Anda di halaman 1dari 49

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS HALU OLEO

FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN

JURUSAN JURUSAN TEKNIK GEOLOGI GEOLOGI

TUGAS MAKALAH MIKROPALEONTOLOGI

Oleh :

NAMA : WA ODE ILA HIRAWATI

STAMBUK : ( R1C117025 )

KENDARI
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nyalah

sehingga makalah ini dapat terselesaikan meskipun dalam bentuk yang sederhana.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa tersusunnya makalah ini berkat

adanya kerjasama, bimbingan, dorongan, serta bantuan dari berbagai pihak

Terutama selaku dosen mata kuliah “mikropaleontologi” yang telah meluangkan

waktunya untuk membimbing kami dan mengajarkan kami dan mau berbagi ilmu.

Dalam penyusunan makalah ini Kami menyadari sepenuhnya bahwa

makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena berbagai keterbatasan waktu

dan pengetahuan kelompok kami. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati kami

menerima segala kritik, saran maupun tanggapan dari berbagai pihak yang

membangun diharapkan untuk dapat lebih baik lagi kedepannya, dalam membuat

makalah ini.

Akhir kata, Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

telah membantu kami dalam penyelasaian makalah ini. Semoga segala amal

ibadah kita diterima di sisi-Nya (Amin).

Kendari, 22 Mei 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ….......…………………………………..….………………...... ii

DAFTAR ISI …....……………………………………....…………...………….......... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang …………………………………........…....……………………. 1

1.2 Rumusan Masalah ………………………..……….………….............................. 3

1.3 Tujuan ……………………………………………………………………............ 3

1.4 Manfaat ……………………………………………………………….……........ 3

BAB II LANDASAN TEORI

2.1. Sejarah mikropaleontlogi ….....................................................……………..…... 4

2.2 Analisis mikropaleontologi................................................................................. 6

2.3 Foraminifera ..........................................................................................................19

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan ……………………………………………......................……… 42

3.2. Saran.………………………………………....................................…......... 42

DAFTAR PUSTAKA ……………………......……………………………………… 44

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Paleontologi berasal dari kata, Paleo yang berarti masa lampau/kuno

dan onthos yang berarti kehidupan kehidupan. Paleontologi adalah merupakan

suatu ilmu yang mempelajari sisa-sisa makhluk hidup purba, baik dari fosil-

fosilnya maupun jejak-jejak kehidupan yang telah mengalami proses pembatuan.

Sedangkan fosil adalah sisa-sisa dari kehidupan masa lampau ataupun segala

sesuatu yang menunjukkan kehidupan yang telah membatu dan yang paling muda

berumur pleistosen. Pada umumnya fosil ini terjadi pada lingkungan sedimen.

Fosil dalam “Paleontologi” terbagi menjadi 2 jenis, yaitu:Fosil Makro/besar

(Macrofosil), yaitu fosil yang dapat dilihat dengan mata biasa (megaskopis), Fosil

Mikro/kecil (Microfosil), yaitu fosil yang hanya dapat dilihat dengan bantuan alat

mikroskop.

Ilmu paleontologi mikro mulai berkembang Sejak awal abad 20,

perkembangan ilmu mikropaleontologi menjadi semakin pesat, ditandai dengan:

1911: Prof. J.A. Udden dari Augustana College mempergunakan mikrostratigrafi

dan mikrofosil untuk menentukan umur lapisan dan melakukan korelasi umur-

umur pemboran air di Illinois. 1916: awal dari pengajaran mikropaleontologi

sebagai bidang spesialisasi khusus pada universitas-universitas di Amerika. 1919:

pembentukan laboratorium mikropaleontologi pertama di Humble and Rio Bravo

Oil Co. 1923: didirikan oleh A. Cushman (1881-1949) Laboratory for

1
foraminiferal research di Massachussetts, USA, yang pada dekade-dekade

selanjutnya berkembang menjadi pusat penelitian mikropaleontologi. 1925: awal

terbitnya publikasi periodik yang membahas tentang mikrofosil. Sejak 1945,

didorong oleh kebutuhan akan minyak bumi, perkembangan mikropaleontologi

semakin cepat, dan hingga sekarang mikropaleontologi merupakan ilmu

pengetahuan yang praktis diajarkan hampir di seluruh dunia.

          Lamarck (1812) adalah ahli biologi kebengsaan prancis, dalam bukunya

“Course de Zoologie” memasukkan foraminifera kedalam cephalopoda.

Walaupun penggolongan ini yang kemudian dinyatakan salah, tetapi beberapa

jenis yang diberi nama lamarck hingga sekarang masih dipakai. Ide

dari Lamarckini memberikan pandangan baru pada Acide D’Orbigny yang

menerbitkan buku berjudul “Tableau methodique de la classe des cephalopodes”

yang berisi lebih dari 1500 genus dan 18000 species dari foraminifera, sehingga

katalog untuk foraminifera telah lebih dari 30000 halaman. Ia juga menemukan

bentuk poly thalamus dan mono thalamus, dan juga ia menemukan foraminifera

dari family miliolides, asterigirinidae,polymorphinidae. Dalam klasifikasinya ia

tidak mendasarkan pada susunan dinding dari foraminifera tetapi atas jumlah dan

susunan kamar – kamarnya. Sehubungan dengan itu maka patutlah ia dianggap

sebagai salah seorang yang pertama sekali pembentuk mikro paleontologi ilmiah.

Williamson (1848) melakukan penyelidikan mengenai susunan dindingnya dan

variasinya dan ia mengatakan bahwa foraminifera sangat berguna untuk

korelasi. Carpenter (1849) bersama dengan Parker dan Jones melakukan

penyelidikan tentang susunan kamar pada tahun 1862 yang kemudian

2
menerbitkan text books yang pertama sekali berjudul “introduction to the study of

foraminifera” ia juga melakukan klasifikasi berdasarkan bentuk struktur dari

dinding (perforate atau imperforate) dan susuna dari kamar.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun Rumusan masalah dari makalahini sebagai berikut :

1. Apakah Sejarah mikropaleontologi ?

2. Bagaimana Analisis Mikropaleontologi ?

3. Apakah Foraminifera ?

1.3. Tujuan

Adapun tujuan dari makalahini sebagai berikut :

4. Untuk menjelaskan Sejarah mikropaleontologi ?

5. Untuk menjelaskan Analisis Mikropaleontologi ?

6. Untuk menjelaskan Foraminifera ?

1.4. Manfaat

Adapun Manfaat dari makalah ini sebagai berikut:

1. Dapat menjelaskan Sejarah mikropaleontologi ?

2. Dapat menjelaskan Analisis Mikropaleontologi ?

3. Dapat menjelaskan Foraminifera ?

3
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Sejarah Mikropaleontologi

Mikropaleontologi merupakan studi khusus yang mempelajari sisa-sisa

organisme yang terawetkan di alam dengan menggunakan alat mikroskop.

Organisme yang terawetkan tersebut merupakan fosil mikro karena berukuran

sangat kecil. Sebagai contoh fosil mikro adalah fosil-fosil dari organisme

golongan foraminifera.

Mikrolitologi merupakan studi mikroskop yang membahas tentang batuan

sedimen yang dipelajari antara lain warga, tekstur, pemilahan, struktur, ukuran

kristal, fragmen serta sementasi. Pada umumnya fosil ini terjadi pada lingkungan

sedimen. Fosil dalam “Paleontologi” terbagi menjadi 2 jenis, yaitu:Fosil

Makro/besar (Macrofosil), yaitu fosil yang dapat dilihat dengan mata biasa

(megaskopis), Fosil Mikro/kecil (Microfosil), yaitu fosil yang hanya dapat dilihat

dengan bantuan alat mikroskop.

