membuka
celana dalam di depan petugas klinik dengan tetap bekerja
pada saat haid. Mereka memilih tetap bekerja demi uang dan
bersikap seolah mereka tidak sedang haid dengan berusaha
melupakan rasa sakit dan nyeri ketika bekerja pada saat haid.
Sikap ini menjadi dialektika habitus yang diperlihatkan buruh
perempuan dalam waktu yang sangat lama dalam arena pab-
rik sepatu.

e. PENUTUP
Studi ini mendukung pandangan Bourdieu, khususnya
dalam konteks pemaknaan kekerasan menurut buruh perem­
puan sebagaimana yang mereka alami di dalam pabrik. Bah-
wa kekerasan simbolik berkaitan dengan kekerasan lunak
yang tidak dirasakan oleh pelaku dan korban, maka kekerasan
simbolik juga terlihat pada posisi tawar perempuan yang ti-
dak berubah baik di ranah domestik dan pabrik yakni sebagai
“Objek”.
Buruh perempuan menilai adalah biasa dan wajar per-
usahaan menetukan aturan yang berkaitan dengan tujuan
perusahaan. Buruh perempuan berusaha bekerja sesuai per-
mintan perusahaan karena menyadari bekerja di pabrik meru-
pakan kesempatan yang baik, atau perempuan diuntungkan
dengan keberadaan perusahaan dengan merekrut mayoritas
perempuan. Kesabaran, ketelitian, dan tidak protes meru-

76
Bagian keempat • makna kekerasan terhadap buruh perempuan

pakan sikap yang diperlihatkan buruh perempuan di pabrik


berkaitan dengan ancaman pemecatan bila mereka menetang
kebijakan perusahaan. Perusahaan dinilai mampu melakukan
pemecatan berkaitan dengan dominasi yang dimiliki, juga di-
dukung dengan jumlah perempuan yang produktif pada ma-
syarakat sedang membutuhkan pekerjaan. Pelaku kekerasan
juga tidak menyadari yang mereka lakukan, mereka menilai
yang dilakukan merupakan sesuatu yang biasa dan wajar.
Pandangan Bourdieu juga membenarkan bahwa agen ti-
dak patuh sepenuhnya pada habitus, dalam arti habitus dapat
berubah, karena habitus merupakan cara pandang agen da-
lam realitas sosialnya. Meski terlihat buruh perempuan selalu
patuh dan tindakan mereka yang bergantung pada ketentuan
struktur patriarki, namun agen yang digambarkan oleh buruh
perempuan menciptakan dialektika habitus yang baru, yakni
penolakan buruh perempuan terhadap aturan yang mengha-
ruskan mereka membuka celana dalam sebagai pembuktian
masa haid. Demikian di ranah domestik, merujuk pada pang-
akuan laki-laki bahwa buruh perempuan mulai berani berde-
bat dengan suami, sikap baru yang diperlihatkan buruh pe-
rempuan di ranah domestik berkaitan kemandirian ekonomi.
Alasan perubahan sikap mandiri yang diperlihatkan buruh
perempuan menjadikan laki-laki tidak menginginkan kebera-
daan buruh perempuan menjadi pengurus serikat buruh yang
didominasi laki-laki.
Khusus kepada perempuan, diperlukan pendekatan agar
perempuan kembali menemukan jati dirinya sebagai manusia
yang berhak menentukan dirinya sendiri. Sehingga perempu-
an tidak lagi menempatkan diri pada posisi tawar yang rendah
pada sistem masyarakat, tetapi sebagai pribadi yang berharga.
Keberadaan mereka sangat diperlukan oleh keluarga, Nega-
ra, dan masyarakat bagi kelangsungan generasi penerus yang
lebih baik. Perubahan pemahaman buruh perempuan atas
subjektivitasnya dan perubahan sistem masyarakat perlu di-
jelaskan kepada perempuan dan laki-laki khususnya bagi me-

77
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

reka yang berasal dari ekonomi kelas bawah. Ketergantungan


ekonomi dihadapkan dalam pembagian kerja sering menjadi
pemicu pertengkaran ranah domestik dan buruh perempuan
semakin terpuruk dalam posisi tawarnya yang rendah.
Dengan alasan itulah masyarakat perlu diberi kesadaran
atas keberadaan dominasi patriarki dalam pembagian ker-
ja bukan sebagai kodrat yang tidak dapat diubah. Domina-
si tersebut terjadi karena hasil pikiran manusia yang dapat
berubah dan diubah. Awalnya telah terjadi perubahan yang
mana perempuan dalam keluarga memainkan peranan pen-
ting dalam tanggung jawab ekonomi di ranah domestik. Hal
ini membuktikan bahwa dominasi patriarki merupakan sis-
tem masyarakat yang ada setelah masyarakat mulai memper-
hitungkan peranan manusia dari kalkulasi ekonomi di ranah
publik.
Pemahaman ini harus menjadi wacana bagi para pe-
mangku jabatan yakni pemerintah dan perusahaan. Mereka
berhak untuk membuat undang-undang dan kebijakan dalam
melindungi hak-hak setiap manusia sesuai dengan eksistensi-
nya, laki-laki dan perempuan. Penjelasan kepada pemangku
keputusan untuk lebih menghargai subjektivitas buruh pe-
rempuan yang memiliki kodrat yang berbeda dari laki-laki.
Karena buruh perempuan tidak hanya dinilai sebagai pendu-
kung nilai ekonomi, tetapi juga bagian dari kesejahteraan dan
kesehatan keluarga serta masyarakat. Kesadaran atas subjek-
tivitas perempuan yang mandiri hanya dimungkinkan terjadi
bila ada kesadaran dari semua pemilik modal kekuasan.
Para pemilik modal kekuasaan tersebut seperti sekolah,
agama, dan keluarga yang kembali memberikan pengharga-
an peran pada setiap manusia dan tidak memakai kekuasaan
untuk mendominasi pihak tertentu untuk kepentingan seke-
lompok masyarakat. Wacana ini juga harus turut menjadi per-
hatian kaum rohaniwan ketika menafsirkan ajaran Kitab Suci
bagi masyarakat, sehingga agama tidak lagi memperlihatkan
dominasi patriarki yang memosisikan perempuan menjadi

78
Bagian keempat • makna kekerasan terhadap buruh perempuan

pihak yang didominasi dan keberadaan perempuan dinilai se-


batas objek. Penafsiran Kitab Suci yang tidak bias gender me-
miliki peranan penting dalam mendidik masyarakat, di mana
penafsiran terbawa dalam pendidikan di tengah keluarga.

DAFTAR BACAAN
Abdullah, Irwan. 2009. Konstruksi dan Reproduksi Kebudaya-
an. Cet. 3. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Arivia Gadis. 2006. Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta:
Buku Kompas.
Arivia, Gadis. 2000. Logika Kekerasan Negara Terhadap Perem-
puan dalam Negara dalam Kekerasan Terhadap Perempu-
an. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Bourdieu, Pierre. 2010. Dominasi Maskulin. Yogyakarta: Jala-
sutra.
Bourdieu, Pierre. 2001. Intelektual Kolektif, Sebuah Gerakan
untuk Melawan Dominasi. Bantul: Kreasi Wacana. Ef-
fendi (2006: 37-38)
Daulay, Harmona. 2006. Buruh Perempuan di Industri Manu-
faktur. Suatu Kajian dan Analisis Gender. Vol. 11, No. 3.
Jakarta: Jurnal Wawasan.
Indraswati. 2008. Perempuan, Sumber Daya Ekonomi dan Mo-
dal Sosial. Jakarta: Jurnal Analisis sosial vol.13. No.1.
Luijpen, A. William. 1966. Phenomenology and Humanism.
Pittsburgh. Duquesne University Press.
Noerhadi, Toeti Heraty. 2000. Kekerasan Negara Terhadap Pe-
rempuan dalam Negara dan kekerasan Terhadap Perem-
puan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan dan The Asian
Foundation.
Nugraha, Ito Prajna. 2006. Mengurai Teks Menjalin Tanda dan
Memaknai Peristiwa Kisah Calon Arang dalam Jurnal Fil-
safat Tahun ke-28. Jakarta: Driyarkara.
Riyanto, E. Armada. 2009. Politik, Sejarah, Identitas, Post-
modernitas: Rivalitas dan Harmonitasnya di Indonesia

79
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

(Sketsa-filosofis-fenomenologis). Malang: Widya Sasana


Publication.
Ritzer, G & Douglas Goodman. 2010. Teori Sosiologi Modern.
Jakarta: Kencana.
Ritzer, G & Douglas Goodman. 2011. Teori Marxis dan Berba-
gai Ragam Teori Neo Marxian. Jakarta: Kencana.
Ritzer, George. 2003. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Paradigma
Berganda(cet. 4). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Siahaan, Sanggam. 2006. Tenaga Kerja Wanita Batak dan Ge-
reja Huria Kristen Batak di Port Klang, Malaysia.
Santoso, Thomas. 2002. Teori-teori Kekerasan. Surabaya: Gha-
lia Indonesia.
Tjandra Surya & Suryo mengggolo Jafar. 2006 (Penyuting).
Makin Terang bagi Kami, Belajar Hukum Perburuhan. Ja-
karta: Trade Union Rights Centre.

80
Bagian Kelima

FENOMENA PEREMPUAN
DALAM BELENGGU PATRIARkI
Oksiana Jatiningsih
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (FISH), Universitas Negeri Surabaya
Email: oksianajatiningsih@yahoo.com

a. PENDAHULUAN
“Fenomenologi” berasal dari bahasa Yunani, phainome-
non, dari phainesthai/phainomai/phainein yang berarti yang
menampakkan atau memperlihatkan; yaitu suatu hal (gejala)
yang nyata dan tidak semu, yang dapat diamati lewat indra,
yang menampakkan. Fenomena adalah fakta yang disadari
dan masuk ke dalam pemahaman manuasia (Kuswarno, 2009:
1). Oleh karena itu, fenomena bukan semata-mata merujuk
apa yang tampak mata, namun sesuatu yang adanya disadari
dan dinyatakan pula dengan kesadaran. Fenomenologi ada-
lah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak atau
apa yang menampakkan diri; ilmu tentang penampakan (fe-
nomena) (Adian, 2010: 5).
Filsafat fenomenologi yang dipelopori oleh Edmund Hus-
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

serl (1859-1938) adalah filsafat tentang fenomen yaitu peris-


tiwa, pengalaman keseharian, kecemasan, kedukaan, kegem-
biraan, keinginan, atau harapan, yang dimiliki setiap orang.
Fenomenologi mencoba memahami peristiwa keseharian
yang dialami subjek. Berfilsafat fenomenologi identik dengan
aktivitas akal budi yang mengungkap dan mengeksplorasi
pengalaman hidup setiap hari. Husserl mengemukakan, “Se-
mua pengetahuan berawal (begin) dari pengalaman, tetapi
hal ini tidak berarti bahwa semua pengetahuan muncul (arise)
dari pengalaman.”
Fenomenologi merujuk pada pengalaman langsung ma-
nusia terhadap suatu objek dalam hubungan intensif. Pe-
ngetahuan “muncul” secara induktif dari pengalaman-peng-
alaman individual yang pertama (Ferguson, 2006: 44-45) .
Mereka yang mengalami sendiri suatu pengalaman. Karena
itu kebenaran adalah sesuatu yang dialami langsung dalam
Fenomenologi bukan mendeskripsikan kebenaran berdasar-
kan apa yang tampak semata, tetapi kebenaran diungkap me-
nerobos melampaui fenomena yang tampak itu (Kuswarno,
2009: 2) dalam kesadaran manusia yang mengalaminya. Esen-
si dari pengalaman dibangun oleh dua asumsi (Smith dkk.,
2009:12). Pertama, setiap pengalaman manusia sebenarnya
adalah satu ekspresi dari kesadaran. Kedua, setiap bentuk
kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Oleh
karena itu, dalam hal ini ada dua hal yang saling terkait, yaitu
objek yang menampakkan diri dan kesadaran manusia atas
pengalamannya tentang objek itu. Fenomenologi tidak ber-
bicara tentang objek atau eksistensi faktual, melainkan struk-
tur konstitusi makna yang memungkinkan kesadaran (Adian,
2010:15). Bagi Husserl, hal yang penting adalah bagaimana
objek menampilkan diri dalam kesadaran.
Dalam fenomenologi, struktur sosial tidak sepenuhnya
menguasai individu; struktur sosial tidak sepenuhnya meng-
atur individu. Struktur sosial hidup dan bersemayam dalam
kesadaran individu, namun individu memiliki pengalaman

82
Bagian kelima • FENOMENA Perempuan dalam belenggu Patriarki

hidupnya sendiri saat membaca dan menyikapi suatu feno-


mena sesuai dengan kesadarannya masing-masing terhadap
suatu fenomena itu.
Individu (subjektif) adalah pencipta realitas sosial. Dalam
fenomenologi aneka peristiwa saling terkait. Tidak ada peris-
tiwa kecil yang tidak bermakna. Fenomenologi tidak melihat
peristiwa yang besar atau spektakuler. Tidak ada kriteria yang
digunakan untuk menjustifikasi bermakna atau tidaknya su-
atu peristiwa, kecuali individu itu sendiri karena fenomena
dipahami sesuai dengan sudut pandang seseorang (informan
atau subjek penelitian). Fenomenologi bertujuan untuk me-
ngetahui dunia dari sudut pandang orang yang mengalami-
nya secara langsung atau berkaitan dengan sifat-sifat alami
manusia dan makna yang dilekatkan kepadanya. Bagi Hus-
serl, “Dunia adalah produk kesadaran.” Subjektivitas adalah
kesadaran dan kesadaranlah yang menciptakan objektivitas
(Adian, 2010: 18). Hal ini tidak berarti bahwa objek adalah
produk kesadaran, namun kesadaran transendentallah yang
memberi makna dan wujud pada dunia.
Manusia bukan ego yang terlepas mandiri dari lingkung-
annya. Melalui sosialisasi, nilai-nilai objektif di masyarakat
dijadikan sebagai bagian dari sistem nilai subjektif individu.
Fakta objektif ini memengaruhi individu dalam memahami
realitas, tetapi hal terpenting yang dikedepankan dalam feno-
menologi adalah kehadiran individu yang secara sadar meng-
hadapi dan bereaksi terhadap suatu fenomena, termasuk
realitas objektif itu sendiri. Pergumulan batin dan kesadaran
yang terjadi pada individu dalam pengalamannya sehari-hari
ini menjadi transkrip yang menarik dalam fenomenologi. Ri-
yanto (2009: 2) mengungkapkan bahwa fenomenologi me-
mungkinkan akal budi mengerti keanekaragaman peristiwa
yang penuh makna.
Nilai-nilai gender patriarki menjadi struktur objektif yang
mewarnai seluruh sendi kehidupan. Akibatnya, nilai-nilai pat-
riarki menjadi kebenaran objektif yang siap mengintervensi

83
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

individu dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Meskipun


demikian individu tidak berada dalam kekuasaan realita ob-
jektif, ia bisa membangun realita tersendiri ketika ia berinter-
aksi dengan objek tertentu dalam kehidupannya sehari-hari.
Kebermaknaan suatu objek yang dibangun individu dalam
kesehariannya inilah yang diungkap dalam fenomenologi.
Jika secara objektif gender patriarki dianggap sebagai per-
masalahan, tidak selalu demikian halnya menurut individu,
karena dia sendirilah yang dalam kesadarannya membangun
realitas makna itu bagi dan dalam dirinya.

B. METODE FENOMENOLOGI
Positivisme yang selalu berkaitan dengan gejala yang
tampak berdampak pada kecenderungan untuk melihat suatu
fenomena dari kulitnya saja, tidak mampu memahami makna
di balik gejala yang tampak tersebut (Basrowi dan Soenyono,
2004: 59). Fenomena sosial dipandang sebagai rangkaian data
empiris yang dapat dicatat berdasarkan proses dan jumlah
kejadian yang teramati. Posisi dan rangkaian variabel-varia-
bel dalam peristiwa itu jelas mana yang awal dan mana yang
kemudian, mana sebab dan mana pula akibat.
Sosiologi fenomenologis pada dasarnya sangat dipenga-
ruhi oleh Edmund Husserl dan Alfred Schultz. Pengaruh lain
berasal dari Weber yang memberi tekanan pada verstehen,
yaitu pengertian interpretatif terhadap pemahaman manusia.
Fenomenologi merupakan cara untuk memahami kesadaran
manusia dengan menggunakan sudut pandang orang perta-
ma, yaitu orang yang secara langsung mengalami suatu peris-
tiwa. Fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengeta-
hui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang mereka teliti.
Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar
mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa
prasangka teoretis lewat pengalaman-pengalaman yang ber-
beda dan bukan lewat koleksi data yang besar untuk suatu

84
Bagian kelima • FENOMENA Perempuan dalam belenggu Patriarki

teori umum di luar substansi sesungguhnya. Fenomenologi


melihat perilaku manusia (apa yang dikatakan dan dilakukan)
sebagai produk dari bagaimana mereka menginterpretasikan
dunianya. Fenomenologi berfokus pada makna subjektif dari
realitas objektif di dalam kesadaran orang yang menjalani ak-
tivitas kehidupannya sehari-hari. Fenomenologi berangkat
da­ri pola pikir subjektif yang tidak hanya memandang suatu
gejala dari yang tampak, tetapi berusaha menggali makna di
balik yang tampak itu (Campbell, 1994: 233). Tugas fenome-
nologi adalah menangkap proses interpretasi itu (Bogdan dan
Taylor, 1975: 14).
Fenomenologi mempelajari struktur pengalaman dan ke-
sadaran. Fenomenologi mempelajari segala pengalaman se-
seorang, cara seseorang mengalami sesuatu, dan makna yang
dapat dipetik seseorang dari pengalamannya. Fokus perha-
tian fenomenologi adalah pengalaman sadar seseorang. Ke-
sadaran selalu terarah pada sesuatu merupakan konsep sen-
tral dalam fenomenologi. Fenomenologi mengkaji cara-cara
anggota masyarakat menyusun dan membentuk ulang dalam
kehidupan sehari-hari (Holsten dan Gubrium, dalam Denzin
dan Lincoln, 2009: 336).
Kesadaran selalu merujuk pada keinsafan seseorang akan
sesuatu (fenomena/objek). Kesadaran bersifat intensionali-
tas, selalu terarah dengan sengaja pada objek-objek tertentu.
Karena itu, fenomena harus dimengerti sebagai sesuatu hal
yang menampakkan diri. Kesadaran tidak dapat dibayangkan
tanpa sesuatu yang disadari. Supaya ada kesadaran, diandal-
kan tiga hal, yaitu bahwa ada suatu subjek yang terbuka untuk
objek-objek yang ada. Intensionalitas merupakan keterarah-
an kesadaran (directedness of consciousness) dan keterarahan
yang bertujuan pada satu objek. Namun hal ini tidak berarti
bahwa kesadaran mempunyai intensionalitas, karena justru
kesadaran adalah intensionalitas itu sendiri.
Peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha me-
mahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-

85
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

orang dalam situasi-situasi tertentu; tidak melihat jumlah


kemunculan peristiwa itu, dan tidak pula melihat hasil peng-
amatan dan pemahaman peneliti terhadap fenomena itu.
Mungkin saja peneliti menangkap bahwa seorang pelaku
sedang berada dalam posisi yang bersahabat dengan orang
lain, namun catatan peristiwa di balik fenomena “baik” yang
ditangkap melalui pengamatan peneliti sangat mungkin sarat
akan perjuangan untuk menjatuhkan dan menguasai orang
tersebut.
Phenomenological research is the study of lived or expe-
riential meaning and attempts to describe and interpret these
meanings in the ways that they emerge and are shaped by cons-
ciousness, language, our cognitive and noncognitive sensibili-
ties, and by our preunderstandings and presuppositions. Phe-
nomenology may explore the unique meanings of any human
experience or phenomenon (Given, 2008: 614).
Penelitian fenomenologis mempelajari tentang makna hi-
dup atau pengalaman seseorang dan upaya untuk menggam-
barkan dan menafsirkan makna dalam cara-cara yang mereka
lakukan dan dibentuk oleh kesadaran, bahasa, kepekaan kog-
nitif, dan nonkognitifnya sendiri, dan tanpa pemahaman awal
dan pengandaian-pengandaian kita.
Fenomenologi berpandangan bahwa pengalaman subjek
pengetahuan harus selalu dipandang sebagai pengalaman
yang terlibat secara aktif dengan dunia (Adian, 2010: 6). In-
kuiri fenomenologis dimulai dengan diam. Diam merupakan
tindakan untuk mengungkap pengertian sesuatu yang sedang
diteliti. Yang ditekankan oleh para fenomenolog adalah aspek
subjektivitas perilaku seseorang. Peneliti berusaha masuk ke
dalam dunia konseptual subjek yang ditelitinya sedemikian
rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu
pengertian (makna) yang dikembangkan oleh mereka di seki-
tar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari. Para fenome-
nolog percaya bahwa pada makhluk hidup tersedia berbagai
cara untuk menginterpretasikan pengalaman melalui interak-

86
Bagian kelima • FENOMENA Perempuan dalam belenggu Patriarki

si dengan orang lain, dan bahwa pengertian pengalaman itu-


lah yang membentuk kenyataan. Karena itu fenomenologi da-
pat mengeksplorasi makna yang unik dari setiap pengalaman
manusia atau fenomena. Subjektivitas merupakan satu-satu-
nya prinsip yang tidak boleh dilupakan ketika peneliti sosial
memahami objek-objek sosial.
Fenomenologi adalah analisis atas esensi kesadaran se-
bagaimana dihayati dan dialami oleh manusia, dan esensi
ideal dari objek-objek sebagai korelasi kesadaran. Collin Finn
(1997: 103) menyebut fenomenologi sebagai proses peneliti-
an yang menekankan “meaningfulness.” Kebermaknaan atas
suatu kejadian atau objek pasti melibatkan proses dan pelaku
dari kejadian tersebut. Karena itu subjektivitas individu seba-
gai pembentuk realitas sosial sangat penting untuk diperha-
tikan. Banyak makna yang dapat kita petik dari pengalaman
hidup yang dialami seseorang, misalnya ketika mereka berada
dalam penderitaan. Ada yang mendapatkan pencerahan da-
lam penderitaannya, karena menginsafi kesalahan yang telah
diperbuat yang berdampak pada hadirnya penderitaan dalam
hidupnya. Ada yang melihat penderitaan sebagai cobaan yang
harus dilalui dengan sukses jika kita ingin hidup yang lebih
baik kemudian. Ada juga penderitaan yang dirasakan sebagai
siksaan, karena itu perlu diakhiri dengan segera bagaimana
pun caranya. Cara pandang seseorang pelaku berkaitan de-
ngan fenomena yang dialaminya akan dapat dipetik dari pe-
rincian pengalaman-pengalaman dan ungkapan-ungkapan
yang dikemukakan saat penderitaan itu menerpanya. Semua
ini tidak akan tampak dalam realita yang terindra. Oleh kare-
na itu, untuk mendapatkan makna dari suatu fenomena, kita
harus menerobos melampaui fenomena yang tampak itu se-
hingga mendapatkan meaningfulness (Dilthey dalam Collin,
1997: 104; Waters, 1994: 31).
Fenomenologi mempelajari struktur tipe-tipe kesadar-
an yang terentang dari persepsi, gagasan, memori, imajinasi,
emosi, hasrat, kemauan, keluhan, sampai tindakan, baik itu

