Anda di halaman 1dari 134

Penulis

Prof. Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc


Prof. Dr. Danny Hilman Natawidjaja
Prof. Dr. Ismunandar
Prof. Dr. Ivandini Tribidasari Anggraningrum
Prof. Dr. Jamaluddin Jompa
Prof. Dr. Yahdi Zaim, IPU

Penerbit IPB Press


Jalan Taman Kencana, No. 3
Kota Bogor - Indonesia

C.01/12.2021
Judul Buku:
Ilmu Dasar untuk Semua
Kuliah Inagurasi Anggota KIPD AIPI 2021

Penulis:
Prof. Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc
Prof. Dr. Danny Hilman Natawidjaja
Prof. Dr. Ismunandar
Prof. Dr. Ivandini Tribidasari Anggraningrum
Prof. Dr. Jamaluddin Jompa
Prof. Dr. Yahdi Zaim, IPU

Penyunting Bahasa
Atika Mayang Sari

Desain Sampul & Penata Isi:


Alfyandi
Jumlah Halaman:
126 + 8 halaman romawi

Edisi/Cetakan:
Cetakan Pertama, Desember 2021

PT Penerbit IPB Press


Anggota IKAPI
Jalan Taman Kencana No. 3, Bogor 16128
Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: penerbit.ipbpress@gmail.com
www.ipbpress.com

ISBN: 978-623-256-942-3

Dicetak oleh Percetakan IPB, Bogor - Indonesia


Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan

© 2021, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit
Kata Pengantar
Bagi AIPI merekrut anggota baru memiliki dua makna. Pertama, sebuah proses pengenalan keutamaan
ilmu - yang berbeda dengan sekadar mencari bakat terpendam. Karena aspek penting dalam proses
ini adalah bagaimana agar ilmu tersebut dapat mengemuka bersama pemiliknya ketika dijadikan
media untuk berdialog dengan ilmuwan lain dan masyarakat secara luas. Kedua, memastikan
agar ilmu pengetahuan terus mengalir di dalam nadi kehidupan masyarakat karena meningkatkan
dan memelihara scientific temper adalah bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang
diamanatkan oleh konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, UUD 45. Sebuah proses yang
hanya bisa dilakukan oleh ilmuwan terkemuka.

Rekruitmen tahun 2021 ini memiliki arti yang sangat istimewa, khususnya bagi Komisi Ilmu
Pengetahuan Dasar (KIPD). Bukan saja karena ditandai dengan Pandemi Covid-19 dengan berbagai
tantangannya, tetapi karena keragaman bidang ilmu yang dimiliki Prof Ismunandar, Prof Ivandini T
Anggraningrum, Prof Jamaluddin Jompa, Prof Danny H Natawidjaja, Prof Damayanti Buchori, dan
Prof Yahdi Zaim. Meskipun secara umum enam anggota baru tersebut dapat dikategorikan dalam
tiga kelompok ilmu, yaitu Kimia, Biologi, dan Geologi. Namun ketika ditelisik lebih cermat dari
Kuliah Inaugurasi yang diuraikan oleh masing-masing anggota baru dalam buku ini ternyata mereka
memiliki detail keahlian yang sangat unik.

AIPI khususnya KIPD menghantarkan koleksi pemikiran PARA ILMUWAN TERKEMUKA


TERSEBUT untuk diketahui masyarakat yang lebih luas karena ilmu-NYA yang sangat dasar
ini memang harus diketahui PUBLIK. Ilmu Dasar untuk Semua dipersembahkan kepada sidang
pembaca, terutama generasi muda agar mereka lebih mencintai bidang-bidang ilmu yang jarang
dikenali ini namun memiliki potensi yang besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Selamat menikmati.

Prof Daniel Murdiyarso

Ketua KIPD
Daftar Isi

Kata Pengantar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . v

Daftar Isi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . vii

Serangga sebagai Penopang Kehidupan: Transdisiplin di Era Anthropocene


Prof. Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1

Konsep dan Aplikasi Geosains Kebencanaan untuk Pengembangan Geo-Arkeologi


di Indonesia
Prof. Dr. Danny Hilman Natawidjaja . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 35

Kimia Struktural Oksida Logam dan Diplomasi Sains


Prof. Dr. Ismunandar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 65

Elektroda Intan Berkonduktivitas Sebagai Material Unggul dalam


Berbagai Sistem Elektrokimia
Prof. Dr. Ivandini Tribidasari Anggraningrum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 79

Ancaman Dampak Pembangunan dan Perubahan Iklim Terhadap Biodiversitas Laut:


Tantangan dan Harapan
Jamaluddin Jompa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 91

Jalan Panjang Memahami Kehidupan Manusia Purba di Indonesia


Prof. Dr. Yahdi Zaim, IPU. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 107
Serangga sebagai Penopang Kehidupan:
Transdisiplin di Era Anthropocene
Oleh
Prof. Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc
Guru Besar Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Disampaikan pada:
Orasi inagurasi anggota baru
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Bogor, 29 September 2021

Belajar dari Serangga:


Evolusi dan Adaptasi Dalam Pusaran Waktu

Evolusi Serangga:
Kenapa Serangga Berhasil Bertahan Hidup?
Sebelum kita membahas mengenai kehidupan serangga pada saat ini sebaiknya kita terlebih dahulu
memahami perjalanan evolusi serangga. Kenapa dan bagaimana serangga dapat bertahan hidup dari
saat pertama kali muncul sampai saat ini? Serangga telah menempati Bumi selama 400–500 juta
tahun yang lalu (Grimaldi, 2009). Hal ini berdasarkan penemuan beberapa fosil serangga, salah
satunya adalah fosil alat mulut serangga tertua yang termasuk ke dalam kelompok heksapoda, yaitu
Collembola purba Rhyniella praecursor yang diduga berasal dari periode awal periode Devonian
(400–390 juta tahun yang lalu) (Dunlop & Garwood, 2017) (Gambar 1). Dalam rentang waktu
tersebut Bumi telah mengalami lima peristiwa yang menyebabkan kepunahan organisme penghuni
Bumi dalam skala yang besar. Peristiwa ini dikenal dengan kepunahan massal (mass extinction) yaitu,
setidaknya setengah dari spesies yang ada mati secara bersamaan atau dalam periode yang singkat.
Kepunahan spesies terbanyak, mencapai 95%, terjadi pada periode Permian-Triassic (sekitar 250 juta
tahun yang lalu) yang merupakan peristiwa kepunahan ketiga. Serangga termasuk ke dalam kelompok
5% organisme yang berhasil melewati periode kepunahan tersebut. Peristiwa kepunahan terakhir
yang disebut juga sebagai K-T extinction merujuk pada akhir periode Cretaceous dan awal periode
Tertiary (65 juta tahun yang lalu). Pada saat itu setidaknya 50% dari spesies tanaman dan hewan,
termasuk hewan-hewan besar seperti dinosaurus, hilang dari muka Bumi. Peristiwa ini merupakan
titik balik dari sejarah Bumi dan digadangkan sebagai awal kemunculan era baru atau ‘Dawn of a New
Age’.  Pada peristiwa terakhir ini pun serangga kembali menjadi organisme yang berhasil lolos dari
ambang kepunahan. 
2

Gambar 1 Kepala Rhyniella preacursor (Hexapoda: Collembola) (Sumber: Hirst & Maulik, 1926 dalam
Dunlop & Garwood, 2017).

Evolusi merupakan kata kunci dari keberhasilan serangga hidup selama ratusan juta tahun. Teori
evolusi menjelaskan bahwa individu yang dapat bertahan hidup adalah individu yang memiliki
karakteristik atau kombinasi dari beberapa karakteristik yang memungkinkannya untuk bertahan
hidup dan menghasilkan keturunan serta dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Saat suatu individu
memiliki karakteristik atau sifat yang membantunya untuk bertahan hidup di suatu lingkungan,
maka karakteristik tersebut akan diwariskan kepada keturunannya. Teori ini sesuai dengan fakta
sejarah yang menunjukkan serangga memiliki karakteristik untuk bertahan hidup dibandingkan
dengan organisme lainnya. Adapun empat karakteristik utama dalam evolusi serangga antara lain:

1. Kutikula
Akuisisi kutikula yang tahan air sehingga dapat melindungi tubuh bagian luar yang memungkinkan
serangga untuk menginvasi daerah kering atau bertahan hidup pada kondisi kering.

2. Sistem Trakea
Perkembangan sistem trakea untuk bernafas. Trakea merupakan sistem yang terdiri dari saluran-
saluran yang bercabang ke berbagai organ dalam tubuh serangga. Berbeda dengan manusia atau
hewan lainnya serangga menggunakan udara sebagai media untuk menyalurkan oksigen ke
seluruh tubuhnya. Hal ini menguntungkan bagi serangga karena udara jauh lebih ringan dan tidak
membutuhkan energi yang banyak untuk produksi, pemeliharaan dan transpor dibandingkan
dengan darah. Selain itu, sistem trakea sangat cocok dengan serangga yang merupakan penerbang
aktif dengan laju konsumsi oksigen tertinggi di Kingdom Animalia (Casey dkk., 1985). 

3. Evolusi sayap
Sayap berperan penting dalam keanekaragaman dan keberhasilan ekologis serangga. Ada beberapa
hipotesis yang menyatakan bahwa pada awalnya cikal bakal sayap serangga berfungsi sebagai
pelindung tungkai, termoregulasi, daya tarik seksual, serta untuk menghindari predator dengan
cara meloncat dan melayang. Sayap pertama kali muncul pada awal periode Carboniferous (285-
300 juta tahun yang lalu) (Misof dkk. 2014). Sayap serangga berasal dari perpanjangan kutikula
sehingga serangga menjadi satu-satunya hewan yang tidak mengorbankan kakinya untuk sepasang
sayap.
3

4. Kemunculan pupa (dalam metamorfosis sempurna), yang memungkinkan terjadinya partisi


sumber daya makanan dan habitat, seperti larva kupu-kupu sebagai herbivora sedangkan kupu-
kupu dewasa mengkonsumsi nektar tanaman. Selain itu, serangga pradewasa (larva) dapat
meningkatkan kapasitasnya dalam mengeksploitasi sumber makanan dan stadia dewasa hanya
untuk persebaran dan bereproduksi. Strategi ini mempercepat laju diversifikasi dan pemencaran
spesies serangga dengan metamorfosis holometabola seperti kumbang (Coleoptera), kupu-kupu
dan ngengat (Lepidoptera), lebah dan tawon (Hymenoptera) serta lalat dan nyamuk (Diptera).

Sejarah Kehidupan dan Keunikan Serangga


Keberhasilan serangga hidup di Bumi hingga hari ini didukung kemampuannya beradaptasi dengan
berbagai perubahan lingkungan dan geologis Bumi. Jumlah yang berlimpah dan tersebar di berbagai
habitat di Bumi, menjadikan serangga sebagai kelompok makhluk hidup yang berperan penting
dalam ekosistem dan sangat memengaruhi keberadaan makhluk hidup lain di muka Bumi. Tanpa
serangga, kehidupan akan collapse dan dampaknya akan sangat besar terhadap keberlanjutan hidup
manusia. Dalam sejarah kehidupan, serangga dan manusia menjadi bagian penting yang tidak
dapat dipisahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik itu menguntungkan ataupun
merugikan. Serangga telah masuk dan menjadi bagian dalam relung kehidupan manusia. Akan tetapi,
fakta yang tidak dapat dipungkiri adalah banyaknya manusia yang menganggap bahwa serangga itu
musuh, serangga itu merugikan dan perlu dibasmi. Padahal kenyataannya, jumlah serangga hama
yang merugikan manusia kurang dari 2% dari total serangga di Bumi, sedangkan sisanya memberi
banyak manfaat.

Di dalam suatu ekosistem, serangga memainkan berbagai peran penting, di antaranya sebagai
dekomposer, penyerbuk, parasitoid, predator, herbifor, sumber makanan hewan yang lebih besar,
bioindikator, dan masih banyak serangga yang belum diketahui peranannya di alam. Salah satu contoh
peran nyata serangga yang mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari yaitu lebah (Hymenoptera).
Lebih dari 80% proses penyerbukan tumbuhan di dunia dibantu oleh lebah. Tanpanya, manusia tidak
akan bisa memanen apapun dari tumbuhan. Lebah juga menghasilkan madu yang telah dikonsumsi
manusia sejak ribuan tahun lalu, dan bagi kelompok-kelompok tertentu diyakini sebagai obat yang
mujarab. Contoh lain yang dekat dengan kehidupan kita (manusia) akan tetapi banyak yang tidak
menyadari manfaat kehadirannya, dan justru banyak yang memandangnya sebagai serangga yang
mengerikan dan merugikan, yaitu serangga pengurai seperti belatung (Diptera: Cyclorrhapha) dan
rayap (Isoptera). Tanpa mereka, proses dekomposisi akan terhambat, dan bayangkan akan seperti apa
kondisi di bumi jika kita bisa melihat kotoran maupun bangkai manusia dan makhluk hidup lain
tetap utuh, puluhan tahun kita akan menjalani kehidupan yang mengerikan. Selain itu, serangga
herbivora yang seringkali dianggap sebagai hama ternyata juga memainkan peran penting dalam
menjaga keseimbangan siklus nutrisi. Serangga yang memakan dedaunan akan mengeluarkan
kotoran yang nantinya juga akan didaur ulang oleh mikroba tanah menjadi nutrisi, kemudian nutrisi
tersebut akan diserap kembali oleh tumbuhan untuk berkembang. Hingga saat ini, masih banyak
serangga yang belum diketahui lebih mendalam, akan tetapi yang pasti, serangga-serangga tersebut
memainkan peran penting dalam menjaga ekosistem bumi.
4

Berbeda dengan manusia, serangga memiliki keunikan tersendiri, baik dari segi ukuran, morfologi,
maupun perilakunya. Dalam hal ukuran, serangga sangat bervariasi, dari mulai ukuran terkecil
hingga ukuran terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah. Adapun serangga ukuran terkecil yang
pernah ditemukan adalah fairyfly, Megaphragma mymaripenne (Hymenoptera: Mymaridae). Ukuran
tubuh fairyfly hanya sekitar 0,16 sampai 0,139 mm (Gambar 2a). Spesies M. mymaripenne memiliki
kesamaan ukuran dengan organisme bersel satu seperti amoeba. Sebagai serangga terkecil, fairyfly
memiliki ukuran sel yang lebih kecil dan lebih sedikit dibandingkan serangga pada umumnya.
Morfologi dan fisiologi tubuh fairyfly juga termodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat menopang
kehidupannya (Nettimi & Sane, 2018). Adapun serangga paling besar yang dilaporkan pernah
hidup di Bumi adalah capung purba dari famili Meganeuridae (Meganisoptera). Panjang tubuhnya
mencapai hampir setengah meter dengan bentangan sayap 75 cm (Gambar 2b). Contoh serangga
unik lainnya yaitu serangga dengan sayap terbesar di dunia, yaitu ngengat atlas atau kupu-kupu gajah
Attacus atlas (Lepidoptera: Saturniidae), yang memiliki bentangan sayap hingga 75 cm (Bhawane
dkk., 2011) (Gambar 3a). Sementara itu, serangga terberat di dunia berasal dari kelompok jangkrik
yang ditemukan di Selandia Baru yang dikenal sebagai tree weta, Hemideina spp. (Orthoptera:
Anostostomatidae). Jangkrik jenis ini memiliki berat 6-7 gram dan dapat mencapai 70,9 gram
(Gambar 3b) (Moller, 1985).

(a) (b)

Gambar 2 (a) Tawon peri (fairyfly) Megaphragma mymaripenne (Hymenoptera: Mymaridae) (Sumber:
https://www.thoughtco.com/smallest-insects-4161295). (b) Fosil Meganeuridae. (Sumber:
https://www.geologyin.com/2018/01/the-largest-insect-ever-existed-was.html).
5

(a) (b)

Gambar 3 (a) Ngengat atlas atau kupu-kupu gajah (Attacus atlas, Lepidoptera: Saturniidae) (Sumber:
koleksi pribadi), (b) Jangkrik raksasa (tree weta) Hemideina spp. (Orthoptera: Anostostomatidae)
(Sumber: https://www.inaturalist.org/photos/13693338).

Secara morfologi, serangga memiliki bentuk yang unik dan beragam, sebagian orang melihatnya
sebagai nilai seni yang mahal, tetapi sebagian lain melihatnya sebagai hal yang mengerikan. Salah
satu yang pernah ramai dibicarakan yaitu kemunculan serangga unik dari jenis ngengat di wilayah
Kebumen, yaitu Creatonotus gangis (Lepidoptera: Erebidae) (Gambar 4a). Ngengat ini berbeda dari
jenis umumnya karena memiliki kaki-kaki panjang dengan rambut halus di ujung abdomennya yang
disebut coremata. Karena bentuknya ini, Creatonotus gangis bahkan banyak diyakini sebagai simbol
iblis. Padahal, fungsi dari coremata itu sendiri adalah untuk mensekresikan feromon hidroksidanaidal
agar dapat menarik lawan jenis (Common, 1990). Contoh lain dari serangga dengan morfologi unik
adalah webspinner (Embioptera), memiliki tungkai depan dengan organ penghasil benang sutra yang
terlihat seperti rambut yang memproduksi benang sutra berukuran 100 nm (Gambar 4b). Tungkai
depan yang besar dan menghasilkan sutra ternyata menyulitkan webspinner dalam melarikan diri
dari predator karena webspinner harus berjalan jinjit agar tungkainya tidak menghasilkan sutra saat
berjalan. Agar tidak terlilit dengan benang sutra yang dihasilkannya webspinner melarikan diri dengan
cara berjalan mundur.

(a) (b)

Gambar 4 (a) Creatonotus gangis (Lepidoptera: Erebidae) (Sumber: www.kumparan.com, dokumentasi oleh
Gandik), (b) Webspinner (Sumber: www.flickr.com, dokumentasi oleh Ian Jacobs).
6

Dari segi perilaku, salah satu contoh serangga yang memiliki perilaku unik adalah serangga air raksasa/
giant water bugs (Hemiptera: Belostomatidae) (Gambar 5a). Serangga ini memiliki perilaku berbeda
dari serangga pada umumnya karena berkaitan erat dengan peran serangga jantan yang merawat
anaknya (Novoselsky dkk., 2018). Serangga jantan akan membawa telur dari serangga betina dan
meletakkan telur-telur tersebut di punggungnya, sehingga pada bagian punggungnya terlihat penuh
lubang-lubang kecil. Dari perilaku ini, banyak manusia beranggapan bahwa serangga ini berbahaya
dan bisa melubangi kulit manusia, padahal nyatanya tidak. Mereka adalah kelompok predator dan
berperan penting sebagai bioindikator. Serangga jantan akan membawa telur-telurnya ke tempat
yang jauh dari musuh, lalu meletakkannya di tempat yang aman sekitar tumbuhan di dekat perairan.
Serangga jantan tidak akan kawin hingga telur-telur tersebut menetas (Ichikawa, 1988). Contoh
lain serangga yang memiliki perilaku unik dan dulunya sering kali mudah ditemui yaitu kunang-
kunang (Coleoptera: Lampyridae) (Gambar 5b). Kunang-kunang adalah contoh klasik serangga
yang memanfaatkan bioluminescence (cahaya) sebagai bentuk komunikasi intraspesies dalam mencari
pasangan. Kunang-kunang jantan memancarkan cahaya dari bagian abdomennya yang digunakan
untuk menarik perhatian betina. Sementara itu, kunang-kunang betina akan merespons cahaya
kunang-kunang jantan dengan organ sensorinya seperti mata majemuk (Cock & Matthysen, 2005).

(a) (b)

Gambar 5 (a) Serangga air raksasa (Hemiptera: Belostomatidae) (Sumber: www.iflscience.com), (b) kunang-
kunang (Coleoptera: Lampyridae) (Sumber: www.firefly.org).

Inspirasi Serangga dalam Perkembangan Sains


dan Teknologi Menuju Masa Depan
Kehidupan manusia telah memasuki era industri 4.0 di mana sains dan teknologi semakin berkembang
pesat. Manusia berhasil mengembangkan inovasi yang membawa peradaban ke era yang lebih maju.
Salah satu sumber inovasi tersebut ternyata bersumber dari serangga. Serangga telah memberikan
inspirasi bagi banyak peneliti untuk melahirkan berbagai teknologi baru. Salah satu contohnya, baru-
baru ini telah dikembangkan sebuah robot kecil (terinspirasi dari kecoa) yang memiliki kecepatan dan
kemampuan yang hampir sama dengan kecoa yang asli. Robot yang memiliki kecepatan sampai dengan
7

20 kali panjang tubuhnya per detik ini, mampu menahan tekanan hingga satu juta kali beratnya yang
asli (Nield, 2021). Adapun contoh lain, robot yang terinspirasi dari semut “The R-One” memiliki
kemampuan berkomunikasi satu sama lain sama seperti koloni semut. Robot tersebut diciptakan
untuk tujuan eksplorasi, pencarian dan penyelamatan, pemetaan dan pengawasan (Alexander, 2018).
Lensa pada kamera digital juga terinspirasi dari sistem mata pada capung, belalang sembah, lebah,
dan serangga lain. Mata pada serangga secara alami dirancang untuk dapat melihat sudut yang sangat
lebar, dengan kedalaman bidang yang tak terbatas. Lensa kamera terdiri dari sejumlah lensa kecil
yang proporsional terinspirasi dari mata serangga yang merupakan kumpulan dari sejumlah mata
yang kecil bernama omatidium, terdiri dari lensa kornea, organ yang peka terhadap cahaya, yang
menciptakan kombinasi rumit sehingga penglihatan serangga menjadi sangat peka dan tajam (Davis,
2013).

Teknologi helikopter juga terinspirasi dari mekanisme terbang pada capung yang sangat kompleks.
Dua sayap capung terletak bersilangan pada tubuh yang menciptakan kemampuan manuver terbang
yang sangat luar biasa. Tidak peduli berapa kecepatan ataupun arah terbangnya, capung dapat segera
berhenti dan mulai terbang kembali ke arah yang berlawanan. Capung diketahui dapat terbang hingga
kecepatan 40 km/jam. Pada kecepatan tersebut, apabila capung berbenturan dengan mangsanya,
mangsanya tersebut akan pingsan atau bahkan mati terbunuh karena dampaknya sedangkan capung
dapat menghindari dampak tabrakan dikarenakan struktur fleksibel yang ada pada tubuhnya (A.O.,
2020).

Serangga sosial seperti semut, lebah, rayap, dan tawon mengajarkan kita (manusia) dalam
mempertahankan dan melindungi aspek kehidupan manusia seperti transportasi, infrastruktur,
jaringan komunikasi, rantai pasokan sumber daya ketika terjadi bencana ataupun kejadian tidak
terduga. Serangga sosial berinteraksi dan bereaksi terhadap perilaku serangga lain yang berada di
sekitarnya, bergotong-royong membangun sarang dan jembatan, begitupun manusia. Sifat kerjasama
atau gotong-royong memberikan sifat antisipasi dalam menghadapi gangguan dan pencegahan
masalah sebelum menjadi masalah yang lebih besar (Middleton, 2016).

Lebah dan rayap seringkali menginspirasi manusia dalam bidang arsitektur bangunan yang saat ini
memiliki tantangan untuk bersifat multifungsi, hemat energi, dan berkelanjutan (Gorb & Gorb,
2020). Bentuk segi enam pada sarang lebah adalah cara terbaik untuk membagi ruang menjadi bagian
yang sama dengan struktur paling minimal juga fleksibilitas yang tinggi. Seorang arsitek bernama
Gianluca Santosuosso menjadikan sarang lebah sebagai inspirasi untuk model suatu perumahan.
Menurutnya, lebah membuat sarang dengan ringan namun kokoh dengan sumber daya minimum
dan dapat memanfaatkan ruang yang tersedia dalam jumlah maksimum (Gambar 6) (Schneyder,
2021). Salah satu contoh bangunan yang terinspirasi dari sarang lebah yaitu Vessel, merupakan
bangunan 16 lantai yang terkenal di Kota New York, Amerika Serikat (Gambar 7).
8

Gambar 6 Rancangan arsitektur milik Gianluca Santosuosso. (Sumber: https://www.ubm-development.


com/magazin/en/a-beehive-as-a-model-for-living/).

Gambar 7 Bangunan Vessel di Kota New York, Amerika Serikat yang terinspirasi dari sarang lebah (Sumber:
Wikipedia)
9

Adapun contoh lain bangunan yang terinspirasi dari serangga adalah bangunan bernama Eastgate
Centre di Zimbabwe yang terinspirasi dari gundukan sarang yang dibangun oleh rayap. Bangunan ini
memiliki kapasitas termal untuk mengatur suhu dalam bangunan sepanjang hari tanpa memerlukan
energi yang lebih banyak. Ketika hari panas, struktur luar gedung dapat dimanfaatkan untuk
menyerap panas agar suhu dalam bangunan tetap dingin, dan apabila malam hari yang dingin,
“kipas” bervolume tinggi di dalam gedung dapat mengambil panas dari dinding luar gedung dan
menyebarkannya ke dalam gedung agar bangunan tetap hangat (Gambar 8) (Turner, 2008).

Gambar 8 Bangunan Eastgate Center, Harare, Zimbabwe (Sumber: Williams, 2020).

Serangga Sosial: Lahirnya Era Baru


Pada tahun 2011 sebuah tim internasional yang terdiri lebih dari 100 peneliti dari berbagai bidang
ilmu telah menerbitkan roadmap modern pertama dari evolusi serangga. Tim yang diberi nama
1KITE (1K Insect Transcriptome Evolution) (www.1kite.org) ini dibentuk untuk mengkonstruksi
pohon filogenetik serangga dengan mempelajari transkriptom dari 1000 spesies serangga untuk
mengurai dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai asal-usul serangga. Berdasarkan hasil
analisis molekuler diketahui bahwa nenek moyang serangga pertama kali mengkolonisasi daratan
pada awal periode Ordovician (~480 juta tahun yang lalu) dan pada waktu yang bersamaan dengan
kemunculan tanaman. Periode ini diduga awal dari interaksi tanaman dan serangga. Serangga bersayap
muncul pada awal periode Devonian (~406 juta tahun yang lalu), hampir 200 juta tahun sebelum
munculnya burung. Serangga sebagai hewan pertama yang memiliki sayap telah membuka pintu
dunia ketiga yaitu angkasa dan ini merupakan titik balik dari dominasi serangga di Bumi. Sayap
memungkinkan serangga untuk mengeksplorasi, beradaptasi, mengkolonisasi, dan mengeksploitasi
habitat-habitat yang tidak terjamah hewan lain. Kemampuan terbang memicu perubahan fisiologis
dan morfologis serangga (misalnya, sayap dan metamorfosis) yang berujung dengan meningkatnya
laju spesiasi (proses evolusi munculnya spesies baru). Diversifikasi spesies serangga besar-besaran pada
awal periode Cretaceous pun tidak dapat dielakkan (Gambar 9) (Misof dkk., 2014). Pada periode
yang hampir sama juga terjadi proses radiasi adaptif pada tanaman angiospermae, yang menjadi salah
satu faktor yang mendorong terjadinya diversifikasi massal pada serangga.
10

Pada akhir periode Permian (sekitar 250 juta tahun yang lalu) serangga eusosial pertama muncul yaitu
rayap (Isoptera) (Misof dkk., 2014). Serangga eusosial lain adalah spesies dari ordo Hymenoptera
seperti semua spesies semut, spesies lebah dan tabuhan tertentu (Tabel 1; Plowes, 2010). Diversifikasi
Hymenoptera dimulai sekitar periode awal periode Cretaceous (Peters dkk. 2017). Serangga eusosial
dikenal juga sebagai superorganisme, dan mereka ini berbeda dengan kumpulan individu serangga.
Banyak serangga yang menunjukkan perilaku ‘sosial’ seperti, makan bersama, merawat generasi
mudanya, dan hidup di sarang yang sama. Secara umum, serangga sosial dapat didefinisikan sebagai
interaksi antara satu individu serangga dengan individu lainnya dari spesies yang sama. Akan tetapi,
para ahli serangga (entomologi) merasa sifat sosial seperti itu belum pantas disebut eusosial (truly social).
Ada empat karakteristik eusosial yang harus dipenuhi serangga yaitu, pertama, hidup di sarang yang
sama; kedua, serangga imago dibagi menjadi kasta reproduktif dan non-reproduktif; ketiga, individu
dari spesies yang sama (kasta non-reproduktif ) bekerja sama untuk merawat generasi mudanya, dan
terakhir, lebih dari dua generasi hidup di sarang yang sama. Spesies yang tidak memiliki salah satu
karakter tersebut dikelompokkan sebagai serangga pra-sosial (presocial) yang dibagi menjadi sub-
sosial dan para-sosial (Tabel 2).
11

Gambar 9 “The insect tree of life” pohon filogeni yang menunjukkan hubungan antara kelompok-kelompok
serangga (Misof dkk. 2014).
12

Tabel 1 Serangga yang menunjukkan perilaku eusosial (Sumber: Plowes, 2010)


Filum Kelas Ordo Keterangan
Arthropoda Insecta Isoptera (rayap) Semua spesies merupakan serangga
eusosial yang sangat maju.
Hemiptera (Kepik, wereng) ~ 50 sp eusosial
Thysanoptera (trips) ~ 6 sp eusosial
Coleoptera (kumbang) 1 spesies (kumbang Ambrosia)
Hymenoptera Semut Semua spesies ~14.000 spesies
Lebah Hanya 300-400 dari 4.000 spesies
termasuk eusosial
Tabuhan Sebagian besar bukan serangga
sosial, ~900 spesies termasuk
eusosial

Beberapa dekade terakhir, frasa ‘insects are smarter than we thought’ mulai terdengar lebih kencang
terutama karena hasil dari penelitian-penelitian terkait perilaku serangga yang menguji kognitif
dasar yang mendorong dan mendasari pembelajaran sosial pada serangga. Ketika serangga mulai
hidup berkoloni, maka muncullah pembagian kerja, sehingga pekerjaan pun dapat diselesaikan
secara efisien, karena ada individu-individu yang khusus mengerjakan tugas tersebut. Pada serangga
eusosial, individu di dalam koloni dibagi menjadi beberapa kasta yaitu reproduksi (ratu, imago betina
yang fertil), prajurit dan pekerja. Kasta reproduksi terdiri dari raja dan ratu. Sesuai dengan gelarnya
ratu suatu koloni, tidak hanya berperan dalam menghasilkan keturunan tetapi juga sebagai manajer
yang mengatur setiap anggota koloni melalui feromon (sinyal kimia) yang dihasilkannya (Keller &
Nonacs, 1993). Kasta prajurit bertugas untuk mempertahankan koloni. Kasta prajurit berukuran
lebih besar dari rayap lainnya dan steril. Kasta terakhir adalah kasta pekerja yang bertugas untuk
memberi makan, membersihkan, membangun, dan merawat telur, larva, dan ratu.

Tabel 2 Klasifikasi serangga pra-sosial dan eusosial berdasarkan penjelasan Hölldobler & Wilson (2008)
Hidup di sarang Kerjasama dalam Tumpang tindih
Kasta reproduktif
yang sama merawat generasi muda generasi
Soliter Tidak Tidak Tidak Tidak
Subsosial Ya Tidak Tidak Tidak
Quasisosial Ya Ya Tidak Tidak
Semisosial Ya Ya Ya Tidak
Eusosial Ya Ya Ya Ya

Banyak penelitian yang dilakukan untuk menyelidiki faktor-faktor ekologis yang berasosiasi dengan
kemunculan dan evolusi eusosialitas ini. Nowak dkk. (2010) mengusulkan lima tahapan yaitu:

1. Pembentukan kelompok-kelompok serangga.


2. Kemunculan kombinasi sifat-sifat pra-adaptif yang menyebabkan kelompok-kelompok tersebut
bersatu, seperti sarang yang dapat dipertahankan.
13

3. Munculnya mutasi yang menentukan persistensi kelompok tersebut, seperti menekan atau
menghilangkan perilaku pemencaran level individu. Hal ini terbukti dengan sarang yang tahan
lama menjadi elemen kunci dalam menjaga prevalensi.
4. Sifat-sifat baru bermunculan disebabkan adanya interaksi antara individu dalam kelompok yang
dibentuk seleksi alam yang dihasilkan dari tekanan lingkungan.
5. Seleksi bertingkat mendorong perubahan siklus hidup koloni dan struktur sosial.

Apakah keuntungan dari kehidupan bersosial? Pertanyaan mendasar ini menjadi pemikiran bagi
banyak peneliti sosiobiologi, yang mempertanyakan mengapa ada individu-individu (dalam koloni)
yang mau berkorban untuk tidak bereproduksi dan justru bekerjasama dengan saudara-saudaranya
untuk menghasilkan keturunan bagi induknya. Makalah ini tidak akan menelusuri topik ke arah itu,
tetapi justru akan mengulas sejauh mana kehidupan sosial ini menguntungkan bagi spesies/kelompok
itu sendiri. Salah satu alasan yang telah dikemukakan oleh banyak peneliti adalah bahwa kehidupan
berkoloni menjamin terjaganya homeostasis sarang, sehingga membantu koloni tersebut bisa bertahan
dalam berbagai cuaca. Integrasi dan homeostasis dari koloni serangga eusosial dalam mengorganisasi
pencarian makanan, pembangunan dan pemeliharaan sarang membutuhkan kerjasama dan koordinasi
yang dapat dibandingkan dengan organisme multiseluler seperti manusia atau mamalia lainnya
(Hölldobler & Wilson, 2008). Spesies serangga yang telah mencapai level kompleksitas sosial setinggi
ini terbukti berhasil mendominasi sebagian besar populasi serangga di dunia yaitu sekitar 50% dari
biomassa serangga di dunia (Wilson, 1971). Serangga eusosial bekerja secara terorganisasi dengan
mudah mengalahkan serangga soliter dalam memperebutkan sumber daya. Akan tetapi, kesuksesan
ini hanya berlaku pada 2% dari serangga yang total serangga yang telah diidentifikasi termasuk dalam
kelompok serangga eusosial Hal ini dikarenakan serangga membutuhkan altruisme non-descendant,
yaitu perilaku yang terjadi saat individu mengorbankan kemampuan reproduksinya (menjadi steril)
untuk merawat saudara-saudaranya.

Anthropocene: Kini dan Esok

Anthropocene: Apakah itu?


Sejarah Bumi dibagi menjadi serangkaian hierarki periode yang dikenal sebagai skala waktu geologis.
Pembagian ini dimulai dari eons sebagai unit terbesar yang kemudian dibagi menjadi eras, yang
selanjutnya dibagi menjadi periods, epochs, dan ages. Unit-unit ini diklasifikasikan berdasarkan lapisan
atau strata batuan dan fosil yang ditemukan di dalamnya. Dari pemeriksaan fosil-fosil ini, para
ilmuwan dapat mempelajari peristiwa yang terjadi di masa lalu dan hubungannya dengan peristiwa
yang terjadi pada saat ini. Sedangkan untuk serangga, informasi mengenai sejarah kehidupan serangga
di masa lalu dapat membantu kita dalam memahami evolusi yang dialami serangga dan faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya evolusi.
14

Menurut International Union of Geological Sciences (IUGS), organisasi profesional yang bertanggung
jawab untuk menentukan skala waktu bumi, saat ini kita secara resmi berada di zaman Holocene, yang
dimulai 11.700 tahun yang lalu setelah zaman es terakhir. Akan tetapi, banyak pula yang berpendapat
bahwa dampak dari aktivitas manusia telah menyebabkan kepunahan massal spesies tumbuhan
dan hewan, mencemari lautan dan mengubah atmosfer, perubahan iklim dan peningkatan tingkat
kepunahan, menempatkan kita di zaman baru yaitu Anthropocene. Istilah “Anthropocene” merupakan
kombinasi anthropo- dari kata anthropos yang berasal dari bahasa Yunani kuno yang berarti “manusia”,
dan -cene dari kata kainos yang berarti “baru atau terkini”, diciptakan dan dipopulerkan oleh ahli
biologi Eugene Stormer dan ahli kimia Paul Crutzen pada tahun 2000.

Gambar 10 Skala waktu perkembangan bumi. (Sumber: www.anthroecology.org).

Anthropocene ditandai oleh perubahan iklim dan memanasnya suhu Bumi. IPCC (Intergovernmental
Panel on Climate Change) melaporkan bahwa kenaikan suhu permukaan bumi berkisar antara 0,8°C
hingga 1,3°C tiap tahunnya dan puncaknya berada di abad ke-20. Dalam 10.000 tahun terakhir,
populasi manusia telah tumbuh dari 1 juta menjadi 7,8 miliar yang menyebabkan terjadinya
peningkatan kebutuhan ruang untuk tinggal dan pertanian. Sebagian besar lahan subur di Bumi
sudah menjadi pertanian (Raven & Wagner, 2021), jutaan hektar hutan tropis dibuka setiap tahun
(Curtis dkk., 2018; Stokstad, 2018), tingkat CO2 atmosfer berada pada konsentrasi tertinggi di lebih
dari 3 juta tahun (WMO, 2018), serta iklim sedang tidak menentu dan terus berubah dari kutub ke
kutub, memicu kekeringan, kebakaran, dan banjir yang belum pernah terjadi sebelumnya di seluruh
benua. Sebagian besar ahli biologi setuju bahwa dunia telah memasuki peristiwa kepunahan massal
keenam, yang pertama sejak kepunahan massal terakhir pada akhir periode Cretaceous (66 juta tahun
yang lalu), ketika lebih dari 80% dari semua spesies, termasuk dinosaurus non-avian, musnah.
15

Anthropocene dan Global Insect Decline:


Benarkah serangga sedang menuju kepunahan?
Penurunan populasi dan jumlah spesies serangga secara global telah dilaporkan secara luas di berbagai
wilayah di dunia. Catatan penting untuk topik ini adalah sebagian besar laporan mengenai kehilangan
spesies serangga dilaporkan dari wilayah Eropa Barat dan Timur. Eropa memiliki informasi mengenai
berbagai aspek serangga yang lebih komprehensif dibandingkan dengan wilayah lain terutama daerah
tropis. Seperti hewan dan tanaman pada umumnya, keberadaan serangga terancam karena adanya
kehilangan dan degradasi habitat, perubahan iklim, desertifikasi, eksploitasi sumber daya, degradasi
lingkungan, spesies invasif, dan pestisida. Selain itu, ukuran serangga yang kecil membuat polusi
cahaya, radiasi gelombang elektromagnetik dari telepon seluler (Balmori, 2021), dan anti-insect genetic
engineering memperbesar dampak negatif terhadap perilaku, keberhasilan reproduksi, perkembangan
dan navigasi (Balmori 2009; Lázaro dkk., 2016).

Penurunan jumlah spesies dan populasi serangga ini sebagian besar dimulai pada awal tahun 1950-an
yaitu, awal era Anthropocene yang terus berlanjut dan berakselerasi menimbulkan kekhawatiran karena
serangga adalah pondasi dari interaksi tropik dan penyedia layanan ekosistem. Salah satu penyedia
layanan ekosistem adalah penyerbuk, berperan penting dalam proses penyerbukan tanaman untuk
meningkatkan produktivitas pertanian serta mempertahankan komunitas tumbuhan untuk tetap ada
(Laurence, 2015). Proses penyerbukan yang terjadi bergantung pada populasi penyerbuk dan juga
perubahan lingkungan yang banyak terjadi saat ini seperti hilangnya habitat dan perubahan iklim.
Sebanyak 75% tanaman yang dikonsumsi oleh manusia memerlukan serangga sebagai penyerbuk,
terutama tanaman buah-buahan berpotensi sangat rentan terhadap penurunan penyerbuk terutama
lebah. Penurunan jumlah kelimpahan dan keanekaragaman penyerbuk secara langsung dapat
memengaruhi pembentukan buah dan biji pada 80% tumbuhan liar (Gambar 11, Potts dkk., 2010).

Penggunaan pestisida merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan penurunan populasi
serangga setelah intensifikasi pertanian (Gambar 12). Intensifikasi pertanian juga secara langsung
mendorong peningkatan penggunaan pestisida untuk mengendalikan organisme pengganggu
tanaman. Residu dari pestisida secara langsung dapat mengurangi keanekaragaman dan kelimpahan
serangga, juga dapat menghambat proses penguraian serasah dan bahan organik, yang juga berarti
dapat merusak jejaring makanan sejak tingkatan awal. Efek domino dari penggunaan pestisida terus
berlanjut dengan adanya perpindahan residu pestisida ke serbuk sari, nektar dan produk perbanyakan
alami lainnya, sehingga dapat meracuni serangga penyerbuk dan pemakan nektar (Sanchez-Bayo &
Wyckhuys, 2019).
16

Gambar 11 Perubahan kekayaan spesies beberapa serangga penyerbuk sejak tahun 1980 (Potts dkk., 2010)

Gambar 12 Faktor-faktor utama penyebab penurunan populasi serangga (Sanchez-Bayo & Wyckhuys, 2019)
17

Penyerbuk seperti lebah merupakan serangga yang sering dijadikan model untuk mengamati efek
aktivitas manusia terhadap serangga. Selain karena perannya sebagai penyerbuk, juga karena sebagai
serangga eusosial lebah memiliki jumlah individu yang banyak sehingga fluktuasi populasi lebah
akan lebih mencolok dibandingkan dengan serangga soliter. Pernahkah terbersit dalam pikiran
Anda bahwa saat kita misalnya, menonton film dokumenter mengenai perilaku eusosial lebah
dengan menggunakan koneksi internet di telepon genggam, kita secara tidak langsung mengganggu
kehidupan lebah-lebah yang ada di sekitar kita. Ini adalah salah satu contoh efek negatif dari teknologi
yang memudahkan hidup manusia tapi ternyata malah mempersulit hidup serangga. Lebah ternyata
sangat sensitif dengan medan magnet, karena dapat memengaruhi orientasi dan navigasinya. Lopatina
dkk. (2019) melaporkan bahwa individu lebah madu yang terpapar efek radiasi elektromagnetik
(effects of electromagnetic radiation, EMR) dari router Wi-Fi selama 24 jam menunjukkan adanya
efek inhibisi yang signifikan terhadap rangsangan makanan dan memori jangka pendek. Dari
hasil penelitian-penelitian seperti ini kita dapat mempelajari bahwa teknologi berkembang untuk
memenuhi kebutuhan dan hasrat manusia, yang terkadang mengorbankan kebutuhan esensial yang
telah disediakan oleh alam.

