Anda di halaman 1dari 84

i

HALAMAN PERSEMBAHAN
Alhamdulillah

Kupanjatkan kepada ALLAH SWT atas segala rahmat dengan kesempatan untuk
menyelesaikan laporan akhir praktikum Geologi Struktur dengan segala
kekuranganku. Segala syukur aku ucapkan kepada-Mu karena telah
menghadirkan mereka yang selalu memberi semangat dan doa disaat kutertatih,
karena-Mu lah tugas laporan akhir praktikum geologi struktur ini terselesaikan.
Hanya pada-Mu tempat kumengadu dan mengucapkan syukur.

Kepada Ayah dan Ibu tersayang, tugas laporan akhir ini ibel persembahkan. Tiada
yang bisa menggantikan segala sayang, usaha, semangat, dan juga uang yang telah
dicurahkan untuk penyelesaian tugas akhir ini . Teruntuk adik adik ( Habil,
Diva, Diki ) yang menyebalkan, tugas laporan akhir ini kakak persembahkan
untuk jadi motivasi dan pengingat semangatmu. Luluslah lebih cepat dan lebih
baik dari kakakmu ini ya. (walau kakak agak meragukan itu) .

Kepada para Dosen dan Asisten-asisten dosen yang telah membimbing saya
selama proses kegiatan perkuliahan dan praktikum di laborratorium. Saya ucapkan
terimakasih atas ilmu, nasihat, dan cerita yang telah bapak/ ibu atau abang- abang
senior beri pada saya. Terimakasih atas kesabaran nya selama masa membimbing
saya walau saya banyak kekurangan dan kelalaian.

Segelas coklat untuk kalian para sahabat yang selalu menghangatkan hidupku dan
memberikan semburan warna ditugas laporan kahir ini. Kalian yang selalu ada
walau tidak sampai akhir disetiap langkahku (Riduan, Musriyono, Maria, Regi,
Ranty, Fipty, Iwan, dan Lisa). Tanpa kalian tugas laporan akhir ini akan terasa
seratus kali lebih berat untuk diselesaikan. terimakasih yang takkan pernah habis
untuk kalian yg telah meciptakan sebuah cerita denganku dikota ini. Cerita
tentang 7 bidaduri yang ada disetiap sudut sekolah kita akan selalu terkenang
selamanya. Kalian adalah keluarga dan rumah kedua bagiku.

Untuk kamu yang selalu ada disetiap cerita (Suryono Hardy P.Sianturi). Untuk
kamu yang selalu menjadi alasanku tersenyum dan terus melangkah walau goyah

ii
untuk terus berusaha dan pantang menyerah. Teruntuk kamu yang selalu
mendampingi dikala susah maupun senang. Teruntuk kamu yang selalu berbagi
cerita dan tawamu. Aku berterimakasih kepadaNya kerena telah mengizinkanmu
untuk menemaniku sampai sekarang ini.

Kebahagian bukanlah berasal dari sekeliling kamu


Tetapi kebahagian berasal dari kamu dan pikiran kamu (Hitam Putih)

Bukanlah suatu aib jika kamu gagal dalam suatu usaha, yang merupakan aib
adalah jika kamu tidak bangkit dari kegagalan itu (Ali bin Abu Thalib)

Bermimipilah maka Tuhan akan memelukmu (Ara)

Teruslah berusaha walau sekelilingmu meragukan kamu. Teruslah tersenyum


karena orang-orang yang kamu sayang menginginkan senyummu. Teruslah
bersinar untuk mereka yang ada dikegelapan. Dan percayalah tuhan tidak akan
mengubah nasib kaumnya tanpa usaha kaum itu. Teruslah melangkah karena
orang-orang yang menyayangimu akan selalu menopangmu.

Gombal itu alami buat kalian yang hidup di era gombalisasi

iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur saya ucapkan kehadiran Allah SWT, sebagai
penguasa alam yang memberikan sentuhan indah dan mengilhami dalam setiap
langkah nadi jiwa bersama nikmat dan karunia Nya yang tak ternilai, sebagai
Laporan Resmi Prinsip Stratigrafi ini dapat penulis selesaikan pada waktunya.
Semoga laporan resmi ini dapat membantu dan memberikan tambahan
ilmu pengetahuan yang dapat di terapkan dan di manfaatkan dalam kehidupan
sehari-hari, khususnya bagi mahasiswa dan bagi masyrakat pada umumnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih pada pihak-pihak yang telah
membantu dan mendukung dalam pembuatan laporan akhir ini. Adapun pihak-
pihak yang telah berjasa dalam pembuatan laporan ini di antaranya :
1. Bapak Budi Prayitno, ST,MT
2. Team Asisten Dosen
3. Orang Tua / Wali
4. Dan Teman-teman sekalian

Penulis menyadari bahwa dalam uraian dan penjelasan materi masih


banyak kekurangan dan kesalahan. Penulis mengharapkan partisipasi pembaca
untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan
laporan resmi ini. Penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak.

Pekanbaru, 27 Desember 2016

Penulis

iv
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. i
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................. ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iv
DAFTAR ISI ........................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. vi
DAFTAR TABEL ................................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.2 LATAR BELAKANG .................................................................................. 1
1.3 TUJUAN ....................................................................................................... 1
BAB II PENGENALAN PRINSIP STRATIGRAFI .............................................. 2
2.1 DASAR TEORI ............................................................................................ 2
2.2 TUGAS ....................................................................................................... 10
2.3 KESIMPULAN ........................................................................................... 11
BAB III LITOSTRATIGRAFI DAN BIOSTRATIGRAFI .................................. 12
3.1 DASAR TEORI .......................................................................................... 12
3.2 TUGAS ....................................................................................................... 16
3.3 KESIMPULAN ........................................................................................... 17
BAB IV KORELASI STRATIGRAFI.................................................................. 18
4.1 DASAR TEORI .......................................................................................... 18
4.2 TUGAS ....................................................................................................... 22
4.3 KESIMPULAN ........................................................................................... 23
BAB V PENGUKUR PENAMPANG STRATIGRAFI ....................................... 24
5.1 DASAR TEORI .......................................................................................... 24
5.2 KESIMPULAN ........................................................................................... 32
BAB VI KULIAH LAPANGAN PS..................................................................... 33
A. PENDAHULUAN ........................................................................................ 33
B. PEMBAHASAN .......................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 77

v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Ilustrasi Hukum Superposisi
Gambar 2. Ilustrasi Hukum Horizontality
Gambar 3. Ilustrasi Pemancungan
Gambar 4. Perubahan Muka Bumi
Gambar 5. Contoh Cross-Cutting
Gambar 6. Ilustrasi lapisan berfosil
Gambar 7. Contoh korelasi dengan fasies sedimen
Gambar 8. Tiga jenis bentuk ketidakselarasan dalam geologi: Angular
unconformity, Disconformity, dan Nonconformity
Gambar 9. Foto singkapan batuan-batuan yang memperlihatkan hubungan yang
tidak selaras: ketidakselarasan bersudut (Angular Unconformity)
Gambar 10 Hubungan potong memotong (crosscutting relationships)
Gambar 11. Contoh Singkapan batuan
Gambar 12. Sketsa pengukuran penampang stratigrafi
Gambar 13. Posisi pengukuran lereng
Gambar 14. Pengukuran searah dengan kemiringan lapisan
Gambar 15. Pengukuran berlawanan
Gambar 16. Contoh penyajian hasil pengukuran
Gambar 17. Penggambaran penampang stratigrafi terukur yang dilengkapi dengan
foto-foto untuk menjelaskan hubungan antar lapisan batuan ataupun kontak antar
lapisan batuan.

vi
DAFTAR TABEL

vii
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 LATAR BELAKANG
Stratigrafi adalah studi mengenai sejarah, komposisi dan umur relatif
serta distribusi perlapisan tanah dan interpretasi lapisan-lapisan batuan untuk
menjelaskan sejarah Bumi. Dari hasil perbandingan atau korelasi antarlapisan
yang berbeda dapat dikembangkan lebih lanjut studi mengenai litologi
(litostratigrafi), kandungan fosil (biostratigrafi), dan umur relatif maupun
absolutnya (kronostratigrafi). stratigrafi kita pelajari untuk mengetahui luas
penyebaran lapisan batuan.
1.3 TUJUAN
Sebagai pembelajaran tentang korelasi batuan
Mendapatkan pengetahuan tentang sejarah bumi
Menentukan lingkungan pengendapan batuan serta untuk menentukan posisi atas
dan bawah dari suatu lapisan.

1
BAB II
PENGENALAN PRINSIP STRATIGRAFI
2.1 DASAR TEORI
Stratigrafi adalah studi mengenai sejarah, komposisi dan umur relatif serta
distribusi perlapisan batuan dan interpretasi lapisan-lapisan batuan untuk
menjelaskan sejarah bumi. Dari hasil perbandingan atau korelasi antar lapisan
yang berbeda dapat dikembangkan lebih lanjut studi mengenai litologi
(litostratigrafi), kandungan fosil (biostratigrafi), dan umur relatif maupun
absolutnya (kronostratigrafi). stratigrafi kita pelajari untuk mengetahui luas
penyebaran lapisan batuan.
Ilmu stratigrafi muncul untuk pertama kalinya di Britania Raya pada abad
ke-19. Perintisnya adalah William Smith. Ketika itu dia mengamati beberapa
perlapisan batuan yang tersingkap yang memiliki urutan perlapisan yang sama
(superposisi). Dari hasil pengamatannya, kemudian ditarik kesimpulan bahwa
lapisan batuan yang terbawah merupakan lapisan yang tertua, dengan beberapa
pengecualian. Karena banyak lapisan batuan merupakan kesinambungan yang
utuh ke tempat yang berbeda-beda maka dapat dibuat perbandingan antara satu
tempat ke tempat lainnya pada suatu wilayah yang sangat luas. Berdasarkan hasil
pengamatan ini maka kemudian Willian Smith membuat suatu sistem yang
berlaku umum untuk periode-periode geologi tertentu walaupun pada waktu itu
belum ada penamaan waktunya. Berawal dari hasil pengamatan William Smith
dan kemudian berkembang menjadi pengetahuan tentang susunan, hubungan dan
genesa batuan yang kemudian dikenal dengan stratigrafi.
Berdasarkan dari asal katanya, stratigrafi tersusun dari 2 (dua) suku kata,
yaitu kata strati berasal dari kata stratos, yang artinya perlapisan dan kata
grafi yang berasal dari kata graphic/graphos, yang artinya gambar atau
lukisan. Dengan demikian stratigrafi dalam arti sempit dapat dinyatakan sebagai
ilmu pemerian lapisan-lapisan batuan. Dalam arti yang lebih luas, stratigrafi dapat
didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang aturan, hubungan, dan
pembentukan (genesa) macam-macam batuan di alam dalam ruang dan waktu.
A. Hukum-Hukum Stratigrafi
1. Hukum Superposisi (Nicolas Steno,1669):
Dalam suatu urutan perlapisan batuan, maka lapisan batuan yang
terletak di bawah umurnya relatif lebih tua dibanding lapisan diatasnya
selama lapisan batuan tersebut belum mengalami deformasi atau masih dalam
keadaan normal.

2
Gambar 1. Ilustrasi Hukum Superposisi
2. Hukum Horizontalitas (Nicolas Steno,1669):
Lapisan-lapisan sedimen diendapkan mendekati horisontal dan pada
dasarnya sejajar dengan bidang permukaan dimana lapisan sedimen tersebut
diendapkan. Susunan lapisan yang kedudukannya tidak horisontal berarti
telah mengalami proses geologi lain setelah pengendapannya, misalnya
dipengaruhi oleh gaya tektonik.

Gambar 2. Ilustrasi Hukum Horizontality


3. Original Continuity (Nicolas Steno,1669):
The original continuity of water-laid sedimentary strata is
terminated only by pincing out againts the basin of deposition, at the time
of their deposition (Steno, 1669)
Lapisan sedimen diendapkan secara menerus dan bersinambungan
(continuity), sampai batas cekungan sedimentasinya. Lapisan sedimen
tidak mungkin terpotong secara tiba-tiba, dan berubah menjadi batuan lain
dalam keadaan normal. Pada dasarnya hasil suatu pengendapan yakni
bidang perlapisan, akan menerus walaupun tidak kasat mata.
Pemancungan disebabkan oleh :
Ketidakselarasan
Erosi
Morfologi
Lateral Continuity :

3
Pada awalnya lapisan sedimen mengalami kemenerusan tapi lapisan
tersebut di pisahkan oleh lembah atau ada bidang yang tererosi

Gambar 3. Ilustrasi Pemancungan


4. Law of uniformitarianism (james hutton, 1785):
Hukum ini meyatakan bahwa keadaan sekarang adalah kunci bagi
keadaan masa lalu(the present is the key to the past) Proses geologi terjadi
pada saat ini juga terjadi pada masa lampau. Sebagai contoh dapat disebutkan
bahwa pada saat ini batu gamping koral sedang tumbuh dilaut, jadi kalau
pada saat ini terdapat dipucak gunung dapat disimpulkan bahwa pada jaman
yang lalu daerah pegunungan tersebut merupakan dasar laut. Proses (tektonik
lempeng,pembentukan gunung, erosi, dll) yang terjadi sekarang diyakini telah
terjadi sejak bumi terbentuk Proses geologi yang sedang terjadi saat ini juga
terjadi pada masa lampau.

Gambar 4. Perubahan Muka Bumi


5. Cross-Cutting Relationship (A.W.R Potter & H. Robinson):
Apabila terdapat penyebaran lap. Batuan (satuan lapisan batuan),
dimana salah satu dari lapisan tersebut memotong lapisan yang lain, maka

4
satuan batuan yang memotong umurnya relatif lebih muda dari pada satuan
batuan yang di potongnya.

Gambar 5. Contoh Cross-Cutting


6. Faunal Succession (Abble Giraud-Soulavie, 1778):
Pada setiap lapisan yang berbeda umur geologinya akan ditemukan
fosil yang berbeda pula. Secara sederhana bisa juga dikatakan Fosil yang
berada pada lapisan bawah akan berbeda dengan fosil di lapisan atasnya.
Fosil yang hidup pada masa sebelumnya akan digantikan (terlindih) dengan
fosil yang ada sesudahnya, dengan kenampakan fisik yang berbeda (karena
evolusi). Perbedaan fosil ini bisa dijadikan sebagai pembatas satuan formasi
dalam lithostratigrafi atau dalam koreksi stratigrafi. dan bisa untuk
mengetahui lingkunan sebelum terfossilkan

Gambar 6. Ilustrasi lapisan berfosil

5
7. Strata Identified by Fossils (Smith, 1816) :
pada setiap lapisan dapat di bedakan oleh fosil fosil yang terkandung di di
dalamnya tertentu.
8. Fasies sedimen (sellay,1978) :
Suatu kelompok litologi dengan ciri ciri yang khas yang merupakan
hasil dari suatu lingkungan pengendapan tertentu baik aspek fisik, kimia, atau
biologi suatu endapan dalam kesatuan waktu. dua buah batuan yang di
endapkan pada satu waktu di katakan beda fasies apabila berbeda fisik,kimia,
biologi.