Sejarah Mikropaleontologi

Sebelum zaman masehi,fosil-fosil mikro terutama ordo foraminifera

sangat sedikit untuk di ketahui.medkipun demikian filosof-filosof Mesir banyak

yang menuis tentang keanehan alam. Termasuk pada waktu menjumpai fosil.

1. Herodotus dan Strabo pada abad ke lima dan ke tujuh sebelum

masehi menemukan benda-benda aneh di daerah piramida. Mereka

4
mengatakan bahwa benda-benda tersebut adalah sisa-sisa makanan para

pekerja yang telah menjadi keras, padahal benda tersebut sebetulnya adalah

fosil-fosil numulites. Fosil fosil ini terdapat dalam batu gamping brumur

Eosen yang di gunakan sebagai bahan bangunan piramida di Negara

tersebut.

2. Agricola pada tahun 1546mengambarkan benda-benda aneh

tersebut sebagai “Stone Lentils”

3. Gesner tahun 1565 menulis tentang sistematika paleontology.

4. Van Leenowek (tahun 1660) menemukan miroskop, terhadap

fosil mikro berkembang dengan pesat.

5. Beccarius (tahun 1739) pertama kali menulis tentang

foraminifera yang dapat dilihat dengan mikrosop.

6. Carl Van linoeus adalah orang swedia yang memperkenalkan

tata nama baru (1758) dalam bukunya yang berjudul (System Naturae) tata

nama baru ini penting, karena cara penamaan ini lebih sederhana dan sampai

sekarang ini digunakan untuk penamaan binatang maupun tumbuhan pada

umumnya.

7. D’orbygny (1802-1857) menulis tentang foraminifera yang

digolongkan dalam kelas Chepalopoda. Beliau juga menulis tentang fosil

mikro seperti Ostracoda, Conodonta, beliau dikenal sebagai Bapak

Mikropaleontologi.

8. Ehreberg dalam penyelidikan organisme mikro menemukan

berbagai jenis Ostracoda, Foraminifera dan Flagellata, penyelidikan tentang

5
sejarah perkembangan foraminifera dilakukan oleh Carpenter (1862) dan

Lister (1894). Selain itu mereka juga menemukan bentuk-bentuk mikrosfir

dan megalosfir dari cangkang-cangkang foraminifera.

9. Chusman (1927) pertama kali menulis tentang fosil-fosil

foraminifera dan menitikberatkan penelitianya pada study determinasi

foraminifera, serta menyusun kunci untuk mengenal fosil-fosil

foraminifera.

10. Jones (1956) banyak membahas fosil mikro diantaranya

Foraminifera, Gastropoda, Conodonta, Ostracoda, Spora dan Pollen serta

kegunaan fosil-fosil tersebut, juga membahas mengenai ekologinya.

2.2. Analisis Mikropaleontologi

Analisis Mikropaleontologi sebagai berikut :

A. Persiapan Penelitian Mikrofosil

     Sebelum melakukan penelitian mikrofosil adapun tahap-tahap persiapan yang

harus dilakukan adalah sebagai berikut:

1.  Sampling

Sampling adalah proses pengambilan sampel dari lapangan. Jika untuk fosil mikro

maka yang diambil adalah contoh batuan. Batuan yang diambil haruslah batuan

yang masih dalam keadan insitu, yaitu batuan yang masih ditempatnya.

Pengambilan sampel batuan di lapangan hendaknya dengan memperhatikan tujuan

yang akan dicapai. Untuk mendapatkan sampel yang baik diperhatikan interval

jarak tertentu terutama untuk menyusun biostratigrafi. Ada beberapa hal yang

perlu diperhatikan dalam pengambilan sampel di lapangan, yaitu :

6
1. Jenis batuan

2. Metode sampling

3. Jenis sampel

4. Jenis Batuan

Fosil mikro pada umumnya dapat dijumpai pada batuan berfraksi halus. Namun

perlu diingat bahwa jenis-jenis fosil tertentu hanya dapat dijumpai pada batuan-

batuan tertentu. Kesalahan pengambilan sampel berakibat pada tidak dijumpai

fosil yang diinginkan. Fosil foraminifera kecil dapat dijumpai pada batuan napal,

kalsilutit, kalkarenit halus, batupasir karbonatan halus. Fosil Foraminifera besar,

dapat dijumpai pada Kalkarenit, danBoundstone

2. Metode Sampling

Beberapa prosedur sampling pada berbagai tipe sekuen sedimentasi dapat

dilakukan seperti berikut ini :

o Splot sampling

Spot Sampling dalah dengan interval tertentu, merupakan metoda terbaik untuk

penampang yang tebal dengan jenis litologi yang seragam, seperti pada lapisan

serpih tebal, batu gamping dan batulanau. Pada metoda ini dapat ditambahkan

dengan “channel sample” (parit sampel) sepanjang ± 30 cm pada setiap interval

1,5 meter.

o Channel Sampling (sampel paritan)

7
Dapat dilakukan pada penampang lintasan yang pendek (3-5 m) pada suatu

litologi yang seragam. Atau pada perselingan batuan yang cepat, channel

sample dilakukan pada setiap perubahan unit litologi. Splot Sampling juga

dilakukan pada lapisan serpih yang tipis atau sisipan lempung pada batupasir atau

batu gamping, juga pada serpih dengan lensa tipis batugamping.

Kriteria-kriteria yang digunakan dalam pengambilan sampel batuan, yaitu :

1. Memilih sampel batuan insitu dan bukan berasal dari talus, karena

dikhawatirkan fosilnya sudah terdisplaced atau tidak insitu.

2. Batuan yang berukuran butir halus lebih memungkinkan mengandung

fosil, karena batuan yang berbutir kasar tidak dapat mengawetkan fosil.

Batuan yang dapat mengawetkan fosil antara lain batulempung

(claystone), batuserpih (shalestone), batunapal (marlstone), batutufa

napalan (marly tuffstone), batugamping bioklastik, batugamping dengan

campuran batupasir sangat halus.

3. Batuan yang lunak akan memudahkan dalam proses pemisahan fosil.

4. Jika endapan turbidite diambil pada endapan berbutir halus, yang

diperkirakan merupakan endapan suspensi yang juga mencerminkan

kondisi normal.

5. Jenis Sampel

Sampel permukaan adalah sampel yang diambil pada suatu singkapan. Sampel

yang baik adalah yang diketahui posisi stratigrafinya terhadap singkapan yang

lain, namun terkadang pada pengambilan sampel yang acak baru diketahui

8
sesudah dilakukan analisa umur. Sampel permukaan sebaiknya diambil dengan

penggalian sedalam > 30 cm atau dicari yang masih relatif segar (tidak lapuk).