87
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

dalam bentuk tindakan sosial maupun bahasa (Kuswarno,


2009: 22). Fenomenologi menganalisis struktur dari persepsi,
imajinasi, penilaian, emosi, evaluasi, dan pengalaman orang
lain tentang suatu objek. Dengan demikian, fenomenolo-
gi Husserl adalah suatu penyelidikan terhadap relasi antara
kesadaran dengan objek di dunia luar, serta apa makna dari
relasi itu. Menurut Husserl, fenomenologi merupakan studi
reflektif untuk memperoleh esensi kesadaran dari sudut pan-
dang orang pertama yang mengalami.
Konsep makna (meaning) sangat penting dalam fenome-
nologi. Makna adalah isi penting dari pengalaman sadar ma-
nusia. Pengalaman sadar ini berbeda antara satu orang dengan
yang lain meskipun ia berhadapan dengan objek pengalaman
yang sama. Maknalah yang membedakan pengalaman anta-
ra orang yang satu dengan orang yang lain dan pengalaman
yang satu dan pengalaman yang lain. Suatu pengalaman bisa
menjadi bagian dari kesadaran seseorang, karena orang me-
maknainya. Karena itulah tidak semua benda bermakna dan
tidak semua benda yang sama memiliki makna yang sama.
Benda-benda tidak secara langsung menampakkan ha-
kikat dirinya. Apa yang tampak pada benda-benda itu dalam
pemikiran biasa bukanlah hakikat. Ada sesuatu makna di ba-
lik penampakan fisik sesuatu benda. Hakikat benda itu ada
di balik yang kelihatan itu. Karena pemikiran pertama (first
look) tidak membuka tabir yang menutupi hakikat, maka di-
perlukan pemikiran kedua (second look). Alat yang digunakan
untuk menemukan hakikat pada pemikiran kedua ini adalah
intuisi. Dalam usaha untuk melihat hakikat dengan intuisi,
Husserl memperkenalkan pendekatan reduksi, yaitu penun-
daan segala ilmu pengetahuan yang ada tentang objek, sebe-
lum pengamatan intuitif dilakukan.
Husserl sangat tertarik dengan penemuan makna dan ha-
kikat dari pengalaman. Yang menarik dan sangat penting dari
metode fenomenologi Husserl adalah bahwa mendialogkan
masalah yang dihadapi dengan secermat-cermatnya sebelum

88
Bagian kelima • FENOMENA Perempuan dalam belenggu Patriarki

mengambil kesimpulan. Fenomenologi tidak berbicara ten-


tang eksistensi faktual, melainkan struktur konstitusi makna
yang memungkinkan kesadaran (Adian, 2010: 15). Fenomeno-
logi Husserl hendak menganalisis dunia kehidupan manusia
sebagaimana ia mengalaminya secara subjektif maupun in-
tersubjektif dengan manusia lain. Ia membedakan antara apa
yang subjektif, intersubjektif, dan yang objektif. Yang subjek-
tif adalah pengalaman pribadi subjek sebagai manusia yang
menjalani kehidupan. Objektif adalah dunia di sekitar subjek
yang bersifat permanen di dalam ruang dan waktu. Intersub-
jektitas adalah pandangan dunia semua orang yang terlibat di
dalam aktivitas sosial di dalam dunia kehidupan. Interaksi an-
tara dunia subjektif, dunia objektif, dan dunia intersubjektif
inilah yang menjadi kajian fenomenologi. Kesadaran bahwa
manusia selalu terarah pada dunia, dan keterarahan ini meli-
batkan suatu horison makna yang disebut sebagai dunia kehi-
dupan. Di dalam konteks itulah pemahaman tentang manusia
dan kesadaran bisa ditemukan.
Berikut adalah komponen-komponen konseptual dalam
fenomenologi transendental Husserl (Kuswarno, 2009: 40-46):
a. Noema dan Noesis. Noema atau noesis merupakan turun-
an dari kesengajaan atau intentionality. Intentionality
adalah maksud memahami sesuatu, di mana setiap peng-
alaman individu memiliki sisi objektif dan subjektif. Jika
akan memahami, maka kedua sisi itu harus dikemukakan.
Sisi objektif fenomena (noema) artinya sesuatu yang bisa
dilihat, didengar, dirasakan, dipikirkan, atau sekalipun se-
suatu yang masih akan dipikirkan (ide). Adapun sisi sub-
jektif (noesis) adalah tindakan yang dimaksud (intended
act) seperti merasa, mendengar, memikirkan, dan menilai
ide. Terdapat kaitan yang erat antara noema dan noesis
meskipun keduanya sangat berbeda makna. Noema akan
membawa pemikiran kita kepada noesis. Tidak akan ada
noesis jika kita tidak mengawalinya dengan noema.
b. Intuisi. Intuisi yang masuk dalam unit analisis Husse-

89
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

rl ini dipengaruhi oleh intuisi menurut Descrates yakni


kemampuan membedakan—yang murni dan yang di-
perhatikan dari the light of reason alone (semata-mata
alasannya). Intuisilah yang membimbing manusia men-
dapatkan pengetahuan. Bagi Husserl, intuisilah yang
meng­hubungkan noema dan noesis. Inilah sebabnya fe-
nomenologi Husserl dinamakan fenomenologi transen-
dental, karena terjadi dalam diri individu secara mental
(transenden).
c. Kesengajaan (intentionality). Kesengajaan adalah orien-
tasi pikiran terhadap suatu objek; (sesuatu) yang menu-
rut Husserl, bisa nyata atau tidak nyata. Kesengajaan se-
lalu berhubungan dengan kesadaran. Dengan demikian,
kesengajaan adalah proses internal dalam diri manusia
yang berhubungan dengan objek tertentu, baik berwujud
maupun tidak. Dengan konsep ini Husserl ingin menun-
jukkan bahwa untuk menciptakan makna harus ada ker-
jasama antara “aku dengan dunia di luar aku.” Persepsi,
memori, harapan, penilaian, dan sintesis noemata (mak-
na yang dibuat) memungkinkan seseorang untuk melihat
objek secara berbeda setelah ia melihat objek riil, di sisi
lain hal tersebut juga memungkinkan manusia untuk me-
lihat objek walaupun objek itu sudah tidak terlihat lagi.
d. Intersubjektivitas. Makna intersubjektif ini dijabarkan
oleh Schutz. Bahwa makna intersubjektif ini berawal dari
konsep “sosial” dan konsep “tindakan”. Konsep sosial
didefinisikan sebagai hubungan antara dua atau lebih
orang dan konsep tindakan didefinisikan sebagai perila-
ku yang membentuk makna subjektif. Akan tetapi, makna
subjektif tersebut bukan berada di dunia privat individu
melainkan dimaknai secara sama dan bersama dengan
individu lain. Oleh karena itu, sebuah makna subjektif
dapat berubah menjadi intersubjektif karena memiliki
aspek kesamaan dan kebersamaan (common and shared)
dengan makna subjektif yang lain.

90
Bagian kelima • FENOMENA Perempuan dalam belenggu Patriarki

Adapun tahapan-tahapan penelitian fenomenologi tran-


sendental Husserl adalah epoche, reduksi fenomenologi, vari-
asi imajinasi, dan sintesis makna dan esensi (Kuswarno, 2010:
48-54).
Pertama, Epoche. Epoche adalah penundaan semua
asum­­si tentang kenyataan demi memunculkan esensi. Epoche
meng­andalkan kebebasan peneliti dalam memilih sudut pan-
dang. Peneliti tidak perlu hanyut dalam sudut pandang natu-
ralisme maupun psikologisme, yang melakukan generalisasi
dalam penelitian tentang manusia. Naturalisme berasumsi
bahwa objek-objek berdiri sendiri terlepas dari pengetahuan
subjek; merupakan sesuatu yang asing yang kemudian dise-
rap dalam kesadaran subjek. Psikologisme mereduksi kodrat
entitas yang digarap logika sebagai semata-mata entitas psi-
kologis dalam benak manusia. Keduanya dapat mengganggu
arah kesadaran, sehingga harus dikendalikan. Epoche adalah
cara untuk melihat dan menjadi, sebuah sikap mental yang
bebas. Segala sesuatu yang berhubungan dengan orang lain
seperti persepsi, pilihan, penilaian, dan perasaan harus di-
kesampingkan. Persepsi dan tindakan dalam kesadaran sajal
yang menjadi titik untuk menemukan makna, pengetahuan,
dan kebenaran.
Kedua, Reduksi fenomenologi. Reduksi fenomenologi
bertugas menjelaskan dalam susunan bahasa bagaimana ob-
jek itu terlihat, tidak hanya dalam term objek eksternal, tetapi
juga kesadaran dalam tindakan internal, pengalaman, ritme,
dan hubungan antara fenomena dengan “aku” sebagai sub-
jek yang diamati. Reduksi akan membawa pada bagaimana
mengalami sesuatu. Reduksi merupakan cara untuk melihat
dan mendengar fenomena dalam tekstur dan makna asli-
nya. Tahap-tahap yang terjadi dalam reduksi fenomenologi
adalah: (1) bracketing atau proses menempatkan fenomena
dalam tanda kurung dan memisahkannya dari hal-hal yang
mengganggu untuk memunculkan kemurniannya. Memba-
ca seluruh data (deskripsi) tanpa prakonsepsi. Menempatkan

91
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

sesuatu dalam tanda kurung (bracketting) tidak berarti me-


ragukan eksistensinya, melainkan menunda semua asumsi
tentangnya. Jadi dalam rangka menemukan hakikat makna,
bracketting harus dilakukan terhadap pengetahuan dan peng-
alaman terdahulu, tradisi-tradisi dan common sense yang ber-
laku dan memengaruhi kehidupan, dan teori-teori yang telah
diketahui; (2) Horizonalizing atau membandingkan dengan
persepsi orang lain mengenai fenomena yang diamati, seka-
ligus melengkapi atau mengoreksi proses bracketing. Meng-
inventarisasi pernyataan-pernyataan penting yang relevan
dengan topik; (3) Horizon, yakni proses menemukan esensi
fenomena yang murni atau sudah terlepas dari persepsi orang
lain; (4) Tahap Cluster of Meaning: mengelompokkan horizon
dalam tema-tema tertentu dan mengorganisasikannya ke da-
lam deskripsi tekstual dari fenomena yang relevan. Rincian
pernyataan penting tersebut diformulasikan ke dalam makna
dan dikelompokkan ke dalam tema-tema tertentu (Textural
description, Structural description). Jadi dalam proses ini pe-
ngetahuan dinaikkan dari level fakta ke level ide atau dari fak-
ta ke esensi yang lebih umum (Kockelmans dalam Kuswara,
2010: 52).
Ketiga, Variasi imajinasi. Tugas variasi imajinasi adalah
mencari makna-makna yang mungkin dengan memanfaat-
kan imajinasi, kerangka rujukan pemisahan dan pembalikan,
dan pendekatan terhadap fenomena dan perspektif, posisi,
peranan, dan fungsi yang berbeda. Tujuannya untuk menca-
pai deskripsi struktural dari sebuah pengalaman (bagaimana
fenomena berbicara dengan dirinya). Dalam variasi imajinasi
dunia dihilangkan, sehingga segala sesuatu menjadi mungkin.
Segala pendukung dijauhkan dari fakta dan entitas yang dapat
diukur dan diletakkan pada makna dan hakikatnya, sehingga
intuisi tidak lagi empiris namun murni imajinatif. Dalam va-
riasi imajinatif juga dapat dibayangkan struktur yang mung-
kin dari ruang, waktu, bahan, dan hubungan sebab akibat,
dan interaksi antara diri dengan orang lain, sehingga peneliti

92
Bagian kelima • FENOMENA Perempuan dalam belenggu Patriarki

akan menyadari bahwa tidak ada faktor tunggal dalam kebe-


naran. Langkah-langkah dalam variasi imajinatif adalah: (1)
sistematisasi struktur makna yang mungkin, dengan menda-
sarkan pada makna tekstural; (2) mengenal tema-tema pokok
dan konteks ketika fenomena muncul; (3) menyadari struktur
universal (seperti struktur ruang, waktu, bahan, perhatian,
kausalitas, hubungan diri dengan orang lain) yang mengen-
dapkan perasaan dan pikiran dalam kerangka rujukan feno-
mena; (4) mencari contoh-contoh yang dapat mengilustrasi-
kan tema struktur invarian dan memfasilitasi pembangunan
deskripsi struktural dari fenomena.
Keempat, Sintesis makna dan esensi. Pada tahap ini di-
lakukan integrasi intuitif dasar-dasar deskripsi tekstural dan
struktural ke dalam satu pernyataan yang menggambarkan
hakikat fenomena secara keseluruhan. Esesnsi adalah sesua-
tu yang umum dan berlaku universal, kondisi atau kausalitas
yang menjadikan sesuatu. Esensi tidak pernah terungkap se-
cara sempurna, karena itu esensi ini hanya terikat pada ruang
dan waktu tertentu, dari sudut pandang imajinatif dan studi
reflektif seseorang terhadap fenomena.
Reduksi juga dapat diartikan penyaringan atau pengecil-
an. Istilah lain yang digunakan Husserl adalah epoche yang
artinya metode penundaan asumsi terhadap realitas guna
memunculkan hakikat (Adian, 2010: 27); penempatan sesuatu
di antara dua kurung (metode bracketting) agar peneliti dapat
bersikap netral. Hal ini perlu dilakukan karena objek penyeli-
dikan fenomenologi bukanlah objek yang faktual Maksudnya
adalah melupakan pengertian-pengertian tentang objek un-
tuk sementara, dan berusaha melihat objek secara langsung
dengan intuisi tanpa bantuan pengertian-pengertian (kon-
septual) yang dimiliki sebelumnya. Dengan kata lain, reduksi
berarti kembali pada dunia pengalaman subjek.
Ada 3 macam reduksi yang ditempuh untuk mencapai
realitas fenomen dalam pendekatan fenomenologi itu, yaitu
reduksi eidetis, reduksi fenomenologis, dan reduksi transe-

93
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

dental (Adian, 2010: 29-31).


1. Reduksi Eidetis. Adalah menyingkirkan seluruh penge-
tahuan tentang objek yang diselidiki dan diperoleh dari
sumber lain. Maksud reduksi ini ingin menemukan eidos
(intisari), atau sampai kepada wesen-nya (hakikat). Kare-
na itu, reduksi ini juga disebut wesenchau, artinya di sini,
untuk melihat hakikat sesuatu. Hakikat yang dimaksud
Husserl bukan dalam arti umum, misalnya, “manusia
adalah hakikatnya dapat mati”, bukan suatu inti yang ter-
sembunyi, misalnya, “hakikat hidup”, bukan pula haki-
kat seperti yang dimaksud Aristoteles, seperti, “manusia
adalah binatang yang berakal”. Hakikat yang dimaksud
Husserl adalah struktur dasariah, yang meliputi isi funda-
mental, ditambah semua sifat hakiki, lalu ditambah pula
semua relasi hakiki dengan kesadaran serta objek lain
yang disadari. Tujuan reduksi adalah untuk mengung-
kap struktur dasar (esensi, eidos, atau hakikat) dari sua-
tu fenomena (gejala) murni atau yang telah dimurnikan.
Oleh karena itu, dalam reduksi eidetis yang harus dilaku-
kan adalah menunda prasangka terhadap objek; jangan
dulu mempertimbangkan atau mengindahkan apa yang
sifatnya aksidental atau eksistensial dengan cara bracke-
ting, sehingga yang tersisa hanya pengalaman itu sendiri.
Dengan reduksi eidetis ini, semua perbedaan-perbedaan
dari sejumlah item dihilangkan, sehingga tinggal suatu
esensi saja yaitu pengalaman.
2. Reduksi Fenomenologis. Menyingkirkan segala sesuatu
yang subjektif. Reduksi ini bertujuan untuk membendung
semua prasangka subjek terhadap objek yang dicari esen-
sinya, sehingga yang tersisa adalah kesadaran itu sendiri.
Sikap peneliti harus objektif, terbuka untuk gejala-gejala
yang harus “diajak bicara”. Walaupun demikian, karena
fenomena itu memang merupakan data, maka sama se-
kali tidak disangkal eksistensinya, hanya tidak diperha-
tikan. Yang disadari hanya objek yang diteliti. Hal yang

94
Bagian kelima • FENOMENA Perempuan dalam belenggu Patriarki

dilakukan oleh Husserl dalam reduksi fenomenologis


adalah: (a) Dengan “mengurung” atau bracketing pra-
sangka subjek terhadap objek yang hendak dicari esensi-
nya yaitu meminggirkan keyakinan peneliti akan totalitas
objek-objek semua yang terlibat dengannya dari pengeta-
huan atau pengalaman tentangnya; dan (b) Menjelaskan
struktur dari apa yang tetap ada setelah dilakukan “pe-
ngurungan”.
3. Reduksi Transedental. Adalah dengan menyingkirkan
seluruh reduksi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah
dikatakan oleh orang lain harus untuk sementara dilupa-
kan. Kalau reduksi-reduksi ini berhasil, maka gejala ter-
sebut dapat menampakkan diri menjadi fenomena. Me-
nurut Husserl setiap tindakan menyadari adalah tindakan
menyadari sesuatu, secara intensional selalu diarahkan
subjek ke objek yang disadari. Melalui reduksi transen-
dental ditemukaan esensi kesadaran yaitu intensiona-
litas (Kuswarno, 2009: 11). Reduksi transedental selalu
melibatkan cogitations atau aktivitas intensional (disebut
noesis) dan cogitate atau objek intensional (disebut noe-
ma) yang selalu berada dalam keadaan yang berkorelasi.
Setiap noesis pasti memiliki noema, namun belum tentu
noema memiliki objek konkret.
Schutz adalah orang pertama yang menerapkan feno-
menologi dalam penelitian ilmu sosial. Fenomenologi sosial
dimaksudkan untuk mengintepretasikan dan menjelaskan
tindakan dan pemikiran manusia melalui dekripsi terhadap
struktur dasar dari realitas yang tampak menjadi bukti diri se-
seorang dalam sikap yang alami (Schutz & Luckmann, 1974:
3). Fenomenologi dimaksudkan untuk mampu menafsirkan
dan menjelaskan setiap tindakan dan pemikiran manusia de-
ngan cara menggambarkan struktur-struktur dasar “... reali-
ta yang tampak “nyata” sebagaimana yang dianggap sebagai
sikap “alamiah” (Denzin dan Lincoln, 2009: 337). Schutz me-

95
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

ngatakan bahwa objek penelitian ilmu sosial sehari-hari pada


dasarnya berhubungan dengan interpretasi terhadap realitas.
Menurut Schutz, tindakan seseorang berawal dari posisinya di
masyarakat, sehingga tindakan seseorang itu mungkin saja ha-
nya merupakan kamuflase atau peniruan terhadap orang lain
di sekelilingnya. Peneliti harus menyadari kondisi ini, sehing-
ga ia perlu dapat membangun hubungan dengan objek pene-
litiannya sedemikian rupa (merasa nyaman) agar subjeknya
bertindak menjadi dirinya sendiri.
Tindakan subjektif para aktor (manusia yang berperilaku)
tidak muncul begitu saja, namun melalui suatu proses pan-
jang untuk dievaluasi dengan mempertimbangkan kondisi
sosial, ekonomi, budaya, dan norma etika agama atas dasar
tingkat pemahaman sendiri sebelum suatu tindakan dilaku-
kan. Manusia mengonstruksi makna di luar arus utama peng-
alaman melalui proses tipifikasi (Schutz dalam Kuswarno,
2009:18) yaitu proses abstraksi dan formalisasi untuk meng-
lasifikasikan benda-benda berdasarkan tipe-tipe karakter ter-
tentu. Hubungan antarmakna diorganisasikan melalui proses
ini atau disebut stock of knowledge. Stock of knowledge me-
rupakan kumpulan pengalaman yang kemudian memenga-
ruhi makna yang terkonstruksi dalam pikiran, sikap, dan pe-
rilaku dan dapat diimplementasikan dalam realitas. Stock of
knowledge yang mengandung resep-resep ini diwariskan dan
akan menjadi referensi individu dalam menghadapi perso-
alan-persoalan yang muncul kemudian. Apa yang dilakukan
individu adalah menyusun dunia-dunia yang ia maksudkan
dalam kesadarannya sehari-hari dengan memakai tipifikasi-
tipifikasi yang diteruskan kepadanya oleh kelompok sosialnya
(Campbell, 1994: 238).
Inti pemikiran Schutz adalah bagaimana memahami tin-
dakan sosial melalui penafsiran (interpretasi). Yang dimaksud
tindakan sosial adalah tindakan yang berorientasi pada masa
perilaku orang atau orang lain pada masa lalu, sekarang, dan
akan datang (Kuswarno, 2010: 110). Mengikuti Husserl, Schutz

96
Bagian kelima • FENOMENA Perempuan dalam belenggu Patriarki

mengatakan bahwa proses pemahaman kegiatan aktual dan


pemberian makna terhadapnya merupakan sesuatu yang di-
hasilkan hanya melalui refleksi atas tingkah laku apabila pro-
ses itu berlalu karena pemahaman macam itu membagi arus
tindakan menjadi rentetan tindakan yang terpilah-pilah de-
ngan tujuan-tujuan yang dapat dibeda-bedakan (Campbell,
1994: 231). Semua sikap dan tindakan seseorang dilakukan
berdasarkan tindak kesadaran (conscious acts) dan bertujuan
(intended acts) sendiri. Karena itu tindakan bersifat subjektif.
Hakikat manusia terletak pada pengalaman subjektifnya, ter-
utama ketika mengambil tindakan dan sikap terhadap dunia
kehidupan sehari-hari. Tipifikasi (pemolaan) memudahkan
individu untuk mengkaji pengalaman, mengenali, dan me-
nentukan apakah benda dan peristiwa dapat dipandang se-
bagai bagian realitas khusus atau tidak. Pada saat yang ber-
samaan tipifikasi bersifat fleksibel, dapat beradaptasi dan
dimodifikasi, sehingga senantiasa terbuka akan perubahan.
Makna itu sendiri merupakan hasil penerapan kategori atau
konstruk tertentu pada situasi konkret tertentu (meaning-
context). Tindakan, ucapan, dan interaksi merupakan prasya-
rat bagi setiap eksistensi sosial.
Perbedaan utama fenomenologi dengan ilmu-ilmu alam,
termasuk psikologi positivistik, adalah peran sentral makna di
dalam pengalaman manusia (meaning in experience). Schutz
mengemukakan dunia sosial keseharian senantiasa merupa-
kan suatu pengalaman intersubjektif dan pengalaman penuh
makna. Makna intersubjektif ini berawal dari konsep “sosial”
dan konsep “tindakan”. Konsep sosial didefinisikan sebagai
hubungan antara dua atau lebih orang dan konsep tindakan
didefinisikan sebagai perilaku yang membentuk makna sub-
jektif. Akan tetapi, makna subjektif tersebut bukan berada di
dunia privat individu melainkan dimaknai secara sama dan
bersama dengan individu lain melalui intersubjektif. Dunia
individu merupakan dunia intersubjektif dan perasaan se-
bagai bagian dari kelompok. Manusia adalah makhluk sosial