Gambar 7. Contoh korelasi dengan fasies sedimen


B. Hubungan Stratigrafi
a) Keselarasan (Conformity)
adalah hubungan antara satu lapis batuan dengan lapis batuan lainnya
diatas atau dibawahnya yang kontinyu (menerus), tidak terdapat selang waktu
(rumpang waktu) pengendapan. Secara umum di lapangan ditunjukkan
dengan kedudukan lapisan (strike/dip) yang sama atau hampir sama, dan
ditunjang di laboratorium oleh umur yang kontinyu.
b) Ketidak Selarasan (Unconformity)
adalah hubungan antara satu lapis batuan dengan lapis batuan lainnya
(batas atas atau bawah) yang tidak kontinyu (tidak menerus), yang
disebabkan oleh adanya rumpang waktu pengendapan. Dalam geologi dikenal
3 (tiga) jenis ketidak selarasan, yaitu):

6
Gambar 8. Tiga jenis bentuk ketidakselarasan dalam geologi: Angular
unconformity, Disconformity, dan Nonconformity
1) Disconformity adalah salah satu jenis ketidakselarasan yang hubungan
antara satu lapis batuan (sekelompok batuan) dengan satu batuan lainnya
(kelompok batuan lainnya) yang dibatasi oleh satu rumpang waktu tertentu
(ditandai oleh selang waktu dimana tidak terjadi pengendapan).
2) Angular Unconformity (Ketidakselarasan Bersudut) adalah salah satu jenis
ketidakselarasan yang hubungan antara satu lapis batuan (sekelompok batuan)
dengan satu batuan lainnya (kelompok batuan lainnya), memiliki
hubungan/kontak yang membentuk sudut.
3) Nonconformity adalah salah satu jenis ketidakselarasan yang hubungan
antara satu lapis batuan (sekelompok batuan) dengan satu batuan beku atau
metamorf.

7
Gambar 9. Foto singkapan batuan-batuan yang memperlihatkan hubungan
yang tidak selaras: ketidakselarasan bersudut (Angular Unconformity)
4. Genang laut dan Susut laut (Transgresi dan Regresi )
a).Transgresi (Genang Laut). Transgresi dalam pengertian
stratigrafi/sedimentologi adalah laju penurunan dasar cekungan lebih cepat
dibandingkan dengan pasokan sedimen (sediment supply). Garis pantai maju
ke arah daratan.
b). Regresi (Susut Laut). Regresi dalam pengertian stratigrafi/sedimentologi
adalah laju penurunan dasar cekungan lebih lambat dibandingkan dengan
pasokan sedimen (sediment supply). Garis pantai maju ke arah lautan.
5 Hubungan potong memotong (Cross-cutting relationships)
Hubungan petong-memotong (cross-cutting relationship) adalah hubungan
kejadian antara satu batuan yang dipotong/diterobos oleh batuan lainnya,
dimana batuan yang dipotong/diterobos terbentuk lebih dahulu dibandingkan
dengan batuan yang menerobos.
Pada gambar 10 terlihat urutan kejadian dan umur batuan adalah sebagai
berikut: batuan yang terbentuk/terendapkan pertama kali adalah Formasi (Fm)
Lutgrad, selanjutnya berturut-turut adalah Fm Birkland, Fm. Leet Junction.

8
Gambar 10 Hubungan potong memotong (crosscutting relationships): Fm.
Lutgrad, Fm. Birkland, dan Fm. Leet Junction diterobos oleh intrusi Granit
dan kemudian terbentuk Fm. Larsonton disertai intrusi Dike, kemudian
dilanjutkan dengan pengendapan Fm. Foster, Fm. Hamlinville, dan Skinner
Guich Limestone.
Ketiga formasi batuan tersebut kemudian mengalami orogenesa disertai
terbentuknya batuan terobosan (Intrusi) Granit dan kemudian tererosi
membentuk bidang ketidak selarasan bersudut dan dilanjutkan dengan
pengendapan Fm. Larsonton dan aktivitas magma berupa Intrusi Dike,
dilanjutkan dengan pembentukan Fm. Foster City, Fm. Hamlinville, dan
batuan termuda dan terakhir terbentuk adalah Skinner Guich Limestone.

9
2.2 TUGAS

10
2.3 KESIMPULAN
Prinsip stratigrafi merupakan ilmu yang mempelari prinsip prinsip
stratigrafi,yang mana prinsip stratigrafi merupakan ilmu cabang dari stratigrafi
yang mempelajari tentang perlapisan batuan.
Stratigrafi awalnya dikemukakan oleh William Smith di Britania Raya.
Ketika itu dia mengamati beberapa perlapisan batuan yang tersingkap yang
memiliki urutan perlapisan yang sama (superposisi).

11
BAB III
LITOSTRATIGRAFI DAN BIOSTRATIGRAFI
3.1 DASAR TEORI
A. Litostratigrafi
Pembagian litostratigrafi dimaksudkan untuk menggolongkan batuan di bumi
secara bersistem menjadi satuan-satuan bernama yang bersendi pada ciri-ciri
litologi. Pada satuan litostratigrafi penentuan satuan didasarkan pada ciri-ciri
batuan yang dapat di-amati di lapangan, sedangkan batas penyebarannya tidak
tergantung kepada batas waktu.
a. Satuan Resmi dan Tak Resmi:
Satuan litostratigrafi resmi ialah satuan yang memenuhi persyaratan Sandi,
sedangkan satuan litostratigrafi tak resmmi ialah satuan yang tidak seluruhnya
memenuhi persyaratan Sandi.
b. Batas dan Penyebaran Satuan Satuan Litostratigrafi:
1. Batas satuan litostratigrafi ialah sentuhan antara dua satuan yang
berlainan ciri litologi, yang dijadikan dasar pembeda kedua satuan
tersebut.
2. Batas satuan ditempatkan pada bidang yang nyata perubahan
litologinya atau dalam hal perubahan tersebut tidak nyata, batasnya
merupakan bidang yang diperkirakan kedudukannya (batas arbiter).
3. Satuan satuan yang berangsur berubah atau menjemari, peralihannya
dapat dipisahkan sebagai satuan tersendiri apabila memenuhi
persyaratan Sandi.
4. Penyebaran suatu satuan litostratigrafi semata-mata ditentukan oleh
kelanjutan ciri-ciri litologi yang menjadi ciri penentunya.
5. Dari segi praktis, penyebaran suatu satuan litostratigrafi dibatasi oleh
batas cekungan pengendapan atau aspek geologi lain.
6. Batas-batas daerah hukum (geografi) tidak boleh dipergunakan sebagai
alasan berakhirnya penyebaran lateral (pelamparan suatu satuan.
c. Tingkat-Tingkat Satuan Litostratigrafi
1. Urutan tingkat satuan litostratigrafi resmi, masing-masing dari besar
sampai kecil ialah : Kelompok, Formasi dan Anggota.
2. Formasi adalah satuan dasar dalam pembagian satuan litostratigrafi.
3. Anggota ialah bagian dari Suatu Formasi yang secara litologi berbeda
dengan ciri umum Formasi yang bersangkutan, serta memiliki
penyebaran lateral yang berarti.
4. Kelompok ialah suatu litostratigrafi resmi setingkat lebih tinggi
daripada Formasi dan karenanya terdiri dari dua Formasi atau lebih
yang menunjukkan kesegaran ciri-ciri litologi.
d. Stratotipe Atau Pelapisan Jenis
12
1. Suatu stratotipe merupakan perwujudan alamiah satuan litostratigrafi
resmi di lokasi tipe yang dapat di jadikan pedoman umum.
2. Letak suatu staratotipe di nyatakan dengan kedudukan koordinat
geografi.
3. Apabila pemerian stratotipe suatu satuan litostratigrafi di lokasi
tipenya tidak memungkinkan, maka sebagai gantinya cukup
dinyatakan lokasi tipenya.
e. Tatanama Satuan Litostratigrafi
1. Tatanama satuan litostratigrafi resmi adalah dwinama (binomial).
Untuk tingkat Kelommpok, Formasi dan Anggota dipakai istilah
tingkatnya dan diakui nama geografinnya.
2. Penulisan kedua kata nama satuan litostratigrafi resmi harus dimulai
dengan huruf besar sedangkan nama satuan tak resmi selalu dengan
huruf kecil, kecuali ditulis pada awal kalimat.
3. Jika untuk satuan litostratigrafi yang sama teredapat dua buah
penamaan, maka nama resmi yang diusulkan terdahulu yang harus
dipakai.
4. Nama geografi sebaran satuan di waktu lampau, yang telah populer
atau telah dikenal dalam pustaka, sebaiknya di pertahankan. Statusnya
dipastikan atau diubah menurut aturan satuan litostratigrafi yang
sesuai.
5. Nama geografi mungkin berubah atau bahkan hilang, tetapi perubahan
itu tidak boleh mempengaruhi nama satuan litostratigrafi yang telah
ada
B. Satuan Biostratigrafi
Korelasi adalah menghubungkan lapisan lapisan batuan didasarkan atas
kesamaan kandungan dan penyebaran fosil yang terdapat di dalam batuan. Dalam
korelasi biostratigrafi dapat terjadi jenis batuan yang berbeda memiliki kandungan
fosil yang sama.
a. Azas Tujuan
1. Pembagian biostratigrafi dimaksud untuk menggolongkan lapisan-
lapisan batuan di bumi secara bersistem menjadi satuan satuan
bernama berdasar kandungan dan penyebaran fosil.
2. Satuan biostratigrafi ialah tubuh lapisan batuan yang dipersatukan
berdasar kandungan fosil atau ciri-ciri paleontologi sebagai sendi
pembeda terhadap tubuh batuan sekitarnya.
3. Satuan Resmi dan Tak Resmi: Satuan biostratigrafi resmi ialah
satuan yang memenuhi persyaratan Sandi sedangkan satuan
biostratigrafi tak resmi adalah satuan yang tidak seluruhnya
memenuhi persyaratan Sandi.

b. Kelanjutan Satuan
Kelanjutan satuan biostratigrafi ditentukan oleh penyebaran kandungan fosil yang
mencirikannnya.
13
c. Tingkat dan Jenis Satuan Biostratigrafi
1. Zona ialah satuan dasar biostratigrafi
2. Zona adalah suatu lapisan atau tubuh batuan yang dicirikan oleh satu
takson fosil atau lebih.
3. Urutan tingkat satuan biostratigrafi resmi, masing-masing dari besar
sampai kecil ialah: Super-Zona, Zona, Sub-Zona, dan Zenula,
4. Berdasarkan ciri paleontologi yang dijadikan sendi satuan biostratigrafi,
dibedakan: Zona Kumpulan, Zona Kisaran, Zona Puncak, dan Zona
Selang
Zona Kumpulan
1. Zona Kumpulan ialah kesatuan sejumpah lapisan yang terdiri oleh
kumpulan alamiah fosil yang hkas atau kumpulan sesuatu jenis fosil.
2. Kegunaan Zona Kumpulan, selain sebagai penunjuk lingkungan
kehidupan purba dapat juga dipakai sebagai penciri waktu.
3. Batas dan kelanjutan zona Kumpulan ditentukan oleh batas terdapat
bersamaannya (kemasyarakatan) unsur-unsur utama dalam kesinambungan
yang wajar.
4. Nama Zona Kisaran harus diambil dari satu unsur fosil atau lebih yang
menjadi penciri utama kumpulannya.

Zona Kisaran:
1. Zona kisaran ialah tubuh lapisan batuan yang mencakup kisaran stratigrafi
untur terpilih dari kumpulan seluruh fosil yang ada
2. Kegunaan Zona Kisaran terutama ialah untuk korelasi tubuh-tubuh lapisan
batuan dan sebagai dasar untuk penempatan batuan batuan dalam skala
waktu geologi
3. Btasa dan Kelanjutan Zona Kisaran ditentukan oleh penyebaran tegak dan
mendatar takson (takson-takson) yang mencirikannya.
4. Nama Zona Kisaran diambil dari satu jenis atau lebih yang menjadi ciri
utama Zona.
Zona Puncak:
1. Zona Puncak ialah tubuh lapisan batuan yang menunjukkan perkembangan
maksimum suatu takson tertentu.
2. Kegunaan Zona Puncak dalam hal tertentu ialah untuk menunjukkan
kedudukan kronostratigrafi tubuh lapisan batuan dan dapat dipakai sebagai
petunjuk lingkungan pengendapan purba, iklim purba
3. Batas vertikal dan lateral Zona Puncak sedapat mungkin bersifat obyektif
4. Nama-nama Zona Puncak diambil dari nama takson yang berkembang
secara maksimum dalam Zona tersebut.

14
Zona Selang
1. Zona Selang ialah selang stratigrafi antara pemunculan awal/akhir dari dua
takson penciri.
2. Kegunaan Zona Selang pada umumnya ialah untuk korelasi tubuh-tubuh
lapisan batuan
3. Batas atas atau bawah suatu Zona Selang ditentukan oleh pemunculan
awal atau akhir dari takson-takson penciri.
4. Nama Zona Selang diambil dari nama-nama takson penciri yang
merupakan batas atas dan bawah zona tersebut.
Zona Rombakan
Zona Rombakan adalah tubuh lapisan batuan yang ditandai oleh banyaknya fosil
rombakan, berbeda jauh dari pada tubuh lapisan batuan di atas dan di bawahnya.
Zona Padat
Zona Padat ialah tubuh lapisan batuan yang ditandai oleh melimpahnya fosil
dengan kepadatan populasi jauh lebih banyak dari pada tubuh batuan di atas dan
dibawahnya

15
3.2 TUGAS

16
3.3 KESIMPULAN
Litostratigrafi adalah ilmu stratigrafi yang mana ilmu ini menggolongkan batuan
yang ada di bumi berdasarkan pada ciri litologinya, litostratigrafi batas batas
penyebarannya,yang salah satunya batas satuan litostratigrafi ialah sentuhan
antara dua satuan yang berlainan ciri litologi, yang dijadikan dasar pembeda
kedua satuan tersebut
Biostratigrafi merupakan ilmu cabang stratigrafi yang mana biostratigrafi
menggolongkan batuan berdasarkan kandungna fosil yang ada
didalamnya,berbeda dengan litostratigrafi yang menggolongkan batuan dengan
ciri litologinya