Anthropocene, alih fungsi lahan, dan perubahan iklim:


Dampaknya terhadap serangga dan pertanian
Perubahan kondisi Bumi akibat aktivitas manusia semakin jelas terlihat, baik itu di daratan, perairan,
lautan, maupun di atmosfer. Seperti yang telah dijelaskan di atas salah satu stresor penurunan populasi
dan hilangnya spesies serangga dikarenakan oleh penebangan hutan yang berujung dengan alih fungsi
lahan. Sejak jutaan tahun lalu, hutan telah menjadi rumah bagi jutaan spesies yang terkadang juga
unik dan langka. Akan tetapi, seiring dengan pertumbuhan populasi dan kebutuhan manusia, banyak
hutan menghilang. Majunya peradaban semakin membawa manusia pada tingkat kebutuhan hidup
yang semakin tidak terkontrol. Pohon ditebang, digantikan kelapa sawit, lahan hutan menghilang,
digantikan lahan industri, dan berbagai aktivitas manusia yang perlahan telah merugikan makhluk
hidup lain yang pada akhirnya juga berdampak negatif terhadap kehidupan manusia.

Adanya alih fungsi lahan hutan untuk pembangunan kawasan pertanian, industri, hingga kepentingan
infrastruktur, membawa dampak negatif pada kondisi iklim di Bumi. Nyatanya, perubahan iklim
telah menampakkan diri selama beberapa dekade terakhir. Penampakan tersebut berupa kenaikan
suhu global dan permukaan laut, anomali cuaca yang menyebabkan bencana alam di berbagai wilayah,
menurunnya jumlah dan keanekaragaman spesies, serta tingginya tingkat invasi spesies tertentu
merupakan beberapa bukti nyata dari dampak perubahan iklim dan alih fungsi lahan. Bukti nyata
seperti ini dan didukung dengan bukti-bukti ilmiah belumlah cukup untuk meyakinkan sebagian orang
bahwa Bumi, tempat tinggal kita ini, sedang menuju ‘point of no return’. Serangga merupakan salah
satu makhluk hidup yang sensitif terhadap perubahan lingkungan sehingga kemungkinan serangga
mengalami kepunahan secara cepat akibat gangguan antropogenik (anthropogenic disturbances, seperti
alih fungsi lahan, fragmentasi habitat, dsb) sangatlah tinggi.
18

Di alam, serangga menjalani hidupnya tanpa menyadari bahwa mereka juga menyediakan layanan
ekosistem yang menjadi sandaran hidup manusia. Stresor yang menyebabkan hilangnya spesies
serangga dari suatu ekosistem akan menyebabkan perubahan struktur komunitas serta perubahan
keanekaragaman fungsional yang berdampak terhadap layanan yang disediakannya (Gambar 13)
Oleh karena itu, penurunan jumlah serangga secara drastis berpotensi memiliki konsekuensi ekologis
dan ekonomi secara global. Sejak era industrialisasi, penurunan jumlah serangga terjadi sekitar 5%
sampai 10%, yaitu dari 250.000 sampai 500.000 spesies, berdasarkan perkiraan kepunahan 7%
untuk siput darat (Régnier dkk., 2015). Setidaknya satu juta spesies menghadapi kepunahan dalam
beberapa dekade mendatang, setengahnya adalah serangga (IPBES, 2019).

Gambar 13 Bagan alur layanan ekosistem. Pemicu (berwarna merah) dan konsekuensi (berwarna biru) dari
kepunahan serangga. Pemicu seringkali bekerja secara sinergis atau melalui efek tidak langsung
(misalnya, perubahan iklim mendukung banyak spesies invasif dan hilangnya layanan ekosistem
yang penting bagi manusia (Cardoso dkk., 2020)

Penurunan jumlah populasi dan spesies serangga secara drastis juga dilaporkan dalam hasil kerja
sama penelitian antara Indonesia dan Jerman di bawah payung penelitian Collaborative Research
Centre 990 - Ecological and Socio-economic Functions of Tropical Lowland Rainforest Transformation
Systems (CRC990-EFForTS). Tiga universitas di Indonesia (IPB, Universitas Jambi, dan Universitas
Tadulako) dan University of Goettingen, Jerman melakukan penelitian multidisiplin, jangka panjang
dan komprehensif yang sudah dimulai sejak tahun 2012 sampai saat ini di dua lanskap hutan hujan
19

tropis dataran rendah di Jambi, Sumatera (Taman Nasional Bukit Duabelas dan Hutan Harapan).
Pada setiap lanskap terdapat empat tipe penggunaan lahan, yaitu hutan alami, hutan karet, perkebunan
karet, dan perkebunan kelapa sawit yang diamati. Sejauh ini hasil penelitian menunjukkan bahwa,
perubahan tata guna lahan hutan menjadi area perkebunan membawa pengaruh signifikan terhadap
aspek sosial, ekonomi, dan ekologi, salah satunya memengaruhi keberadaan hewan invertebrata
seperti serangga (arthropoda) di kanopi (Drescher dkk., 2016).

Dari hasil penelitian yang dilakukan sepanjang tahun 2013-2014 pada musim kemarau dan musim
hujan, ditemukan sebanyak 726.669 individu artropoda kanopi yang didominasi oleh rayap (Isoptera
27,79%; 201.961 individu), tabuhan dan semut (Hymenoptera 22,74%; 165.262 individu), diikuti
oleh ekor pegas (Collembola 10,08%; 73.315 individu), lalat (Diptera 9,46%; 68.753 individu) dan
trips (Thysanoptera 6%; 43.672 individu) (Gambar 14). Analisis lebih lanjut dari hasil penelitian ini
dilakukan terhadap semut (Hymenoptera: Formicidae), parasitoid (Hymenoptera-wasps), kumbang
(Coleoptera), dan kupu-kupu (Lepidoptera) di kanopi yang menunjukkan bahwa konversi lahan
menyebabkan penurunan jumlah spesies (kekayaan spesies) dan jumlah individu (kelimpahan) yang
signifikan (EFForTS Newsletter, 2018, 2020). Secara umum, kekayaan spesies dari empat kelompok
serangga tersebut lebih tinggi di kawasan hutan alami dibandingkan tipe penggunaan lahan lainnya,
kemudian diikuti oleh hutan karet, sedangkan perkebunan karet dan kelapa sawit hanya memiliki
jumlah spesies yang sangat rendah (Gambar 15a, 15c, 15e, 15g). Sementara pada komposisi komunitas,
hutan alami dan hutan karet menunjukkan kemiripan spesies lebih tinggi dibandingkan karet dan
kelapa sawit yang berbeda secara signifikan (Gambar 15b, 15d, 15f, 15h).

Gambar 14 Jumlah individu artropoda canopy yang diperoleh selama periode sampling 2013–2014 pada
musim kemarau dan musim hujan (data penelitian CRC990-EFForTS)
20

Gambar 15 Rata-rata kekayaan spesies (Nsp) (a) semut, (c) Hymenoptera parasitoid, (e) kumbang (Coleoptera),
dan (g) kupu-kupu (Lepidoptera) serta indeks keanekaragaman Simpson 1/D dengan uji
Tukey. Huruf yang berbeda di atas grafik batang menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 5%.
Komposisi komunitas (b) semut, (d) Hymenoptera parasitoid, (f ) kumbang (Coleoptera), dan
(h) kupu-kupu (Lepidoptera) pada empat tipe penggunaan lahan. Nilai p = <0,05 menunjukkan
komposisi yang berbeda nyata antara sistem penggunaan lahan. (F = hutan alami, J = hutan karet,
R = perkebunan karet, O = perkebunan kelapa sawit) (EFForTS Newsletter, 2018, 2020)

Mikrohabitat di lantai hutan (forest floor) dianggap sebagai lapisan dua dimensi yang terdiri dari tanah
dan serasah dedaunan sedangkan, pada sebagian besar hutan tropis, kanopi dianggap sebagai struktur
tiga dimensi yang terdiri dari jumlah serasah yang berlimpah, bahan organik dan tanah arboreal
(crown humus/arboreal soil) (Longino & Nadkarni, 1990). Tanah arboreal merupakan tumpukan
serasah yang tertahan di dahan-dahan pohon dan tanaman epifit. Struktur habitat yang kontras
ini memungkinkan munculnya spesies yang berbeda di area yang sama. Oleh karena itu, sangatlah
menarik untuk membandingkan kelimpahan serangga di lantai hutan dan kanopi. Pada lantai hutan,
jumlah serangga yang diperoleh bergantung pada wilayah sebaran dan habitat utama spesies serangga
tersebut. Misalnya, pada serangga parasitoid, jumlah individu yang ditemukan di kanopi lebih tinggi
daripada di lantai hutan, akan tetapi pada kupu-kupu, jumlah yang ditemukan lebih tinggi di lantai
hutan dibandingkan kanopi (Gambar 16a, 16b).
21

Gambar 16 Proporsi kelimpahan serangga di area bawah kanopi (lantai hutan) dan kanopi. (a) Hymenoptera
parasitoid dan (b) kupu-kupu (Lepidoptera) di empat tipe penggunaan lahan, di Jambi, Sumatera.

Dari hasil penelitian CRC990-EFForTS, keanekaragaman spesies paling tinggi selalu ditemukan di
hutan alami, yang diketahui memiliki vegetasi paling beragam dibandingkan sistem penggunaan
lahan lainnya. Sebaliknya, pada sistem monokultur kelapa sawit dan karet terjadi penurunan
keanekaragaman secara drastis. Nazaretta dkk. (2020) melaporkan terdapat 41 morfospesies semut
yang ditemukan di hutan dan tidak ditemukan di sistem penggunaan lahan lainnya. Selain itu, 6 dari
total spesies yang ditemukan merupakan spesies invasif yaitu, Anoplolepis gracilipes, Cardiocondyla
wroughtonii, Monomorium floricola, Paratrechina longicornis, Tapinoma melanocephalum, dan
Technomyrmex albipes. Pada perkebunan kelapa sawit, 41% spesies semut dan 26% spesies yang
ditemukan perkebunan karet merupakan spesies semut invasif. Spesies invasif adalah spesies yang
diintroduksi ke suatu wilayah secara sengaja atau tidak sengaja, yang kemudian berkembang biak
dengan cepat dan biasanya berujung dengan adanya perubahan negatif pada lingkungan. Selain itu,
umumnya serangga invasif dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar.

Gambar 17 Kelimpahan per meter persegi enam spesies semut invasif (A. gracilipes, C. wroughtonii, M.
floricola, P. longicornis, T. melanocephalum, dan T. albipes) pada empat tipe penggunaan lahan di
Jambi, Sumatra (F= hutan alami, J= hutan karet, R= karet, O= kelapa sawit) (Sumber: Nazaretta
dkk. 2020)
22

Berbeda dengan kelompok serangga di atas, pada kelompok penyerbuk (Diptera, Hymenoptera, dan
Lepidoptera), jumlah individu dan spesies yang diperoleh lebih tinggi di area perkebunan karet dan
kelapa sawit dibandingkan area hutan alami dan hutan karet (Jihadi dkk., 2019). Ini didukung oleh
keberadaan tumbuhan berbunga yang menjadi sumber makanan bagi serangga penyerbuk. Tumbuhan
berbunga, bisa tumbuh dan berkembang dengan baik di lahan karet dan kelapa sawit karena kondisi
lahan di kedua lokasi tersebut lebih terbuka dibandingkan di hutan alami dan hutan karet. Lahan
dengan kanopi terbuka akan memudahkan sinar matahari masuk dan mencapai area permukaan
tanah. Semakin mudah cahaya masuk ke lahan tersebut, maka dapat mendukung tumbuhan berbunga
untuk tumbuh dan berkembang (Benedict, 2005). Oleh karena itu, keberadaan tumbuhan berbunga
sangat memengaruhi keberadaan serangga penyerbuk (Gambar 18).

Gambar 18 Scatter plot antara pollinator dan tanaman berbunga. (A) Kekayaan spesies, (B) kelimpahan
(Sumber Jihadi dkk., 2019)
23

Selain menyebabkan penurunan keanekaragaman dan kelimpahan serangga, alih fungsi lahan dari
kawasan hutan menjadi area perkebunan karet dan kelapa sawit juga telah meningkatkan frekuensi
dan intensitas banjir di beberapa wilayah di Jambi (Merten dkk., 2020). Sistem pertanaman
monokultur pada area perkebunan menyebabkan penurunan laju evapotranspirasi dan laju infiltrasi
tanah sebagai akibat dari degradasi tanah dan erosi (Guillaume dkk., 2015, 2016; Tarigan dkk.,
2018). Peningkatan debit aliran sungai dalam kurun waktu terakhir akibat adanya alih fungsi lahan
di hulu menjadi perkebunan karet dan kelapa sawit (Adnan & Atkinson, 2011). Konversi lahan
hutan juga menyebabkan adanya perubahan struktur vegetasi dan memengaruhi iklim mikro (Luskin
& Potts, 2011; Meijide dkk., 2018). Struktur vegetasi yang kompleks memengaruhi kondisi iklim
mikro (Ehbrecht dkk., 2017). Perubahan iklim mikro akan menyebabkan siklus organisme tanah
terganggu sehingga juga dapat mengganggu kondisi di dalamnya (Zellweger dkk., 2020). Hal ini
membuktikan bahwa perubahan tata guna lahan menjadi kawasan monokultur akan mengganggu
faktor biotik dan abiotik yang ada dalam ekosistem tersebut.

Selain alih fungsi lahan, perubahan iklim juga menjadi permasalahan global selama beberapa
dekade terakhir. Peningkatan suhu global, munculnya cuaca ekstrem, berubahnya pola musim,
dan meningkatnya kadar CO2 di atmosfer menjadi salah satu akibat dari perubahan iklim global.
Serangga adalah makhluk poikiloterm (berdarah dingin) yang mana fisiologis dan kebugarannya
dipengaruhi oleh iklim mikro yang mereka rasakan. Peningkatan suhu permukaan Bumi berakibat
pada meningkatnya tanda-tanda vital pada serangga yang mampu menyebabkan peningkatan populasi
serangga, sebagai contoh nyamuk Aedes aegypti mengalami peningkatan produksi telur akibat semakin
tingginya suhu (Chaves dkk., 2014). Tak hanya itu, perubahan iklim juga mengakibatkan beberapa
distribusi serangga berubah, seperti kupu-kupu Melanargia galathea yang mengalami perubahan
peningkatan populasi akibat berubahnya masa berbunga dari sumber pakannya (Hindle dkk.,
2015). Peningkatan suhu global tentu berimbas pada ekosistem pertanian, kekeringan menyebabkan
munculnya perubahan fisiologi pada tanaman sehingga menyebabkan peningkatan populasi serangga
herbivora yang berpotensi menjadi hama dan ketidakmampuan serangga musuh alami dalam
mengurangi populasi serangga perusak tanaman. Secara jangka panjang, terjadinya pemanasan
suhu permukaan dapat mengancam populasi dari serangga, hal ini telah terjadi pada kupu-kupu
Euphydryas editha yang dinyatakan telah punah di Amerika bagian selatan yang relatif memiliki suhu
lebih hangat dan keberadaannya tinggal sedikit di bagian Amerika bagian utara pada latitude yang
lebih tinggi (Boggs, 2016). 

Perubahan yang terjadi pada serangga tidak terlepas dari respons tanaman terhadap perubahan iklim,
sehingga fenomena perubahan iklim dapat memengaruhi interaksi serangga dan tanaman serta
berbagai jaring-jaring makanan yang ada di ekosistem. Pada studi yang dilakukan oleh DeLucia dkk
(2012) menyatakan bahwa peningkatan CO2 akibat pemanasan global menyebabkan meningkatnya
kandungan karbohidrat pada daun dan disertai juga penurunan kandungan N karena peningkatan
suhu. Hal tersebut membuat serangga herbivora perlu untuk memakan lebih banyak daun tanaman
inangnya karena herbivora tersebut memerlukan tambahan nutrisi. Pertambahan suhu juga
menyebabkan tanaman memilih untuk sedikit menghambat hormon jasmonic acid (JA), sehingga
tanaman tersebut menjadi lebih rentan terkena serangan serangga herbivora. Hal ini juga menyebabkan
24

beberapa jenis serangga herbivora menambah menu makanannya supaya kebutuhan nutrisinya dapat
terpenuhi (Braschler & Hill, 2007). Penambahan menu ini tentunya akan mengubah rantai makanan,
pemencaran, kompetisi dan proses lainnya yang terjadi di ekosistem tersebut. Perubahan perilaku
makan herbivora akan berpengaruh terhadap keberhasilan musuh alaminya untuk memangsa atau
memarasit serangga herbivora tersebut.

Dalam studi yang dilakukan oleh Thomson dkk. (2009) diterangkan bahwa kebugaran dan fekunditas
musuh alami ternyata menurun setelah adanya perubahan iklim, hal ini karena herbivora relatif
berukuran kecil dan memiliki kualitas nutrisi yang tidak sebaik pada keadaan sebelumnya. Semakin
kecil ukuran mangsa menyebabkan peningkatan kompetisi antara musuh alami. Kompetisi antara
musuh alami secara tidak langsung merugikan manusia karena persentase pengendalian dengan
musuh alami. Selain itu, perubahan iklim juga dapat mengubah waktu muncul bunga dan lama
berbunga suatu tanaman, sehingga hal ini menyebabkan serangga penyerbuk perlu menyesuaikan
waktu terbang mereka agar tetap dapat mendapatkan nektar dan melakukan penyerbukan (Bartomeus
dkk., 2011).

Hutan adalah rumah bagi beragam makhluk hidup yang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Jika
hutan adalah rumah, maka konversi hutan menjadi monokultur seperti rumah yang digusur untuk
pembangunan mall. Sudut pandang ini sangat lumrah di Indonesia di mana hutan jarang dilihat
sebagai suatu sistem yang kompleks. Sejak semakin maraknya isu-isu terkait manajemen hutan dan
sumber dayanya, banyak para ilmuwan yang mulai menilik ilmu kompleksitas (complexity science).
Saat ilmu kompleksitas ini dikaitkan dengan hutan kita dapat merencanakan dan mengeksekusi
kerangka kerja konseptual untuk meningkatkan produktivitas jangka panjang, keanekaragaman
hayati, dan kemampuan ekosistem hutan beradaptasi, serta pendekatan integratif dan multidisiplin
untuk mempelajari struktur dan dinamika ekosistem hutan. Jika kita melihat hutan sebagai complex
adaptive systems, maka komponen hutan (seperti, pepohonan, serangga, hewan, tanah, dsb) dan/atau
proses yang terjadi di hutan (seperti siklus nutrisi, penguraian, dsb) tidak lagi dipandang sebagai
entitas yang terpisah. Dengan kata lain, ilmu ini melihat hutan, lanskap, dan tegakan sebagai sistem
sosial-ekologis yang terintegrasi (Messier & Puettmann, 2011).

Hasil dari beragam penelitian yang telah saya paparkan sebelumnya menunjukkan bahwa simplifikasi
habitat menghasilkan beragam konsekuensi ekologis, ekonomi dan sosial yang bervariasi. Ada
organisme yang berhasil beradaptasi dengan habitat yang jauh lebih sederhana dari hutan, tapi
lebih banyak lagi kelompok organisme yang hilang bersamaan dengan hilangnya habitat aslinya.
Keanekaragaman yang tinggi di hutan dapat menjadi bantalan yang meredam ketika terjadi gangguan
atau bencana pada suatu ekosistem, jika suatu bencana terjadi. Sebaliknya, ekosistem hasil desain
manusia hanya memiliki tingkat kompleksitas seperti hutan sehingga sistem ini lebih rapuh terhadap
gangguan. Ketika sistem mencapai titik stres tertinggi, maka ekosistem tersebut akan hancur dan
tidak bermanfaat lagi bagi manusia. Dari sini dapat disimpulkan bahwa keberlanjutan (sustainability)
kehidupan organisme di Bumi tergantung dengan keanekaragaman dan tingkat kehati-hatian manusia
dalam mengelola sumber daya yang masih tersisa.
25

Transdisiplin dan Pesan Kehidupan:


dari Serangga Untuk Manusia Dan Peradaban
Ada banyak hal yang saya pelajari dari serangga, bukan hanya sekedar evolusi, sejarah kehidupan
(natural history), perilaku dan bioekologi. Pemaknaaan dan pesan-pesan yang mendalam tentang
peran dalam kehidupan serangga, serta interconnectedness yang terjalin antara serangga dengan
organisme lain maupun dengan lingkungan abiotik menjadi pesan-pesan kearifan dalam kehidupan
yang memberi warna dalam kehidupan saya. Saat ini kita memasuki era Anthropocene, yaitu era
yang ditandai dengan penguasaan Bumi dan segala isinya oleh manusia. Berkat perkembangan
sains yang sedemikian majunya, manusia mampu menghasilkan teknologi sehingga manusia tidak
bisa lagi dibatasi oleh alam. Kehidupan manusia ditandai oleh kesanggupannya memahami dunia
perlambangan, yang, menurut Cassirer (1946), menjelma melalui sistem kepercayaan, bahasa, seni,
sejarah dan ilmu. Ilmu sebagai sistem perlambangan merupakan wahana yang mengantarkan manusia
pada puncak keunggulan keberadaannya di tengah makhluk lainnya. Penguasaan ilmu tidak lagi
membuat manusia menjadi sekedar makhluk yang harus menyesuaikan pada lingkungan alamnya
tanpa pilihan. Sebaliknya, penguasaan ilmu menjadikan manusia sanggup melakukan rekayasa
terhadap alamnya demi kepentingan hidupnya. Kepentingan ini bukan hanya terkait pada kebutuhan
(needs) untuk bertahan hidup, melainkan juga untuk mencapai berbagai keinginan (wants) yang
nyaris mekar tak kenal batas (Cassirer, 1946). Kita telah menyaksikan bagaimana perkembangan
sains dan teknologi telah membuat hidup menjadi “lebih mudah”, tetapi kita juga melihat bahwa
sebagai konsekuensinya, hidup menjadi lebih kompleks. Kompleksitas kehidupan telah meningkat
secara signifikan di tengah-tengah perkembangan sains dan teknologi, yang kemudian melahirkan
wicked problems di tengah masyarakat modern. Kesadaran akan wants yang tak mengenal batas inilah
yang membuat saya lalu termenung: apakah era Anthropocene ini akan berakhir dengan hilangnya
Homo sapiens dari muka Bumi? Adakah pesan-pesan kehidupan yang penting dari serangga yang
perlu kita maknai dengan lebih mendalam?

Pesan dari Serangga


Salah satu pesan yang sangat kuat yang muncul dari kehidupan serangga adalah hidup berkolaborasi.
Dari evolusi serangga, kita melihat bagaimana kehidupan sosial menyebabkan adanya kemampuan
koloni yang secara efektif mencari makan, bertahan terhadap musuh dan mampu menjaga homeostasis
dalam sarang. Dari kehidupan serangga sosial ini ada pesan bahwa kompetisi akan terpinggirkan oleh
kolaborasi ketika seleksi alam mengarahkan kelompok-kelompok yang berkolaborasi untuk menjadi
lebih “fit and survive” dibandingkan kehidupan soliter.

Pesan berikutnya adalah interconnectedness. Kita melihat bagaimana serangga berinteraksi dengan
tumbuhan dan serangga-serangga lainnya dan dalam proses tersebut ada layanan-layanan ekosistem yang
tercipta. Misalnya, lebah dan kupu-kupu mencari nektar dan polen, dan sebagai hasil sampingannya
terjadilah reproduksi tumbuhan. Serangga predator memakan hama, dan hasil akhirnya adalah
layanan ekosistem berupa regulasi populasi hama, dsb. Dan karena adanya saling ketergantungan
26

ini, maka jika satu komponen dalam ekosistem itu hilang, kestabilan ekosistem tersebut pun akan
terganggu. Interconnectedness ini akan melahirkan sebuah sistem yang kompleks. Kompleksitas dalam
alam inilah yang akan menghasilkan sustainability (keberlanjutan). Jadi, interconnectedness, complexity
dan sustainability saling berkelindan. Saling tergantung inilah yang dalam kehidupan manusia telah
dicoba untuk diatasi. Sejauh ini manusia telah mampu mengatasi ketergantungan pada alam karena
manusia memiliki akal, ratio, dan budaya yang melahirkan berbagai ilmu pengetahuan/sains dan
teknologi. Pertanyaan besarnya adalah sejauh mana manusia dengan sains dan teknologinya mampu
mengisolasi diri dari masalah-masalah yang muncul karena perilaku manusia itu sendiri? Apakah
solusi teknologi selalu bisa memberikan jawaban? Ataukah ada perubahan yang lebih fundamental/
paradigma kehidupan yang harus berubah untuk mengatasi krisis perubahan iklim yang sudah di
depan mata? Jika kita percaya bahwa manusia adalah bagian dari alam, maka “interconnectedness”
ini menunjukkan bahwa suatu saat nanti, ketika Bumi makin rusak, maka manusia jugalah yang
akhirnya akan menerima akibatnya. Selama kita hidup di Bumi, kita pasti akan menerima akibat dari
kerusakan yang kita buat sendiri.

Pesan ketiga adalah adaptability. Adaptasi adalah kunci dari kemampuan bertahan, dan adaptasi
berarti perubahan. Dalam adaptasi terkandung unsur-unsur perubahan baik secara fisik, genetik,
maupun akal/cara berpikir. Agar perubahan ini bisa berdampak pada kelompok/spesies/masyarakat,
maka perubahan ini harus dapat diturunkan pada generasi selanjutnya. Dalam konteks manusia,
salah satu faktor perubahan bisa berasal dari pendidikan. Pertanyaannya adalah Pendidikan macam
apakah yang dapat membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia?

Transdisiplin dan Masa Depan Peradaban


Di atas telah disebutkan bahwa saat ini manusia hidup dalam era Anthropocene, yang dicirikan oleh
adanya kehidupan yang makin semakin kompleks karena lahirnya “wicked problems” dalam masyarakat
modern. Wicked problems ini adalah sebuah masalah yang kompleks, yang tidak dapat didefinisikan
secara utuh, di mana para pemangku kepentingan mempunyai persepsi dan pandangannya masing-
masing mengenai permasalahan yang dihadapi dan solusi yang harus diambil, sehingga tidak ada
final solution (Gambar 19). Bahkan solusi yang adapun akan melahirkan permasalahan baru, sehingga
solusi yang ada seringkali adalah solusi yang terbatas dalam konteks ruang dan waktu (Lefebvres,
2012).
27

Gambar 19 Poin-poin yang menggambarkan “wicked problems” (https://socialmarketing.blogs.com/r_craiig_


lefebvres_social/2012/09/social-marketing-and-wicked-problems.html)

Wicked problems inilah yang kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran mengenai pentingnya


transdisiplin dalam menjawab permasalahan kehidupan yang kompleks ini. Kompleksitas ini bisa
muncul karena adanya multilevel reality (in the different scale) dan multiple reality (in the same scale)
yang berhubungan dan hadir pada saat yang sama pada suatu waktu dan ruang (Putra, 2020). Salah
satu contoh wicked problems adalah perubahan iklim. Perubahan iklim ini bukanlah hanya masalah
biofisik dan siklus biogeokimia semata, melainkan masalah kemiskinan, keadilan sosial (social
justice), ketamakan (greed), yang berujung pada politik dan kepemimpinan (leadership). Seringkali
permasalahan di lapangan, sebenarnya bukanlah masalah teknologi. Pengetahuan manusia saat ini
sudah menghasilkan begitu banyak ilmu, teknologi dan solusi, tetapi permasalahannya adalah the will
untuk menerapkan solusi yang benar-benar dapat mengatasi akar masalah.

Transdisipliner adalah sebuah pendekatan between the disciplines, across the different disciplines, and
beyond all disciplines yang dibangun untuk mencari solusi bersama (joint problem solving) (Nicolescu,
2006). Tujuan utama pendekatan transdisiplin adalah untuk membangun the unity of knowledge, sebagai
satu langkah untuk mendapatkan solusi yang dapat diterima berbagai pihak. Dalam transdisiplin
kunci keberhasilannya ada di transcendence beyond discipline, di mana masing-masing pihak harus
mampu masuk ke area-area kerendahan hati (humble), mampu mendengar (listen), meninggalkan ego
dan ketamakan, dan masuk ke “realm of the unknown”, mengolah rasa, empati, untuk mencapai the
unity of knowledge yang diperlukan dalam pemecahan masalah. Kalau mengambil contoh dari dunia
serangga, kita telah melihat itu di kehidupan lebah. Bagaimana mereka melepaskan “ego” (lebah
pekerja tidak bereproduksi, dan justru membantu induknya membesarkan saudara-saudaranya)
28

sehingga lahirlah “eco” sebagai koloni yang kuat dan bermanfaat bagi kehidupan semua di bumi.
Apakah manusia mampu mencapai titik itu? Saya percaya mampu dan bisa. Dan yang menarik di sini
adalah peran dari Quantum Physics. Pemahaman terhadap fisika kuantum dalam kehidupan sehari-
hari bisa memegang kunci penting dalam usaha manusia untuk “transcending beyond disciplines”.
Melalui fisika kuantum, interconnectedness of the universe bisa lebih dipahami, bagaimana memahami
sub-atomik partikel bekerja di level makro menjadi sangat penting.

Penutup
Kita hidup dalam zaman di mana sains dan teknologi memegang peranan besar dalam kehidupan.
Namun, kita juga sadar bahwa di tengah-tengah semua modernitas yang ada, manusia masih tetap
memiliki emosi primitifnya (paleolithic emotion) (Wilson, 2009). Dalam konteks ini sains dan
teknologi menjadi pedang bermata dua. Hasilnya tergantung siapa penggunanya. Dalam konteks
inilah penting bagi kita, masyarakat Indonesia, dan masyarakat dunia, bertanya, mau kemana
kehidupan ini kita bawa? Apakah ke arah sustainability ataukah ke arah kehancuran? Jawabannya
ada dalam genggaman manusia itu sendiri. Dan dalam usaha manusia mencari jawaban itu, patut
selalu diingat beberapa pertanyaan kunci yang menjadi guidance kita bersama yaitu, 1) Apakah semua
pertanyaan memiliki jawaban? 2) Sedalam apakah manusia mampu memahami dunia dan kehidupan?
Saya mengakhiri perenungan ini dengan mengutip Marcelo Gleiser (2014) “Science, the main tool
we have for investigating the universe is fundamentally limited. These limits to our knowledge
are both from our tools of exploration and from the nature of physical reality: the speed of light,
the uncertainty principle, the impossibility of seeing beyond the cosmic horizon, and our own
limitations as intelligent species”. Kalimat ini semoga bisa selalu membuat kita menjadi humble,
rendah hati, dan mampu membangun empati pada Bumi dan seisinya.

Ucapan Terima Kasih


Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Bapak Rektor IPB, Prof. Dr. Arif Satria, S.P, M.Si, Bapak
Dekan Fakultas Pertanian, Dr. Ir. Sugiyanta, MSi, Ketua Departemen Proteksi Tanaman, Dr. Ir. Ali
Nurmansyah, M.Si, beserta para dosen dan staff, serta Centre for Transdiciplinary and Suistainably
Science (CTSS), IPB University atas segala bentuk dukungan yang telah diberikan.

Terima kasih juga saya sampaikan kepada anggota laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen
Proteksi Tanaman, atas semua riset-riset yang telah dijalankan, juga atas kerja kerasnya dalam
membantu penyelesaian naskah ini. Kepada Adha, Amanda, Anik, Rizky, Kasmiatun, Fatimah,
Rosyid, Novi, Azru dan Jalu; terima kasih sebanyak-banyaknya.

Last but not least, ungkapan cinta dan terima kasih untuk keluarga saya dan anak-anak saya tercinta,
Dana (alm), Dini, Mayang, dan Indi. I carry you in my heart.
29

Daftar Pustaka
Adnan, N.A., Atkinson, P.M. 2011. Exploring the impact of climate and land-use changes on
streamflow trends in a monsoon catchment. International Journal of Climatology. 31(6):815-
831. https://doi.org/10.1002/joc.2112.
Alexander, D. 2018. Bug life: These 5 robots were inspired by insects. Tersedia pada https://
interestingengineering.com/bug-life-these-5-robots-were-inspired-by-insects (diakses tanggal
14 September 2021).
A. O. 2020. Inspiration for helicopters: the dragonfly. Tersedia pada https://www.truth-seeker.info/
refuting-darwinism/inspiration-for-helicopters-the-dragonfly/ (diakses tanggal 14 September
2021).
Benedict, A. 2005. The effects of light intensity on the flowering phenology and interpopulation
differences of the androdioecious plant species, Mercurialis annua. Senior Honour Theses. 74.
Bhawane, G.P., Mamlayya, A.B., Koli, Y.J., Phonde, Y.A., Aland, S.R., Gaikwad, S.M. 2011. Life
history of Attacus Atlas Linn. (Saturniidae: Lepidoptera) on Sapium Insegne Benth. From
Western Ghats, Maharashtra. The Bioscan. 6(3): 497-500.
Boggs, C.L. 2016. The fingerprints of global climate change on insect populations. Current Opinion
in Insect Science. 17: 69-73.
Common, I.F.B. 1990. Noctuoidea: Moths of Australia. Australia: Brill Publishers.
Cardoso, P., Barton, P. S., Birkhofer, K., Chichorro, F., Deacon, C., Fartmann, T., … Samways, M.
J. 2020. Scientists’ warning to humanity on insect extinctions. Biological Conservation. 242:
108426. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.biocon.2020.108426.
Casey, T.M., May, M.L., Morgan, K.R. 1985. Flight Energetics of Euglossine Bees in Relation to
Morphology and Wing Stroke Frequency. Journal of Experimental Biology. 116(1): 271–289.
https://doi.org/10.1242/jeb.116.1.271.
Cassirer, E. 1946. The Myth of the State. New Haven: Yale University Press.
Chaves, L.F., Scott, T.W., Morrison, A.C., Takada, T. 2014. Hot temperatures can force delayed
mosquito outbreaks via sequential changes in Aedes aegypti demographic parameters in
autocorrelated environments. Acta Tropica. 129: 15-24.
Cock, D.R., Matthysen, E. 2005. Sexual communication by pheromones in a firefly, Phosphaenus
hemipterus (Coleoptera: Lampyridae). Animal Behaviour. 70: 807-818.
Curtis, P.G., Slay, C.M., Harris, N.L., Tyukavina, A., Hansen, M.C. 2018. Classifying drivers of
global forest loss. Science. 361: 1108–1111.
Davis, S. 2013. A bug’s view: digital camera lens inspired by insects. CBS News. Tersedia pada https://
www.cbsnews.com/news/a-bugs-view-digital-camera-lens-inspired-by-insects/ (diakses tanggal
14 September 2014).
30

Drescher J., Rembold K., Allen K., Beckschäfer P., Buchori D., Clough Y., Faust H., Fauzi A.M.,
Gunawan D., Hertel D., Irawan B., Jaya I.N.S., Klarner B., Kleinn C., Knohl A., Kotowska
MM, Krashevska V, Krishna V, Leuschner C, Lorenz W, Meijide A, Melati D, Nomura M.,
Pérez-Cruzado C., Qaim M., Siregar I.Z., Steinebach S., Tjoa A., Tscharntke T., Wick B.,
Wiegand K., Kreft H., Scheu S. 2016. Ecological and socio-economic functions across tropical
land use systems after rainforest conversion. Phil. Trans. R. Soc. B: Biological Sciences. 371(1694):
20150275. DOI: 10.1098/rstb.2015.0275.
Dunlop, J.A., Garwood, R.J. 2017. Terrestrial invertebrates in the Rhynie chert ecosystem. Phil. Trans.
R. Soc. B: Biological Sciences. 373: 20160493. DOI: http://dx.doi.org/10.1098/rstb.2016.0493.
EFForTS Newsletter. 2018. Georg-August University of Goettingen, Germany. Tersedia pada https://
www.uni-goettingen.de/de/document/download/8d57de234d63e05e44b7cfece415f9f0.
pdf/06_EFForTS_Newsletter_2018_web.pdf (diakses tanggal 11 September 2021).
EFForTS Newsletter. 2020. Georg-August University of Goettingen, Germany. Tersedia pada https://
www.uni-goettingen.de/storage/userdata/ariechel/EFForTS_Newsletter7_2020_web.pdf
(diakses tanggal 11 September 2021).
Ehbrecht, M., Schall, P., Ammer, C., Seidel, D., 2017. Quantifying stand structural complexity and
its relationship with forest management, tree species diversity and microclimate. Agric. For.
Meteorol. 242: 1–9. https://doi.org/10.1016/j. agrformet.2017.04.012 M4 - Citavi.
Gorb S.N., Gorb E.V. 2020. Insect-inspired architecture to build sustainable cities. Current Opinion
in Insect Science 40: 62-70. https://doi.org/10.1016/j.cois.2020.05.013.
Guillaume, T., Holtkamp, A.M., Damris, M., Brümmer, B., Kuzyakov, Y. 2016. Soil degradation
in oil palm and rubber plantations under land resource scarcity. Agriculture, Ecosystems &
Environment. 232:110-118. https://doi.org/10.1016/j.agee.2016.07.002.
Guillaume, T., Damris, M., Kuzyakov, Y. 2015. Losses of soil carbon by converting tropical forest to
plantations: erosion and decomposition estimated by δ 13C. Global Change Biology. 21(9):3548-
3560. https://doi.org/10.1111/gcb.12907.
Gleiser, M. 2014. The Island of Knowledge: The Limits of Science and the Search for Meaning. New York:
Basic Books.
Grimaldi, D. 2009. Fossil record. In: Resh, V.H. and Carde, R.T. (ed) Encyclopedia of Insect. London:
Elsevier.
Ichikawa, N. 1988. Male brooding behavior of the giant water bug Lethocerus deyrollei Vuillefroy
(Hemiptera: Belostomatidae). Journal of Ethology. 6: 121–128.
IPBES. 2019. In: Díaz, S., Settele, J., Brondizio, E.S., Ngo, H.T., Guèze, M., Agard, J. (Eds.),
Summary for Policymakers of the Global Assessment Report on Biodiversity and Ecosystem
Services of the Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem
Services. IPBES Secretariat, Bonn, Germany.
Hindle, B.J., Kerr, C.L., Richards, S.A., Willis, S.G. 2014. Topographical variation reduces
phenological mismatch between a butterfly and its nectar source. J. Insect. Conserv. DOI
10.1007/s10841-014-9713-x.
31

Hölldobler, B., Wilson, E.O. 2008. The Superorganism. New York: WW Norton & Company Inc.
Jihadi, A., Rizali, A., Atmowidi, T., Pudjianto, Buchori, D. 2019. Habitat transformation and
sustainable landscape: a preliminary study of the diversity of cross habitat pollinators. IOP Conf.
Series: Earth and Environmental Science. 325: 012006. doi:10.1088/1755-1315/325/1/012006.
Keller, L., Nonacs, P. 1993. The role of queen pheromones in social insects: queen control or queen
signal? Animal Behaviour 45(4): 787-794. DOI: https://doi.org/10.1006/anbe.1993.1092.
Laurence, T. 2015. Pollination and Protecting Bees and Other Pollinators. Washington: Washington
State University Pr.
Lázaro, A., Chroni, A., Tscheulin, T., Devalez, J., Matsoukas, C., Petanidou, T., 2016. Electromagnetic
radiation of mobile telecommunication antennas affects the abundance and composition of
wild pollinators. J. Insect Conserv. 20: 315–324. DOI: https://doi.org/10.1007/s10841-016-
9868-8.
Lefebvres, R. C. 2012. Social marketing and wicked problems. Tersedia pada https://socialmarketing.
blogs.com/r_craiig_lefebvres_social/2012/09/social-marketing-and-wicked-problems.html
(diakses tanggal 26 September 2021).
Longino, J.T., Nadkarni, N. M. 1990. A comparison of ground and canopy leaf litter ants
(Hymenoptera: Formicidae) in a Neotropical montane forest. Psyche 97:81-93.
Lopatina, N.G., Zachepilo, T.G., Kamyshev, N.G., Dyuzhikova, N.A., Serov, I.N., 2019. Effect
of non-ionizing electromagnetic radiation on behavior of the honeybee, Apis mellifera L.
(Hymenoptera, Apidae). Entomological Review 99: 24–29. DOI: https://doi.org/10.1134/
S0013873819010032.
Luskin, M.S., Potts, M.D., 2011. Microclimate and habitat heterogeneity through the oil palm
lifecycle. Basic Appl. Ecol. 12 (6): 540–551. https://doi.org/10.1016/j. baae.2011.06.004 M4
- Citavi.
Merten, J., C. Stiegler, N. Hennings, E. S. Purnama, A. Röll, H. Agusta, M. A. Dippold, L. Fehrmann,
D. Gunawan, D. Hölscher, A. Knohl, J. Kückes, F. Otten, D. C. Zemp, and H. Faust. 2020.
Flooding and land use change in Jambi Province, Sumatra: integrating local knowledge and
scientific inquiry. Ecology and Society. 25(3):14. https://doi.org/10.5751/ES-11678-250314.
Meijide, A., Badu, C.S., Moyano, F., Tiralla, N., Gunawan, D., Knohl, A. 2018. Impact of forest
conversion to oil palm and rubber plantations on microclimate and the role of the 2015 ENSO
event. Agric. For. Meteorol. 252: 208–219. https://doi.org/10.1016/ j.agrformet.2018.01.013
M4 - Citavi.
Messier, C., Puettmann, K.J. 2011. Forest as complex adaptive systems: implications for forest
management and modelling. L’Italia Forestale e Montana 66(3): 249-258. DOI: 10.4129/
ifm.2011.3.11.
Middleton, E. 2016. What social insects can teach us about resilient infrastruktur. Tersedia pada https://
theconversation.com/what-social-insects-can-teach-us-about-resilient-infrastructure-56512
(diakses tanggal 14 September 2021).
32

Misof, B., Liu S., Meusemann K., Peters R.S., Donath A., Mayer C., Frandsen P.B., Ware J., Flouri
T., Beutel R.G., Niehuis O., dkk. 2014. Phylogenomics resolves the timing and pattern of
insect evolution. Science 346(6210): 763. DOI: 10.1126/science.1257570.
Moller, H. 1985. Tree wetas (Hemideina crassicruris) (Orthoptera: Stenopelmatidae of
Stephens Island, Cook Strait. New Zealand Journal of Zoology. 12(1): 55-69. DOI:
10.1080/03014223.1985.10428265.
Nazarreta R., Hartke T. R., Hidayat P., Scheu S., Buchori B., Drescher J. 2020. Rainforest conversion
to smallholder plantations of rubber or oil palm leads to species loss and community shifts
in canopy ants (Hymenoptera: Formicidae). Myrmecol. News. 30: 175-186. DOI: 1025849/
myrmecol.news_030:175.
Nicolescue, B. 2006. Transdisciplinarity – past, present and future. in Moving Worldviews. In Bertus
Haverkort and Coen Reijntjes (Eds) Reshaping sciences, policies and practices for endogenous
sustainable development. Pp 142-166. Holland: COMPAS Editions.
Nield, D. 2021. Engineers built a cockroach-inspired robot that can’t be squashed. Tersedia pada
https://www.sciencealert.com/engineers-built-a-cockroach-inspired-robot-that-can-t-be-
squashed (diakses tanggal 14 September 2021).
Novoselsky, T., Chen, P.P., Nieser, N. 2018. A review of the giant water bugs (Hemiptera: Heteroptera:
Nepomorpha: Belostomatidae) of Israel. Journal of Entomology. 48(1): 119-141.
Nowak, M.A., Tarnita, C.E., Wilson, E.O. 2010. The evolution of eusociality. Nature 466:1057–
1062. DOI: 10.1038/nature09205.
Palavalli-Nettimi, R., & Sane, S.P. 2018. Fairyflies. Current biology: CB. 28(23): R1331–R1332.
https://doi.org/10.1016/j.cub.2018.10.014.
Plowes, N. 2010. An introduction to eusociality. Nature Education Knowledge 3(10):7.
Potts, S.G., Biesmeijer, J.C., Kremen, C., Neumann, P., Schweiger, O., Kunin W.E. 2010. Global
pollinator declines: trends, impacts, and drives. Trends in Ecology and Evolution 25(6): 345-353.
doi:10.1016/j.tree.2010.01.007.
Putra, E.S. 2020. Transdisciplinary: A Thought of Multiple Reality and Interdependency Concept of
the Third Axiom. Tersedia pada https://ctss.ipb.ac.id/2020/02/09/transdisciplinary-a-thought-
of-multiple-reality-and-interdependency-concept-of-the-third-axiom/ (diakses tanggal 25
September 2021).
Raven, P.H., Wagner, D.L. 2021. Agricultural intensification and climate change are rapidly decreasing
insect biodiversity. Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A. 10.1073/ pnas.2002548117.
Resh, V.H., Cardé, R.T. 2009. Encyclopedia of Insects. London: Elsevier.
Sanchez-Bayo, F., Wyckhuys, K.A.G. 2019. Worldwide decline of the entomofauna: A review of its
drivers. Biological Conservation. 232: 8-27. https://doi.org/10.1016/j.biocon.2019.01.020.
33

Schneyder, E. 2021. A beehive as a model for living. UBM Magazine. Tersedia pada https://www.
ubm-development.com/magazin/en/a-beehive-as-a-model-for-living/ (diakses tanggal 14
September 2021).
Stokstad, E. 2018. New global study reveals the ‘staggering’ loss of forests caused by industrial
agriculture. Science. DOI 10.1126/science.aav4177.
Tarigan, S., K. Wiegand, Sunarti, Slamet B. 2018. Minimum forest cover required for sustainable
water flow regulation of a watershed: a case study in Jambi Province, Indonesia. Hydrology and
Earth System Sciences. 22:581-594. https://doi.org/10.5194/hess-22-581-2018.
Turner, S.J., and Soar, R.C.. 2008. Beyond biomimicry: What termites can tell us about realizing
the living building. Proceedings of 1st International Conference on Industrialized, Intelligent
Construction, 14-16 May 2008.
Williams, J. 2020. Building of the week: Eastgate, Zimbabwe. Tersedia üada https://earthbound.
report/2020/05/15/building-of-the-week-eastgate-zimbabwe/ (diakses tanggal 16 September
2021).
Wilson, E. O. 2009. Debate at Cambridge MA. Tersedia pada https://www.oxfordreference.com/
view/10.1093/acref/9780191826719.001.0001/q-oro-ed4-00016553 (diakses tanggal 26
September 2021).
WMO (World Meteorological Organization). 2018. Statement on the State of the Global Climate in
2017. WMO-No. 1212. Geneva, Switzerland.
Zellweger, F., Frenne, P.D., Lenoir, J., Vangansbeke, P., Verheyen, K., Bernhardt-Römermann, M.,
… Coomes, D. 2020. Forest microclimate dynamics drive plant responses to warming. Science.
368(6492): 772–775. https://doi.org/10.1126/science.aba6880.
34

Profil Penulis

Prof. Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc

Lahir di Bandung pada tanggal 28 Oktober 1960.