Berikut adalah cara-cara atau tahap-tahap yang digunakan dalam aturan sampling

batuan hingga pemisahan fosil dari material asing yang non-fosil.

o Penguraian/pencucian

Langkah-langkah proses pencucian batuan adalah sebagai berikut :

o Batuan sedimen ditumbuk dengan palu karet atau palu kayu hingga

berukuran dengan diameter 3-6 mm.

o Larutkan dalam larutan H2O2 (hydrogen peroksida) 50% diaduk dan

dipanaskan.

o Diamkan sampai butiran batuan tersebut terlepas semua (24 jam) jika fosil

masih nampak kotor dapat dilakukan dengan perendaman menggunakan air

sabun, lalu dibilas dengan air sampai bersih.

o Keringkan dengan terik matahari dan fosil siap untuk diayak.

o Pemisahan fosil

Cara memisahkan fosil-fosil dari kotoran adalah dengan menggunakan jarum dari

cawan tempat contoh batuan, untuk memudahkan dalam pengambilan fosilnya

perlu disediakan air (jarum dicelupkan ke air terlebih dahulu sebelum

pengambilan), pada saat pengambilan fosil dari pengotor harus dilakukan dengan

hati-hati, karena apabila pada saat pengambilannya tidak hati-hati maka fosil

tersebut bias jatuh dan bias juga pecah, sehingga tidak bisa untuk dilanjutkan

9
pendeskripsiannya. Alat-alat yang dibutuhkan dalam pemisahan fosil antara laian

adalah:

1. Cawan untuk tempat contoh batuan

2. Jarum untuk mengambil batuan

3. Kuas bulu halus

4. Cawan tempat air

5. Lem untuk merekatkan fosil

6. Kertas untuk memberi nama fosil

7. Tempat fosil

8. Mikroskop

3. Kualitas Sampel

Kualitas sampel batuan perlu diperhatikan agar fosil mikro yang didapatkan baik

untuk dideterminasi atau dianalisa. Untuk mendapatkan fosil yang baik maka

dalam pengambilan suatu contoh batuan untuk analisis mikropaleontologi harus

memenuhi kriteria berikut ini:

o Bersih

Sebelum merngambil contoh batuan yang dimaksud, kita harus membersihkannya

dari lapisan-lapisan pengotor yang menyelimutinya. Bersihkan dengan pisau kecil

dari pelapukan ataupun akar tumbuh-tumbuhan, juga dari polen dan serbuk sari

tumbuh-tumbuhan yang hidup sekarang. Khusus untuk sampel pada

analisa Palynologi, sampel tersebut harus terlindung dari udara terbuka karena

dalam udara banyak mengadung polen dan serbuk sari yang dapat menempel pada

batuan tersebut. Suatu cara yang cukup baik, bisa dilkukan dengan memasukkan

10
sampel yang sudah dibersihkan tersebut kedalam lubang metal/fiberglassyang

bersih dan bebas karat. Atau dapat juga kita mengambil contoh batuan yang agak

besar, baru kemudian sesaat akan dilkukan preparasi kita bersihkan dan diambil

bagian dalam/inti dari contoh batuan tersebut.

o Representif dan Komplit

Harus dipisahkan dengan jelas antara contoh batuan yang mewakili suatu sisipan

ataupun suatu lapisan batuan. Untuk studi yang lengkap, ambil sekitar 200-500

gram batuan sedimen yang sudah dibersihkan. Untuk batuan yang diduga sedikit

mengandung mikrofosil, berat contohnya lebih baik dilebihkan. Sebaliknya pada

analisa nannoplankton hanya dibutuhkan beberapa gram saja untuk setiap

sampelnya.

o Pasti

Apabila sampel tersebut terkemas dengan baik dalam suatu kemasan kedap air

(plastik) yang diatasnya tertulis dengan tinta tahan air, segala keterangan penting

tentang sampel tersebut seperti nomor sampel, lokasi (kedalaman), jenis batuan,

waktu pengambilan dan sebagainya maka hasil analisa sampel tersebut akan pasti

manfaatnya.

o Jenis-Jenis Sampel

Secara garis besar, jenis sampel apat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :

o Sampel permukaan (surface sample). Adalah sample yang diambil pada

permukaan tanah. Lokasi dan posisi stratigrafinya dapat diplot dalam peta.

Sampel bawah permukaan (sub surface sample).

11
o Sampel bawah permukaan adalah sampel yang diambil dari suatu

pengeboran. Dari cara pengambilannya, sampel bawah permukaan ini

dapat dipisahkan menjadi 4 bagian, yaitu :

1. inti bor (core); seluruh bagian lapisan pada kedalaman tertentu

diambil secara utuh.

2. sampel hancuran (ditch-cutting); lapisan pada kedalaman tertentu

dihancurkan dan dipompa ke luar dan kemudian ditampung.

3. sampel sisi bor (side-wall core); diambil dari sisi-sisi dinding bor

dari lapisan pada kedalaman tertentu.

4. Setiap pada kedalaman tertentu pengambilan sampel harus dicatat

dengan cermat dan kemungkinan adanya fosil-fosil

runtuhan (caving).

4. Preparasi Fosil

Preparasi adalah proses pemisahan fosil dari batuan dan material pengotor

lainnya. Setiap jenis fosil memerlukan metode preparasi yang. Proses ini pada

umumnya bertujuan untuk memisahkan mikrofosil yang terdapat dalam batuan

dari material-material lempung (matrik) yang menyelimutinya.

Untuk setiap jenis mikrofosil, mempunyai teknik preparasi tersendiri. Polusi,

terkontaminasi dan kesalahan dalam prosedur maupun kekeliruan pada pemberian

label, harus tetap menjadi perhatian agar mendapatkan hasil optimum. Beberapa

contoh teknik preparasi untuk foraminifera & ostracoda, nannoplankton dan

pollen dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :

12
o Foraminifera kecil & Ostracoda

Untuk mengambil foraminifra kecil dan Ostracoda, maka perlu dilakukan

preparasi dengan metoda residu. Metoda ini biasanya dipergunakan pada batuan

sedimen klastik halus-sedang, seperti lempung, serpih, lanau, batupasir

gampingan dan sebagainya.

Caranya adalah sebagai berikut, yaitu:

1. Ambil ± 100 – 300 gram sedimen kering.

2. Apabila sedimen tersebut keras-agak keras, maka harus dipecah secara

perlahan dengan menumbuknya mempergunakan lalu besi/porselen.

3. setelah agak halus, maka sedimen tersebut dimasukkan ke dalam mangkok

dan dilarutkan dengan H2O2 (10 – 15%) secukupnya untuk memisahkan

mikrofosil dalam batuan tersebut dari matriks (lempung) yang

melingkupinya.

4. Biarkan selama ± 2-5 jam hingga tidak ada lagi reaksi yang terjadi.

5. Setelah tidak terjadi reaksi, kemudian seluruh residu tersebut dicuci

dengan air yang deras diatas saringan yang berukuran dari atas ke bawah

adalah 30-80-100 mesh.

6. Residu yang tertinggal pada saringan 80 & 100 mesh, diambil dan

kemudian dikeringkan didalam oven (± 600 C).

7. Setelah kering, residu tersebut dikemas dalam plastik residu dan diberi

label sesuai dengan nomor sampel yang dipreparasi.

8. Sampel siap dideterminasi.

13
o Foraminifera besar

Istilah foram besar diberikan untuk golongan foram bentos yang memiliki

ukuran relative besar, jumlah kamar relative banyak, dan struktur dalam

kompleks. Umumnya foram besar banyak dijumpai pada batuan karbonat

khususnya batugamping terumbu dan biasanya berasosiasi dengan algae yang

menghasilkan CaCO3 untuk test foram itu sendiri.

Di Indonesia foraminifera bentos besar sangat banyak ditemukan dan bisa

digunakan untuk menentukan umur relatif batuan sedimen dengan

menggunakan zonasi foraminifera bentos besar berdasarkan Adams (1970),

dengan demikian untuk menganalisanya dilakukan dengan mempergunakan

sayatan tipis. Prosedurnya adalah sebagai berikut :

1. Contoh batuan yang akan dianalisis disayat terlebih dahulu dengan mesin

penyayat/gurinda. Arah sayatan diusahakan memotong struktur tubuh

foraminifera besar yang ada didalamnya.

2. Setelah mendapatkan arah sayatan yang dimaksud, contoh tersebut

ditipiskan pada kedua sisinya.

3. Poleskan salah satu sisi contoh tersebut dengan mempergunakan bahan

abrasif (karbondum) dan air.