17
BAB IV
KORELASI STRATIGRAFI
4.1 DASAR TEORI
Dalam pengertiannya yang paling sederhana, korelasi diartikan sebagai
usaha untuk menunjukkan ekivalensi satuan-satuan stratigrafi. Korelasi
merupakan bagian fundamental dari stratigrafi dan banyak usaha telah dilakukan
oleh para ahli untuk menciptakan satuan-satuan stratigrafi resmi yang pada
gilirannya memungkinkan ditemukannya metoda-metoda praktis dan handal untuk
mengkorelasikan satuan-satuan tersebut. Tanpa korelasi, penelaahan stratigrafi
tidak lebih dari sekedar pemerian stratigrafi lokal.
Konsep korelasi menembus jauh kepada akar stratigrafi. Prinsip-prinsip
dasar korelasi telah ditampilkan dalam ber-bagai buku ajar lama mengenai geologi
dan stratigrafi. Pembahasan yang menarik mengenai hal ini dilakukan oleh
Dunbar & Rodgers (1957), Weller (1960), serta Krumbein & Sloss (1963). Terus
meningkatnya ketertarikan para ahli pada masalah korelasi antara lain ditunjukkan
oleh terbitnya sejumlah karya tulis baru mengenai korelasi, khususnya korelasi
yang dilakukan dengan menggunakan metoda statistika (a.l. Agterberg, 1990;
Cubitt & Reyment, 1982; Mann, 1981; Merriam, 1981).
Konsep-konsep dasar korelasi stratigrafi telah ditetapkan dengan mantap
pada dasawarsa 1950-an dan 1960-an. Prinsip-prinsip dasar tersebut yang masih
tetap penting dewasa ini. Walau demikian, munculnya berbagai konsep dan
metoda analisis baru hingga tingkat tertentu telah mengubah persepsi kita
mengenai korelasi serta menelurkan metoda-metoda korelasi baru. Perkembangan
magnetostratigrafi sejak dasawarsa 1950-an, misalnya saja, terbukti merupakan
alat baru yang sangat penting untuk korelasi kronostratigrafi berdasarkan
magnetic polarity events. Selain itu, perkembangan baru dalam teknologi
komputer dan penerapan metoda-metoda statistika dalam korelasi statigrafi telah
banyak mem-berikan nilai kuantitatif pada korelasi stratigrafi. Dalam tulisan ini
saya akan mencoba menyajikan sejumlah perkembangan baru tersebut, bersama-
sama dengan konsep-konsep korelasi stratigrafi klasik.
Meskipun konsep korelasi telah ada sejak awal perkembangan stratigrafi,
namun para ahli belum sepakat mengenai arti eksak dari istilah korelasi itu
sendiri. Dilihat dari kacamata sejarah, ada dua pendapat mengenai hal ini.
Pendapat pertama bersikukuh agar konsep korelasi hanya diartikan sebagai usaha
untuk memperlihatkan kesebandingan waktu (time equivalency); maksudnya,
korelasi merupakan usaha untuk menunjukkan bahwa dua tubuh batuan
diendapkan pada rentang waktu yang sama (Dunbar & Rodgers, 1957; Rodgers,
1959). Dilihat dari kacamata ini, usaha untuk memperlihat-kan ekivalensi dua
satuan litostratigrafi berdasarkan kemiripan litologi tidak termasuk ke dalam
kategori korelasi. Pendapat kedua mengartikan korelasi secara luas sehingga
mencakup semua usaha untuk memperlihatkan kesebandingan litologi,
paleontologi, atau kronologi (Krumbein & Sloss, 1963). Dengan kata lain, dua
tubuh batuan dapat dikorelasikan sebagai satuan litostratigrafi atau satuan

18
biostratigrafi yang sama, meskipun keduanya memiliki umur yang berbeda.
Karena keluasan arti dan kesederhanaan pemakaiannya, tidak mengherankan
apabila kebanyakan ahli geologi dewasa ini lebih cenderung untuk menerima
pengertian korelasi yang luas ini. Para ahli geologi perminyakan, misalnya saja,
secara rutin melakukan korelasi formasi-formasi bawah permukaan dengan
menggunakan well logs atau rekaman seismik. Sandi Stratigrafi Amerika Utara
1983 mengakui adanya tiga tipe utama korelasi sbb:
1. Litokorelasi (lithocorrelation) yang mengungkapkan kemiripan litologi
dan posisi stratigrafi.
2. Biokorelasi (biocorrelation) yang mengungkapkan kemiripan kandungan
fosil dan posisi biostratigrafi.
3. Kronokorelasi (chronocorrelation) yang mengungkapkan korespondensi
umur dan posisi kronostratigrafi.
Berikut akan dikemukakan hubungan antara litokorelasi dengan
kronokorelasi. Kronokorelasi dapat dibuat berdasar-kan setiap metoda yang
memungkinkan penyetaraan umur strata. Korelasi yang didasarkan pada litologi
juga dapat menghasilkan korelasi kronostratigrafi pada skala lokal, namun apabila
ditelusuri secara regional, banyak satuan lito-stratigrafi memotong bidang-bidang
waktu. Satuan stratigrafi yang diendapkan selama transgresi atau regresi besar
memotong bidang-bidang waktu. Contoh formasi transgresi-regresi paling
terkenal di Amerika Utara adalah Tepeats Sand-stone (Kambrium) di Grand
Canyon. Tepeats Sandstone di tepi barat Grand Canyon semuanya berumur
Kambrium Awal, sedangkan Tepeats Sandstone di tepi timur ngarai tersebut
semuanya berumur Kambrium Tengah. Dengan demikian, Tepeats Sandstone,
yang dapat ditelusuri secara lateral di semua bagian ngarai tersebut, dikorelasikan
sebagai satu satuan litostratigrafi, namun bukan sebagai satuan kronostratigrafi.
Satu hal penting yang perlu ditekankan disini adalah bahwa batas-batas yang
ditentukan berdasarkan kriteria tertentu belum tentu sama dengan batas-batas
yang ditentukan berdasarkan kriteria lain. Fakta inilah yang mendorong
munculnya metoda-metoda korelasi yang beragam (litokorelasi, biokorelasi,
kronokorelas) dan dapat memberikan hasil yang berbeda-beda, meskipun
diterapkan pada lintap stratigrafi yang sama.
A. Litokorelasi
Penelusuran Satuan Stratigrafi ke Arah Lateral
Penelusuran langsung satuan litostratigrafi dari satu lokasi ke lokasi lain
merupakan satu-satunya metoda yang dapat memberikan informasi yang sangat
meyakinkan kepada kita mengenai ekivalensi satuan tersebut. Metoda korelasi ini
hanya dapat diterapkan apabila strata yang diteliti tersingkap secara menerus atau
hampir menerus. Cara penelusuran langsung adalah dengan mengikuti satuan
litostratigrafi itu ke arah lateral, jengkal demi jengkal. Seorang ahli geologi yang
menelusuri satuan stratigrafi dari satu lokasi ke lokasi lain dengan menelusuri
suatu bidang perlapisan dapat meyakinkan dirinya bahwa dia telah menetapkan
korelasi pada saat itu juga. Jadi, usaha yang mungkin memerlukan ketahanan fisik

19
itu akan memberikan hasil yang memuaskan. Cara lain yang juga berguna, namun
kehandalannya sedikit lebih rendah dibanding hasil yang diperoleh dengan cara di
atas, adalah dengan cara menelusuri penyebaran lateral suatu lapisan sebagaimana
yang tampak pada potret udara. Pada daerah yang kaya akan singkapan dan
kenampakan singkapan itu praktis tidak terganggu oleh kehadiran tanah atau
vegetasi, penelusuran lateral satuan stratigrafi dapat dilakukan dengan cepat dan
efektif melalui potret udara. Metoda ini hanya dapat diterapkan pada lapisan-
lapisan yang khas dan cukup tebal untuk dapat terlihat pada potret udara.
Meskipun penelusuran satu atau sejumlah lapisan merupakan satu-satunya
metoda korelasi yang sangat meyakinkan, namun metoda itu bukan tidak terbatas.
Salah satu pembatas yang paling serius adalah fakta bahwa, pada kebanyakan
daerah penelitian, suatu lapisan biasanya tidak dapat ditelusuri hingga jarak yang
jauh karena pada tempat-tempat tertentu lapisan itu tertutup oleh tanah atau
vegetasi, terdeformasi (misalnya sesar), tererosi (misalnya terpotong oleh satu
sungai besar). Masalah lain yang mungkin muncul adalah hilangnya lapisan
batuan yang ditelusuri karena membaji atau berubah secara lateral menjadi lapisan
batuan yang lain. Hal seperti itu seringkali terjadi pada kasus strata non-marin.
Pada kasus seperti itu, penelusuran suatu individu lapisan atau suatu bidang
perlapisan tidak mungkin dilakukan. Jadi, dalam prakteknya, para ahli geologi
umumnya hanya dapat menelusuri satuan litostratigrafi yang relatif besar
(misalnya sebuah anggota atau sebuah formasi) yang terdiri dari sejumlah lapisan
dengan karakter yang mirip satu sama lain.
B. Biokorelasi
Satuan biostratigrafi merupakan satuan stratigrafi objektif yang dapat
diamati dan ditentukan keberadaannya berdasarkan fosil yang terkandung
didalamnya. Karena itu, satuan biostratigrafi dapat ditelusuri dan di-match-kan
dari satu tempat ke tempat lain dengan cara yang lebih kurang sama dengan cara
penelusuran satuan litostratigrafi. Satuan biostratigrafi bisa maupun tidak bisa
memiliki kebenaan waktu. Sebagai contoh, jika ditelusuri ke arah lateral, zona
kumpulan (assemblage zone) dan zona puncak (abundance zone) dapat memotong
garis-garis waktu. Di lain pihak, zona selang (interval zone), yang terutama
ditentukan keberadaannya berdasarkan pemunculan pertama suatu taxa, memiliki
batas-batas yang pada umumnya berimpit dengan garis waktu. Satuan
biostratigrafi dapat dikorelasikan, tanpa tergantung pada kebenaan waktu-nya,
dengan menggunakan prinsip-prinsip yang sangat mirip dengan prinsip-prinsip
korelasi litostratigrafi, misalnya ber-dasarkan ke-match-an menurut kandungan
fosil dan posisi stratigrafinya. Pada tulisan ini pertama-tama kita akan
mempelajari korelasi yang didasarkan pada zona kumpulan dan zona puncak.
Setelah itu kita akan mempelajari metoda-metoda biokorelasi yang didasarkan
pada zona selang dan zona-zona lain yang menghasilkan korelasi kronostratigrafi.
D. Kronokorelasi
Satuan kronostratigrafi sangat penting artinya dalam stratigrafi karena
menjadi dasar untuk korelasi regional hingga global berdasarkan kesebandingan
waktu. Di atas telah dibahas bahwa kronokorelasi adalah korelasi yang
20
menyatakan korespondensi umur dan posisi kronostratigrafi dari satuan-satuan
stratigrafi. Bagi banyak ahli geologi, korelasi yang didasarkan pada
kesebandingan umur merupakan tipe korelasi terpenting dan kronokorelasi
merupakan satu-satunya tipe korelasi yang dapat digunakan berdasarkan hal-hal
yang sifatnya global. Metoda-metoda untuk menetapkan kesebanding-an umur
strata berdasarkan teknik-teknik magnetostratigrafi, seismik stratigrafi, dan
biologi telah dibahas di atas. Sejumlah metoda kronostratigrafi lain juga sering
digunakan, termasuk korelasi yang didasarkan pada depositional events,
transgressive-regressive events, dan stable isotope events, dan umur absolut.

21
4.2 TUGAS

22
4.3 KESIMPULAN
Korelasi merupakan penghubungna suatu lapisan batuan dengan lapisan
batuan lainnya dengan syarat memiliki biostratigrafi,kronostratigrafi atau
litostratigrafi yang sama, dari korelasi kita dapat membuat sebuah ilustrasi awal
terbentuknya sampai akhir.

23
BAB V
MENGUKUR PENAMPANG STRATIGRAFI
5.1 DASAR TEORI
Pengukuran stratigrafi merupakan salah satu pekerjaan yang biasa
dilakukan dalam pemetaan geologi lapangan. Adapun pekerjaan pengukuran
stratigrafi dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang terperinci dari
hubungan stratigrafi antar setiap perlapisan batuan / satuan batuan, ketebalan
setiap satuan stratigrafi, sejarah sedimentasi secara vertikal dan lingkungan
pengendapan dari setiap satuan batuan. Di lapangan, pengukuran stratigrafi
biasanya dilakukan dengan menggunakan tali meteran dan kompas pada
singkapan-singkapan yang menerus dalam suatu lintasan. Pengukuran diusahakan
tegak lurus dengan jurus perlapisan batuannya, sehingga koreksi sudut antara jalur
pengukuran dan arah jurus perlapisan tidak begitu besar.
3.2 Metoda Pengukuran Stratigrafi
Pengukuran stratigrafi dimaksudkan untuk memperoleh gambaran
terperinci urut-urutan perlapisan satuan stratigrafi, ketebalan setiap satuan
stratigrafi, hubungan stratigrafi, sejarah sedimentasi dalam arah vertikal, dan
lingkungan pengendapan. Mengukur suatu penampang stratigrafi dari singkapan
mempunyai arti penting dalam penelitian geologi. Secara umum tujuan
pengukuran stratigrafi adalah:
a) Mendapatkan data litologi terperinci dari urut-urutan perlapisan suatu
satuan stratigrafi (formasi), kelompok, anggota dan sebagainya.
b) Mendapatkan ketebalan yang teliti dari tiap-tiap satuan stratigrafi.
c) Untuk mendapatkan dan mempelajari hubungan stratigrafi antar satuan
batuan dan urut-urutan sedimentasi dalam arah vertical secara detil, untuk
menafsirkan lingkungan pengendapan.
Pengukuran stratigrafi biasanya dilakukan terhadap singkapan singkapan
yang menerus, terutama yang meliputi satu atau lebih satuan satuan stratigrafi
yang resmi. Metoda pengukuran penampang stratigrafi banyak sekali ragamnya.
Namun demikian metoda yang paling umum dan sering dilakukan di lapangan
adalah dengan menggunakan pita ukur dan kompas. Metoda ini diterapkan
terhadap singkapan yang menerus atau sejumlah singkapan-singkapan yang dapat
disusun menjadi suatu penampang stratigrafi.

24
Gambar 11. Contoh Singkapan batuan
Metoda pengukuran stratigrafi dilakukan dalam tahapan sebagai
berikut:
1. Menyiapkan peralatan untuk pengukuran stratigrafi, antara lain: pita ukur
(} 25 meter), kompas, tripot (optional), kaca pembesar (loupe), buku
catatan lapangan, tongkat kayu sebagai alat bantu.
2. Menentukan jalur lintasan yang akan dilalui dalam pengukuran stratigrafi,
jalur lintasan ditandai dengan huruf B (Bottom) adalah mewakili bagian
Bawah sedangkan huruf T (Top) mewakili bagian atas.
3. Tentukan satuan-satuan litologi yang akan diukur. Berilah patokpatok atau
tanda lainnya pada batas-batas satuan litologinya.