Penulis memperoleh gelar sarjana pada tahun 1984
dari Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis
kemudian memperoleh gelar master pada tahun
1989 di bidang Entomologi, Universitas Illinois
dan memperoleh gelar doctor pada tahun 1993 di
bidang Evolutionary Ecology, Universitas Indiana
Bloomington. Pada tahun 2014, penulis dikukuhkan sebagai guru besar Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Hingga saat ini, penulis menjadi dosen aktif di Departemen Proteksi
Tanaman dan sebagai Kepala Laboratorium Pengendalian Hayati. Sejak tahun 2018 hingga saat ini,
penulis juga aktif menjabat sebagai Direktur Pusat Kajian Sains Keberlanjutan dan Transdisiplin
(CTSS), IPB. Penulis pernah menjabat sebagai Ketua Departemen Proteksi Tanaman dari tahun
2003–2007. Kemudian menjabat sebagai Direktur KEHATI pada tahun 2006–2009. Penulis juga
menjadi salah satu pendiri LSM PEKA (Peduli Konservasi Alam Indonesia) dan dipercaya sebagai
Direktur Proyek Kelola Sendang Zoological Society London (ZSL) pada tahun 2016–2020. Penulis juga
menjadi salah satu counterpart IPB dalam proyek kerja sama penelitian Indonesia-Jerman CRC990-
EFForTS (Ecological and Socioeconomic Functions of Tropical Lowland Rainforest Transformation
Systems) di Jambi, Sumatra. Kecintaan dan kepeduliannya terhadap serangga dan alam Indonesia
terlihat jelas dari bagaimana penulis konsisten memperjuangkan keanekaragaman hayati yang kian
hari semakin mencemaskan.
Konsep dan Aplikasi Geosains
Kebencanaan untuk Pengembangan
Geo-Arkeologi di Indonesia:
Menyelaraskan Sejarah Bumi dan Sejarah Manusia

Prof. Dr. Danny Hilman Natawidjaja

Komisi Bidang Ilmu Pengetahuan Dasar


Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
29 September 2021
36

Bismillahirrohmanirrohim,

Assalamu’alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh,

Salam sehat dan salam sejahtera untuk kita semua

Yang saya hormati,


Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia,
Ketua Badan Riset dan Inovasi Indonesia,
Ketua-Ketua Komisi Bidang-Bidang Ilmu Pengetahuan beserta Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia,

Dan Para hadirin yang saya muliakan,

Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan limpahan rahmat dan karunia-NYA sehingga kita dapat hadir pada acara ini dalam
keadaan sehat wal-afiat.

Saya menyampaikan terimakasih kepada Presiden Republik Indonesia yang telah mengangkat
saya menjadi anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia dan kepada Ketua Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia yang memberikan kesempatan kepada saya untuk menyampaikan Kuliah
Inaugurasi sebagai anggota baru Komisi Bidang Ilmu Pengetahuan Dasar Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia dalam acara rangkaian Sidang Paripurna AIPI Tahun 2021 ini dengan judul:

Konsep dan Aplikasi Geosains Kebencanaan untuk Pengembangan


Geo-Arkeologi di Indonesia: Menyelaraskan Sejarah Bumi dan Sejarah Manusia
37

Konsep dan Pengetahuan Dasar

Konsep Geosains Kebencanaan


Proses alam beroperasi dalam dua ragam, yaitu proses yang perlahan-lahan (incremental) dan kontinu,
umum dipahami sebagai konsep uniformitarianism (konsep/teori yang dipopulerkan James Hutton
dan Charles Lyel, 1726 – 1797), dan kejadian alam yang tiba-tiba dan destruktif di mana terjadi
perubahan besar, dikenal sebagai konsep catastrophic (konsep yang dipopulerkan oleh Gorges
Curvier, 1813). Dua konsep ini dahulu sering dipertentangkan, namun sekarang lebih dipahami
sebagai proses alam yang terintegrasi. Dengan kata lain, proses alam terdiri dari proses yang (sangat)
perlahan-lahan, uniform dan kontinu tapi secara berkala diinterupsi oleh perubahan atau kejadian
besar (yang destruktif ). Yang termasuk ke dalam uniformitarianism adalah proses erosi, sedimentasi,
pelapukan, dan pengangkatan/penurunan tektonik yang perlahan-lahan. Sedangkan catastrophism
adalah kejadian gempa (besar), letusan gunung api, tsunami atau banjir besar, dan longsor.

Proses alam umumnya siklus dalam skala kecil, lokal sampai skala global. Rupa bumi, dalam skala
hidup manusia, sepertinya tidak berubah, padahal dalam skala jutaan, puluhan juta sampai ratusan
juta tahun rupa bumi selalu berganti wajah sejalan dengan perputaran lempeng-lempeng bumi yang
bergerak pelan beberapa sentimeter per tahun (Natawidjaja, 2005b; Yeats et al., 1997). Lempeng yang
baru terus-menerus terbentuk di bawah muka bumi dan muncul ke atas di sepanjang zona pemekaran
lantai Samudra (Oceanic Spreading Centers). Kemudian lempeng yang masih muda ini bergerak
menjauh menuju ke arah zona penunjaman lempeng (Subduction Zones) difasilitasi oleh jalur-jalur
sesar-transform untuk mengakomodasi perbedaan kecepatan pergerakan lateralnya. Sesampai di zona
penunjaman, lempeng tua yang sudah berumur jutaan – puluhan juta tahun selama pergerakannya
mengarungi bawah Samudra dibenamkan ke bawah ke dalam mantel bumi untuk kemudian meleleh
dan didaur ulang. Sebagian lempeng yang meleleh pada kedalaman sekira 150-200 km naik ke atas
karena gaya buoyancy kemudian membentuk kantung-kantung magma, dan akhirnya terdorong
ke atas membuat benjolan-benjolan besar di permukaan bumi, dikenal sebagai badan gunung api.
Ketika kantung magma di bawah gunung api sudah penuh maka akan dimuntahkan sebagai letusan
gunung api.

Jalur-jalur zona pemekaran lantai Samudra lokasinya tidak tetap, demikian juga lokasi zona
penunjaman selalu bergeser seiring waktu dan secara bertahap membentuk kesatuan geometri batas-
batas dan kesetimbangan lempeng yang baru. Oleh karena itu lokasi gunung-gunung api yang
berkaitan dengan proses subduksi, walaupun terlihat kokoh dan tetap di tempatnya, akan selalu
berubah dari waktu ke waktu dalam skala jutaan tahun. Jadi peta daratan dan lautan selalu berubah.

Gunung-gunung api membuat siklus dengan skala lebih kecil, yaitu siklus letusan gunung api yang
terdiri dari masa pengisian kantung magma di bawah kepundannya dan setelah terisi penuh akan
dimuntahkan sebagai letusan besar. Kinematika pergerakan lempeng akan memberikan tekanan yang
terus-menerus pada batas-batas lempengnya sehingga mengakibatkan deformasi dan terbentuklah
patahan-patahan atau sesar-sesar di sekitar batas lempeng tersebut. Pergerakan pada batas lempeng dan
38

jalur-jalur sesar umumnya tidak bergerak halus kontinu tapi tersendat-sendat karena ada gaya friksi
sehingga menghasilkan mekanisme yang disebut sebagai stick and slip, alias gerakan akan tersendat
atau terkunci sehingga mengakumulasi regangan (tektonik) selama bertahun-tahun, puluhan-
ratusan sampai ribuan tahun, dan setelah tekanan tidak tertahankan akan dilepaskan seketika sebagai
pergerakan sesar tiba-tiba yang menghasilkan gelombang gempa. Jadi, gempa itu siklus pergerakan
sesar yang terdiri dari proses akumulasi regangan tektonik secara perlahan, disebut sebagai masa inter-
seismik, dan kejadian gempa yang disebut sebagai co-seismik.

Iklim bumi juga terdiri dari beragam siklus. Dalam skala global dan rentang waktu puluhan - ratusan
ribu tahun, iklim bumi selalu berganti antara zaman es dan zaman panas (glacial and inter-glacial).
Siklus ini diyakini berkaitan dengan siklus tatasurya dari pergerakan relatif matahari dan bumi pada
jalur edarnya dan juga posisi sumbu putarnya masing-masing. Proses ini dikenal sebagai Siklus
Milankovich yang lama waktu siklusnya sekira 100 ribu tahun (Campisano, 2012). Siklus zaman es
dan zaman panas mengkibatkan pembekuan dan pelelehan salju bumi (Clark et al., 2012). Ketika
zaman es, sebagian air di permukaan bumi menjadi salju sehingga volume air laut berkurang dan
muka air lautnya turun. Ketika zaman panas, salju meleleh dan permukaan air laut menjadi naik.
Perbedaan tinggi muka air laut antara zaman es dan panas mencapai lebih dari 100 m. Di wilayah
Nusantara, perbedaan tinggi muka air laut dari puncak zaman es terakhir (20.000 tahun lalu) dengan
tinggi muka air laut sekarang adalah sekira 130 m (Voris, 2000). Oleh karena itu, ada bagian yang
tadinya daratan ketika zaman es sekarang menjadi wilayah lautan, contohnya Laut Jawa dan Laut
Selat Karimata yang kedalaman rata-ratanya di bawah 100 m.

Proses sedimentasi dan erosi terjadi berulang-ulang secara bergantian membentuk siklus stratigrafi
perlapisan geologi. Pada singkapan geologi akan terlihat sekuen stratigrafi dari proses sedimentasi
yang perlahan dan menerus dan kemudian diakhiri oleh bidang erosi, dan di atasnya kembali
diendapkan lapisan sedimen yang baru. Apabila proses erosinya dalam skala besar terkait dengan
proses pengangkatan pegunungan oleh tenaga tektonik maka akan terbentuk bidang ketidakselarasan
(unconformity) yang seringkali disertai hiatus atau gap waktu yang sangat lama sebelum kembali
terjadi sedimentasi lapisan baru. Perlapisan tanah dan batuan itu merekam proses dan kejadian
alam, termasuk pembentukan sungai, lembah, pegunungan, letusan gunung api, gempa, tsunami,
banjir bandang, longsoran tanah, pergantian zaman es dan zaman panas dan bahkan kejadian kosmis
seperti tumbukan meteor. Artinya, bidang hiatus mewakili sejarah proses bumi yang hilang atau tidak
terekam.

Bencana alam disebabkan oleh kejadian gempa, tsunami, gunung api, gerakan tanah dan likuifaksi
dan juga bencana hidrometeorologi, yaitu banjir, kekeringan, kebakaran alamiah dan cuaca ekstrem.
Selain itu ada yang disebabkan oleh peristiwa kosmik, termasuk tumbukan meteor dan badai radiasi
matahari. Besar dampak bencana mulai dari skala lokal, regional sampai skala global dengan tingkat
kerusakan mulai dari gangguan kecil sampai sangat besar. Bencana katastropik didefinisikan sebagai
bencana besar yang dampaknya mampu mengubah sejarah dan kehidupan manusia secara menyeluruh.
Riset geosains kebencanaan mempelajari kejadian bencana alam dalam kaitannya dengan kehidupan
di muka bumi, khususnya manusia.
39

Ilmu Geosains Gempa adalah cabang geosains kebencanaan yang berfokus pada penelitian tektonik
dan sesar yang masih aktif atau berpotensi aktif dalam kaitannya dengan kejadian gempa (Yeats et
al., 1997). Geosains gempa mengaplikasikan semua konsep dan metode survei geosains, termasuk:
ilmu tektonik, geologi struktur, sedimentologi dan stratigrafi, geofisika, geokimia, geobiologi dan
geokronologi untuk meneliti proses dan karakteristik sumber gempa dan aplikasinya dalam mitigasi
bencana (Natawidjaja, 2021). Cabang ilmu geosains yang khusus meneliti kejadian gempa di masa
lalu baik pada masa sejarah atau pra-sejarah disebut sebagai paleoseismologi (McCalpin, 1996).
Dalam dekade terakhir, karena banyak diteliti bukti kejadian gempa dan deformasi pergerakan sesar
serta bahaya ikutannya pada situs budaya kuno, sehingga diperkenalkan istilah riset baru disebut
arkeo-seismologi.

Contoh kaitan siklus gempa-tsunami yang terlihat dampaknya pada kehidupan manusia adalah antara
siklus gempa-tsunami di wilayah Aceh-Andaman dengan sejarah Aceh. Tsunami yang dibangkitkan
gempa megathrust tahun 2004 menewaskan lebih dari 200.000 jiwa dan mengubah Aceh dari masa
suram berkaitan dengan gerakan saparatis menjadi daerah istimewa Nahdatul Aceh Darussalam
(NAD). Dari riset geosains gempa dengan memakai metode paleogeodesi – koral mikroatol (sejenis
karang massif ) dan studi paleotsunami terungkap bahwa bencana gempa-tsunami sebelumnya terjadi
sekira tahun 1450 Masehi (Meltzner, 2010; Monecke, 2008), yaitu saat pergantian pemerintahan
dari masa Kerajaan Samudra Pasai menjadi Kesultanan Aceh Darussalam. Dulu para ahli sejarah
cukup bingung dengan pergantian ini karena Kesultanan Aceh benar-benar pemerintahan baru
bukan kemenerusan dari Samudra Pasai, padahal tidak diceritakan ada peperangan atau perebutan
kekuasaan. Maka, diduga bencana tsunami-lah yang menghancurkan Kerajaan Samudra Pasai (Sieh,
2014). Jadi bencana tsunami sedikitnya sudah dua kali mengubah wajah Aceh (Natawidjaja, 2015b).

Bencana Katastropik Global


Bencana alam mempunyai skala dari kecil atau lokal sampai global. Bencana katastropik global
mengakibatkan kepunahan (sebagian) kehidupan dimuka bumi. Bumi sudah berkali-kali mengalami
bencana katastropik global. Yang paling terkenal adalah tumbukan meteor besar 66 juta tahun
lalu yang menjadi penyebab punahnya bangsa (dino) saurus, hewan-hewan besar yang menguasai
permukaan bumi pada Era Mesozoikum (https://www.nationalgeographic.com/science/article/
dinosaur-extinction). Pada mulanya, kepunahan bangsa saurus ini merupakan misteri besar, sampai
kemudian ahli geologi menemukan satu lapisan batuan tipis berwarna hitam yang terbentuk oleh
material dari muntahan hasil tumbukan meteor, disebut sebagai lapisan tektite (Alvarez et al., 1980).
Tentu para ahli kebumian tidak serta-merta langsung sepakat tapi melalui perdebatan sengit dan
riset-riset terkait, sampai akhirnya semua sepakat setelah ditemukan kawah besar hasil dari tumbukan
meteor tersebut yang tertimbun di bawah lapisan sedimen di Chicxulub, Yucatan Peninsula, Mexico.
Kawah meteor berdiameter 150 km di bawah permukaan tersebut ditemukan secara tidak sengaja oleh
ahli geofisika Glen Penfeld dan Antonio Camargo pada tahun 1978 ketika sedang melakukan riset
eksplorasi minyak bumi. Tumbukan meteor yang diperkirakan berdiamater 10 km mengakibatkan
gangguan besar pada iklim bumi berikut kepunahan massal tumbuhan dan hewan sampai 75%.
40

Kejadian tumbukan meteor ini menjadi pembatas dua Era waktu geologi, yaitu Era Mesozoikum
(Zaman Kapur) dan Era Tersier (Zaman Paleosen), sehingga sering disebut sebagai K-T atau K-P
boundary.

Manusia (Homo sapiens) hidup pada Periode waktu geologi Zaman Kuarter akhir. Pada kurun waktu
ini, terjadi letusan gunung api super volcano Toba 74 ribu tahun lalu (Mark, 2014; Ninkovitch et
al., 1978; Rose and Chesner, 1987; Storey et al., 2012). Letusan raksasa ini merupakan bencana
katastropik global yang diduga menyebabkan bangsa manusia nyaris punah, membuat bottle neck
dalam sejarah populasi manusia (Rampino, 1992, 1993; Rampino and Self, 1991). Lapisan debu
vulkanik tebal yang menyelimuti seluruh atmosfer bumi menyebabkan bumi dingin membeku
seperti Zaman Es selama bertahun-tahun (Rampino and Self, 1991). Letusan Toba terekam di alam
oleh keberadaan lapisan Tufa muda tebal yang menyelimuti permukaan bumi di wilayah Sumatra
Utara, disebut sebagai lapisan YTT (Young Toba Tuff) (Chesner et al., 1991). Muntahan material tufa
Toba ini tersebar jauh ke seluruh dunia.

Selain letusan Toba, ada hipotesis tentang bencana katastropik global yang lebih dekat lagi dengan
kehidupan manusia modern sekarang, yakni terjadi pada batas akhir Pleistosen (~ Paleolitik) dan
awal Holosen (awal Neolitik), bersamaan dengan pergantian iklim bumi dari zaman es ke panas,
11.600 tahun lalu atau 9600 tahun Sebelum Masehi (SM). Bencana katastropik tersebut berkaitan
dengan akhir fasa Younger Dryas (YD) di mana terjadi perubahan iklim ekstrem selama 1300 tahun
dari sekira 12.900 sampai 11.600 tahun lalu (Fiedel, 2011). Setelah puncak zaman es, 20.000 tahun
lalu, suhu bumi terus memanas, salju meleleh dan muka air laut naik. Namun, sekira 12,900 tahun
tiba-tiba suhu bumi anjlok lagi dan Bumi kembali ke zaman es. Teori klasik dari penyebab YD adalah
berkaitan dengan proses pelelehan salju di Greenland yang kemudian bergerak dan masuk ke laut
teluk Meksiko (Broecker, 1988). Massa salju yang besar ini secara drastis menurunkan suhu laut di
Teluk Meksiko yang berfungsi sebagai hot pool dari siklus perputaran air laut dunia dari cold pool
(wilayah kutub) ke hot pool dan seterusnya, disebut sebagai siklus thermohaline. Turunnya suhu
air laut di Teluk Meksiko menyebabkan thermohaline terhenti sehingga iklim bumi terganggu dan
menyebabkan suhunya turun drastis. Zaman Es YD diakhiri secara tiba-tiba juga, ditandai dengan
kenaikan suhu bumi dan muka air laut yang sangat cepat, bahkan ada yang memperkirakan instan.
Dari studi paleontologi, pergantian Periode geologi ini ditandai oleh kepunahan massal hewan-
hewan besar yang pernah hidup di Zaman Es, seperti mammoths, mastodons, stegodons, dan lain-lain
(Gibbons, 2004; Grayson, 1991). Hal yang sangat menarik dalam kaitannya dengan geoarkeologi,
bangsa Clovis berbudaya cukup tinggi yang hidup di Amerika Utara juga ikut punah (Bradley, 2010;
Stanford et al., 2012). Di Indonesia, ras manusia cebol di Flores yaitu Homo Fluoresiensis yang sudah
ada sejak ~100.000 tahun lalu bisa bertahan hidup sewaktu bencana Letusan Toba, namun akhirnya
punah pada masa YD (Sutikna et al., 2016). Jadi bencana katastropik YD tidak bisa disepelekan.

Hasil riset lebih baru tentang penyebab terjadinya YD adalah diduga karena tumbukan meteor yang
juga menjadi penyebab utama kepunahan massal (Firestone, 2007; Van Hoesel, 2013). Kelompok
studi ini mengklaim sudah menemukan material semacam tektite yang dihasilkan tumbukan meteor
tersebut (Bunch et al., 2012; Moore et al., 2020). Riset YD lainnya yang tidak kalah kontroversial
41

adalah data dan analisis yang mengindikaskan bahwa onset YD berkaitan dengan bencana global yang
disebabkan oleh badai plasma matahari yang sangat besar (LaViolette, 2016). Perlu digarisbawahi
bahwa bencana akhir YD ditandai dengan kenaikan muka air laut yang cepat (= banjir/transgresif
besar global) beberapa ratus tahun sebelum terjadi revolusi agrikultur, sekira 11.500 tahun lalu yang
menjadi awal perkembangan peradaban kita.

Sejarah Peradaban dalam Perspektif Geosains


Berbeda dengan konsep siklus dalam sejarah bumi, sejarah peradaban manusia diyakini merupakan
proses linier, dimulai dari kehidupan yang primitif dan secara bertahap berkembang menjadi kehidupan
super modern seperti sekarang. Awalnya dimulai dari kehidupan sangat primitif pra-manusia sampai
kemunculan Homo Erectus sekira 2 juta tahun lalu (Roberts, 2011). Bangsa manusia baru muncul
sekira 300-400 ribu tahun lalu, dimulai dengan Homo Neandhertalensis, dan kemudian Homo
Sapiens muncul sekira 200.000 tahun lalu, berdasarkan data fosil tertua yang ditemukan di Afrika.
Sejak kemunculan Neandhertal, bahkan sejak Homo Erectus, kehidupan manusia selalu digambarkan
sebagai para peramu dan pemburu (i.e., hunterers and gatherers) yang hidup di alam bebas dan tidur
di gua-gua (e.g., Harari, 2014). Jadi gaya hidup ini berlangsung sangat lama dan sepertinya tidak
banyak perubahan sampai terjadi revolusi agrikultur.

Berdasarkan data fosil dan juga analisis DNA, sekira 70.000 tahun lalu terjadi migrasi besar manusia
dari Afrika ke seluruh dunia, dikenal sebagai Teori Out of Africa (Klein, 2008; Oppenheimer, 2003;
Wilshaw). Mulanya, diperkirakan bahwa migrasi manusia ini mulai masuk ke wilayah Indonesia dan
kemudian ke Australia sekira 50 – 55.000 tahun lalu (O’Connell et al., 2018). Namun, temuan fosil
gigi manusia di gua di selatan Payakumbuh yang berumur 73 – 62.000 tahun menunjukkan manusia
sudah ada di Sumatra sebelum 60.000 tahun lalu (Westaway et al., 2017). Pada masa migrasi global
tersebut diinterpretasikan bahwa manusia masih tetap berbudaya sederhana, yaitu kaum peramu
dan pemburu (Harari, 2014). Baru sekira 1l.500 tahun lalu, akhir dari Zaman Pleistosen atau dalam
dunia arkeologi disebut sebagai akhir Zaman Paleolitik, terjadilah revolusi agrikultur atau mulainya
budaya tani (Riehl, 2013). Sejak itu, manusia dianggap baru belajar menetap, dan bermasyarakat.

Namun tidak ada bukti bahwa Homo sapiens mendadak ‘pintar’ 11.500 tahun lalu (Harari, 2014). Hasil
studi fosil tengkorak menunjukkan bahwa volume otak manusia yang hidup sekarang sama besarnya
dengan manusia di awal kemunculan (~200.000 tahun lalu), walaupun diduga ada perubahan bentuk
globular otak yang terjadi antara 100 – 35 ribu tahun lalu (Neubauer et al., 2018). Mungkin alasan
yang sering dikemukakan bahwa kondisi lingkungan bumi baru stabil dan relatif aman dan nyaman
dihuni setelah masuk zaman panas (Holosen) sehingga manusia bisa tenang berpikir, belajar bertani,
menetap dan berkembang. Namun, zaman panas sekarang bukan pertama dalam sejarah manusia
tapi sudah pernah terjadi 135.000 tahun lalu, 65.000 tahun setelah kemunculan manusia.

Harari (2014) berpendapat bahwa revolusi agrikultur 11.500 tahun lalu adalah the biggest fraud of
human history karena menurut dia manusia lebih aman, nyaman dan sejahtera sebagai pemburu dan
peramu; budaya bertani hanya menimbulkan banyak masalah. Satu-satunya ‘keuntungan’ dengan
42

bertani mungkin hanya membuat manusia dapat berkembang biak dengan lebih cepat, tapi buat apa?
(tanya Harari). Harari berargumen bahwa biang kerok fraud ini adalah ditemukannya gandum, padi
dan kentang. Tanaman inilah yang berhasil ‘men-domestikasi’ manusia, bukan sebaliknya, katanya
berseloroh (atau bingung).

Teka-teki lainnya, data perkembangan populasi dunia menunjukkan bahwa pada awal Masehi,
populasi manusia adalah sekira 188 juta orang kemudian naik menjadi sekira 600 juta pada awal
tahun 1700 (https://ourworldindata.org/world-population-growth). Setelah itu, sejalan dengan
revolusi industri populasi manusia naik dengan sangat tajam menjadi 1 miliar di tahun 1800-an
dan menjadi lebih dari 5 miliar pada tahun 1994. Dengan data lebih terbatas, populasi global ini
juga diproyeksikan kebelakang sampai ribuan tahun sebelum Masehi. Populasi manusia diperkirakan
sekira 11.5 juta pada 6000 tahun SM dan hanya 2.4 juta pada 10.000 tahun SM. Apabila kita
ekstrapolasikan terus ke belakang, maka populasi manusia akan mendekati 0 (zero) sebelum mencapai
13.000 tahun SM. Jadi, berdasarkan ektrapolasi data populasi, manusia sangat sedikit pada masa
puncak Zaman Es, 18.000 tahun SM, padahal manusia sudah ada sejak 200.000 tahun lalu. Orang
bisa berargumen bahwa sebelum ada budaya bertani sejak 9.500 tahun SM, populasi manusia dari
mulai kemunculannya selalu sedikit karena harus bertahan hidup dari ancaman binatang buas dan
keganasan alam, namun hal ini dapat diperdebatkan karena tidak berdasarkan bukti.

Oleh karena itu, pertanyaan besar yang dapat dikemukakan di sini, Apakah ada Hiatus pada sejarah
manusia sejak kemunculannya sampai 11 ribu tahun lalu seperti halnya terjadi dalam sejarah bumi?
Sampai saat ini, pemikiran dan indikasi ada peradaban hilang di zaman sebelum 11 ribu tahun lalu
cenderung tidak ditanggapi dengan kritis di kalangan ilmiah. Namun spekulasi adanya peradaban
hilang (lost civilization) ini berjangkit luas di dunia internet dan buku semiilmiah popular (e.g.,
Hancock, 1995; Schoch, 2012) yang cenderung dicap sebagai pseudo sains.

Perlu disimak bahwa Bumi kita sangat tangguh (resilient). Dinamika proses alam mempunyai daya
restorasi luar biasa. Infrastruktur peradaban modern kita yang terlihat besar-kuat-megah dan canggih,
termasuk kota-kota besar, jalan-jalan raya, jembatan dan menara-menara tinggi, akan sirna dalam
tempo relatif singkat apabila tidak dipelihara. Hanya dalam ratusan tahun, monumen tinggi dari
besi dan gedung-gedung beton yang besar akan habis dimakan proses pelapukan menjadi tanah dan
kemudian wilayahnya diambil kembali oleh tetumbuhan dan pepohonon sehingga menjadi hutan
belantara, rawa-rawa dan sebagainya. Semua jejak industri, reaktor nuklir dan sampah radiasi akan
dinetralisasi dan hilang. Infrastruktur peradaban di dekat jalur-jalur sesar aktif akan hancur oleh
gempa, dan yang berada di sepanjang pantai habis tersapu oleh gelombang tsunami. Sebagian lagi
mungkin hilang tertimbun sedimentasi atau terbenam dibawah lapisan tufa dan lahar dari letusan
gunung api. Ilustrasi yang sangat menarik misalnya dapat dilihat dari tayangan National Geografi
berjudul Aftermath: Population Zero – The World without Humans (https://www.youtube.com/
watch?v=l11zPNb-MFg ). Jadi, apabila ada peradaban sebelum 11.000 tahun, apa yang tersisa?
Mungkin hanya bangunan dan artefak dari batu yang masih bisa ditemukan, sehingga disebut sebagai
zaman batu.
43

Bencana Katastropik, Peradaban Hilang


dan Siklus Peradaban
Dari uraian tentang sejarah manusia dan sejarah bumi ada keterkaitan waktu yang sulit untuk
dikatakan kebetulan, yakni peristiwa bencana katastropik global letusan super-vulkanik Toba 74 ribu
tahun lalu dengan migrasi besar-besaran manusia dari Afrika yang terjadi sekira 70 ribu tahun lalu,
dan (hipotesis) bencana alam katastropik YD pada 9600 tahun SM sebelum dimulainya masa budaya
tani pada 9500 tahun lalu, awal dari peradaban kita sekarang. Oleh karena itu, perkenankan di sini
untuk mengemukakan hipotesis tentang alternatif sejarah manusia bahwa perkembangan populasi
dan peradaban itu mungkin tidak linier tapi bersiklus karena berkali-kali dihancurkan oleh bencana
katastropik global. Dengan kata lain, populasi dan peradaban manusia yang sudah berkembang
akan hancur dibinasakan oleh bencana alam katastropis sehingga di-reset lagi ke awal dan mulai
lagi berkembang sampai suatu saat nanti kembali di-reset oleh bencana katastropik berikutnya. Jadi,
populasi dan peradaban manusia boleh jadi sudah pernah berkembang dengan pesat antara 200.000
sampai 74.000 tahun lalu tapi dihancur-leburkan oleh letusan Toba, menyisakan sebagian kecil
populasi. Mungkin sisa-sisa populasi yang selamat tersebar di seluruh dunia (sejalan dengan teori
migrasi global yang multi regional), namun yang terbesar dan paling dominan boleh jadi berada
di Afrika, sehingga kemudian mereka membuat misi besar untuk me-repopulasi dunia. Sejak itu,
populasi dan peradaban manusia berkembang lagi dari awal sampai mencapai puncaknya peradaban,
untuk akhirnya dihancurkan lagi oleh bencana katastropik global di penghujung Pleistosen, yaitu
pada masa Younger Dryas (12.900 – 11.600 tahun lalu) sehingga (hampir) punah lagi. Setelah itu
sisa populasi yang selamat bangkit kembali dengan memulai (lagi) budaya pertanian (yang pernah
dilakukan sebelum YD), menetap dan bermasyarakat sampai peradaban kita sekarang.

Konsep siklus bencana dan peradaban ini sebenarnya bukan hal baru tapi pernah dikemukakan oleh
seorang bijak yang hidup pada masa 400 tahun SM, yaitu Plato, dalam manuscript kunonya Timaeus
and Critias. Di bawah ini adalah kutipannya:

“… There have been, and will be again, many destructions of mankind arising out of many causes;
the greatest have been brought about by the agencies of fire and water, and other lesser ones by
innumerable other causes…. A great conflagration of things upon the earth, which recurs after long
intervals: at such times those who live upon the mountains and in dry and lofty places are more
liable to destruction than those who dwell by rivers or on the seashore… When the gods purge the
earth with a deluge of water, the survivors in your country are herdsmen and shepherds who dwell on
the mountains… After the usual interval, the stream from heaven, like a pestilence, comes pouring
down, and leaves only those of you who are destitute of letters and education; and so you have to begin
all over again like children, and know nothing of what happened in ancient times.…you do not
know that there formerly dwelt in your land, the fairest and noblest race of men which ever lived, and
that you and your whole city are descended from a small seed or remnant of them which survived.
And this was unknown to you, because, for many generations, the survivors of that destruction died,
leaving no written word (dalam Timaeus – PLATO)”
44

Sejujurnya bahwa konsep siklus peradaban ini berasal dari pemikiran sendiri dan diskusi dengan
teman-teman di Tim Terpadu Riset Mandiri sejak tahun 2011. Oleh karena itu ketika pertama kali
membaca cuplikan naskah Plato di atas saya terkesima, sama sekali tidak menyangka. Yang harus
digarisbawahi, seperti yang diakui oleh Plato dalam naskah tersebut, wisdom ini bukan hasil pemikiran
atau hasil penelusuran literatur, namun diambil dari naskah yang sangat tua dari peninggalan Mesir
yang dikumpulkan oleh para pendeta tingginya dan kemudian diberikan sebagai hadiah kepada
Tuan Solon, seorang petinggi negeri Yunani yang berkunjung ke Negeri Mesir pada sekira 600 tahun
SM. Konsep Siklus katastropik peradaban ini diuraikan oleh Plato dalam naskah berkaitan dengan
topik utamanya, yaitu menceritakan Negeri Atlantis dari seberang lautan yang menyerang Eropa
Timur pada masa akhir Pleistosen (akhir Paleolitik) (Natawidjaja, 2013). Naskah kuno ini luar
biasa namun dikesampingkan oleh dunia ilmu pengetahuan karena berkaitan dengan Atlantis yang
cenderung dianggap fantasi atau karangan Plato saja, sehingga di kalangan ilmiah Atlantis dicibir
kalau dikemukakan. Mungkin yang serius membaca naskah Plato hanya para ahli ilmu sosial atau
sejarah yang berbeda kacamatanya (Kershaw, 2018), bukan ahli geosains dan ilmu eksakta. Ada satu
paragraf dalam Naskah Plato yang ketika dibaca pertama kali langsung menyentak pikiran saya, yaitu:

“There was a time, Solon, before the great deluge of all… She founded your city, … of which the
constitution is recorded in our sacred registers to be… nine thousand years ago (dari 600 tahun SM)
… in this island of Atlantis there was a great and wonderful empire which had rule over the whole
island… afterwards there occurred violent earthquakes and floods; and in a single day and night
of misfortune all your warlike men in a body sank into the earth, and the island of Atlantis in like
manner disappeared in the depths of the sea. For which reason the sea in those parts is impassable and
impenetrable because there is a shoal of mud in the way; and this was caused by the subsidence of the
island (atau naiknya muka air laut). (dicuplik dari Timaeus – PLATO) “

Kontan saya membatin, bagaimana mungkin Plato bisa tahu tentang kejadian bencana katastropik
yang disertai kenaikan muka air laut drastis tepat pada 9600 tahun SM (batas Pleistosen – Holosen/
Paleolitik - Neolitik) padahal ilmu geologi belum ada, apalagi data sejarah muka air laut; tidak
mungkin dia mampu ‘berbohong’ dengan se-waskita itu, jadi sudah pasti bukan karangan Plato tapi
berasal dari naskah kuno,… Plato Tidak Bohong (Natawidjaja, 2013).

Bencana banjir global yang pernah terjadi di bumi tidak hanya diceritakan oleh Naskah Plato tapi
juga terdapat pada naskah kuno beraksara cuneiform atau huruf paku yang tertulis pada tablet Sumeria
terbuat dari tanah liat dari sekira 2000 tahun SM (Finkel, 2013). Umumnya orang menginterpretasikan
bahwa banjir besar terjadi pada masa yang jauh lebih kuno lagi sebelum ceritanya dituliskan dalam
tablet. Cerita pada tablet Sumeria mirip dengan cerita banjir Nabi Nuh dalam kitab suci dari hampir
semua agama besar di dunia, hanya di tablet pahlawannya bernama Utnapishtim. Dalam agama
diceritakan bahwa umat manusia hampir punah kecuali sekelompok kecil yang ikut bersama bahtera
Nuh. Setelah banjir usai, Nabi Nuh beserta pengikutnya kembali membangun kehidupan manusia
dari awal lagi. Dalam Kitab Veda Agama Hindu pahlawan yang selamat dari bencana banjir besar
bernama Manu. Jadi agama pun sebenarnya sudah mengajarkan konsep siklus peradaban, yaitu
45

bencana katastropik, peradaban yang hilang/hancur dan awal dari peradaban berikutnya. Jadi, apakah
bencana banjir Nuh dan banjir Atlantis itu merujuk ke bencana katastropik yang sama? Silahkan
direnungkan sendiri.

Tantangan Kelangkaan Data Fisik dan Kronologi


Kelangkaan data adalah masalah utama dalam memahami sejarah bumi dan sejarah manusia. Dalam
riset gempa, sains geologi-geofisika gempa dan dunia komputasi pemodelan untuk memahami siklus
gempa sudah sangat maju, namun hal ini terhambat oleh ketiadaan data sejarah dan paleoseismologi
dari siklus gempa yang periodenya ratusan sampai ribuan tahun sehingga pengembangan model jadi
terhambat karena hasilnya tidak bisa divalidasi atau dikonfirmasi oleh data. Di Indonesia, siklus
gempa besar pembangkit tsunami yang sudah lumayan datanya baru di Sumatra (e.g. Briggs et al.,
2006; Chlieh et al., 2006; Chlieh et al., 2008; Hill, 2012; J. et al., 2010; Konca et al., 2008; Meltzner,
2015; Natawidjaja, 2005a; Natawidjaja, 2012; Natawidjaja et al., 2007; Natawidjaja et al., 2006;
Natawidjaja et al., 2004; Philibosian et al., 2012; Rivera et al., 2002; Sieh, 2008; Subarya, 2006).
Sumber gempa-tsunami di wilayah lainnya belum banyak diketahui sehingga menjadi tantangan
besar untuk tindakan mitigasinya.

Seperti halnya gempa, teori dan rekonstruksi sejarah kehidupan manusia, khususnya sejarah Indonesia
juga tidak mudah karena data fosil dan jejak kehidupan manusia amat sangat langka dan sulit untuk
didapatkan, demikian juga data kronologinya, sehingga pengetahuan yang ada lebih bergantung pada
asumsi dan persepsi, bukan data faktual. Untuk wilayah Indonesia, negeri tropis di wilayah Cincin
Api Pasifik yang proses geologis dan biologisnya sangat aktif dan dinamis, bukti fosil, artefak dan
jejak kehidupan manusia sebagian besar mungkin sudah musnah atau tersembunyi di dalam semak
belukar dan hutan belantara, atau hilang tertimbun di dalam tanah karena proses sedimentasi dalam
jangka waktu lama atau tertimbun seketika oleh muntahan material letusan gunung api, atau ada
juga yang tertimbun oleh proses longsoran atau likuifaksi seperti yang terjadi pada sebagian komplek
perumahan besar di Kota Palu sewaktu gempa tahun 2018 (Natawidjaja et al., 2020). Selain itu,
sebagian wilayah yang dahulu di huni manusia pada zaman es, seperti laut Jawa dan Selat Karimata,
sekarang sudah hilang di bawah laut karena proses kenaikan muka air laut sampai 130 m. Indonesia
(Sundaland) yang tenggelam sekarang sudah dikenal dunia sebagai benua yang tenggelam (the sunken
continent) (Natawidjaja, 2013). Karena keindahan, kesuburan dan kekayaan sumber alamnya oleh
Prof. Stephen Openheimer disebut sebagai Eden in the East, the Drowned continent of Southeast Asia
(1999)

Stephen Openheimer, seorang dokter dari UK yang lama bekerja di pedalaman Papua dan Kalimantan
sangat takjub dengan keragaman budaya Nusantara yang menurut dia jauh lebih kaya dari daratan
Asia sehingga heran kenapa dalam sejarah digambarkan seolah-olah budaya Nusantara adalah turunan
budaya para pendatang dari Asia (Oppenheimer, 1999). Kepenasarannya membuat dia melakukan
penelitian archeo-genetics, yaitu riset DNA untuk melacak asal-muasal dan pergerakan manusia di
masa lampau. Hasil risetnya menunjukkan bahwa nenek moyang Nusantara sudah ada sejak zaman
es, sesuai dengan Teori Out of Africa. Budaya nenek moyang Nusantara diperkirakan sudah tinggi
pada zaman sangat kuno seperti dikonfirmasi oleh keberadaan lukisan gua bernilai seni sangat tinggi
46

di Maros, Sulawesi Selatan yang berumur sekira 45.000 tahun (Brumm et al., 2021) dan juga banyak
ditemukan di Kalimantan (Fage et al., 2010). Hasil riset menunjukkan bahwa peristiwa es mencair
dan muka air laut yang terus naik memecah daratan Sunda menyebabkan nenek moyang Nusantara
harus bertahan hidup dengan mengembangkan teknologi pelayaran (yang pertama di dunia), terjadi
mulai sekira 15.000 tahun lalu. Harari, dalam bukunya yang sangat popular malah mempercayai
bahwa kepandaian berlayar dari bangsa Nusantara sudah ada sejak 45.000 tahun lalu (Harari, 2014).
Pemikiran ini sesuai dengan keberadaan lukisan perahu pada lukisan gua di Maros yang berumur
~40.000 tahun.