97
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

sehingga kesadaran akan dunia kehidupan sehari-hari ada-


lah sebuah kesadaran sosial. Melalui intersubjektivitas yai-
tu relasi timbal balik antara individu (diri sendiri) dan sosial
terjadilah pemaknaan yang bersifat sosial, yaitu pemaknaan
subjektif yang memperoleh konfirmasi karena kesamaannya
dengan makna subjektif dari orang lain. Bagi Schutz, dunia
keseharian yang memiliki sifat intersubjektif (the life world)
inilah realitas yang tertinggi. Jadi, dalam pandangan Schutz,
realitas sosial dibentuk atau dikonstruksi berdasarkan tindak-
an dan relasi makna.
Dalam kehidupan sehari-hari manusia berhadapan de-
ngan realitas makna bersama, yang akan dikomunikasikan
dalam bentuk bahasa dan tindakan (Basrowi dan Soenyono,
2004: 63); Dalam rangka pemahaman itu, maka penting un-
tuk memahami tujuan yang hendak dicapai oleh seseorang.
Dalam melakukan penelitian, peneliti harus menggunakan
metode interpretasi yang sama dengan orang yang diamati,
sehingga peneliti bisa masuk ke dalam dunia interpretasi sub-
jek penelitian. Peneliti harus mengasumsikan dirinya sebagai
orang yang tidak tertarik atau bukan bagian dari dunia orang
yang diamati, dan hanya terlibat secara kognitif dengan orang
yang diamati (Kuswarno, 2009: 38). Metode verstehen yang
ditawarkan Weber, mengarah pada suatu tindakan subjektif
yang merujuk pada suatu motif tujuan atau in order to moti-
ve (Waters, 1994: 34-35; Schutz, 1972: xxvi-xxvii). In order to
motive menggambarkan tentang harapan yang dimiliki sese-
orang (aktor) pada masa yang akan datang. Sebuah tindakan
memiliki in order to motive (tujuan) yang menjadi referensi
bagi munculnya sebuah kesadaran (Schutz, 1972: xxvii); kesa-
daran untuk melakukan sesuatu dalam rangka mencapai ha-
rapan tertentu. Namun, tindakan subjektif tidaklah muncul
begitu saja, tetapi harus melalui proses yang panjang. Karena
itu, menurut Schutz, sebelum in order to motive, ada tahapan
because motive yang mendahuluinya (Waters, 1994: 34-35).
Jika in order to motive menjadi alasan yang diharapkan dica-

98
Bagian kelima • FENOMENA Perempuan dalam belenggu Patriarki

pai oleh seseorang yang melakukan tindakan, maka because


motive berorientasi ke masa lalu dan menjadi dorongan yang
memberi alasan bagi dilakukannya suatu tindakan (Schutz,
1972: 91). Dalam tindakan individu yang dilakukan secara sa-
dar akan senantiasa dapat ditemukan alasan-alasan mengapa
seseorang melakukan suatu tindakan (because motive) dan
untuk apa ia melakukan tindakan itu (in order to motive). Da-
lam memahami makna, kedua motif ini menjadi objek pen-
ting saat melakukan tindakan melihat kembali (refleksi) ter-
hadap peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang telah
terjadi pada masa lalu.
Fenomenologi dimaksudkan untuk mengungkap makna
yang dibangun aktor terhadap suatu fenomena yang tampak
dari tindakan sehari-hari yang dilakukan dengan penuh ke-
sadaran. Dua pertanyaan besar yang penting untuk diajukan
adalah mengapa suatu tindakan dilakukan dan untuk apa tin-
dakan tersebut dilakukan. Untuk menjawabnya, empat hal
penting dalam memahami fenomenologi adalah: (1) Apa fe-
nomena yang tampak? (2) fenomena atau kejadian apa yang
disadari oleh pelakunya; (3) mengungkap esensi dari apa yang
tampak itu; dan (4) kebenaran apa yang diperoleh dari orang
pertama. Dalam rangka itu beberapa pertanyaan yang cocok
dijadikan panduan dalam menjelaskan fenomenologi adalah:
(1) peristiwa apa yang secara khusus terhubung dengan feno-
mena yang dikaji? (2) bagaimanakah peristiwa tersebut me-
mengaruhi aktor? (3) bagaimanakah perasaan yang dialami
ketika suatu peristiwa terjadi? (4) bagaimanakah pikiran yang
dialami ketika peristiwa tersebut terjadi? (5) setelah peristiwa
terjadi, apakah yang berubah karena itu? (6) bagaimanakah
peristiwa yang dialami aktor; memengaruhi orang lain di se-
kitarnya? (7) apakah yang tidak dapat dilakukan dari peristiwa
yang terjadi itu? (8) bagaimanakah lingkungan memberi res-
pons atas tindakan aktor?

99
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

c. KEHIDUPAN MASYARAKAT PATRIARKI


Secara sosial, perempuan ditempatkan sebagai the se-
cond dan the other, sedangkan laki-laki sebagai the first dan
the genuine subject (Beauvoir, 1949: 20; Bauer, 1960: 44). Posisi
perempuan menjadi komplemen bagi eksistensi laki-laki se-
bagai sang subjek, sang absolute (Beauvoir, 1949). Karena re-
lasi yang tidak setara ini, wacana pengetahuan dan kebenaran
gender pun diukur menurut konstruksi laki-laki. Perempu-
an dibentuk dan didefinisikan oleh laki-laki (Beauvoir, 1949:
15-16; Bauer, 2001: 44); Laki-laki yang membentuk dunia
dan perempuan juga. Beauvoir (1949: 15) menyatakan, “One
is not born as a woman, but rather becomes one.” Eksistensi
perempuan (objek) secara relatif bergantung pada laki-laki,
sementara laki-laki (subjek) berada pada posisi yang otonom.
Kondisi ini menimbulkan perbedaan yang sistematik antara
laki-laki dan perempuan; anak laki-laki diajari untuk menjadi
independent (a stone image) sehingga menjadi powerful, krea-
tif, dan bebas, sedangkan anak perempuan diajari agar dapat
membangun relasi yang stabil dengan dunia melalui pencip-
taannya menjadi seductive object (a mirror) sehingga mere-
ka menjadi pribadi yang pasif (Bauer, 2001: 219). Akibatnya,
perempuan tersubordinasi dan termarginalisasi. Akibatnya,
dalam konstruksi gender yang patriarki ini, laki-laki menjadi
pemilik kekuasaan (power) dan perempuan tidak (powerless).
Sejarah penciptaan manusia laki-laki dan perempuan
menjadi rujukan ideologi yang kemudian membangun kons­
truksi hakikat laki-laki dan perempuan. Satu saja tulang ru-
suk lelaki telah menjelma menjadi perempuan. Karenanya
perempuan secara fisik diciptakan lebih lemah daripada laki-
laki. Kehadiran perempuan melengkapi “tulang rusuk” laki-
laki. Perempuan ditempatkan pada posisi yang tidak sama
dengan laki-laki. Perempuan adalah pelengkap laki-laki.
Nilai anak laki-laki dan perempuan pada suatu keluarga
dan masyarakat mungkin berbeda. Kebanggaan dan keba-

100
Bagian kelima • FENOMENA Perempuan dalam belenggu Patriarki

hagiaan menyambut kelahiran anak laki-laki diekspresikan


secara berbeda di masyarakat dengan kebahagiaan dan ke-
banggaan menyambut kelahiran anak perempuan. Legitimasi
religius atas peristiwa ini pun dapat ditemukan. Ajaran Agama
Islam tentang akikah untuk menebus kelahiran anak laki-laki
dan perempuan semakin meneguhkan perlunya perbeda-
an itu. Dua kambing untuk anak laki-laki dan satu kambing
untuk anak perempuan. Tanpa bermaksud mempersoalkan
alasan religiusnya, ternyata “nilai tebusan” anak laki-laki le-
bih mahal daripada anak perempuan. Dalam konteks rasio-
nal, tentu wajar hal yang mahal menjadi lebih berharga da-
ripada yang lebih murah. Karena itu benar saja jika laki-laki
lebih berharga daripada perempuan. Kelahiran anak laki-laki
menjadi lebih berharga daripada anak perempuan. Kebang-
gaan dan harapan ini menjadi lebih kuat lagi karena tuntut-
an adat yang mempersyaratkan anak laki-laki saja misalnya
sebagai penerima warisan keluarga sebagaimana halnya di
Bali, atau anak laki-laki yang kelak bertanggung jawab untuk
menghidupi orangtua.
Dalam dunia yang patriarki, di keluarga ada posisi yang
berbeda (dan tidak adil) antara laki-laki dan perempuan. laki-
laki ditempatkan sebagai kepala keluarga dan ibu sebagai ibu
rumah tangga. Sebagai kepala keluarga, laki-laki akan berpe-
ran untuk memimpin dan melindungi keluarga serta menca-
ri nafkah, sedangkan ibu berperan untuk mengurus rumah
tangga dan melayani suami dan anak-anaknya. Dikotomi pe-
ran ini berdampak pada penyiapan anak secara berbeda sesu-
ai dengan jenis kelaminnya. Memberi bekal kemampuan un-
tuk dapat bekerja dengan baik lebih penting untuk diberikan
kepada anak laki-laki daripada anak perempuan. Dampaknya,
ketika sekolah lebih dimaknai sebagai upaya untuk menyiap-
kan masa depan dan memperoleh pekerjaan yang baik, anak
laki-laki pun lebih dipentingkan untuk berkesempatan dise-
kolahkan daripada anak perempuan. Variabel jenis kelamin
anak menjadi varian penting dipertimbangkan ketika sebuah

101
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

keluarga terpaksa harus memilih anak laki-laki atau perem-


puannya yang akan disekolahkan; anak laki-laki dipandang
lebih penting untuk disekolahkan daripada anak perempuan.
Dengan pendidikan yang memadai, diharapkan anak laki-laki
kelak dapat memperoleh pekerjaan yang baik. Dalam peker-
jaan yang baik, artinya penghasilan yang baik akan diperoleh.
Dalam kekuatan ini, anak laki-laki itu akan dapat mengemban
peran kelaki-lakiannya dengan baik, yaitu mencari nafkah un-
tuk keluarga.
Dampak pengutamaan laki-laki untuk memperoleh akses
pendidikan adalah ketimpangan laki-laki dan perempuan da-
lam perolehan pendidikan, terutama pada level pendidikan
tinggi. Makin tinggi jenjang pendidikan, angka partisipasi se-
kolah anak perempuan lebih rendah daripada anak laki-laki.
Semakin tinggi jenjang pendidikan, angka partisipasi perem-
puan semakin rendah. Selain faktor-faktor umum seperti ke-
miskinan, fenomena ini disebabkan oleh ketersediaan fasilitas
pendidikan yang relatif jauh jaraknya dari kedudukan tempat
tinggal, juga faktor yang sangat kuat adalah pengutamaan
pendidikan anak laki-laki masih menjadi budaya kuat di se-
bagian masyarakat. Karena pentingnya pengutamaan pendi-
dikan bagi anak laki-laki, bahkan banyak dapat ditemui, anak
perempuan bekerja untuk membantu orangtuanya menyeko-
lahkan saudara laki-lakinya. Salah satu bentuk pengorbanan
anak perempuan untuk saudara laki-lakinya karena kuatnya
ideologi patriarki. Perempuan dalam nilai yang patriarki dia-
jari untuk rela berkorban dan melayani dengan tulus.
Orientasi dan motivasi bersekolah pada anak laki-laki
dan perempuan berbeda. Anak laki-laki mengatakan bahwa
bersekolah penting baginya agar mereka dapat mempero-
leh pekerjaan yang baik. Tidak satu anak laki-laki pun yang
berangan tidak bekerja ketika mereka dewasa. Hal ini berbeda
dengan anak perempuan, meskipun mereka berharap dapat
bekerja, tetapi motivasi untuk bekerja setelah mereka lulus
sekolah tidak sekuat seperti motivasi untuk bekerja pada anak

102
Bagian kelima • FENOMENA Perempuan dalam belenggu Patriarki

laki-laki. Kesadaran akan kewajiban bekerja menjadi bagian


yang disosialisasikan berbeda kepada anak laki-laki dan pe-
rempuan. Laki-laki wajib bekerja karena ia adalah pencari
nafkah keluarga, sedangkan bekerja bagi perempuan adalah
untuk membantu mencari nafkah suaminya. Begitu pen-
tingnya bekerja bagi laki-laki, sehingga kesiapan untuk me-
nikah pun diukur dari kemampuannya untuk memperoleh
penghasilan. Pada masyarakat pedesaan dan sebagian besar
masyarakat, kematangan menikah bagi anak perempuan di-
tentukan oleh usia dan kemampuannya mempersiapkan diri
menjadi istri. Oleh karena itu, belajar dapat berperan menja-
di ibu rumah tangga yang baik adalah kebutuhan belajar bagi
anak perempuan. Bagi anak perempuan, bersekolah adalah
persiapan untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik, bukan
untuk bekerja. Bersekolah akan bermanfaat membentuk wa-
wasan menjadi istri dan ibu yang baik bagi keluarga yang ke-
lak akan dibangunnya. Bahkan tidak jarang, ada masyarakat
yang beranggapan bahwa pendidikan bagi anak perempuan
akan bermanfaat untuk meningkatkan daya tawarnya ketika
mereka akan dipilih menjadi istri dan memilih suami. Ada ke-
cenderungan laki-laki akan memilih calon istri yang berkuali-
fikasi “setingkat di bawah” atau setingkat dengan tingkat pen-
didikannya, oleh karena itu ketika perempuan berpendidikan
maka jaminan mendapatkan suami yang juga cenderung ber-
pendidikan. Bersekolah tinggi adalah bagian dari pembentuk-
an kapasitas diri dan status sosial bagi perempuan.
Stereotipe maskulin dan feminin pada laki-laki dan pe­
rempuan pun berdampak pada penyiapannya menjadi laki-
laki dan perempuan yang ideal. Perempuan tidak diajarkan
berkarakter maskulin, walaupun karakter itu ternyata dibu-
tuhkan di dunia kerja dan lebih menunjukkan kualitas. Laki-
laki pun cenderung hanya disosialisasikan untuk mempelajari
dan menjadi maskulin. Dikotomi karakter ini dipandang di-
perlukan untuk peran mereka masing-masing sebagaimana
telah dirumuskan masyarakat. Perempuan tidak perlu men-

103
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

jadi superwoman karena akan ada superman yang siap melin-


dunginya dan memenuhi kebutuhannya. Menjadi perempuan
yang siap mendukung dan melayani suami dan anak-anak-
nya dengan kesabaran dan ketulusan lebih diidamkan oleh
laki-laki. Memainkan peran dengan baik di dapur, kasur, dan
sumur bahkan (pernah) menjadi tuntutan bagi perempuan,
khususnya pada masyarakat yang nilai-nilai patriarkhinya be-
gitu kuat. Pengalaman sosialisasi yang diberikan oleh orang
yang dewasa kepada anak-anak atau yang lebih muda berja-
lan menurut pola-pola ideal itu; perempuan dijadikan femi-
nin dan laki-laki dijadikan maskulin.
Stereotipe dan peran domestik publik berikutnya ber-
dampak pula pada dunia ketenagakerjaan dan pekerjaan. Ber-
dasarkan beberapa hasil penelitian terungkap bahwa di dunia
industri, buruh perempuan dibayar lebih murah daripada bu-
ruh laki-laki. Industri lebih suka mempekerjakan tenaga kerja
perempuan karena upahnya lebih murah daripada jika mem-
pekerjakan tenaga kerja laki-laki. Pertimbangan pemberian
upah yang murah kepada perempuan ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa tanggung jawab mencari nafkah bukan
ada pada perempuan, dan perempuan hanya berperan mem-
bantu suaminya untuk mencari nafkah. Berbagai proses telah
mereproduksi sifat keperempuanan dan kenyataan tentang
pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan sifat keperempuan-
an tersebut. Tingkat absensia perempuan yang tinggi (karena
cuti hamil dan melahirkan) sering dijadikan alasan untuk ti-
dak memilih tenaga kerja perempuan atau menempatkan pe-
rempuan dalam pekerjaan yang marginal. Dengan di bungkus
budaya patriarki perempuan dianggap sebagai pekerja yang
mencari tambahan bagi ekonomi rumah tangga sehingga ke-
bijakan-kebijakan yang diturunkan disamakan dengan kon-
disi laki-laki yang masih lajang, meskipun para perempuan
buruh pabrik itu adalah kepala keluarga. Jadi, perempuan ter-
subordinasi di dunia kerja (industri atau pabrik) karena nilai
patriarki yang melingkupi kehidupan masyarakat.

104
Bagian kelima • FENOMENA Perempuan dalam belenggu Patriarki

Demikianlah, karena dikotomi domestik publik dan femi-


nin-maskulin yang kuat, dunia kerja pun merumuskan karak-
ter yang berbeda dalam menyambut kehadiran laki-laki dan
perempuan. Kursi manajer lebih terbuka pada laki-laki dari-
pada perempuan, sementara posisi sekretaris lebih terbuka
pada perempuan. Secara umum, kita dapat menemukan ada
karakter pekerjaan laki-laki dan ada pula pekerjaan untuk pe-
rempuan. Pekerjaan dengan karakter kasar, keras, penuh in-
trik, dan strategis penentu kebijakan di pandang cocok untuk
laki-laki, sementara karakter pekerjaan yang mengandalkan
keramahan, pelayanan, dan ketelatenan dipandang lebih co-
cok untuk perempuan. Dampaknya, kesempatan untuk me-
masuki dunia pekerjaan yang “tidak ditakdirkan” untuk jenis
kelamin tertentu pun menjadi tidak mudah. Ada sistem nilai
dan kepantasan yang siap menghadang. Ada akses yang ber-
beda kepada laki-laki dan perempuan dalam memasuki pe-
kerjaan-pekerjaan dan posisi tertentu di dunia kerja. Perem-
puan tidak cocok menjadi pimpinan karena stereotipe tidak
rasional dan emosional. Jika perempuan diintegrasikan ke
dalam industrialisasi, maka ia cenderung berada di bidang-
bidang pekerjaan yang merupakan perpanjang tangan tugas-
nya di sektor domestik yang membutuhkan ketelatenan, kete-
litian, dan kesabaran.
Disadari atau tidak marginalisasi dan subordinasi pada
perempuan ini terjadi dalam lingkup kehidupan di keluarga,
sekolah, masyarakat, kultur, bahkan negara. Pelabelan femi-
nin dan maskulin menjadi pola baku yang mengatur perfor-
mance laki-laki dan perempuan, dikotomi domestik-publik
kuat berlaku mengatur aktivitas laki-laki dan perempuan, dan
relasi yang tidak setara menguasai hubungan antara laki-laki
dan perempuan pada berbagai bidang kehidupan. Misalnya,
marginalisasi di dalam keluarga, anak perempuan mendapat-
kan kesempatan kedua setelah anak laki-laki. Dampaknya,
kesempatan memperoleh pekerjaan yang prospektif pun le-
bih terbuka bagi laki-laki. Perempuan diterima secara terba-

105
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

tas di lingkup publik. Jika perempuan mengintegrasikan diri


ke dalam dunia kerja, maka ia mendapatkan peluang kerja di
bidang-bidang yang merupakan perpanjang tangan tugasnya
di sektor domestik yang membutuhkan ketelatenan, keteli-
tian, dan kesabaran, bukan posisi manajerial. Secara umum
streotipe atau pelabelan atau ciri-ciri penandaan terhadap
laki-laki dan perempuan dalam konstruksi budaya patriarki,
melahirkan ketidakadilan-ketidakadilan di masyarakat. Inilah
norma-norma positivistic yang menjadi nilai dan norma yang
mengatur kehidupan setiap individu di masyarakat. Nilai-
nilai patriarki yang hidup di mana-mana ini dan berlaku pada
semua bidang kehidupan menjadi fenomena objektif dan
mengintervensi individu sehingga tersimpan sebagai stock of
knowledge.

d. PEREMPUAN DALAM BELENGGU MENTALITAS PATRIARKI


Menggunakan cara pandang fenomenologi, tidak sekadar
melihat penampakan suatu peristiwa sebagai hal yang biasa
terjadi, sehingga tidak tampak “apa-apa.” Pengukuran objek­
tif yang begitu rigid sebagaimana yang biasa terjadi pada pe-
nelitian-penelitian ilmu alam bukanlah hal yang dilakukan
dalam kajian fenomenologi. Tidak ada asumsi-asumsi yang
berlaku objektif dalam suatu peristiwa. Alat-alat ukur yang
dikembangkan dari sejumlah indikator untuk melihat suatu
peristiwa pun bukanlah hal yang sesuai dengan penelitian
fenomenologi. Parameter objektif yang dikembangkan dari
kelaziman di masyarakat dan dunia ilmu juga tidak dihadir-
kan mendahului peristiwa atau pengalaman. Tidak ada frame
objektif yang membatasi dan mengatur peneliti dalam meli-
hat dan menilai kejadian-kejadian itu. Dalam fenomenologi,
interpretasi dilakukan berdasarkan pemaknaan subjektif oleh
pelaku pertama atas sikap dan tindakannya yang dimuncul-
kan dalam pengalaman sehari-harinya. Seorang peneliti di-
tuntut untuk dapat meletakkan perasaan dan pengetahuan

106
Bagian kelima • FENOMENA Perempuan dalam belenggu Patriarki

subjektifnya ketika ia hendak memahami suatu fenomena.