Gambar 12. Sketsa pengukuran penampang stratigrafi


4. Pengukuran stratigrafi di lapangan dapat dimulai dari bagian bawah atau
atas. Unsur-unsur yang diukur dalam pengukuran stratigrafi adalah: arah
lintasan (mulai dari sta.1 ke sta.2; sta.2 ke sta.3. dst.nya), sudut lereng
(apabila pengukuran di lintasan yang berbukit), jarak antar station
pengukuran, kedudukan lapisan batuan, dan pengukuran unsur-unsur
geologi lainnya.
5. Jika jurus dan kemiringan dari tiap satuan berubah rubah sepanjang
penampang, sebaiknya pengukuran jurus dan kemiringan dilakukan pada
alas dan atap dari satuan ini dan dalam perhitungan dipergunakan rata-
ratanya.
25
6. Membuat catatan hasil pengamatan disepanjang lintasan pengkuran
stratigrafi yang meliputi semua jenis batuan yang dijumpai pada lintasan
tersebut, yaitu: jenis batuan, keadaan perlapisan, ketebalan setiap lapisan
batuan, struktur sedimen (bila ada), dan unsur-unsur geologi lainnya yang
dianggap perlu. Jika ada sisipan, tentukan jaraknya dari atas satuan.
7. Data hasil pengukuran stratigrafi kemudian disajikan diatas kertas setelah
melalui proses perhitungan dan koreksi-koreksi yang kemudian
digambarkan dengan skala tertentu dan data singkapan yang ada
disepanjang lintasan di-plot-kan dengan memakai simbol-simbol geologi
standar.
8. Untuk penggambaran dalam bentuk kolom stratigrafi, perlu dilakukan
terlebih dahulu koreksi-koreksi antara lain koreksi sudut antara arah
lintasan dengan jurus kemiringan lapisan, koreksi kemiringan lereng
(apabila pengukuran di lintasan yang berbukit), perhitungan ketebalan
setiap lapisan batuan dsb.
3.2.1 Perencanaan lintasan pengukuran
Perencanaan lintasan pengukuran ditetapkan berdasarkan urut-urutan singkapan
yang secara keseluruhan telah diperiksa untuk hal halsebagai berikut:
a) Kedudukan lapisan (Jurus dan Kemiringan), apakah curam, landai, vertikal
atau horizontal. Arah lintasan yang akan diukur sedapat mungkin tegak
lurus terhadap jurus.
b) Harus diperiksa apakah jurus dan kemiringan lapisan secara kontinu tetap
atau berubah rubah. Kemungkinan adanya struktur sepanjang penampang,
seperti sinklin, antiklin, sesar, perlipatan dan hal ini penting untuk
menentukan urut-urutan stratigrafi yang benar.
c) Meneliti akan kemungkinan adanya lapisan penunjuk (key beds) yang
dapat diikuti di seluruh daerah serta penentuan superposisi dari lapisan
yang sering terlupakan pada saat pengukuran.
3.2.2 Menghitung Ketebalan
Tebal lapisan adalah jarak terpendek antara bidang alas (bottom) dan
bidang atas (top). Dengan demikian perhitungan tebal lapisan yang tepat harus
dilakukan dalam bidang yang tegak lurus jurus lapisan. Bila pengukuran di
lapangan tidak dilakukan dalam bidang yang tegak lurus tersebut maka jarak
terukur yang diperoleh harus dikoreksi terlebih dahulu dengan rumus:
d = dt x cosinus s ( s = sudut antara arah kemiringan dan arah pengukuran).
Didalam menghitung tebal lapisan, sudut lereng yang dipergunakan adalah
sudut yang terukur pada arah pengukuran yang tegak lurus jurus perlapisan.
Apabila arah sudut lereng yang terukur tidak tegak lurus dengan jurus perlapisan,
maka perlu dilakukan koreksi untuk mengembalikan kebesaran sudut lereng yang
tegak lurus jurus lapisan. Biasanya koreksi dapat dilakuan dengan menggunakan
tabel koreksi dip untuk pembuatan penampang.

26
Gambar 13. Posisi pengukuran lereng
1. Pengukuran pada daerah datar
(lereng 0o) Pengukuran pada daerah datar, apabila jarak terukur adalah jarak tegak
lurus jurus, ketebalan langsung di dapat dengan menggunakan rumus : T = d sin
(dimana d adalah jarak terukur di lapangan dan adalah sudut kemiringan
lapisan). Apabila pengukuran tidak tegak lurus jurus, maka jarak terukur harus
dikoreksi seperti pada cara diatas.
2. Pengukuran pada Lereng
Terdapat beberapa kemungkinan posisi lapisan terhadap lereng seperti
diperlihatkan pada gambar 3.5 dan gambar 13 { Catatan: sudut lereng (s) dan
kemiringan lapisan () adalah pada keadaan yang tegak lurus dengan jurus atau
disebut true dip dan true slope }.
a. Kemiringan lapisan searah dengan lereng.
Bila kemiringan lapisan ( ) lebih besar daripada sudut lereng (s) dan arah lintasan
tegak lurus jurus, maka perhitungan ketebalan adalah :
T = d sin ( - s ). (Gambar 14 b)
Bila kemiringan lapisan lebih kecil daripada sudutlereng dan arah lintasan tegak
lurus jurus, maka perhitungan ketebalan adalah:
T = d sin (s - ). (Gambar 14 c)

27
Gambar 14. Pengukuran searah dengan kemiringan lapisan

b. Kemiringan lapisan berlawanan arah dengan lereng


Bila kemiringan lapisan membentuk sudut lancip terhadap lereng dan arah
lintasan tegak lurus jurus maka:
T = d sin ( + s ) (Gambar 15 b)
Apabila jumlah sudut lereng dan sudut kemiringan lapisan adalah 900 (lereng
berpotongan tegak lurus dengan lapisan) dan arah lintasan tegak lurus jurus maka :
T = d (Gambar 15 c)
Bila kemiringan lapisan membentuk sudut tumpul terhadap lereng danarah
lintasan tegak lurus jurus, maka :
T = d sin (1800 - - s) (Gambar 15 d )
Bila lapisannya mendatar, maka : T = d sin (s)

28
Gambar 15. Pengukuran berlawanan
Penyajian hasil pengukuran stratigrafi seperti yang terlihat pada dibawah
ini. Adapun penggambaran urutan perlapisan batuan/satuan batuan/satuan
stratigrafi disesuaikan dengan umur batuan mulai dari yang tertua (paling bawah)
hingga yang termuda (paling atas)

29
Gambar 16. Contoh penyajian hasil pengukuran
Seringkali hasil pengukuran stratigrafi disajikan dengan disertai fotofoto.
Adapun maksud dari penyertaan foto-foto singkapan adalah untuk lebih
memperjelas bagian bagian dari perlapisan batuan ataupun kontak antar perlapisan
yang mempunyai makna dalam proses sedimentasinya.

30
Gambar 17. Penggambaran penampang stratigrafi terukur yang dilengkapi dengan
foto-foto untuk menjelaskan hubungan antar lapisan batuan ataupun kontak antar
lapisan batuan.

31
5.2 KESIMPULAN
Pengukuran yang di jalankan ketika mendapatkan suatu perlapisan
haruslah memakai rumus yang sesuai pula,tidak semua bentuk perlapisan dapat di
rumuskan dengan rumusan yang sama. Seperti kemiringan berlawanan dan searah
memiliki pengukuran atau rumus yang berbeda pula. Rumusan ini penting dalam
mengukur ketebalan sebenarnya lapisan dilapangan.

32
BAB VI
KULIAH LAPANGAN PS
A. PENDAHULUAN
1.1 Maksud dan Tujuan
Maksud dari prinsip statigrafi adalah komposisi dan umur relatif serta
distribusi perlapisan tanah dan interpretasi lapisan-lapisan batuan untuk
menjelaskan sejarah Bumi.
Adapun tujuan dari prinsip statigrafi ini adalah : Dari hasil perbandingan
atau korelasi antarlapisan yang berbeda dapat dikembangkan lebih lanjut
studi mengenai litologi (litostratigrafi), kandungan fosil (biostratigrafi), dan
umur relatif maupun absolutnya (kronostratigrafi). stratigrafi kita pelajari
untuk mengetahui luas penyebaran lapisan batuan.

Lokasi
Lokasi penelitian berada di daerah Sawahlunto, Sumatera Barat. Penelitian
dilakukan selama 1 hari pada lintasan sungai, lokasi Sungai loban daerah
Kabupaten Sawahlunto merupakan bagian dari Wilayah Provinsi Sumatera Barat.

1.2 Dasar Teori

Stratigrafi berasal dari kata strata (stratum) yang berarti lapisan (tersebar)
yang berhubungan dengan batuan, dan grafi (graphic) yang berarti pemerian/
gambaran atau urut-urutan lapisan. komposisi dan umur relatif serta distribusi
peralapisan tanan dan interpretasi lapisan-lapisan batuan untuk menjelaskan
sejarah bumi. Dari hasil perbandingan atau korelasi antarlapisan yang berbeda
dapat dikembangkan lebih lanjut studi mengenai litologi (litostratigrafi),
kandungan fosil (biostratigrafi), dan umur relatif maupun absolutnya
(kronostratigrafi). Jadi stratigrafi adalah ilmu yang mempelajari pemerian
perlapisan batuan pada kulit bumi. Secara luas stratigrafi merupakan salah satu
cabang ilmu geologi yang membahas tentang urut-urutan, hubungan dan kejadian
batuan di alam (sejarahnya) dalam ruang dan waktu geologi.

33
(Gambar 1.1 Lapisan Didalam Bumi)

PRINSIP STRATIGRAFI

Ada beberapa prinsip dasar yang berlaku didalam pembahasan mengenai


stratigrafi, yaitu:

1. Hukum atau prinsip yang dikemukakan oleh Steno (1669), terdiri dari:
Prinsip Superposisi (Superposition Of Strata)

(Gambar 1.2 Prinsip Superposisi. Steno, 1669)

34
Didalam suatu urutan perlapisan batuan maka lapisan paling bawah relatif lebih
tua umurnya daripada lapisan yang berada diatasnya selama belum mengalami
deformasi. Konsep ini berlaku untuk perlapisan berurutan.
Prinsip Kesinambungan Lateral (Lateral Continuity)
Lapisan yang diendapkan oleh air terbentuk terus-menerus secara lateral dan
hanya membaji pada tepian pengendapan pada masa cekungan itu terbentuk.

(Gambar 1.3 Lateral Continuity. Steno,1669)

Prinsip Akumulasi Vertikal (Original Horizontality)


Lapisan sedimen pada mulanya diendapkan dalam keadaan mendatar
(horizontal), sedangkan akumulasi pengendapannya terjadi secara vertikal
(principle of vertical accumulation).

(Gambar 1.4 Original Horizontality. Steno, 1669)

2. Hukum yang dikemukakan oleh James Hutton (1785)


Hukum atau prinsip ini lebih dikenal dengan azasnya yaitu uniformitarisme
yaitu proses-proses yang terjadi pada masa lampau mengikuti hukum yang
berlaku pada proses-proses yang terjadi sekarang, atau dengan kata lain masa
kini merupakan kunci dari masa lampau (the present is the key to the past).
Maksudnya adalah bahwa proses-proses geologi alam yang terlihat sekarang ini
dipergunakan sebagai dasar pembahasan proses geologi masa lampau.

3. Hukum Intrusi/Penerobosan (Cross Cutting Relationship) oleh AWR Potter dan


H. Robinson.

35
Suatu intrusi (penerobosan) adalah lebih muda daripada batuan yang
diterobosnya

(Gambar 1.5 Cross Cutting Relationship. AWR Potter dan H. Robinson)

4. Hukum Urutan Fauna (Law of Fauna Succession) oleh De Soulovie (1777)


Dalam urut-urutan batuan sedimen sekelompok lapisan dapat mengandung
kumpulan fosil tertentu dengan sekelompok lapisan di atas maupun di bawahnya.
5. Prinsip William Smith (1816)
Urutan lapisan sedimen dapat dilacak (secara lateral) dengan mengenali
kumpulan fosilnya yang didiagnostik jika kriteria litologinya tidak menentu.
6. Prinsip Kepunahan Organik oleh George Cuvier (1769-1832)
Dalam suatu urutan stratigrafi, lapisan batuan yang lebih muda
mengandung fosil yang mirip dengan makhluk yang hidup sekarang dibandingkan
dengan lapisan batuan yang umurnya lebih tua.

Didalam penyelidikan stritigrafi ada dua unsur penting pembentuk stratigrafi yang
perlu di ketahui, yaitu:

1. Unsur batuan

Suatu hal yang penting didalam unsur batuan adalah pengenalan dan
pemerian litologi. Seperti diketahui bahwa volume bumi diisi oleh batuan sedimen
5% dan batuan non-sedimen 95%. Tetapi dalam penyebaran batuan, batuan
sedimen mencapai 75% dan batuan non-sedimen 25%. Unsur batuan terpenting
pembentuk stratigrafi yaitu sedimen dimana sifat batuan sedimen yang berlapis-
lapis memberi arti kronologis dari lapisan yang ada tentang urut-urutan perlapisan
ditinjau dari kejadian dan waktu pengendapannya maupun umur setiap lapisan.
Dengan adanya ciri batuan yang menyusun lapisan batuan sedimen, maka dapat

36
dipermudah pemeriannya, pengaturannya, hubungan lapisan batuan yang satu
dengan yang lainnya, yang dibatasi oleh penyebaran ciri satuan stratigrafi yang
saling berhimpit, bahkan dapat berpotongan dengan yang lainnya.

2. Unsur perlapisan

Unsur perlapisan merupakan sifat utama dari batuan sedimen yang


memperlihatkan bidang-bidang sejajar yang diakibatkan oleh proses-proses
sedimetasi. Mengingat bahwa perlapisan batuan sedimen dibentuk oleh suatu
proses pengendapan pada suatu lingkungan pengendapan tertentu, maka Weimer
berpendapat bahwa prinsip penyebaran batuan sedimen tergantung pada proses
pertumbuhaan lateral yang didasarkan pada kenyataan, yaitu bahwa:

Akumulasi batuan pada umumnya searah dengan aliran media transport,


sehingga kemiringan endapan mengakibatkan terjadinya perlapisan selang tindih
(overlap) yang dibentuk karena tidak seragamnya massa yang diendapkannya.

Endapan di atas suatu sedimen pada umumnya cenderung membentuk sudut


terhadap lapisan sedimentasi di bawahnya.

PERKEMBANGAN KLASIFIKASI STRATIGRAFI

International Stratigraphic Guides, 1994 dan International Subcommission


for Stratigraphic Classification. (R.P.Koesoemadinata)
1. Perkembangan klasifikasi stratigrafi dalam dunia internasional memperlihatkan
kecenderungan untuk memisahkan kategori klasifikasi deskriptif dan
interpretatif. Stratigrafi didasarkan padafakta yang terlihat di lapangan dan tidak
secara interpretatif.

2. Penamaan satuan yang bersifat interpretatif sebaiknya dihindari, satuan tersebut


dinyatakan sebagai satuan tidak resmi (contoh: Seismik Stratigrafi, Sikuen
Stratigrafi).

3. Kategori deskriptif dibatasi pada kriteria litologi dan kandungan fosilnya,


sedangkan criteria sifat-sifat fisik, kimia cenderung hanya dibatasi pada sifat yang
dapat menentukan waktu atau umur , seperti paleomagnetic polarity. Satuan
berdasarkan karakteristik log, penampang seismik tidak dapat dinyatakan sebagai
satuan resmi, walaupun diakui keberadaannya

4. Kategori yang bersifat interpretatif : penafsirannya dibatasi pada hal-hal yang


menyangkut waktu/ umur. Kategori satuan stratigrafi yang bersifat interpretative
seperti lithogenetic units, satuan lingkungan pengendapan, cyclothems tidak dapat
diterima sebagai satuan stratigrafi resmi.

5. Keberadaan satuan tidak resmi dapat diakui walaupun sangat tidak dianjurkan.
37
Permasalahan Stratigrafi Nasional Sekarang
1) Pada kebanyakan makalah dalam publikasi IPA, IAGI menggunakan nama
tidak resmi, karena penulis umumnya tidak sanggup mengajukannya
secara resmi, karena peraturannya sangat banyak. Hal tersebut mendorong
semakin banyaknya satuan tidak resmi terutama dalam kalangan industri.