Berbeda dengan hasil riset di atas Peter Bellwood seorang ahli linguistic Australia mengatakan bahwa
nenek moyang Nusantara (yang beradab) adalah para pendatang dari Yunnan di daratan China via
Taiwan yang membawa budaya tani dan beternak di sekira 5000 tahun lalu, dikenal sebagai Teori Out
of Taiwan (Bellwood, 1997). Openheimer dan juga William Solheim, seorang arkeolog USA, tidak
sependapat. Openheimer tidak melihat ada pergerakan masa besar dari Yunnan pada 5000 tahun lalu,
tapi yang terjadi sebaliknya, yaitu ada pergerakan populasi besar keluar dari Indonesia ketika peralihan
zaman es ke zaman panas, dikenal sebagai Teori Out of Sundaland. Solheim berpendapat bahwa
walaupun ada pendatang dari Taiwan bukan membawa kebudayaan tapi hanya melakukan perjalanan
berdagang saja (Solheim, 2000). Walaupun demikian, Bellwood memenangkan peperangan dalam
dunia literatur dan teorinya diadopsi untuk sejarah Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah
sampai sekarang sebagai satu kebenaran.

Selain keterbatasan data peninggalan fisik dari budaya masa lalu, masalah utama lainnya adalah
kelangkaan data kronologi umur absolut dari tinggalan budayanya. Sebagian besar penanggalan situs
budaya, khususnya candi-candi, perkiraan umurnya lebih berdasarkan konsep dan persepsi yang
sudah diterima ditambah dengan studi perbandingan dengan peninggalan serupa di tempat lain (yang
mungkin juga tidak ada umur absolutnya). Sebagian kecil yang sudah ada studi umur absolutnya,
misalnya dengan carbon dating, masih terbatas analisisnya, belum komprehensif. Bukti faktual yang
dipakai umumnya sebatas sumber naskah kuno atau prasasti yang memuat tahun pembuatannya
dalam tahun çaka yang kemudian diterjemahkan ke dalam tahun Masehi.

Masalahnya, interpretasi tahun çaka ke masehi ini sepertinya tidak punya alasan atau bukti ilmiah
yang jelas, melainkan kesepakatan yang sudah lama mengacu ke literatur terdahulu sejak Zaman
Belanda, yakni umur masehi adalah umur çaka ditambah 78 tahun. Dengan kata lain, permulaan
tahun çaka diterjemahkan menjadi tahun 78 Masehi, padahal çaka adalah kalender yang (jauh) lebih
tua dari Kalender Masehi. Tahun çaka di Indonesia mungkin dianggap sama dengan Tahun Saka
Era di India. Tahun Saka Era ini dibuat atau di-reset ke awal ketika Raja Chastana memerintah India
dari tahun 78 sampai 130M. Kalender Saka Lama (Old Saka Era), yaitu kalender Hindu, tahun
permulaannya tidak ada yang tahu, tapi di yakini dimulai sejak ribuan tahun lalu bahkan mungkin
sampai 10 ribu tahun sebelum Masehi (permulaan kalender Hindu). Tidak ada alasan yang jelas
kenapa tahun çaka di naskah kuno dan prasasti Indonesia kemudian mengacu ke tahun Saka Era
India tersebut.
47

Mungkin budaya (hindu) Indonesia dianggap sebagai turunan dari India yang dalam sejarah sudah
mempunyai peradaban yang sangat tinggi dengan puncak keemasannya pada 2600 tahun SM, yaitu
peradaban Mohenjodaro & Harappa di Lembah Indus yang meninggalkan banyak bangunan besar
berstruktur bata merah (McIntosh, 2008); sedangkan munculnya kerajaan dan budaya tulisan di
Indonesia baru ditemukan sekitar 400 M (berdasarkan batu bertulis Kutai dan Tarumanagara). Satu
hal yang menurut kacamata geosains kurang masuk akal karena peradaban tinggi biasanya akan
menempati wilayah yang sumber daya alamnya tinggi, padahal alam Indonesia lebih indah dan kaya
dibanding semenanjung India. Yang menggelitik, dalam literatur Tamil India disebutkan bahwa nenek
moyang Tamil adalah ras Dravidian berbudaya tinggi datang dari sebuah benua yang tenggelam di
Lautan Hindia pada akhir zaman es, disebut sebagai Kumari Kandam pusat peradaban di masa sangat
kuno (https://en.wikipedia.org/wiki/Kumari_Kandam). Disebutkan juga dalam naskah Tamil bahwa
peradaban Lembah Indus adalah sisa dari peradaban nenek moyangnya tersebut. Dari sejarah geologi
di zaman es, tidak ada daratan besar atau benua yang tenggelam di Lautan Hindia selain Daratan
Sunda dan Sahul.

Dalam sejarah bencana alam Indonesia, tahun çaka ini mempunyai masalah sendiri. Contohnya
dalam Kitab Pustaka Raja Parwa disebutkan tentang adanya “Letusan katastropik Gunung Krakatau
Purba yang diceritakan terjadi pada Çaka 338 yang diterjemahkan menjadi tahun 416 Masehi.
Masalahnya, dalam data geologi dan juga sejarah dunia, tidak ada letusan besar pada tahun tersebut.
Letusan besar Krakatau purba diduga terjadi ribuan tahun sebelum Masehi (masih harus diteliti
lebih lanjut). Contoh lain, dalam buku yang memuat sejarah bencana alam berdasarkan berbagai
catatan termasuk naskah-naskah kuno dikumpulkan oleh Wichman (1918) disebutkan diantaranya
bahwa “Pada tahun 1200 M (dari Çaka 1122) Terjadi pemisahan Jawa dan Sumatra sejalan dengan
pembentukan Selat Sunda”, padahal menurut sejarah geologi pemisahan Pulau Jawa dan Sumatra
terjadi antara 7000 sampai 5000 tahun SM karena kenaikan muka air laut sejak akhir YD.

Singkat kata, kronologi sejarah Indonesia perlu serius dikaji kembali secara multidisiplin. Ahli sains
kebumian dapat berkontribusi dengan meneliti kronologi berbagai peristiwa atau bencana alam yang
terkait sejarah, peneliti geologi dan arkeologi dapat bersama-sama melakukan dating umur absolut
dari semua situs dan tingalan fisik budaya dengan berbagai metode dating, sedangkan ahli sejarah
dan kalender dapat duduk bersama-sama untuk menggali kembali dasar-dasar untuk menerjemahkan
tahun çaka ke masehi.

Aplikasi Konsep dan Metode Geosains


untuk Geo-Arkeologi
Dari uraian permasalahan di atas, ada dua hal utama yang dapat dilakukan untuk riset situs budaya
dan sejarah bangsa. Yang pertama adalah perlu dilakukan pemetaan dan pencarian jejak fisik situs
budaya dengan lebih baik, termasuk pemetaan di atas permukaan dan juga pemindaian bawah
permukaan untuk mencari peninggalan budaya yang tertimbun. Kemudian melakukan studi untuk
menentukan umur absolut dengan cara radiometric dating dari semua situs-situs budaya. Metode
48

dan teknologi pemetaan, pemindaian bawah permukaan serta dating sudah lebih banyak diterapkan
dan dikembangkan dalam bidang geosains. Penerapan konsep dan metode geosains dalam bidang
arkeologi biasa disebut sebagai geo-arkeologi.

Bidang geosains kegempaan dan geo-arkeologi mempunyai banyak kesamaan dalam hal fokus jendela
waktu dan metode yang dipakai. Fokus waktu dari objek yang ditelitinya adalah Zaman Pleistosen
(akhir) sampai Holosen dan Resen atau dalam skala puluhan-ratusan-ribuan-sampai ratusan ribu tahun
lalu, walaupun objeknya berbeda. Objek geosains gempa adalah sesar aktif dan gempa, sedangkan
objek geo-arkeologi adalah jejak tinggalan budaya masa lalu (dalam interaksi dan kaitannya dengan
proses dan kejadian alam). Fokus waktu yang sama berarti objeknya sama-sama berada pada lapisan
tanah/batuan Kuarter (Pleistosen dan Holosen sedimen).

Dalam hal pemetaan permukaan, baik riset sesar aktif – gempa atau geo-arkeologi juga sama sama
dapat memanfaatkan foto udara atau citra satelitresolusi tinggi dan data topografi digital DEM
resolusi tinggi teknologi yang sudah tersedia atau melakukan survei pemetaan dengan Drone
(UAV) dan teknologi LIDAR yang dibantu oleh software untuk pengolahan 3D dan analisis GIS.
Primadonanya adalah LIDAR karena resolusinya di bawah 1 meter sehingga menangkap bentukan-
bentukan kecil dan juga dapat menembus lebatnya tumbuhan dan pepohonan untuk memetakan
morfologi permukaan tanahnya dengan akurat.

Data DEM resolusi tinggi dan teknologi pemetaan Drone dan LIDAR berperan sangat penting dalam
identifikasi dan pemetaan jalur sesar aktif/gempa (Natawidjaja, 2021) seperti yang dilakukan untuk
riset di Sesar Lembang (Daryono et al., 2018), Sesar Sumatra (Natawidjaja, 2018), dan Sesar Palukoro
setelah gempa Palu tahun 2018 (Natawidjaja et al., 2020). Dalam survei untuk geo-arkeologi, metode
LIDAR terbukti efektif dalam memetakan struktur komplek percandian di Angkor Watt yang sebagian
masih tersembunyi di dalam hutan di sekitarnya (https://angkorlidar.org/2015/04/first-look-at-the-
2015-lidar-data/). Sehingga sekarang terungkap bahwa komplek Angkor Watt ternyata jauh lebih
besar dan lebih spektakuler dari yang diketahui sebelumnya. Contoh lain adalah aplikasi LIDAR di
hutan belantara El Mirador, Guatemala di mana berhasil menguak mega struktur dari 25 kota kuno
dengan jaringan jalan raya besar dan banyak sekali bangunan piramid yang salah satunya adalah
Pyramid La Danta yang volumenya lebih besar dari Pyramid Giza (https://miradorbasin.com/).

Kesamaan lainnya, geosains gempa dan geo-arkeologi dapat memanfaatkan teknologi pemindaian
bawah permukaan dengan metode geofisika dangkal, seperti Ground Penetration Radar (GPR)
atau georadar, Earth Resistivity Tomography (ERT) atau biasa disebut geolistrik, Seismic Refraction
Tomography (SRT), geomagnet, dan micro gravity. Dalam survey sesar gempa yang dipindai adalah
struktur geologi bawah permukaan terutama struktur sesar aktif (Natawidjaja, 2021), sedangkan
dalam geo-arkeologi yang dipindai adalah struktur artisial yang terkait budaya manusia, seperti
bangunan kuno atau candi yang masih terpendam di bawah tanah, artefak-artefak di bawah tanah,
bekas makam kuno, dan berbagai infrastruktur kuno dan dalam kaitannya dengan sejarah, proses,
kejadian dan fitur alam di sekitarnya.

Penentuan umur absolut adalah permasalahan utama baik dalam geosains gempa, khususnya
paleoseismologi dan pengukuran sliprate geologi ataupun untuk (geo) arkeologi karena menyangkut
49

kronologi sejarah. Penentuan umur absolut umumnya menjadi hal paling sulit dikarenakan sampel
yang bisa ditentukan analisis tidak ditemukan atau kalaupun ada tapi kurang baik (tidak ideal). Metode
dating banyak metode dan teknologinya. Yang paling sering dan paling mudah dilakukan adalah
metode radiokarbon. Analisis carbon dating harus dilakukan dengan sangat hati-hati, menyangkut
dua faktor utama, yaitu: 1. Sampel karbon yang diambil merepresentasikan umur apa? dan 2. Faktor
pengotoran carbon oleh unsur yang lebih muda. Analisis radiokarbon dating lebih baik memakai
metode Accelerator Mass Spectrometer (AMS) karena umumnya unsur karbon dari sampel yang kita
ambil biasanya hanya sedikit mengandung unsur karbon (kecuali sampel arang besar, kayu, dll).
Metode AMS dapat menganalisis sampel dengan kadungan karbon hanya 1 mg atau lebih sedikit lagi,
sedangkan metode carbon dating konvensional membutuhkan unsur karbon yang jauh lebih banyak.
Di Indonesia belum ada lab AMS sehingga harus dikirim ke luar negeri.

Aplikasi pemetaan LIDAR yang dikombinasikan dengan survei GPR dan magnetometer di situs
Stonehenge dan wilayah sekitarnya berhasil memperlihatkan bahwa Stonehenge yang spektakuler
ternyata hanya bagian kecil dari kawasan situs megalith yang jauh lebih besar termasuk ditemukannya
banyak struktur lubang dan paritan besar yang sezaman di sekeliling monument megalithnya. Analisis
radiocarbon dating yang dilakukan lebih komprehensif lagi menyimpulkan umur Stonehenge adalah
3500 tahun SM, lebih tua dari perkiraan sebelumnya (https://www.youtube.com/watch?v=Kx_
fjg0CYOk).

Situs Budaya Kuno yang Enigmatik


di Indonesia dan Dunia
Di Indonesia sebagian banyak situs termauk kawasan situs besar yang sudah sangat dikenal belum
dilakukan studi geoarkeologi yang komprehensif, khususnya survei pemindaian bawah permukaan
dan analis umur absolut. Situs besr tersebut termasuk: Kawasan Candi Borobudur, Prambanan, dan
Candi Ratu boko di jawa Tengah; Kawasan Candi Trowulan dan Kawasan Candi yang ada di Gunung
Penosogan, Jawa Timur; Kawasan Candi Muoro Jambi, Sumatra; dan Kawasan Candi Batujaya di
Karawang, wilayah DKI Jakarta.

Budaya peninggalan megalith bahkan jauh lebih minim datanya karena lebih sulit untuk diriset
memakai metode arkeologi tradisional karena umumnya berada di tempat yang lebih sulit dijangkau,
tidak memperlihatkan budaya tulisan, tidak ada artefak keramik, dan jarang ada tinggalan lainnya selain
artefak batu itu sendiri; dan jauh lebih sulit lagi untuk menentukan umurnya. Hal ini menyebabkan
hasil riset peninggalan megalith umumnya sangat klise, yaitu merupakan budaya megalith tinggalan
nenek moyang nusantara yang masih berbudaya sederhana pada sekian ratus atau ribu tahun SM dan
mempunyai kepercayaan animisme dan dinamisme atau menyembah arwah para leluhur. Sehingga
tinggalan budaya ini menjadi kurang menarik bagi sebagian besar para arkeolog dan juga masyarakat
umum. Padahal, banyak situs megalith yang spektakuler di Indonesia. Apabila diriset dengan benar
dapat menjadikan kawasan situs ini menjadi sentra-sentra pariwisata edukasi dan boleh jadi dapat
mengubah sejarah serta pandangan tentang nenek moyang bangsa Indonesia di masa pra-sejarah. Di
bawah ini akan diuraikan contoh beberapa situs megalith Indonesia yang luar biasa.
50

Situs Megalith Gunung Padang di Jawa Barat


Situs megalith Gunung Padang di wilayah antara Sukabumi – Cianjur Jawa Barat berada di puncak
sebuah bukit dengan ketinggian sekira 200 meter dari kaki bukitnya yang dikelilingi cabang sungai
besar Cimandiri. Situs ini terdiri dari susunan teras batu menghadap utara ke Gunung Gede –
Pangrango. Keberadaan situs pertamakali dilaporkan oleh ahli geologi belanda Dr. Verbeek sejak
awal tahun 1800-an, kemudian tahun 1914 dilaporkan kembali oleh arkeolog N.J. Krom kepada
Pemerintah Belanda sebagai situs pemakaman purba. Laporan ini sepertinya tidak ditindaklanjuti
karena mungkin dianggap tidak penting. Setelah sekian lama, pada tahun 1979 penduduk lokal
melaporkan lagi keberadaan situs ini kepada Pemerintah Indonesia. Sejak itu dilakukan kegiatan
penelitian oleh Arkenas dan berbagai instansi lainnya. Pada tahun 1985, pemerintah melakukan
pemugaran situs; kemudian tahun 1998 Situs Gunung Padang ditetapkan sebagai Cagar Budaya
Tingkat Daerah yang diklasifikasikan sebagai struktur punden berundak yang banyak tersebar di
berbagai wilayah Indonesia (Bintarti, 1982; Tim-Peneliti, 2003).

Batuan yang dipakai untuk penyusun situs adalah batuan andesitic-basalt columnar joint, yaitu
berupa batangan kolom segi enam, segi lima, dan segi empat yang terbentuk dari proses alamiah
pembekuan cairan magma atau lava panas ketika menjadi batu. Di luar Indonesia, situs megalith
besar yang memakai batuan serupa adalah Nan Madol di Kep. Mikronesia di Lautan Pasifik (https://
en.wikipedia.org/wiki/Nan_Madol). Teknik arsitektur terasering batuan seperti Gunung Padang juga
banyak terdapat di kebudayaan Maya – Inca di Amerika Selatan, contohnya yang sangat terkenal
adalah Machu Pichu di Peru.

Gunung Padang adalah satu-satunya situs budaya di Indonesia yang sudah di-survey dengan metoda
geoarkeologi dengan cukup intensif dan komprehensif. Survey dilakukan selama 3 tahun dari 2011
sampai 2014 oleh para pneliti yang tergabung dalam Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM) yang
difasilitasi oleh Staf Khusus Presiden Bidang Sosial dan Kebencanaan Periode 2009–2014 dan
Mensetneg. Riset TTRM mengaplikasikan hampir semua metode yang biasa dilakukan untuk riset
sesar aktif, yakni: 1. Analisis dan pemetaan morfologi secara regional dengan data topografi resolusi
tinggi yaitu IFSAR 5m grid dan pemetaan lokal-detil memakai survey total station dan menggunakan
drone (UAV), 2. Survei geofisika bawah permukaan dengan GPR, ERT, SRT, dan magnetometer,
3. Pengeboran inti (core drilling) serta 4. Trenching geoarkeologi oleh tim gabungan ahli geologi
dan arkeologi (Natawidjaja et al., 2016). Integrasi multisurvei ini berhasil memindai struktur bawah
permukaan bukit Gunung Padang yang memperlihatkan bahwa struktur megalith Gunung Padang
tidak hanya di permukaan puncak bukit seperti yang disangka sebelumnya namun melempar ke bawah
lereng bukit dan juga ke dalam tanah sampai kedalaman lebih dari 50 meter. Bukit Gunung Padang
asalnya memang bentukan geologi, yaitu merupakan bukit batuan lava gunung api, kemungkinan
bekas kepundan gunung api purba (Zaman Tersier). Namun bukit alamiah ini sudah dirombak atau
dipahat oleh manusia dan kemudian dilapisi oleh susunan batuan artifisial secara bertahap dalam
beberapa periode sampai setebal ~15 m. Dengan kata lain, pengeboran inti di puncak bukit harus
menembus susunan batuan artifisial dari situs megalith ini sampai setebal 15 m sebelum mencapai
batuan dasar alamiahnya berupa batuan massif lava vulkanik.
51

Profil 2D dan model 3D dari hasil ERT yang diintegrasikan dengan profil 2D radargram dari hasil
survei GPR dan profil 2D hasil survei SRT memperlihatkan banyak bentukan struktur lapisan batuan
artifisial yang menarik, termasuk keberadaan rongga-rongga besar yang diduga ruang-ruang artifisial
bawah tanah, walaupun boleh jadi dulunya (sebagian) merupakan rongga alamiah di dalam tubuh
batuan lava (i.e. lava tube). Hasil eskavasi paritan geoarkeologi sebanyak lebih dari 12 lokasi di sekitar
bukit dengan kedalaman rata-rata 2–4 meter ditambah satu test pit yang digali sampai kedalaman 11
meter membuktikan secara visual tentang keberadaan lapisan batuan artifisial di bawah situs megalith,
bukan lapisan batuan alamiah (Natawidjaja, 2015a).

Hasil analisis pendahuluan carbon dating dengan metode AMS yang dilakukan di Lab BETA Analytic,
USA mengindikasikan bahwa struktur Gunung Padang megalith mempunyai sedikitnya tiga lapisan
yang dibangun dalam tiga masa yang berjauhan. Yang paling tua kemungkinan dibangun sebelum
Zaman Holosen (sebelum 9.600 tahun SM), yang kedua dibangun sekira 7.000 tahun SM, dan yang
terakhir di permukaan dibangun sekira 1000 tahun SM atau lebih muda (Natawidjaja et al., 2018).
Perlu digarisbawahi bahwa umur-umur ini walaupun cukup konsisten dan sesuai dengan tingkat
pelapukan batuannya namun perlu dikaji lebih lanjut dengan analisis umur absolut yang lebih rinci
dan komprehensif. Poster berisi data yang lebih rinci dari hasil studi geo-arkologi Gunung Padang
dapat diunduh di open access online: https://www.essoar.org/doi/abs/10.1002/essoar.10500119.1
Destinasi ini destinasi favorit yang mulanya paling banyak pengunjungnya, dan sekarang masih
kedua terbanyak. Posternya sudah di-download lebih dari 4000 kali.

Jadi dari segi metode survei, Gunung padang adalah contoh yang cukup komplit untuk aplikasi
metode geosains dalam geoarkeologi, malah di tingkat dunia pun mungkin yang paling lengkap
surveinya. Dari segi hasil cukup mencengangkan karena baru pertama ditemukan ada situs megalith
ternyata berupa struktur bangunan besar yang tertimbun di bawah tanah dan diduga mempunyai
rongga-rongga besar seperti ruangan-ruangan dan lorong-lorong, seperti bangunan piramid. Yang
lebih mencengangkan adalah umurnya yang mulai dibangun pada masa sebelum budaya tani,
sehingga merupakan enigma untuk sejarah manusia yang kita pahami sekarang, apalagi Indonesia
dikatakan baru masuk sejarah (ada tulisan) sekira 400 M. Tapi Gunung Padang tidak sendiri, ada
yang serupa yaitu Situs Göbekli Tepe, seperti akan diuraikan di bawah.

Di samping aspek ilmiah, riset Gunung Padang adalah bukti konkret bahwa masyarakat umum sangat
antusias terhadap (alternatif ) sejarah Nusantara dan isu peradaban hilang. Kegiatan dan publikasi mass
media dari hasil riset menaikkan jumlah pengunjung sangat drastis, dari yang tadinya hanya puluhan
orang menjadi ribuan orang per bulannya. Jadi, riset berdampak nyata untuk dunia pariwisata.
Respons pemerintah pun positif. Status Gunung Padang peringkatnya naik dari Situs Budaya Tingkat
Daerah menjadi Situs Budaya Nasional pada tahun 2014. Hasil riset juga mendorong dikeluarkannya
kebijakan pemerintah dari tingkat pusat sampai daerah, termasuk Peraturan Presiden Republik
Indonesia No. 148 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Perlindungan, Penelitian, Pemanfaatan, dan
Pengelolaan Situs Gunung Padang. Sayangnya Perpres ini tidak dilaksanakan dengan semestinya.
52

Gambar 1 Penerapan metoda geofisika untuk geo-arkeologi di Gunung Padang. A. GPR (Ground Penetration
Radar), B.ERT (Earth Resistivity Tomography, C. SRT (Seismic Refraction Tomography), D.
Core Drilling.

Gambar 2 Eskavasi geo-arkeologi di Gunung Padang.


53

Gambar 3 A. Pemotretan 3D dengan drone (UAV), B. Hasil pemindaian struktur bawah permukaan di
Gunung Padang

Situs Göbekli Tepe di Turki


Göbekli tepe adalah Kawasan situs megalith yang sangat besar di dekat Kota Urfa atau Sanliurfa, Kota
Kuno di Anatolia Selatan di bagian tenggara Turki. Struktur megalith terdiri dari pilar-pilar besar
dari batu gamping yang dipahat dengan sangat halus dan indah dan disusun membentuk bangunan
melingkar dengan diameter sampai 20 m, berjumlah banyak sekali menempati wilayah luas. Pilar-
pilar tersebut berbentuk T dan ukirannya menunjukan sebagai personifikasi manusia. Pada pilar-
pilar batu tersebut diukir berbagai macam jenis binatang (Peters and Schmidt, 2004). Di bawah
lingkaran menhir-menhir berukir ini ditemukan lantai datar yang terbuat dari batuan gamping yang
dikeraskan atau dipadatkan. Yang sudah berhasil digali sejak tahun 1994 berjumlah lebih dari 16
lingkaran megalith menempati wilayah seluas 22 hektare (https://www.smithsonianmag.com/history/
Gobekli-tepe-the-worlds-first-temple-83613665/). Di duga yang sudah tergali ini masih sebagian
kecil, sehingga dapat dibayangkan betapa besarnya komplek megalith ini; Jadi merupakan karya
arsitektur yang extravaganza. Tapi yang membuat jadi sangat istimewa adalah hasil analisis dating-nya
yang menunjukkan situs ini dibangun 11.500 tahun lalu atau 9.500 tahun SM, awal dari Zaman
Neolitik jauh sebelum budaya logam. Sampai saat ini tidak pernah ditemukan ada kerangka manusia
sehingga Göbekli Tepe diinterpretasikan sebagai kuil atau candi tempat pemujaan yang tertua di
dunia (Schmidt, 2010). Göbekli Tepe sudah menjadi Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 2018.

Göbekli Tepe pertama kali ditemukan di awal tahun 1960 oleh University of Chicago dan Istambul
University namun ditinggalkan begitu saja karena dianggap hanya sisa-sisa dari pilar kuburan kuno
Zaman Medieval (abad pertengahan) yang tidak penting, mirip dengan nasib megalith Gunung
Padang. Tahun 1994, Klaus Schmidt, professor arkeolog dari Jerman, mengunjungi tempat ini dan
matanya yang awas melihat bahwa morfologi bukit yang berbentuk bulat landai dan puncaknya
terangkat setinggi 17-meter dari dataran di sekitarnya adalah bukan bukit alamiah melainkan bukit
artifisial (mound) hasil karya manusia, dan terbukti pandangan matanya ini tidak salah (Schmidt,
54

2000). Göbekli Tepe mulai digali sejak tahun 1996 sampai Prof. Schmidt meninggal dunia tahun
2014 pada usia 60 tahun sebelum pekerjaannya benar benar selesai (https://en.wikipedia.org/wiki/
Klaus_Schmidt_(archaeologist)).

Seperti halnya Gunung Padang, Göbekli Tepe adalah enigma bagi sejarah perkembangan peradaban
manusia. Bagaimana mungkin ada konstruksi bangunan arsitektur yang sangat besar yang dibuat
untuk komplek kuil keagamaan ketika manusia masih berbudaya sederhana sebagai para pemburu
dan peramu. Teori kebudayaan menjelaskan bahwa manusia harus berbudaya tani dahulu untuk
dapat menetap dan bermasyarakat, kemudian baru mendirikan kuil agama untuk dipakai bersama.
Untuk kasus Göbekli Tepe, logika normal ini terpaksa harus diputar balik. Pada pilar-pilar batu nya
diukir berbagai macam jenis binatang, dan yang membingungkan (apabila berasumsi pembuatnya
para pemburu dan peramu) ragam binatangnya adalah berbagai macam binatang berbahaya, seperti
ular, harimau, dan kalajengking; bukan binatang buruan.

Situs Megalith Lembah Bada-Besoa-Napu


di Sulawesi Tengah
Di wilayah perbukitan Sulawesi Tengah di antara Danau Poso dan Danau Lindu terdapat tiga dataran
lembah besar, bernama lembah Napu, Bada dan Besoa yang lokasi berdekatan yang panoramanya
sangat indah mempesona dikelilingi bukit-bukit yang menjulang tinggi terdiri dari batuan granit dan
metamorfik. Wilayah ini mempunyai aktivtias kegempaan yang sangat tinggi karena berada di antara
dua jalur sesar aktif besar, yaitu Sesar Matano dan Sesar Palukoro (Daryono, 2016). Di kawasan
tiga lembah ini terdapat banyak patung-patung besar dan kalamba wadah batu yang sangat besar
berbentuk selinder yang di tengahnya dilubangi, terbuat dari batu granit massif. Tinggi patung batu
paling besar mencapai lebih dari 5-meter dengan berat sampai 30 ton, sedangkan diameter kalamba
sampai 3-meter. Patung dan kelamba megalith ini banyak sekali, berserakan di mana-mana, di padang
alang belalang lembah, di atas bukit, di sungai, dan di alam hutan belukar. Yang sudah menjadi situs
arkeologi hanya sebagian kecil saja, Sebagian besar lainnya masih tersembunyi di bawah tanah atau
di dalam hutan belukar.

Bentuk patung di tiga lembah itu sangat unik dengan ukiran yang detail serta halus buatannya. Patung
ini tidak mencerminkan agama Budha atau Hindu, jadi merupakan artefak pra-Hindu. Bentuk dan
sikap tangan patung megalith ada kemiripan dengan patung-patung megalith besar dari batuan
volkanik basalt yang berserakan di Easter Island dan juga patung manusia Urfa yang ditemukan di
dekat Göbekli Tepe yang berumur sekira 12.000 tahun dari hasil analisis dating-nya. Sayangnya riset
yang sudah dilakukan masih sangat minim, belum dilakukan pemetaan dengan metode dan teknologi
mutakhir dan juga belum ada analisis umur absolut dari waktu pembuatan artefak megalith ini
selain analisis carbon dating dari sampel sisa-sisa aktivtias manusia di sekitar artefak batu yang hanya
mendapatkan umur minimum (Kirleis et al., 2012). Artefak berbahan batuan granit mempunyai
banyak mineral kuarsa sehingga sangat ideal untuk radiometric dating dengan metode cosmogenic
(Prescott and Hutton, 1994). Metode cosmogenic dapat menentukan umur saat batuan di alam mulai
55

terpapar pada radiasi sinar matahari sehingga dapat menentukan kapan batuan granitnya ditambang
dari perbukitan di sekitarnya atau dari bawah tanah dan kemudian dibelah-belah untuk dijadikan
patung dan kalamba ini.

Hal lain yang sangat enigmatik adalah teknologi yang dipakai untuk membelah dan mengukir batuan
granitnya. Tidak terpikirkan bagaimana membelah rapi batuan granit massif yang sangat keras ini
kemudian dibentuk menjadi silinder besar dengan diameter sampai beberapa meter, lalu tengahnya
dilubangi dengan bentuk sempurna lingkaran sampai dasarnya dengan permukaan dinding yang
sangat rata. Dari pengalaman saya memotong sampel batuan, hal ini sangat sulit dilakukan walaupun
memakai peralatan di pabrik industri batu marmer sekalipun. Perlu dipahami bahwa batuan granit ini
jauh lebih pejal dan keras dibandingkan dengan batuan candi yang umumnya dari batuan vulkanik
berpori atau batuan gamping seperti di Göbekli Tepe.

Situs Megalith Pasemah di Sumatra


Megalith Pasemah tersebar di wilayah yang luas di sekitar lereng Gunung Api Aktif Dempo di
provinsi Palembang dan Bengkulu. Yang paling banyak berupa patung batu besar terbuat dari batuan
vulkanik andesit dan batu pasir massif. Studi terdahulu yang cukup komprehensif dilakukan pada
masa kolonial Belanda (Hoop, 1932). Dari rupa patung jelas tidak mencerminkan agama Buddha
atau Hindu tapi menyerupai orang afrika (negroid) yang bermata besar, hidung pesek dan bibir tebal.
Pakaian dan aksesorisnya pun ada kemiripan dengan pakaian tradisional Afrika sekarang.

Patung-patung itu memakai topi seperti helm dan di punggungnya membawa seperti perisai atau tas
berbentuk bulat, dan kakinya bersepatu boot dengan aksesoris seperti gelang-gelang dipakai dari mata
kaki sampai betis. Dari perbandingan dengan anak gajah yang dipangku salah satu patungnya dapat
ditafsirkan orangnya tinggi besar, mungkin lebih dari 2 m. Sampai sekarang belum ada penelitian yang
mengungkapkan tentang siapa mereka dan kapan. Dari kenampakan rupa, helm, dan pakaiannya
patung megalith Pasemah menyerupai patung Olmec di Amerika Selatan yang diperkirakan berumur
2500 tahun SM.

Penutup
Narasi pra-sejarah dan sejarah bangsa tidak bisa disepelekan karena cerminan dari jati diri dan harga
diri bangsa. Semangat nasionalisme, rasa percaya diri dan kebanggaan sebagai bangsa yang besar sangat
ditentukan oleh pemahaman yang benar atas sejarah nenek moyang. Adolf Hitler menggerakan massa
dengan didukung semboyan bahwa mereka adalah keturunan bangsa Arya yang lebih tinggi dari
bangsa-bangsa lainnya. Bangsa Yahudi, membangun kekuatannya di atas keyakinan sebagai kaum
yang terpilih, dikenal sebagai paham zionisnya. Di Indonesia, Soekarno membangkitkan semangat
persatuan dan kebangsaan dengan membangun Tugu Monas. Sekarang, sudah waktunya kita mencari
pengganti ‘Tugu Monas’. Kita punya banyak monumen tinggalan sejarah dan pra-sejarah yang luar
biasa sebagai cerminan dari keluhuran bangsa yang berakar ke nenek moyang Nusantara, tinggal
menggali tinggalannya dan mengembangkan narasinya, tidak perlu membuat Monas versi baru.
56

Aspek lainnya, dari segi ekonomi dan dunia pariwisata budaya, hanya Bali dan wilayah Yogyakarta
saja yang sudah banyak dikenal dan dikunjungi. Tempat budaya lainnya kurang dikenal dunia dan
sepi pengunjung. Padahal potensi pesona budaya, khususnya situs-situs budaya Indonesia sangat
banyak dan luar biasa, tapi belum banyak diteliti dan dikembangkan dengan semestinya.

Oleh karena itu, ulasan ini mengajak untuk bersama-sama melakukan riset multidisiplin, memadukan
riset bidang ilmu geosains, sejarah, arkeologi, anthropologi, etno-biologi, arkeogenetik dan bidang
lainnya; dalam me-revitalisasi sejarah Indonesia sekaligus mengembangkan industri pariwisata
edukatif dan ekonomi kreatif.

Hadirin yang saya muliakan, naskah ini sangat padat, tapi diuraikan dengan sangat singkat dan
disederhanakan. Sebenarnya, banyak hal yang perlu diuraikan, bisa diperdebatkan atau didiskusikan
secara mendalam. Harapan saya, semoga uraian singkat ini dapat menjadi inspirasi untuk kajian dan
riset ke depan, menjadi berbagai topik yang lebih menarik lagi. Ini baru konsep awal, perjalanannya
ke depan masih jauh.

Daftar Pustaka
Alvarez, L. W., Alvarez, W., Asaro, F., and Michel, H. V., 1980, Extraterrestrial Cause for the
Cretaceous-Tertiary Extinction: Science, v. 208, no. 4448, p. 1095-1108.
Bellwood, P., 1997, Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago, University of Hawaai Press.
Bintarti, D. D., 1982, Punden berundak di Gunung Padang, Berkala Arkeologi, Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional.
Bradley, B. A., 2010, Clovis Technology, Berghahn Book, 220 p.:
Briggs, R. W., Sieh, K., A.J. Meltzner, Natawidjaja, D. H., and al., e., 2006, Deformation and slip
along the Sunda megathrust in the great 2005 Nias-Simeulue earthquake: Science, v. 311, no.
5769, p. 1897-1901.
Broecker, W. S., et al., 1988, The chronology of the last deglaciation: Implications to the cause of the
Younger Dryas event: Paleoceanography, v. 3, no. 1, p. 1-19.
Brumm, A., Oktaviana, A. A., Burhan, B., Hakim, B., Lebe, R., Zhao, J.-x., Sulistyarto, P. H.,
Ririmasse, M., Adhityatama, S., Sumantri, I., and Aubert, M., 2021, Oldest cave art found in
Sulawesi: Science Advances, v. 7, no. 3, p. eabd4648.
Bunch, T. E., Hermes, R. E., Moore, A. M. T., Kennett, D. J., Weaver, J. C., Wittke, J. H., DeCarli,
P. S., Bischoff, J. L., Hillman, G. C., Howard, G. A., Kimbel, D. R., Kletetschka, G., Lipo,
C. P., Sakai, S., Revay, Z., West, A., Firestone, R. B., and Kennett, J. P., 2012, Very high-
temperature impact melt products as evidence for cosmic airbursts and impacts 12,900 years
ago: Proceedings of the National Academy of Sciences, v. 109, no. 28, p. E1903.
Campisano, C. J., 2012, Milankovitch Cycles, Paleoclimatic Change, and Hominin Evolution:
Nature Education Knowledge, v. 4, no. 3, p. 5.
57

Chesner, C. A., Rose, W. I., Deino, A., Drake, R., and Westgate, J. A., 1991, Eruptive history of
Earth’s largest Quaternary caldera (Toba, Indonesia) clarified: Geology, v. 19, p. 200-203.
Chlieh, M., Avouac, J.-P., K.Sieh, and D.H.Natawidjaja, 2006, Investigation of interseismic strain
accumulation along the Sunda megathrust, offshore Sumatra: Journal of Geophsical Research.
Chlieh, M., Avouac, J. P., K.Sieh, Natawidjaja, D. H., and Galetzka, J., 2008, Heterogenous coupling
of the Sumatran megathrust constrained by geodetic and paleogeodetic measurements: Journal
of Geophysical Research, v. 113.
Clark, P. U., Shakun, J. D., Baker, P. A., Bartlein, P. J., Brewer, S., Brook, E., Carlson, A. E., Cheng,
H., Kaufman, D. S., Liu, Z., Marchitto, T. M., Mix, A. C., Morrill, C., Otto-Bliesner, B. L.,
Pahnke, K., Russell, J. M., Whitlock, C., Adkins, J. F., Blois, J. L., Clark, J., Colman, S. M.,
Curry, W. B., Flower, B. P., He, F., Johnson, T. C., Lynch-Stieglitz, J., Markgraf, V., McManus,
J., Mitrovica, J. X., Moreno, P. I., and Williams, J. W., 2012, Global climate evolution during
the last deglaciation: Proceedings of the National Academy of Sciences, v. 109, no. 19, p.
E1134.
Daryono, M. R., 2016, Paleoseismologi Tropis Indonesia: Studi kasus di Sesar Sumatra, Sesar Palukoro,
dan Sesar Lembang (Paleosesimology in Tropical Indonesia. Case Studies in Sumatran Fault,
Palukoro Fault, and Lembang Fault) [Doktor: Institut Teknologi Bandung.
Daryono, M. R., Danny H.Natawidjaja, B. Sapiie, and Cummins, P., 2018, Earthquake Geology of
the Lembang Fault, West Java, Indonesia: Tectonophysics, v. 751, p. 180-191.
Fage, L.-H., Chazine, J.-M., and Setiawan, P., 2010, Borneo Menyingkap Gua Pra-Sejarah, Nimes,
France, Delta-Color.
Fiedel, S. J., 2011, The mysterious onset of the Younger Dryas: Quaternary International, v. 242, p.
262-266.
Finkel, I., 2013, The Ark Before Noah: Decoding the Story of the Flood, Hodder & Stoughton Ltd,
430 p.:
Firestone, R. B., A. West, J.P. Kennett, et al., 2007, Evidence for anextraterestrial impact 12,900 years
ago that contributed to the megafaunal extinctions and the Younger Dryas cooling: PNAS, v.
104, no. 41, p. 16016-16021.
Gibbons, R., 2004, Examining the extinction of the Pleistocene megafauna, Natural Science, Volume
Spring, p. 22-24.
Grayson, D. K., 1991, Archeological associations with extinct Pleistocene mammals in North
America: Journal of Archeological Science, v. 11, no. 3, p. 213-221.
Hancock, G., 1995, Finger Print of the Gods, United States, Crown Publishing Group

Harari, Y. N., 2014, Sapiens: A Brief History of Humankind, London, Vintage Book.
Hill, E. M., J.C. Borrero, Z.Huang, Qiang Qiu, P. Banerjee, D.H. Natawidjaja, el all, 2012, The 2010
58