4. Setelah itu, tempel sisi tersebut pada objektif gelas (ukuran internasional

43 x 30 mm) dengan mempergunakan Kanada Balsam.

5. Tipiskan kembali sisi lainnya hingga contoh tersebut menjadi transparan

dan biasanya ketebalan sekitar 30-50 μm.

14
6. Setelah ketebalan yang dimaksud tercapai, teteskan Kanada Balsam

secukupnya dan kemudian ditutup dengan “cover glass”. Beri label.

7. Sampel siap dideterminasi

o Nannoplankton

Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop optik. Dapat dilakukan dengan dua

metode preparasi, yaitu:

o Quick smear-slide/metode poles

o Smear slide/metode suspense

1. Ambil satu keping contoh batuan segar sebesar ± 10 gr., bersihkan dari

kotoran yang menempel dengan sikat halus.

2. Cungkil bagian dalam dari sampel tersebut dan letakkan cukilan tersebut

di atas objektif gelas.

3. Beri beberapa tetes aquades untuk melarutkan batuannya dan ratakan.

4. Buang kerikil-kerikil yang kasar yang tidak larut.

5. Panaskan dengan hot plate objektif gelas tersebut hingga larutan tersebut

kering.

6. Setelah kering, bersihkan/tipiskan dengan cover glasssupaya lebih

homogen dan tipis.

7. Biarkan mendingin, beri label, sampel siap dideterminasi.

o Smear Slide / Metode suspensi

Membutuhkan waktu yang lama, namun hasilnya lebih baik.

15
1. Ambil contoh batuan dengan berat 10-25 gr. Bersihkan dan usahakan

diambil dari sampel yang segar.

2. Larutkan dalam tabung gelas dengan aquades dan sedikit Natrium

bikarbonat (Na2Co3).

3. Masukkan tabung tersebut kedalam ultrasonik vibrator ±1 jam tergantung

pada kerasnya sampel.

4. Saring larutan tersebut dengan mesh 200, kemudian tampung suspensi dan

butiran halusnya kedalam bejana gelas.

5. Biarkan suspensi tersebut mengendap.

6. Teteskan 1-2 tetes pipet kecil dari larutan tersebut di atas gelas objektif

dan  panaskan dengan hot plate.

7. Setelah kering teteskan kanada balsam dan dipanaskan hingga lem tersebut

matang dan tutup dengan cover glass.

8. Dinginkan dan beri label.

9. Sampel siap dideterminasi.

o Polen

Untuk melepaskan pollen/spora dari mineral-mineral yang melimgkupinya, dapat

dilakukan dengan beberpa tahap preparasi yang mebutuhkan ketelitian dan

ditunjang oleh fasilitas laboratorium yang lengkap, seperti cerobong asap, ruang

asam, tabung-tabung reaksi, sentrifugal dan sebagainya. Beberapa larutan kimia

yang dibutuhkan adalah: HCl, HF, KOH, dan HNO3

5. Penyajian Mikrofosil

16
Dalam penyajian mikrofosil ada beberapa tahap yang harus dilakukan, yaitu:

1. Observasi

Observasi adalah pengamatan morfologi rincian mikrofosil dengan

mempergunakan miroskop. Setelah sampel batuan selesai direparasi, hasilnya

yang berupa residu ataupun berbentuk sayatan pada gelas objek diamati di bawah

mikroskop. Mikroskop yang dipergunakan tergantung pada jenis preparasi dan

analisis yang dilakukan. Secara umum terdapat tiga jenis mikroskop yang

dipergunakan, yaitu mikroskop binokuler, mikroskop polarisasi dan

mikroskop scanning-elektron (SEM).

2. Determinasi

Determinasi merupakan tahap akhir dari pekerjaan mikropaleontologis di

laboratorium, tetapi juga merupakan tahap awal dari pekerjaan penting

selanjutnya, yaitu sintesis. Tujuan determinasi adalah menentukan

nama genus dan spesies mikrofosil yang diamati, dengan mengobservasi semua

sifat fisik dan kenampakan optik mikrofosil tersebut.

3. Deskripsi

Berdasarkan observasi yang dilakukan pada mikrofosil, baik sifat fisik maupun

kenampakan optiknya dapat direkam dalam suatu deskripsi terinci yang bila perlu

dilengkapi dengan gambar ilustrasi ataupun fotografi. Deskripsi sangat penting

karena merupakan dasar untuk mengambil keputusan tentang penamaan

mikrofosil yang bersangkutan.

4. Ilustrasi

17
Pada tahap ilustrasi, gambar dan ilustrasi yang baik harus dapat menjelaskan

berbagai sifat khas tertentu dari mikrofosil itu. Juga, setiap gambar ilustrasi harus

selalu dilengkapi dengan skala ataupun ukuran perbesarannya.

5. Penamaan

Seorang sarjana Swedia Carl Von Line (1707-1778) yang kemudian melatinkan

namanya menjadi Carl Von Linnaeusmembuat suatu hukum yang dikenal

dengan Law Of Priority, 1958 yang pada pokoknya menyebutkan bahwa nama

yang telah dipergunakan pada suatu individu tidak dipergunakan untuk individu

yang lain.

Nama kehidupan pada tingkat genus terdiri dari satu kata sedangkan tingkat

spesies terdiri dari dua kata, tingkatsubspecies terdiri dari tiga kata. Nama-nama

kehidupan selalu diikuti oleh nama orang yang menemukannya. Contoh penamaan

fosil sebagai berikut:

– Globorotalia menardi exilis Blow, 1998, arti dari penamaan adalah fosil hingga

subspesies diketemukan oleh Blow pada tahun 1969

– Globorotalia ruber elogatus (D’Orbigny), 1826, arti dari n. sp adalah  spesies

baru.

– Pleurotoma carinata Gray, Var Woodwardi Martin, arti dari penamaan

adalah Gray memberikan nama spesies sedangkanMartin memberikan nama

varietas.

– Globorotalia acostaensis pseudopima Blow, 1969,s arti dari n.sbsp adalah

subspecies.

18
– Dentalium (s.str) ruteni Martin, arti dari penamaan adalah fosil tersebut sinonim

dengan dentalium rutteni yang diketemukanMartin.

– Globorotalia of tumd, arti dari penamaan ini adalah penemu tidak yakin apakah

bentuk tersebut betul Globorotalia tumida tetapi dapat dibandingkan dengan

spesies ini.

– Spaeroidinella aff dehiscen, arti dari penamaan tersebut adalah fosil ini

berdekatan (berfamily) dengan sphaeroidinella dehiscens. (aff = affiliation)

– Ammobaculites sp, artinya mempunyai bermacam-macam spesies

– Recurvoides sp, artinya spesies (nama spesies belum dijelaskan).

2.3. Foraminifera

Foraminifera

Foraminifera merupakan binatang yang terdiri dari satu sel yang sangat

sederhana, sel tersebut terdiri dari protoplasma dan inti (bias lebih dari satu). Ciri

khas foraminifera adalah adanya pseudopodia (kaki semu) yang berfungsi sebagai

alat penggerak dan menangkap mangsanya. Foraminifera sudah memiliki

cangkang dimana cangkang tersebut dibentuk oleh protoplasma ataupun diambil

dari bahan-bahan disekelilingnya. Pada umumnya cangkang tersebut terbuat dari

zat organic ataupun anorganik dan memiliki pori-pori dengan satu atau lebih

lubang yang disebut aperture.

Tempat hidup foraminifera dapat di laut, danau, rawa-rawa baik yang

berair ataupun tidak, tawar maupun asin, dan perkembangbiakannya dengan cara

sexual dan asexual. Perkembangan foraminifera dapat menghasilkan cangkang

19
yang berbeda, dimana satu individu dapat menghasilkan dua cangkang yang

berlainan bentuknya (dimorphisme), bahkan ada juga yang trimorphisme.