2) Tidak konsisten dalam penamaan formasi. Dalam satu cekungan dinamai 2


atau 3 nama satuan resmi oleh peneliti yang berbeda.

3) Pada cekungan yang berbeda (yang lain), masih ada pemeta yang
menggunakan nama formasi yang sama dengan cekungan di tempat lain.

4) Penyusunan satuan stratigrafi gunungapi dalam SSI, didasarkan pada


genesa bukan secara diskriptif. Pembagian secara genesa tersebut
mengakibatkan hanya berlaku untuk gunungapi Kuarter yang masih
terlihat bentuk-bentuknya.

5) Konsep stratigrafi tradisional masih lebih banyak digunakan, walaupun


secara eksplisit. Sikuenstratigrafi sudah tercantum dalam SSI 1996.
6) Sandi Stratigrafi Indonesia 1996 mengandung pembagian satuan yang
bersifat diskriptif dangenetik. Hal ini berarti tidak mengidahkan anjuran
dari International Stratigraphic Guides, 1994.

Sandi Stratigrafi Indonesia 1996. (soejono martodjojo)


Pencantuman Satuan Stratigrafi Gunungapi (BAB 111), merupakan wujud
keprihatinan terhadap tidak adanya wadah penamaan yang dapat dipakai untuk
gunungapi di Indonesia. Di negara maju, sistem penamaan dalam pemetaan
gunungapi sudah mampu memberikan sumbangan terhadap peramalan kegiatan
dan bahayanya. Ada keinginan dibuat unit-unit stratigrafi lainnya dalam SSI-
1996, seperti Tektonostratigrafi, Stratigrafi Kuarter, dan lain-lain sayangnya draft
dari para pengusul atas satuan tersebut tidak terselesaikan dalam batas waktunya.
Mendukung dibuatnya Lexicon Stratigrafi di Indonesia bagi masing-masing
satuan stratigrafi. Dengan catatan bahwa Lexicon ini lebih bersifat literatur resmi,
tetapi masih terbuka bagi perubahan sesuai dengan perkembangan ilmu dan
akumulasi data yang ada. Panitia Sandi Stratigrafi Indonesia perlu dilestarikan dan
diluaskan sehingga mencakup organisasi lain yang bersangkutan dengan
stratigrafi di Indonesia. Tujuan penggolongan Stratigrafi perlu menjadi bahan
pertimbangan.

38
Sandi Stratigrafi Indonesia 1996: Suatu Catatan Perkembangan Sandi
Stratigrafi Indonesia. (Djuhaeni)
SSI-1996, merupakan hasil penambahan tiga satuan stratigrafi baru ke dalam
Sandi Stratigrafi Indonesia 1973. Tiga satuan stratigrafi baru: Satuan Litodemik,
Satuan Stratigrafi Gunungapi, dan Sikuenstratigrafi, atau perbandingannya :
1) SSI 1973 : memuat Litostratigrafi, Biostratigrafi, Kronostratigrafi
2) SSI 1996 : Litostratigrafi, Biostratigrafi, Kronostratigrafi, Litodemik,
Gunung api, Sikuenstratigrafi.
Satuan Litodemik, untuk pembagian unit batuan beku dan metamorf. Satuan
Litodemik dibedakan dengan Satuan Litostratigrafi karena mempunyai kaidah
yang berbeda dengan Hukum Superposisi, terutama hubungan kontak dan
pelamparannya. Dihimbau bagi pengguna-akademisi-pakar mineral untuk
berperan aktif, mengkaji ulang, mengembangkan dalam memperbaiki satuan
litodemik yang disesuaikan dengan perkembangan, baik secara konsep maupun
aplikasinya di Indonesia. Satuan Stratigrafi Gunungapi, masih perlu
dikembangkan, dan disesuaikan dengan perkembangan penerapannya di
Indonesia.
Satuan Sikuenstratigrafi, Satuan Sikuenstratigrafi perlu disempumakan, misalnya
untuk keperluan korelasi di Ladang Migas; order parasikuen perlu dikembangkan
lebih lanjut., sesuai perkembangan konsep dan penerapannya di Indonesia.
Sosialisasi SSI-1996, Wacana tentang usulan Satuan Tektonostratigrafi dan
Satuan Stratigrafi Kuarter untuk dimasukkan ke dalam SSI-1996, sampai saat ini
belum terwujud. Sosialisasi SSI-1996 setelah PIT-IAGI 1996 di Bandung kurang
mendapat perhatian.

Perkembangan Penelitian Stratigrafi di Indonesia : 3 Era


1) Era Pra-SSI.. Satuan stratigrafi lebih didasarkan kepada kerangka waktu,
dan penamaannya diikuti oleh kata series" atau "beds", sebagai contoh
Halang Series, Cidadap Beds.
2) Era SSI-1973. Ada perubahan nama, contoh "Halang Series/Beds" menjadi
Formasi Halang.
3) Era SSI-1996. Perkembangan satuan stratigrafi sangat mencolok,
munculnya Satuan Sikuenstratigrafi dan Satuan Tektonostratigrafi.

Adanya kemajuan penelitian geologi dan perkembangan tatanama satuan


stratigrafi menimbulkan dampak kerancuan penyebutan nama satuan stratigrafi
dan pelamparannya : Formasi Kujung menjadi "Kujung Time" (Kujung 1, Kujung
11, dan Kujung 111), tetapi tidak jelas pemerian waktunya. Akan
membingungkan lagi apabila yang akan datang, ada penyebutan Sikuen Kujung.
Distribusi/pelamparan Satuan Stratigrafi perlu dijelaskan lebih lanjut, tidak
terbatas "dapat dipetakan dalam skala 1 : 25.000" saja, sehingga timbul problem
"terlalu banyak nama-nama satuan litostratigrafi". Di sisi lain justru menimbulkan
pertanyaan: "sejauh mana validitas pelamparan suatu formasi itu", sebagai contoh
Formasi Talangakar dikenal dari Sumatra Selatan sampai Jawa Barat bagian Utara
(NW Java Basin).

39
Munculnya penamaan satuan stratigrafi (Unit Allostratigrafi) yang mengacu
kepada "Sandi Stratigrafi Asing" yang pernah muncul dalam Procceding PIT-
IAGI sangat tidak diharapkan untuk dikembangkan. Bila dianggap perlu, satuan
stratigrafi yang tidak mengacu pada SSI agar diusulkan kepada Komisi SSI-IAGI,
untuk dimasukkan menjadi salah satu ayat dalam SSI (Pasal 12 SSI-1996).
Untuk mengatasi kerancuan dan problematika tatanama dan penamaan satuan
stratigrafi, Komisi SSI-IAGI perlu memperhatikan setiap perkembangan satuan
stratigrafi yang ada di Indonesia, dan mendokumentasikan di dalam bentuk
"Lexicon Stratigrafi Indonesia".
Komisi SSI 1996 juga memberi peluang apabila ada usulan perubahan,
penambahan, dan lainnya, sesuai dengan Pasal 12 SSI-1996, selanjutnya dapat
disampaikan secara tertulis kepada Komisi SSI, IAGI. Pembahasannya
dilaksanakan bersamaan PIT-IAGI.
Dengan adanya kepedulian dan peran aktif para Ahli Geologi di Indonesia,
diharapkan SSI selalu dapat mengikuti perkembangan satuan stratigrafi pada
setiap waktu.

Status Penerapan Lithostratigrafi Dalam Rencana penerbitan Leksikon


Stratigrafi Indonesia
1) Pada prinsipnya Leksikon yang dirintis oleh P3G mengacu pada SSI 1996.
2) Perkembangan kegiatan penelitian dan pemetaan geologi hingga kini,
menghasilkan nama satuan stratigrafi baru yang banyak bermunculan baik
resmi ataupun tidak resmi.
3) Di antara nama yang diusulkan, terdapat ketidaksesuaian dengan kaidah-
kaidah SSI, seperti perbedaan pemerian dan usulan nama yang berbeda
untuk satuan batuan yang sama.
4) Hasil penelitian dan pemetaan geologi oleh P3G hingga kini
menghasilakan lebih dari 2000 nama satuan batuan di Indonesia.
5) Penyusunan dan penataan kembali tatanama stratigrafi akan dilakukan
oleh Puslitbang Geologi dengan tahapan pertama menerapkan
litostratigrafi ke dalam bentuk leksikon.
6) Leksikon Stratigrafi Indonesia, menguraikan butir-butir nama satuan,
umur, nomenklatur/tatanama, lokasi tipe, pemerian, kandungan fosil,
hubungan stratigrafi, ketebalan, penyebaran, lingkungan pengendapan,
tataan tektonik, aspek ekonomi, catatan dan acuan, serta dilengkapi dengan
peta geografi yang memuat lokasi tipe masing-masing satuan.
7) Diharapkan, di masa mendatang, leksikon ini dapat diakses melalui suatu
sistem informasi geologi.

Kendala Penerapan Satuan Stratigrafi Gunungapi (Sutikno Bronto)


Ada 4 kendala penerapan satuan stratigrafi gunungapi dalam lingkup ilmu geologi
di Indonesia :
1) Kendala Lingkup Penerapan
Selama ini Satuan Stratigrafi Gunungapi hanya diterapkan pada gunungapi
Kuarter dan aktif dan penelitian tidak begitu cepat memberikan nilai

40
ekonomi tinggi, maka sangat sedikit ahli geologi yang tertarik untuk
mempelajari ilmu gunungapi.
2) Kendala Pendidikan Dasar Geologi
3) Pendidikan dasar geologi belum sepenuhnya mengacu pada kondisi
geologi Indonesia yang berhubungan dengan cekungan sedimentasi busur
magma dan gunungapi, menyebabkan pemahaman ilmu gunungapi sangat
minim. Akibatnya Ilmu stratigrafi gunungapi terasa menjadi semakin sulit
untuk dipelajari.
4) Kendala Kesampaian Medan
Kesampaian medan gunungapi yang sangat sulit, terjal menyebabkan
keengganan para ahli geologi untuk melakukan penelitian di daerah
gunungapi.
5) Kendala Atmosfer Penelitian
6) Belum terciptanya atmosfer penelitian di Indonesia secara optimal, apalagi
yang menyangkut ilmu dasar dan dalam jangka pendek tidak langsung
berorientasi ke ekonomi.

1.3. Stratigafi Regional

Secara stratigrafi, berdasarkan dari resume para peneliti terdahulu


(Koesoemadinata dan Matasak, 1981, Koning, 1985, Situmorang, dkk., 1991,
Yarmanto dan Fletcher, 1993, Barber, dkk., 2005) cekungan Ombilin memiliki
batuan dengan umur Pra-Tersier (Perm dan Trias) hingga batuan berumur
Kuarter (Gambar 4) dengan deskripsi dari tiap-tiap formasi yang ditulis oleh
para peneliti terdahulu yang ditunjukkan pada (Gambar 5).

41
Gambar. 1.6 Stratigrafi Cekungan Ombilin berdasarkan kompilasi
Koesomadinata dan Matasak (1981), Koning (1985), Situmorang, dkk.(1991),
Yarmanto dan Fletcher (1993), Barber, dkk. (2005).

Gambar 1.7.Deskripsi dari tiap formasi kompilasi dari Koesomadinata dan


Matasak (1981), Koning (1985), Situmorang, dkk. (1991).

42
Untuk mempermudah penjelasan, penulis merujuk kepada satu tata
nama satuan litostratigrafi, yaitu yang dibuat oleh Koesomadinata dan Matasak
(1981), yang dijelaskan dari tua ke muda sebagai berikut.

A. Batuan Pra-Tersier

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), batuan Pra-Tersier


merupakan batuan yang mendasari cekungan Ombilin. Batuan ini tersingkap di
bagian barat dan timur dari cekungan.

Batuan Pra-Tersier yang tersingkap di bagian barat cekungan terdiri dari:

1. Formasi Silungkang

Terdiri dari litologi batuan vulkanik batugamping koral. Batuan vulkanik


terdiri dari lava andesitik, basaltik serta tufa. Umur formasi ini adalah Permo-
Karbon berdasarkan kandungan fosil Fusulinida pada batu gamping.

2. Formasi Tuhur

Terdiri dari litologi batusabak, anggota serpih dan anggota


batugamping.Umur formasi ini adalah Trias.

Seluruh batuan ini kemudian diintrusi oleh Granit Lassi, yang berumur 200
juta tahun yang lalu (Katili,1962 dalam Koesoemadinata dan Matasak, 1981).

Batuan Pra-Tersier yang tersingkap di bagian timur cekungan terdiri dari:

1. Formasi Kuantan terdiri dari litologi batugamping Oolit yang mengalami


rekristalisasi, marmer, batusabak, filit serta kuarsit yang berkembang secara
lokal.Umur dari formasi ini adalah Trias (Kastowo dan Silitonga,1973 dalam
Koesoemadinata dan Matasak, 1981)

Formasi Kuantan di intrusi oleh granit masif dari Formasi Sumpur (Musper,
1930 dalamKoesoemadinata dan Matasak, 1981) yang berumur 200 juta tahun
yang lalu (Obradovich,1973 dalam Koesoemadinata dan Matasak, 1981).

43
B. Batuan Tersier

Batuan Tersier cekungan Ombilin dapat dibagi menjadi enam formasi


menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), sebagai berikut.

1. Formasi Brani

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Brani terdiri dari


konglomeratberwarna cokelat keunguan, berukuran kerikil sampai kerakal,
dengan beraneka ragam jenis fragmen berupa andesit, batugamping, batusabak
dan argilit, granit, kuarsit, arkosic gritsand yang berbutir kasar, massif
dan umumnya tidak berlapis. Umur formasi ini berdasarkanhubungan yang
menjemari dengan Formasi Sangkarewang diduga Paleosen hingga Eosen.
Formasi Brani diperkirakan diendapkan sebagai endapan kipas aluvial.

2. Formasi Sangkarewang

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sangkarewang


terdiri dari serpihberlapis tipis berwarna kelabu gelap kecoklatan sampai hitam,
plastis, gampingan mengandung material karbon, mika, pirit, dan sisa
tumbuhan. Formasi ini memiliki sisipan berupa lapisan- lapisan batupasir
dengan tebal yang umumnya kurang dari 1 m, terdapat fragmen kuarsa dan
feldspar, gampingan berwarna abu-abu sampai hitam, matriks lempung terpilah
buruk mengandung mika dan material karbon dan terdapatnya struktur
nendatan (slump). Sisipan batupasir ini menunjukan pola menghalus ke atas.
Berdasarkan analisa polen umur dari formasi ini diperkirakan berumur Eosen
atau pra-Eosen (JICA, 1979 dalam Koesomadinata dan Matasak, 1981),
berumur Eosen Awal (Koning, 1985), berumur Eosen Atas (Himawan, 1991
dalam Situmorang, dkk.,1991), berumur Paleosen-Eosen (Sirumorang, dkk.,
1991), berumur Paleosen- Eosen Awal (Yarmanto dan Fletcher, 1993),
berumur Eosen-Oligosen (Whateley dan Jordan, 1989, Howells, 1997 dalam
Barber, 2005). Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) berdasarkan
hubungannya dengan Formasi Sawahlunto yang berada di atasnya yang
berdasarkan analisa polen Formasi Sawahlunto menunjukkan umur Paleosen
sampai Eosen diperkirakan Formasi Sangkarewang ini berumur Paleosen.
Formasi Sangkarewang diperkirakan terendapkan pada lingkungan danau.