Mw 7.8 Mentawai earthquake: Very shallow source of a rare tsunami earthquake determined
from tsunami field survey and near-field GPS data: Journal of Geophysical Research, v. 117,
no. B06402.
Hoop, A. N. J. T. a. T. v. d., 1932, Megalithic Remains in South Sumatra, Zutphen: W.J. Thieme.
J., M. A., K.Sieh, H-W Chiang, C-C Shen, B.W. Suwargadi, Danny H. Natawidjaja, B.E. Philibosian,
R.W. Briggs, a., and J.Galetzka, 2010, Coral evidence for earthquake recurrence and an A.D.
1390–1455 cluster at the south end of the 2004 Aceh–Andaman rupture: JGR, v. 115, no. B10.
Kershaw, S., 2018, The Search for Atlantis: A History of Plato’s Ideal State, Pegasus Books.
Kirleis, W., J.Muller, C.Korteimer, and al, e., 2012, The Megalithic Landscape of Central Sulawesi,
Indonesia: Combining Archaeological and Palynological Investigations, in O’onnor, S., ed.,
The Archeology of Sulawesi: Australia, Australian National University.
Klein, R. G., 2008, Out of Africa and the evolution of human behavior: Evolutionary Anthropology:
Issues, News, and Reviews, v. 17, no. 6, p. 267-281.
Konca, A. O., Avouac, J. P., Sladen, A., Meltzner, A. J., Sieh, K., Fang, P., Li, Z., Galetzka, J.,
Genrich, J., Chlieh, M., Natawidjaja, D. H., Bock, Y., Fielding, E. J., Ji, C., and Helmberger,
D. V., 2008, Partial rupture of a locked patch of the Sumatra megathrust during the 2007
earthquake sequence: Nature, v. 456, no. 7222, p. 631-635.
LaViolette, P. A., 2016, Evidence for a Solar Flare Cause of the Pleistocene Mass Extinction:
Radiocarbon, v. 53, no. 2, p. 303-323.
Mark, D. F., et al, 2014, A high-precision 40 Ar/39 Ar age for the Young Toba Tuff and dating of
ultra-distal tephra: forcing of Quaternary climate and implications for hominin occupation of
India: Quaternary Geochronology, v. 21, p. 90-103.
McCalpin, J., 1996, Paleoseismology, International Geophysics Series, Volume 62, Academic Press,
p. 588.
McIntosh, j. R., 2008, The Ancient Indus valley, Santa Barbara, California, USA, ABC CLIO.
Meltzner, A. J., K.Sieh, H-W Chiang, C-C Wu, L.L.H Tsang, C-C Shen, E.M.Hill, B.W. Suwargadi,
D.H. Natawidjaja, B.Philibosian, R.W. Briggs., 2015, Time-varying interseismic strain rates
and similar seismic ruptures on the NiaseSimeulue patch of the Sunda megathrust: Quaternary
Science Review, v. 122, p. 258 - 281.
Meltzner, A. J., K.Sieh, H-W Chiang, C-C Shen, B.W.Suwargadi, D.H.Natawidjaja, E.Philibosian,
R.W.Briggs, J.Galetzka, 2010, Coral evidence for earthquake reccurence and an A.D. 1390-
1455 culster at the south end of the 2004 Aceh-Andaman rupture: Journal of Geophysical
Research, v. 115, no. B10402.
Monecke, K., W.Finger, D.Klarer, W.Kongko, et al, 2008, A 1,000-year sediment record of tsunami
reccurence in northern Sumatra: Nature v. 455, p. 1232-1234.
Moore, A. M. T., Kennett, J. P., Napier, W. M., Bunch, T. E., Weaver, J. C., LeCompte, M., Adedeji,
A. V., Hackley, P., Kletetschka, G., Hermes, R. E., Wittke, J. H., Razink, J. J., Gaultois, M. W.,
and West, A., 2020, Evidence of Cosmic Impact at Abu Hureyra, Syria at the Younger Dryas
59

Onset (~12.8 ka): High-temperature melting at >2200 °C: Scientific Reports, v. 10, no. 1, p.
4185.
Natawidjaja, D. H., 2005a, The past, recent, and future giant earthquakes of the Sumatran megathrust,
Program of Asian Academic Seminar: JASS05 Great Earthquakes in the Plate Subduction:
Nagoya, JAPAN, Nagoya Unversity.
-, 2005b, Perkembangan IPTEK Gempa bumi dan Penelitian Gempabumi di Indonesia, Towards
Bright and Brilliant Indonesia: Jakarta, LIPI Press.
Natawidjaja, D. H., 2012, Dekade teror gempa di Sumatra: GEOMAGZ Badan Geologi, v. 1, no.
No.4.
Natawidjaja, D. H., 2013, PLATO TIDAK BOHONG: Atlantis ada di Indonesia (With English
Version: Plato Never Lies: Atlantis in Indonesia), Jakarta, Booknesia.
-, 2015a, Piramid Gunung Padang: Bukti peradaban Sundaland dari Zaman Es? , Mitos dan Bencana
di Nusantara: Yogyakarta, Makalah di presentasikan di Seminar “Borobudur Writer and Cultural
Festival”, 17 November 2015, Ombak Dua (www.penerbitombak.com).
Natawidjaja, D. H., 2015b, Siklus megatsunami di wilayah Aceh-Andaman dalam kontek Sejarah:
RISET Geologi dan Pertambangan, v. 25, no. 1, p. 49-62.
-, 2018, Major bifurcations, slip rates and a creeping segment of Sumatran fault zone in Tarutung
– Sarulla – Sipirok – Padangsidempuan, Central Sumatra, Indonesia: Indonesian Journal of
Geosciences, v. 5, no. 2, p. 137-160.
Natawidjaja, D. H., 2021, Riset Sesar Aktif Indonesia dan Peranannya dalam Mitigasi Bencana
Gempa dan Tsunami, Jakarta, LIPI Press, 108 p.:
Natawidjaja, D. H., Bachtiar, A., Endar, B., Daryono, M., and Subandrio, A., 2018, Evidences of
Large pyramid-like structure predating 10,000 Year BP at Mount Padang, West Java, Indonesia:
Applications of geological-geophysical methods to explore buried large archeological site,
American Geophysical Union fall Meeting: Washington DC, USA, AGU - ESSOAR, p. 1.
Natawidjaja, D. H., Bachtiar, A., Endar, B., and Subandrio, A., 2016, Archeo-geological and
geophysical studies of the Gunung Padang megalith in Cianjur, Indonesia implies lost advanced
civilizations in Sundaland before Holocene, GEOSEA XIV Congress and 45th IAGI Annual
Convention 2016: Bandung, IAGI.
Natawidjaja, D. H., Daryono, M. R., Prasetya, G., Udrekh, Liu, P. L. F., Hananto, N. D., Kongko,
W., Triyoso, W., Puji, A. R., Meilano, I., Gunawan, E., Supendi, P., Pamumpuni, A., Irsyam,
M., Faizal, L., Hidayati, S., Sapiie, B., Kusuma, M. A., and Tawil, S., 2020, The 2018 Mw7.5
Palu ‘supershear’ earthquake ruptures geological fault’s multisegment separated by large bends:
results from integrating field measurements, LiDAR, swath bathymetry and seismic-reflection
data: Geophysical Journal International, v. 224, no. 2, p. 985-1002.
Natawidjaja, D. H., K. Sieh, Galetzka, J., B.W. Suwargadi, H. Cheng, and Edwards, R., 2007,
Interseismic deformation above the Sunda megathrust recorded in coral microatolls of the
Mentawai Islands, West Sumatra: Journal of Geophysical Research, v. 112, p. 10,1029.
60

Natawidjaja, D. H., K.Sieh, M.Chlieh, J.Galetzka, B.W.Suwargadi, H.Cheng, R.L. Edwards, J-P
Avouac, and S.Ward, 2006, Source Parameters of the great Sumatran megathrust earthquakes
of 1797 and 1833 inferred from coral microatolls: J.Geophys. Res., v. 111.
Natawidjaja, D. H., K.Sieh, S.Ward, H.Cheng, Edwards, R. L., J.Galetzka, and Suwargadi, B.
W., 2004, Paleogeodetic records of seismic and aseismic subduction from central Sumatran
microatolls, Indonesia: J.Geophys. Res., v. 109(B4), no. 4306, p. 1-34.
Neubauer, S., Hublin, J.-J., and Gunz, P., 2018, The evolution of modern human brain shape: Science
Advances, v. 4, no. 1, p. eaao5961.
Ninkovitch, D., N.J.Shackleton, A.A.Abdel-Monem, J.D.Obradovich, and G.Izett, 1978, K-Ar age
of the late Pleistocene eruption of Toba, north Sumatra: Nature v. 276, p. 574-577.
O’Connell, J. F., Allen, J., Williams, M. A. J., Williams, A. N., Turney, C. S. M., Spooner, N. A.,
Kamminga, J., Brown, G., and Cooper, A., 2018, When did &lt;em&gt;Homo sapiens&lt;/
em&gt; first reach Southeast Asia and Sahul?: Proceedings of the National Academy of Sciences,
v. 115, no. 34, p. 8482.
Oppenheimer, S., 1999, Eden in The East: the drowned continent of Southeast Asia, UK, Phoenix.
Oppenheimer, S. J., 2003, The Real Eve: Modern Man’s Journey Out of Africa, Newyork, Carroll
and Graf.
Peters, J., and Schmidt, K., 2004, Animals in the symbolic world of pre-pottery Neolithic Gobekli
Tepe, south-eastern Turkey: a preliminary assesment: Anthropozoologica, v. 39, no. 1, p. 179-
218.
Philibosian, B., K. Sieh, D.H. Natawidjaja, HW Chiang, C-C Shen, B.W. Suwargadi, Emma Hill,
and Edwards, R. L., 2012, An ancient shallow slip event on the Mentawai segment of the Sunda
megathrust, Sumatra: Journal of Geophysical Research, v. 117, no. B05401.
Prescott, J. R., and Hutton, J. T., 1994, Cosmic ray contributions to dose rates for luminescence and
ESR dating: Large depths and long-term time variations: Radiation Measurements, v. 23, no.
2, p. 4.
Rampino, M. R., S.Stephen, 1992, Volcanic winter and accelerated glaciation following the Toba
super eruption: Nature, v. 359, p. 6390.
-, 1993, Bottleneck in the human evolution and the Toba Eruption: Science, v. 262, p. 5142.
Rampino, M. R., and Self, S., 1991, The Toba Super-Eruption, Volcanic Winters, and Late Quaternary
Climatic Change: (submitted to) Nature.
Riehl, S., M.Zeidi, N.J. Conard, 2013, Emergence of agriculture in the foothills of the Zagros
Mountains of Iran: Science, v. 341, no. 6141.
Rivera, L., Sieh, K., Helmberger, D., and Natawidjaja, D. H., 2002, A comparative study of the
Sumatran subduction-zone earthquakes of 1935 and 1984: Bulletin of the Seismological Society
of America, v. 92, p. 1721-1736.
61

Roberts, A., M.J.Benton, C.Grooves, K.Robson-Brown, K.Harvati, S.Oppenheimer, J.McIntosh,


2011, Evolution: The Human Story, U.K., Dorling Kindersley Limited.
Rose, W. I., and Chesner, C. A., 1987, Dispersal of ash in the great Toba eruption, 75 ka: Geology,
v. 15, p. 913-917.
Schmidt, K., 2000, A preliminary report on the 1995 - 1999 excavations: Paleorient, v. 26, no. 1, p.
45-54.
-, 2010, Gobekli Tepe - The Stone Age Sanctuaries: New results of ongoing excavations with a specia
focus on sculptures and high reliefs: Documenta Praehistorica v. XXXVII.
Schoch, R. M., 2012, Forgotten Civilization: The Role of Solar Outburst in Our Past and Future:
Rochester, USA, Inner Tradition, Bear & Company.
Sieh, K., Natawidjaja, D. H., Meltzner, A. J., Shen, C. C., Cheng, H., Li, K. S., Suwargadi, B. W.,
Galetzka, J., Philibosian, B., Edwards, R. L., 2008, Earthquake supercycles inferred from sea-
level changes recorded in the corals of West Sumatra: Science, v. 322, no. 5908, p. 1674-1678.
Sieh, K., P.Daly, E.M.Edward, J.E. Pillarszyk, 2014, Penultimate predecessors of the 2004 Indian
Ocean tsunami in Aceh, Sumatra: Stratigraphic archeological, and historical evidence: Journal
of Geophysical Research, v. 120.
Solheim, W. G., 2000, Unravelling Nusantao, University of the Philipine Press, Archeology and
Culture in Southeast Asia.
Stanford, D. J., Bradley, B. A., and Collins, M. B., 2012, Across Atlantic Ice
The Origin of America’s Clovis Culture, University of California Press.
Storey, M., R.G.Roberts, and M.Saidin, 2012, Astronomically calibrated 40Ar/39Ar age for the Toba
super eruption and global synchronization: PNAS, v. 109, no. 46, p. 18684-18688.
Subarya, C., M. Chlieh, L. Prawirodirdjo, J-P Avouac, Y. Bock, K. Sieh, A. Meltzner, D.H. Natawidjaja,
R, McCaffrey, 2006, Plate-boundary deformation associated with the great Sumatra–Andaman
earthquake: Science, v. 440, p. 46-51.
Sutikna, T., Tocheri, M. W., Morwood, M. J., Saptomo, E. W., Jatmiko, Awe, R. D., Wasisto, S.,
Westaway, K. E., Aubert, M., Li, B., Zhao, J.-x., Storey, M., Alloway, B. V., Morley, M. W.,
Meijer, H. J. M., van den Bergh, G. D., Grün, R., Dosseto, A., Brumm, A., Jungers, W. L., and
Roberts, R. G., 2016, Revised stratigraphy and chronology for Homo floresiensis at Liang Bua
in Indonesia: Nature, v. 532, no. 7599, p. 366-369.
Tim-Peneliti, 2003, Laporan hasil penelitian arkeologi di Situs Megalitik Gunung Padang, Kab.
Cianjur, Jawa Barat: Balai Arkeologi Bandung.
Van Hoesel, A., et al, 2013, Cosmic impact of natural fires at the Allerod-Younger Dryas boundary:
A matter of dating and calibration: Proc. Natl Acad Sci USA, v. 110.
Voris, H. K., 2000, Maps of Pleistocene sea levels in Southeast Asia: shorelines, river systems, and
62

time durations: Journal of Biogeography, v. 27, p. 1153-1167.


Westaway, K. E., Louys, J., Awe, R. D., Morwood, M. J., Price, G. J., Zhao, J. x., Aubert, M.,
Joannes-Boyau, R., Smith, T. M., Skinner, M. M., Compton, T., Bailey, R. M., van den Bergh,
G. D., de Vos, J., Pike, A. W. G., Stringer, C., Saptomo, E. W., Rizal, Y., Zaim, J., Santoso, W.
D., Trihascaryo, A., Kinsley, L., and Sulistyanto, B., 2017, An early modern human presence in
Sumatra 73,000–63,000 years ago: Nature, v. 548, no. 7667, p. 322-325.
Wichmann, A., 1918, Die Edbeben des Indischen Archipels bis zum Jahre 1857: Verhandlingen der
Koninklijke Akademie van Wetenschappen te Amsterdam (Tweede Sectie), Deel XX. No. 4.
Wilshaw, A., Out of Africa hypothesis, The International Encyclopedia of Biological Anthropology,
p. 1-7.
Yeats, R. S., Sieh, K. E., and Allen, C. R., 1997, The geology of earthquakes, New York, Oxford
University Press, vi, 568 p.:

Profil Penulis
Danny Hilman Natawidjaja, lahir di Subang, Jawa Barat, 11 Desember 1961,
63

adalah putra kedua dari tiga bersaudara. Terlahir dari pasangan Bapak H. Ahmad Rivai Natawidjaja
(alm.) dan Ibu Hj. Rd. Suprapti Djajasoebrata (alm.). Menikah dengan Fauzana dan dikaruniai tiga
anak, yaitu Puti Dania, Sutan Danian, dan Javan Danian.

Menamatkan Sekolah Dasar Negeri Cidangdeur-Purwadadi, Subang, tahun 1973; Sekolah Menengah
Pertama Negeri VII, Bandung, tahun 1976; dan Sekolah Menengah Atas Negeri V, Bandung, tahun
1980. Memperoleh gelar Sarjana Geologi dari Institut Teknologi Bandung tahun 1986, gelar M.Sc
Geology dari University of Auckland, New Zealand tahun 1992; dan gelar Ph.D Geology dari California
Institute of Technology (Caltech), USA tahun 2003.

Inisiator dan koordinator riset gempa di LIPI dan mengembangkan jaringan stasiun kontinu GPS
SuGAr sejak tahun 2002 dengan Caltech USA dan Earth Observatory of Singapore. Menjadi ketua
tim nasional pembuatan Pedoman Analisis Risiko Bencana Alam (PARBA) UNDP dan BNPB
tahun 2008–2009. Menginisiasi dan mengembangkan program Pascasarjana Graduate Research in
Earthquake and Active Tectonics (GREAT) di ITB yang didanai oleh AusAID dan Australian-Indonesia
Facility for Earthquake Disaster Reduction (AIFDR) tahun 2010–2017. Anggota inti Tim-9 untuk
merevisi Peta Nasional Seismic Hazard Indonesia tahun 2010. Ketua Kelompok Kerja Geologi Pusat
Studi Gempa Nasional (PuSGeN) sejak tahun 2016. Inisiator dan Koordinator Penelitian Situs
Gunung Padang – SK Gubernur Jawa Barat (2013) dan Wakil Ketua Tim Nasional Pelestarian dan
Pengelolaan Situs Gunung Padang –SK Mendikbud (2014).

Menerima tanda penghargaan Lulusan Sarjana Terbaik dari Fakultas Teknologi Mineral, ITB (Tahun
1986); Sarwono Prawirohardjo Award dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Tahun 2005);
Science Award-Tropi Manusia Bintang dari Kantor Berita Rakyat Merdeka Online (Tahun 2014);
IAGI Award (for the continuity of developing applied geology) (Tahun 2015); Ahmad Bakrie Award for
Science dari Yayasan Ahmad Bakrie (Tahun 2016); dan Satyalancana Karya Satya X Tahun (Tahun
1999), Satyalancana Karya Satya XX Tahun (Tahun 2008) serta Satyalancana Karya Satya XXX Tahun
(Tahun 2017) dari Presiden RI.
Kimia Struktural Oksida Logam
dan Diplomasi Sains
Ismunandar
Komisi Bidang Ilmu Pengetahuan Dasar
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jakarta, 28 September 2021

Pendahuluan
“If you want to understand function, study structure”

Kaidah di atas, yang menurut saya merangkum dengan baik studi kimia, dinyatakan oleh Francis
Crick, peletak dasar pengetahuan struktur dan fungsi DNA. Ilustrasi terkini atas kaidah ini, yang
orang awam pun mengenalnya, adalah struktur-fungsi virus penyebab SAR-Cov2. Virus penyebab
Covid terlihat dengan TEM sebagai struktur bola berduri berdiameter sekitar 100 nm. Seperti virus
korona lainnya, virus SARS-Cov-2 memiliki empat protein struktural yang diberi notasi S, E, M, dan
N. Protein S (dari spike, duri) inilah yang berperan besar dalam mengenali dan menginvasi sel inang.
Karena peran penting ini, hanya berselang beberapa minggu setelah urutan gen virus SARS-Cov-2
dipublikasikan, struktur skala atomik protein S juga dipublikasikan. Dengan informasi skala atomik
inilah desain obat dan vaksin covid dimungkinkan. Struktur detail hingga skala atomik seperti pada
protein S SARS-Cov-2 inilah yang menjadi kajian kimia struktural oksida logam, bidang yang saya
tekuni.
66

Gambar 1 Ilustrasi hubungan struktur-sifat dalam Kimia. Bentuk dan struktur duri virus COVID yang
memudahkan invasi ke sel.

Sebagai pengantar izinkan saya rangkumkan sekilas tentang oksida logam dan penentuan strukturnya,
yang saya ambil sebagian dari buku teks padatan oksida logam(1).

Kimia Struktural Oksida Logam


Oksigen merupakan unsur yang reaktif dan melimpah di planet bumi, tidak mengherankan jika
oksigen membentuk paling tidak satu senyawa dengan hampir semua unsur, kecuali gas mulia ringan.
Banyak mineral atau bijih logam adalah oksida, dan dari bijih tersebut kita memperoleh logamnya.
Bahkan hampir separuh dari unsur-unsur yang diketahui didapat dari bijih oksidanya. Oksida
logam telah lama digunakan sebagai pigmen (di bagian lain akan kami bahas kontribusi kami dalam
pengungkapan bahan pigmen di lukisan cadas), bahan keramik, refraktori, semen. Selain kegunaan
tradisional ini, oksida logam juga memiliki banyak aplikasi mutakhir. Aplikasi yang luas ini adalah
akibat dari beragam sifat/fungsi yang disebabkan beragamnya struktur oksida logam.

Menentukan struktur kristal pada dasarnya adalah menentukan simetri (jenis kisi dari 230
kemungkinan), besarnya sel satuan, dan posisi-posisi atom dalam sel satuan. Secara eksperimen ini
dilakukan dengan mengukur intensitas sinar-X yang didifraksikan oleh kristal tunggal pada berbagai
sudut difraksi. Sudut-sudut di mana puncak difraksi diamati ditentukan oleh simetri dan besarnya sel
satuan, sedangkan intensitasnya ditentukan terutama oleh jenis atom dan posisinya dalam sel satuan.
67

Penentuan struktur oksida-oksida logam dihadapkan dengan dua masalah utama, bentuknya
yang umumnya berupa serbuk dan kandungan unsur dengan kekuatan hamburan sinar-X yang
perbedaannya sangat besar. Karena berbentuk serbuk, yang berarti telah ada dengan berbagai orientasi,
pengaturan orientasi seperti pada percobaan dengan kristal tunggal tidak mungkin dilakukan.
Akibatnya tumpang tindih puncak difraksi tak terhindarkan. Akibat lebih lanjut intensitas-intensitas
dari masing-masing puncak sangat sulit ditentukan, padahal intensitas puncak difraksi ini adalah data
utama dalam penentuan struktur.

Masalah pertama ini diselesaikan oleh Rietveld yang mengusulkan bahwa intensitas difraksi hitungan
adalah jumlah dari kontribusi dari puncak-puncak Bragg yang bertetangga dan background (2). Dengan
menggunakan minimisasi residual antara data intensitas difraksi yang diamati dan intensitas difraksi
hitungan, refinement struktur dapat dilakukan. Metoda ini, yang awalnya melibatkan perhitungan dan
pemrograman dengan kartu berlubang yang melelahkan, sangat terfasilitasi dengan perkembangan
komputasi dan kecepatan prosesor. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan mempersempit
puncak difraksi, antara lain dengan menggunakan radiasi sinkrotron. Dalam kaitan ini penulis turut
berkontribusi pada awal-awal penggunaan image plate untuk detektor sinar-X sinkrotron(3).

Masalah kedua adalah kandungan unsur dengan kekuatan hamburan sinar-X yang berbeda jauh.
Kekuatan suatu atom menghamburkan sinar-X berbanding lurus dengan jumlah elektronnya. Oksida
logam berat, misalnya oksida yang mengandung Bi, Bi (Z = 83) memiliki kekuatan hamburan sinar-X
sekitar sepuluh kali lebih besar dari O (Z = 8), akan memiliki pola difraksi yang intensitas puncak-
puncaknya terutama ditentukan oleh Bi. Untunglah neutron dapat digunakan untuk membantu
penyelesaian masalah ini, karena kekuatan hamburan neutron tidak bergantung pada jumlah elektron
dalam atom.

Demikianlah kimia struktural oksida logam terutama dilakukan dengan difraksi neutron dan sinar-X
(terutama dengan sinkrotron) dan metoda Rietveld.

Oksida Aurivillius dan Sifat Feroelektrik (4)


Dalam sel satuan padatan yang tidak sentro simetrik (non centrosymmetric), dapat timbul momen
dipol. Sel satuan di sekitarnya dapat dirangsang oleh sel satuan tersebut sehingga memiliki arah
momen dipol yang sama dan membentuk suatu daerah yang disebut domain feroelektrik. Bahan
Aurivillius (namanya diturunkan dari orang yang pertama mensintesis bahan ini) yang mempunyai
struktur yang terdiri atas lapisan perovskit berselang dengan lapisan [Bi2O2]2+, sehingga membentuk
oksida dengan rumus umum Bi2 An-1 Bn O3n+3, n = 2, 3, 4, 5,… ; dengan A dan B, masing-masing
menyatakan ion-ion logam transisi atau pos-transisi yang berada di pusat kuboktahedra dan pusat
oktahedra oksigen dalam lapisan perovskit dan n menunjukkan jumlah lapisan oktahedra dalam
lapisan perovskit. Kebanyakan oksida Aurivillius memiliki ion B berupa Ti, Nb, W.
68

Studi struktur oksida Aurivillius untuk menghasilkan infomasi struktur oksida yang akurat dan presisi
telah dilakukan, mulai dari oksida dengan n = 2 hingga n =5. Dalam pekerjaan ini, peran difraksi
neutron untuk menentukan posisi oksigen di tengah keberadaan atom-atom berat sangat penting.
Pada oksida yang diteliti, sering sekali distorsi dari fasa tetrahedral paraelektrik sangat kecil, yang
tidak teramati sama sekali di pola difraksi yang dihasilkan dari sinar-X konvensional.

Pada gambar ditunjukkan perubahan nilai sel satuan ABi4Ti4O15 A = Ca, Sr, Ba and Pb sebagai fungsi
suhu, terlihat dengan jelas Tc meningkat dalam urutan Ba<Sr<Pb<Ca. Pada gambar juga diberikan
bagian struktur BaBi4Ti4O15 pada suhu kamar dan suhu 700 K. Terlihat dengan jelas penjungkitan
oktahedra pada suhu kamar, yang hilang pada suhu 700 K. Pengamatan lebih detail menunjukkan
bahwa transformasi struktur adalah transisi yang kontinu dengan melibatkan fasa intermediate. Selain
itu, dapat pula disimpulkan bahwa sifat feroelektrik yang diamati adalah konsekuensi dari pergeseran
kation A dan B dalam lapisan perovskit dan relatif terhadap lapisan Bi2O2. Di sini kita melihat
bahwa pengaturan struktur bisa kita lakukan dengan pemilihan komponen ion-ion penyusun oksida.
Dengan mengganti ion Ca, Sr, Ba, Pb, kita bisa mengatur besarnya distorsi, yang berarti besarnya
momen feroelektrik dan suhu transisinya.

Gambar 2 Struktur senyawa oksida Aurivillius dan perubahan nilai sel satuan ABi4Ti4O15 A = Ca, Sr, Ba and
Pb sebagai fungsi suhu.

Transisi kontinyu, melibatkan intermediate, dan pergeseran kation A dan B juga jelas terlihat dari data
spektrum vibrasi Raman sebagai fungsi suhu sebagaimana terlihat di gambar. Terlihat jelas di gambar
bagaimana perubahan frekuensi vibrasi di sekitar 40 cm-1 sebagai fungsi suhu untuk ketiga oksida ini.
Juga nampak jelas dengan persamaan Landau karakteristik transisinya.
69

Oksida Piroklor dan Konduktivitas Elektronik (5)


Oksida piroklor memiliki rumus umum sederhana A2B2O7 (A dan B adalah ion logam, dengan 1,3 <
rA/rB < 2,3), r adalah jari-jari ion. Berbagai logam transisi dan pasca transisi dapat membentuk oksida
dengan struktur piroklor ini. Dengan rentang jari-jari ion dan variasi konfigurasi elektron dari logam-
logam yang dapat membentuk oksida dengan struktur piroklor ini, maka keluarga oksida terner ini
memiliki rentang sifat listrik dan magnet yang lebar pula.

Sebagai ilustrasi oksida piroklor Bi2−xNdxRu2O7-d, x = 0,625 dan 1,375. Pada x = 0,625 konduktansi
oksidanya menunjukkan karakteristik logam, sementara pada x = 1,375 menunjukkan karakteristik
semikonduktor. Pengamatan lebih detail menunjukkan bahwa perubahan sifat hantaran tersebut
terjadi pada x sekitar 0,75. Untuk melihat lebih detail kami melakukan studi struktural kedua sampel
ini bahkan sampai 10 K. Dari suhu ruang hingga 10 K tidak terlihat adanya perubahan struktur
pada kedua material. Panjang ikatan Ru–O dan sudut ikatan Ru–O–Ru bervariasi kontinu dengan
perubahan suhu. Nampak jelas bahwa syarat adanya sifat logam adalah sudut Ru–O–Ru > 132,5° dan
adanya jumlah signifikan kekosongan oksigen pada sub-kisi Bi2O.

Gambar 3 Struktur Oksida piroklor dan fenomena transisi logam-semikonduktor pada piroklor
Bi2−xNdxRu2O7-d, x = 0,625 dan 1,375.

Di contoh ini kita melihat bahwa dalam padatan, kita juga mempunyai keleluasaan untuk mengubah
sifat dengan memvariasikan stoikiometri padatannya membentuk padatan non stoikiometrik. Dengan
variabel ini secara teori kita mempunyai spektrum pilihan yang sangat luas untuk memvariasikan
struktur dan sifat bahan.
70

Besi Oksida (Oker) sebagai Pigmen Gambar Cadas (6)


Gambar cadas ditemukan di banyak tempat di Indonesia dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Nusa
Tenggara, Maluku sampai Papua. Situs gambar cadas dapat berlokasi di gua-gua karst di daratan,
pantai, dan tebing-tebing pantai. Situs gambar cadas berupa gua-gua di daratan umumnya dijumpai di
wilayah Indonesia Bagian Barat (Sumatra dan Kalimantan), situs-situs berupa tebing pantai di wilayah
Indonesia Bagian Timur (Maluku-Papua). Sementara itu, meski memiliki situs-situs berbentuk gua
daratan, di Sulawesi kita juga dapat menemukan gambar cadas di gua-gua pantai dan tebing-tebing.

Secara umum, berdasarkan teknik pembuatannya, gambar cadas Indonesia dikelompokkan menjadi
dua yaitu petrograf dan petroglif. Gambar cadas petrograf dibuat dengan metoda semprot, kuas,
sikat. Sedangkan petroglif dibuat dengan metode tatah dan ukir/pahat. Gambar cadas di Indonesia
didominasi oleh jenis petrograf. Hanya sebagian situs yang berbentuk petroglif misalnya di Biak
Numfor, Papua. Gambar cadas juga memiliki beragam objek yang ditampilkan, misalnya gambar
manusia (antropomorfis), fauna (zoomorfik, misalnya tapir, anoa, banteng, rusa, ikan), geometri dan
simbol, serta gambar lain misalnya perahu, pohon, senjata.

Selain memiliki variasi motif dan gambar, gambar cadas di Indonesia juga memiliki jenis warna yang
beragam. Warna pigmen tersebut bervariasi dari merah, merah gelap, ungu, cokelat, kuning, putih,
dan hitam. Penelitian mengenai sifat fisikokimia dari berbagai jenis pigmen di atas telah kami lakukan
pada sejumlah gua di berbagai titik yang ditandai di gambar ini. Pada penelitian tersebut, kami
menentukan kandungan bahan dalam pigmennya. Kemudian kami tentukan struktur kristalnya,
gugus fungsi dan jenis ikatannya, bilangan oksidasi logam yang terkandung di dalamnya, serta
morfologi dan distribusi unsur dalam pigmen tersebut.
71

Gambar 4 Hematit dapat memberikan warna merah, ungu, hingga hitam pada gambar cadas.

Sangat menarik, bahwa kami mendapati ternyata pigmen merah, ungu, hingga hitam semuanya
memiliki kandungan hematit (besi oksida, Fe2O3). Temuan kandungan hematit pada pigmen hitam
sangat mengejutkan, mengingat di situs-situs lain di berbagai belahan dunia yang digunakan sebagai
pigmen hitam umumnya adalah karbon (charcoal) atau mineral mangan oksida. Variasi warna besi
oksida yang digunakan sebagai pigmen ini tampaknya diperoleh dengan perlakuan pemanasan
pada oker merah, seperti terlihat dari perubahan ukuran kristal, kristalinitas, dan juga pada distorsi
geometri koordinasi atom/ion Fe dalam kristal hematit.

Di sini kita melihat kembali bahwa kita bisa mengubah sifat bahan (dalam hal ini warna) dengan
pengubahan kecil struktur kristalnya, bahkan dalam morfologi serta kristalinitasnya. Pengungkapan
faktor-faktor ini didapatkan dengan pengukuran difraksi dan spektroskopi, baik spektroskopi Raman,
sinar-X, maupun di daerah Infra Merah dan Tampak.

Pembelajaran dan Penelitian Kimia Struktural


Kimia struktural perannya sangat sentral dalam Kimia, tidak mengherankan banyak hadiah Nobel
dianugerahkan pada penentu struktur kristal senyawa tertentu maupun pada penemu teknik
penentuannya. Pembelajaran kimia struktural padatan di tingkat perguruan tinggi merupakan
bagian dari kuliah wajib Kimia, Geologi, dan bidang ilmu terkait. Dalam pembelajaran Kimia
tingkat menengah biasanya kimia struktural padatan tidak dibahas, namun kimia struktural molekul
kecil dan makromolekul biasanya merupakan bahasan yang signifikan. Kimia yang membicarakan
72

3 dunia (atomik, makro, dan simbol) memiliki 3 ide pokok, (i) materi tersusun atas atom, (ii) gaya
tarik elektrostatik adalah gaya yang mengikat bahan, (iii) adanya perubahan kimia yang membentuk
senyawa baru dengan sifat yang berbeda dari pembentuknya(7). Kimia struktural berada di dunia
atomik dan simbolik dan terkait dengan ide pokok 1 dan 2. Sementara dunia makro (sifat yang
diamati) adalah konsekuensinya. Tidak ada hubungan langsung antar keduanya. Struktur merupakan
konsep abstrak dan memerlukan kompetensi spasial yang baik. Berbagai teknik pembelajaran dengan
model dan perangkat lunak yang memungkinkan pelajar berinteraksi aktif dengan struktur akan
sangat membantu. Upaya lain yang kami lakukan bersama kelompok pendidik untuk menumbuhkan
minat pada kajian kristal pada siswa sekolah menengah adalah lomba menumbuhkan kristal. Dengan
mengamati langsung keindahan dan keteraturan pada skala makro ini diharapkan muncul dorongan
untuk menghubungkannya dengan apa yang ada dalam skala atomik, sama seperti pendahulu-
pendahulu kristalografi.

Dalam penelitian di beberapa perguruan tinggi cukup banyak kelompok penelitian yang rutin
menggunakan teknik kristalografi, beberapa sudah mulai mengadakan difraktometer (termasuk
difraktometer kristal tunggal) sendiri atau berkolaborasi dengan berbagai kelompok di luar negeri.
Perlu dibuat jaringan atau wadah untuk saling berbagi, mungkin dimulai dengan membentuk
himpunan kristalografi Indonesia. Wadah ini dapat mewadahi semua ilmuwan Indonesia yang
memiliki perhatian pada kristalografi, dari molekul kecil hingga protein.

Diplomasi Sains
Sebagaimana disebut Prof Daniel dalam pengantar kuliah ini dalam penelitian, kelompok kami
banyak menggunakan fasilitas mega sains, fasilitas yang sangat besar dan sangat mahal. Beberapa
negara, bahkan antar negara yang kadang politiknya berseberangan, secara patungan membangun
fasilitas semacam ini. SESAME (Synchrotron-light for Experimental Science and Applications in the
Middle East) adalah satu-satunya fasilitas sinkrotron di Timur Tengah misalnya dikelola bersama oleh
negara-negara Israel, Iran, Palestina, Cyprus, Turki, yang secara politik tidak mungkin berpartner.
Situasi yang mirip dengan kolaborasi ilmiah AS dan Uni Soviet pada era perang dingin. Ini adalah
salah satu contoh diplomasi sains.

Mengutip Ahmed Zewail, seorang profesor kimia dan fisika di California Institute of Technology,
pemenang Hadiah Nobel 1999 dalam bidang kimia dan utusan sains Presiden Obama untuk Timur
Tengah, menyatakan bahwa:

“The soft power of science has the potential to reshape global diplomacy”.

Soft power sains berpotensi membentuk kembali diplomasi global. Sains menurutnya merupakan
bahasa universal, bahasa yang menjalin hubungan baru antar individu dan membuka pikiran terhadap
ide-ide yang tidak dibatasi oleh ruang. Kebebasan berpikir dan berbicara, demi kemajuan kreatif
73

dalam ilmu pengetahuan; dan komitmen terhadap kesetaraan kesempatan, karena pencapaian ilmiah
tidak mengenal suku, ras, atau latar belakang budaya.

Konsep diplomasi sains mendapatkan perhatian besar setelah pertemuan yang disponsori oleh Royal
Society dan AAAS tahun 2009 di Wilton House, Inggris. Pertemuan itu menghasilkan taksonomi
diplomasi sains yang mencakup:

• Sains dalam diplomasi: sains mendukung diplomasi dengan masukan saintifik


• Diplomasi untuk sains: diplomasi untuk memfasilitasi kerjasama saintifik internasional
• Sains untuk diplomasi: menggunakan sains untuk meningkatkan kerjasama internasional.

Gambar 5 Diplomasi dalam dan untuk Sains

Banyak kritik atas taksonomi ini yang dipandang teoritis dan terlalu akademis, karena dalam praktek
suatu kerjasama internasional bisa multi tujuan. Sehingga ada yang mengusulkan pembagian menurut
(i) kepentingan nasional, (ii) kepentingan lintas batas, (iii) kepentingan global.

Kepentingan politik nasional tidak dapat diabaikan atau dihindari dalam diplomasi sains. Namun
kepentingan nasional hanyalah salah satu dari sejumlah pertimbangan dalam pembuatan kebijakan.
Kembali kepada contoh COVID dan bagaimana kepentingan ilmiah dan peran ilmuwan dalam
mengatasinya. Pada tingkat global, data yang akurat, dapat dipercaya, dan terbuka sangat penting
bagi ilmuwan. Dalam hal ini, kita telah menyaksikan kerja sama, dimulai dengan berbagi urutan
genetik, juga data jumlah kasus dan kematian, beberapa data klinis, dan publikasi hasil riset yang
dibuat terbuka. Sains sendiri pada dasarnya sangat kompetitif dan didorong oleh perlombaan untuk
menemukan pengetahuan baru, membuat terobosan, atau menyangkal teori masa lalu. Tantangan bagi
74

diplomasi sains adalah untuk menemukan keseimbangan optimal antara kerjasama dan kompetisi.
Selain itu, covid juga mengajarkan pentingnya pendekatan multi dan inter disiplin, pentingnya saintis
memegang nilai-nilai sains serta apa yang mungkin dan tidak/belum mungkin dijawab sains.

Bila kita mengadopsi S4D4C “Using science for/in diplomacy for addressing global challenges” suatu
projek diplomasi sains yang dilakukan EU, maka yang perlu terus dilanjutkan adalah melibatkan
seluruh spektrum disiplin ilmu, mendorong agar kefasihandwi arah sains dan diplomasi dimiliki, dan
memberdayakan saintis dan diplomat untuk menjawab tantangan SDG. Terpenting dari itu semua
adalah kerjasama erat antara pemangku kepentingan dalam diplomasi sains: politisi yang membuat
dan mengimplementasikan kebijakan berdasarkan masukan saintis untuk solusi teknis yang telah
ada, yang harus disintesis, atau bahkan harus dicari terlebih dahulu; namun untuk masalah global
diperlukan upaya para diplomat untuk mendorong agar semua negara bekerja sama, dan tentu
saja masyarakat umum. Kita semua berharap pandemi yang masih menyelimuti kita ini menjadi
pendorong kuat kita semua untuk aksi multilateral, solidaritas kemanusiaan, dan fokus lebih kuat
pada masalah-masalah global.

Ilmuwan dan diplomat kita selama ini telah dan terus melakukan diplomasi sains, melalui berbagai
forum bilateral maupun multilateral. Namun di sana-sini penguatan sangat perlu dilakukan. Terlebih
dengan tekad kuat bangsa kita untuk menjadikan sains dan inovasi sebagai basis ekonomi di tengah
keterbatasan kapasitas sistem sains dan inovasi kita, dan keinginan kita untuk berfokus kita pada
ekonomi hijau dan ekonomi biru. Bagaimana kita bisa menggunakan diplomasi sains kita untuk dalam
waktu relatif singkat meningkatkan massa kritis ilmuwan sehingga akan terjadi reaksi rantai yang cepat
dalam peningkatan kapasitas sains dan inovasi nasional. Terkait dengan peningkatan kefasihan dua
arah sains dan diplomasi, berbagai Akademi Sains melakukan pelatihan dan ajang membuat tempat
bertemunya saintis dan diplomat yang mempunyai minat dan tugas untuk melakukan diplomasi
sains. Banyak pihak yang menilai bahwa saat ini diplomasi sains bukanlah suatu karier tertentu yang
terpisah, namun lebih merupakan aktivitas. Dalam kaitan dengan perumusan strategi diplomasi sains
nasional serta upaya pengembangan profesional ini kiranya AIPI dapat berperan.