Pembagian lingkup kegiatan dalam dikotomi yang kaku
domestik-publik membawa konsekuensi yang begitu panjang
dalam pemberian pengalaman belajar kepada laki-laki dan
perempuan. Anak laki-laki dan perempuan dipersiapkan se-
cara berbeda karena peran mereka telah “dikodratkan” ber-
beda. Orangtua mungkin sering mengabaikan keluhan atau
protes anak perempuannya karena perasaan tidak adil yang
dialaminya dengan dalih belajar dan keharusan menjadi pe-
rempuan yang baik. Seorang ibu dengan kesungguhannya
biasa mengatakan kepada anak perempuannya bahwa setiap
perempuan harus belajar untuk dapat melayani laki-laki de-
ngan baik. Anak perempuan diharapkan tidak banyak protes
dan memberontak, karena itu protes karena perempuan di-
haruskan belajar mengerjakan pekerjaan domestik sementara
saudara laki-lakinya bebas dari kewajiban itu adalah bagian
dari kejadian yang tidak lazim terjadi, karena laki-laki dan
perempuan memiliki status dan peran sosial yang berbe-
da. Setiap keluhan, ungkapan, tetesan air mata atau guratan
kekerasan fisik, bahkan wajah muram yang dialami seorang
perempuan sekalipun adalah fenomena penting. Tentu saja,
perasaan iba, heran, atau berlagak mengerti atas kesakitan
yang dialami perempuan tidaklah cukup mengatakan makna
fenomena itu.
Siapa pun menginginkan dapat berperan dengan baik
dalam kehidupan. Proses penyiapan peran yang baik ini di-
lakukan melalui proses pendidikan di rumah, sekolah, atau
masyarakat. Konsistensi dan keberlanjutan ajaran di berba-
gai lingkup itu akan meneguhkan kuatnya hasil sosialisasi
itu. Kalau di rumah seorang anak perempuan dipaksa belajar
menjadi perempuan dengan peran menjadi ibu dan istri yang
baik, maka anak sejak awal telah menelan “makanan pokok”
patriarki, yang kemudian akan ditambah dengan “vitamin-
vitamin” patriarki yang lain ketika anak-anak itu keluar dari
rumahnya dan bertemu dengan ajaran yang sama di sekolah

107
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

atau di masyarakat. Penolakan anak perempuan untuk tidak


melakukan ajaran itu, tidak jarang berbuntut kekerasan baik
yang berwujud kemarahan verbal atau hukuman fisik dari
orangtua atau yang lebih dewasa. Anak selalu diajarkan patuh
kepada orangtuanya, dan bersamaan dengan itu anak ditun-
tut belajar untuk hidup dalam belenggu nilai patriarki. Anak
perempuan belajar menjadi perempuan feminin yang baik
dengan cara belajar terampil melakukan pekerjaan-pekerjaan
domestik dan bersabar melayani saudara dan orangtuanya.
Kejadian-kejadian biasa dalam keseharian kehidupan yang
dialami anak perempuan di keluarganya, dalam interaksinya
dengan orangtuanya, saudaranya, teman-temannya, guru-
nya, atau yang lain merupakan rangkaian kejadian yang me-
nyuarakan realitas sosial.
Pemandangan dan pengalaman bahwa perempuan wa-
jib menjadi istri dan ibu yang baik yang dapat diamati anak
perempuan dalam keseharian kehidupan di rumahnya atau
tetangganya adalah potret patriarki yang akan menciptakan
tipifikasi-tipifikasi bagi anak. Stock of knowledge yang dipel-
ajarinya lewat pengalaman, petunjuk, kemarahan, atau pela-
jaran-pelajaran sosialisasi lain yang dialami anak perempuan
(juga laki-laki) akan menjadi kriteria saat ia melihat dirinya
dan fenomena sosial di sekitarnya. Kuat dan hebatnya penga-
laman sosialisasi ini pada anak menyebabkannya tak mampu
mengelak dari ikatan nilai yang diajarkan orangtuanya. Kea-
daan ini juga mungkin dialami siapa pun, sehingga seorang
peneliti mungkin sejak awal sudah terprovokasi oleh nilai-
nilai dan pengalaman hidupnya sendiri yang mungkin patri-
arki. Dalam penelitian fenomenologi hal-hal seperti ini harus
dikendalikan. Terburu-buru melihat realita yang sedang dika-
ji (fenomena) sebagai sebuah kebenaran yang esensial, kare-
na sejak awal kebetulan dialami dan diketahui nilai-nilai yang
sama adalah sebuah kekeliruan.
Pengalaman sehari-hari yang begitu kuat dan terus-me­
nerus mengajarkan bagaimana menjadi laki-laki dan perem-

108
Bagian kelima • FENOMENA Perempuan dalam belenggu Patriarki

puan. Laki-laki harus dapat menjadi kepala keluarga yang


baik, dan perempuan menjadi istri dan ibu yang baik. Men-
jadi kepala keluarga yang baik salah satunya ditandai oleh
kemampuannya mencari nafkah, sedangkan untuk menjadi
istri dan ibu yang baik perempuan harus betah di rumah dan
dapat menjadi penjaga rumah yang baik. Siap melayani suami
dan anak kapan pun diperlukan. Perempuan siaga (siap men-
jaga) di rumah. Kedua hal ini menuntut syarat dan persiapan
yang berbeda. Anak-anak berada pada situasi sosialisasi yang
memungkinkannya memiliki stock of knowledge yang bermu-
atan tipifikasi-tipifikasi menjadi ayah, ibu, anak laki-laki, anak
perempuan serta relasi di antaranya.
Dengan menggunakan pemikiran Berger, stock of know-
ledge tersebut menjadi objektivikasi yang siap menginter-
vensi dan memengaruhi individu. Semakin konsisten upaya
sosialisasi yang dilakukan terhadap anak, maka semakin kuat
nilai-nilai itu terinternalisasi pada anak dan semakin objektif
pula nilai-nilai itu berlaku. Inilah kebenaran sosial. Dalam pe-
nelitian fenomenologi, peneliti harus mampu menunda un-
tuk menyimpulkan dan menilai fenomena individual dengan
parameter ini. Pemahaman teoretis, pengalaman hidup, atau
kelaziman-kelaziman yang berlaku harus dipisahkan dari pe-
ristiwa yang sedang menjadi objek penelitian. Dalam konsep
Husserl, peneliti harus menunda menyimpulkan suatu feno-
mena dengan melakukan bracketing terhadap fenomena ter-
sebut.
Ajaran di rumah, ternyata berlanjut di sekolah dan ma-
syarakat. Sosialisasi nilai patriarki terjadi lagi. Pemandangan
yang berbasis nilai patriarki ditemui lagi. Buku-buku teks bias
gender. Guru-guru pun berinteraksi dan bereaksi kepada anak
dalam gaya-gaya nilai patriarki. Anak-anak perempuan bel-
ajar menjadi orang yang tidak cengeng, tetapi anak laki-laki
lebih dituntut untuk malu menjadi cengeng. Anak laki-laki
harus kuat dan mandiri dan anak-anak perempuan bela­jar
untuk menjadi kuat dan mandiri. Buku-buku teks yang dibaca

109
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

anak bermuatan materi bias gender dan guru tidak responsif


terhadap fenomena itu. Menganggap materi bias gender se-
bagai hal yang wajar terjadi adalah bagian yang biasa terja-
di; Tidak ada yang aneh dan salah dengan materi bias gender
yang tertulis di buku teks. Menganggap biasa dan tidak ada
apa-apa adalah realita respons para guru di sekolah. Peneliti
fenomenologi tidak dapat mengatakan mestinya guru tidak
seperti itu, karena ternyata itulah stock of knowledge yang
membuatnya bereaksi seperti itu, meskipun reaksi itu tidak
diharapkan. Inilah konsep noema dalam pandangan Husserl.
Guru tidak dapat dipandang “bersalah” karena peran mene-
ruskan nilai gender patriarki.
Fenomena sosial yang lain yang teramati dan dipelajari
oleh anak dalam berbagai pengalamannya seperti berita dan
fakta di dunia kerja dan lingkup publik yang lain menjadi in-
formasi yang biasa dan fakta yang tak terbantahkan. Semu-
anya cenderung merujuk pada kuatnya nilai-nilai patriarki.
Tidak banyak direktur yang perempuan, tidak banyak juga
pimpinan organisasi yang berasal dari kaum wanita. Guru-
guru TK dan SD hampir selalu didominasi perempuan namun
tak selalu seperti itu dengan kepala sekolahnya. Para ayah
bekerja keras sampai tengah malam agar menjadi ayah yang
hebat dalam mencari nafkah melalui kerja kerasnya, tetapi hal
yang sama tidak bisa dilakukan oleh perempuan. Perempuan
tidak akan menjadi hebat, karena kerja kerasnya yang tidak
kenal waktu. Perempuan suatu ketika wajar saja dan harus
berhenti bekerja karena alasan anak-anak, suami, dan rumah
tangga, namun laki-laki tidak akan melakukannnya karena itu
tidak boleh dilakukannya. Realita-realita itu dipelajari anak-
anak. Direkam dalam memorinya, dan kemudian disusun
dalam konstruk nilainya. Demikian konsisten fakta-fakta itu
sehingga keluar dari realita patriarki itu hampir tidak mung-
kin dilakukan. Stock of knowledge menjadi frame dan referensi
bagi tindakan individual, namun tidak berarti individu akan
menjadi aktor seperti yang diciptakan oleh frame sosial itu.

110
Bagian kelima • FENOMENA Perempuan dalam belenggu Patriarki

Ada noesis yang memuat semua pengalaman, sikap, dan cara


berpikir serta tindakan yang mungkin saja membuat individu
membangun kebenaran individualnya, menampilkan keuni-
kannya dan kebenarannya sendiri melalui pengalaman-peng-
alaman sehari-hari dengan penuh kesadaran.
Kekuatan kultural dan ideologis melalui berbagai me-
dia–formal dan nonformal, tertulis dan lisan, langsung dan
tidak langsung yang terus-menerus menyosialisasikan ideolo-
gi patriarki itu membuat setiap orang tanpa kesadaran kritis
me­nerima begitu (taken for granted) apa yang menjadi mate-
ri sosialisasi itu. Namun bukan ini yang dikaji fenomenologi.
Fenomenologi tidak mengkaji ketidaksadaran tindakan aktor.
Sebagaimana dinyatakan sebelumnya, fenomenologi melihat
pengalaman sehari-hari aktor yang disadari; jelas orientasi-
nya kepada alasan dan tujuan (because motive dan in order to
motive).
Perempuan sering terjerembab pada posisinya yang ter-
kekang oleh nilai budaya patriarki. Penyiapan menjadi istri
dan ibu yang baik tanpa tuntutan kemampuan untuk mencari
nafkah membuatnya dipandang tidak perlu pandai atau ber-
sekolah. Pendidikan menjadi terbatas baginya. Banyak sekali
anak-anak perempuan muda yang sengaja memilih bekerja
atau dipaksa berhenti sekolah setelah lulus sekolah dasar atau
sekolah menengah pertama untuk bekerja demi menyum-
bangkan penghasilannya untuk keperluan sekolah adik atau
kakak lelakinya. Fakta bahwa perempuan yang sedang berada
di puncak atau sedang beranjak menuju ke puncak kariernya
tiba-tiba memutuskan mengerem kariernya bahkan memu-
tuskan berhenti/pension karena suatu alasan tertentu yang
bersifat pribadi sangat mungkin terjadi. Menyebut fenomena
unik seperti itu dengan “gila” atau “bodoh” tidak dapat dila-
kukan oleh peneliti fenomenologi. Karena itu adalah realitas
subjektif bagi para pelaku fenomena itu. Kerelaan yang dengan
sadar terpaksa dipilih menjadi bagian dari catatan penting
kehidupan aktor adalah objek penting dalam penelitian feno-

111
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

menologi. Pilihan “berhenti” sebagaimana gambaran dalam


fenomena tersebut hampir tidak pernah dilakukan laki-laki,
karena justru keberhasilan karier akan menjadi bagian dari
yang dibanggakan oleh laki-laki dan keluarganya. Mungkin
saja aktor perempuan yang mengerem laju kariernya terpaksa
melakukannya, tetapi dengan sadar tindakan kontraproduktif
itu dilakukannya. Ada alasan-alasan dan tujuan-tujuan yang
tertentu yang mendasari pengambilan tindakan tersebut. De­
ngan tanpa mementingkan jumlah aktor yang mengalami su-
atu fenomena, keunikan pengalaman sehari-hari yang disa-
dari aktor adalah projek penting dalam fenomenologi.
Kisah Siti, seorang pembantu rumah tangga, yang memi-
lih berhenti bersekolah karena memberi kesempatan saudara
laki-lakinya untuk dapat bersekolah adalah fenomena yang
menarik untuk dikaji. Siti adalah salah satu dari pelaku kehi-
dupan yang terkonstruksi dalam mentalitas yang patriarki. Ia
masih berusia 13 tahun dan terpaksa berhenti sekolah kare-
na kemiskinan orangtuanya. Tidak ada penolakan dan protes
yang dikemukakannya ketika orangtuanya mengatakan tidak
mampu lagi menyekolahkan kedua anaknya. Siti diminta
berhenti sekolah dan bekerja agar dapat membantu adiknya
(laki-laki) untuk bersekolah, Siti setuju dan tidak menolak.
Dalam pandangannya, adiknya yang laki-laki itu memang
penting untuk sekolah terus, bahkan sampai perguruan tinggi
jika mungkin. Biar saja dia berhenti sekolah dan bekerja un-
tuk kepentingan itu. Dari tutur kata yang diungkapkan tam-
pak bahwa ia bangga dan tulus melakukannya demi mem-
perjuangkan kemenangan dan keunggulan saudara lelakinya.
Tidak ada kecemasan yang terjadi apakah kelak saudaranya
akan mengakui dan membalas jasanya yang telah membantu
menyekolahkannya. Ia bangga telah dapat membantu meri-
ngankan beban orangtuanya dan membuat saudara laki-laki-
nya bersekolah. Melakukan kewajibannya dengan baik diya-
kininya akan dapat mengantarkan hidupnya kelak dengan
baik juga. Dia tidak perlu menjadi pencari nafkah sebagaima-

112
Bagian kelima • FENOMENA Perempuan dalam belenggu Patriarki

na halnya adiknya yang kelak menjadi kepala keluarga.


Perempuan terbiasa untuk belajar berkorban dan dikor-
bankan. Membela diri dan kemampuan untuk itu mungkin
tidak pernah diajarkan dan dipentingkan. Ketulusan untuk
selalu ikhlas berkorban menjadi kebutuhan agar menjadi pe-
rempuan yang hebat. Mencurahkan seluruh waktunya untuk
memperhatikan dan melayani keluarga adalah bagian penting
untuk dapat menjadi perempuan yang diidamkan. Kelelahan
fisik menjadi bukti kesetiaan perempuan melayani anggota
keluarga yang dicintainya. Apakah memang begitu seharus-
nya kodrat perempuan. Ternyata begitu banyak perempuan
yang menjadi korban dalam tatanan kehidupan patriarki, ter-
masuk Siti yang masih begitu muda.
Siti muda yang dalam cara pandang umum bahwa dia
mengorbankan dirinya dengan menjual tenaganya dan meng-
gadaikan masa depannya demi saudaranya merupakan sebu-
ah potret (realita sosial) yang mungkin memang dipilih oleh
seorang anak perempuan dalam kesadaran. Dalam kajian fe-
nomenologi, memahami bagaimana dia memandang dirinya,
memandang saudara dan orangtuanya, menerima sesuatu se-
bagai kewajibannya, memandang hidup dan masa depannya,
menjalani rutinitas aktivitas kehidupannya, merupakan hal-
hal yang menjadi objek kajian fenomenologi. Dalam peneliti-
an fenomenologi tidak dipersoalkan bagaimana mengangkat
kehidupannya agar tidak menjadi pembantu. Siti memaknai
sendiri diri dan kehidupannya.
Fenomenologi akan membuat interpretasi berdasarkan
realitas yang diamati. Orang-orang yang terkait satu sama
lain membuat interpretasi ini dan peneliti menjelaskan seca-
ra ilmiah proses tersebut (Kuswarno, 2009: 38). Sebagaima-
na dikemukakan Schutz, fenomenologi mengkaji cara-cara
anggota masyarakat menyusun dan membentuk ulang alam
kehidupan sehari-hari. Ia menekankan bahwa kesadaran dan
interaksi bersifat saling membentuk (Holstein dan Gubrium
dalam Denzin dan Lincoln, 2009: 336). Peneliti harus melihat

113
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

pengalaman subjek dan orang-orang yang mengalami suatu


pengalaman sebagai hal yang terpisah. Subjektivitas harus da-
pat dilepaskan ketika peneliti memaknai objek-objek sosial.
Ilmu sosial mestinya memusatkan perhatian pada cara-cara
dunia/kehidupan—yakni dunia eksperensial yang diterima
begitu saja oleh setiap orang—diciptakan dan dialami begitu
saja oleh setiap individu—diciptakan dan dialami oleh setiap
anggota-anggotanya (Schutz dalam Holstein dan Gubrium
dalam Denzin dan Lincoln, 2009: 336). Schutz menyatakan
bahwa setiap individu berinteraksi dengan dunia dengan
bekal pengetahuan yang terdiri atas konstruk-konstruk dan
kategori-kategori umum yang pada dasarnya bersifat sosial.
Bekal ini merupakan satu-satunya sumber yang memungkin-
kan setiap individu untuk menginterpretasi pengalaman, me-
mahami maksud dan motivasi individu lain, memperoleh pe-
mahaman intersubjektif, dan pada akhirnya mengupayakan
tindakan. Ketika Siti mengatakan “Adik saya harus sekolah”
dan harapannya agar saudara laki-lakinya berhasil sekolah, ia
telah bertindak berdasarkan referensi stock of knowledge-nya.
Itulah tindakan yang bermakna baginya. Itu pula tindakan
yang memperoleh konfirmasi dari lingkungan tempatnya hi-
dup. Oleh karena itu, tindakan itu yang dipandangnya harus
dilakukan dan menjadi bagian penting dan menjadi retorika
kehidupannya. Ketika perempuan tiba-tiba menolak dipro-
mosikan kariernya dalah fakta lain yang terjadi akibat pilihan
tindakan berdasarkan referensi tertentu. Ucapan, perbuatan,
dan relasinya dengan berbagai kejadian lain yang meling-
kupinya menjadi realita yang berbicara dan menarik untuk
dipersoalkan dalam penelitian fenomenologi. “Kebodohan”
menurut cara pandang orang lain dan pilihan yang tidak ra-
sional menurut justifikasi orang lain tidak dapat diberlaku-
kan. Berdasarkan realita yang ditampilkan aktor, kemudian
akan hanya dapat menjelaskan bahwa pilihan-pilihan sikap
dan tindakan itu merupakan refleksi ketidakberdayaan pe-
rempuan dalam menghadapi kuatnya nilai-nilai gender patri-

114
Bagian kelima • FENOMENA Perempuan dalam belenggu Patriarki

arki, yang telah menjadi bagian yang dominan dalam stock of


knowledgenya. Dalam fenomenologi, vignettes kehidupan se-
orang yang sedang diteliti akan dapat diungkap berdasarkan
tindakan, ucapan, dan pengalaman hidup yang dilakoninya.

DAFTAR BACAAN
Adian, Donny Gahral. 2010. Pengantar Fenomenologi. Jakarta:
Koekoesan.
Basrowi, Muhammad, dan Soenyono. 2004. Teori dalam Tiga
Paradigma. Surabaya: Yayasan Kampusina.
Bogdan Robert dan Steven Taylor. 1975. Introduction to Qua-
litative Research Methods. New York: John Wiley & Sons.
Budiman, Arief. 1985. Pembagian Kerja secara Seksual. Jakar-
ta: Gramedia.
Campbell, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial. Yogyakarta: Kanisius.
Simone, de Beauvoir. 1949. The Second Sex. London: Jonathan
Cape.
Collin, Finn. 1997. Social Reality. Londion: Routledge.
Denzin, Norman K, dan Yvonna S. Lincoln. 2009. Handbook
of Qualitative Research. Terjemahan oleh Dariyanto dkk.
Jakarta: Pustaka Pelajar.
Ferguson, Harvie. 2006. Phenomenological Sociology. Experi-
ence and Insight in Modern Society. London: Sage Publi-
cation.
Ihromi, T.O. 1996. Analisis Gender. Yogyakarta: Pustaka Pela­
jar.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pus-
taka.
Koeswarno, Engkus. 2009. Fenomenologi. Bandung: Widya Pa-
djadjaran.
Riyanto, Eko Armada. 2009. Politik, Sejarah, Identitas, Postmo-
dernitas. Malang: Widya Sasana.
Schutz, Alfred & Luckmann, T. 1974. The Structures of the Life
World. London: Heinemann.

115
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

Schutz, Alfred. 1972. The Phenomenology of the Social World.


New York: Northwestern University Press.
Smith, Jonathan A., Flowers, Paul., and Larkin. Michael 2009.
Interpretative Phenomenological Analysis: Theory, method
and research. Los Angeles.London, New Delhi, Singapore,
Washington: Sage.
Waters, Malcolm. 1994. Modern Sociological Theory. London:
Sage Publication.

116
Bagian Keenam

SOCIETAS NEGOSIATIF
DALAM JARINGAN SOSIAL
Mohammad Adib
Dosen FISIP Universitas Airlangga Surabaya
Email: moh.adib@fisip.unair.ac.id

a. PENGANTAR
Merebaknya “Markus” (makelar kasus) pasca terkuaknya
kasus boilt out Bank Century—yang telah sukses mencairkan
uang Negara sampai Rp 6,7 triliun, menjadi peristiwa yang
mencengangkan khalayak. DPR RI mengusut kasus tersebut
dengan meluncurkan Pansus (Panitia Khusus). Di balik kasus
Bank Century ini, terkuak keberadaan “Markus”. Begitu kuat­
nya sorotan masyarakat, sampai membuat perasaan tidak
nyaman bagi Presiden Republik Indonesia Dr. Susilo Bam-
bang Yudoyono (SBY). SBY menegaskan, dalam melaksana-
kan tugas—dalam masa kepemimpinan—nya bertekat untuk
memberantas Markus sampai ke akar-akarnya. Kasus ini ber-
lanjut, DPR RI membentuk tim pengawas untuk menyelesai-
kannya ini dengan mengusung hak menyatakan pendapat.
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

Sejumlah 20 dari 25 tandatangan anggota DPR telah diperoleh


untuk membawanya ke sidang paripurna (Jawa Pos, 19 April
2010).
Mafia pajak yang melibatkan oknum PNS pegawai Pajak
golongan IIIa usia 32 tahun bernama Gayus Tambunan. Jum-
lah uang sampai puluhan miliar sebagai hasil dari penggelap-
an rekening pajak itu telah dibagikan kepada sejumlah peja-
bat terutama kepada petugas penegak hukum di kepolisian
dan kejaksanaan. Di lembaga kepolisian ini diberitakan telah
menyeret beberapa orang berpangkat genderal. Tidak hanya
di Jakarta, di Surabaya juga terbongkar mafia pajak. Kerugian
Negara ditaksir mencapai ratusan miliar rupiah. Suhertanto,
pegawai pajak di Kanwil Ditjen Pajak I Jatim, tersangka kasus
pemalsuan setoran pajak ini membeberkan empat modus
sindikat yang melibatkan jaringan di internal kantor pajak,
yakni: (i) memainkan SSP (Surat Setoran Pajak); (ii) mengu-
rangi tunggakan wajib pajak, (iii) menghapus tunggakan wa-
jib pajak; dan (iv) mengganti nama penunggak pajak (Jawa
Pos, 19 dan 20 April 2010).
Makelar (broker), mafia, dan sindikat merupakan aktivi-
tas untuk menghubungkan, mempertemukan, memperke-
nalkan, mengomunikasikan seseorang dengan yang lainnya
utuk mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks “Markus”, ke-
giatan para makelar, mafia, dan sindikat itu dilakukan untuk
menghubungkan orang-orang yang terlibat dalam proses, pe-
nentuan dan penetapan hukum di lembaga peradilan. Proses
peradilan terdiri dari penyidikan, penuntutan, dan penetap-
an atau putusan peradilan. Kasus yang sedang diperkarakan,
oleh para mafia dikomunikasikan kepada orang di sejumlah
lembaga peradilan tersebut. Orang yang sedang berperkara
(tersangka) menggunakan jasa para Mafioso (aktor mafia) un-
tuk dapat meringankan sanksi atau (ancaman) hukuman.
Fenomena mafia, makelar, dan sindikat semacam itu,
ti­dak hanya terjadi di Indonesia, namun di berbagai Negara
mana pun nyaris tidak dapat terlepas dari kiprah mereka. Di

118
Bagian keenam • SOCIETAS NEGOSIATIF DALAM JARINGAN SOSIAL

Asia, termasuk Indonesia dipaparkan sejumlah pabrik peme-


ras keringat semisal pabrik sepatu merek Nike di Tangerang.
Para buruh di pabrik ini pada tahun 2000 diberikan gaji pokok
USD 1,25/hari. Uang 1,25 dolar sehari hanya bisa membeli san
tapan terdiri dari nasi, sayur, dan dua buah pisang untuk dua
kali makan dalam porsi kecil. Di Amerika Latin para bandit
ekonomi itu terjadi di Guatemala, Bolivia, Ekuador, dan Bra-
zil. Di Guatemala, pada tahun 1954, CIA menyusun rencana
kudeta. Pesawat-pesawat Amerika melakukan pengeboman
di wilayah ibukota. Presiden yang terpilih secara demo-kratis
digulingkan dan diganti dengan seorang diktator militer sa-
yap kanan, Kolonel Carlos Castillo Armas (Perkins, 2009: 97).
Di Timur tengah terjadi di Libanon, Mesir, Iran, Israel, Qatar
dan Dubai. Di Afrika terjadi di Mesir dan Diego Garcia.
Dalam kegiatan ekononomi, para pengusaha Cina di pe-
rantauan (Hoakiau) telah menciptakan adidaya ekonomi baru
di Asia bahkan dunia. Mereka menggunakan Jaringan (peng-
usaha Tirai) Bambu (JB) yang melampaui batas Negara. Di In-
donesia, mereka merupakan 3-4 persen dari populasi. Namun
mereka memiliki dan menguasai sekitar 70 persen modal do-
mestik swasta dan menjalankan lebih dari 160 dari 200 bisnis
besar. Di Thailand, mereka merupakan 10 persen dari popula-
si yang mengendalikan empat bank swasta terbesar. Bangkok
Bank, merupakan yang terbesar dan paling menguntungkan
di wilayah tersebut yang memberikan pinjaman utama bagi
JB. Di Malaysia mereka mengendalikan sekitar separuh dari
aktiva perusahaan di Negara tersebut. Di Filipina, mereka ha-
nya kurang dari 2 persen dari populasi, namun mengendali-
kan sepertiga dari 1.000 pengusaha besar.
Secara lebih detail, peran pengusaha Cina melalui ja-
ringan-jaringannya dibahas oleh Naveront (1999) yang me­
nguraikan kasus di Indonesia di masa Orde Baru. Cina me­
rupakan penguasa baru ekonomi dunia yang memperoleh
dukungan politik dan militer. Produk-produknya merajai du­
nia dengan harga yang sangat kompetitif. Produk barang itu