3. Formasi Sawahlunto

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), formasi ini terdiri dari


sekuen serpihberwarna abu-kecoklatan, serpih lanauan dan batulanau dengan
sisipan batupasir kuarsa berwarna abu-kecoklatan dan dicirikan dengan
44
hadirnya batubara. Serpih umumnya karbonan. Batupasir memiliki ciri sekuen
menghalus ke atas, memiliki struktur sedimen berlapis silang- siur, ripple
lamination dan dasar erosi tegas yang menunjukkan suatu sekuen point bar.
Batubara umumnya berselingan dengan batulanau berwarna kelabu dan
lempung karbonan.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) Formasi Sawahlunto ini


berumur Eosen berdasarkan analisa polen yang menunjukkan umur Paleosen
sampai Eosen, sedangkan menurut Himawan (1991) dalam Situmorang, dkk.
(1991) dan Bartman dalam Yarmanto dan Fletcher (1993) berdasarkan analisa
polen, umur formasi ini diperkirakan Oligosen hingga Miosen Awal.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), hadirnya serpih


karbonan, batubara, khususnya batupasir yang bertipe point bar menunjukkan
lingkungan pengendapan dari formasi ini merupakan suatu dataran banjir
dengan sungai yang berkelok dimana batubara terdepositkan.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sawahlunto


terletak selaras di atas Formasi Brani dan secara setempat juga terletak selaras
dengan Formasi Sangkarewang dan juga diperkirakan menjemari dengan
Formasi Sangkarewang di beberapa tempat. Menurut Cameron, dkk (1981)
dalam Koning (1985) proses pengangkatan dan erosi yang berhubungan dengan
tektonik sesar mendatar terjadi pada saat pengendapan Formasi Sawahlunto.
Proses hiatus ini menurut Koning (1985) ditemukan tersingkap di beberapa
tempat dan sebagai bukti adanya ketidakselarasan bersudut pada beberapa hasil
seismik pada pinggir cekungan.Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981),
Formasi Sawahlunto memiliki ketebalan 274 meter. Sedangkan, menurut
Koning (1985) berdasarkan sumur bor, tebal formasi ini 170 meter.

4. Formasi Sawah Tambang

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), formasi ini dicirikan oleh


sekuen massifyang tebal dari batupasir berstruktur silang siur. Serpih dan
batulanau berkembang secara setempat. Batupasir berwarna abu-abu terang
sampai coklat, berbutir halus sampai sangat kasar, sebagian besar
konglomeratan dengan fragmen kuarsa berukuran kerikil, terpilah sangat
buruk, menyudut tanggung, keras dan masif. Ciri sekuen Formasi
Sawahtambang terdiri dari siklus- siklus atau seri pengendapan dimana setiap
siklus dibatasi oleh bidang erosi pada bagian dasarnya dan diikuti oleh kerikil
yang berimbrikasi, bersilang siur dan paralel laminasi dengan sekuen yang
menghalus keatas. Pada batupasir konglomeratan terdapat lensa-lensa batupasir
yang bersilang-siur. Struktur silang siur umumnya berskala besar dan memiliki
bentuk gelombang (trough crossbedded). Secara setempat, pada bagian bawah
45
Formasi Sawahtambang, terdapat sisipan lapisan-lapisan batulempung atau
serpih lanauan yang membentuk unit tersendiri yaitu sebagai Anggota Rasau.
Sedangkan, pada bagian atas formasi ini dengan sisipan lapisan- lapisan
batulempung dengan kandungan laminasi batubara yang terjadi secara
setempat, membentuk unit sendiri, yaitu Anggota Poro.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), formasi ini terletak


selaras di atas Formasi Brani dan memiliki hubungan selaras dan menjari
dengan Formasi Sawahlunto di beberapa tempat. Menurut Cameron, dkk.
(1981) dalam Koning (1985) berdasarkan pemetaan lapanganyang telah
dilakukan oleh Cameron, dkk. menunjukkan antara Formasi Sawahtambang
dengan Formasi Sawahlunto memiliki hubungan ketidakselarasan bersudut.
Sedangkan, menurut Situmorang, dkk (1991) secara keseluruhan antara
Formasi Sawahlunto dan Formasi Sawahtambang memiliki hubungan menjari
berdasarkan lingkungan pengendapan dari kedua formasi tersebut yang
merupakan sistem sungai, yang mana Formasi Sawahtambang memiliki
lingkungan pengendapan sungai teranyam pada bagian fasies proksimal yang
berubah secara lateral menjadi fasies distal yang membentuk endapan sungai
berkelok dari Formasi Sawahlunto.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) umur dari formasi ini


berdasarkan posisi stratigrafi di bawah Formasi Ombilin dan hubungan yang
selaras di atas Formasi Sawahlunto diperkirakan berumur Oligosen. Menurut
Himawan (1991) dalam Situmorang, dkk. (1991) berdasarkan analisa polen
formasi ini juga menunjukan berumur Oligosen.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) dan Situmorang, dkk.


(1991), formasi ini diendapkan pada lingkungan sistem sungai
teranyam.eMenurut Whateley dan Jordan (1989) dan Howells (1997) dalam
Barber, dkk. (2005) sumber sedimen dari Formasi Sawahtambang ini berasal
dari barat cekungan Ombilin. Menurut Barber, dkk. (2005) proses pengendapan
dari Formasi Sawahtambang ini bersamaan dengan pengangkatan dari Bukit
Barisan.Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sawahtambang
memiliki ketebalan antara 625 meter sampai 825 meter, dan menunjukan
terjadinya penebalan dari utara cekungan ke arah selatan. Sedangkan, menurut
(Koning, 1985) berdasarkan sumur bor tebal formasi ini 1420 meter.

5. Formasi Ombilin

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Ombilin terdiri


dari serpih ataunapal berwarna kelabu gelap, karbonan dan karbonatan, bila
lapuk menjadi berwarna kelabu terang dan umumnya berlapis baik. Termasuk
kedalam sekuen ini adalah lapisan-lapisan batupasir yang mengandung
46
glaukonit, berbutir halus, berwarna kelabu kehijauan, secara umum terdapat
sisa-sisa tumbuhan dan fosil moluska. Pada bagian bawah dari formasi ini
terdapat nodul-nodul batugamping dan lensa batugamping foraminifera-koral,
sedangkan dibagian atas sisipan lapisan batupasir tufaan, diselingi oleh
batulanau bersifat karbonan, mengandung glaukonit dan fosil moluska.
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) napal dari formasi ini
mengandung Globigerina yang merupakan ciri endapan laut.Umur dari formasi
ini diperkirakan berumur Miosen Awal (Koesomadinata dan Matasak, 1981,
Humpreys, dkk., 1991 dalam Situmorang, dkk., 1991).

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), berdasarkan kandungan


fosil bentonik serta kehadiran glaukonit, maka formasi ini diperkirakan
diendapkan pada lingkungan neritik luar sampai batial atas. Menurut Howell
(1997) dalam Barber, dkk. (2005) Formasi Ombilin terendapkan pada
lingkungan laut, yang terdiri dari batupasir halus, batulanau dan batulempung
yang sering kali karbonatan dengan batugamping secara setempat memiliki
ketebalan 50 meter sampai 100 meter yang termasuk ke dalam lentikuler koral
dan batugamping alga. Batupasir halus dengan fragmen dari batubara dan
amber diperkirakan merepresentasikan pasir pantai. Proses pengendapan
Formasi Ombilin pada cekungan Ombilin ini terjadi akibat adanya proses
transgressi yang terjadi pada cekungan Ombilin yang berhubungan dengan fase
transgressi pada cekungan busur belakang Sumatra (Situmorang, dkk., 1991.,
Hastuti, dkk., 2001, Barber, dkk., 2005).

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Ombilin terletak


selaras di atas Formasi Sawahlunto dan terletak secara tidak selaras di beberapa
tempat. Sedangkan, Formasi Ombilin terletak selaras di atas Formasi
Sawahtambang. Menurut Koning (1985) antara Formasi Ombilin dan Formasi
Sawahtambang memiliki hubungan tidak selaras berdasarkan reflektansi vitrinit
terhadap kedalaman pada sumur bor di subcekungan Sinamar yang
mengindikasikan terdapatnya bagian Sawahtambang yang telah tererosi.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Ombilin


memiliki ketebalan antara 1442 meter, sedangkan menurut Koning (1985)
berdasarkan data seismik, tebal formasi ini 2740 meter.

6. Formasi Ranau

Menurut van Bemmelen (1943) pada beberapa lokasi di Cekungan


Ombilin, didapatkanformasi berupa tufa yang disebut sebagai Tufa Ranau.
Tufa ini dianggap menjadi deposit volkanik berumur Pleistosen
(Koesomadinata dan Matasak, 1981), sedangkan menurut Bellon, dkk. (2004)

47
dalam Barber, dkk. 2005 umur dari formasi ini diperkirakan antara 5,5 hingga
2,4 juta tahun yang lalu (Pliosen).

Adanya perbedaan urutan litostratigrafi terhadap umur dari tiap


peneliti-peneliti sebelumnya (Gambar .2), diakibatkan oleh sukarnya penentuan
umur yang tepat dari tiap formasi pada cekungan Ombilin bagian bawah yang
berupa endapan darat. Penentuan umur yangmemiliki rentang umum dari
endapan-endapan darat tersebut, dibatasi oleh endapan berlingkungan laut
Formasi Ombilin yang terdapat foraminifera dari Miosen Awal, yang
memberikan batas umur paling muda untuk formasi-formasi yang lebih tua
(Gambar 4).

Proses penambangan batubara pada saat ini terletak di bagian barat


cekungan ombilin dan terdapat pada formasi sawahlunto yang terdiri dari batu
lempung ( clay stone ), batu pasir ( sand stone ), dan batu Lanau ( silkstone )
dengan sisipan batubara. Formasi sawahlunto ini terletak pada dua jalur yang
terpisah yaitu jalur yang menjurus dari Sawahlunto sampai ke Sawahrasau dan
dari Tanah Hitam terus ke timur dan kemudian kea rah utara yang disebut
Parambahan.

1.4 Metode Pengambilan Data Stratigrafi


1. Metode Jacob Staff
Metode Jacob Staff adalah metode yang digunakan untuk megukur
ketebalan suatu lapisan batuan yang menggunakan alat yang bernama tongkat
jacob yaitu tongkat yang panjangnya 150 cm, diberi tanda atau grid yang
panjangnya 10cm berwarna hitam putih atau merah putih untuk memudahkan
perhitungan tebal lapisan tersebut dan pada ujung tongkat terdapat busur derajat
untuk menyesuaikan kemiringan lapisan batuan. Metode ini lebih praktis dan
cepat dalam pengolahan datanya dikarenakan langsung dapat mengetahui tebal
sebenarnya. Tetapi tidah semua bidang perlapisan bisa diukur dengan metode ini,
karena diperlukan singkapan yang ideal.

Cara penggunaan metode ini adalah : Mengukur dip bidang perlapiasn


tersebut setelah itu tempelkan ujung bawah tongkat Jacob Staff ini pada lapisan
yang paling bawah, kemudian dimiringkan sesuai dengan dip lapisan tersebut.

2. Metode Bentang Tali


Metode rentang tali adalah metode yang lakukan untuk mengukur
ketebalan sebenarnya suatu bidang perlapisan dengan cara merentangkan tali yang
sudah di beri tanda atau grid setiap 10 cm atau 1 meter, kemudian direntangkan
pada singkapan batuan dan sebelumnya diukur dip dan slope bidang singkapan
tersebut. Selanjutnya dalam pengolahan data lapangan menggunakan metode
matematis dengan rumus. Metode ini lebih akurat dibandingkan dengan Metode
Jacob Staff.

48
2.1 Pada daerah datar
Pengukuran pada daerah datar, apabila jarak terukur adalah jarak tegak
lurus jurus, ketebalan langsung di dapat dengan menggunakan rumus : T = d sin
(dimana d adalah jarak terukur di lapangan dan adalah sudut kemiringan
lapisan). Apabila pengukuran tidak tegak lurus jurus, maka jarak terukur harus
dikoreksi seperti pada cara dibawah.

(Gambar 1.8 sketsa pengukuran tidak tegak lurus)

2.2 Pada daerah berlereng Terdapat beberapa kemungkinan posisi lapisan


terhadap lereng seperti diperlihatkan pada gambar 2 dan gambar 3. (Catatan: sudut
lereng (s) dan kemiringan lapisan () adalah pada keadaan yang tegak lurus
dengan jurus atau disebut true dip dan true slope ).

Kemiringan lapisan searah dengan lereng.


Bila kemiringan lapisan ( ) lebih besar daripada sudut lereng (s) dan arah
lintasan tegak lurus jurus, maka perhitungan ketebalan adalah : T = d sin ( - s )

(Gambar 1.9 Bila kemiringan lapisan ( ) lebih besar daripada sudut lereng (s) dan
arah lintasan tegak lurus jurus)

Bila kemiringan lapisan lebih kecil daripada sudut lereng dan arah lintasan tegak
lurus jurus, maka perhitungan ketebalan adalah : T = d sin (s - )

49
(Gambar 1.10 Bila kemiringan lapisan lebih kecil daripada sudut lereng dan arah
lintasan tegak lurus jurus)

Kemiringan lapisan berlawanan arah dengan lereng


Bila kemiringan lapisan membentuk sudut lancip terhadap lereng dan arah
lintasan tegak lurus jurus maka : T = d sin ( + s )

(Gambar 1.11 Bila kemiringan lapisan membentuk sudut lancip terhadap lereng
dan arah lintasan tegak lurus jurus)

Apabila jumlah sudut lereng dan sudut kemiringan lapisan adalah 900 (lereng
berpotongan tegak lurus dengan lapisan) dan arah lintasan tegak lurus jurus maka:
T=d

(Gambar 1.12 lereng berpotongan tegak lurus dengan lapisan) dan arah lintasan
tegak lurus jurus)

Bila kemiringan lapisan membentuk sudut tumpul terhadap lereng dan arah
lintasan tegak lurus jurus, maka : T = d sin (1800 - - s)

50
(Gambar 1.13 Bila kemiringan lapisan membentuk sudut tumpul terhadap lereng
dan arah lintasan tegak lurus jurus)

2.3 Kemiringan lapisan mendatar


Bila lapisannya relatif mendatar,dengan kemiringan lereng yang sudah
diketahui dan di ukur. Maka dapat menggunakan rumus : T = d sin (s)

(Gambar 1.14 Bila lapisannya relatif mendatar,dengan kemiringan lereng yang


sudah diketahui dan di ukur)

2.4 Lapisan batuan tegak


Bila lapisannya relatif tegak,dengan kemiringan lereng yang sudah
diketahui dan di ukur. Maka dapat menggunakan rumus : T = d sin (90o - s)

(Gambar 1.15 Bila lapisannya relatif tegak,dengan kemiringan lereng yang sudah
diketahui dan di ukur)