Daftar Pustaka
1. Ismunandar, Padatan Oksida Logam, ITB PRESS, 2006.
2. H. M. Rietveld, J. App. Crystall., 2, (1969) 55.
3. D.J. Cookson, G.J. Foran, B.A. Hunter, Ismunandar, Brendan J. Kennedy, Materials Science
Forum, 228-231, (1996), 113.
4. Studi kami terkait topik ini antara lain:
75

a. Prasetyo, A., Mihailov, B., Suendo, V., Nugroho, A. A., Ismunandar.: “The effect of the
A-Site cation on the structural transformations in ABi4Ti4O15 (A= Ba, Sr): Raman scattering
studies”, Journal of Solid State Chemistry, 283, 2020, pp. 121-131.
b. Prasetyo, A., Mihailova, B., Suendo, V., Nugroho, A.A., Zulhadjri, Ismunandar.: “Structural
transformations in Pb1 − xBi4 + xTi4 − xMnxO15 (x = 0.2 and 0.4): a Raman scattering
study” (2017) Journal of Raman Spectroscopy, 48 (2), pp. 292-297.
c. Prasetyo, A., Mihailova, B., Suendo, V., Nugroho, A.A., Ismunandar. Further insights into
the structural transformations in PbBi4Ti4O15 revealed by Raman spectroscopy (2015) Journal
of Applied Physics, 117 (6), art. no. 064102
d. Kennedy, B.J., Kubota, Y., Hunter, B.A., Ismunandar, Kato, K: “Structural phase transitions
in the layered bismuth oxide BaBi4Ti4O15”, Solid State Communications, 126(12), 2003, pp.
653-658
e. Ismunandar, T. Kamiyama, A. Hishikawa, Q. Zhou, B.J. Kennedy: “Structural Studies of
Five Layer Aurivillius Oxides:A2Bi4Ti5O18 (A= Ca, Sr, Ba and Pb)“, J. Neutron Res. 13(1-
3), 183, 2005.
f. Zulhadjri, B.Prijamboedi, A.A.Nugroho, N.Mufti, A.Fajar, T.T.M.Palstra, Ismunandar,
Aurivillius phases of PbBi4Ti4O15 doped with Mn3+ synthesized by molten salt technique:
Structure, dielectric, and magnetic properties”, J. Solid State Chemistry, 184, 2011, 1318.
g. Ismunandar and Kennedy, B. J. “Effect of temperature on cation disorder in ABi2Nb2O9 (A
= Sr, Ba)” J. Mater. Chem., 9, 541, 1999
h. Ismunandar, Hunter, B. A. and Kennedy, B. J. “Cation Disorder in Ferroellectric Aurrivillius
phase PbBi2Nb2O9: an anomalous dispersion X-ray Diffraction Study” Solid State Ionics, 112,
281, 1998.
i. Ismunandar, Kennedy, B. J., Gunawan, and Marsongkohadi: “Structure ABi2Nb2O9 A=Sr,Ba:
Refinement of Neutron Powder Diffraction Data” J. Solid State Chem. 126, 135, 1996.
5. Studi kami terkait topik ini antara lain:
a. Ismunandar, Li, L., Kennedy, B.J., Oikawa, K., Kamiyama, T. “Temperature-dependent
structural behaviour of Bi2-xNdxRu2O7-d, x=0.625 and 1.375”, Physica B: Condensed Matter,
385-386 I, 2006, pp. 584-586
b. Ismunandar, Kamiyama, T., Oikawa, K., Hoshikawa, A., Kennedy, B.J., Kubota, Y., Kato,
K.: “Static bismuth disorder in Bi2-x(CrTa)O7-y”, Materials Research Bulletin, 39 (4-5), 2004,
pp. 553-560
c. Ismunandar, Kennedy, B. J., and Hunter, B. A.“Structural and magnetic studies of Manganese
Containing Pyrochlores Oxides” Journal Alloys and Compounds, 302, 94, 2000
d. Ismunandar, Kennedy, B.J., Hunter, B.A.: “Observations on pyrochlore oxide structures”
Materials Research Bulletin, 34(8), 1999, pp. 1263-1274
e. Kennedy, B.J., Ismunandar, Elcombe, M.M.: “Structure and bonding in Bi2Sn2O7” Materials
Science Forum, 278-281 (2), 1998, pp. 762-767
f. Ismunandar, Kennedy, B. J., Hunter, B. A., and Vogt, T.: ” Bonding and Structural Variations
76

in Doped Bi2Sn2O7” J. Solid State Chem. 131, 317, 1997.


g. Ismunandar, Kennedy, B. J., and Hunter, B. A.: “Surface Segregation and Oxygen Vacancy
Ordering in Defect Pyrochlores” J. Solid State Chem. 130, 81, 1996.
6. Studi kami terkait topik ini antara lain:
a. Ilmi, M. M., Maryanti, E., Nurdini, N., Setiawan, P., Kadja, G. T. M., and Ismunandar
(2021): A review of radiometric dating and pigment characterizations of rock art in Indonesia,
Archaeological and Anthropological Sciences, 13(7), 120.
b. Ismunandar, Nurdini, N., Ilmi, M. M., Maryanti, E., and Kadja, G. T. M. (2021):
Investigation on the Crystal Structures of Hematite Pigments at Different Sintering
Temperatures, Key Engineering Materials, 874, 20–27.
c. Nurdini, N., Maryanti, E., Ilmi, M. M., Setiawan, P., Saiyasombat, C., Kadja, G. T. M., and
Ismunandar (2020): Physicochemical investigation of prehistoric rock art pigments in Tewet
Cave, Sangkulirang-Mangkalihat Site, East Kalimantan-Indonesia, Journal of Archaeological
Science: Reports, 31, 102345.
d. Ilmi, M. M., Nurdini, N., Maryanti, E., Saiyasombat, C., Setiawan, P., Kadja, G. T. M., and
Ismunandar (2020): Multi-analytical characterizations of prehistoric rock art pigments from
Karim Cave, Sangkulirang–Mangkalihat site, East Kalimantan, Indonesia, Microchemical
Journal, 155, 104738.
e. Kurniawan, R., Kadja, G. T. M., Setiawan, P., Burhan, B., Oktaviana, A. A., Rustan, Hakim,
B., Aubert, M., Brumm, A., Ismunandar. Chemistry of prehistoric rock art pigments from
the Indonesian island of Sulawesi (2019) Microchemical Journal, 146, pp. 227-233
7. Johnstone, A. H. (1991) Journal of Computer Assisted Learning, 7(2), 75–83 dan Alka Sehgal
Cuthbert, Alex Standis (ed), What Should Schools Teach?: Disciplines, subjects and the pursuit
of truth, UCL Press, 2021.
77

Profil Penulis

Ismunandar, lahir di Purwodadi, 9 Juni 1970; menyelesaikan Pendidikan dasar


di Purworejo, Jawa Tengah; pendidikan menengah di Metro, Lampung Tengah.
Ismunandar kemudian menyelesaikan Pendidikan Sarjana Kimia di ITB pada
tahun 1992, di bawah bimbingan alm Prof Susanto Imam Rahayu (anggota
KIPD AIPI). Pendidikan doktoral Kimianya diselesaikan tahun 1998 di The
University of Sydney. Ismunandar beberapa kali melakukan studi postdoktoral
di Institute Material Science, Tsukuba dan the School of Chemistry, University
of Sydney. Ia dipromosikan ke Jabatan Guru Besar pada tahun 2008.

Ismunandar menikah dengan Syuraida Syukur pada tahun 1996, dikaruniai dua putra, Abiyyu
Avicena (sedang menyelesaikan tahap akhir studi di Informatika ITB) dan Baihaqi Avirous (sedang
studi di tahun kedua SBM ITB).

Topik utama risetnya adalah struktur kristal material oksida logam, dengan menggunakan teknik
difraksi neutron dan sinar-X. Fasilitas difraksi neutron hanya tersedia di beberapa tempat khusus saja
di dunia, yang sering dimanfaatkannya di reaktor GA Siwabessy Puspiptek Serpong, IMS Tsukuba,
dan Lucas Heights, NSW Australia, Institut Laue-Langevin Perancis. Walaupun difraksi sinar-X
mungkin dilakukan di laboratorium standar, karena kekhasan teknik dan sampelnya mengharuskan
digunakannya fasilitas sinar-X sinkrotron. Untuk itu fasilitas sinar-X sinkrotron di berbagai belahan
dunia telah dimanfaatkan, Photon Factory, Tsukuba; Spring-8, Hyogo, Osaka; Synchrotron Light
Research Institute (SLRI), Thailand; Advanced Photon Source (APS), AS.

Fasilitas mega sains, seperti disebut di atas, adalah salah satu contoh dari kegiatan sains untuk
diplomasi dan diplomasi untuk sains. Ismunandar turut dalam diplomasi sains dan pendidikan
Indonesia. Ia menjadi Direktur Pertama Pusat Regional SEAMEO untuk training guru sains
(SEAMEO QITEP in Science), Atase Pendidikan KBRI Singapura dan Washington DC, serta kini
sebagai Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO. Ismunandar adalah Dirjen Pembelajaran dan
Kemahasiswaan KemenRistekdikti (2018-2019), dan Staf Ahli Menristek/BRIN (2020-2021), serta
Plt Deputi Risbang BRIN (2021).

Ismunandar menjadi anggota dan pengurus Himpunan Kimia Indonesia, Royal Society of Chemistry,
IUPAC, dan Young Affiliate The World Academy of Science. Penghargaan yang didapatkan antara lain
Satya Lencana X dan XX tahun; XXV tahun pengabdian ITB; Science and Technology, Indonesian
Toray Science Foundation; Young Researcher Award, LIPI, Gold Award for research excellence, Australian
Institute of Nuclear Science and Engineering.
Elektroda Intan Berkonduktivitas
Sebagai Material Unggul Dalam Berbagai
Sistem Elektrokimia
Prof. Dr. Ivandini Tribidasari Anggraningrum
Komisi Bidang Ilmu Pengetahuan Dasar
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jakarta, 28 September 2021

Pendahuluan
Pengembangan di bidang ilmu material mengalami peningkatan pesat dalam beberapa dekade terakhir.
Pada awalnya ilmu ini mempelajari tentang material dan aplikasinya untuk berbagai keperluan,
sehingga umumnya masuk ke dalam ranah ilmu fisika terapan dan teknologi, terutama teknik kimia,
teknik mesin dan teknik metalurgi. Namun sejalan dengan meningkatnya berbagai kebutuhan dan
permasalahan yang dihadapi dalam aplikasi material, pemahaman tentang struktur dan komposisi
kimia menjadi sangat penting, sehingga ilmu material kemudian juga masuk dan berkembang dalam
ranah ilmu kimia.

Dalam suatu aplikasi atau pemanfaatan, beberapa material lebih unggul dari material lain. Tetapi
dalam aplikasi yang lain, material ini mungkin memiliki sejumlah kekurangan. Bahkan material
yang paling unggul dalam suatu aplikasi, bisa jadi masih membutuhkan pengembangan, misalnya
masih diperlukan peningkatan atau pengurangan salah satu sifatnya. Salah satu cara yang diketahui
untuk mengubah sifat material adalah dengan menggabungkannya atau memodifikasinya dengan
dengan material lain. Cara lain adalah dengan memodifikasinya melalui sintesis material secara kimia.
Untuk ini, dibutuhkan pemahaman mendalam mengenai sifat-sifat kimia serta cara-cara preparasi
dan sintesis material agar mendapatkan hasil yang diinginkan.

Salah satu material yang dikenal unggul adalah intan, atau diamond dalam Bahasa Inggris. Intan
bukan material yang asing di dunia, termasuk di Indonesia. Bahkan, intan telah dikenal di India
sejak berabad-abad lalu, sekitar 2500-1700 SM, dan tertulis dalam kitab-kitab kuno sebagai alat
pembayaran. Konon pada perang dunia ke-1 dan ke-2, intan lebih praktis dibawa berpindah-pindah
tempat, dibandingkan dengan emas, yang dengan volume yang sama, jauh lebih berat, dan bernilai
ekonomi lebih rendah. Intan asli diperoleh secara alamiah dari bahan tambang. Tambang intan besar
ditemukan di Afrika Tengah dan Selatan, Kanada, Rusia, Brazilia, India, dan Australia (Gambar 1)[1].
Di Indonesia juga ditemukan tambang kecil di sekitar Martapura.
80

Gambar 1 Sebaran tambang intan alam di dunia (ditunjukkan dalam warna hitam) [1]

Intan dikenal sebagai material yang paling keras dan stabil di bumi. Intan bahkan tidak larut dalam air
raja (campuran asam nitrat dan asam klorida) yang biasanya digunakan untuk melarutkan emas. Karena
kekerasannya intan banyak digunakan sebagai alat pemotong kaca/logam, juga dalam pengeboran
batuan untuk memperoleh minyak dan bahan tambang lain. Intan juga memiliki kapasitas termal
tinggi, sehingga sering digunakan sebagai pengabsorbsi panas pada berbagai peralatan elektronika.
Namun demikian, intan sama sekali tidak menghantarkan listrik (bersifat insulator), sehingga tidak
dapat digunakan dalam sistem elektrokimia.

Selain intan, kita juga mengenal grafit atau arang, yang juga sama-sama tersusun dari atom-atom
karbon. Namun grafit memiliki sifat dan penampakan sangat berbeda dengan intan, baik dari segi
warna, sifat fisika, kekerasan, serta kemampuan menghantarkan listrik[1]. Tabel ini menunjukkan
sifat-sifat yang berlawanan dari intan dan grafit. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan struktur
kimia intan dan grafit. Struktur intan terdiri dari ikatan kovalen tunggal yang sangat stabil di antara
atom-atom karbon. Sedangkan grafit, meskipun juga tersusun dari atom-atom karbon, memiliki
ikatan rangkap dalam struktur kristalnya.

Tabel 1 Perbandingan Karakteristik Intan dan Grafit


Intan Grafit
Atom Penyusun C C
Ikatan Kimia Ikatan kovalen sp3 Ikatan kovalen sp2
Warna transparan hitam
Densitas (g/cm2) 3,51 2,26
Kekerasan (mhos) 10 1,2
Indeks bias 2,00 2,42
Tahanan listrik (ohm cm) 1013–1015 2–7 x 10-5
81

Sementara itu, bidang aplikasi elektrokimia menjadi sangat populer dalam abad terakhir. Fenomena
perubahan energi kimia menjadi energi listrik, dan sebaliknya dari energi listrik menjadi reaksi kimia
telah digunakan dalam banyak bidang. Selain untuk teknologi pengendalian korosi, pelapisan cat
mobil, dan industri bahan kimia, teknologi elektrokimia juga sering digunakan dalam pembuatan
berbagai jenis sensor dan detektor. Reaksi elektrokimia, adalah reaksi perpindahan elektron yang
memiliki selektivitas dan sensitivitas yang tinggi sehingga dapat menghasilkan sinyal walaupun
sampel yang digunakan sangat sedikit dengan konsentrasi yang sangat rendah. Teknologi elektrokimia
juga dikenal menghasilkan energi listrik yang efisien dan bebas dari reaksi sampingan. Selain itu,
berkembangnya teknologi komunikasi dan transportasi yang sangat pesat, membutuhkan dukungan
alat penyimpan energi, atau yang sering dikenal sebagai baterai, yang stabil, andal, dan tahan lama.
Baterai diketahui merupakan poduk dari teknologi elektrokimia.

Berbicara mengenai kestabilan dan tahan lama mengingatkan kembali kepada intan, material abadi yang
paling keras dan paling stabil di dunia. Tetapi juga sayangnya terkenal sebagai insulator listrik. Karena
itu, berbagai usaha kemudian dilakukan untuk menumbuhkan dan meningkatkan konduktivitas
listrik intan. Sebelum ditemukannya teknologi untuk mensintesis intan, telah dilakukan upaya untuk
menanamkan partikel logam dengan penembakan menggunakan accelerator berenergi tinggi.

Tetapi dengan berkembangnya teknologi untuk mensintesis intan, modifikasi intan agar memiliki
hantaran listrik dapat dilakukan dengan menyisipkan komponen lain dalam bahan pembentuk intan,
sehingga terbentuk struktur intan cacat. Pada intan yang saya gunakan dalam penelitian, digunakan
partikel boron yang disisipkan ke dalam struktur intan untuk menimbulkan hantaran listrik.

Sintesis Intan
Intan alam terbentuk melalui proses geologi yang berlangsung selama ratusan tahun, dalam tekanan
dan temperatur yang sangat tinggi. Pada grafik diagram fasa karbon, dapat dilihat bahwa intan akan
terbentuk jika digunakan tekanan dan temperatur yang sangat tinggi. Meskipun nilai intan yang
tinggi menarik minat banyak ilmuwan untuk berusaha mensintesis intan, tidak ada yang benar-benar
berhasil mensintesis struktur mirip intan. Hingga pada tahun 1955, General Electric melaporkan
bahwa struktur kimia mirip intan berhasil disintesis[2].

Sintesis intan yang dikembangkan sekarang ini secara umum adalah mengubah sumber karbon dari
senyawa-senyawa organik menjadi intan. Dengan tekanan dan temperatur sangat tinggi (sekitar 9–15
GPa dan 1300–3300 K), senyawa-senyawa organik, seperti antrasen, polietilena, dan parafin dapat
diubah menjadi intan [3,4]. Tapi kesulitan pada metode ini adalah menjaga agar kondisi tekanan dan
temperatur yang digunakan cukup stabil dengan keberulangan yang baik.

Intan dapat disintesis pada tekanan yang lebih rendah dengan menggunakan senyawa hidrokarbon
yang lebih sederhana, seperti metana atau metanol [5,6]. Proses ini melibatkan ionisasi gas hidrogen
menjadi plasma yang mengandung proton dan elektron. Plasma ini akan menyerang hidrokarbon
dan membentuk atom-atom radikal karbon. Sehingga, jika di dalam plasma diletakkan benih berupa
kristal intan, atom-atom radikal karbon yang tidak stabil dalam plasma akan menyusun diri, mengikuti
82

struktur benih, dan membentuk struktur intan, dengan menghasilkan kembali gas hidrogen [7]. Reaksi
kimia yang terjadi adalah sebagai berikut:

H2 2H+ + 2e- (1)


2H+ + CH4 C (intan) + 3 H2 (2)

Gambar berikut adalah skema umum instrumen yang saya gunakan dalam sintesis intan. Gas Hidrogen
yang masuk akan terionisasi dalam chamber yang temperaturnya dinaikkan dengan bantuan energi
gelombang mikro. Di dalam chamber ini Hidrogen kemudian membentuk plasma.

Gas metana digunakan sebagai bahan baku sumber karbon. Jika dalam gas metana ini diberikan
pengotor dalam jumlah sangat kecil, struktur intan akan menjadi cacat. Pengotor yang paling
populer digunakan adalah boron. Secara teoritis, atom karbon memiliki 4 elektron terluar, yang
dapat digunakan untuk mengikat 4 atom lain, sedangkan boron hanya memiliki 3 elektron terluar.
Kehadiran boron di antara atom-atom karbon yang menyusun intan, menyebabkan sejumlah
atom-atom karbon kekurangan tetangga, sehingga kristal intan dikatakan cacat. Adanya kristal
cacat ini memungkinkan intan memiliki kemampuan mengalirkan elektron, dan menghantarkan
listrik [8]. Selain boron, penggunaan fosfor, nitrogen, dan sulfur sebagai pengotor juga dilaporkan
dapat meningkatkan konduktivitas listrik intan [9,11].

Selanjutnya, makin tinggi jumlah pengotor dalam metana menyebabkan konduktivitas listrik
intan yang dihasilkan meningkat. Tetapi, terlalu banyak boron dapat menyebabkan struktur intan
gagal terbentuk, dan sebagai gantinya akan terbentuk struktur grafit atau arang[12,13]. Secara umum,
penggunaan 0,1–1% boron dalam gas metana, dapat menghasilkan intan yang terdoping boron
(BDD), yang bebas kandungan grafit [12].

Tetapi jangan mengharapkan intan yang dihasilkan dari instrument ini seperti intan di cincin atau
liontin Bapak Ibu sekalian, intan yang dihasilkan adalah lapisan tipis polikristalin BDD atau kumpulan
kristal-kristal kecil yang membentuk suatu lapisan. Gambar (a) menunjukkan foto penampang atas
lapisan tipis polikristalin BDD diambil dengan menggunakan kamera digital. Lapisan poklikristalin
ini terbentuk, jika di dalam plasma tempat sintesis intan ditempatkan substrat yang telah diberikan
benih berupa nanokristal intan, sebagai support. Substrat yang digunakan umumnya keping silikon
yang tahan panas dan tekanan, serta memiliki struktur yang mirip intan [5,6].

Gambar berikutnya menunjukkan foto lapisan polikristalin yang terbentuk dengan proses sintesis
selama 6 jam. Foto yang diambil menggunakan Scanning Electron Microscope ini menunjukkan bahwa
lapisan terdiri dari kristal-kristal BDD yang saling bertumpuk dengan ukuran sekitar 5 µm dan
ketebalan sekitar 5 µm.

Bukti bahwa lapisan tipis ini adalah intan dapat dilihat dengan menggunakan Spektroskopi Raman
(Gambar 4(c)) yang menunjukkan adanya ikatan sp3 di bilangan gelombang 1330 cm-1 [6,14].
Spektroskopi Raman adalah instrumen yang umum digunakan untuk melihat perbedaan intan dan
grafit. Puncak di sekitar 1300 cm-1 menunjukkan karakteristik ikatan kovalen tunggal sp3 pada karbon,
sedangkan pada 1500 cm-1 menunjukkan karakteristik ikatan kovalen rangkap sp2 pada karbon.
83

Gambar 2 Gambar visual kepingan BDD (a), gambar SEM dari polikristalin BDD (b) penampang atas dan
(c) penampang lintang, serta (d) Spektrum Raman diamond tanpa (atas) dan dengan (bawah)
kehadiran sp2.

Lapisan tipis polikristalin BDD dengan segera menjadi populer digunakan dalam sistem elektrokimia,
karena memiliki sifat-sifat unggul dibandingkan dengan elektroda konvensional lain, seperti platina,
emas dan juga glassy carbon yang tersusun dari karbon grafit. Gambar ini menunjukkan perbandingan
voltammetri siklik antara elektroda BDD dengan elektroda glassy carbon, platina dan emas dalam
larutan 0,1 M H2SO4. Pada gambar tersebut terlihat bahwa daerah potensial kerja BDD jauh lebih
lebar dari elektroda lain (sekitar 3,5 V) dan kapasitansi yang jauh lebih kecil daripada elektroda lain[7].
84

Potential V vs. Ag/AgCl

Gambar 3 Voltammetri siklik elektroda intan, glassy carbon, platina, dan emas dalam larutan 0,5 M H2SO4.

Potensial kerja yang lebar dan kapasitansi yang kecil terjadi karena adsorpsi air pada permukaan BDD
sangat lemah, meskipun doping dengan boron menyebabkan BDD memiliki konduktivitas listrik
[6]. Lemahnya adsorpsi air menyebabkan tingginya overpotential untuk mengoksidasi dan mereduksi
air, karena dibutuhkan energi tambahan untuk mendekatkan air ke permukaan elektroda. Akibatnya
BDD memiliki potensial kerja yang lebar dan dapat mengoksidasi dan mereduksi senyawa kimia
dalam larutan air tanpa gangguan dari reaksi oksidasi dan reduksi air[7].

Lemahnya kemampuan BDD untuk mengadsorpsi juga mengakibatkan kapasitansi yang sangat rendah.
Nilai kapasitansi yang kecil ini menghasilkan nilai arus blanko yang kecil. Hal ini memungkinkan
sinyal arus yang sangat kecil dapat terlihat, sehingga elektroda dapat digunakan untuk mengukur
konsentrasi yang sangat kecil.

Selain itu BDD juga memiliki kestabilan kimia dan fisika yang tinggi, yang memungkinkan
penggunaan elektroda BDD dalam kondisi ekstrem, misalnya dalam larutan yang memiliki keasaman
atau kebasaan tinggi [15], dalam senyawa yang korosif seperti klorin dan ozon [16,17], juga aman
digunakan untuk proses in vitro dan in vivo, karena BDD hanya mengandung atom karbon yang
aman bagi makhluk hidup [18,19].

Aplikasi dan Potensi Aplikasi


Penelitian mengenai pengembangan pemanfaatan intan telah memberikan hasil sebagai berikut:

Pemanfaatan sebagai Detektor, Sensor dan Biosensor.


Penelitian yang telah dikembangkan sebagian besar menghasilkan detektor, sensor dan biosensor
untuk deteksi berbagai senyawa kimia dan biokimia yang berguna dalam pemantauan kesehatan,
85

pemantauan proses industri secara daring dan terus-menerus, serta pemantauan kualitas lingkungan
hidup, yang diharapkan berpotensi meningkatkan kualitas kesehatan dan lingkungan hidup, antara
lain:

i) Detektor dalam sistem kromatografi cair, dan digunakan dalam deteksi obat-obatan, asam amino,
DNA dan RNA, dan berbagai senyawa kimia dan biokimia lain.
ii) Sensor senyawaan kimia, seperti berbagai jenis logam, ozon, oksigen, dan berbagai gas seperti
klorin.
iii) Biosensor berbagai senyawaan biokimia, oksalat, biochemical oxygen demand (BOD), serta
berbagai senyawaan biokimia lain.
iv) Sensor Mikro untuk pengukuran dalam tubuh mahluk hidup, seperti berbagai efek obat, dan
antidepressant yang telah diujicobakan dalam tubuh tikus.

Gambar di sebelah menunjukkan pengukuran menggunakan sensor mikro BDD sebagai sensor pH
dan aplikasinya dalam menguji pH dalam lambung tikus. Kita lihat bahwa larutan pH yang berbeda
menghasilkan potensial yang berbeda. Perbedaan ini linier sehingga dapat digunakan untuk sensor
pH. Selanjutnya penggunaan untuk menguji pH dalam lambung tikus dilakukan sebelum dan setelah
pemberian obat, yang menunjukkan bahwa sensor dapat digunakan secara in vivo.

Sistem elektrokimia dikenal menghasilkan teknologi yang mudah, murah, dan praktis, serta dapat
dengan mudah digunakan oleh pengguna di lapangan. Selain itu, sistem elektrokimia dapat diperkecil
(miniaturisasi) sehingga dapat digunakan dengan sampel dan bahan kimia yang sangat sedikit.
Teknologi yang dikembangkan menggunakan BDD dalam sistem elektrokimia menghindarkan
penggunaan instrumen/mesin-mesin kimia yang mahal dan sulit dioperasikan oleh tenaga awam,
juga menghasilkan peralatan elektrokimia yang tahan lama karena pada dasarnya BDD adalah intan,
suatu material yang memiliki kestabilan kimia dan fisika yang sangat baik.

Pemanfaatan dalam Pengelolaan Lingkungan


Hasil penelitian juga menghasilkan teknologi pengelolaan lingkungan, seperti oksidasi polutan senyawa
organik. Kestabilan kimia dan fisika BDD yang tinggi memungkinkan penggunaan dalam kondisi
ekstrim dan tahan lebih lama, meskipun digunakan secara terus menerus pada potensial tinggi. Selain
itu, kestabilan kimia BDD menyebabkan struktur kimia BDD tidak berubah, meskipun diberikan
potensial yang tinggi. Jika penggunaan elektroda logam aktif sebagai anoda akan mengoksidasi logam
menjadi oksida logam, pemberian potensial tinggi pada BDD akan digunakan untuk mengoksidasi air
menghasilkan ion OH- dan OH radikal sebagai senyawa antara. BDD dilaporkan dapat menghasilkan
radikal OH yang lebih banyak daripada elektroda lain, dan radikal OH adalah senyawa yang sangat
reaktif sehingga memungkinkan mineralisasi senyawa organik langsung menjadi CO2 dan H2O,
tanpa pembentukan senyawa antara yang seringkali lebih berbahaya bagi lingkungan.

BDD juga dicoba untuk digunakan dalam reaksi reduksi CO2. Tingginya konsentrasi CO2 dalam
atmosfer menyebabkan meningkatnya minat pada penelitian reduksi CO2. Selain bertujuan untuk
86

menurunkan konsentrasi CO2 di udara, kelimpahan CO2 menyebabkan potensi CO2 sebagai bahan
baku untuk mensintesis senyawa kimia yang lebih bernilai ekonomis. Hasil penelitian melaporkan
bahwa teknologi yang dikembangkan dengan BDD dapat menghasilkan asam format dan gas
hidrogen dengan efisiensi Faraday yang cukup tinggi.

Pemanfaatan dalam Penyediaan dan Penyimpanan Energi


Pada pengembangan potensi produksi listrik menggunakan BDD, telah dilakukan elektrolisis air
menghasilkan ozon, biodiesel, hidrogen dan oksigen yang menjadi salah satu teknologi andalan
untuk penyediaan energi.

Potensi lain untuk penyediaan energi adalah teknologi fuel cell, yaitu sel yang dapat mengubah senyawa
kimia menjadi energi listrik. Fuel cell klasik membutuhkan bahan baku hidrogen dan oksigen. Namun
belakangan ini pengembangan fuel cell menggunakan bahan baku berupa limbah juga dikembangkan.
Salah satu bahan yang menarik adalah menggunakan air seni (urine) sebagai bahan bakar. Dalam
urine, terdapat urea yang dapat dioksidasi, menghasilkan transfer elektron, yang dapat digunakan
sebagai energi listrik. Listrik jenis ini berpotensi digunakan untuk daerah-daerah atau pulau terpencil
di Nusantara, atau bahkan di kapal-kapal Nelayan sehingga pemerataan energi dapat dilakukan, dan
menghasilkan pemerataan kesejahteraan dan meningkatnya perekonomian daerah terpencil.

Potensi lain dalam pengembangan baterai dan superkapasitor juga telah diteliti. Namun kapasitansi
yang kecil menyebabkan penyimpanan energi sulit dilakukan. Dibutuhkan terobosan baru, misalnya
mengubah strukturnya menjadi dimensi yang lebih kecil.

Kesulitan, Tantangan, dan Perspektif ke Depan


Banyak yang telah dipelajari dalam pengembangan intan dalam berbagai sistem elektrokimia. Salah
satu hambatan yang terbesar adalah teknologi pembuatan intan itu sendiri karena mesinnya belum
dikembangkan di Indonesia. Namun, melalui kerjasama dengan Prof. Yasuaki Einaga dari Keio
University, saya dapat memperoleh material ini untuk terus mengembangkan penelitian.

Selain itu tentu saja penyediaan bahan kimia dan instrumentasi juga menjadi tantangan tersendiri
akibat kurangnya kegiatan industri kimia di Indonesia. Untuk ini, terima kasih yang sedalam-
dalamnya kami ucapkan kepada Prof. Yasuaki Einaga dari Keio University, Prof. Hoeil Chung dari
Hanyang University, Prof. Young Il Lee, Prof. Hong Jong Wook, dan Prof. Kwang-Sun Ryu dari
Ulsan University, Korea, serta Prof. Arben Merkoci dari Institut Teknologi Catalan, Barcelona atas
kerjasamanya berbagi instumen dan bahan kimia untuk mahasiswa-mahasiswa yang magang di
tempat mereka.
87

Tantangan lain adalah mencari muara aplikasi dari penelitian yang dihasilkan. Sejauh ini, penelitian
yang dihasilkan berada dalam tataran penelitian, dan belum pada aplikasi sesungguhnya. Dibutuhkan
kerjasama dengan pihak industri agar penelitian yang dihasilkan lebih bermanfaat.

Di lain pihak, telah begitu banyak yang telah dipelajari dalam pengembangan material melalui intan
berkonduktivitas listrik. Dengan pemahaman yang cukup atas permasalahan sekitar, ilmu yang
digunakan dapat digunakan untuk mengembangkan material lain yang tersedia di sekitar kita.

Daftar Pustaka
[1] A. Krueger, Carbon Materials and Nanotechnology, Willey-VCH Verlag GmbH & Co, KGaA,
Weinheim 2010
[2] R. M. Hazen. The diamond makers, Cambridge University Press 1999.
[3] F. P. Bundy, J. Chem. Phys. 68 (1963) 631
[4] K. E. Spear, J. Am. Ceram. Soc., 72 (1989) 398
[5] J. H. T. Luong, K. B. Male, J. D. Glennon, Analyst 134 (2009) 1965.
[6] A. Fujishima, Y. Einaga, T.N. Rao, D.A. Tryk, Eds.; Diamond Electrochemistry, Elsevier-BKC:
Tokyo, 2005; p 396.
[7] T. A. Ivandini, Y. Einaga, 2017, Diamond Electrochemistry in Reedijk, J. (Ed.) Elsevier
Reference Module in Chemistry, Molecular Sciences and Chemical Engineering. Waltham,
MA: Elsevier. 24-Jun-17 doi: 10.1016/B978-0-12-409547- 2.12190-0
[8] A. Masood, M. Aslam, M.A. Tamor, T.J Potter, Appl. Phys. Lett. 61 (1992) 1832.
[9] S. Kono, K. Mizuochi, G. Takyo, T. Goto, T. Abukawa, T. Aoyama, New Diamond Frontier
Carbon Technol. 17 (2007) 231.
[10] A. Ahnood, A. N. Simonov, J.S. Laird, M. I. Maturana, K. Ganesan, A. Stacey, M. R. Ibbotson,
L. Spiccia, S. Prawer, Appl. Phys. Lett. 108 (2016) 104103.
[11] S. C. Eaton, Y. E. Evstefeeva, J.C. Angus, A.B. Anderson, Y.V. Pleskov, Russian J. Electrochem.
39 (2003) 254–259.
[12] T. Watanabe, Y. Honda, K. Kanda, Y. Einaga, Y. Phys. Status Solidi A 211 (2014)2709.
[13] T. A. Ivandini, Y. Einaga, 2017, Diamond Electrochemistry in Reedijk, J. (Ed.) Elsevier
Reference Module in Chemistry, Molecular Sciences and Chemical Engineering. Waltham,
MA: Elsevier. 24-Jun-17 doi: 10.1016/B978-0-12-409547- 2.12190-0
[14] Y. Honda, T.A. Ivandini, T. Watanabe, K. Murata, Y. Einaga, Diamond Relat. Mater. 40 (2013)
7–11.
[15] R. deClement, G. M. Swain, J. Electrochem. Soc. 144 (1997) 856.
88

[16] Q. Chen, M. C. Granger, T. E. Lister, G. M. Swain, J. Electrochem. Soc. 144 (1997) 3086.
[17] M. Murata, T. A. Ivandini, M. Shibata, S. Nomura, A. Fujishima, Y. Einaga, J. Electroanal.
Chem. 612 (2008) 29.
[18] Y. Ishii, T. A. Ivandini, K. Murata, Y, Einaga, Anal. Chem. 85 (2013) 4284.
[19] A. Suzuki, T. A. Ivandini, K. Yoshimi, A. Fujishima, G. Oyama, T. Nakazato, N.A. Hattori, S.
Kitazawa, Y. Einaga, Anal. Chem. 79 (2007) 8608.
Profil Penulis
Prof. Dr. Ivandini Tribidasari Anggraningrum dilahirkan di Jakarta tanggal
29 Januari 1970, putri ke-3 dari almarhum Drs. H. Arief Supardi (wafat
tahun 2013) dan almarhumah Hj. Pudjijanti (wafat tahun 2021), memiliki
2 orang kakak, serta 3 orang adik. Ivandini menikah dengan Dr. Winarto,
S.t., M.T., Dosen Teknik Mesin Universitas Brawijaya, Malang.

Pendidikan Sarjana Kimia diselesaikan tahun 1993 dan Magister Ilmu


Kimia diselesaikan tahun 1996 keduanya ditempuh di Universitas
Indonesia. Selanjutnya Studi Doktor ditempuh di The University of Tokyo
sejak tahun 2000 hingga 2003 dan dilanjutkan dengan riset post-doctoral
di Keio University, Japan pada tahun 2003–2007. Setelahnya Ivandini
menjadi distinguished Visiting Professor di Universitas tersebut hingga sekarang.

Ivandini menjadi CPNS di Universitas Indonesia selepas S-2nya tahun 1997, dan menjadi diangkat
menjadi Guru Besar Ilmu Kimia di Universitas Indonesia pada 1 Desember 2018. Fokus riset yang
dilakukan adalah elektrokimia intan dan karbon yang memiliki konduktivitas listrik sebagai sensor,
biosensor, dan penyedia energi. Dalam melakukan risetnya Ivandini memiliki beberapa kolaborator,
antara lain: Prof. Dr. Yasuaki Einaga (Keio University, Japan), Prof. Arben Merkoçi (Institut Català
de Nanociencia i Nanotecnologia, Spain), Prof. David G. Churchill (KAIST, South Korea), Prof. Dr.
Hoeil Chung (Hanyang University, South Korea), Prof. Dr. Young Il Lee, Prof. Kwang-Sun Ryu, dan
Prof. Jong-Wook Hong (Ulsan University, South Korea).

Dari riset yang dilakukan tidak kurang dari 125 artikel ilmiah di jurnal bereputasi telah diterbitkan,
beberapa di antaranya menjadi cover dari jurnal tersebut. H-index Ivandini adalah salah satu dari
yang tertinggi di Universitas Indonesia. Sejak tahun 2018 Ivandini menjadi Manager Riset dan
Pengabdian Masyarakat di Fakultas MIPA Universitas Indonesia. Ivandini juga sering diminta untuk
menjadi narasumber bagi penulisan artikel ilmiah. Ivandini juga menjadi Chief Editor di jurnal
ilmiah Makara Journal of Science terbitan Universitas Indonesia yang telah terindex SCOPUS awal
tahun 2021 ini.

Beberapa penghargaan telah diterima, mulai dari JSPS Award, beberapa kali menjadi peneliti terbaik
Universitas Indonesia, dan Habibie Award tahun 2019. Organisasi Profesi yang diikuti adalah sebagai
anggota dari Japan Chemical Society, International Society of Electrochemistry, dan Royal Society of
Chemistry.
Ancaman Dampak Pembangunan dan
Perubahan Iklim Terhadap Biodiversitas
Laut: Tantangan dan Harapan
Prof. Dr. Jamaluddin Jompa

Pendahuluan
Indonesia adalah “benua maritim” di mana perairan laut menjadi penghubung dan sumber kehidupan
rakyat tersebar pada lebih dari 17.500 pulau. Hal ini terungkap mulai dari kelahiran Republik
Indonesia sebagai “Tanah Air”. Pentingnya Indonesia sebagai pusat biodiversitas laut dunia menjadi
dasar dan inspirasi untuk menginisiasi Coral Triangle Initiative for Coral Reefs, Fisheries and Food
Security (CTI- CFF) pada tahun 2009, di mana perjanjian multi-pihak ditandatangani pada World
Ocean Conference (WOC) di Manado Tahun 2009 oleh enam Kepala Negara. Tujuan dan sasaran
CTI-CFF mengambarkan pentingnya biodiversitas dan konservasi sumber daya alam bagi kehidupan
manusia, dari aspek ekonomi maupun ketahanan pangan[1,2]. Meskipun Indonesia telah berusaha
terus mengembangkan pembangunan kelautan sebagai jati diri sebagai bangsa maritim, termasuk
dalam perspektif penguatan Indonesia menjadi “Poros Maritim Dunia”, percepatan pembangunan
lokal, regional dan global telah berdampak negatif terhadap biosfer, termasuk ekosistem dan
keanekaragaman hayati laut[3–8].

Pusat Biodiversitas Laut Global dan Indonesia


Tingginya biodiversitas di wilayah laut Indonesia telah menjadi perhatian para peneliti dunia yang
mencoba menjelaskan fenomena tersebut dengan tiga model utama[9–13]. Yang pertama Indonesia
sebagai pusat asal usul (center of origin). Yang kedua, Indonesia sebagai ‘pusat tumpang tindih’
(center of overlap). Yang ketiga, Indonesia sebagai ‘pusat penggabungan’ (center of accumulation).
Barber (2009) dan beberapa ilmuan lainnya berargumentasi bahwa kemungkinan terbesar yang
menjelaskan tingginya biodiversitas laut Indonesia adalah merupakan gabungan atau sinergi ketiga
model tersebut[14,15]. Variasi keempat model tersebut semua mengarah pada fakta-fakta utama yakni
posisi geografis Indonesia pada pertemuan antara dua samudra besar yakni Samudra Hindia dan
Samudra Pasifik. Variasi atau perbedaan sifat-sifat fisika kimia, biologi, ekologi, proses geologi,
hidro-oseanografis, dan kekayaan biodiversitas antara kedua samudera tersebut menyatu di perairan
nusantara.

Veron dan kawan-kawan pada tahun 2009, telah memetakan jenis karang keras (Scleractinian corals)
dalam peta dunia dan mempertegas secara konsisten posisi Indonesia tersebut sebagai pusat segitiga
biodiversitas karang dunia[16]. Demikian pula halnya dengan data sebaran spesies dunia untuk ikan,
lamun dan mangrove menunjukkan pola hampir serupa yakni kekayaan biodiversitas yang tertinggi
berada di wilayah nusantara[17,18].[18–21].
92

Kekayaan hayati tersebut merupakan anugerah yang bernilai luar biasa sehingga dapat memberi
peluang besar untuk kesejahteraan bangsa[22]. Namun demikian, akibat dampak pembangunan
baik lokal maupun global yang begitu pesat, sumberdaya alam tersebut berada pada kondisi yang
terancam[18], sehingga menyisakan tanggung jawab yang besar buat kita sebagai bangsa. Di sisi lain,
penemuan spesies baru pada ekosistem, habitat atau komunitas biotik yang terancam menimbulkan
risiko bahwa berbagai spesies yang secara alami merupakan kekayaaan laut Indonesia kemungkinan
sudah terancam punah sebelum diketahui dan dideskripsi secara ilmiah[23–25]. Perlu disadari bahwa
proses kepunahan terus berjalan “extinction is forever” dan laju kepunahan saat ini melampaui kelima
kepunahan masal masa lampau[23,26], termasuk pada lingkungan laut[27].

Ancaman terhadap kekayaan biodiversitas yang terkandung dalam ekosistem-ekosistem laut menjadi
tantangan besar dan mendesak bagi manusia, dan khususnya Bangsa Indonesia. Untuk menghadapi
kondisi tersebut, dibutuhkan ilmu pengetahuan yang andal dan upaya pengelolaan yang efektif,
termasuk tepat sasaran dan pada skala yang setara dengan ancaman-ancaman yang dihadapi.

Tantangan Pengelolaan dan Pemanfaatan Biodiversitas


Semakin besar penguasaan pengetahuan dan teknologi, semakin besar kemampuan untuk merusak
atau menjaga dan memulihkan bumi satu-satunya yang menjadi rumah bagi seluruh umat
manusia. Desain dan implementasi upaya-upaya pengelolaan harus didasarkan pada sains dan data
yang berkualitas, kerangka hukum yang tepat, dan penegakan aturan yang efektif[28–30]. Berbagai
upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya laut telah dilakukan namun masih mengalami
tantangan yang beragam, termasuk lemahnya kapasitas sumberdaya manusia. Mengelola sumberdaya
biodiversitas secara optimal dan berkelanjutan membutuhkan sumberdaya manusia handal yang
memiliki pengetahuan dan pemahaman dasar yang tepat, serta fleksibel dan mampu beradaptasi
dan belajar secara kontinu, seiring dengan perubahan yang terjadi dalam sains dan teknologi serta
kondisi sosio-ekologi. Dalam hal ini peran AIPI menjadi penting, sebagai forum multidisiplin untuk
mengkaji, meningkatkan, menilai, memadukan dan menerapkan sains, teknologi dan inovasi demi
masa depan pengelolaan biodiversitas laut yang lebih berkelanjutan.

Tantangan besar lainnya adalah termasuk paradigma ‘open access’ pada wilayah perairan yang
umumnya berstatus ‘common property’, kepentingan terkait penemuan kebutuhan ekonomi jangka
pendek, dan laju dengradasi. Dalam konteks tersebut, sektor perikanan dan konservasi tidak dapat
dipisahkan. Dari segi ekonomi, sektor perikanan memberi kontribusi nyata terhadap ekonomi
rakyat, ketahanan pangan dan pendapatan daerah maupun negara. Pelaku perikanan yang dari segi
jumlahnya didominasi oleh nelayan skala kecil yang pada umumnya masih terjebak dalam dilema
“open access”, sehingga gejala “tragedy of the commons” kerapkali terlihat di pesisir Indonesia[31,32],
di wilayah yang sekaligus merupakan pusat-pusat biodiversitas yang sangat tinggi. Penataan ruang
dan pengaturan jenis maupun jumlah kapal dan alat tangkap merupakan tantangan besar, namun
penting dan mendesak, terutama dengan mencermati data bahwa kebanyakan komoditas perikanan
laut telah dieksploitasi secara penuh atau berlebih di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP)
Indonesia (https://www.eafm-indonesia.net/).
93

Selain sumberdaya laut yang dimanfaatkan sebagai komoditas perikanan tangkap dan atau budidaya,
biota yang memiliki daya tarik wisata juga perlu perhatian khusus. Mayoritas megafauna karismatik
telah terancam punah atau berstatus rawan pada Daftar Merah IUCN, termasuk jenis-jenis yang
telah diberi status lindung penuh atau terbatas oleh Pemerintah Indonesia. Megafauna dengan status
lindung penuh antara lain hiu paus, pari manta, mamalia laut, dan penyu[33–35]; beberapa jenis hiu selain
hiu paus telah diberi status lindung terbatas[33,34]. Pengetahuan mengenai berbagai biota lain yang
merupakan daya tarik wisata masih sangat terbatas. Misalnya pada Nudibranch (kelinci laut) jumlah
spesies dan kekerabatannya masih perlu penelitian[36], demikian pula bioekologi Mola-mola (sunfish­)
[37,38]
, hiu karpet (zebra shark) dan hiu berjalan (walking shark)[39,40], dan lainnya.