119
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

terdiri dari gunting, petasan, jepit rambut, ekspor produk dan


alat petanian, tekstil, garmen, mesin, elektronik, otomotif,
produk kimia, barang kerajinan dan mainan anak-nak (Susilo,
2008: 114). Lebih spesifik Asia telah menguasai dunia. Gordon
(Gordon, 2008: vi) menelusuri kajiannya dalam satu milleni-
um sejak tahun tahun 500 hingga 1500 M. Pada era ini dunia
Asia telah mengarungi lautan, melintasi gurun, dan menyu-
suri pegunungan tinggi dari Bulgaria di Rusia Selatan hingga
Bugis di Asia Tenggara.
Irianto dkk. (2005) mengungkapkan tentang perdagang-
an perempuan dalam jaringan pengedaran narkotika. Modus
operandi yang tergolong “baru” ini secara massif, perempuan
dijadikan kurir yang didahului sebagai pacar, kekasih gelap,
istri, atau berada dalam relasi personal yang dekat dengan
laki-laki yang merupakan patron dalam pengedaran narkoti-
ka. Dalam praktik, para perempuan mudah diperdaya karena
seksualitasnya, termasuk membawa “barang gelap” akan me-
nurut saja tidak bertanya. Perempuan menerima pekerjaan
itu, karena menempat kan diri sebagai survivor kemiskinan
keluarga. Tidak diberikan opsi tentang risiko pekerjaan ter-
sebut misalnya dipenjara dan sampai hukuman mati. Vonis
pengadilan pengedaran narkoba menetapkan terdakwa mati
antara lain PRN, RNI, MUT, EYS, NMS, BYA, SKN, dan KHN.
Legawa (2005) telah membahas empat pilar utama ke-
berhasilan dalam pemasaran jaringan, yakni: (i) dari mulut ke
mulut (word-of-mouth); (ii) otpimalisasi keterlibatan pelang-
gan; (iii) manajeman reputasi; dan (iv) pendekatan e-business
untuk mentransformasikan pengetahuan menjadi nilai eko-
nomi. Keterampilan mendasar itu adalah kerja jaringan. Kerja
jaringan, menurutnya memainkan peranan kunci dalam hal
mencapai kinerja yang diinginkan. Terdapat empat kunci
dasar kerja jaringan terdiri atas (i) tahap pembelajaran, (ii)
investasi, (iii) perawatan, dan (iv) penjagaan, yang disingkat
sebagai LINK (learning, investing, nurturing, dan keeping). Se-
mentara dalam perkembangan teknologi informasi jaringan

120
Bagian keenam • SOCIETAS NEGOSIATIF DALAM JARINGAN SOSIAL

sosial dipraktikkan sebagai hubungan komunikasi data dan


informasi melalui internet seperti facebook dan twiter.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan berne-
gara jaringan sosial (social network) digunakan dalam kehi-
dupan dalam konteks politik, ekonomi, dan bahkan kriminal.
Tulisan ini membahas tentang makna, bentuk-bentuk dan
fungsi jaringan sosial (social network) yang difokuskan pada
mafia kasus (Markus) dalam pendekatan fenomenologi.

b. JARINGAN SOSIAL (Social Network)


Jaringan sosial itu dipandang sebagai gejala yang ditemu-
kan di lapangan yang kemudian gejala tersebut dianalisis me-
lalui teori dan instrumen yang disebut jaringan sosial (social
network). Dengan jaringan sosial itu, kemudian digunakan
sebagai pendekatan, dapat digambarkan secara eksplisit—
hal-hal yang implisit—tentang pola, struktur, bentuk, dan
fungsi jaringan sosialnya yang direpresentasi dalam diagram-
diagram, diuraikan secara deskriptif, dan dijelaskan secara
ekspla­natif.
Pendekatan jaringan sosial itu berkaitan dengan struk-
tur sosial. Dalam antropologi, dikenal seorang tokoh dalam
pendekatan struktur sosial yakni Radcliffe-Brown. Ia me-
nyebutkan bahwa masyarakat merupakan kumpulan dari ja-
ringan-jaringan sosial (network of network) (Radcliffe-Brown,
1968:90). Konsep tersebut diperbaiki oleh beberapa ahli yakni
Mitchell, 1969; Barnes, 1969; dan Epstein, 1961).
Menurut Mitchell (1969:1-2), jaringan sosial merupakan
seperangkat hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk
di antara sekelompok orang, yang karakteristik hubungan-
hubungan tersebut dapat digunakan untuk menginterpretasi
motif-motif perilaku sosial dari orang-orang yang terlibat di
dalamnya. Penelitian yang dilaksanakan oleh Mitchell ini diu-
sulkan dalam rangka mengatasi kekurangmemadaian analisis
struktural-fungsional (Mitchell, 1969: 8).

121
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

Pendekatan jaringan sosial seperti ini memiliki empat


kelebihan, yakni: (i) dapat melampaui atau menerobos batas-
batas yang tidak mampu dilewati oleh batas-batas formal; (ii)
dapat meneliti hal-hal yang tersembunyi (hidden dimension)
pada masyarakat; (iii) dapat memahami struktur sosial sua-
tu masyarakat dan kebudayaan secara lebih eksak, dengan
model kuantifikasi yang dilakukannya—meskipun prosedur
awalnya dilaksanakan dengan model penelitian kualitatif—
etnografi; dan (iv) Antropologi dengan metode etnografinya
dapat masuk ke “jantung” masyarakat modern (heart of mo-
dernity) yang kompleks.
Dilihat dari skala hubungan sosial yang dapat dimasuki
oleh individu-individu, Barnes (1969: 55-57) menyebutkan
dua macam jaringan yakni jaringan sosial total dan jaringan
sosial sebagian. Pertama, jaringan sosial total yakni keselu-
ruhan jaringan yang dimiliki oleh individu dan mencakup
berbagai konteks atau bidang kehidupan dalam masyarakat.
Kedua jaringan sosial sebagian: adalah jaringan yang dimiliki
oleh individu terbatas pada bidang kehidupan tertentu, mi-
salnya jaringan politik, jaringan keagamaan, jaringan kekera-
batan, dan sebagainya.
Dalam penelitian tentang struktur hubungan-hubungan
sosial di masyarakat, Bremnes (Barnes 1954: 40-44) menga-
takan bahwa setiap individu dapat memasuki kelompok-
kelompok sosial yang tersedia di masyarakat dan menjalin
ikatan-ikatan sosial yang berdasarkan unsur kekerabatan,
ke­­tetanggaan, dan pertemanan. Ikatan-ikatan tersebut dapat
berlangsung di antara mereka yang memiliki status sosial-
ekonomi sepadan atau tidak sepadan. Atas dasar ini, Barnes
menyebutkan bahwa ikatan-ikatan tersebut merupakan un-
sur pembentuk sistem kelas yang ada di masyarakat Bremnes.
Dikatakan lebih lanjut bahwa setiap individu memiliki pelu-
ang yang sama antara berhubungan atau tidak berhubungan
dengan beberapa orang.
Dalam kenyataan kehidupan masyarakat yang kompleks,

122
Bagian keenam • SOCIETAS NEGOSIATIF DALAM JARINGAN SOSIAL

khususnya masyarakat perkotaan, terdapat tiga jenis ketera-


turan hubungan-hubungan sosial sebagai berikut (i) Keter-
aturan struktural (structural order), di mana perilaku orang-
orang ditafsirkan dalam istilah tindakan-tindakan yang sesuai
dengan posisi yang mereka duduki dalam seperangkat tatan-
an posisi-posisi, seperti dalam suatu perusahaan, keluarga,
asosiasi-asosiasi sukarela, partai politik, atau organisasi-orga-
nisasi yang sejenis; (ii) Keteraturan kategorikal (categorical
order), berkaitan dengan perilaku orang-orang dalam situasi
tidak terstruktur yang dapat ditafsirkan dengan istilah stereo-
tipe, seperti kelas, ras, dan kesukubangsaan; (iii) Keteraturan
personal (personal order), di mana perilaku orang-orang, baik
dalam situasi-situasi terstruktur atau tidak terstruktur, dapat
ditafsirkan dalam istilah hubungan-hubugan antar individual
dalam suatu kelompok atau hubungan antara suatu kelom-
pok dengan kelompok yang lain, seperti jaringan sosial kelu-
arga yang diteliti oleh Bott (Mitchell, 1969: 9-10).
Para pelaku memiliki hak dan kewajiban yang dikaitkan
dengan masing-masing status dan peranan mereka. Seku-
rang-kurangnya, suatu struktur sosial mengandung dua un-
sur, yaitu: (i) keseluruhan hubungan sosial yang ada di antara
individu-individu, dan (ii) perbedaan individu-individu atau
kelas-kelas yang tercermin dari status serta peranan sosial-
nya. Objek studi struktur sosial adalah rangkaian hubungan di
antara individu-individu tertentu yang secara nyata ada dan
konkret. Suatu jaringan sosial akan merefleksikan pula suatu
struktur sosial (Radcliffe-Brown, 1968: 190-192).
Keanggotaan individu dalam suatu jaringan bersifat flek-
sibel dan dinamis. Pada dasarnya setiap individu sebagai
makh­luk sosial akan selalu terkait dengan jaringan hubungan
sosial yang kompleks. Apabila seorang individu memasuki se-
jumlah jaringan sosial yang bebeda-beda sesuai dengan kon-
teks khusus atau fungsinya, maka hal ini akan merefleksikan
struktur sosial yang berbeda pula. Struktur sosial tidak hanya
merupakan pencerminan adanya keteraturan hubungan da-

123
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

lam suatu jaringan sosial, tetapi juga dapat dijadikan sarana


untuk memahami batas-batas status dan peranan serta hak
dan kewajiban individu yang terlibat di dalam hubungan-
hubungan sosial tersebut. Oleh sebab itu, salah satu aspek
penting dalam studi jaringan sosial bukan semata-mata terle-
tak pada atribut para pelakunya, tetapi juga pada karakteristik
dan pola-pola hubungan di antara individu-individu di dalam
jaringan sebagai cara untuk memahami dasar atau latar be-
lakang perilaku mereka itu (Mitchell, 1969: 4; Wellman, 1982:
64-65; Milardo, 1987: 15; dan Sura, 1987: 53).
Dilihat dari hubungan sosial yang membentuk jaringan-
jaringan sosial yang ada di dalam masyarakat, maka dapat di-
bedakan menjadi tiga jenis jaringan sosial, yakni: (i) Jaringan
kekuasaan. Dalam jaringan ini hubungan-hubungan sosial
yang terbentuk, bermuatan kepentingan kekuasaaan; (ii) Ja-
ringan kepentingan. Dalam jaringan ini hubungan-hubung-
an sosial yang membentuknya adalah hubungan-hubungan
sosial yang bermuatan kepentingan; (iii) Jaringan perasaan.
Jaringan perasaan adalah jaringan yang terbentuk atas dasar
hubungan-hubungan sosial yang bermuatan peran. Masing-
masing jenis jaringan sosial tersebut memiliki logika-situa-
sional yang berbeda satu sama lain. Struktur jaringan yang
bersifat stabil atau permanen memiliki tujuan-tujuan tidak
konkret dan spesifik serta hampir selalu berulang setiap saat
seperti tetap dan berubah-ubah atau sebentar. Struktur ja-
ringan yang bersifat berubah dan sebentar, tujuan-tujuan
bersifat spesifik dan konkret—untuk memperoleh pekerjaan,
barang, dan jasa. Ruang bagi tindakan dan interaksi demikian
berdasarkan tujuan relasional (Agusyanto, 2007).
Melalui pendekatan jaringan sosial ini, kedekatan hu-
bungan antarpelaku (aktor) ekonomi atau bisnis dilihat seba-
gai suatu jaringan sosial yang diciptakan, dikembangkan, dan
digunakan untuk meningkatkan kinerja ekonominya dalam
rangka mengatasi keterbatasan sumber daya dan mengopti-
malkan keuntungan.

124
Bagian keenam • SOCIETAS NEGOSIATIF DALAM JARINGAN SOSIAL

c. FENOMENOLOGI: SOCIETAS NEGOSIATIF


Fenomena merupakan penampakan objek, peristiwa,
atau kondisi dalam persepsi. Fenomenologi dapat diartikan
sebagai kajian terhadap pengetahuan yang datang melalui
kesadaran, yaitu cara kita memahami objek dan peristiwa
melalui pengalaman secara sadar. Terdapat tiga dasar asum-
si dalam fenomenologi, yaitu: (1) pengetahuan adalah kesa-
daran, maksudnya diperoleh secara sadar; (2) makna sesuatu
bagi seseorang selalu terkait dengan hubungan sesuatu itu
dengan kehidupan orang tersebut; dan (3) bahasa merupakan
kendaraan makna. Edmund Husserl (1859-1938), sering dise-
but sebagai bapak fenomenologi modern, menganggap bah-
wa penyingkapan realitas hanya mungkin dilakukan dengan
pengalaman langsung yang sadar. Menurut Merleau-Ponty,
manusia, sebagai subjek yang mengetahui, adalah kesatuan
fisik dan mental yang berhubungan dengan dunia di mana
ia tinggal. Oleh karena itu, ia terpengaruh oleh dunianya
dan sebaliknya memberikan makna bagi dunianya. Cara kita
memberikan makna bagi pengalaman kita adalah melalui ko-
munikasi, sebab pengetahuan kita terkait dengan bahasa dan
komunikasi.
Pemikiran Schutz (1967) membawa kita kembali ke titik
tolak ini dan membangun seluruh pendekatannya terhadap
masyarakat di atas analisis mengenai pengalaman sosial in-
dividu. Baginya model teoretis Parsonian tentang masyarakat
adalah sebuah fiksi dari pikiran pengamat ilmiah yang men-
distorsikan kenyataan kehidupan sosial yang dapat ditemu-
kan hanya dalam pengalaman-pengalaman subjektif para
partisipan.
Schutz (1992) menyatakan bahwa fenomena sosial ada-
lah sesuatu yang menyenangkan yang dimiliki untuk sebuah
dunia dalam pikiran objektif dunia yang benar-benar cerdas,
tetapi tidak di bawah bentuk hukum pengetahuan. Sering kali
sikap dalam pengetahuan sosial menghindari pokok perma-

125
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

salahan adalah ditentukan dengan preposisinya, metafisik,


ethik atau politik atau dengan penilaian pendapat dalam ma-
cam apa pun.
Teori Schutz tentang manusia (1967) yang meletakkan
kalimat kondisi manusia dalam pengalaman subjektif dalam
bertindak dan mengambil sikap terhadap dunia kehidupan
sehari-hari. Kemampuan inti manusia dapat ditemukan de-
ngan analisis atas unsur-unsur kesadaran praktis manusia
yang terus berlangsung, aliran tindakan yang bersifat tetap
yang terarah menuju serentetan tujuan yang memungkinkan
kita untuk memandang kehidupan menurut proyek-proyek
yang dikejar manusia.
Meskipun semua tindakan bermakna dalam arti bahwa
tindakan senantiasa adalah melakukan sesuatu dengan sadar,
yaitu selalu terarah menuju ke arah penyelesaian sebuah tin-
dakan yang diproyeksikan si pelaku dalam pikirannya sendiri.
Schutz mengikuti Husserl (Campbell, 1994: 236) dengan me-
nyatakan bahwa proses pemahaman aktual kegiatan kita de-
ngan memberi makna kepadanya adalah sesuatu yang dihasil-
kan hanya melalui refleksi atas tingkah laku kita bila proses itu
berlalu, karena pemahaman seperti itu perlu membagi-bagi
arus tindakan menjadi sebuah rentetan tindakan yang terpi-
lah-pilah dengan tujuan-tujuan yang dapat dibeda-bedakan.
Alfred Schutz mengungkap tiga asumsi yang biasa kita
buat dalam keseharian kita, yaitu: (1) kita berasumsi bahwa
realitas bersifat konstan; (2) kita berasumsi bahwa apa yang
kita lihat adalah tepat; dan (3) kita berasumsi bahwa kita me-
miliki kuasa untuk mencapai tujuan kita. Pada kenyataannya,
menurut Schutz, dunia kita merupakan dunia yang kita pel-
ajari melalui komunitas kultural, dan hal itu berarti bahwa
pengetahuan kita merupakan bagian dari situasi historis yang
dikonstruksi secara sosial. Dengan demikian, dapat dipahami
pula bahwa generalisasi, yang disebut Schutz tipifikasi (typi-
fications), atau kategori-kategori yang berlaku dalam suatu
budaya berbeda dari tipifikasi dalam budaya lainnya. Lebih

126
Bagian keenam • SOCIETAS NEGOSIATIF DALAM JARINGAN SOSIAL

lanjut, pengetahuan sosial, bagi Schutz, memiliki formula


atau resep sosial (social recipes), yaitu tata cara yang dipahami
dengan baik oleh masyarakat untuk bertindak sesuai dengan
situasi yang menuntutnya.
Societas negosiatif sesungguhnya merupakan anti-tesis
terhadap totalistis. Di antara karakter utama societas dialogal
adalah cerdas negosiatif. Karakter negosiatif merupakan ka-
rakter yang ditampilkan dalam masyarakat yang terglobalisa-
sikan di saat teknologi komunikasi mendominasi kehidupan
global manusia. Saat ini, kebijakan Negara tidak dimungkin-
kan lagi mengisolasi dalam total-itarisme. Hannah Arendt
(Riyanto, 2009: 59-61) memeriksa tragedi totalitarisme Hitler
sebagai sebuah anomali yang dimungkinkan karena alpanya
karakter negosiatif-komunikatif societas saat itu. Totalisme
menyatakan absennya dialog. Pernyataan Bubber tentang di-
alog I and Thoe (Riyanto, 2009: 59-61), menjadi sebuah protes
rigorus sekaligus pemulihan simpatik dari apa yang telah dile-
nyapkan oleh ideologi totaliterisme. Totaliterisme merupakan
lawan societas negosiatif. Totaliterisme kejam bukan semata
pada tataran kebijakan melainkan juga membuka peluang ke-
gilaan yang mengakibatkan secara konkret tragedi kemanusi-
aan, berupa anarki.
Negosiasi mengedepankan bahasa. Bahasa yang dimak-
sud bukan dimaknai sebagai sekadar alat berkomunikasi,
me­lainkan pencetusan kebudayaan bahkan struktur tatanan
ke­bersamaan. Ketika bahasa komukasi satu sama lain miskin
kebenaran dan keadilan, sekaligus sarat tipuan dan kepalsu-
an, maka maraklah korupsi, mafia hukum, mafia pajak, dan
berbagai bentuk penyimpangan administratif serta substantif
lainnya.
Negosiasi tidak hanya berupa adu argumentasi. Negosiasi
juga mengatakan pertama-tama bagaimana kehidupan dita-
ta, dikelola, disimbolkan, dimaknai secara bersama. Keberha-
silan segala perkara tentang keadilan tergantung pada imple-
mentasi kecerdasan negosiatif.

127
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

Societas negosiatif dalam jaringan sosial dimaknai seba-


gai: (i) seperangkat hubungan khusus yang terbentuk di an-
tara sekelompok orang yang karakteristik hubungan itu dapat
digunakan untuk menginterpretasi motif perilaku sosial dari
orang yang terlibat di dalamnya; (ii) ciptaan, kembangan, dan
digunakan oleh para pelaku (aktor) dalam melaksanakan su-
atu kegiatan; (iii) bentuk-bentuk jaringan sosial yang diguna-
kan mengandung unsur kekuasaan (kewenangan), kepenting-
an, perasaan, dan penalaran; (iv) jaringan sosial ini berfungsi
untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas kinerja para pela-
ku yang terlibat dalam suatu aktivitas.

DAFTAR BACAAN
Agusyanto, Ruddy. 2007. Jaringan Sosial dalam Organisasi. Ja-
karta: RajaGrafindo Persada.
Barnes, J.A. 1954. Class and Communitees in a Norwegian Is-
lan Paris, dalam Human Relations 7: 39-58.
____________. 1969. Network and Political Process dalam Soci-
al Network in Urban Situation: Analyses of Personal Rela-
tionship in Central Africa Town (Mitchel, ed.). Manches-
ter: Manchester University Press.
Boyd, C.O. 2001. Phenomenology the Method. In P.L. Munhall
(Ed.), Nursing research: A qualitative perspective (3rd.
ed., pp. 93-122). Sudbury, MA: Jones and Bartlett.
Davidson, J. 2000. “A Phenomenology of Fear: Merleau-Ponty
and Agoraphobic Life-Worlds‖.” Sociology of Health & Il-
lness, 22, 640-681.
Denzin, N. K. & Lincoln, Y. S. (Eds.). 2000. Handbook of Quali-
tative Research (2nd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage.
Dyson, L. 2008. Etnometodologi dalam Metode Penelitian So-
sial, Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Prenada Me-
dia Grup.
Epstein, AL. 1961. “The Network and Urban Social Organizati-
on,” Rhodes-Livingstone Institute Journal. 29 (1961). Hlm.

128
Bagian keenam • SOCIETAS NEGOSIATIF DALAM JARINGAN SOSIAL

29–62.
Geertz, Clifford. 1969. The Religion of Java. New York: The Free
Press.
Jawa Pos. 2010. Mafia Pajak Terbongkar di Surabaya: Kerugian
Negara Ditaksir Ratusan Miliar Rupiah dalam Jawa Pos.
19 April 2010: Hlm. 1.: Surabaya.
Legawa, Jaka J. 2005. 4 Pilar Keberhasilan Bisnis Pemasaran
Jaringan. Yogyakarta: Andi.
Milardo, Robert M. 1987 Social Relations in a Philippine Town.
Northern Illinois: Center for Southeast Asian Studies.
Mitchell, J. Clide. 1969. The Concept and Use of Social Network,
dalam Social Networks in Urban Situations: Analyses of
Personal Relationships in Central Town (Mitchell, Ed.).
Manchester: Manchester University Press.
Naveront, Jhon K. 1999. Jaringan Masyarakat China. Jakarta:
Golden Terayon Press.
Parson, T. 1971. Religion of the Problem of Meaning dalam
Sociology of Religion (Ed. Ronald Robertson). Ringwood
Victoria Australia: Penguin Books Australia Ltd.
Perkins, John. 2009. Membongkar Kejahatan Jaringan Inter-
nasional. (Terjemahan Wawan Eko Yulianto dan Meda
Satrio). Jakarta: Ufuk Press.
Priyatna, Haris. 2009. Victor Bout: Membongkar Jaringan In-
ternasional Perdagangan Senjata Ilegal. Jakarta: UFUK.
Radcliffe-Brown, A.R. 1959. The Structure and Function in Pri-
mitive Society. Beverly Hill: Sage Publications.
Rahmato, B. (Editor) 2007. Perdagangan Perempuan dalam
Jaringan Pengedaran Narkotika. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Rianto, Armada. 2009. Politik, Sejarah, Identitas, Postmoder-
nitas: Rivalitas dan Harmonitasnya di Indonesia (Sketsa-
Filosofis-Fenomenolofis), Pidato Pengukuhan Guru Be-
sar. Malang: Widya Sasana Publication.
Schutz, A. 1967. The Phenomenology of the Social World. Evan-
ston, IL: Northwestern University Press.