51
1.5 Geomorfologi
Kota Sawahlunto terletak di koordinat 1004159 - 1004960 BT dan
03310 - 04833 LS. Kota ini berjarak 94 km ke arah timur Kota Padang,
ibukota Provinsi Sumatera Barat, dan 137 km ke arah selatan Kota
Bukittinggi.Kota Sawahlunto terletak di antara jajaran Bukit Barisan. Dengan
ketinggian antara 250-650 m dpl, Kota Sawahlunto memiliki bentang alam yang
bervariasi, terdiri dari perbukitan terjal, landai, dan dataran. Kota lama seluas 5,8
km terletak di sebuah plato sempit yang dikelilingi perbukitan terjal, menjadikan
daerah sekelilingnya sebagai pembatas dalam pengembangan tata wilayah kota
ini. Sedangkan kawasan datar yang relatif lebar terdapat di Kecamatan
Talawi, yang terbentang dari utara keselatan, sementara di bagian utara yang
bergelombang dan relatif datar, kawasan berpenduduk lebih banyak
berada dikawasan dengan ketinggian 100 500 m dpl. Untuk kawasan yang
terletak pada bagian timur dan selatan, topografi wilayahnya relatif curam
(dengan kemiringan lebih dari 40%).
Morfologi atau bentang alam Kota Sawahlunto dan sekitarnya dapat
dikelompokkan menjadi perbukitan terjal, perbukitan landai, dan dataran.
Perbukitan terjalnya berupa bukit membulat dengan lereng bukit curam hingga
terjal. Kemiringan lereng terjal menjadi kendala sekaligus faktor pembatas bagi
perkembangan wilayah ini. Perbukitan landai terletak hampir di tengah
Kota Sawahlunto seperti kondisinya saat ini, tetapi umumnya berupa jalur-jalur
sempit yang dapat dikembangkan menjadi suatu permukiman perkotaan.
Posisinya memanjang sepanjang sepanjang sesar Sawahlunto, memisahkan
perbukitan terjal yang terletak di kedua sisinya. Sedangkan dataran yang
memungkinkan berkembangnya permukiman perkotaan hanya dijumpai di Talawi
dan Kota Sawahlunto (Pemerintah Daerah Kota Sawahlunto dan Lembaga
Pengabdian pada Masyarakat, ITB).
Kawasan dengan kemiringan lereng antara 0% hingga 15%, yaitu kawasan di
Kota Sawahlunto yang bisa dimanfaatkan dengan sedikit kesukaran teknis dan
aman, hanya memiliki luas 5.183 hektar atau 18,5% luas daerah, yang mana
seluas 2.411 hektar berada di Talawi.
Kota Sawahlunto dilalui oleh lima sungai, yaitu:
1. Batang Ombilin, yang mengalir dari Desa Talawi di utara ke Desa
Rantih, Kecamatan Talawi, di selatan
2. Batang Malakutan, yang mengalir dari hulunya di Desa
Siberambang, Kecamatan Sepuluh Koto, Kabupaten Solok di barat, melewati
beberapa Desa Kolok Mudiak dan Desa Kolok Tuo di Kecamatan Barangin, ke
arah timur dan bertemu dengan Sungai Ombilin

52
3. Batang Lunto, berhulu di Desa Lumandai di Kecamatan Barangin di
barat, mengalir ke arah timur dan membelah Kota Sawahlunto, Kecamatan
Lembah Segar dan bermuara di Batang Ombilin
4. Batang Sumpahan, berhulu di Kelurahan Sapan, Kecamatan
Barangin, kemudian bertemu dengan Batang Lunto dan bermuara di Batang
Ombilin
5. Batang Lasi, berhulu di Sepuluh Koto Sungai Lasi, Kabupaten
Solok, yang mengalir menyusuri sepanjang jalan dari Solok ke Sijunjung,
Kecamatan Silungkang, dan keluar di perbatasan Kota Sawahlunto, Sijunjung.
Sungai ini kemudian bertemu dengan Batang Ombilin di Sungai Kuantan dan
Indragiri.

1.6 Geologi Struktur


Kota Sawahlunto terletak di sebuah cekungan batuan yang terbentuk pada
masa Pra-Tersier Ombilin. Bentuknya berupa belah ketupat panjang dengan ujung
yang bulat, dengan lebar 22,5 km dan panjang 47 km. Cekungan yang dalamnya
diperkirakan sampai 2 km itu diisi oleh lapisan yang lebih muda, yang disebut
dengan formasi Brani, formasi Sangkarewang, formasi Sawahlunto, formasi
Sawah Tambang, dan formasi Ombilin. Formasi Ombilin tergolong lapisan paling
muda, yang terbentuk pada jaman Tersier, lebih dari 2 juta tahun yang lalu.
Kota Sawahlunto sendiri berdiri di atas formasi Sawahlunto, yang berupa batuan
dan terbentuk pada jaman Eocen dari masa sekitar 40 60 tahun yang lalu.
Menurut para ahli, wilayah sekitar kepulauan Nusantara yang dikenal saat ini
terbentuk sekitar 4 juta tahun yang lalu, sehingga diperkirakan ketika
formasi Sawahlunto terbentuk, Pulau Sumatera belum ada.

53
Struktur Ombilin
Berdasarkan data geologi yang ada saat ini, Cekungan Ombilin dinyatakan
sebagai suatu graben yang terbentuk akibat struktur pull-apart yang dihasilkan
pada waktu Tertier Awal, yang diikuti dengan tektonik tensional sehubungan
dengan pergerakan strike-slip sepanjang zona Patahan Besar Sumatera.
Berikutnya terjadi erosi dan patahan, sehingga menghalangi rekonstruksi dari
konfigurasi Cekungan Ombilin yang sebenarnya(Gambar2.2).

Gambar.1.16 Elemen Struktur Paleogen dan Neogen Cekungan Sumatera


Tengah
(Koesoemadinata dan Matasak,1981)

Cekungan Ombilin pada awalnya lebih luas dari batas-batas tepi


cekungan yang adasaat ini. Walaupun begitu, erosi pasca pengendapan telah
menghilangkan batas dari cekungan awal. Sesar Tanjung Ampolo telah
membelah Cekungan Ombilin dalam ukuran besar dan secara struktural
memisahkan cekungan tersebut menjadi dua bagian. Bagian Timur adalah bagian
yang turun, sementara bagian barat adalah bagian yang berada diatas, sehingga

54
memperlihatkan bagian lapisan yang dibawahnya ((KoesoemadinatadanMatasak,
1981)(Gambar2.2).

Gambar.1.17 LokasiBlok
SouthWestBukitBarisanpadaPatahanSumatera
(KoesoemadinatadanMatasak, 1981)

55
Gambar.1.18 Peta Geologi Cekungan Ombilin (dimodifikasi dari
Koesoemadinata dan Matasak, 1981)

Patahan Utara-Selatan Tanjung Ampalo membentuk patahan yang megah


menonjol dan kelihatan nyata,sebagian patahan yang ditandai dengan adanya suatu
tebing yang memisahkan bagian dalam dari Cekungan Ombilin dari daratan Sigalut
dan dibentuk oleh batuan pasir konglomeratik dalam jumlah yang besar dari Formasi
Sawahtambang Kala Oligocene.
Patahan Tanjung Ampalo di yakini sebagai tingkat kedua dari dextral wrench
yang dihubungkan dengan Zona Patahan Besar Sumatera. Patahan terbelah dibagian
selatan dengan satu bagian mengarah selatan dari cekungan kedataran tinggi Pre-
tertiary dan bagian yang lain sejajar dengan batas cekungan barat.Batas timur
cekungan tersebut ditandai dengan patahan menonjol Takung dimana batuan Pre-
tertiary terendap kan diatas endapan Tertiary.
Pembentukan pegunungan pada kala miosen tengah telah mengangkat bagian
tenggara dari cekungan tersebut dan batuan Formasi Tertiary yang muncul dari erosi

56
berikut nya membentuk tepian selatan dan barat laut dari cekunganya ngada saat ini.
Patahan terbalik telah ditemukan pada cekungan tersebut, semuanya sejajar dan
berhubungan dengan Patahan Takung. Patahan yang mengarah ke barat daya
ditemukan pada bagian barat laut dari cekungan dan memisahkan endapan Pre-
tertiary dan Tertiary (Koesoemadinata dan Matasak,1981).

1.7 Peta Regional Sawahlunto

57
Tatanan Tektonik dan Struktur Geologi Regional

Perkembangan struktur pada cekungan Ombilin dikontrol oleh pergerakan


Sistem Sesar Sumatera yang membuat sesar tua yang telah terbentuk ditimpa oleh
sesar yang lebih muda oleh sistem sesar yang sama (Situmorang, dkk., 1991)

Menurut Situmorang, dkk.(1991) keseluruhan geometri cekungan Ombilin


memanjang dengan arah umum barat laut tenggara, dibatasi oleh sesar berarah
barat laut-tenggara Sitangkai di utara dan sesar Silungkang di selatan yang
keduanya kurang lebih paralel terhadap Sistem Sesar Sumatra (Gambar 5).

Gambar 1.19 Pola struktur regional cekungan Ombilin, Sumatera Barat


(Situmorang, dkk., 1991).

Menurut Situmorang, dkk. (1991) secara umum, cekungan Ombilin


dibentuk oleh dua terban berumur Paleogen dan Neogen, dibatasi oleh Sesar
Tanjung Ampalu berarah utara- selatan.

Menurut Situmorang, dkk.(1991) secara lokal ada tiga bagian struktur yang
bisa dikenal pada cekungan Ombilin.

58
1.Sesar dengan jurus berarah baratlaut-tenggara yang membentuk bagian
dari sistem sesar Sumatera. Bagian utara dari cekungan dibatasi oleh Sesar
Sitangkai dan Sesar Tigojangko. Sesar Tigojangko memanjang ke arah tenggara
menjadi sesar Takung. Bagian selatan dari cekungan dibatasi oleh Sesar
Silungkang.

2.Sistem sesar dengan arah umum utara-selatan dengan jelas terlihat pada
timur laut dari cekungan. Sistem sesar ini membentuk sesar berpola tangga (step-
like fault), dari utara ke selatan: Sesar Kolok, Sesar Tigotumpuk, dan Sesar
Tanjung Ampalu. Perkembangan dari sesar ini berhubungan dengan fase tensional
selama tahap awal dari pembentukan cekungan dan terlihat memiliki peranan
utama dalam evolusi cekungan.

3.Jurus sesar dengan arah timur-barat membentuk sesar antitetik mengiri


dengan komponen dominan dip-slip.

Menurut Situmorang, dkk.(1991) pola struktur keseluruhan dari cekungan


Ombilin menunjukkan sistem transtensional atau pull-apart yang terbentuk di
antara offset lepasan dari Sesar Sitangkai dan Sesar Silungkang yang berarah
baratlaut-tenggara yang mana sistem sesar yang berarah utara-selatan dapat
berbaur dengan sistem sesar yang berarah baratlaut-tenggara.

Menurut Situmorang, dkk.(1991) adanya fase ekstensional dan


kompresional yang ditemukan pada jarak yang sangat dekat merupakan fenomena
umum untuk cekungan Ombilin yang merupakan cekungan strike-slip. Cekungan
ini mengalami pergantian fase ekstensional pada satu sisi yang diikuti oleh
pemendekkan pada sisi yang lain.

Hastuti, dkk. (2001) mengemukakan bahwa terdapat 5 fase tektonik yang


bekerja pada Cekungan Ombilin yang mempengaruhi pola struktur pada Cekungan
Ombilin (Gambar 2.7 dan Gambar 2.8). Lima fase tektonik yang terjadi pada
cekungan Ombilin menurut Hastuti, dkk. (2001), yaitu:

-Fase tektonik pertama (F3grnt) berlangsung awal Tersier berupa fase


tektonik ekstensif bersamaan dengan terbentuknya sistem tarik pisah berarah
baratlaut-tenggara yang merupakan awal terbentuknya cekungan Ombilin.
Bersamaan dengan membukanya cekungan, terbentuk endapan kipas aluvium
Formasi Brani menempati lereng-lerengtinggian batuan dasar dan terbentuk
endapan rawa Formasi Sangkarewang di bagian tengah cekungan.

59
-Fase tektonik ke dua (F4brn) berlangsung sejak Eosen berupa fase
kompresif dengan terbentuknya sesar-sesar berarah utara-selatan. Selain fase
kompresif dibeberapa tempat terdapat daerah ekstensif yang menyebabkan
penurunan dasar cekungan yang cepat dan diimbangi pula oleh pengendapan
sedimen yang seimbang, menyebabkan pelongsoran- pelongsoran endapan
aluvium Formasi Brani pada tepi cekungan dan sebagian masuk ke dalam endapan
rawa Formasi Sangkarewang, sehingga kedua formasi berhubungan menjari-
jemari.

-Fase tektonik ke tiga berupa fase kompresif (F5swl). Fase ini


mengakibatkan proses pengangkatan dengan terbentuknya endapan sungai
berkelok Formasi Sawahlunto. Di beberapa tempat fase kompresif diikuti oleh fase
ekstensif dengan terbentuknya endapan batubara di daerah limpah banjir. Selain
itu, pada fase ini terjadi pengaktifan kembali sesar- sesar yang sudah terbentuk dan
sesar minor berupa sesar naik yang terjadi bersamaan dengan pengendapan
Formasi Sawahlunto.

-Fase tektonik yang ke empat berupa fase kompresif (F6swtk) berarah


relatif utara-selatan. Akibat fase kompresif ini sesar-sesar berarah utara-selatan dan
baratlaut-tenggara yang terbentuk awal mengalami reaktifasi menjadi sesar naik
dan sesar mendatar. Bersamaan dengan fase ini (F6swtk) terjadi pula fase ekstensif
(F6swte) berarah relatif baratlaut- tenggara yang mengakibatkan dibeberapa
tempat terjadi genangan rawa dan penumpukan sedimen yang membentuk endapan
tipis batubara.

-Fase tektonik yang ke lima berupa fase ekstensif (F7omben) yang berarah
relatif utara- selatan berlangsung sejak Miosen awal. Fase ini mengakibatkan
terbentuknya sesar-sesar berarah barat-timur. Selain itu, fase ekstensif ini
mengakibatkan terjadinya Sesar Tanjung Ampalu berarah utara-selatan yang
kemudian diikuti dengan fase genanglaut. Pada Miosen Akhir terjadi fase
kompresif (F7ombek) berarah relatif barat-timur yang menghasilkan sesar- sesar
berarah timurlaut-baratdaya dan sesar-sesar yang terbentuk awal aktif kembali.

60
Gambar 1.20. Tektonikstratigrafi cekungan Ombilin menurut penjelasan Hastuti,
dkk.(2001) dan. Skema evolusi tektonik cekungan tarik pisah Ombilin, Sumatera
Barat menurutHastuti, dkk.(2001). (A) Kapur-Tersier Awal (B) Paleosen (C)
Miosen Awal (D) Plio-Pleistosen.

61
1.8 METODE PENELITIAN

Metodelogi
Metode penelitian yang kami lakukan adalah dengan cara penelitian langsung
kelapangan ( fieldtrip),dengan metode pagambilan sampling dilapangan. Daerah
penelitian yang kami teliti merupakan daerah cekungan ombilin(sawah lunto dan
sekitarnya).
Adapun metode penelitian yang kami lakukan adalah sebagai berikut:
Alat lapangan :
1. Kompas Geologi

Kompas yang digunakan berjenis brunton untuk menenunjukkan arah, mengukur


stike/dip, Azimuth, Slope, mengeplot lokasi, dan lintasan.
2. Peta Topografi

Peta dasar atau potret udara gunanya untuk mengetahui gambaran secara garis
besar daerah yang akan kita selidiki, sehingga memudahkan penelitian lapangan baik
morfologi, litologi, struktur dll. Selain itu peta dasar digunakan untuk menentukan
lokasi dan pengeplotan data, umumnya yang digunakan adalah peta topgrafi/kontur.

62
3. Palu Batuan Beku (pick point)

Palu batuan beku yaitu alat yang umum digunakan oleh para peneliti untuk
mengambil sampel batuan, Palu batuan beku berbentuk runcing ini umumnya dipakai
di daerah batuan keras (batuan beku dan metamorf).
4. Palu Batuan Sedimen (chisel point)

Jenis palu geologi yang digunakan salah satunya adalah palu batuan sedimen
(chisel point). Bentuknya berujung datar seperti pahat, umumnya dipakai untuk
batuan yang berlapis (batuan sedimen) dan mengambil fosil.
5. Lup

Lup atau kaca pembesar adalah sebuah lensa cembung yang mempunyai titik
fokus yang dekat dengan lensanya. Benda yang akan diperbesar terletak di dalam titik
fokus lup itu atau jarak benda ke lensa lup tersebut lebih kecil dibandingkan jarak
titik fokus lup ke lensa lup tersebut. Di geologi, lup digunakan untuk mengamati
batuan misalnya mineral maupun fosil., lensa pembesar yang umum dipakai adalah
perbesaran 8 sampai 20.

63
6. Komparator Geologi

Komparator dipakai untuk membantu dalam deskripsi batuan, misalnya


komparator butir, pemilahan (sorting) atau prosentase komposisi mineral, maupun
tabel-tabel determinasi batuan baik batuan beku, batuan sedimen dan batuan
metamorf, dan lain sebagainya.
7. Alat Ukur

Alat ukur yang digunakan dalam kegiatan lapangan biasanya menggunakan


meteran 50 meter. Berbentuk seperti roll kabel agar praktis dibawa. Biasanya
digunakan untuk mengukur jarak litasan dalam suatu daerah ataupun mengukur
ketebalan lapisan.

8. Larutan HCl N

HCl digunakan untuk menguji ada atau tidaknya kandungan karbonat dalam
suatu batuan yang diamati terutama batuan sedimen. Caranya adalah dengan
meneteskan larutan tersebut pada batuan yang sedang diamati. Apabila batuan
tersebut berbuih setelah ditetesi HCl, maka diindikasikanbatuan tersebut mengandung
karbonat, dan sebaliknya.

64
9. Kantong Sampel

Kantong contoh batuan (kantong sampel) dapat digunakan kantong plastik


yang kuat atau kantong jenis lain yang dapat dipakai untuk membungkus contoh-
contoh batuan dengan ukuran yang baik yaitu kurang lebih (13x9x3) cm. Sedangkan
kertas label digunakan untuk memberi kode pada tiap contoh batuan sehingga mudah
untuk dibedakan. Dapat juga menggunakan "permanent spidol" untuk memberi kode
langsung pada kantong.

10. Kamera

Dalam fieldtrip ini, kamera digunakan untuk mengambil gambar sampel


batuan, mineral dan gambar daerah sekeliling tempat ditemukannya batuan atau
mineral yang diteliti tersebut sebagai bukti dilaksanakannya praktikum.
11. Tas Ransel

Tas ransel digunakan sebagai tempat peralatan yang diperlukan untuk dibawa
ketika penelitian sehingga tidak kesulitan untuk dibawa.

65
12. Alat tulis

Alat tulis terdiri dari papan dada, pensil, bolpoin dan beberapa lembar kertas HVS.
Alat tulis ini digunakan untuk mencatat setiap materi dan hasil pengamatan yang
telah dilakukan dari stopsite satu ke stopsite lain

Langkah kerja :
1. Metode Orientasi Lapangan (Field Orientation)

Prinsip pada metode Orientasi Lapangan ini adalah dengan cara


memplot Lokasi pengamatan/singkapan (stasiun) berdasarkan pada
orientasi terhadap sungai, puncak-puncak bukit/gunung, Kota, Desa,
dll. Titik patokan yang digunakan dalam metode ini adalah daerah
yang dikenal di lapangan dan berada dalam peta dasar (topografi).

2. Metode Lintasan Kompas (Compass Traverse)

Prinsip pada metode lapangan ini adalah dengan cara menentukan


lintasan sebelumnya dengan kontrol arah kompas sesuai rencana
lintasan.
3. Metode Pita Ukur dan Kompas (Tape and Compass Traverse)
Alat yang digunakan dalam metode ini adalah kompas dan pita ukur
atau skala geologi (biasanya berukuran 5-50 m). Pada metode ini,
arah lintasan dapat ditentukan sesuai dengan keinginan pemeta.
Sehingga dianggap merupakan metode lapangan yang paling teliti,
efektif dan efisien.
4. metode meusured straction
yaitu metode untuk pembuatan log, di dalam ini menggunakan kompas
Brunto untuk mengeplot azimuth, Slope, dan strike/dip pada satu
singkapan

66
B. PEMBAHASAN

Penjelasan per Stasiun Beserta Statigrafinya


Hari/ Tanggal : rabu /09-11-2016 Jam : 09.30 WIB -
Stasiun :1 Daerah : sawahlunto
Cuaca : mendung Srike/Dip : N 300o E/70o
Di ukur oleh : kelompok 9 Lokasi : Sungai Loban

INTERPRETASI
Satuan pada singkapan 1 2 kami mengukur sepanjang 40 meter dengan kedudukan azimuth 50
dan slope 4 . Pada stasiun ini kami mendapati sebanyak 4 lapisan yang terdiri dari 2 jenis
litologi yaitu batulanau setebal 70 cm dan 181 cm, batu gamping wackstone setebal 80 cm dan
lanau yang terendapkan secara berulang dan bergantian. Dan pada bagian tegah dari singkapan
terdapat soil yang menutupi sehingga pada bagian tersebut tidak diketemukan data. Dan pada 3,8
meter terakhir kami jg menemukan batugamping kristalin.

67
Hari/ Tanggal : rabu /09-11-2016 Jam : 10.50 WIB-
Stasiun :2 Daerah : sawahlunto
Cuaca : mendung Srike/Dip : N 271o E/65o
Di ukur oleh : kelompok 9 Lokasi : Sungai Loban

INTERPRETASI
Satuan pada singkapan 2 3 kami mengukur sepanjang 20 meter dengan kedudukan azimuth 40 dan
slope 11 . Pada stasiun kedua, kami menemukan batulanau dengan ketebalan 97 cm dengan ciri
fisik, warna lapuk coklat, warna segarnya abu-abu kecoklatan, S angular, wellsorted dan karbonatan.
Setelah itu terdapat juga batulempung dengan ketebalan 1,4 M dengan warna lapuk coklat kehijauan
dan warna segar abu-abu kehitaman, dan kabonatan. Lalu juga ada batupasir halus yang hanya dengan
ketebalan 16 cm, ini bisa juga disebut sisipan batupasir yang terdapat pada batulempung. Dan
batulanau dengan ketebalan 69 cm serta pada lapisan terakhir terdapat batulempung dengan ketebalan
15 cm.

68
Hari/ Tanggal : rabu /09-11-2016 Jam : 14.10 WIB -
Stasiun :3 Daerah : sawahlunto
Cuaca : gerimis Srike/Dip : N 293o E/ 46o
Di ukur oleh : kelompok 9 Lokasi : Sungai Loban

INTERPRETASI
Satuan pada singkapan 3 4 kami mengukur sepanjang 4,7 meter dengan kedudukan
azimuth 5 dan slope 8 . Pada stasiun ini ditemukan batuan sedimen yaitu batulempung
yang menyerpih dengan ketebalan 1,2 meter, batulempung tersebut karbonatan. Kami juga
menemukan singkapan yang hilang dengan panjang 8 meter.

69
Hari/ Tanggal : rabu /09-11-2016 Jam : 14.35 WIB -
Stasiun :4 Daerah : sawahlunto
Cuaca : gerimis Srike/Dip : N 157o E/ 35o
Di ukur oleh : kelompok 9 Lokasi : Sungai Loban

INTERPRETASI
Pada stasiun 4 terdapatnya serpih yang memiliki warna lapuk abu-abu kecoklatan dan warna segar
abu-abu. Kebundarannya S angular, serta kemasnya tertutup dan karbonatan. Panjang
tersingkapnya batu tersebut 7,4 M. Slop pada stasiun ini adalah -50. Sebab jalur lintasan kami yaitu
mengarah dari atas ke bawah (menurun).

70
Hari/ Tanggal : rabu /09-11-2016 Jam : 15.15 WIB -
Stasiun :5 Daerah : sawahlunto
Cuaca : gerimis Srike/Dip : N 195o E/ 84o
Di ukur oleh : kelompok 9 Lokasi : Sungai Loban

INTERPRETASI
Pada stasiun 5 terdapat batulempung dengan ketebalan 343 cm dengan berkedudukan N1950E/840 dan
slop nya -60. Batulempung memiliki wrana lapuk hijau kekuningan dan warna segar abu-abu
kekuningan. Kebundaran nya S angular, kemasnya tertutup dan pemilahannya poorlysorted.
Batulempung ini adalah karbonatan. Ini menunjukkan bawa singkapa ini merupakan zona lipatan atau
hancuran.

71
Hari/ Tanggal : rabu/09-11-2016 Jam : 15.30 WIB -
Stasiun :6 Daerah : sawahlunto
Cuaca : gerimis Srike/Dip : N 209o E/ 75o
Di ukur oleh : kelompok 9 Lokasi : Sungai Loban

INTERPRETASI
Satuan pada singkapan 6 kami mengukur sepanjang 8,4 meter dengan kedudukan azimuth 37 dan slope
3 . Pada stasiun 6 terdapatnya batulempung dengan endapan kalsit, ketebalan batulempung ini 140 cm
dengan kedudukan N2090E/750. Panjang singkapan pada stasiun ke lima ini adlah 592 cm. batulempung
itu memiliki ciri fisik dengan warna lapuk hijau kekuningan dan segarnya abu-abu keputihan,
kebundarannya S angular dan batulempung ini karbonatan.

72
Hari/ Tanggal : rabu /09-11-2016 Jam : 15 : 50 WIB
Stasiun :7 Daerah : sawahlunto
Cuaca : gerimis Srike/Dip : N 205o E/ 87o
Di ukur oleh : kelompok 9 Lokasi : Sungai Loban

INTERPRETASI
Pada stasiun ini kami menemukan batulanau dengan ketebalan 160 cm. kebundarannya angular,
kemasnya tertutup, permilahannya well sorted , permabilitasnya buruk dan kontaknya berangsur.
Batulanau merupakan batuan sedimen yang mengandung karbonatan karena lingkungan
pengendapannya di tepi sungai.

73
74
INTERPRESTASI JALUR LINTASAN
Pengukuran penampang statigrafi atau disebut juga dengan Measuring Section
yang dilakukan pada sungai loban didesa Muaro kelaban tepatnya di kota
Sawahluntoh, Sumatra barat. Secara hitungan koordinat, sungai loban tersebut
terletak pada posisi 0004231 LS dan 10004646,59 BT. Pengukuran yang kami
lakukan dimuali dari atas ke bawah.
1. Pada stasiun pertama, kami menemukan terdapatnya batulanau dan
batugamping. Batulanau memiliki warna segar abu-abu kehitaman dan warna
lapuknya coklat keabuan sedangkan batugamping memiliki warna segar
coklat dan warna lapuknya coklat kehitaman. Kedua batu itu sama sama
karbonatan. Ketebalan pada batulanau adalah 70 cm dan batugamping 80 cm.
pada stasiun pertama ini kami mendapat kedudukan N 3000E/700. Lalu pada
stasiun pertama ini juga terdapat bongkah dengan panjang 1,1 M, setelah itu
baru dijumpai lagi batulanau dengan ketebalan 1,1 M.
2. Pada stasiun kedua, kami menemukan batulanau dengan ketebalan 97 cm
dengan ciri fisik, warna lapuk coklat, warna segarnya abu-abu kecoklatan, S
angular, wellsorted dan karbonatan. Setelah itu terdapat juga batulempung
dengan ketebalan 1,4 M dengan warna lapuk coklat kehijauan dan warna
segar abu-abu kehitaman, dan kabonatan. Lalu juga ada batupasir halus yang
hanya dengan ketebalan 16 cm, ini bisa juga disebut sisipan batupasir yang
terdapat pada batulempung. Dan batulanau dengan ketebalan 69 cm serta pada
lapisan terakhir terdapat batulempung dengan ketebalan 15 cm. semua batu
yang terdapat pada stasiun 2 ini semua karbonatan.
3. Pada stasiun 3 kami menjumpi batulempung dengan ciri fisik diantaranya,
,memiliki warna lapuk abu-abu kehitaman dan warna segarnya abu-abu
kehijauan. Kebundarannya S angular, pemilahannya poorlysorted dan
batulempung ini karbonatan. Ketebalan batulempung yang kami temukan di
stasiun 3 adalah 1,2 M, setelah itu kami menjumapai bongkah dengan panjang
8 M.
4. Pada stasiun 4 terdapatnya serpih yang memiliki warna lapuk abu-abu
kecoklatan dan warna segar abu-abu. Kebundarannya S angular, serta
kemasnya tertutup dan karbonatan. Panjang tersingkapnya batu tersebut 7,4
M. Slop pada stasiun ini adalah -50. Sebab jalur lintasan kami yaitu mengarah
dari atas ke bawah (menurun).
5. Pada stasiun 5 terdapat batulempung dengan ketebalan 343 cm dengan
berkedudukan N1950E/840 dan slop nya -60. Batulempung memiliki wrana
lapuk hijau kekuningan dan warna segar abu-abu kekuningan. Kebundaran
nya S angular, kemasnya tertutup dan pemilahannya poorlysorted.
Batulempung ini adalah karbonatan.

75
6. Pada stasiun 6 terdapatnya batulempung dengan endapan kalsit, ketebalan
batulempung ini 140 cm dengan kedudukan N2090E/750. Panjang singkapan
pada stasiun ke lima ini adlah 592 cm. batulempung itu memiliki ciri fisik
dengan warna lapuk hijau kekuningan dan segarnya abu-abu keputihan,
kebundarannya S angular dan batulempung ini karbonatan.
7. Pada stasiun 7 kami menemukan batulanau dengan karbonatan. Ketebalan
batulanaun ini adalah 160 cm dan memiliki warna lapuk coklat keputihan
serta warna segarnya coklat. Kebundarannya Angular dan kemasnya tertutup
serta kontaknya berangsur.

76
DAFTAR PUSTAKA
http://alfhadlyblog.blogspot.co.id/2012/11/contoh-laporan-prinsip-
stratifrafi.html

https://kelompok5stratigrafi.wordpress.com/2011/10/29/prinsip-prinsip-
dasar-stratigrafi/

https://id.wikipedia.org/wiki/Stratigrafi

http://materiilmugeografi.blogspot.co.id/2015/12/prinsip-stratigrafi.html

77

Anda mungkin juga menyukai