Ancaman Dampak Pembangunan dan Perubahan Iklim


Salah satu konsekuensi dari perkembangan pembangunan yang sangat pesat adalah bahwa pencemaran
yang ditimbulkan melampaui kemampuan alam untuk menyerap limbah yang dihasilkan sehingga
tidak dapat pulih kembali ke kondisi alamiah. Di antara berbagai dampak pembangunan yang
menimbulkan degradasi ekosistem dan jasa lingkungan pesisir dan laut, ada dua hal yang sedang
menjadi masalah besar yakni perubahan iklim global akibat emisi gas-gas rumah kaca serta pencemaran
oleh sampah plastik dan mikro-plastik. Selain itu, masih terjadi praktik perikanan yang tidak ramah
lingkungan (destructive fishing)[41,42]. Mata pencaharian alternatif seperti budidaya rumput laut juga
dapat memiliki dampak, misalnya pencemaran plastik dan mikro-plastik dari pelampung (botol)
dan tali[43,44], sedangkan potensi perubahan tehadap keseimbangan ekologi dan kerusakan fisik akibat
aktivitas budidaya belum banyak diketahui[45]. Pembangunan di wilayah pesisir dan perubahan
penggunaan lahan di daratan juga berdampak pada ekosistem pesisir dan laut[18,46,47].

Dampak perubahan iklim bersifat kompleks dan bakal menyentuh seluruh aspek kehidupan
masyarakat [18,48]. Salah satu efek yang menaruh perhatian global dan khususnya di Indonesia adalah
pemutihan massal karang yang semakin sering terjadi akibat peningkatan suhu permukaan laut[6].
Pemutihan massal karang (mass coral bleaching) dilaporkan di Indonesia pada tahun 1998, 2010,
2016, dan yang terakhir pada tahun 2020 [49–52]. Dampak lain dari peningkatan suhu perairan yang
kurang disadari adalah kecenderungan berbagai biota laut di wilayah tropis berpindah distribusinya
ke arah sub-tropis serta penurunan kadar oksigen dalam laut yang dapat memperlambat pertumbuhan
dan membatasi ukuran maksimal ikan[53–57]. Hal ini dapat menurunkan produktivitas sumber daya
perikanan Indonesia[58]. Suhu juga menentukan jenis kelamin embrio pada biota tertentu seperti
penyu sehingga kenaikan suhu rata-rata akan memengaruhi sex ratio [59]. Kenaikan suhu dapat
juga meningkatkan laju fisiologi dan mendukung pertumbuhan mikroorganisme patogen sehingga
berdampak negatif terhadap ketahanan melawan penyakit[60,61]. Dampak negatif lainnya yang
diprediksi termasuk gangguan rantai atau jejaring trofik, misalnya kesenjangan waktu atau tempat
antara puncak reproduksi ikan dan ketersediaan pakan larva yakni berupa jenis plankton yang tepat;
perubahan dalam perilaku hewan; dan gangguan hubungan simbiosis[62–64].
94

Penurunan pH air laut yang disebut pengasaman laut akibat peningkatan kadar CO2 dalam laut juga
merupakan ancaman bagi biota laut[65–69]. Energi yang dibutuhkan untuk membentuk kerangka atau
cangkang berkapur semakin tinggi, sehingga pertumbuhan banyak organsime akan menurun. Laju
bioerosi pada kerangka biota yang mati akan semakin meningkat dan mengikis struktur terumbu
karang. Berbagai taxa memiliki larva yang rawan terhadap pH yang rendah pada fase tertentu dalam
siklus kehidupan, termasuk komoditas perikanan dan biota yang memainkan peran kunci secara
ekologis dalam jejaring trofik[70].

Selain itu, peningkatan permukaan air laut merupakan ancaman sangat besar bagi kebanyakan
negara kepulauan, termasuk Indonesia[48]. Selain pulau-pulau yang bakal tenggelam, mayoritas daerah
perkotaan dan tanah pertanian yang subur berada pada elevasi yang rendah dan terancam oleh banjir
yang semakin sering, intrusi air asin, abrasi, ataupun kemungkinan bakal tenggelam. Hal ini juga
akan memengaruhi kondisi dan keseimbangan bio-ekologis di wilayah pesisir [48].

Selain itu, peningkatan permukaan air laut merupakan ancaman sangat besar bagi kebanyakan
negara kepulauan, termasuk Indonesia[48]. Selain pulau-pulau yang bakal tenggelam, mayoritas daerah
perkotaan dan tanah pertanian yang subur berada pada elevasi yang rendah dan terancam oleh banjir
yang semakin sering, intrusi air asin, abrasi, ataupun kemungkinan bakal tenggelam. Hal ini juga
akan memengaruhi kondisi dan keseimbangan bio-ekologis di wilayah pesisir[48].

Laporan terbaru dari IPCC [71] menunjukkan bahwa umat manusia telah melampaui sejumlah batas
sehingga perubahan iklim yang akan terjadi telah pasti akan lebih besar daripada saat ini. Dapat
dikatakan bahwa secara kolektif umat manusia berada pada titik sejarah yang sangat kritis, di mana
beberapa dekade ke depan akan menetukan keberhasilan atau kegagalan upaya mitigasi perubahan
iklim pada tingkat yang masih memungkinkan untuk mempertahankan peradaban manusia dengan
tingkat kenyamanan yang relatif baik. Khusus kebanyakan Indonesia, kegagalan akan membawa
musibah-musibah yang sangat dahsyat. Dalam konteks ini, peran ilmuan daru semua disiplin sangat
penting dalam mencari solusi mitigasi maupun adaptasi yang inovatif, efektif dan realistis, demi
keselamatan bersama bangsa dan dunia. Semoga saja fakta-fakta adanya dampak nyata perubahan
iklim tehadap organisme laut, misalnya ada pemutihan karang massal yang tidak pernah terjadi dalam
sejarah bumi sebelumnya, dapat memicu perhatian kita untuk serius memperjuangkan upaya-upaya
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim secara global, khususnya di Indonesia. Sampah plastik dan
mikroplastik di laut bukan hanya menurunkan nilai estetika kawasan pesisir, tetapi juga menimbulkan
bahaya bagi kesehatan manusia dan keberlanjutan hidup biota laut[72–75].

Sampah plastik yang terbuang atau mengalir ke laut dapat bertahan bertahun-tahun ataupun ratusan
tahun dan mengapung mengikuti arus laut dunia. Seiring dengan waktu, plastik tidak mudah terurai
tetapi pecah menjadi fragment yang semakin kecil. Plastik yang berada di laut akan cenderung dilapisi
oleh mikro-organisme, termasuk yang merupakan makanan biota laut maupun patogen, dan dapat
pula melepaskan senyawa yang toksik. Kematian biota laut yang mengonsumsi plastik antara lain
karena ususnya terganggu dengan makro plastik, misalnya pada penyu laut; kurang gizi karena plastik
mengganti makanan dalam perutnya, termasuk pada burung laut dan larva ikan atau avertebrata.
95

Fenomena-fenomena tersebut menunjukkan urgensi penemuan dan penerapan alternatif yang ramah
lingkungan, dari aspek bahan dan produk maupun perilaku manusia dan pengelolaan sampah yang
lebih baik.

Ancaman Dampak Pembangunan dan Perubahan Iklim


Dalam mengantisipasi dan merespon semakin besarnya ancaman pembangunan dan perubahan iklim
terhadap ekosistem dan biodiversitas laut, maka salah satu strategi yang penting adalah peningkatan
luasan dan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi laut[76,77]. Upaya-upaya pencegahan atau
pengurangan ancaman lokal di dalam kawasan konservasi laut diharapkan dapat meningkatkan
daya tahan/ketangguhan (resilience) menghadapi tekanan yang sulit dihindari seperti perubahan
iklim global[30,76]. Namun, agar hal ini terwujud perlu memperhatikan berbagai prinsip, termasuk
konektivitas dan replikasi[30,78]. Konektivitas penting pada beberapa skala, misalnya antar ekosistem
yang dibutuhkan oleh ikan pada semua fase kehidupannya, atau konektivitas source and sink seperti
antar lokasi pemijahan karang dan lokasi di mana larvanya menempel setelah terbawa oleh arus laut
(Green et al. 2015; Schill et al. 2015; Magris et al. 2016; Setyawan et al. 2018).

Dengan demikian, diperlukan jejaring kawasan konservasi yang representatif pada skala lokal maupun
bentang laut (seascape)[20,79]. Idealnya, jejaring kawasan konservasi didasari pada pengetahuan yang
memadai mengenai konektivitas bio-fisik dan ekologis ola sebaran larva di bentang Laut Banda[80].

Dibanding dengan negara-negara lain, keberhasilan Indonesia dalam menetapkan luasan kawasan
konservasi perairan (KKP) relatif tinggi, namun efektivitas pengelolaan umumnya dinilai masih
relatif rendah[77,81]. Salah satu tantangan besar bagi sejumlah besar KKP di Indonesia, khususnya KKP
daerah adalah perubahan fundamental dalam pola Otonomi Daerah dengan berlakunya Undang-
Undang 23/2014 di mana wewenang atas perairan pesisir, termasuk KKPD yang dulunya sebagian
besar di tingkat kabupaten/kota, berpindah ke provinsi[82,83]. Sampai saat ini, di berbagai daerah
proses pengalihan tersebut belum selesai atau struktur pengelolaan baru belum terimplementasi
secara penuh. Dari 20-an juta hektar KKP yang ada, mayoritas masih memerlukan penguatan
kelembagaan dan dukungan infrastruktur yang memadai serta membutuhkan pendanaan yang cukup
dan berkelanjutan[84–87].

Dari luasan KKP di Indonesia, umumnya zona inti atau no-take zone relatif kecil. Prinsip zona inti
adalah sebagai lumbung di mana ikan dan biota lain akan berkembang biak kemudian menyebar
pada zona pemanfaatan untuk mendukung kehidupan masyarakat. Namun hal ini hanya akan terjadi
jika zona inti terpilih secara tepat sesuai dengan biota yang menjadi prioritas[88]. Jika proses tersebut
berhasil tetap diperlukan pengelolaan berkelanjutan sumberdaya ikan pada zona pemanfaatan, di mana
dukungan dan partisipasi masyarakat merupakan kunci keberhasilan[29,76,89,90]. Model pengelolaan
perikanan di KKP dapat menerapkan pola rights-based fisheries dan/atau menggunakan kearifan
lokal [29,76,89,91,92]. Selain itu, hampir semua titik penyelaman wisata (dive spots) terkenal di Indonesia
berada di dalam kawasan konservasi perairan, sehingga efektivitas pengelolaan kawasan konservasi
96

erat kaitannya dengan keberlanjutan wisata bahari yang berkualitas[30,76,87]. Dengan demikian,
pengelolaan KKP yang berhasil akan bermanfaat secara ekologi maupun sosio-ekonomi, sehingga
resiliensi ekosistem yang terbentuk juga akan meningkatkan resiliensi masyarakat dari aspek ekonomi
dan ketahanan pangan[18,30,76].

Masa Depan Biodiversitas Laut:


Antara Peluang dan Tantangan
Alam dan mahluk hidup memiliki kemampuan untuk pulih, sehingga diperlukan sains dan teknologi
untuk memahami proses pemulihan tersebut, baik secara alami maupun dengan intervensi teknologi.
Satu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa pencegahan kerusakan ekosistem dan sumberdaya
alam laut secara umum jauh lebih efisien dari segi upaya yang diperlukan maupun biaya yang
dibutuhkan dibanding upaya memulihkan ekosistem yang telah degradasi atau populasi biota yang
telah menurun drastis[93]. Dalam beberapa kondisi, jika terjadi degradasi pada habitat penting di
wilayah strategis (misalnya ekosistem terumbu karang, padang lamun, atau mangrove di wilayah
tujuan pariwisata), maka upaya intervensi melalui kegiatan rehabilitasi/restorasi dapat dilakukan
dengan lebih dahulu memastikan bahwa penyebab kerusakannya telah diatasi dengan baik.

Pemulihan pasif atau alami dilakukan dengan prinsip ‘resilience’, yaitu dengan menciptakan atau
mengelola ekosistem yang kondusif untuk pembiakan dan pertumbuhan komunitas biota pada wilayah
sasaran(IUCN-WCPA 2008. Salah satu contoh di mana pendekatan tersebut dapat diterapkan adalah
pada pemulihan stok ikan bernilai ekonomis, misalnya ikan kerapu yang diperdagangkan pada Live
Reef Food Fish Trade (LRFFT) sebagai komoditas ekspor dari Indonesia dan lain-lain.

Seiring dengan berkembangnya sains dan teknologi, maka upaya pemulihan aktif dengan
menggunakan teknik restorasi/rehabilitasi terus berkembang baik pada ekosistem terumbu karang,
padang lamun dan mangrove [94]. Khusus restorasi ekosistem terumbu karang telah banyak dilakukan
di Indonesia dengan berbagai model dan skala, meskipun masih banyak aspek yang belum optimal
atau memerlukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut.

Penutup
Percepatan pembangunan seiring dengan perkembangan peradaban manusia tentu tidak dapat
dihindari apalagi dihentikan. Namun, kemajuan sains, teknologi, dan inovasi seharusnya dapat
menghindarkan ekosistem planet bumi dari degradasi dan kehancuran. Darat dan lautan beserta
kekayaan biodiversitasnya adalah anugrah yang diciptakan untuk kesejahteraan manusia. Oleh karena
itu walaupun tantangannya besar, kita harus dapat menyelamatkan kekayaan bumi nusantara yang
bukan merupakan warisan nenek moyang kita, tapi merupakan pinjaman anak cucu kita.
97

Daftar Pustaka
[1] Anonymous 2009 Indonesia National Plan of Actions (Jakarta: Indonesia National Secretariat
of CTI-CFF)
[2] Rajuddin M K B M, Ibrahim S N, Lumiu G, Bennett G, Rosalie J and Polita A 2020 Annual
Report 2019: Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security (Manado:
CTI-CFF Regional Secretariat)
[3] Edinger E N, Jompa J, Limmon G V, Widjatmoko W and Risk M J 1998 Reef degradation and
coral biodiversity in indonesia: Effects of land-based pollution, destructive fishing practices and
changes over time Mar. Pollut. Bull. 36617–30
[4] Sandilyan Sand Kathiresan K 2012. Mangrove conservation: a global perspective. Biodivers.
Conserv. 21 3523–42
[5] Lavides M N, Molina E P V, de la Rosa G E, Mill A C, Rushton S P, Stead S M and Polunin
N V C 2016 Patterns of Coral-Reef Finfish Species Disappearances Inferred from Fishers’
Knowledge in Global Epicentre of Marine Shorefish Diversity ed H M Patterson PLoS One
11e0155752
[6] van Hooidonk R, Maynard J, Tamelander J, Gove J, Ahmadia G, Raymundo L,Williams G,
Heron S F and Planes S 2016 Local-scale projections of coral reef futures and implications of
the Paris Agreement Sci. Rep. 639666
[7] Short F T, Polidoro B, Livingstone S R, Carpenter K E, Bandeira S, Bujang J S, Calumpong H
P, Carruthers T J B, Coles R G, Dennison W C, Erftemeijer P L A, Fortes M D, Freeman A S,
Jagtap T G, Kamal A H M, Kendrick G A, Judson Kenworthy W, La Nafie Y A, Nasution I M,
Orth R J, Prathep A, Sanciangco J C, Tussenbroek B Van, Vergara S G, Waycott M and Zieman
J C 2011 Extinction risk assessment of the world’s seagrass species Biol. Conserv. 1441961–71
[8] Unsworth R K F, Ambo-Rappe R, Jones B L, La Nafie Y A, Irawan A, Hernawan U E, Moore A
M and Cullen-Unsworth L C 2018 Indonesia’s globally significant seagrass meadows are under
widespread threat Sci. Total Environ. 634279–86
[9] Rosen B R 1988 Progress, problems and patterns in the biogeography of reef corals and other
tropical marine organisms Helgoländer Meeresuntersuchungen 42269–301
[10] Bellwood DR and Wainwright PC. 2002. The History and Biogeography of Fishes on Coral
Reefs Coral Reef Fishes ed E Lieske and R Myers (Elsevier) pp5–32
[11] Hoeksema B W 2007 Delineation of the Indo-Malayan Centre of Maximum Marine
Biodiversity: The Coral Triangle Biogeography, Time, and Place: Distributions, Barriers, and
Islands ed W Renema (Berlin Heidelberg: Springer) pp117–78
[12] Gaither M R and Rocha L A 2013 Origins of species richness in the Indo-Malay-Philippine
biodiversity hotspot: Evidence for the centre of overlap hypothesis J. Biogeogr. 401638–48
[13] Bowen B W, Rocha L A, Toonen R J and Karl S A 2013 The origins of tropical marine biodiversity
Trends Ecol. Evol. 28359–66
98

[14] Barber P H. 2009. The challenge of understanding the Coral Triangle biodiversity hotspot J.
Biogeogr. 36 1845–6
[15] Halas D and Winterbottom R 2009 A phylogenetic test of multiple proposals for the origins of
theEastIndiescoralreefbiotaJ.Biogeogr.361847–60
[16] Veron J E N, Devantier L M, Turak E, Green A L, Kininmonth S, Stafford-Smith M and
Peterson N 2009 Del in eating the Coral Triangle Galaxea, J. Coral Reef Stud.1191–100
[17] Allen G R 2008 Conservation hotspots of biodiversity and endemism for Indo-Pacific coral reef
fishes Aquat. Conserv. Mar. Freshw. Ecosyst. 18541–556
[18] Hoegh-Guldberg O, Hoegh-Guldberg H, Veron J E N, Green A, Gomez E ., Lough J, King M,
Ambariyanto, Hansen L, Cinner J, Dews G, Russ G, Schuttenberg H Z, Peñaflor E L, Eakin
C M, Christensen TRL, Abbey M, Areki F, Kosaka R A, Tewflik A and Oliver J 2009 The
Coral Triangle and Climate Change: Ecosystems, People and Societies at Risk (Brisbane: WWF
Australia)
[19] Mc Kenna S A, Allen G R and Suryadi S. 2002. A Marine Rapid Assessment of the Raja Ampat
Islands, Papua Province, Indonesia (Washington DC: Conservation International)
[20] Asaad I, Lundquist C J, Erdmann M V. and Costello M J 2018 Del in eating priority areas for
marine biodiversity conservation in the Coral Triangle Biol. Conserv. 222198–211
[21] Veron J (Charlie) EN, DeVantier L M, Turak E, Green A L, Kininmonth S, Stafford-Smith
M and Peterson N 2011 The Coral Triangle Coral Reefs: An Ecosystem in Transition ed Z
Dubinsky and N Stambler (Dor: Springer) pp47–55
[22] AIPI 2019 Sains untuk biodiversitas Indonesia (Jakarta: Akademi Ilmu PengetahuanIndonesia)
[23] Pimm S L, Jenkins CN, Abell R, Brooks T M, Gittleman J L, Joppa L N, Raven P H, Roberts
C M and Sexton J O 2014 The biodiversity of species and their rates of extinction, distribution,
and protection Science (80-. ). 3441246752–1246752
[24] Reaka-Kudla M L 2001 Known and Unknown Biodiversity, Risk of Extinction and Conservation
Strategy in the Sea Waters in Peril (Boston, MA: Springer US) pp19–33
[25] TEDESCO P A, BIGORNE R, BOGAN A E, GIAM X, JÉZÉQUEL C and HUGUENY B
2014 Estimating How Many Undescribed Species Have Gone Extinct Conserv. Biol. 281360–
70
[26] Rockström J, Steffen W L, Noone K, Persson Å, Chapin Iii F S, Rockstrom J, Steffen W L,
Noone K, Persson A, Chapin F S, Lambin E, Lenton T M, Scheffer M, Folke C, Schellnhuber
H J, Nykvist B, De Wit C a, Hughes T, Van Der Leeuw S, Rodhe H, Sorlin S, Snyder P K,
Costanza R, Svedin U, Falkenmark M, Karlberg L, Corell R W, Fabry V J, Hansen J, Walker
B, Liverman D, Richardson K, Crutzen P, Foley J, Lambin E, Lenton T M, Scheffer M, Folke
C, Schellnhuber H J, Nykvist B, De Wit C a, Hughes T, Van Der Leeuw S, Rodhe H, Sörlin S,
Snyder P K, Costanza R, Svedin U, Falkenmark M, Karlberg L, Corell R W, Fabry V J, Hansen
J, Walker B, Liverman D, Richardson K, Crutzen P and Foley J 2009 Planetary Boundaries:
Exploring the Safe Operating Space for Humanity Ecol. Soc.1432(33pages)
99

[27] Jackson J B C. 2008. Ecological extinction and evolution in the brave new ocean Proc. Natl.
Acad. Sci. 105 11458–65
[28] Cooke S J, Wesch S, Donaldson L A, Wilson A D M and Haddaway N R 2017 A Call
for Evidence-Based Conservation and Management of Fisheries and Aquatic Resources
Fisheries 42.143–9
[29] Clifton J. 2013. Refocusing conservation through acultural lens: Improving governance in the
Wakatobi National Park, Indonesia Mar. Policy 4180–6
[30] IUCN-WCPA 2008 Establishing Resilient Marine Protected Area Networks –Making It
Happen (Washington DC: IUCN World Commission on Protected Areas, National Oceanic
and Atmospheric Administration and The Nature Conservancy)
[31] Wulandari D, Yunika Puspasari E, Anita Yunikawati N, Soseco T, Shandy Narmaditya B,
Istiqomah N, Hardinto P, Hadi Utomo S and Witjaksono M 2018 Causes and Solutions
of “Tragedy of the Commons” in Natural Resources Management of Muncar Coastal Areas
Int.J.Eng.Technol.7120
[32] Bailey C 1988 The Political Economy of Marine Fisheries Development in Indonesia Indonesia.
46.25–38
[33] Sadili D, Haryono, Kamal M M, Sarmintohadi and Ramli I 2015 Pedoman Umum Restoking
Jenis Ikan Terancam Punah ed A Dermawan (Jakarta: Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis
Ikan, Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI)
[34] Ditjen PRL 2021 Keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Nomor 11 Tahun
2021 tentang Pedoman Teknis Evaluasi Pengelolaan jenis ikan yang dilindungi dan/atau jenis
ikan yang tercantum dalam Appendiks Convention on International Trade in Endangered
Species of Wil1–58
[35] MLHK 2018 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
Nomor P.92/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2018 tentang perubahan atas Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang
jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi (Indonesia)
[36] Fritts-Penniman A L, Gosliner T M, Mahardika G N and Barber P H 2020 Cryptic ecological and
geographic diversification in coral-associated nudibranchs Mol. Phylogenet.Evol.144106698
[37] Pope E C, Hays G C, Thys T M, Doyle T K, Sims D W, Queiroz N, Hobson V J, Kubicek L
and Houghton J D R 2010 The biology and ecology of the ocean sunfish Mola mola: a review
of current knowledge and future research perspectives Rev. Fish Biol. Fish. 20471–87
[38] Sawai E, Yamanoue Y, Nyegaard M and Sakai Y 2018 Redescription of the bump-head sunfish
Mola alexandrini (Ranzani 1839), senior synonym of Mola ramsayi (Giglioli 1883), with
designation of a neotype for Mola mola (Linnaeus1758)(Tetraodontiformes: Molidae) Ichthyol.
Res.65142–60
100

[39] Dahl R B, Sigsgaard E E, Mwangi G, Thomsen P F, Jørgensen R D, Torquato F de O, Olsen


L and Møller P R 2019 The Sandy Zebra Shark: A New Color Morph of the Zebra Shark
Stegostoma tigrinum, with a Redescription of the Species and a Revision of Its Nomenclature
Copeia 107524
[40] Dudgeon C L, Corrigan S, Yang L, Allen G R, Erdmann M V., Fahmi, Sugeha H Y, White W T
and Naylor G J P 2020 Walking, swimming or hitching a ride? Phylogenetics and biogeography
of the walking shark genus Hemiscyllium Mar. Freshw. Res. 711107–17
[41] Elvany A I 2019 Kebijakan Formulatif Penanggulangan Tindak Pidana Destructive Fishing di
Indonesia. Justitia J. Huk. 3212–35
[42] Munsi Lampe E 2017 Main Drivers And Alternative Solutions For Destructive Fishing In
South Sulawesi-Indonesia: Lessons Learned From Spermonde Archipelago, Taka Bonerate, And
Sembilan Island. 29159–64
[43] Purba N P, Ihsan Y N, Faizal I, Handyman D I W, Widiastuti K S, Mulyani P G, Tefa M F and
Hilmi M 2018 Distribution of Macro Debris in Savu Sea Marine National Park (Kupang, Rote,
and Ndana Beaches), World News Nat. Sci. 2164–76
[44] Phelan A A, Ross H, Setianto N A, Fielding K and Pradipta L 2020 Ocean plastic crisis—
Mental models of plastic pollution from remote Indonesian coastal communities PLoS One
151–29
[45] Kelly E L A, Cannon A L and Smith J E. 2020 Environmental impacts and implications of
tropical carrage enophyte seaweed farming Conserv. Biol. 34326–37
[46] Mangubhai S, Erdmann M V., Wilson J R, Huffard C L, Ballamu F, Hidayat N I, Hitipeuw
C, Lazuardi M E, Muhajir, Pada D, Purba G, Rotinsulu C, Rumetna L, Sumolang K and Wen
W 2012 Papuan Bird’s Head Seascape: Emerging threats and challenges in the global center of
marine biodiversity Mar. Pollut. Bull. 642279–95
[47] Burke L, Reytar K, Spalding M, Perry A, Knight M, Kushner B, Starkhouse B, Waite R and
White A. 2012 Reefsat Risk Revisited in the Coral Triangle (Washington DC: World Resources
Institute)
[48] Glaeser B and Glaser M. 2011. People, fish and coral reefs in Indonesia: A contribution to
social-ecological research Gaia 20139–41
[49] Moore A M, Ndobe S and Jompa J 2017 Fingerprints of the Anthropocene: the 2016 Coral
Bleaching Event in an Equatorial Archipelago Proceedings of the 4th International Marine
and Fisheries Symposium. 2017ed M. T Umar (Makassar: Universitas Hasanuddin).
pp66–86
[50] Suharsono 1990 Ecological and physiological Implication of Coral Bleaching at Pari Island,
Thousand Islands, Indonesia (University of Newcastle UponTyne)
[51] Yusuf S and Jompa J 2012 First Quantitative Assessment of Coral Bleaching on Indonesian
Reefs Proceedings of the 12th International Coral Reef Symposium, Cairns, Australia, 9–13.
July 2012. (Cairns: James Cook University) p 17D
101

[52] Wouthuyzen S, Abrar M and Lorwens J 2018 A comparison between the 2010 and 2016 El-
Ninō induced coral bleaching in the Indonesian waters IOP Conf. Ser. Earth Environ.Sci.
1181–15
[53] Foyle K L, Hess S, Powell M D and Herbert N A 2020 What Is Gill Health and What Is Its
Role in Marine Finfish Aquaculture in the Face of a Changing Climate? Front. Mar. Sci. 71–16
[54] Pauly D and Cheung W W L. 2018. Sound physiological knowledge and principles in modeling
shrinking of fishes underclimate change. Glob. Chang. Biol. 24e15–26
[55] Pauly D. 2021. The gill-oxygen limitation theory (GOLT) and its critics. Sci.Adv.7eabc6050
[56] Hastings R A, Rutterford L A, Freer J J, Collins R A, Simpson S D and Genner M J 2020
Climate Change Drives Poleward Increases and Equatorward Declines in Marine Species Curr.
Biol. 30 1572- 1577.e2
[57] Pauly D and Cheung W. 2017. Is climate change shrinking our fish? Environ.Sci.J.Teens1–4
[58] Lam V W Y, Allison E H, Bell J D, Blythe J, Cheung W W L, Frölicher T L, Gasalla M
A and Sumaila U R. 2020 Climate change, tropical fisheries and prospects for sustainable
development. Nat.Rev.Earth Environ. 1440–54
[59] Poloczanska E S, Limpus C J and Hays G C 2009 Chapter 2 Vulnerability of Marine Turtles to
Climate Change Advances In Marine Biology vol 56 (Elsevier Ltd) pp151–211
[60] Cavicchioli R, Ripple W J, Timmis K N, Azam F, Bakken L R, Baylis M, Behrenfeld M J,
Boetius A, Boyd P W, Classen A T, Crowther T W, Danovaro R, Foreman C M, Huisman J,
Hutchins D A, Jansson J K, Karl D M, Koskella B, Mark Welch D B, Martiny J B H, Moran
M A, Orphan V J, Reay D S, Remais J V., Rich V I, Singh B K, Stein L Y, Stewart F J, Sullivan
M B, van Oppen M J H, Weaver S C, Webb E A and Webster N S 2019 Scientists’ warning to
humanity: microorganisms and climate change Nat.Rev. Microbiol. 17 569–86
[61] Byers J E. 2021. Marine Parasites and Disease in the Era of Global Climate Change. Ann. Rev.
Mar. Sci. 13 397–420
[62] Landry M R, Beckley L E and Muhling B A 2019 Climate sensitivities and uncertainties in
food- web pathways supporting larval bluefin tuna in subtropical oligotrophic oceans ed D
Robert ICESJ. Mar. Sci. 76 359–69
[63] Moore A M, Ndobe S, Yasir I, Ambo-Rappe R and Jompa J 2019 Banggai cardinal fish and
its microhabitats in a warming world: a preliminary study IOP Conf.Ser.EarthEnviron.
Sci.253012021
[64] Moore A M, Ndobe S, Yasir I and Jompa J 2019 Disasters and biodiversity: case study on
the endangered endemic marine ornamental Banggai cardinal fish IOPConf.Ser.EarthEnviron.
Sci.253 012036
[65] Hoegh-Guldberg O, Poloczanska E S, SkirvingW and Dove S. 2017. Coral Reef Ecosystems
under Climate Change and Ocean Acidification. Front.Mar.Sci.41–20
102

[66] Reyes-Nivia C, Diaz-Pulido G, Kline D, Hoegh-Guldberg O and Dove S 2013 Ocean


acidification and warming scenarios increase microbio erosion of coral skeletons Glob. Chang.
Biol. 191919–29
[67] Ashur M M, Johnston N K and Dixson DL. 2017. Impacts of Ocean Acidification on Sensory
Function in Marine Organisms. Integr. Comp.Biol.5763–80
[68] Baumann H. 2019 Experimental assessments of marine species sensitivities to ocean acidification
andco-stressors: how far have we come? Can.J.Zool.97399–408
[69] Hall-Spencer J M and Harvey B P 2019 Ocean acidification impacts on coastal ecosystem
services due to habitat degradation ed DOsborn Emerg.Top.LifeSci.3197–206
[70] Dupont S and Thorndyke MC. 2009 Impact of CO2-driven ocean acidification on
invertebrates early life-history – What we know, what we need to know and what we can
do Biogeosciences Discuss. 63109–31
[71] IPCC2021 Climate change. 2021: the physical science basis. Working Group I contributiont
ot he Sixth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change ed V
Masson-Delmotte,P Zhai, A Pirani, S L Connors, C Péan, S Berger, N Caud, Y Chen, L
Goldfarb, M I Gomis, M Huang, K Leitzell, E Lonnoy, J B R Matthews, T K Maycock, T
Waterfield, O Yelekç, RYu and B Zhou (Cambridge UniversityPress)
[72] Carney Almroth B and Eggert H 2019 Marine Plastic Pollution: Sources, Impacts, and Policy
Issues Rev. Environ. Econ. Policy 13317–26
[73] Hermabessiere L, Dehaut A, Paul-Pont I, Lacroix C, Jezequel R, Soudant P and Duflos G 2017
Occurrence and effects of plastic additives on marine environments and organisms: A review
Chemosphere 182781–93
[74] Beaumont N J, Aanesen M, Austen M C, Börger T, Clark J R, Cole M, Hooper T, Lindeque
P K, Pascoe C and Wyles K J. 2019. Global ecological, social and economic impacts of marine
plastic. Mar. Pollut. Bull. 142 189–95
[75] Jahnke A, Arp H P H, Escher B I, Gewert B, Gorokhova E, Kühnel D, Ogonowski M, Potthoff
A, Rummel C, Schmitt-Jansen M, Toorman E and MacLeod M 2017 Reducing Uncertainty
and Confronting Ignorance about the Possible Impacts of Weathering Plastic in the Marine
Environment Environ. Sci. Technol. Lett. 485–90
[76] Clifton J, Unsworth R and Smith D J 2010 Marine Research and Conservation in the Coral
Triangle: The Wakatobi National Park (Hauppauge: Nova Science Publishers, Inc.)
[77] CTI-CFF 2013 Coral Triangle Marine Protected Area System (CTMPAS) Framework and
Action Plan (Cebu City: Marine Protected Area Technical Working Group of the Coral Triangle
Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security)
[78] Magris R A, Pressey R L, Weeks R and Ban N C 2014 Integrating connectivity and climate
change into marine conservation planning Biol. Conserv. 170207–21
103

[79] Cristiani J, Rubidge E, Forbes C, Moore-Maley B and O’Connor M I 2021 A Biophysical


Model and Network Analysis of Invertebrate Community Dispersal Reveals Regional Patterns
of Seagrass Habitat Connectivity Front. Mar. Sci. 81–19
[80] Setyawan E, Estradivari, Andradi-Brown DA, Amkieltiela, Anggraeni D, Claborn K, Damora
A, De-Nardo M, Dyahapsari I, Firmansyah F, Glew L, Handayani CNN, Tarigan SA, Welly
M, Campbell S, Cox C, Mustofa I Z, Nanlohy H, Pardede S, Santiadji V, Timisela N, Wisesa
N, Wijonarno A, Wirasanjaya, Yusuf M and Ahmadia GN. 2018 State of the Sunda Banda
Seascape Marine Protected Area Network-2017xiv+85
[81] Dermawan A 2010 42 Indonesia Marine Coonservation Areas ed E Nezon (Jakarta: Directorate
of Aquatic and Marine Resources Conservation, Directorate General of Marine, Coasts and
Small Islands, Ministry of Marine Affairs and Fisheries Republic of Indonesia)
[82] Dirhamsyah 2016 Setbacks in the development of marine protected areas in Indonesia Aust.J.
Marit. Ocean Aff. 8 87–100
[83] Ambo-Rappe R and Moore AM. 2018. Sulawesi Seas, Indonesia World Seas: An Environmental
Evaluation, Volume II: The Indian Ocean to the Pacific ed C Sheppard. (Elsevier Academic
Press)pp 559–82
[84] Tengberg A and Cabanban A S. 2013. Lessons learned from investing in marine and coastal
management initiatives in the East Asian Seas. Mar.Policy. 38355–64
[85] Dahlan A, Jompa J, Saru A and Niartiningsih A 2017 Supporting and Inhibiting Factor of the
ManagementofMarineConservationAreainSulawesiInt.J.Sci.Res.62030–6
[86] Farhum M F, Jompa J, Restu M and Salman D 2021 The effectiveness of Bunaken National
Park management AACL Bioflux 141089–97
[87] Purwanto, Andradi‐Brown D A, Matualage D, Rumengan I, Awaludinnoer, Pada D, Hidayat
N I, Amkieltiela, Fox H E, Fox M, Mangubhai S, Hamid L, Lazuardi M E, Mambrasar R,
Maulana N, Mulyadi, Tuharea S, Pakiding F and Ahmadia G N 2021 The Bird’s Head Seascape
Marine Protected Area network—Preventing biodiversity and ecosystem service loss amidst
rapid change in Papua, Indonesia Conserv. Sci. Pract. 31–18
[88] Magris R A, Pressey R L, Mills M, Vila-Nova D A and Floeter S 2017 Integrated conservation
planning for coral reefs: Designing conservation zones for multiple conservation objectives in
spatial prioritisation Glob. Ecol. Conserv. 1153–68
[89] Singleton R L, Allison E H, Le Billon P and Sumaila U R 2017 Conservation and the right to
fish: International conservation NGOs and the implementation of the Voluntary Guidelines
for securing Sustainable Small-Scale Fisheries Mar. Policy 8422–32
[90] Wardhani N K, Suriamihardja D A and Steven T 2020 Exploring the Impact of Gili Ayer, Gili
Meno and Gili Trawangan Marine Protected Area From Resource Users Perspective. Int.J.Eng.
Sci. Appl. 7 91–6
104

[91] Moore A M,N dobe S and Yasir I. 2021. Importance of Monitoring an Endangered Endemic
Species- Intra-Species Biodiversity Perspectives on the Banggai Cardinal fish Conservation and
Trade IOP Conf. Ser. Earth Environ. Sci. 681 012121
[92] Dee L E, Horii S S and Thornhill D J 2014 Conservation and management of ornamental coral
reef wildlife: Successes, shortcomings, and future directions. Biol.Conserv.169225–37
[93] Westmacott S, Teleki K, Wells S and West J 2000 Pengelolaan Terumbu Karang yang Telah
Memutih dan Rusak Kritis (Cambridge, UK: IUCN Publications Services Unit)
[94] Rinkevitch B. 2019. The Active Reef Restoration Toolbox is a Vehicle for Coral Resilience and
Adaptation in a Changing World J. Mar. Sci. Eng. 71–18
105

Profil Penulis

Jamaluddin Jompa
Tempat dan Tanggal Lahir : Takalar, 8 Maret 1967
NIP/NIK : 196708031990031001
Golongan/Pangkat : IVd/Pembina Utama Madya
Jabatan Akademik : Guru Besar
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Status Perkawinan : Menikah
Asal Institusi : Universitas Hasanuddin
Alamat PT/Lembaga : Kampus Unhas Tamalanrea, 90245, Makassar
Alamat Rumah : Perumahan Dosen Unhas Blok GI No. 10A, Tamalanrea, 90245, Makassar

+628124230107 jamaluddin.jompa@gmail.com j.jompa@unhas.ac.id

www.jamaluddinjompa.com

Pendidikan Pengalaman Kerja / Tugas


Tambahan / Jabatan
Doktoral (S3)
Marine Biology Program
Anggota Komisi Ilmu Pengetahuan Dasar
James Cook University, Australia
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) | 2021–sekarang
Magister (S2) Penasehat Menteri KKP Bidang Ekologi Laut
Marine Ecology & Management Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP – RI) | 2020
McMaster University,
Dekan
Canada, 1996
Sekolah Pascasarjana - UNHAS | 2018–2022
Sarjana (S1) Dekan
Budidaya Perairan Universitas Hasanuddin, Fak. Ilmu Kelautan dan Perikanan UNHAS | 2013–2017
Makassar, 1989
Kepala
Puslitbang Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil UNHAS
| 2011–2013
Sekretaris Eksekutif
Coral Reef Rehabilitation and Management Program
(COREMAP) - KKP RI (funded by WB, ADB, & GEF)
| 2007–2011
Kepala
Pusat Studi Terumbu Karang - UNHAS | 2004–2011
Sekretaris Jurusan
Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP UNHAS | 1996–1997
Guru Besar Ekologi Laut
Dosen Fak. Ilmu Kelautan dan Perikanan UNHAS |
1990–sekarang
106

Pengalaman Kepemimpinan / Organisasi (Selected)

International National
President ADSI Chapter Indonesia Dewan Penasehat
Association Diving School International (ADSI) Pengurus Pusat - Ikatan Sarjana Perikanan (ISPIKANI)
| 2011–sekarang | 2019–2023

Member Dewan Pengarah


CAIPSDCC, Collaborative Australia-Indonesia Program Lembaga Sertifikasi Profesi Kelautan dan Perikanan
on Sustainable Development and Climate Change (LSP-KP) | 2021–2024
| 2019-sekarang
Ketua ALMI
International Board Member Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) – Akademi
Coral Triangle Center (CTC) | 2012–sekarang Ilmu Pengetahuan Indonesia | 2016–2019

Chairman, Research Advisory Board Koordinator Bidang Perikanan Terumbu Karang


PAIR (Partnership for Australia-Indonesia Research) - AIC Komisi Nasional Pengkajian Stok Ikan (Komnas-Kajiskan)
| 2020- sekarang | 2010–2019

Chair, CMWG Sekretaris Nasional, Ketua Pokja Ilmiah


CTI Regional (Coral Triangle Initiative); (Coordination, CTI Nasional | 2009, 2010–2012
Mechanism Working Group) CTI Regional (Indonesia,
Sekretaris Jenderal
Malaysia, Philippine, Tomor Lester, PNG, Solomon)
Indonesian Coral Reef Society | 2012–Sekarang
| 2008–2010
Jalan Panjang Memahami Kehidupan
Manusia Purba di Indonesia

Prof. Dr. Yahdi Zaim, IPU.


Komisi Bidang Ilmu Pengetahuan Dasar
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jakarta, 29 September 2021

Pendahuluan
“Jalan Panjang Memahami Kehidupan Manusia Purba di Indonesia”

Judul atau tema itu memiliki dua makna, yaitu perjalanan panjang saya untuk menjadi orang yang
seperti sekarang ini yang mau mendalami bidang Paleontologi Manusia dan Vertebrata, suatu bidang
yang sangat sedikit diminati di kalangan ahli Geologi maupun Paleontologi di Indonesia. Hingga
saat ini, baru beberapa orang di Indonesia yang mau menekuni bidang Paleontologi Manusia dan
Vertebrata di Indonesia, yang hitungannya kurang dari lima jari sebelah tangan. Makna berikutnya
adalah perjalanan Panjang dari Manusia Purba itu sendiri, dari mulai asal-muasalnya, sampai dengan
perjalanan pengembaraannya untuk sampai di Bumi Pertiwi, terutama di Pulau Jawa, yang sampai
sekarang ini masih terus muncul dan berkembang hipotesis-hipotesis, pola, jalur serta arah migrasi
dan evolusi Manusia Purba yang fosilnya banyak ditemukan di Indonesia, utamanya di Pulau Jawa.

Dalam kesempatan ini, perlu saya menguraikan terlebih dahulu “jalan panjang” saya dalam memilih
dan menekuni bidang Paleontologi Manusia dan Vertebrata hingga saat sekarang ini.

Awal sebagai mahasiswa Teknik Geologi ITB pada tahun 1972, saya merasa masuk dalam suatu ruang
yang saya tidak mengerti Geologi itu suatu “ruang” apa, sehingga pada akhir semester pertama saya
berkeinginan pindah untuk masuk Jurusan lain di ITB. Namun keinginan pindah itu dicegah oleh
108

mahasiswa senior Geologi yang saat itu menjadi Asisten Mahasiswa. Beliau mengatakan, coba dulu
satu semester lagi, baru “rasakan apa itu geologi”, kalau nanti tetap merasa “kurang nyaman”, silahkan
pindah.