129
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

Schutz, A. 1992. Collected papers Vol. I. The Problem of Social


Reality. The Hague: Martinus Nijhoff.
Sura, Chaterin A. 1987. The Influences of The Interactive Net-
work on Developing Relationships dalam Families and
Social Network. (Robert M. Milardo: Ed.) Sage: Newburry
Park.
Susilo, Taufik Adi. 2008. China Connection. Jogjakarta: Garasi.
Stones, C. R. 1988. Research: Toward a Phenomenological
Praxis. In D. Kruger (Ed.), An Introduction to Phenome-
nological Psychology (2nd ed., pp. 141-156). Cape Town,
South Africa: Juta.
Vandenberg, D. 1997. Phenomenological Research in the Study
of Education. In D. Vandenberg (Ed.), Phenomenology &
Education Discourse (pp. 3-37). Johannesburg, South Af-
rica: Heinemann.
Wellman, Barry. 1982. Studying Personal Communities dalam
Social Structure and Network Analysis (Peter V. Marsden
dan Nan Lin—Ed.). Hills: Sage.
Wilson, T.D. 2011. Alfred Schutz, Phenomenology And Resear-
ch Methodology For Information Behaviour Research da-
lam http://informationr.net/tdw/publ/papers/schutz02.
html diakses Minggu, 9 Januari 2011 jam 02:52.

130
Bagian Ketujuh

PERGULATAN IDENTITAS INTELEKTUAL PARA


AKADEMISI PERGURUAN TINGGI KEAGAMAAN
ISLAM: Sebuah Tamasya Fenomenologis
Moch. Muwaffiqillah
Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri, Jawa Timur
Email: muwaffiqy@yahoo.com

a. KUASA MAKNA ILMU PENGETAHUAN


PTKIN adalah akronim dari Perguruan Tinggi Keagamaan
Islam Negeri. Sebagai lembaga pendidikan tinggi negeri, PT-
KIN di Jawa Timur dihuni oleh para akademisi (dosen) yang
paling tidak telah lulus pendidikan S2. Sebuah jenjang pen-
didikan di mana para lulusannya berhak menyandang gelar
magister. Gelar ini tentu dalam konteks sosial memiliki stra-
tum yang tinggi dalam masyarakat Jawa Timur yang selama
ini dikesankan sebagai masyarakat tradisional.
Sebagai lembaga perguruan tinggi negeri PTKIN menyan-
dang prestisius modernitas dan tradisionalitas sekaligus. Sta-
tusnya yang negeri dipahami sebagai lembaga pendidikan
yang memenuhi selera modernitas berupa legalitas yang di-
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

tancapkan oleh kekuasaan negara. Singkat kata, pendidikan


dengan status negeri adalah pendidikan yang paling absah di
negeri ini dalam korespondensinya dengan semangat nega-
ra yang lebih sering menempatkan dirinya sebagai agen dari
modernitas. Karenanya, berada di bawah naungan kemente-
rian negara yang berarti “negeri” mendapatkan keistimewaan
tersendiri bagi masyarakat. Namun demikian, keberadaannya
yang berada di bawah Kementerian Agama, masih dipandang
sebelah mata oleh masyarakat yang “termodernisasikan” kare-
na lembaga di bawah naungan Kementerian Agama selalu di-
pandang sebagai lembaga yang digunakan untuk melestarikan
nilai-nilai agama an sich yang berarti sebagai pralambang pe-
lembagaan nilai-nilai ”tradisional” tanpa mampu berkompe-
tisi dengan perguruan tinggi umum apalagi yang negeri yang
merupakan representasi pralambang modernitas.1
Karenanya berbagai strategi dalam rangka menghapus
kesan yang kurang sedap tersebut di beberapa PTKIN dibu-
ka beberapa program studi yang menggunakan nomenklatur
yang dibiasa dipakai perguruan tinggi umum namun dengan
modifikasi penambahan nama Islam dibelakangnya. Bebe-
rapa kasus PTKIN seperti UIN Sunan Ampel Surabaya, pas-
ka perubahannya menjadi universitas telah membuka prodi
umum dan bahkan dalam penerimaan CPNS tahun 2013 dan
2014 nampak formasi saintek yang dominan, termasuk forma-
si dosen dengan kualifikasi kedokteran. Adapun juga dengan
UIN Maliki Malang karena statusnya yang berubah menjadi
universitas kian meneguhkan jati diri universalitasnya.
Konsekuensi dari dibukanya prodi dengan nomenklatur
umum dan yang telah dimodifikasi tersebut adalah masuknya
beberapa orang dosen dengan kualifikasi pendidikan umum.
Belum lagi mereka yang dahulunya adalah alumnus dari pen-

1
Dalam konteks pergumulan ilmu pengetahuan secara umum telah diulas oleh Waller-
stein yang menggambarkan betapa ilmu-ilmu pengetahuan saling berebut identitas untuk
ditahbiskan sebagai science (ilmu pengetahuan). Lihat Immanuel Wallerstein, Lintas Batas
Ilmu Sosial, terj. Oscar (Yogyakarta: LKiS, 1997).

132
Bagian ketujuh • Regulatan identitas intelektual ...

didikan Tinggi Agama Islam secara mengejutkan, beberapa


di antaranya mengambil magister di Perguruan tinggi Umum
bahkan mengambil program doktoral di Perguruan tinggi
Umum.
Masuknya dosen dengan latar belakang umum dan pen-
didikan magister dan doktor di studi umum menunjukkan te-
lah lenyapnya klaim homogenitas serta klaim “ortodoksi ajar-
an” yang dikembangkan perguruan tinggi Agama Islam ini.
Bahkan bukan saja memunculkan heterodoksi matakuliah,
juga muncul semangat “baru” yang berkembang pada ragam
wilayah pendisiplinan ilmu.
Di satu sisi terdapat semangat untuk mempertahankan
ortodoksi pengajaran tradisional dengan pemikiran-pemikir-
an tradisional yang menjadi sumber asali didirikannya PTKIN
ini terlebih yang merasa mendapatkan amanat pengetahuan
dengan basis geneologis yang linier-konsisten sebagaimana
diembannya. Kedua, terdapat asusmsi bahwa PTKIN ini harus
menerima modernisasi dengan segala konskuensinya. Basis
filosofis dan metodologis yang mencerminkan modernitas ha-
rus dicerap agar mendapatkan identitas modernitas tersebut.
Dalam konteks ini modernisasi lembaga pendidikan tinggi ini
bermakna sebagai penerimaan terhadap sumber-sumber ke-
benaran modern yang tidak berorientasi pada agama an sich.
Ketiga, semangat eklektisisme yang berusaha membaurkan
antara pengajaran tradisional dengan modern. Yang ketiga
ini memiliki dua kecenderungan utama. Pertama cenderung
ke tradisional dengan menampilkan wajah modernitas dalam
kerangka ajaran tradisional. Klaim bahwa seluruh yang diu-
jarkan oleh modernitas sudah termaktub dalam ajaran Islam,
misalnya, menjadi mainstream dari kelompok ini. Kedua dari
yang ketiga ini memiliki kecenderungan ke modernitas de-
ngan mengacu pada modernitas untuk membaca ajaran dan
ujaran tradisional. Dalam konteks ini agama dan seluruh ajar-
an agama dirasionalisasikan dalam konteks Weberian.
Weber menggariskan dua model rasionalitas. Pertama,

133
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

Rasionalitas Tujuan yang menyebabkan bahwa seseorang


atau sekelompok orang dalam suatu tindakan akan berorien-
tasi pada tujuan tindakan tersebut, cara mencapainya serta
akibat-akibatnya, dan Rasionalitas Nilai, yang menyebabkan
dalam mencapai suatu tujuan orientasi utama adalah pada
nilai-nilai atau norma yang membenarkan penggunaan sua-
tu cara tertentu.2 Kesadaran akan nilai-nilai etis, estetis, dan
religius oleh Weber dicirikan bersifat substantif, sebab orang
yang bertindak dengan rasionalitas ini mementingkan komit-
men rasionalnya terhadap nilai yang dihayatinya.3 Karenanya
nilai dalam konteks ini bersifat sangat substantif dan dengan
demikian menanggalkan dimensi bentuknya. Pendeknya le-
bih mementingkan isi daripada tampilan luarnya.
Berikutnya, pilihan terhadap studi lanjutnya yang bera-
gam (sebagian bersiteguh dengan studi linear dari pendidikan
S1-nya, sebagian beralih pada jurusan yang memungkinkan—
karena tidak ada studi S-2 yang sesuai dengan S1-nya, dan se-
bagian sengaja mengalihkan diri pada jurusan yang berbeda)
dengan beragam motif yang berbeda pula menjadi satu peri-
hal tersendiri yang menarik untuk dikaji.

b. IDENTITAS PENGETAHUAN SEBAGAI PERGULATAN KUASA


Asumsi ini dikembangkan atas pemikiran bahwa pendi-
dikan bukan saja sebagai sumber legitimasi kultural, mela-
inkan juga sebagai arena pergulatan kuasa. Pendidikan tidak
hanya menjadi skemata bagi pembedaan kelas, tetapi juga
menyediakan suatu prinsip fundamental bagi pemapanan
suatu orde. Dalam hal ini orde ilmiah (di mana ilmu pengeta-
huan dimunculkan, dikritisi, dimapankan) yang selalu bergu-
mul mengikuti usaha untuk menunjukkan identitas dari para
akademisi meneguhkan bahwa pilihan pada jurusan S2 dan
S3 tidak sepenuhnya bersifat alamiah.

2
Dikutip dari Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (Jakarta: LP3ES, 1987) 91.
3
Ibrahim Ali Fauzi, Jurgen Habermas (Jakarta: Teraju, 2003) 71.

134
Bagian ketujuh • Regulatan identitas intelektual ...

Konteks ketidak-alamiahan pilihan pada S2 dan S3 para


dosen ini diacukan pada rasionalitas tujuan dan rasionalitas
nilai sebagaimana di atas. Motivasi untuk meneguhkan iden-
titas, mengganti identitas dan bahkan mensintesiskan identi-
tas intelektual nampak menjadi hal yang patut untuk ditelisik.
Apalagi jika hal demikian harus dikaitkan dengan, pertama,
wajah PTKIN di Jawa Timur yang mulai berubah dengan hete-
rogenitas latar belakang pendidikan dosen yang tentu mewar-
nai cara pandang para dosen tentang lembaga pendidikan ini.
Kedua, perubahan wajah dan tampilan PTKIN di Jawa Timur
ini berikutnya menstimulus pergeseran cara pandang dosen
kepada lembaga dan sekaligus kepada dirinya sendiri. Keti-
ga, perubahan wajah dan tampilan PTKIN di Jawa Timur dan
pergeseran cara pandang dosen terhadap diri mereka sendi-
ri menghasilkan pergumulan (interplay) para dosen untuk
meneguhkan identitas intelektualitasnya dihadapan struktur
lembaga dan kolektivitas akademisi yang semakin membesar.
Karenanya PTKIN telah menjadi arena bagi para dosen
di mana identitas intelektual saling bergumul untuk mem-
perkokoh dirinya, melebarkan domainnya, atau mensubtitusi
identitasnya demi meneguhkan identitas lembaga yang terus
berubah dan berkembang.
Dalam konteks inilah pendidikan memainkan sebuah
pe­ranan penting dalam membangun habitus yaitu skemata
pengalaman dan persepsi yang bersifat kolektif yang mem-
batasi munculnya ide-ide, kepribadian, karakter kepribadian,
dan instansi-instansi kesadaran yang bersifat subjektif. Ka-
rena pendidikan diasumsikan sebagai ranah dari pergulatan
kuasa, maka pengetahuan merupakan sesuatu yang tak terpi-
sahkan dari kuasa.
Berikutnya istilah akademisi mengacu kepada para ilmu-
wan yang mengabdikan hidupnya pada tridarma perguru-
an tinggi yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan
pengabdian pada masyarakat yang pada umumnya dipergu-
ruan tinggi disebut sebagai civitas academica yang tentunya

135
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

mengacu pada dosen dan mahasiswa. Namun dalam peneli-


tian ini difokuskan hanya pada dosen. Pemilihan hanya pada
dosen bukan tidak disengaja namun karena beberapa alasan.
Pertama, dalam pendidikan dan pengajaran dosen telah terli-
bat dan melibatkan diri sedemikian rupa, sehingga pendidik-
an dan pengajaran bagi dosen selama ini tidak hanya meru-
pakan proses reproduksi pengetahuan namun lebih daripada
itu adalah memproduksi pengetahuan. Kedua, para dosen
memiliki beragama karya tulis ilmiah yang tersebar dalam
beragam jurnal yang sekaligus meneguhkan reproduksi dan
produksi pengetahuannya.
Reproduksi pengetahuan adalah proses internalisasi pe-
ngetahuan dan dieksternasilasi dalam bentuk yang nyaris
sama.4 Dalam bahasa kasarnya pengetahuan hanya dipindah-
kan sebagaimana adanya sesuai dengan buku teks yang diba-
ca oleh para dosen. Berbeda dari yang pertama, dalam pro-
duksi pengetahuan dosen tidak hanya pasif, tetapi sekaligus
aktif dalam menginternalisasi pengetahuan sekaligus mem-
benturkannya dengan beragam pengetahuan lain yang dice-
rap baik dari literatur yang berbeda maupun dari dunia sosial
yang tidak sesuai dengan teks yang ada. Karenanya produksi
pengetahuan meniscayakan pengetahuan baru atau paling
tidak proposisi-proposisi baru yang merupakan akibat atas
pergumulan (interplay) dengan realitas dan dunia sosialnya.5
Karenanya kemudian dunia sosial dalam konteks ini bu-
kan hanya manusia-manusia lain yang hidup mengitari kehi-
dupannya, namun lebih daripada itu adalah dunia pemikiran
yang tidak hanya mengacu pada realitas sosial namun sekali-
gus diacu oleh dunia sosial. Dengan sedikit sentuhan sosiologi
pengetahuan dinamika sosial yang tidak hanya berupa seke-

4
Scott Lash, Sosiologi Posmodernisme, terj. A. Gunawan Admiranto (Yogyakarta: Kanisius,
2004) 246.
5
Lihat dalam Richard Harker, “Bourdieu—Pendidikan dan Reproduksi” dalam Richard
Harker dkk., (Habitus X Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran
Pierre Bourdieu, terj. Pipiet Maizier (Bandung: Jalasutra, 2005) 110-138.

136
Bagian ketujuh • Regulatan identitas intelektual ...

lompok masyarakat namun sekaligus mata rantai dari untaian


pemikiran sosial menemukan relevansinya.
Karenanyalah Karl Manheim mengatakan bahwa sebe-
narnya dengan demikian bukanlah manusia pada umumnya
yang berpikir, melainkan manusia dalam kelompok-kelom-
pok tertentu yang telah mengembangkan suatu gaya pemi-
kiran tertentu dalam rangkaian tanggapan terus-menerus ter-
hadap situasi-situai khusus tertentu yang mencirikan posisi
umum mereka.6
Dari itu kemudian makna pergulatan mengambil ben-
tuknya. Pergulatan merupakan ranah di mana seluruh proses
aktualisasi (termasuk di dalamnya adalah mengajar, berdis-
kusi, berdebat, menulis di jurnal, menulis buku dll.) adalah
cerminan dari ”pergulatan demi menyatakan-diri” (struggle
for the real). Struggle for the real ini menurut Geertz adalah
sebuah usaha untuk menerapkan kepada dunia sebuah kon-
sepsi tertentu mengenai bagaimana sesungguhnya nilai dari
benda-benda dan bagaimana manusia-manusia harus berpe-
rilaku.7 Dalam konteks ini pergulatan demi menyatakan diri
berkelindan dalam dinamika pemikiran ilmiah yang mereka
tawarkan. Karena di dalam pergulatan pemikiran ilmiah me-
rekalah identitas intelektual mereka menunjukkan jati diri
mereka.

c. FENOMENOLOGI SOSIAL
Fenomenologi dalam kerangka Schutz disebut-sebut se-
bagai dasar fenomenologi yang dikenakan pada ilmu sosial.
Dengan meracik fenomenologi Husserl dengan konsepsi so-
ciology of understanding dari Weber ia bukan saja telah mem-
buat fenomenologi Husserl begitu mudah dipahami dalam
terang realitas sosial sekaligus “lompatan” logika Weber men-

6
Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik. ter. F. Budi
Hardiman (Yogyakarta: Kanisius, 1991) 3.
7
Sebagaimana dikutip oleh Yudi latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa (Bandung: Mizan, 2005) 14.

137
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

jadi terjembatani dengan baik.


Tugas fenomenologi di tangan Schutz menjadi lebih je-
las dengan mengandaikan relasi antara pengetahuan ilmiah
dengan kegiatan sehari-hari—kegiatan yang menjadi asas
pengalaman dan pengetahuan manusia. Dengan ini tindakan
sosial dipahami sebagai hasil daripada pengalaman, makna
dan kesadaran.8
Schutz memulainya dengan kritik yang senada dengan
Husserl tehadap klaim ilmu pengetahuan yang menyatakan
terdapat hukum universal yang bekerja di luar hukum. Tesis
Schutz menyatakan bahwa realitas dalam kesadaran ego di-
bangun secara sosial bukanlah bertujuan untuk memberikan
penekanan adanya sebuah struktur sosial yang objektif, teta-
pi sebatas menunjukkan bagaimana objek-objek sosial diba-
ngun dalam proses yang sifatnya intersubjektif.9
Pandangan ini bersapa dengan gagasan Weber tentang
verstehen. Bermula dari pandangan bahwa ilmu sosial diba-
ngun untuk mempelajari tindakan sosial (social action). Kare-
nanya, analog dengan pandangan Husserl bahwa fenomenolo-
gi harus terhindar dari presupposisi dan apriori, maka Schutz
berkeyakinan bahwa realitas sosial (termasuk di dalamnya
adalah politik) mestilah realitas yang diselimuti oleh penga-
laman individu yang subjektif.10 Alhasil terhindarlah fenome-
nologi dari jerat objektivisme dan berpaling menuju kesadaran
transendental. Namun Schutz menolak andaian Weber yang
memusatkan tindakan bermakna pada individu. Menurutnya,
makna suatu tindakan yang secara subjektif bermakna itu me-
miliki asal-usul sosialnya, yaitu muncul dari dunia-kehidupan
atau dunia-kehidupan sosial dan politik tentunya. Dengan de-
mikian, segala tindakan berlangsung dalam dunia-kehidupan
sosial yang mendahului segala penafsiran individu.

8
Engkus Kuswarno, Metodologi Penelitian Komunikasi Fenomenologi (Bandung: Widya
Padjajaran, 2009), 39.
9
Geger Riyanto, Peter L. Berger: Perspektif Metateori Pemikiran (Jakarta: LP3ES, 2009), 94.
10
Ibid., 95

138
Bagian ketujuh • Regulatan identitas intelektual ...

Dalam konteks fenomenologis struktur sosial dipandang


sebagai bersemayam dalam kesadaran individu dan tidak
be­nar-benar mengatur dari luar individu. Bersemayamnya
struk­tur sosial dalam kesadaran individu menghantarkan pa­
da konsep stock knowledge dan tipifikasi.
Pada setiap manusia bersemayam aturan-aturan, resep
sosial, tingkah laku yang tepat, dan informasi lainnya untuk
bertindak dalam dunia sosial (social world)11 yang digelutinya.
Itulah yang disebut dengan stock knowledge yang dengannya
societas mencerap kerangka referensi atau orientasi yang
me­mungkinkan mereka menginterpretasi kejadian yang ber-
langsung dalam kehidupan mereka.12
Akal sehat dibangun melalui tipifikasi yaitu penyusun-
an dan pembentukan tipe-tipe pengertian dan tingkah laku
untuk memudahkan pengertian dan tindakan. Tipifikasi ini
tidak hanya menyangkut pandangan dan tingkah laku, teta-
pi menyangkut juga pencerapan makna. Orang-orang yang
terlibat dalam komunikasi melalui bahasa dan interaksi sosial
kemudian membangun semacam sistem relevansi bersama,
dengan melepaskan dari tiap individu atau tiap peristiwa hal-
hal yang bersifat individual untuk merujuk satu atau beberapa
ciri yang sama yang dianggap relevan.13
Dengan adanya tipifikasi semacam itu akan sangat mem-
bantu bagi penyesuaian diri dalam bekerja sama dengan
orang yang tidak dikenal secara pribadi maupun dalam dunia
yang lebih luas. Dengan tipifikasi pula pengetahuan langsung
mengenai eksistensi orang lain tentu akan sangat mudah dike-
tahui, sehingga mudah pula membangun hubungan dengan
apa yang disebut Schutz “orang-orang sezaman” (contempo-
reries), “para pendahulu” (predecessors), dan “para penerus”
(successor) yang sama sekali belum dan tak akan memiliki

11
Konsep ini meluaskan istilah lifeworld-nya Husserl. Lihat Jonathan Turner, The Structure
of Sociological Theory (Wadsworth Publishing Company, 1998), 355.
12
Ibid, 356
13
Malcolm Waters, Modern Sociological Theory (London: SAGE Publication Inc., 1994), 33.

139
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

pengalaman-pengalaman bersama. Hubungan-hubungan


yang dibangun juga bisa langsung (face to face) atau tidak
lang­sung seperti hubungan dengan orang-orang sezaman
yang masih hidup bersama kita yang belum pernah kita jum-
pai, atau dengan para pendahulu dan penerus.14

d. FENOMENOLOGI POLITIK IDENTITAS INTELEKTUAL


Melalui fenomenologi Schutzian, gemuruh pergulatan
dan pergumulan identitas intelektual akan memperdengar-
kan resonansinya kepada khalayak. Dunia akademis yang se­
lama ini dianggap “santun” dan adem ayem ternyata harus
ditelaah secara berbeda karena di dalamnya menyiratkan
dinamika yang tidak lirih. Selama ini, karena ilmu pengeta-
huan dianggap mulia bagi umat manusia, maka dinamika
yang terjadi di dalamnya diabaikan dan bahkan dinihilkan
keberadaannya. Padahal justru karena kemuliannya lah ilmu
pengetahuan memberikan modal kemuliaan kepada pemilik-
nya. Karenanya ia diburu oleh manusia yang mengharap ke-
muliaan ilmu pengetahuan. Pada saat ini ia telah menggeser
kemuliaan “kanuragan” dan “kadigjayan” yang dahulu kala
juga menjadi sumber kemuliaan manusia.
Kemuliaan adalah bagian dari kuasa yang terus-menerus
menyapa dan bergesekan dengan kemuliaan atau pemilik ke-
muliaan lainnya. Dalam konteks ini identitas intelektual yang
bernaung dalam payung akademis menjadi kentara dinami-
kanya bahwa ia tidak hanya digerakkan oleh satu spiritualitas
objektif yakni ilmu pengetahuan. Karena yang disebut sebagai
“objektif” hanyalah merupakan transendensi dari hasrat po-
litik tingkat tinggi yang bersumber dari nafsu untuk berkua-
sa, paling tidak berkuasa atas dirinya sendiri. Paling tidak lagi
adalah perjuangan untuk menyatakan diri (struggle for the
real) dalam bahasa Geertz. Dengan demikian, ilmu pengeta-
huan yang dipeluk dan dianut oleh umat manusia sejatinya
14
Ibid. 34.