Perkembangan sexual akan menghasilkan cangkang mikrosfir, sedangkan secara

asexual akan menghasilkan cangkang megalosfir.

Pada batuan sedimen, golongan ini lebih banyak dijumpai sehingga lebih

berharga dari ordo-ordo lain pada kelas Sarcodina. Golongan ini telah muncul

sejak zaman Pra-Kambrium (+ 550 tahun yang lalu) sampai sekarang dengan

jumlah spesies + 40.000 jenis spesies. Selain dari itu, Foraminifera dapat juga

dipakai sebagai korelasi batuan untuk penentuan lingkungan pengendapan atau

juga sebagai fosil petunjuk.

a. Sejarah perkembangan kehidupan foraminifera

20
Gambar 1. Siklus kehidupan Foraminifera (Geoldstein 1999)

Perkembangan Foraminifera dapat di lihat sebagai berikut

-. Early Cambrian (~525 million years ago)

Foraminifera pertama kali muncul dalam cetakan batuan dari foram

benthonic yang mempunyai komposisi aglutin dan mempunyai kamar tunggal

dimana juga terdapat cetakan berupa dwelling structure (struktur menghuni) yang

merupakan cetakan dari kehidupan foram benthonic tersebut.

-. Late Cambrian (>500 million years ago)

Foram yang mempunyai Multi-chambered ( lebih dari 3 kamar)

berkembang.

-. Devonian (>360 million years ago)

Microgranular dan porcellaneous (biomineralized) calcareous tests

pertama kali berkembang.

-. Middle Pennsylvanian (~308 million years ago)

21
Foraminifera berkembang dengan komposisi hyaline calcareous dan

ditambah pula spesies foram besar muncul

-. End Permian (~250 million years ago)

Kepunahan masal dari sebagian besar foraminifera termasuk foram besar

berupa Fusilina. Kepunahan ini dipercaya sebagai yang terbesar dalam sejarah

bumi dengan kepunahan 90-95 % seluruh spesies laut.

-. Early Jurassic (~183 million years ago)

Foraminifera pertama kali muncul hingga sekarang, begitu pula foram

benthonik

-. Middle Cretaceous (~112 million years ago)

Distribusi foram planktonik memulai perkembangan secara cepat

-. End Cretaceous (~65 million years ago)

Berkurangnya keanekaragaman planktonik dan kepunahan dari sebagian

besar spesies foram planktonik. Foram yang berukuran lebih kecil umumnya

dapat bertahan dari kepunahan.

-. End Paleocene (~55 million years ago)

Kepunahan dari hampir separuh (30-50%) foram benthonic (laut dalam)

-. Late Eocene to Early Oligocene (~30-39 million years ago)

Kepunahan foram yang berukuran lebih kecil sangat banyak dan spesies

foram benthonic dapat melalui periode ini

-. Middle Miocene (~12-19 million years ago)

Kelimpahan foram mengubah dokumentasi yang ada dan juga berkembang

varietas foram benthonic modern

22
-. Today

Lebih dari 10.000 spesies foram yang hidup. Sebagian besar merupakan

foram benthonic, hanya 40-50 spesies yang merupakan foram planktonik

Ekologi Foraminifera

Ekologi mempelajari hubungan kehidupan foraminifera dengan

lingkungan sekitarnya. Foraminifera dibedakan menjadi dua berdasarkan cara

hidupnya, yaitu foram planktonik dan foram benthonik. Foram plankton hidup di

sekitar permukaan air laut dan mengambang, sedangkan foram benthonik hidup di

dasar laut. Foram planktonik hidup di kedalaman 100-300 m, umumnya

lingkungan air laut dingin, hidupnya agak kebawah permukaan laut, sedangkan

pada daerah tropis hidup sekitar 30 meter di bawah permukaan laut.

Seringkali pada malam hari, foraminifera naik ke permukaan dan pada

siang hari turun, sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa lingkungan

ternyata mempengaruhi kehidupan foraminifera.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan foraminifera :

1. Suhu

Suhu di samudra tidak sama, di dekat kutub suhunya rendah, kadang-

kadang mencapaii nol derajat celcius, sedangkan di ekuator suhunya lebih tinggi.

Daerah dingin dicirikan dengan bentuk uniform, besarnya juga hampir sama,

golongan aglutin ukurannya besar-besar, -2o - +27o C untuk lautan dan +35oC

untuk lautan tertutup.

23
Menurut Chusham, foram dibedakan menjadi 4 kelompok berdasarkan

daerah hidupnya, yaitu :

-. Foram afrika utara

-. Foram indo-pasifik

-. Foram mediteran

-. Foram india barat

Suhu air laut berubah ke jurusan lateral dan vertikal. Karena di daerah

kutub dingin, sedangkan di katulistiwa panas, maka terjadi sirkulasi air laut.

Tetapi karena dipisahkan oleh pulau-pulau maka ini mengakibatkan terjadinya

foraminifera aendemik. Perubahan temperatur air laut juga mempengaruhi

perkembangbiakan. Kedalaman juga mempengaruhi perkembangan foraminifera.

Ada foraminifera yang hidup pada kedalaman tertentu, seperti Gyroidina dan

Anomalia (hanya hidup pada laut yang cukup dalam)

2. Kadar Garam (Salinitas)

Kadar garam juga dapat mempengaruhi kehidupan foram. Umumnya

kadar garam air laut yang terbuka, yaitu antara 3% - 3,3%, tetapi kadar garam ini

dapat berubah tergantung di daerahnya. Sebagai contoh adalah Laut Tengah yang

merupakan laut tertutup dan memiliki iklim yang kering dengan kadar garam

dapat naik menjadi 4,15 – 4,4%, bahkan di Laut Mati kadar garamnya demikian

tingginya, sehingga terjadi pengendapan garam di tepi-tepinya, sebaliknya pada

muara-muara sungai umumnya terjadi penurunan kadar garam. Adanya perubahan

kadar garam ini dapat menyebabkan kumpulan foraminifera tertentu yang hidup

sesuai dengan daerah yang cocok untuk hidupnya.

24
3. Cahaya Matahari (Kedalaman)

Daya tembus cahaya matahri terbatas pada kedalaman sekitar 300 meter

dibawah permukaan laut. Cahaya matahari sangat dibutuhkan oleh tumbuhan

untuk kelangsungan hidupnya dan cahaya ini akan bereaksi dengan hijau daun

dari tumbuhan. Foraminifera pada umumnya bersama-sama dengan ganggang,

maka secara tidak langsung sinar matahari mempengaruhi kehidupan

foraminifera. Karena itu di laut dalam, foraminifera benthos sedikit jumlahnya.

Foraminifera benthos banyak dijumpai pada zona neritik, karena daerah ini

sedimentasi cukup kuat. Foraminifera jarang dijumpai pada daerah litoral karena

pengaruh gelombang yang besar.

4. Kumpulan kehidupan

Foraminifera hidup pada daerah tertentu sesuai dengan syarat kondisi

hidupnya. Bila kondisi baik, foram akan berkembangbiak dengan cepat sehingga

akan terdapat kumpulan kehidupan yang sangat banyak pada daerah tersebut.

Akibatnya akan muncul kekurangan makanan dan menimbulkan persaingan

hidup, sehingga yang lemah akan mati atau pindah mencari kumpulan kehidupan

yang lain.Macam-macam perpindahan dan pencarian lingkungan baru akan saling

menguntungkan atau merebut makanan dari lingkungan yang sudah ada. Sebagai

contoh adalah Genus Discorbis yang menempel pada binatang lain dan dipakai

sebagai indikator laut dangkal.