Rupa-rupanya Allah menurunkan hidayah pada saya melalui Asisten Mahasiswa, karena setelah
saya mencoba bertahan dalam satu semester berikutnya, pada suatu ekskursi lapangan ke daerah
Nyalindung – Tomo Sumedang, barulah saya merasakan betapa “indahnya Geologi” itu. Pada saat
ekskursi di lapangan kami dibawa ke suatu tempat terdapat singkapan (outcrops) lapisan batuan yang
berlapis bagus, indah dengan struktur geologi yang sangat menarik, seperti sebuah lukisan yang sangat
indah. Di samping itu, kami diminta untuk melihat apa yang terkandung dalam lapisan tanah/batuan
tersebut dengan menggunakan kaca pembesar yang bernama Loupe. Dengan loupe, ternyata dapat
diamati dalam batuan adanya binatang foraminifera yang pernah hidup sekitar 5-10 juta tahun lalu.

Dari sini, terpikirlah bahwa Tuhan menciptakan bumi dengan tanah atau batuan yang berlapis,
terdapat berbagai material yang terkandung di dalamnya, bukan sekadar tanah yang tidak bermakna,
yang kita injak-injak dalam setiap perjalanan kehidupan kita, melainkan tanah yang mengandung
suatu aspek kehidupan atau organisme yang dikenal sebagai fosil yang pernah hidup jutaan tahun
lalu (Gambar 1).

Dan, sejak dari situlah saya menjadi memahami Geologi, dengan menekuni bidang perfosilan atau
Paleontologi yang selanjutnya di akhir semester dua, saya diangkat sebagai Asisten Mahasiswa di
Laboratorium Paleontologi. Ini merupakan starting point saya dari orang yang tidak menyukai
Geologi, tetapi setelah memahami dan menekuni Paleontologi, menjadi orang yang tidak beranjak
dari Geologi hingga menjadi seperti sekarang ini.
109

Gambar 1 Berbagai temuan fosil yang terdapat dalam lapisan batuan sedimen di Indonesia

Perkembangan Paleontologi Manusia di Indonesia


Makna kedua, Indonesia memiliki kekayaan potensi sumber daya alam (SDA) ekonomis yang sangat
luar biasa seperti migas, batubara, mineral ekonomis dan strategis seperti emas, tembaga, nikel, timah,
REE dan lain sebagainya. Indonesia juga merupakan salah satu negara yang banyak ditemukan fosil
manusia purba dan vertebrata demikian juga dengan temuan2 arkeologis berupa alat batu di lokasi
fosil manusia purba dan vertebrata ditemukan.

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, sampai sekarang ini baru beberapa orang di Indonesia
yang tertarik menekuni bidang Paleontologi Manusia dan Vertebrata yang hitungannya kurang dari
lima jari sebelah tangan. Padahal, sangat banyak fosil manusia purba dan vertebrata ditemukan di
Indonesia, sehingga Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat penting dalam perkembangan
ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan evolusi manusia karena banyak ahli berpendapat bahwa fosil
manusia purba yang ditemukan di Indonesia memberikan arti penting dalam melacak perkembangan
manusia purba di dunia, serta memiliki peran penting dalam perkembangan Paleontologi termasuk
Paleontologi Manusia dan Paleoantropologi di dunia.
110

Penyebaran Lokasi Fosil Manusia Purba dan Vertebrata


di Indonesia
Selama ini banyak kalangan yang memahami bahwa penemu fosil manusia purba pertama di Indonesia
adalah Eugene Dubois pada tahun 1891/1892 di Desa Trinil, Jawa Timur. Namun sebenarnya yang
menemukan fosil manusia purba pertama bukanlah Dubois, melainkan B.D.Van Rietschoten yang
pada tahun 1888 telah menemukan tengkorak manusia purba dalam endapan teras gua di Gunung
Lawa, Desa Wajak, Tulungagung (Storm dan Nelson, 1992). Fosil yang ditemukan berupa sebuah
tengkorak yang kemudian diberi nama Wadjak 1 berumur Holosen, sekitar 10 ribu tahun yang lalu
(10ktyl). Pada saat penemuan ini Dubois sedang berada di Sumatera Barat, melakukan eskavasi di
beberapa gua, antara lain Gua Lidah Ayer.

Penemuan Manusia Wajak I oleh Rietschoten dilaporkan ke Eugene Dubois yang kala itu masih
meneliti beberapa gua di Sumatra Barat. Setelah mendapat laporan Rietschoten tentang temuan fosil
manusia Wajak I, Dubois lalu meninggalkan Sumatra Barat pergi ke Jawa untuk melakukan penelitian
Paleontologi di Jawa. Beberapa tahun kemudian, Dubois melakukan eskavasi di sekitar lokasi tempat
ditemukannya fosil Wajak I, dan Dubois berhasil menemukan sebuah fosil tengkorak yang kemudian
diberi nama Wadjak II (Storm dan Nelson, 1992). Semua fosil manusia Wajak I dan Wajak II oleh
Dubois dinamakan Manusia Wajak atau Wadjak Man. Menurut Dubois Wadjak Man diyakini sudah
sebagai manusia modern (modern human), yang berdasarkan taksonomi manusia (human taxonomy)
diberi nama sebagai Homo wadjakensis yang masuk ke dalam Homo sapiens, seperti yang diungkapkan
dalam laporan penelitiannya di tahun 1922 (Storm dan Nelson, 1992) yang dinyatakan berumur
Holosen atau sekitar 10 ktyl. Pertanggalan umur terakhir dari fosil Manusia Wajak oleh Storm dkk.
(2013) menunjukkan umur berkisar 28–37 ktyl.

Pada 1891/1892 dalam ekskavasi di Desa Trinil Dubois menemukan fosil tengkorak manusia bagian
atas (skull cup), femur dan sebuah gigi molar fosil “manusia kera – Ape Man” yang diberi nama
Pithecanthropus erectus yang telah menggemparkan dunia.

Sejak pernemuan fosil manusia purba Pithecanthropus erectus oleh Dubois, penelitian Paleontologi di
Indonesia terutama di Pulau Jawa berkembang dengan pesat untuk upaya menemukan fosil manusia
purba dan vertebrata lainnya. Dalam periode tahun 1930–1940 banyak fosil manusia purba dan
vertebrata ditemukan dari daerah Kedungbrubus, Ngandong, dan Perning/Mojokerto. Pada kurun
waktu tahun 1940–1970 fosil manusia purba dan vertebrata banyak ditemukan di Java Tengah, dari
Desa Sangiran, Sambungmacan dan Ngawi.

Fosil-fosil manusia purba yang ditemukan di berbagai tempat tersebut berumur sekitar 1.5 jtyl–800
ktyl, kecuali yang ditemukan di Ngandong berumur 117ktyl–108 ktyl.

Pada tahun 1977 dan 1978, Zaim telah menemukan fosil fragmen tengkorak bagian parietal dan dua
buah fosil gigi premolar lepas (isolated premolars) manusia di Perbukitan Patiayam, lereng tenggara
Gunung Muria, berumur sekitar 800 ktyl (Gambar 2).
111

Gambar 2 Fosil Manusia Purba Homo erectus yang ditemukan dari Formasi Slumprit, Daerah Gunung
Patiayam, Jawa Tengah

Tahun 2004–2015 fosil hominin juga telah ditemukan manusia purba kerdil (hobit) yang merupakan
spesies baru, diberi nama Homo floresiensis, ditemukan dalam eskavasi di Gua Liang Bua dan eskavasi
di luar gua di daerah Mata Menge–Cekungan Soa (Soa Basin), Flores berumur 800–60 ktyl.

Tahun 2016 ketika penulis melakukan supervisi pengambilan data lapangan mahasiswa S3 di aliran
Sungai Lusi - Rembang, telah menemukan sepotong kecil fragmen tengkorak bagian temporal pada
lapisan konglomerat gampingan yang tersingkap ditepi Sungai Lusi, Rembang berumur 131,5 ktyl.

Di sungai Kali Bodas di daerah Bumiayu Jawa Tengah, penduduk setempat pada tahun 2018 telah
menemukan fosil manusia purba bagian post cranial berupa sepasang bonggol atas atau bagian
proksimal sebuah femur yang lazim disebut caput femoralis dalam endapan kerakal sungai Resen di
dasar sungai Kali Boda. Umur fosil manusia purba dari daerah Bumiayu ini belum dapat dipastikan,
karena belum dilakukan pertanggalan baik dari pendekatan stratigrafis maupun dari pertanggalan
mutlak dengan metoda radioaktif. Fosil tersebut kemudian diserahkan ke Museum Sangiran untuk
diteliti lebih lanjut.
112

Fosil manusia purba juga ditemukan dari eskavasi di gua-gua di daerah Pacitan dan Punung seperti
Song Keplek, Song Terus, dll. yang menemukan fosil kerangka manusia yang masuk Homo sapiens,
peralatan (artefak) tulang dan batu serta fosil hewan vertebrata berumur 12–9 ktyl. Polanski dkk
(2016) melakukan pertanggalan ulang fosil gigi premolar manusia purba Homo sapiens dari Gua di
Punung mendapatkan umur 143 -115 ktyl. Dengan data dari Storm dkk (2013) dan Polanski dkk
(2016), maka Homo sapiens sudah ada di Jawa berkisar antara 143 – 27 ktyl.

Dari seluruh lokasi temuan fosil manusia purba, selalu dijumpai pula fosil vertebrata. Ini menunjukkan
adanya hubungan yang erat antara kehidupan manusia pada waktu itu dengan kehidupan hewan-
hewan lainnya, antara lain fauna vertebrata.

Jika dirangkum, maka temuan fosil manusia purba di Indonesia sebagai berikuut:

Manusia Purba Homo erectus


Secara garis besar, berdasarkan data geologi, stratigrafi serta penentuan umur secara radiometri,
fosil manusia purba Indonesia, yang ditemukan di Jawa terdapat dalam lapisan berumur Plestosen,
dibagi dalam tiga kelompok seperti yang disampaikan oleh Widianto (2001) yaitu: Homo erectus
Arkaik yang ditemukan dalam lapisan Formasi Sangiran (Formasi Pucangan) di Sangiran berumur
Plestosen Awal sekitar1,6 jtyl (Gambar 3), Homo erectus Tipik dalam Formasi Kabuh atau Formasi
Bapang berumur Plestosen Tengah sekitar 800 ktyl dan Homo erectus Progresif yang ditemukan dalam
endapan sungai Bengawan Solo di Daerah Ngandong yang membentuk morfologi teras-teras sungai
Ngandong berumur Plestosen Akhir sekitar 117–108 ktyl.

Manusia Purba Homo sapiens


Di samping manusia purba Homo erectus, di Indonesia juga ditemukan fosil manusia purba Homo
sapiens. Seperti telah disampaikan, fosil manusia purba yang pertama kali ditemukan di Indonesia
adalah fosil Wajak I dan wajak II atau Homo wadjakensis yang merupakan Homo sapiens berumur
28–37 ktyl (Storm,dkk., 2013). Fosil Homo sapiens juga ditemukan di gua di Pacitan berumur
143–27 ktyl. (Polanski dkk.,2016), dan di Gua Lidah Ayer, Sumatra Barat berumur 73–63 ktyl
(Westaway, dkk. 2017). Ketika melakukan supervisi data lapangan mahasiswa S3, Agus T. Hascaryo
pada tahun 2016 penulis menemukan fosil manusia purba dalam singkapan lapisan batuan
konglomerat di tepi sungai Lusi - Rembang berupa fragmen kecil tengkorak bagian temporal yang
sementara ini diberi nama Manusia Lusi berumur 131 ktyl, yang mungkin masuk Homo sapiens atau
Homo erectus.
113

Gambar 3 Fosil Manusia Purba Homo erectus yang ditemukan dari Lapisan Grenzbank, Desa Bapang,
Sangiran-Jawa Tengah

Manusia Purba Homo floresiensis dan Homo luzonensis


Di luar Pulau Jawa, telah ditemukan fosil manusia purba kerdil (hobbit) di Daerah Matamenge,
Soa dan Gua Liang Bua keduanya di Flores berumur Plestosen Tengah – Plestosen Akhir sekitar
800 ktyl–60 ktyl (van den Bergh, dkk., 2016, dan Sutikna dkk, 2016).

Detroit, dkk. (2019) melaporkan penemuan fosil manusia purba kerdil di Kepulauan Luzon, Filipina
lalu diberi nama Homo luzonensis berumur Plestosen Akhir sekitar 67 ktyl yang mirip dan seumur
dengan Homo floresiensis.

Taksonomi Fosil Manusia Purba di Indonesia


Diawali dengan temuan fosil manusia purba oleh Dubois di Trinil, Jawa Timur pada tahun 1891/1892
berupa sebuah tulang femur, tengkorak bagian atas dan sebuah gigi geraham (molar) dalam lapisan
Formasi Kabuh yang umurnya lebih tua dari Manusia Wajak, fosil manusia purba tersebut oleh
Dubois diberi nama Pithecanthropus erectus.
114

Menurut Dubois fosil manusia purba yang ditemukan di desa Trinil secara anatomi dan morfologi
tengkoraknya masih memberikan kesan kemiripan dengan “kera” (pitheca), namun volume otak dari
tengkorak yang ditemukan, begitu pula dengan femur yang ditemukan sudah menunjukkan manusia
(anthrop). Dari struktur femurnya jika direkonstruksi memperlihatkan posisi berdiri yang sudah
tegak (erectus), yang oleh sebab itu Dubois memberi nama fosil manusia yang ditemukan tersebut
sebagai Pithecanthropus erectus.

Pemberian nama fosil manusia purba yang ditemukan setelah Pithecanthropus erectus, penamaannya
bermacam-macam yang merupakan penamaan baru untuk fosil-fosil manusia purba yang ditemukan
di berbagai daerah di Pulau Jawa, yang ternyata menimbulkan kerancuan dari aspek taksonomi.

Fosil manusia purba tertua yang ditemukan dalam Formasi Sangiran (Pucangan) di Sangiran - Jawa
Tengah dan Formasi Pucangan di Jawa Timur berumur Plestosen Awal (1,8 – 1,5 jtl), oleh Weidenreich
dan von Koenigswald yang kemudian diikuti oleh Jacob (1975) dan Sartono (1996) dalam taksonomi
dinamakan Paranthropus (Meganthropus) paleojavanicus.

Sedangkan yang lebih muda, berumur Plestosen Tengah (1,0–0,5 jtl) ditemukan dalam lapisan dari
Formasi Bapang (Kabuh di Sangiran) dan Formasi Kabuh, di Jawa Tengah dan Jawa Timur oleh
Jacob (1975) dan Sartono (1996) dinamakan Pithecanthropus erectus, Pithecanthropus modjokertensis
(Gambar 4).

Gambar 4 Taksonomi Fosil manusia Purba. Gambar kiri menurut Jacob (1975) dan kanan menurut Sartono
(1996)
115

Fosil manusia purba yang ditemukan di Daerah Ngandong dalam sedimen sungai Undak Ngandong
berumur sekitar 50 ribu tahun lalu (Akhir Plestosen Akhir) oleh Jacob (1975) dan Sartono (1996)
dinamakan Pithecanthropus erectus ngandonegensis, Pithecanthropus erectus soloensis. Fosil manusia yang
ditemukan di Wajak - Tulungagung (Manusia Wajak) diberi nama Homo wadjakensis dan gua-gua di
pegunungan Selatan Jawa Tengah-Jawa Timur serta daerah lainnya di Indonesia berumur Plestosen
Akhir - Holosen merupakan fosil manusia yang masuk dalam Homo sapiens.

Secara taksonomi, penamaan tersebut sangat rancu karena dasarnya ciri anatomis bercampur dengan
berdasarkan lokasi tempat fosil tersebut ditemukan. Perkembangan sejak tahun 1960–1970-an dari
hasil penelitian terhadap fosil cranial (tengkorak termasuk gigi-giginya) maupun postcranial para
ahli paleontologi manusia dan paleoantropologi sepakat bahwa semua fosil Pithecanthropus sudah
merupakan manusia (anthrop) yang sudah berbudaya dan mampu membuat alat dengan berbagai
bahan dan teknologi. Hal ini menunjukkan perilaku dan kecerdasan manusia sempurna yaitu Homo,
sudah berdiri tegak (erectus).

Oleh sebab itu dasar taksonomi yang digunakan bukan wilayah atau daerah fosil tersebut ditemukan,
melainkan ciri anatomis yang memperlihatkan dan merefleksikan kecerdasan manusia yang berdiri
tegak atau Homo erectus, maka nama Pithecanthropus tidak lagi digunakan. Dengan demikian, secara
taksonomi manusia purba yang ada di Indonesia (Jawa) semuanya sudah sebagai Homo, yaitu Homo
erectus dan Homo sapiens seperti yang diyakini oleh Zaim (2006) seperti dalam Gambar 5.

Gambar 5 Taksonomi Manusia Purba Homo erectus menurut Zaim (2006)


116

Perkembangan Kehidupan Manusia Purba di Indonesia


Perjalanan bagaimana manusia purba bisa sampai di Indonesia sangat menarik untuk ditelusuri. Ada
dua teori tentang penyebaran manusia purba yaitu Out of Africa dan Multi Regional. Teori Out of
Africa menyatakan bahwa asal-muasal manusia (purba) dari daratan Afrika yang dalam kehidupannya
berkembang dan menyebar keseluruh penjuru dunia, mengalami perubahan baik fisik maupun
kulturnya dalam waktu yang panjang atau evolusi sebagai bagian dari kemampuan adaptasinya
dengan lingkungan jelajahnya dalam perjalanan ketika menyebar dan berkembang.

Sedangkan teori Multi Regional meyakini bahwa asal manusia tidak hanya dari Afrika, tetapi bisa
berasal dari daerah lain, seperti dari Asia. Hal ini didasari oleh adanya temuan-temuan fosil manusia
purba di Cina yang dikenal sebagai Homo (Pithecanthropus) erectus pekinensis. Lalu di Sangiran -
Jawa Tengah ditemukan fosil yang menunjukkan ciri anatomi yang kekar, besar (robust) disebut
sebagai Homo (Meganthropus) paleojavanicus yang disetarakan dengan Australopithecus afarensis atau
africanus yang ditemukan di Afrika, sebagai nenek moyang Homo erectus dan Homo sapiens baik di
Afrika maupun di Asia (Indonesia). Di samping itu juga adanya penentuan umur fosil Homo erectus
(modjokertensis) 1,9 jtyl dan 1,81 jtyl dengan metoda K/Ar dan 40Ar/39Ar yang dilakukan oleh Jacob
dan Curtis (1971) dan Swisher dkk (1994), sehingga ada fosil manusia purba Homo erectus yang tua
sebagai hasil evolusi dari Homo (Meganthropus) paleojavanicus yang terdapat di Asia (Jawa).

Mana dari dua teori tersebut yang benar, masing-masing kelompok hingga sekarang masih terus
lakukan penelitian untuk mendapatkan data yang dapat mendukung teori yang diyakininya. Namun
dari data yang sekarang ini ada, banyak ahli yang meyakini pada teori Out of Africa.

Perjalanan Manusia Purba sampai di Indonesia


Fosil Manusia Purba yang ditemukan di Indonesia yang umumnya bersama-sama fosil hewan
vertebrata dan terkadang bersamaan pula dengan temuan alat-budayanya pada lapisan sedimen yang
diendapkan dalam lingkungan danau, sungai atau pantai pada Zaman Kuarter, atau Plestosen. Fosil
manusia Homo erectus ditemukan berumur Plestosen Awal sekitar 1,6 juta tahun yang lalu (jtyl) –
Plestosen Akhir sekitar 108 ktyl. Kemudian Homo sapiens dan Homo floresiensis serta fosil manusia
yang ditemukan dari tepi Sungai Lusi - Rembang (Manusia Lusi) berumur Plestosen Tengah –
Plestosen Akhir (Gambar 6).

Bagaimana manusia purba bisa ada di Indonesia, tentu tidak lepas dari kondisi lingkungan pada saat
manusia purba tersebut sampai di Indonesia, yaitu kondisi geologis dan klimatologis pada Zaman
Kuarter yaitu selama Plestosen.

Data Geologi menunjukkan bahwa akhir Zaman Tersier pada Akhir Pliosen terjadi aktivitas tektonik
yang bersifat global hampir di seluruh dunia, termasuk wilayah Indonesia. Tektonik Akhir Pliosen
inilah yang menyebabkan wilayah Indonesia sebelumnya sebagian besar masih berupa lautan, akibat
tektonik global yang disertai dengan kegiatan gempa, volkanisme menyebabkan sebagian wilayah
117

laut terangkat menjadi daratan. Kegiatan tektonik yang disertai dengan kegiatan volaknisme berupa
pembentukan atau peningkatan aktivitas gunungapi disertai peningkatan kegiatan magmatisme
menyebabkan terbentuknya wilayah daratan baru, menambah luasnya daratan disertai terbentuknya
pulau-pulau baru.

Gambar 6 Fosil Manusia Purba Manusia Lusi yang ditemukan dari Lapisan Konglomerat di Sungai Lusi-
Jawa Tengah

Di samping itu, akibat tektonik yang disertai oleh kegiatan volkanisme, berdampak pula pada
terjadinya perubahan suhu bumi yang sangat mungkin akibat terhambatnya sinar matahari akibat
letusan gunungapi yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan klimatologis, suhu atmosfer
menjadi rendah, bertambahnya daratan es di kutub. Hal ini menyebabkan terjadinya susut laut atau
turunnya permukaan laut.

Dalam kondisi bertambahnya dartatan akibat tektonik dan turunnya mukalaut, maka sebagian besar
wilayah perairan laut di Indonesia berubah menjadi daratan, dan ini menjadi jalur pergerakan fauna
termasuk manusia purba yang bermigrasi dari daratan utama (mainland) Asia menuju ke arah Asia
Tenggara, termasuk Indonesia.
118

Data geoarkeologis hasil penelitian disertasi Hascaryo (2019) memperlihatkan adanya beberapa kali
terjadi fluktuasi perubahan muka laut Indonesia selama Plestosen, sehingga sebagian besar Laut Jawa
mendangkal dan menjadi daratan, yang menyebabkan terjadinya “jembatan darat” sebagai jalur
migrasi fauna dan manusia dari daratan utama (mainland) Asia dengan wilayah Kepulauan Indonesia,
sampai di Jawa.

Mengingat ditemukannya fosil manusia dan vertebrata dalam lapisan batuan yang berbeda umurnya,
berbeda pula jenis fauna dan manusia purbanya seperti Homo erectus, Homo sapiens, Homo floresiensis,
maka timbul pertanyaan, apakah migrasi manusia dan fauna dari daratan utama Asia ke Asia Tenggara
dan Indonesia terjadi hanya satu kali, atau beberapa kali dan jalur-jalur mana sajakah yang dilewatin?

Pertanyaan tersebut memberikan jawaban dalam beberapa kemungkinan:

1. Migrasi fauna dan manusia purba dari daratan utama Asia ke Asia Tenggara dan Indonesia
hanya terjadi satu kali, yang terjadi hanya pada perjalanan migrasi Homo erectus saja. Implikasi
dari kemungkinan ini adalah, maka akan terjadi perubahan dan perkembangan evolusi di Asia
Tenggara dan/atau Indonesia dari Homo erectus menjadi Homo sapiens dan juga ke Homo floresiensis
sebagaimana yang fosilnya ditemukan di Cina dan Jawa.
2. Migrasi terjadi beberapa kali, setidaknya terjadi pada Homo erectus dan gelombang migrasi
berikutnya terjadi pada Homo sapiens. Jika kemungkinan ini yang terjadi, maka tidak terjadi
adanya perkembangan atau evolusi dari Homo erectus ke Homo sapiens di Asia Tenggara dan/atau
Indonesia, karena kedua kelompok tersebut bermigrasi pada saat masing-masing telah terbentuk
atau terjadinya evolusi pada saat masih berada di daratan utama Asia.

Untuk memastikan dari dua kemungkinan di atas, maka Kelompok Keahlian/Keilmuan Paleontologi
dan Geologi Kuarter (KK PGK) - ITB telah melakukan kerjasama penelitian dengan berbagai lembaga
dari dalam dan luar negeri.

Dengan Griffith University dan Queensland University – Australia telah meneliti kembali Gua Lidah
Ayer – Sumatra Barat yang pernah diteliti oleh Eugene Dubois pada tahun 1887. Dalam penelitian
telah berhasil menemukan gigi lepas Homo sapiens dan fauna vertebrata lainnya, dan berdasarkan data
yang dikumpulkan baik dari dalam gua maupun hasil analisis laboratorium berhasil mengungkapkan
bahwa Homo sapiens pertama kali masuk dan menghuni Sumatra terjadi pada sekitar 73 ktyl – 63
ktyl, melalui dua jalur yaitu Siva-Malayan dan Sino-Malayan (Westaway dkk, 2017).

Kerja sama penelitian antara KK PGK – ITB dengan University of Iowa, University of Texas at Austin,
University of Michigan, University of Alberta melakukan penelitian yang sangat rinci di Sangiran dan
Ngandong untuk mengungkapkan evolusi dan perjalanan manusia purba di Indonesia.

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa fosil Homo erectus dari Formasi Bapang di Sangiran berumur
1,5 jtyl merupakan Homo erectus yang menyebar melalui jalur zona ekuatorial selatan hingga sampai
ke Asia Tenggara dan Jawa (Zaim dkk, 2011). Fosil manusia purba yang ditemukan di desa Ngandong
119

dalam endapan sungai Bengawan Solo berupa Teras Ngandong merupakan Homo erectus yang termuda
ditemukan di Indonesia, berumur 117 ktyl–108 ktyl (Rizal dkk, 2019).

Dengan demikian maka Homo erectus di Indonesia yang tertua di Sangiran berumur Plestosen Awal
sekitar 1,5 jtyl yang masuk dalam Homo erectus Arkaik dan termuda ditemukan di Ngandong berumur
Plestosen Akhir, pada 117 ktyl–108 ktyl, merupakan Homo erectus Progresif menurut Widianto
(2001) sehingga sangat boleh jadi memberi makna terjadinya proses evolusi Homo erectus di Jawa dari
Arkaik ke Progresif.

Masalah yang muncul kemudian adalah adanya fosil Homo sapiens yang ditemukan di Jawa dan
Sumatra berumur 143–27 ktyl serta Homo floresiensis di Indonesia Timur yaitu Flores dan Homo
luzonensis di Filipina yang umurnya berhimpit atau bersamaan dengan Homo erectus Tipik-Progresif
dari Jawa yang berkisar 800–108 ktyl.

Hal di atas merupakan masalah perkembangan dan evolusi manusia purba di Indonesia dan Asia
Tenggara yang belum terpecahkan hingga saat ini, namun setidaknya terdapat dua hipotesis atau
kemungkinan evolusi:

1. Evolusi terjadi di wilayah Indonesia Barat, yang terpisah dengan Evolusi yang terjadi di
wilayah Indonesia Timur. Dari kemungkinan ini, maka tidak ada hubungan arah evolusi dari
Homo erectus ke Homo sapiens in Jawa dengan keberadaan Homo floresiensis di Flores dan Homo
luzonensis dari Filipina, yang memiliki pola dan jalur evolusi tersendiri sebagaimana dalam
Gambar 7.
2. Homo erectus di wilayah Indonesia Barat yaitu di Jawa (fosil-fosil dari Sangiran sampai
Ngandong) merupakan nenek moyang manusia purba yang berevolusi menjadi Homo sapiens
di Jawa Timur (Wajak, Punung). Pada waktu bersamaan sekitar 800 ktyl, sebagian Homo erectus
tersebut bermigrasi dan meyebar ke wilayah Indonesia Timur sampai di Flores menjadi Homo
floresiensis (fosil dari Mata Menge dan Liang Bua, 700 – 60 ktyl) bahkan sampai di Filipina sebagai
Homo luzonensis yang berumur 67 ktyl (Gambar 8) yang kerdil karena kondisi lingkungan hidup
yang berubah dan berbeda dengan di Jawa, maka terjadi isolasi, membentuk manusia kerdil-
hobbit (Homo floresiensis dan Homo luzonensis).
120

Gambar 7 Pola penyebaran dan evolusi Manusia Purba yang berbeda: di wilayah Barat (1) dan Timur (2)
Indonesia (Zaim, 2019)

Gambar 8 Pola penyebaran dan evolusi Manusia Purba berasal dari Barat ke arah Timur (3) Indonesia
(Zaim, 2019)
121

Penutup
Kedua hipotesis atau kemungkinan tersebut di atas belum bisa dijawab dengan tuntas karena
memerlukan penelitian dan kajian yang mendalam berkitan dengan fosil Manusia Purba yang
terdapat di Indonesia, yang menyangkut berbagai aspek dan bidang keilmuan.

Fosil Manusia Purba di Indonesia memiliki nilai keilmuan yang sangat tinggi dan penting namun
sayang sekali, sangat sedikit ahli Geologi, Paleontologi dan Paleoantropologi yang tertarik pada
masalah perkembangan dan evolusi Manusia Purba yang fosilnya ada di negeri ini, yang menjadi
incaran para ahli dunia untuk melakukan penelitian dan kajian. Jangan sampai teori yang muncul
dalam menjawab permasalahan sebagaimana diuraikan sebelumnya justru dilahirkan oleh peneliti
asing. Jika hal ini terjadi tentunya akan merupakan suatu ironi dalam perkembangan keilmuan di
Indonesia.

Untuk menjawab beberapa kemungkinan yang diajukan tadi, diperlukan kajian dari berbagai bidang
ilmu yang terkait, yang semuanya merupakan bidang Ilmu Dasar seperti Geologi, Paleontologi,
Paleoantropologi, Geoarkeologi, Arkeologi dll. Oleh sebab itu diperlukan kerjasama yang erat dari
beberapa bidang ilmu tersebut, untuk menjawab secara mendasar dalam memahami perjalanan
panjang yang komprehensif tentang Manusia Purba di Indonesia.

Ucapan Terima Kasih


Suatu kehormatan yang luar biasa tinggi untuk saya dapat menjadi anggota AIPI - Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia, tempat berbagai akademisi Indonesia berhimpun. Untuk itu, dengan segala
hormat saya sampaikan ucapan terima kasih serta apresiasi yang tinggi kepada yang terhormat:

• Pimpinan AIPI: Ketua dan Wakil Ketua AIPI


• Pimpinan Komisi Bidang-Bidang AIPI,
• Pimpinan ITB: Rektor dan seluruh Wakil Rektor ITB,
• Dekan FITB, Kaprodi dan Seluruh Staf Dosen dan Tendik Teknik Geologi ITB,
• Seluruh Anggota Senior utamanya untuk Prof. Sri Widiyantoro dan seluruh Anggota Baru AIPI,
• Panitia Kuliah Inaugurasi AIPI.
122

Daftar Pustaka
Detroit, F., Mijares, A.S., Corny, J., Daver, G., Zanolli, C., Dizon, E., Robles, Grun, R., dan Piper,
P.J., (2019): A new species of Homo from the Late Pleistocene of the Philippines. Nature,
Vol.568.
Hascaryo, A.T., (2019): Studi Geoarkeologi Bagian Utara Jawa Tengah Untuk Rekonstruksi
Lingkungan Hidup dan Okupasi Manusia Purba Selama Zaman Kuarter. Unpublish Ph.D
Dissertation, ITB.
Huffman, O. F, dan Y. Zaim, (2003): Mojokerto Delta, East Jawa: Paleoenvironment of Homo
modjokertensis - First Result, Journal of Mineral Technology, v.10, n. 2. The Faculty of Earth
Sciences and Mineral Technology, Institute Technology, Bandung.
Jacob, T., (1975): The Pithecanthropines of Indonesia, Bull. et Memoires de la Societe
d’Anthropologique de Paris, XIIIe Serie, Tome2 fasicule 3, pp.243-256.
Jacob, T. dan Curtis, G.H, (1971): Preliminary potassium-argon dating of early man in Java.
Contributions of the University of California Archeological Research Facility 12: 50.
Morwood, M.J., P. O’Sulivan, E.E. Susanto and F. Aziz, (2003): Revised age for Mojokerto 1, an early
Homo erectus cranium from East Java, Indonesia. Australian Archaeology 57: 1-4.
Polanski,J.M., Marsh, H.E., dan Maddux, S.D., (2016): Dental size in Indonesian Homo erectus:
Implications for PU-198 premolar and the appearance of Homo sapiens on Java. Journal of
Human Evolution 90, 49-54.
Sartono, S., (1996): Java: Diversity of Upper Pliocene-Pleistocene Hominids, Buletin Geology ITB,
vol. 26, No.1, 1996.
Sartono, S., (2006): Betulkah Wilayah Asal Manusia di Afrika?, dalam Zaim, Y., Rizal, Y., Aswan,
dan Fitriana, B.S (Edt.): S. Sartono Dari Hominid ke Delapsi dengan Kontroversi. ITB Press.
Storm, P., dan Nelson, A.J., (1992): The many faces of Wadjak Man. Archaeol. Oceania 37e46.
Storm, P., Rachel Wood, Chris Stringer, Antonis Bartsiokas, John de Vosa, Maxime Aubert, Les
Kinsley, dan Rainer Grün, (2013): “U-series and radiocarbon analyses of human and faunal
remains from Wajak, Indonesia”, Journal of Human Evolution, Volume 64, Issue 5, May 2013,
356–365, doi:10.1016/j.jhevol.2012.11.002.
Sutikna, T., Matthew W. Tocheri, Michael J. Morwood, E. Wahyu Saptomo, Jatmiko, Rokus Due
Awe, Sri Wasisto, Kira E. Westaway, Maxime Aubert, Bo Li, Jian-xin Zhao, Michael Storey,
Brent V. Alloway, Mike W. Morley, Hanneke J. M. Meijer, Gerrit D. van den Bergh, Rainer
Grün, Anthony Dosseto, Adam Brumm,William L. Jungers dan Richard G. Roberts, (2016):
Revised stratigraphy and chronology for Homo floresiensis at Liang Bua in Indonesia, Nature,
Letter,doi:10.1038/nature17179.
Swisher, C.C., Curtis, G.H., Jacob, T., Getty, A.G., Suprijo, A. dan Widiasmoro, (1994): Age of the
earliest known hominid in Java, Indonesia. Science 263: 1118-1121.
123

van den Berg, et al., G.D., (2016): Homo floresiensis – like fossils from the Early Middle Pleistocene
of Flores. Nature,534, 245-248.
Westaway, K. E., J. Louys, R. Due Awe, M. J. Morwood, G. J. Price, J.-x. Zhao, M. Aubert, R.
Joannes-Boyau,T. M. Smith, M. M. Skinner, T. Compton, R. M. Bailey, G. D. van den Bergh,
J. de Vos, A. W. G. Pike, C. Stringer,E. W. Saptomo, Y. Rizal, Y. Zaim, W. D. Santoso, A.
Trihascaryo, L. Kinsley dan B. Sulistyanto,(2017): An early modern human presence in Sumatra
73,000–63,000 years ago, Nature, doi:10.1038/nature23452
Widianto, H. (2001): The perspective on the evolution of Javanese Homo erectus based on morphological
and stratigraphic characteristics. In T. Simanjuntak, B. Prasetyo and R. Handini (eds) Sangiran:
Man, Culture and Environment in Pleistocene Times, pp. 24-45. Jakarta: The National Centre
of Archaeology, Ecole Francaise d’Extreme-Orient and Yayasan Obor Indonesia
Zaim, Y., (2006): Hominids in Indonesia: From Homo erectus (paleojavanicus) to Homo floresiensis
in Zaim, Y., Rizal, Y., Aswan, and Fitriana, B.S.(Eds.): S. Sartono Dari Hominid ke Delapsi
dengan Kontroversi. ITB Press.
Zaim, Y., dan Hascaryo, A.T., (2019): New discovery of a small piece fragment of hominin cranial
in Rembang Area, Northern part of Central Java- Indonesia: A small fragment for human
evolution in Indonesia, 1st Asia Pacific Conference on Human Evolution, Brisbane, Australia.
Zaim, Y., Russell L. Ciochon, Joshua M. Polanski, Frederick E. Grine, E. Arthur Bettis III,Yan Rizal,
Robert G. Franciscus, Roy R. Larick, Matthew Heizler, Aswan, K. Lindsay Eaves, dan Hannah
E. Marsh, (2011): New 1.5 million-year-old Homo erectus maxilla from Sangiran (Central
Java, Indonesia), Journal of Human Evolution 61 (2011) 363e376.
124

Profil Penulis
Lahir di Kertosono, Jawa Timur 09 Maret 1951 putra bungsu dari 5
bersaudara, ayah: H. Ali Umar Siddiq dan ibu: Hj. Siti Maimunah.
Menikah dengan Dra. Anita Fithriani dikaruniai 3 orang anak: Dr. Ilma
Aulia Zaim,SSn., MSM., drg. Rizka Aulia Zaim, SpKGA., dan Irza Aulia
Zaim, ST., MBA.

Menamatkan Sekolah Rakyat (SR) Negeri Ampiun I Petang-Jakarta tahun


1964, SMP Negeri 26, Pegangsaan Jakarta (1967), lalu SMA Negeri 1
Budhi Utomo, Jakarta (1970). Melanjutkan kuliah dan mendapatkan Sarjana Teknik Geologi Institut
Teknologi Bandung (ITB) tahun 1978 Melanjutkan pendidikan di bidang Quaternary Geology, di
University of Paris VI (Universite de Piere et Marie Curie), Paris – Perancis, Lulus 1985, memperoleh
gelar - Diplome d’Etude Approfondies (DEA), setara dengan S-2. Tahun 1989 lulus S-3 – Doktor, dari
Institut de Paleontologie Humaine, Paris – Perancis.

Sebagai PNS/Dosen Teknik Geologi ITB pada tahun 1979, Kepala Laboratorium Paleontologi ITB
(1990-2021),Anggota Senat Akademik (SA-2005-2006;2011-2021), Sekretaris Komisi 3 SA (2011-
2014) Majelis/Forum Guru Besar ITB (2004-sekarang), Wakil Dekan Sekolah Pascasarjana (2006-
2010), Anggota Komisi Satuan Penjaminan Mutu ITB (2006-2010), Anggota Senat FIKTM/ FITB
(2004-2021), Direktur Penerbit ITB/ITB Press (2012-2016) dan 1 April 2021 memasuki Masa
Pensiun PNS.

Inisiator dan Ketua Riset Paleotsunami di Prodi Teknik Geologi ITB, Pendiri dan Ketua Kelompok
Keahlian (KK) Paleontologi dan Geologi Kuarter ITB (KK PGK,2015-2021), Inisiator dan Ketua
Riset Geoarkeologi ITB, Pendiri Forum Sedimentologiwan Indonesia (FOSI-IAGI,1990).

Menjalin Kerjasama penelitian dan aplikasi dengan berbagai instansi dalam dan luar negeri seperti
Badan Geologi, BMKG, BIG, Pusliit Arkeologi Nasional, Balai Arkeologi DI Yogyakarta dan Papua,
Museum Geologi Bandung, Museum Sangiran-Solo. Dengan berbagai universitas luar negeri seperti:
Univ. of Iowa – USA: 1998–2020, Univ. of Texas at Austin: 1997–2007, Univ. of Michigan, USA:
2003–2016, Univ. of Florida, USA: 2003–2016, Queensland Univ. Brisbane, Australia: 2015–
Sekarang, Griffith Univ., Brisbane, Australia: 2015–Sekarang, Pennsylvania State University, USA:
2017– Sekarang dan Universitas Alberta-Kanada, 2014–Sekarang.

Telah mempublikasikan karya ilmiah hasil penelitian nasional dan Internasional: 130 publikasi, dan
Publikasi Seminar/Prosiding Nasional dan Internasional: 32 buah publikasi. Menerbitkan 3 buah
buku referensi, Editor 3 buah buku dan 3 buah book chapter dalam buku terbitan internasional.

Pada kurun waktu tahun 2005-2007 sebagai Profesor Tamu/Guest Professor/Lecturer di University of
Frankfurt-Jerman, Program Erasmus Mundus-Institut de Paleontologie Humaine (IPH)-Paris, Perancis,
dan Univ.of Iowa-Amerika. Sebagai Ketua Tim Indonesia/ITB dalam Program Human Origine
125

Patrimony South East Asia (HOPSEA) dengan Univ.of Frankfurt Jerman, Institute de Paleontologie
Humaine-Paris, Perancis dan University of Philippine Diliman, Filipina. Sejak tahun 2013 – sekarang
sebagai Penguji Luar - External Doctor Examiner: Universiti Sains Malaysia (USM), Penang - Malaysia.

Menemukan pertama kali fosil manusia Homo erectus fossil dari Patiayam Jawa Tengah (1977 dan
1978), pertama kali fosil Ikan Paus di Indonesia, sebagai Ketua Tim Ekspedisi Paleontologi, Surade,
Jawa Barat (2011). Ketua Tim Ekspedisi Paleontologi. Dalam penemuan pertama kali fosil Jejak
Burung di Indonesia dari Cekungan Ombilin Sumatra Batrat dan Kalimantan Selatan. Penemuan
pertama kali spesies fosil moluska Ampullonatica sartonoi bersama Prof. Tomowo Ozawa dan Aswan
(1995). Menemukan pertama kali spesies fosil Pygmy Stegodon dari Sumedang Bersama Rini Marino
pada tahun 2002: Stegodon cariangensis. Menemukan genus dan spesies baru fosil ikan Ombilinichtys
yaminii. dari Cekungan Ombilin Sumatra Barat, bersama tim dari ITB serta Univ.of Alberta, Kanada
dan Univ.of Iowa, Amerika.

Menerima Penghargaan

• KARYA SATYA REPUBLIK INDONESIA untuk 10, 20 dan 30 Tahun,


• GANESHA WIRA ADITAMA ITB – 2001,
• POLICE AWARD - POLWIL PRIANGAN: HONORARY POLICE – 2005,
• PIAGAM PENGHARGAAN ITB BIDANG PENELITIAN – 2019,
• INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG (ITB): LENCANA PENGABDIAN 25 TAHUN –
2005,
• INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG (ITB): LENCANA PENGABDIAN 35 TAHUN –
2016,
• INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG (ITB): LENCANA PENGABDIAN 40 TAHUN –
2020.

Anggota aktif asosiasi Profesi:

• Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI): 1978–Sekarang


• Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI): 1982–Sekarang
• Pendiri Forum Sedimentologi Indonesia - FOSI, 1990–Sekarang, sebagai Dewan Penasehat dan
Anggota.
• International Association of Sedimentologists (IAS), 1988–Sekarang, sebagai Indonesian Representative
for National Correspondence.
• Persatuan Insinyur Indonesia (PII),1979–Sekarang, sebagai - Insinyur Profesional Utama (IPU)
• Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI): 2020

Anda mungkin juga menyukai