140
Bagian ketujuh • Regulatan identitas intelektual ...

mengantarkannya pada rimba pergulatan yang tak kunjung


usai. Dalam konteks ini perjuangan untuk menyatakan diri
berkelindan dengan perjuangan untuk menyatakan diri dari
pihak lain (akademisi lain ataupun institusi) yang memantik
kontestasi yang sangat dinamis.
Berikutnya dapat diandaikan bahwa akan terjadi kecen-
derungan identitas intelektual baru yang bisa disematkan
pada para akademisi PTKIN di Jawa Timur ini. Pergumulan
dan pergulatan identitas intelektual ini bernegosiasi dalam
perkembangan selanjutnya, sehingga dalam batas-batas ter-
tentu meleburkan individu ke dalam institusi sekaligus me-
nempatkan institusi sebagai bagian dari individu.
Menempatkan fenomenologi Schutzian sebagai bagian
penting dalam penelitian sosial akan memperkaya pemaha-
man dan ke dalaman maknanya sebagai sebuah pengetahu-
an yang berbicara atas nama dan untuk manusia. Dengan fe-
nomenologi jejaring kutukan yang membelenggu atas nama
objektivisme harus menepi demi memanusiawikan manusia
dalam cahaya pengetahuan.
Karenanya, kajian atas pergulatan politik identitas inte-
lektual oleh para akademisi PTKIN di Jawa Timur ini sepe­
nuhnya menggunakan metodologi fenomenologis agar ge­
limang makna dari pergulatan politik akademisi ini bisa
ter­wadahi dengan sempurna. Gelimang makna politik yang
selama ini terabaikan dalam konstruksi pengetahuan manu-
siawi. Gelimang makna yang selama ini terbungkam oleh ke-
tatnya aturan ilmu pengetahuan manusia. Karenanya Inilah
tamasya yang merayakan kembalinya manusia dalam suka
cita ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan tentang po-
litik yang paling hakiki.

141
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

DAFTAR BACAAN
Bertens, K. 2001. Filsafat Barat Kontemporer Perancis. Jakarta:
Gramedia.
Fauzi, Ibrahim Ali. 2003. Jurgen Habermas. Jakarta: Teraju.
Harker, Richard. 2005. “Bourdieu—Pendidikan dan Reproduk­
si” dalam Richard Harker dkk., (Habitus X Modal) + Ranah
= Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemiki-
ran Pierre Bourdieu, terj. Pipiet Maizier. Bandung: Jalas-
utra.
Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Ja-
karta: LP3ES.
Kuswarno, Engkus. 2009. Metodologi Penelitian Komunikasi
Fenomenologi. Bandung: Widya Padjajaran.
Lash, Scott. 2004. Sosiologi Posmodernisme, terj. A. Gunawan
Admiranto. Yogyakarta: Kanisius.
Latif, Yudi. 2005. Intelegensia Muslim dan Kuasa. Bandung:
Mizan.
Mannheim, Karl. 1991. Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kai-
tan pikiran dan Politik ter. F. Budi Hardiman. Yogyakarta:
Kanisius.
Piliang, Yasraf Amir. 2008. Multiplisitas dan Diferensi. Yogya-
karta: Jalasutra.
Riyanto, E. Armada. 2009. Politik, Sejarah, Identitas, Posmo-
dernitas. Malang: Widya Sasana Publication.
Riyanto, Geger. 2009. Peter L. Berger: Perspektif Metateori Pe-
mikiran. Jakarta: LP3ES.
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat,
Yogyakarta: Kanisius.
Turner, Jonathan. 1998. The Structure of Sociological Theory.
Wadsworth Publishing Company.
Wallerstein, Immanuel. 1997. Lintas Batas Ilmu Sosial, terj.
Oscar. Yogyakarta: LKiS.
Waters, Malcolm. 1994. Modern Sociological Theory. London:
SAGE Publication Inc.

142
Bagian Kedelapan

FENOMENA AGAMA TUA DI KALIMANTAN


TENGAH: Makna Agama Menurut
Kepercayaan Kaharingan Tua
Joni Rusmanto
Dosen Universitas Palangka Raya (UPR)
Email: rusmanto_joni@yahoo.com

a. PENDAHULUAN
Kaharingan adalah sebuah societas keagamaan yang di-
pandang paling tua di Kalimantan Tengah. Komunitas keaga-
maan ini, para pemeluknya berasal dari orang Dayak Ngaju.
Dayak Ngaju adalah salah satu dari suku induk yang berada
di antara suku-suku induk yang ada di wilayah Kalimantan
Tengah. Disebut Ngaju karena klasifikasi bahasa sehari-hari
yang digunakan adalah bahasa Ngaju, dan mayoritas orang-
orang Ngaju dalam suku ini masih sebagai penganut Kahari-
ngan yang setia hingga hari ini. Memang sebagian dari mere-
ka sudah beralih ke agama-agama besar yang seperti pemeluk
Kristen Protestan dan Islam.
Mengapa disebut demikian tua? Memaksudkan sebuah
penjelasan tentang makna agama menurut societas keaga-
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

maan kuno dalam perspektif fenomenologis. Sebagai sebu-


ah komunitas kuno, kaharingan sejak awal mulanya telah
membentuk kesadaran identitas peradaban kultural di bumi
Kaliman­ tan jauh sebelum peradaban agama-agama besar
yang ada.
Menyandingkan faktualitas eksistensi peradaban socie­
tas, dalam konteks eksistensi agama tua ini dimata negara,
dan juga umumnya orang Dayak akan menyatakan bahwa
Kaharingan bukanlah sebuah agama, melainkan hanya seba-
gai aliran kepercayaan tua yang kurang lebih dipandang sama
dengan agama Hindu. Itulah sebabnya mengapa Kaharingan
sampai saat ini bernaung di bawah Hindu Darma Persada Bali.
Tapi jika demikian adanya, berkaca dari sebuah perta-
nyaan yang diajukan; mengapa Hindu tidak dikategorikan
sebagai aliran kepercayaan tua? Lalu kenapa pula kemudian
Hindu menjadi sebuah agama, bukannya aliran tua sebagai-
mana Kaharingan Tua? Ada banyak pentanyaan yang dapat
diajukan untuk mempermasalahkan persoalan ini. Tentu saja
tulisan ini bukanlah bermaksud untuk menambah kerumitan
yang ada, melainkan bermaksud mencoba memberikan se-
buah refefleksitas logika berpikir yang sejatinya terlepas dari
persoalan-persoalan subjektivitas pemikiran yang mengge-
linding kearah yang lebih menyesatkan dalam memahami se-
buah realitas yang terjadi di sana.
Realitas yang bagaimana? Tentu saja sebuah realitas dari
komunitas keagamaan Kaharingan Tua yang hingga saat ini
sebagai societas tua yang tidak dapat bangkit dari keterpa-
sungan dan kemeranaan yang ada dalam panorama politik
dan hukum di negeri ini. Jika dipandang dari sudut pandang
politik dan hukum Negara akan sangat berlawanan dengan
martabat sebuah negara yang memiliki kewajiban dalam pe-
ngelolaan kehidupan bernegara dan berbangsa. Karena itu,
pengakuan politik dan hukum mutlak semestinya membe-
rikan hak kemerdekaan, keleluasan untuk mengekspresikan
bahkan mengapresiasikan hakikat dari keberagamaannya

144
Bagian kedelapan • fenomena agama tua di kalimantan tengan: ...

yang lebih otonom.


Nyatanya, kebebasan dan kemerdekaan dalam mengak-
tualitaskan keberagamaan yang objektif tersebut telah diram-
pas, dirampok, digerogoti bahkan dianiaya secara terbuka.
Ironinya ini terjadi pada sebuah bangsa yang katannya beri-
deologi Pancasila. Untuk peristiwa ini maka semakin menge-
sankan, bahwa realitas keragaman beragama di negara ini
masih menjadi problematika besar hingga hari ini, di mana
keadilan semakin hilang maknanya.

b. SKETSA FENOMENOLOGI
Sketsa fenomenologis memaksudkan sebuah metodologi
berpikir yang mengutamakan aktivitas pemikiran akal budi
yang bersifat refleksif terhadap berbagai aktivitas keseharian
yang berkesinambungan. Sebagai metodologi, maka fenome-
nologi menjadi suatu kerangka berpikir yang mengutamakan
prinsip-prinsip mendasar dari berbagai pengalaman peristi-
wa dalam keseharian individu atau komunitas sosial tertentu.
Peristiwa dan berbagai pengalaman hidup, bukan hanya se-
kadar kejadian biasa. Melainkan kejadian yang memiliki arti,
makna mendalam dan berelasi menuju kepada pembentukan
makna mendasar terhadap peristiwa dan pengalaman hidup
manusia itu sendiri.
Tidak ada peristiwa atau pengalaman hidup manusia
yang sama sekali tidak memiliki makna bagi individu atau ko-
munitas yang membentuknya. Peristiwa kecil pun dianggap
sebagai sebuah kejadian yang penting menjadi bagian dari
pengalaman hidup setiap orang. Bahkan kejadian atau peris-
tiwa hidup yang kecil itu, bukan tidak mustahil memiliki re-
levansi atau keterkaitan dengan pengalaman hidup manusia
lainnya. Bahkan juga, pengalaman-pengalaman kecil pun bu-
kan tidak mustahil merupakan refleksi dari berbagai peristi-
wa yang berada di luar pengalaman individu yang mengalami
peristiwa itu.

145
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

Fenomenologi bukan semata hanya memeriksa, melain-


kan merefleksikan berbagai pengalaman yang unik dari seti-
ap individu yang membentuk kesadaran sehingga memben-
tuk pengetahuannya tentang sesuatu (entah politik, hukum,
sosial, dan lain sebagainya). Refleksi atas berbagai dinamika
pengalaman hidup demikian itu, yang sejatinya secara cer-
das pernah dikatakan Alfred Schuttz (Alfred Schutz, 1967: 45)
beri­kut:
in fact experience in duration is not a being that is discrete and
well-defined but a constant transition from a now-thus to a new
now thus. The stream of consciousness by its very nature has not
yet been caught up in the net of reflection. Reflection, being a func-
tion of the intellect, belong essentially in the spatiotemporal world
of everyday life.

Meminjam piranti-piranti filsafat fenomenologi Husse-


rl yang bertolak dari suatu pengandaian bahwa pengalaman
tidak hanya di berikan kepada para individu melainkan ber-
sifat intensional. Dalam arti bahwa pengalaman itu melibat-
kan orang yang mengarahkan perhatiannya pada objek-objek
yang membuat pengalamannya seperti itu. Fenomenologi
Husserl menjelaskan semua kesadaran sebagai sebuah objek
dan karenanya sebagian merupakan konstruksi individu yang
mengarahkan perhatiannya pada objek-objek kesadarannya.
Menurut Husserl (William A. Luijpen, 1966: 27) bahwa:
consciousness itself is intentional. Consciousness is seen as pre-
sence to a reality which this conness itself is not. This presence and
accessibility to reality is not seen as a subsequent elaboration of
a pre-existing, originally isolated consciousness; consciousness is
this accessibility to reality.

Pengertian Husserl sebagaimana yang dikutip Luijpen


tersebut di atas, sesungguhnya ingin mengutarakan kepada
kita bahwa fenomenologi sebagai sebuah metodologi berpi-
kir menawarkan bagi kita untuk membuka tabir pengetahuan
yang membentuk akal budi terselubung menuju jalannya pe-

146
Bagian kedelapan • fenomena agama tua di kalimantan tengan: ...

mikiran akal budi yang objektif. Lagipula bahwa metodologi


fenomenologi sebagai sebuah horizon pemikiran, tanpa henti
dan kenal lelah, tidak direduksi bahkan terdistorsi oleh dalil,
hukum, politik formal dalam berbagai bingkai pertautan ke-
pentingan pengetahuan besar manusia yang ada, kemudian
yang diterima menjadi kesadaran objektif bersama.
Akhir kata sebagaimana yang disampaikan Robert Bog-
dan & Steven J. Tylor tentang riset metodologi fenomenologi,
bahwa tugas utama seorang fenomenolog adalah: the pheno-
menologist view human behavior-what people say and do-as a
product of how people interpret thei world (Robert Bogdan &
Steven J. Tylor, 1975: 13).

c. KAHARINGAN TUA YANG TERLUPAKAN


Fenomena Kaharingan Tua di Kalimantan Tengah jika
dipahami dalam bingkai filsafat fenemonologi memaksudkan
sebuah entitas dari kualitas pergalaman hidup yang telah di-
gumuli oleh sebuah komunitas tua, yang eksistensi beragam-
annya yang seharusnya otonom telah direnggut di negeri yang
masih muda ini. Entitas problematika hidup beragamanya,
tentu dalam wilayah perkara politik dan hukum. Perkara me-
nyangkut dinamika societas hidup dalam wilayah ini, tentu
dipahami dalam bingkai filosofisnya sebagai entitas perkara
yang lebih mendasar dan mendalam dengan penuh pengha-
yatan.
Perkara politik dimaksudkan bukan ingin membicarakan
tentang bagaimana menyangkut kehidupan dalam politik.
Politik bukan pula berurusan dengan perkara institusinya, se-
gala macam menyangkut perkara instrumen-instrumennya.
Politik bukanlah teori, atau bukan pula berteori tentang apa
itu politik. Melainkan politik di sini, menyangkut perkara luas,
yakni uraian refleksivitas filosofis, tentang apa itu politik de-
ngan segala macam intensitas problematika yang terkandung
subjektivitas dalamnya.

147
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

Dengan demikian, maka politik mancakup dan meliputi


bisa, pada perkara soal hukumnya, pemerintahannya, kebu-
dayaannya, kehidupan keagamaannya, kekuasaannya, ide-
loginya, kebijakan penggusurannya, peraturan perundang-
undangannya, pengelolaan ekonomi dan pendidikannya,
pemanfaatan sumber daya alam dan lain sebagainya. Politik
yang sejatinya adalah mengacu kepada tata kelola kehidup-
an bersama, tatakelola hidup yang sepantasnya, bermartabat,
berhati nurani, tentu adil, dan bijaksana.
Secara historis, Kaharingan Tua belum disebut sebagai
agama (istilah yang diberikan sebagai penanda identitas kul-
tural menurut pengakuan komunitasnya), namun disebut ke-
percayaan helo, yang artinya identik pada makna segala hal
yang berhubungan dengan zaman dahulu, tradisional, kuno
atau klasik. Ketika dirangkai istilah helo tersebut di atas men-
jadi agama atau kepercayaan helo maka artinya dapat dipasti-
kan tiada lain sebagai produk kultural agama zaman dahulu.
Agama zaman dahulu berarti pula tiada lain agama tra-
disional. Sebagai agama kuno yang tradisional, maka sudah
pasti sinonim makna kata menjadi bermakna negatif. Tiada
lain adalah agama usang, ketinggalan zaman, primitif, bar-
bar, dan nomaden. Dengan sendirinya, maka lebih jauh lagi
asosiasi kita dalam mendefinisikannya sebagai agama yang
menyembah berhala, dewa-dewa dan lebih pantas sebagai
agama kafir, dan seterusnya. Paling tidak konsep berpikir se-
macam itu, yang sejak lama diinisiasi oleh para ilmuwan Barat
yang menamakan dirinya antropolog sejati bahkan termasuk
pula para zending Barat maupun kolonialis yang pernah men-
jajah kepulauan Kalimantan saat itu.
Pemberian nama sebagaimana dijelaskan Fridolin Ukur
sudah terjadi pada saat Belanda menjajah pulau Kalimantan.
Orang Belanda menyebut kata ―helo untuk keyakinan lokal
itu adalah heiden yang artinya “kafir”. Namun, tidak hanya
zaman imperialisme Belanda yang memberikan nama kepa-
da identitas keagamaan lokal tersebut, juga orang Inggris pun

148
Bagian kedelapan • fenomena agama tua di kalimantan tengan: ...

ikut pula terlibat merekonstruksi kata tersebut di dalamnya.


Pada waktu Inggris memperluas wilayah imperiumnya
hingga ke Kalimantan Utara (sekarang wilayah hukum negara
Malaysia), maka identitas keagamaan lokal itu disebut~daya,
yang artinya komunitas lokal primitif, komunitas liar, barbar-
ian, nomaden, karena pada dasarnya mereka tinggal di hu-
tan-hutan dan rimba belantara raya. Dengan demikian, maka
berdasarkan makna kata dari kedua istilah baik kata helo dan
daya, yang dipakai untuk merujuk kepada identitas komuni-
tas lokal semacam ini tiada lain mengandung makna pesan-
pesan politis yang tersirat. Hal itu terjadi karena pada saat pe-
merintah kolonial Belanda dan Inggris menjajah, orang-orang
Dayak seperti ini, dianggap sebagai kelompok ekstrimis, ko-
munitas suka melawan, dianggap pemberontak, tidak mudah
menyerah, komunitas yang tetap berpegang pada prinsip
pendirian kultural yang sejati.
Atas sikap komunitas tua ini yang demikian, maka diang-
gap menjadi sumber ancaman bagi pemerintah kolonial. Kita
simak saja contoh misalnya, pada zaman Belanda masuk di
Kalimantan sekitar abad ke-19, kemudian diiringi oleh misi
pengkabaran Injil melalui RMG dan BMG (Badan Penginjilan
Jerman dan Swiss pada tahun 1925), banyak orang-orang Be-
landa termasuk juga para Zending yang mati sia-sia, karena
dibunuh oleh orang Dayak saat itu.
Dalam sejarah itulah, maka dapat kita lihat, bahwa sa-
ngat sulit membedakan antara kepentingan politik penjajah
dan ekspansi politik ideologi agama pada abad ke-19 di Ka-
limantan. Sehingga bagi komunitas Dayak saat itu, tidak bisa
dibedakan mana orang asing (penjajah) dan mana para peng-
injil atau Zending yang menyiarkan ajaran agama. Bayangkan
misalnya, sekitar tahun 1925 di Desa Pangkalanbun, Desa
Nangabulik dan di Desa Lubuk Hidjau sekitar 105 orang Ka-
haringan dibaptis menjadi Kristen secara massal. Kemudian
di Desa Kuala Kurun 14 orang dan di Desa Mandomai kurang
lebih 400 orang juga dibaptis secara massal, belum termasuk

149
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

jumlah orang Dayak Kaharingan dari desa-desa sekitar yang


saat itu juga dibaptis secara massal oleh para Penginjil atau
Penyiar agama terutama dari BMG dan RMG (Ukur, Fridolin,
1971/1978:95-97).
Bagi orang Dayak waktu itu, para penjajah adalah musuh,
ia bukan teman melainkan lawan yang harus diusir atau dibu-
nuh, entah penjajah idelogis politik atau pula penjajah ideolo-
gi agama, sama saja. Pendirian kultural komunitas semacam
inilah yang kemudian pada akhirnya semakin mempertajam
istilah bahasa yang merujuk pada identitas kultural mereka
sebagai komunitas helo atau daya, sebuah komunitas agama
yang bukan asli, melainkan palsu atau imitasi bukan buatan
Tuhan melainkan buatan manusia biasa. Sumanto Al Qutur-
by (2004) dalam Lubang Hitam Agama menyatakan bahwa
agama dalam realitasnya tidak lebih sebagai agama penjajah,
penjajah budaya (Sumanto, 2004: 50-56). Dan ekspansi keaga-
maan (Kristenisasi, Pengislaman, Hinduisasi, dan sebagainya)
pada dasarnya merupakan penjajah itu sendiri.
Sudah tak terhitung lagi beberapa produk kebudayaan
yang mestinya diakui sebagai bentuk kearifan lokal yang di-
hasilkan dalam komunitas setempat (sistem spiritual, tradisi
kultural, mitos dan lagenda, dan seterusnya) yang harus di-
tundukan dan ditaklukan pada otoritas agama besar ini, ka-
rena para misionaris agama datang dengan keyakinan bahwa
agama yang dibawanya adalah resmi buatan Tuhan, sementa-
ra yang lain imitasi, mereka merasa sebagai ahli waris paling
autentik dari kerajaan sorga.
Kaharingan sebagai bagian dari negara, sebagai komu-
nitas yang memiliki ciri khas identitas yang berbeda sebagai
anak bangsa, terkadang dinafikan oleh sistem hukum dan
politik negara yang kurang adil dan bijaksana. Komunitas tua
yang terlupakan bahkan dilupakan dalam cita-cita pengelo-
laan kehidupan bernegara. Komunitas tua yang menyandang
beban historis, hingga hari ini masih tetap diberi gelar sebagai
komunitas tua yang tradisional. Komunitas yang tradisional,

150
Bagian kedelapan • fenomena agama tua di kalimantan tengan: ...

itulah nama yang hingga hari ini masih tetap diberikan kepa-
dannya.
Kaharingan sebagai agama yang sejatinya kaya dengan
nilai-nilai ritual di dalamnya, terkadang hanyalah menjadi
objek pada dirinya. Berbagai sistem ritual keagamaan yang
ada, selalu diperuntukan sebagai pusat totonan bersama.
Bahkan siapa pun boleh saja melakukannya, baik sebagai
sumber wisata antara seni dan budaya. Sebagai contoh mi-
salnya, sudahlah biasa apabila ritual-ritual tertentu cende-
rung diperalat negara sebagai pemuas hasrat astetik, praktik
ritual untuk menerima para pejabat negara yang melakukan
kunjungan dinas ke daerah.1 Atau dalam rangka menyambut
turis asing dan mancanegara ke daerah. Bahkan juga, terka-
dang komunitas tua ini dijadikan sebagai lahan objek obser-
vasi dan penyelidikan kaum intelektual dan terpelajar Barat
secara akademis misalnya penelitian oleh para antropolog,
dayakolog dan sebagainya.2 Fenemona semacam ini, sebenar-

1
Ada suatu kebiasaan di Kalimantan Tengah hingga kini, pada saat kunjungan para pejabat
negara (menteri, DPR, gubernur, bupati, dan camat), dianggap sebagai tamu terhormat maka
selalu disambut dengan sebuah upacara yang disebut ―TETEK PANTAN. Tetek dalam istilah
Dayak Ngaju artinya memotong menggunakan pisau~mandau. Pantan artinya sebuah pohon
panjang yang sudah dikupas rapi, diletakkan dalam posisi memanjang maksudnya sebagai
penanda penghalang pintu jalan masuknya para tamu yang terhormat ke suatu tempat yang
dikunjungi. Tetek Pantan ini dibuat seperti gerbang pintu palang yang megah, dihiasi oleh
pernak-pernik khas setempat. Para pejabat yang datang itu dianggap sebagai para tamu yang
terhormat oleh warga setempat. Untuk menyambut tamu terhormat itu, maka sang tamu
diwajibkan memotong pohon penghalang itu, sebagai tanda bahwa warga kampung atau
desa dengan senang hati, menerima kedatangan mereka di tempat itu. Tentu saja dalam
pelaksanaan ritual ini, di undang para tokoh adat masyarakat setempat (biasannya mereka
dari kalangan Mantir, Basir atau Balian; imam agama Kaharingan) yang bertugas membaca-
kan doa-doa sakral dalam bahasa Sangen Sangiang (bahasa suci) yang bermakna ungkapan
doa dalam penghayatan bersama untuk kebaikan para tamu yang mengunjungi mereka.
2
Kalau tidak salah sudah tidak dapat dihitung lagi sudah banyak para Peneliti Eropa
(Universitas yang ada di Jerman dan di Indonesia) yang mengambil objek riset mereka untuk
mengambil gelar Ph.D pada kajian tentang agama dan sistem ritual Kaharingan dengan
berbagai objek permasalahan dan pendekatan yang ditentukan, dan tentu saja kebanyakan
hasil penelitian mereka banyak diprotes oleh tokoh-tokoh intelektual Kaharingan setempat.
Misalnya; Hans Scharer, dengan penelitiannya diberi judul Ngaju Religion (aslinya bahasa
Jerman) Annie Scharer, Ngaju Rituals (aslinya bahasa Jerman), Martien Baier mengkaji ten-
tang Konsep Ketuhanan dalam Ajaran Kaharingan; Kaharingan sebagai Ajaran Politheis

151
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

nya menempatkan pusat-pusat pelaksanaan ritual agama tua


ini, yang seharusnya sacral pada dirinya terutama bagi para
pemeluknya, namun sebaliknya hanya dipandang sebagai ri-
tual biasa, tanpa makna dan cenderung dijadikan sebagai ak-
robatik pertunjukan seni dan budaya dari sebuah komunitas
agama yang ada. Sebagai bagian dari warga negara, societas
Kaharingan selalu berada dalam pergumulan yang tiada henti
demi pencarian identitasnya.
Jika seorang Dayak Kaharingan, yang tidak mencantum-
kan identitas agama resmi, sebagaimana yang terdapat da-
lam (Rancangan Undang-undang Kerukunan Umat Beraga-
ma RUU-KUB, terutama Pasal 11, tentang lima agama resmi
negara), dalam perkawinannya, maka perkawinan tidak dia-
kui oleh resmi oleh negara (yang dalam hal ini Departemen
Kependudukan dan Catatan Sipil). Dan seorang Kaharingan
yang menikah itu, tentu akan dipandang bukan sebagai warga
negara, dan paling tidak akan siap menyandang gelar sebagai
warga negara yang tidak taat asas hukum yang berlaku di ne-
gara. Fakta hukum semacam ini menurut Prof. Dr. E Armada
Riyanto, sangat diskriminatif, khususnya bagi pemeluk agama
yang tidak termasuk dalam lima agama resmi. Diskriminatif
terhadap agama berarti diskriminatif terhadap para pemeluk-
nya (Armada, 2009: 428).
Kondisi societas ini dalam refleksi fenomenologis men-
jadi semacam cermin dari kondisi societas bangsa ini, yang
dalam perumusan hakikat jati diri dan identitas keagamaan
masih menghadapi persoalan mendasar hingga hari ini. Per-
soalan menyangkut identitas sebagai jati diri yang fundamen-
tal dimiliki oleh semua orang sebagai manusia, yang seharus-
nya secara asasi wajib dianyomi oleh negara, justru sebaliknya

di Kalimantan Tengah (tulisan asli dalam Bahasa Jerman yang kemudian diterjemahkan
dalam Bahasa Indonesia), Fridolin Ukur (teolog dan Pendeta GKE) dua proyek riset dalam
rangka penyusunan disertasinya di STT Jakarta berjudul; ―Tantang Djawab Suku Dajak dan
Tuanja Sungguh Banjak (diterbitkan oleh badan penerbit PT BPK Gunung Mulian, Jakarta)
dan sebagainya.