Ekologi diatas dapat diterapkan pada zaman lampau, sehingga dengan

melihat fosil-fosil foram dapat ditentukan keadaan pada zaman tersebut. Sebagai

contoh, umumnya foraminifera plankton hidup pada laut terbuka. Oleh karena

25
hidupnya pada lautan terbuka, maka foraminifera plankton akan semakin banyak

dijumpai ditengah lautan, sebaliknya semakin ke pantai semakin sedikit. Pada

foraminifera benthos, jumlahnya semakin ketengah lautan semakin sedikit dan

makin kearah pantai semakin banyak.

Untuk melihat tafsiran ekologi, orang harus berhati-hati karena mungkin

ada peristiwa dimana golongan plankton banyak dan golongan benthos sedikit

disebabkan bukan karena adanya suatu laut terbuka, melainkan adanya

lingkungan air setengah asin. Hal ini dapat terjadi karena golongan plankton hidup

dengan baik sedang benthos sukar hidup, contohnya kehidupan di Laut Hitam.

Selain itu juga dapat terjadi karena longsor di laut, sehingga untuk penentuan

ekologi juga penting diketahui kondisi ekologinya disamping foraminifera sebagai

petunjuk lingkungan.

5. Kekeruhan

Secara tidak langsung, proses turbidit akan berpengaruh terhadap

mikrofauna. Penyebab terjadinya turbidit : suspensi sedimen, organic

pelonggokan plankton/organic yang tebal, longsoran suatu massa sedimen.

Kekeruhan air yang timbul karena arus turbidite akan berpengaruh terhadap

kehidupan mikrofauna/mengurangi masuknya sinar matahari kedalam air,

biasanya terdapat pada muara sungai yang besar. Masuknya air dalam jumlah

besar akan mengurangi salinitas.

Klasifikasi Foraminifera Berdasarkan Ekologi

26
Foraminifera dibedakan atas foraminifera kecil dan foraminifera besar.

Untuk foraminifera kecil, proses pengamatan dan pemerian secara langsung,

artinya fosil-fosil diamati langsung dibawah mikroskop, sedangkan foraminifera

besar pemeriannya menggunakan sayatan tipis.

Foraminifera kecil, berdasarkan cara hidupnya dapat dibedakan menjadi

foram planktonik dan foram benthonik.. Cara hidup dari ordo ini adalah :

a. Planktonik (mengambang) b. Benthonik (Di dasar laut)

-. Nektonik ; aktif bergerak -. Secil ; menambatkan diri

-. Pelagik ; pasif bergerak -. Vagil ; merayap/berpindah

Dari phylum protozoa, khususnya foraminifera sangat penting dalam geologi

karena memiliki bagian yang keras dengan ciri masiing-masing foram, antara lain:

a. Planktonik (mengambang), ciri-ciri :

-. Susunan kamar trochospiral

-. Bentuk test bulat

-. Komposisi test Hyaline

b. Benthonik (di dasar laut), ciri-ciri :

-. Susunan kamar planispiral

-. Bentuk test pipih

-. Komposisi test adalah aglutine dan aranaceous

Morfologi Foraminifera

27
Bentuk luar foraminifera, jika diamati dibawah mikroskop dapat

menunjukkan beberapa kenampakan yang bermacam-macam dari cangkang

foraminifera, meliputi :

-. Dinding, lapisan terluar dari cangkang foraminifera yang berfungsi melindungi

bagian dalam tubuhnya. Dapat terbuat dari zat-zat organik yang dihasilkan

sendiri atau dari material asing yang diambil dari sekelilingnya.

-. Kamar, bagian dalam foraminifera dimana protoplasma berada.

-. Protoculum, kamar utama pada cangkang foraminifera.

-. Septa, sekat-sekat yang memisahkan antar kamar.

-. Suture, suatu bidang yang memisahkan antar 2 kamar yang berdekatan..

-. Aperture, lubang utama pada cangkang foraminiferra yang berfungsi sebagai

mulut atau juga jalan keluarnya protoplasma.

C
C

D
D
B C
B
D

28

A
A
B
C D

D
B
B

C C D A

E B B

Gambar 2. Bagian-bagian cangkang foraminifera ( http://www.foraminifera.com)

Keterangan : A : Proloculus

B : Kamar

C : Aperture

29
D : Suture

E : Umbilicus

Komposisi cangkang (test).

Pada umumnya komposisi test terdiri dari 5 macam :

1. Aranaceous/aglutine : -. seperti gamping (putih)

-. Terdiri dari butiral mineral (microgranular)

2. Chitinous/khitin : campuran zat organik

Cirinya : -. Berwarna coklat muda sampai kekuningan

-. Transparan/tembus cahaya

-. Tidak berpori/masif

3. Hyaline : Seperti gamping transparan dan berpori, biasanya

dimiliki oleh foram planktonik.

4. Porsellaneous : berwarna putih, kadang merah muda, terbentuk

dalam tubuh fosil dan keluar melaui pori-pori fosil tersebut.

5. Siliceous : -. Warna putih jernih dari silika

-. Dimiliki dari spesies laut dalam, seperti :Radiolaria

Bentuk Cangkang, Bentuk dan Susunan Kamar

Bentuk cangkang merupakan bentuk cangkang fosil secara keseluruhan,

artinya tidak sama dengan bentuk kamar dalam fosil tersebut. Foraminifera

mempunyai cangkang yang bermacam-macam bentuknya, biasanya terdiri dari

satu/lebih kamar dimana antara kamar satu dan lainnya dibatasi oleh septa.

30
Cangkang tersebut dikelilingi oleh sebuah dinding. Tempat pertemuan dinding

dengan septa ini disebut suture yang penting untuk klasifikasi.

Secara garis besar bentuk-bentuk cangkang, meliputi :

1. Tabular (tabung) 15. Clavate (ganda)

2. Radial (bola) 16. Cuneate (tanduk)

3. Ellips 17. Flaring (mekar)

4. Lagenoid (botol) 18. Fistulose (jantung)

5. Sagittate (anak panah) 19. Sirkular

6. Fusiform (kumparan) 20. Kipas

7. Palmate (tapak/jejak) 21. Biconvex trochospiral

8. Lencticular (lensa) 22. Spiroconvex trochospiral

9. Rhomboid (ketupat) 23. Umbilicus biconvex trochospiral

10. Globular (seperti peluru) 24. Evolute planispiral

11. Subglobular 25. Involute planispiral

12. Kerucut 26. Streptospiral

13. Biconvex 27. Enrolled biserial

14. Tabulospinate (berduri) 28. Globular (bulat)

kamar dari fosil foram antara lain :

1. Spherical 6. Tabulospinate

2. Ovale 7. Angular conical

3. Hemisperical 8. Angular trunctate

4. Radial elongated 9. Angular rhomboidal

5. Clavate

31
Spherical Ovale Angular rhomboid

-. Globigerina bulloides -. Globorotalia inflata -. Globorotalia menardii


Radial elongated Tabulospinate
Angular conical

-. Eponides goudkoffi -. Evolutononion dumonti -. Hantkenina alabamensis

Gambar 3. Berbagai bentuk kamar foraminifera( http//www.foraminifera.com)

Cangkang dibedakan atas dua kelompok utama, yaitu Cangkang

Monothalamus (Uniloculer) dan Polythalamus (multiloculer). Pada umumnya,

istilah monothalamus dan polythalamus digunakan di Eropa, sedangkan uniloculer

dan multilooculer digunakan di Amerika. Cangkang monothalamus adalah

cangkang yang terdiri dari satu kamar, sedangkang polytalamus terdiri lebih dari

satu kamar.

A. Monothalamus

Berdasarkan bentuknya dapat dibedakan menjadi :

a. Bulat (Globular), Contoh : Genus Orbulina

32
b. Botol (Flask), Contoh : Genus Lagena

c. Batang (Cylindrical), Contoh : Genus Bathysphon

d. Kombinasi botol tabung, Contoh : Entosolenia

e. Bintang (Stellate), Contoh : Genus Asthorhiza

f. Planispiral coiled, bentuk yang terputar pada satu bidang, Contoh :

Cornuspira, Ammodiscus

g. Planispiral kemudian lurus, Contoh : Genus Rectocornuspira

h. Planispiral pada permukaan kemudian tak teratur, Contoh : Genus

Orthover tella, Psammophis

i. tella, Psammophis

Polythalamus

Berdasarkan keseragaman kamar ;

a. Uniformed test, cangkang foram yang terdiri dari satu macam susunan

kamar, misalnya : uniserial saja atau biserial saja, atau juga triserial saja.

Contoh : Nodosaria, Bolivina, Uvigerina.

b. Biformed test, cangkang foram yang terrdiri atas dua macam susunan

kamar, Misalnya : Pada awal memiliki kamar triserial dan pada akhirnya

menjadi biserial. Contoh : Heterostomella, Cribrostomum.

c. Triformed test, cangkang foram yang terdiri dari tiga macam susunan

kamar, misalnya : Pada awalnya biserial, kemudian terputar dan akhirnya

menjadi uniserial, Contoh : Vulvulina, Semitextularia.

33
d. Multiformed test, cangkang foram yang terdiri atas lebih dari tiga macam

susunan kamar. (Sangat jarang dijumpai)

Berdasarkan susunan kamarnya, polythalamus-Uniformed dapat dibedakan

menjadi :

a. Uniserial rectilinier, merupakan bentuk cangkang dimana kamar-

kamarnya terdiri dari sebaris kamar yang lurus susunannya, contoh : Genus

Nodosaria.

b. Uniserial rectilinier berleher, contoh : Genus Nodogeneria

c. Uniserial curvilinier, contoh : Genus Dentalina

d. Uniserial equitant,kamar saling menutupi, contoh : Genus Glandulina

e. Biserial, merupakan cangkang dimana kamar-kamarnya tersusun dalam

dua baris yang letaknya berseling-seling, contoh : Genus Bolivina,

Textularia

f. Triserial, merupakan cangkang yang terduru dari tiga baris kamar yang

letaknya berseling-seling satu sama lain, contoh : Genus Uvigerina

g. Kombinasi biserial dan uniserial, contoh : Genus Bigerina

h. Kombinasi triserial dan uniserial, contoh : Genus Clarulina

i. Cangkang planispiral, cangkang dimana semua putaran kamarnya terletak

pada satu bidang, contoh : Genus Operculina.

j. Cangkang involute, cangkang dimana putaran kamar yang terakhir

menumpangi kamar yang terdahulu sehingga kamar putaran terakhir yang

hanya tampak, contoh : Genus Robulus

34
k. Cangkang evolute, cangkang dimana seluruh putaran kamarnya dapat

dilihat, contoh : Genus Assilina

l. Cangkang rotaloid, cangkang dimana semua putaran kamarnya terlihat

dari pandangan dorsal, sedang dari pandangan ventral hanya putaran terakhir

yang terlihat, contoh : Rotalia

m. Cangkang biloculina, contoh : Genus Pyrgo

n. Cangkang triloculine, contoh : Genus Triloculina

o. Cangkang Quingueloculine, contoh : Genus Quingueloculina

p. Cangkang Quingueloculine, contoh : Genus Quingueloculina

Aperture

Pada semua foraminifera umumnya dijumpai adanya aperture, kecualii

foram besar. Aperture merupakan lubang utama pada cangkang foraminifera yang

umumnya terletak pada permukaan kamar akhir. Kadang-kadang, aperture

dijumpai lebih dari satu, misalnya pada Genus Globigerinoides dan Candeina.

Aperture yang dijumpai pada fosil foraminifera mempunyai bentuk yang

bermacam-macam. Aperture mempunyai fungsi sebagai tempat keluarnya

protoplasma, yang kemudian berfungsi sebagai pseudopodia (kaki semu) dan

aperture tersebut penting untuk klasifikasi. Hasil penelitian terakhir menunjukkan

tidak semua foraminifera mempunyai aperture terutama foraminifera besar.

Macam-macam aperture :

a. Primary aperture : lubang utama yang terletak pada kamar akhir, contoh :

Globigerina.

35
b. Secondary aperture : lubang tambahan yang terletak pada kamar utama.

c. Accesory aperture : lubang yang nampak tidak langsung kamar utama

tetapi pada asesoris struktur, contoh : Catapsydrox.

Bentuk-bentuk aperture yang umum dijumpai, antara lain :

a. Aperture yang berbentuk bulat dan sederhana, umumnya terletak di ujung

sebuah cangkang, lubang bulat, contoh : Genus Frondicularia dan Pulmula.

b. Aperture yang memancar, sering pula disebut aperture radiar, merupakan

lubang yang bulat dan mempunyai galengan-galengan yang memancar dari

pusat lubang. Umumnya dijumpai pada family Nodosaria dan

Polymorphinidae, contoh : Genus Nodosaria dan Polymorphina.

c. Aperture phialine, merupakan sebuah lubang yang bulat, terletak pada

ujung leher yang pendek tapi mencolok, contoh : Genus Uvigerina &

Siphogenerina.

d. Aperture crescentric, aperture yang memiliki bentuk seperti tapal kuda,

contoh : Genus Nodosaarella.

e. Aperture yang berbentuk celah, juga sering disebut “slit-like aperture”,

contoh : Genus Nonion & Pullenia.

f. Aperture yang letaknya pada umbilicus, contoh : Genus Globigerina.

g. Aperture multiple, terdiri dari banyak lubang, contoh : Genus Decerella.

h. Aperture Cribate, aperture yang bentuknya seperti saringan, lubang

umumnya halus dan tersebar pada permukaan kamar akhir, contoh : Genus

Miliola & Ammomassilina.

36
i. Aperture tambahan, sering juga disebut sebagai “accesory aperture”

berupa lubang-lubang yang lebih kecil sebagai tambahan dari sebuah lubang

yang lebih besar, yaitu aperture utama, contoh : Genus Globigerinoides.

j. Aperture entosolenian, aperture yang memiliki leher dalam, contoh :

Genus Entosolenia.

k. Aperture ectosolenian, aperture yang memilimi leher luar yang pendek,

contoh : Genus Ectosolenia.

l. Aperture dendritik, berbentuk seperti ranting pohon dan terletak pada

septal face, contoh : Genus Dendritina.

m. Aperture yang bergigi, berbentuk lubang melengkung yang pada bagian

dalamnya terdapat tonjolan yang menyerupai gigi (single tooth), contoh :

Pyrgo & Quingueloculina.

n. Aperture virganile/bulimine, berbentuk seperti koma yang melengkung,

contoh : Genus Virgulina, Bulimina, Buliminela dan Cassidulina.

Berdasarkan bentuknya, aperture juga dibedakan :

a. Aperture tunggal, terletak pada ujung kamar terakhir, contoh : Genus

Cornuspira, Nodosaria dan Uvigerina.

b. Aperture pada apertural face, terletak pada permukaan kamar yang

terakhir, contoh : Genus Cribrohantkenina dan Dendritina.

c. Aperture periferal, yang memanjang dari umbilicus kearah tepi (peri-peri),

contoh : Genus Globorotalia dan Cibicides.

37
Radial Celah/slitlike

Bulat
Koma/virgulin

Corong

Gigi satu/dua Cressentril

Gambar 4. Jenis-jenis Aperture pada fosil foraminifera

berdasarkan letak/posisi serta bentuk apertue

(MIRACLE Web-Site, University College London, 2002)

Suture

Suture : suatu hiasan yang memisahkan dua kamar yang saling berdekatan

Bentuk suture : -. Melengkung kuat

-. Melengkung lemah

-. Lurus

38
Hiasan dan Tekstur Permukaan

Hiasan pada cangkang foraminifera sangat beragam dan hiasan ini sangat

penting untuk klasifikasi. Selain hiasan, permukaan luar cangkangnya juga sering

mempunyai tekstur yang berbeda-beda :

-. Keel, selaput tipis yang mengeliilingi bagian peri-peri cangkang foraminifera,

biasanya terdapat pada Globorotalia & Spiponina.

-. Costae, galengan vertical yang dihubungkan dengan garis-gariis suture yang

halus. Contoh : Bulimina & Uvigerina.

-. Spines, duri-duri yang menonjol pada bagian tepi-tepi kamarnya. Contoh :

Hankenina, Asteerorotalia. Retrall process : merupakan garis-garis suture

yang berkelok-kelok dan biasa dijumpai pada Amphistegina.

-. Bridged suture, adalah garis-garis suture yang terbentuk dari septa yang

terputus-putus. Contoh : Elphidium.

-. Limbate suture, garis-garis suture yang berbentuk kumpalan pori-pori yang

halus.

-. Umbilical plug, bagian pusat cangkang, dapat berbentuk bulatan yang

menonjol ataupun yang cekung kedalam.

-. Umbilicus, bagian pusat cangkang yang biasanya merupakan bagian kamar

pertama.

-. Reticulate, bentuk dinding cangkang yang berupa pori-pori bulat yang kasar.

39
-. Punctate, bagian permukaan luar cangkang yang berupa pori-pori bulat yang

kasar.

-. Cancellata, permukaan luar cangkang dengan pori-pori kasar dan tidak selalu

bulat bentuuknya.

-. Pustulose, permukaan luar cangkang yang dihiasi dengan bulatan-bulatan

yang menonjol.

-. Smooth, permukaan cangkang yang halus tanpa hiasan.

Keel Spines/duri

Costae/Bridge

Umbilical plug
Limbate suture Punctate/berpori P

Pustulose
Concellate Smooth/halus tanpa hiasan

Gambar 5. Berbagai jenis hiasan pada cangkang foraminifera

Fosil Planktonik

40
Foraminifera planktonik jumlah genusnya sedikit, tetapi jumlah spesiesnya

banyak. Plankton pada umumnya hidup mengambang di permukaan laut dan fosil

plankton ini dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah geologi, antara

lain : -. Sebagai fosil petunjuk

-. Korelasi

-. Penentuan lingkungan pengendapan

Foram plankton tidak selalu hidup di permukaan laut, tetapi pada

kedalaman tertentu :

-. Hidup antara 30 – 50 meter

-. Hidup antara 50 – 100 meter

-. Hidup pada kedalaman 300 meter

-. Hidup pada kedalaman 1000 meter

Ada golongan foraminifera plankton yang selalu menyesuaikan diri

terhadap temperatur, sehingga pada waktu siang hari hidupnya hampir di dasar

laut, sedangkan di malam hari hidup di permukaan air laut. Sebagai contoh adalah

Globigerina pachyderma di Laut Atlantik Utara hidup pada kedalaman 30 sampai

50 meter, sedangkan di Laut Atlantik Tengah hidup pada kedalaman 200 sampai

300 meter.

Foram plankton sangat peka terhadap kadar garam. Pada keadaan normal,

ia berkembangbiak dengan cepat, tetapi bila terjadi perubahan lingkungan ia akan

segera mati atau sedikit terpengaruhi perkembangannya. Namun demikian, ada

juga beberapa jenis yang tahan terhadap perubahan kadar garam, misalnya di Laut

41
Merah meskipun kadar garamnya tinggi, tetapi masih dijumpai Globigerina

bulloides dan Globigerinoides sacculifer.

Bentuk Test dan Kamar Foraminifera

Yang dimaksud dengan bentuk test adalah bentuk keseluruhan dari

cangkang foraminifera. Sedangkan bentuk kamar adalah bentuk dari masing-

masing kamar pembentukan test.

Gambar 6. Macam-macam bentuk test foraminifera

42
BAB III

PENUTUP
3.1. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat saya sampaikan yaitu Bahwa halnya

Mikropaleontologi merupakan studi khusus yang mempelajari sisa-sisa organisme

yang terawetkan di alam dengan menggunakan alat mikroskop. Organisme yang

terawetkan tersebut merupakan fosil mikro karena berukuran sangat kecil. Sebagai

contoh fosil mikro adalah fosil-fosil dari organisme golongan foraminifera.

Fosil dalam “Paleontologi” terbagi menjadi 2 jenis, yaitu:Fosil

Makro/besar (Macrofosil), yaitu fosil yang dapat dilihat dengan mata biasa

(megaskopis), Fosil Mikro/kecil (Microfosil), yaitu fosil yang hanya dapat dilihat

dengan bantuan alat mikroskop.

Dalam menganalisis mikropaleontologi melalui berbagai tahap salah

satunya yang pertama dilakukan melakukan penyamplingan pada sampel yang

ingin dianalisis, kedua yaitu melakukan metode sampling yang sesuai dengan

prosedur sampling, ketiga yaitu mengetahui kualitas sampel serta mengetahui

jenis – jenis sampelnya, keempat yaitu melakukan preparasi fosil, dan terakhir

penyajian mikrofosil.

3.2. Saran

Adapun saran yang dapat saya sampaikan yaitu agar kita dapat mengetahui
lebih jelas dan lebih dalam tentang ilmu mikropaleontologi yang dimana secara
luas, mikropaleontologi salah satu ilmu cabang tentang fosil dengan begitu
memudahkan kita mengetahui dan membedakan fosil yang berukuran makro dan
mikro dengan melakukan analisis mikropaleontologi, untuk itu juga saya berharap

43
Dalam penulisan makalah ini memudahkan kita semua untuk mengetahui lagi
tentang ilmu mikropaleontologi serta saya berharap juga perlu diadakan fieldtrip
mikropaleontologi agar dapat memaksimalkan ilmu mikropaleontologi secara
langsung pada saat dilapangan. dan tentunya banyak sekali kekurangan maupun
kesalahan yang tidak saya sadari dalam pembuatan makalah ini, maka dari itu
saya memohon maaf bila masih terdapat kekurangan dari makalah
mikropaleontologi ini.

44
DAFTAR PUSTAKA

Pringgopawiro H, 1984. Diktat Mikropaleontolgi Lanjut, Laboratorium

Mikropaleontologi Jur. T Geologi, ITB, Bandung

Subandrio, A. 1994. Study Mikropaleontologi dan Analisis Mikropaleontologi ITB,

Bandung

Blow, W.H. 1969. Late Middle Eocene to Recent Planktonic Foraminifera

Biostratigraphy Cont. Planktonic Microfossil, Geneva, 1967, Pro. Leiden,

E.J Bull v.

Http://biologi.um.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/bab-ii.pdf Encyclopedia. 2005.

Sarcodina. (online) (http://www.encyclopedia.com/topic/ Sarcodina.aspx. (diakses

pada tanggal 04 November 2016)

Natsir, Suharti. 1989. Foraminifera dalam mikropaleontologi Purba. Jakarta : Ikatan

Sarjana Oseanologi Indonesia.

Yusuf, Anugrah Foraminifera 2012. Universitas Trisakti Jakarta.

45

Anda mungkin juga menyukai