152
Bagian kedelapan • fenomena agama tua di kalimantan tengan: ...

selalu menghadapi tantangan yang problematik. Kondisi ini


berada dalam societas bernegara kita yang benar-benar nya-
ta dan masih saja terjadi terjadi hingga hari ini. Apalagi hal
ini terjadi, pada saat negara kita masih tetap yakin dapat
memberikan jaminan sosial, hukum dan politik bagi seluruh
warganya yang berbeda latarbelakang identitas, budaya, dan
agama, untuk hidup mengaktualisasikan kepelbagaiannya se-
bagaimana adanya menurut ideologi Pancasila.

d. PENUTUP
Problematika keragaman keagamaan di negara kita hing-
ga hari ini belum tuntas untuk dipermasalahkan. Berbagai ka-
sus kekerasan beragama masih menunjukkan adanya domi-
nasi agama mainstream yang dianut komunitas manyoritas
tertentu di negara ini terhadap model-model keberagamaan
yang dianut komunitas minor. Societas mayor merasa lebih
berhak menyandang atribut identitas agama, sementara yang
minor tidak, dan arena itu harus melebur ke dalam keagama-
an mayoritas itu. Kebenaran agama menjadi demikian reduk-
sionistik bahkan terkalahkan dalam panggung peradaban KE-
INDONESIAN.
Berbagai problematika keragaman beragama demikian
ini tampak vulgar di depan mata, sebut saja misalnya, komu-
nitas Ahmadiyah di Jawa, Kejawen, Islam Tua di Sanger Ta-
laud, agama Mimbolian di Luwuk Banggai Sulawesi Tengah,
dan terakhir adalah Kaharingan Tua di Kalimantan Tengah.
Serta, lebih banyak lagi, pergumulan komunitas agama tua
yang ada di nusantara ini untuk mengisi deretan panjang daf-
tar sejarah problematika ketidakadilan dalam memperlaku-
kan agama-agama tua di negeri nusantara yang tercinta ini.
Sebagai sebuah bangsa yang plural, adalah tugas negara
sejatinya dapat menjamin, melindungi, memberikan kenya-
manan, dan bahkan rasa keadilan untuk menyuguhkan bah-
kan mengaktualisasi-kan kepelbagaian identitas komunitas

153
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

warga yang ada dalam sistem hukum dan politik di negara.


Namun faktanya, semua itu hanya ilusi, simulasi, bayang-
bayang mimpi yang semu sekaligus menjadi pembenaran
dari apa yang disebut Benedict Anderson dalam Imagined
Communities, sebagai esensi dari sebuah “komunitas terba-
yangkan” (Anderson, 2008: 11).
Komunitas-komunitas terbayang tiada lain adalah komu-
nitas menuju pengertian berbangsa, bernegara, berkebang-
saan dan rasa kebangsaan (antropologis nature), bangsa yang
dibayangkan sebagai sebuah komunitas, sebab tak peduli
akan ketidakadilan yang ada dan penghisapan yang mung-
kin tak terhapuskan dalam setiap bangsa—bangsa itu sendiri
selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk men-
dalam dan melebar mendatar dan merata ke dalam apa yang
kita sepakati sebagai societas Indonesia yang kita cintai dan
kita rawat dan jaga eksistensi sosialnya.

DAFTAR BACAAN
Anderson, Benedict. 2008. Komunitas-Komunitas Terbayang,
terj, dari judul asli: Imagined Communities; Reflections on
the Origin and Spread of Nationalism, oleh Omi Intan Na-
omi. Yogyakarta: Kerjasama INSIST dengan Pustaka Pel-
ajar.
Bogdan, Robert & Taylor, Steven J. 1975. Introduction to Qua-
litative Research Methods: A Phenomenological Approach
to The Social Sciences. USA: A Wiley-Interscience Publica-
tion.
Luijpen, A. William. 1966. Phenomenology and Humanism;
A Primer in Existential Phenomenology. USA: Duquesne
University Press, Piitsburgh, PA. Edition E. Nauwelaerts,
Louvain.
Piliang, Amir, Yasraf. 2004. Posrealitas: Realitas Kebudayaan
dalam Era Posmetafisika. Yogyakrata: Jalasutra.
-------------. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas

154
Bagian kedelapan • fenomena agama tua di kalimantan tengan: ...

Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra. Riyanto, Armada


tt.—Berfilsafat dalam Martin Heidegger―Being and Time‖.
(Esai singkat tanpa tahun, penerbit dan hanya untuk ka-
langan terbatas). Maklaah. Malang: Sekolah Tinggi Filsa-
fat Teologi Widya Sasana.
-------------- tt. ―Filsafat: Peradaban Rasionalitas-Mengenai
Kajian Disiplin Filsafat dari Mitos ke Pencerahan.‖ (Esai
singkat tanpa tahun, penerbit dan hanya untuk kalangan
terbatas). Makalah. Malang: Sekolah Tinggi Filsafat Teo-
logi Widya Sasana.
-------------. 2009. Politik, Sejarah, Identitas, Posmodernitas;
Rivalitas dan Harmonisitas di Indonesia (Sketsa-Filosofis-
Fenomenologis). Materi Pidato dalam Rangka Pengukuh-
an Guru Besar pada tanggal 28 November 2009 di STFT
Widya Sasana. Malang: Widya Sasana Publication.
------------. 2010. Dialog Interreligius; Historisitas, Tesis, Per-
gumulan, Wajah. Yogyakarta: Kanisius.
Schutz, Alfred, (translators & Introductions). 1967. The Phe-
nomenology of the Social World, Northwestern University
Studies In Phenomenology & Existential Philosophy. USA:
Northwestern University Press. Ukur, Fridolin. 1991 ―
Tantang-Djawab Suku Dajak; Suatu Penjelidikan tentang
unsur-unsur jang menjekitari penolakan dan penerimaan
Indjil dikalangan suku-Dajak dalam rangka Sedjarah Ge-
redja di Kalimantan 1835-1945‖. (Disertasi unuk meraih
gelar doctor ilmi Teologi STT Jakarta, tahun 1971). Jakar-
ta: PT BPK Gunung Mulia.
-----------. 1991. Tuainja Sungguh Bandjak. Jakarta: PT BPK
Gunung Mulia.
Quturby, Al, Sumanto. 2004. Lubang Hitam Agama; Mengkri-
tik Fundamentalisme Agama, Menggugat Islam Tunggal.
Yogyakarta: Kerjasama Rumah Kata dan Ilham Institut
Semarang.

155
para PENULIS

Dr. Abdul Main, M. Hum. Lahir di La­mongan


tahun 1969. Meraih gelar sarjana (S1) dari
Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Sura-
baya tahun 1989-1993, dan Fakultas Sastra
Universitas Indonesia tahun 1995-1998. Ge-
lar Magister Humaniora dari Fakultas Sastra
Universitas Indonesia tahun 1999-2001, Dan
menyelesaikan studi Doktor Ilmu Sosial dari FISIP Universi-
tas Airlangga Surabaya tahun 2010-2016. Saat ini berprofesi
sebagai Widyaiswara di Balai Diklat Keagamaan Surabaya,
mengampu mata diklat Antikorupsi dan Integritas pada Dik-
lat Prajabatan dan Diklat Kepemimpinan Tk IV di Kemenag,
Kemenkumham, dan Mahkamah Agung. Aktif dalam kegiatan
dikjartih; mantan Pimred Jurnal Diklat Keagamaan: Inovasi
(2007-2013); Sekretaris Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan
Surabaya (2009-2011); dan Anggota Tim Verifikasi Penilaian
Angka Kredit Widyaiswara (2010-2012). Karya-karya yang te-
lah dihasilkannya berupa modul dan buku pedoman untuk
keperluan Pendidikan dan Pelatihan. Di antara yang telah di-
publikasikan berjumlah 22 judul. Adapun karya artikel ilmiah
yang terpublikasi pada jurnal/majalah dan koran sebanyak 47
judul. Email: abdulmainwi@yahoo.co.id.
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

Dr. Muhammad Farid, M.Sos. Lahir di Am-


bon, 13 November 1978. Meraih gelar sarjana
(S1) dari Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah-
Filsafat IAIN Jakarta tahun 2000, Magister So-
siologi (S2) dari Universitas Brawijaya Malang
tahun 2004, dan Doktor Ilmu Sosial (S3) Uni-
versitas Airlangga Surabaya tahun 2016. Kini berprofesi seba-
gai dosen Ilmu Sosial dan Humaniora di STKIP Hatta-Sjahrir
Banda Naira. Konsentrasi studinya pada Sosiologi Agama,
dan Cultural Studies. Publikasi internasional antara lain; (1)
Guarding Peace, dalam Proceeding Journal on Annual Malang
International Peace Conference (AMIPEC) 2016; (2) Dialog
And Religious Tolerance In The City Of Ambon: A Perspective
from the Ambon Muslim ex-Combatants, dalam International
Journal of Islamic Thought (IJIT UKM), ISSN 2232-1314, eIS-
SN 2289-6023, Vol 9 June 2016; (3) Perdamaian Antar-Agama
Pada Masyarakat Multikultural: Kritik Terhadap Gagasan Per-
damaian Multikulturalisme di Maluku, dalam Prosiding SAAP
ke-IX 4-5 Oktober 2016, ISBN 978-967-0913-32-2; (4) Jokowi
and Multiculturalism in Indonesia, dalam International Pro-
ceeding Seminar on Islam and Global Peace (ISGaP 2016), 6-7
December 2016; dan (5) The Everyday Peace, dalam Procee-
ding The 6th International ICOSH-UKM 2017, 04-06 April 2017.
Dapat ditemui pada laman facebook@faridmuhammad, twit-
ter@em_farid, dan email: mfarid01@yahoo.com.

Dr. Rr. Nanik Setyowati, M.Si. Lahir di Suraba-


ya 25 Agustus 1967. Meraih gelar sarjana (S1)
dari Jurusan PMP-KN FPIPS IKIP Surabaya ta-
hun 1991, Magister (S2) Ketahanan Nasional
dari Universitas Gadjah Mada tahun 2000, dan
doktor (S3) Ilmu Sosial dari FISIP Universitas
Airlangga Surabaya tahun 2014. Disertasinya tentang fenome-
na kekerasan suporter sepakbola Persebaya Surabaya sekali-

158
para penulis

gus menghantarkan namanya sebagai “Doktor Bonek”. Saat


ini berprofesi sebagai dosen pada Fakultas Ilmu Sosial dan
Hukum (FISH) UNESA. Karya penelitiannya sebanyak 54 ju-
dul, dan Pengabdian masyarakat 34 judul, yang telah meng-
angkat statusnya sebagai peneliti terbaik Unesa tahun 2009.
Karya buku sebanyak 16 judul, antara lain; Pendidikan Gene-
rasi Muda (1993), Pendidikan Pancasila (2001), Pendidikan
Kewarganegaraan Mahasiswa (2005, 2007, 2009, 2010, dan
2016), Pendidikan Kewarganegaraan SMP BSE kelas VII, VIII,
dan IX (2008), Hubungan Internasional bagi Mahasiswa (2009
dan 2011), HAM (2015), Pendidikan Karakter (2015), Sosiolo-
gi Politik (2016), dan Teori Hukum Konstitusi (2016). Email:
rr_nanik_setyowati@yahoo.com.

Dr. Sanggam Siahaan, M.Th. Lahir di Balige,


pada 01 Juli 1967. Meraih gelar Sarjana Teolo-
gi dari Sekolah Tinggi Theologi (STT-HKKBP)
Pematang Siantar. Magister Teologi (S2) dari
Fakultas Theologi Universitas Kristen Duta
Wacana Yogyakarta. Dan menyelesaikan pen-
didikan Doktoral (S3) dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poli-
tik Universitas Airlangga tahun 2016. Sejak tahun 1992 menja-
di Rohaniawan di beberapa Gereja HKBP (Huria Kristen Batak
Protestan) seperti di Gereja HKBP resor Pekanbaru Kota Riau
(1992-1993), Gereja HKBP Resor Laras Sumatera Utara (1993-
2000), Gereja HKBP Tanjung Perak Surabaya (2007-2009), dan
Gereja HKBP Resor Batam Kepulauan Riau (2008-2010). Selain
itu, ia pernah menjadi Kepala Bidang Koinonia Distrik 17 In-
donesia Bagian Timur (2013-2016). Saat ini berprofesi sebagai
dosen pada STT HKBP Pematang Siantar dengan mengampu
Matakuliah: Sosiologi, Metode Penelitian Sosial, Agama dan
Masyarakat, dan Teologi Sosial. Karya tulisnya antara lain: (1)
Makna Kekerasan Menurut Buruh Perempuan, Penerbit Pus-

159
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

taka SAGA, 2016 ISBN 9786026851-48; (2) Forms of Violance on


oman Workers at Indonesia’s Shoe Factory: A Social Perspective,
International Journal of Management & Administrative Scien-
ces (IJMAS), Vol.3 No.10, 2016. Dapat dihubungi melalui: las-
maria75@yahoo.com.

Dr. Oksiana Jatiningsih, M.Si. Lahir di Jom-


bang, 1 Oktober 1967. Meraih gelar sarjana
dari Program Studi PPKn, IKIP Surabaya ta-
hun 1991. Magister (S2) Ilmu-Ilmu Sosial dari
Universitas Airlangga tahun 2000. Dan doktor
(S3) Ilmu-Ilmu Sosial dari Universitas Airlang-
ga tahun 2016. Konsentrasi kajiannya di bidang gender dan
pendidikan gender. Beberapa penelitian dan tulisannya, anta-
ra lain: (1) Pengembangan Model Pendidikan Gender di SMP:
Studi dalam Rangka Penyiapan Anak menuju Tatanan Ma-
syarakat Egalitarian dan Demokratis; (2) Kohesi Sosial dalam
Masyarakat Urban: Studi Identitas Kolektif pada Kelompok
Kader Lingkungan di Kelurahan Jambangan Surabaya; (3) Pe-
nanggulangan Feminisasi Kemiskinan: Model Pengembang-
an Lembaga Keuangan Non-Bank sebagai Pendukung Usaha
Ekonomi Perempuan di Perdesaan di Jawa Timur; (4) Wacana
Gender pada Praktik Pendidikan Calon Guru di Unesa dalam
Perspektif Foucault; (5) Stagnasi Transformasi Gender Menuju
Egalitarian di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan; (6)
Critical Pedagogy to Build Gender Perspective of Teacher Can-
didates to Develop Multicultural Education Culture; (7) Buil-
ding Gender Skills of Teacher Candidates for Gender Perspective
Education.” Dapat dihubungi melalui Email: oksianajatining-
sih@yahoo.com.

160
para penulis

Dr. H. Moh. Adib, Drs., MA. Lahir di Jombang,


pada 28 November 1960. Lulus dari Fakultas
Filsafat (S1) Universitas Gadjah Mada Yogya-
karta, Magister Antropologi (S2) Universitas
Indonesia, dan memperoleh Doktor Ilmu So-
sial dari Universitas Airlangga Surabaya. Ber-
profesi sebagai dosen pada Departemen Antropologi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga sejak tahun
1987. Karya tulisnya antara lain: Excellence With Morality: Mu-
tiara Jatidiri Universitas Airlangga dan Universitas Kebang-
saan (Editor, 2010), Pendidikan Karakter untuk Penguatan
Wawasan Bangsa dan Jati diri Mahasiswa Airlangga (Editor
Bersama Listiyono Santoso, 2011), Dialog Peradaban Lintas
Agama dan Budaya (Editor, 2013) Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan: Sebuah Pengantar Membangun Karakter
Bangsa (2013). Aktif menulis di berbagai media massa seperti
Jawa Pos, Surya, Surabaya Post, Pelita, Berita Buana, Repub-
lika, dan Kompas. Email: moh.adib@fisip.unair.ac.id. Tulisan
dan diskusi dapat diakses di situs: http://madib.blog.unair.
ac.id. Handphone (WA) yang dapat dihubungi +6281-5516-
2342; dan FB: Mohammad Adib.

Moch. Muwaffiqillah, S.IP., M.Fil.I. Lahir di


Kediri, 30 November 1977. Meraih gelar Sar-
jana Ilmu Politik dari FISIP Undar Jombang
pada tahun 2001. Memperoleh gelar M.Fil.I.
(Magister Filsafat Islam) dari IAIN Sunan
Ampel Surabaya pada tahun 2004. Berprofe-
si sebagai Dosen di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kedi-
ri pada tahun 2003. Pernah menjabat sebagai Kepala Pusat
Penelitian di STAIN Kediri awal tahun 2011. Menjadi Kepala
Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir pada tahun 2016.
Sempat mengenyam program doktor dalam Ilmu-ilmu Sosi-
al di Universitas Airlangga Surabaya (tidak selesai/diselesai-

161
fenomenologi: dalam penelitian ilmu sosial

kan) tahun 2010. Saat ini berikhtiar mengikuti program S3


Dirasah Islamiah UIN Sunan Ampel Surabaya dalam Program
Beasiswa 5000 Doktor MORA Scholarship Kemenag RI (2017-
). Minat studi pada kajian Filsafat Ilmu, Studi Keislaman dan
Ilmu Politik. Karya tulisnya antara lain: (1) Demokrasi dan
Sekularisme dalam Islam, Empirisma vol. 23 No. 2 Juli 2014
Jurnal Pemikiran dan Kebudayaan Islam LP3M STAIN Kediri;
(2) Pribumisasi Islam dalam Perspektif Politik Dekonstruksi:
Mengeja Semesta Abdurrahman Wahid, Empirisma vol. 21
No. 2 Juli 2012, Jurnal Pemikiran dan Kebudayaan Islam LP3M
STAIN Kediri; (3) Genesis Kebangsaan dan Politik Pengakuan
atas Kewargaan-Keberislaman Indonesia, Empirisma vol. 21
No. 1 Januari 2012, Jurnal Pemikiran dan Kebudayaan Islam
LP3M STAIN Kediri; (4) Sketsa Studi Komunikasi Politik Islam,
Kontributor Buku STAIN Kediri Press; (5) Analisa dan Kritik
Rasionalitas Epistemologi Nalar Arab al-Jabiri dalam Bingkai
Averroesme, “Empirisma” Jurnal Pemikiran dan Kebudayaan
Islam LP3M STAIN Kediri. Dapat dihubungi melalui email:
muwaffiqy@yahoo.com.

Dr. Joni Rusmanto, M.Si. Lahir di Kota Pa-


langka Raya Provinsi Kalimantan Tengah, 10
Oktober 1974. Meraih gelar Sarjana (S1) dari
Jurusan Filsafat Teologi, STT GKE Banjarma-
sin Kalimantan Selatan tahun 1995. Magister
(S2) Sosiologi Agama pada Program Studi
Agama dan Masyarakat Universitas Kristen
Satya Wacana (UKSW) Salatiga tahun 2002. Dan Doktor Ilmu
Sosial dari FISIP Universitas Airlangga Surabaya tahun 2017.
Berprofesi Dosen Tetap/ASN di Jurusan Sosiologi, FISIP Uni-
versitas Palangka Raya. Konsentrasi studinya di bidang Social
Movement Studies dan Social Resistance Perspective. Karya tulis
terbarunya antara lain berjudul; Gerakan Sosial, Sejarah Per-
kembangan Teori antara Kekuatan dan Kelemahannya (Edisi

162
para penulis

1, Cetakan I Desember 2012, ISBN: 978-602-18597-8-0), Sketsa


Anatomi Teori Sosial Kontemporer, Berdasarkan Parameter Pe-
tanyaan yang Diajukan & Dibahas Teoretisi (Edisi 1, Cetakan
I, Maret 2012, ISBN: 978-602-6851-68-0), dan Sosiologi Politik
Gerakan Sosial & Pengaruhnya Terhadap Studi Perlawanan
(Edisi 2, Cetakan I, Desember 2017, ISBN: 978-602-6851-94-9).
Publikasi internasional berjudul. “Land Reclaiming Movement
against Palm Plantation Corporation: Case Study of Koling Vil-
lage Community, Central Kalimantan, Indonesia”, Journal Of
Management And Administrative Sciences E-Issn: 2225-7225,
08.02.2017, Vol. 4 No. 06 published on Feb 19, 2017. Email:
rusmanto_joni@yahoo.com.

163
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai