Anda di halaman 1dari 19

BAB II

MIKROPALEONTOLOGI

2.1 Sejarah Mikropaleontologi


Mikropaleontologi terapan yang kita kenal sekarang merupakan salah satu
ilmu yang kemunculannya masih baru yaitu baru pada abad ke 20. Walaupun
demikian akar ilmu mikropaleontolgi sendiri telah ada sejak zaman dahulu kala.
Herodotus (500 BC) seorang cendikiawan Yunani menemukan sebuah benda
aneh kecil berukuran butir padi yang berserakan di lembah Gizeh, Mesir.
Kemudian yang oleh Strabo (-58 s/d 25 AD) memperkirakan benda aneh yang
ditemukan Herodotus merupakan sisa-sisa makanan para pekerja piramid,
walaupun kemudian tanggapan Strabo ini kemudian dipatahkan melalui ilmu
mikropaleontologi sekarang dimana benda aneh berukuran butir padi tersebut
dikenal sebagai fosil dari nummulites.
Perkembangan ilmu pengetahuan di eropa sendiri setelah masa
Renaissance telah berkembang pesat. Penemuan mikroskop oleh Anton van
Leeweenhoek (1632-1732) telah menyebabkan perhatian orang terhadap
organisme kecil termasuk jasadnya menjadi semakin besar. Dengan adanya
inovasi besar yang pada zaman tersebut beberapa peneliti telah mulai menggali
dan mulai memberikan pengetahuan baru mengenai kehidupan mikroragnisme
khusunya mikrorganisme pada masa lampau, seperti Beccarius (1731)
menggambarkan dan menuliskan laporanya tentang penemuan cangkang keong
kecil dari batu-pasir Pliosen di dekat kota Bologna, Italia. Lalu disusul oleh
penemuan Janus Plancis (1739) tentang foraminifera dari pasir pantai Laut
Adriatik yang kemudian dipublikasikan dalam bentuk monograf. Walaupun
demikian keterkendalaan pengetahuan dan masih barunya pemahaman para ahli
tentang fosil tersebut menyebabkan fosil-fosil yang mereka temukan masih
masuk kedalam golongan cacing kecil atau Chepalopoda/Gastropoda.
Baru beberapa tahun kemudian, seorang ahli berkebangsaan swedia, Ch.
de Linne (1758), menerbitkan Sytema natura edisi ke-10 yang berisikan dua
puluh spesies foraminifera dan memasukkannya ke dalam genus Nautilus dan
Serpula. Dalam karyanya Ch. De Linne mengusulkan sebuah tatanama baru

5
6

penggolongan makhluk hidup yang bersifat berganda (binominal) untuk


menggantikan tatanama banyak (Polinominal) yang pada saat itu masih banyak
digunakan. Dalam beberapa waktu kemudian tatanama yang diusulkan oleh de
Linne kemudian menjadi populer karena dianggap praktis dan mudah diterima
sehingga tatanama itu kemudian dikenal sebagai taksonomi Linnean yang telah
umum dan sering digunakan pada ilmu biologi dalam penamaan makhluk hidup.
Pada tahun 1802-1857 Alcide d’Orbigny mengusulkan klasifikasi
foraminifera dalam bukunya yang terkenal, Tableau methodique de la Class des
Cephalopodes. Dialah orang yang pertama kali memberikan nama foraminifera
dan membuat klasifikasinya secara sistematis dan memisahkannya sebagai
golongan yang berdiri sendiri. Karyanya yang memuat lebih dari 1.500 genus
dan sekitarnya 18.000 spesies foraminifera menempati lebih dari 30.000
halaman Catalogue Ellis and Messina. Berdasarkan sejumlah karyanya yang
sangat spektakuler, A.d’Orbigny dianggap sebagai bapak mikropaleontologi
moderen.
Kemudian pada dasawarsa selanjutnya, mikropaleontologi berkembang
dengan sangat pesat dengan ditemukannya banyak famili dan spesies baru,
seperti yang ditulis A.E Reuss (1861) dan menyatakan bahwa foraminifera
dapat dipakai untuk menemukan umur suatu lapisan. Perkembangan penting
selanjutnya terjadi pada tahun 1874, ketika untuk pertama kalinya foraminifera
dipergunakan dalam interpretasi straitigrafi dari suatu umur pemboran di dekat
kota Greifswald (R.D.A.) oleh W. Dames dan L.G. Bornemann. Kemudian,
Brady (1884) meneliti foraminifera dalam ekspedisi Chalenger.
Pada abad ke-21 peran mikropaleontologi juga semakin meluas tidak
hanya untuk menentukan umur lapisan tetapi juga digunakan secara luas dalam
eksplorasi energi. Digunakan foraminifera karena tidak lepas dari pembentukan
sumber energi itu sendiri seperti minyak dan gas yang diyakini para ahli
merupakan perubahan bentuk dari jasad renik makhluk hidup yang mengalami
perubahan komposisi kimia. Sehingga sekarang banyak prusahaan perminyakan
memiliki lab dan memperkejakan ahli mikropaleontologi dalam pencarian
energi.
7

2.2 Definisi mikropaleontologi


Dalam mendefinisikan apa itu mikropaleontologi maka kita harus
mengerti induk dari mikropaleontologi yaitu paleontologi. Paleontologi sendiri
merupakan cabang ilmu geologi yang mempelajari sisa-sisa organisme purba,
baik dari fosilnya maupun jejak kehidupannya yang terekam dalam batuan
sedimen. Secara garis besar, paleontologi dibagi menjadi dua bagian yaitu
bagian yang mempelajari hewan atau paleozoologi dan bagian yang
mempelajari tumbuhan atau paleobotani.
Baik kedunya kemudian dibagi lagi atas beberapa bagian-bagian kecil
yang mana pembagian tersebut berdasarkan ukuran yaitu makropaleontologi
dan mikropaleontologi. Menurut definisinya makropaleontologi ialah cabang
dari paleontologi (paleozoologi/paleobotani) yang mempelajari objek/fosil
yang memiliki ukurannya relatif besar dan dalam pengamatannya tidak
memerlukan alat bantu (mikroskop). Sedangkan mikropaleontologi merupakan
cabang dari paleontolgi (paleozoologi/paleobotani) yang khusus
mempelajari/membahas sisa-sisa organisme yang berukuran kecil
(miskroskopik) sehingga dalam pelaksanaannya mempergunakan alat bantu
seperti mikroskop.
Objek yang dijadikan kajian pembahasan atau pembelajaran dalam ilmu
mikropaleontolgi disebut mikrofosil. Mikrofosil sendiri memiliki pengertian
yaitu fosil (biasnya berukuran kecil) yang sifatnya dan strukturnya bisa
dipelajari paling baik dengan menggunakan mikroskop (Jones, 1936). Secara
lebih jauh lagi dapat dijabarkan menjadi sisa-sisa organisme bersel tunggal dan
bersel banyak ataupun fragmen dari kegiatan mikroorgaisme. Sebagai
contohnya adalah sebagai berikut:
1. Golongan binatang: radiolaria, foraminifera, ostracoda,
conodonta, bryzoa dan lain-lain
2. Golongan tumbuhan: diatomae, flagellata, polen, dinoflagelata,
dan lain-lain.
8

Jika kita meninjau dari beberapa penggolongan yang dapat dianggap


sebagai mikrofosil maka pengklasifikasian mikrofosil yang menjadi titik
pengamatan/pembelajaran mikropaleontolgi tidak sebatas pada foraminifera,
tetapi juga seluruh makhluk hidup bisa berupa invertebrata dan vertebrata yang
mana strukturnya membutuhkan alat bantu dalam pembelajarannya misal
mikroskop.
Jadi jika dapat disimpulkan mikropaleontologi ialah merupakan ilmu yang
mempelajari seluruh makhluk hidup berukuran mikroskopik dimana dalam
pengamatannya memerlukan alat bantu berupa mikroskop. Dalam mempelajari
mikrofosil sendiri terdapat goal/tujuan yang harus didapatkan oleh seorang
mikropaleontologist sebagai pengamat yaitu:
1. Morfologi dari fosil misal bentuknya, struktur mikofosil, serta
komposisi kimia dan mineral dari mikrofosil yang tengah diamati
2. Membuat klasifikasi dan mengurutkan asal-usul mikrofosil itu
dalam suatu sistematiaka yang betul
3. Mempelajari hubungan antara mikrofosil tersebut dengan
peranannya dalam sedimentasi batuan, paleogeografi, stratigrafi,
dan paleobiologinya.

2.3 Kajian Mikropaleontologi


Dalam definisi mikropaleontologi seperti yang telah disinggung diatas
objek yang dikaji/diamati merupakan seluruh makhluk hidup yang memiliki
ukuran mikroskopik dan dalam pengamatannya memerlukan mikroskop sebagai
alat bantu dalam proses pengamatan. Tetapi dalam pengamtan yang telah
dilakukan sangat jarang sekali ditemukan sebuah fosil vertebrata berukuran kecil
yang dapat dijadikan objek pengamatan, sekiranya yang paling sangat banyak
didapati menjadi objek pengamatan pada lab adalah fosil makhluk-makluk
invertebrata/avertebrata seperti:
1. Rhizaria: foraminifera, radiolaria, dan lain-lain
2. Chromalveolata: diatom, dinoflagellates, cocoliths (ganggang
coklat keemasan)
9

3. Opisthokonta: fungi, choanoflagellates (kerabat spons), dan lain-


lain
4. Archaeplastida/platae: tanaman, charophytes/ganggang hijau,
ganggang merah
5. Amoebozoa: amoeba dan jamur lendir
6. Excavata: beberapa flegelata (euglena, giardia, trichomonas,
leishmania)
Semua urutan diatas merupakan supergrup dalam pengklasifikasian dari
organisme multisel dan organisme bersel tunggal/eukariota atas dasar kesamaan
genetik. Tidak semua dalam supergrup dipergunakan secara luas di
mikropaleontologi beberapa ada yang tidak terlalu diperdalam dalam
pengembangannya dikarenakan adanya beberapa faktor yang kurang
mendukung kontribusinya dalam mikropaleontologi. Dalam penulisan laporan
ini supergrup yang paling sering digunakan ialah supergrup Rhizaria khususnya
foraminifera.

2.4 Pengenalan Foraminifera


Foraminifera merupakan binatang yang terdiri dari suatu sel yang sangat
sederhana, sel tersebut terdiri dari protoplasma dan terdiri dari satu buah inti atau
banyak, yang merupakan ke-khasan foraminifera adanya kaki pseudopodia/kaki
semu yang berfungsi sebagai alat penggerak dan menangkap mangsa.
Foraminifera merupakan hewan bercangkang, di mana cangkang tersebut
terbentuk oleh protoplasmanya ataupun dari material-material asing
disekitarnya. Cangkang pada foraminifera sendiri bisa berupa organik ataupun
non-organik.
Umumnya dalam menjumpai foraminifera tempat hidupnya pasti tidak akan
jauh dari lingkungan perairan seperti laut, danau, rawa, dan lain-lain. Eksistensi
foraminifera sudah ada sejak zaman dahulu sekitar pada zaman prakambrium
dan sekarang tetap bertahan. Sehingga ada anggapan foraminifera merupakan
kelompok yang paling berharga dari ordo-ordo lain pada kelas sarcodina
10

disebabkan ia lebih banyak dijumpai dan dapat dijadikan penentuan umur relatif
yang baik.
Dalam bentuk ukuran umumnya foraminifera terbagi atas dua ukuran yaitu
besar sering disingkat sebagai Large Benthic Foraminifera (LBF) dan
foraminifera kecil. Walaupun berukuran besar foraminifera besar dalam
pengamatannya juga dipelajari menggunakan mikroskop untuk mempelajari
struktur internalnya yang dalam laporan ini tidak akan dipelajari lebih dalam.

2.4.1 Biologi dan Morpologi.


Dari pengetahaun yang ada mengenai biologi foraminifera diketahui
bahwa foraminifera merupakan salah satu makhluk yang masuk kedalam filum
protozoa. Protozoa sendiri merupakan makhluk yang sederhana bisa dikatakan
primitif dimana sel inti pada makhluk tersebut dikelilingi oleh sebuah
sitoplasma. Dimana seluruh sel yang ada pada organisme tersebut bertindak
sebagai melakukan segala fungsi tubuh seperti tempat bernapas, tempat
mengolah makanan, sekresi, dan lain sebagainya. Sitoplasma sendiri bisa berupa
satu buah atau sekumpulan sitoplasma, dimana sitoplasma ini dapat berubah atau
digunakan menjadi kaki semu/pseudopodia. Kaki semu ini ternyata akan
menjadi penciri khas pada bagian cangkang yang umumnya kaki ini sangat
panjang dan dijadikan alat renang serta untuk menangkap mangsa. Terdapat
keunikan tersendiri pada bagian kaki semu ini yaitu pada cangkang yang
perforate yaitu kaki ini berada pada bagian berpori cangkang dan pada cangkang
imperporate ada pada bagian aperture atau aperture opening.
11

Gambar 2, stuktur luar foraminifera “Reticulopodia” kumpulan pseudopodia, sumber:


http://www.biozoomer.com/2014/03/elphidium-or-polystomella-structure.html

Gambar 3, stuktur dalam foraminifera, sumber:


https://paleonerdish.files.wordpress.com/2013/06/clip_image001.jpg

Foraminifera memilki banyak sekali cara hidup diantaranya mereka telah


mengadopsi cara hidup seperti bentik atau sering disebut bottom-
dwelling/perayap dasar laut, dan palagis atau free-floating/melayang bebas,
didalam bentik sendiri terbagi lagi atas cara hidup epifaunal yaitu perayap dasar
laut/bergerak aktif dan infaunal atau penggali dasar laut/bergerak pasif.
Pembelajaran lebih lanjut menunjukan terdapat perbedaan cara hidup anatara
foraminifera besar dan foraminifera kecil, hal ini ditunjukan melalui adanya
12

reproduksi seksual pada tingkat dewasa dengan perkembangbiakan yang lambat,


umur yang panjang, jumlah progenitas (jumlah keturunan) yang kecil, bersifat
iteroparity (reproduksi terus-menerus) yang terdapat pada foraminifera besar
dan sebaliknya foraminifera kecil mengembangkan cara hidupnya dengan cara
berkembang biak secara cepat pada tingkat dewasa, dapat juga berupa aseksual
dalam beberapa grup, hidup yang pendek, memiliki banyak progenitas, dan
bersifat semelparity (reproduksi sekali seumur hidup).
Menyangkut pada cara makan foraminifera, maka foraminifera dapat
seperti protozoa bisa berupa hewan yang dapat mengambil tempat pada rantai
makanan seperti zooplankton atau zoobenthos, dan juga sebaliknya menjadi
produsen. Pada zooplankton makanan atau mangsanya berupa bakteri, algae atau
sisa organisme (bangkai). Secara luas apabila dikelompokan foraminifera
terbagi atas beberapa kelompok menurut makanannya yaitu ada:
1. Cara parasit.
2. Dengan cara bersimbiosis.
3. Dekomposer (pembersih/pengurai).
4. Detrius atau yang hidup pada hasil uraian organik atau non-
organik, contoh: tanah,lumpur, dan lain-lain.
5. Detrifikasi unsur nitrogen dalam air.
6. Cara hidup suspensi, yaitu cara hidup dengan memakan material
yang terlarut dalam air dan menyaring makanan tersebut baik
organik maupun non-organik.
Seperti layaknya kehidupan foraminifera juga berkembang dalam proses
pertumbuhannya umumnya perkembangannya bisa berupa perkembangan terus-
menerus atau berupa perkembangan ukuran kamar dimana kamar berupa satu
kamar, atau juga perkembangan dengan membentuk kamar-kamar baru setelah
kamar utama sudah cukup berkembang. Mengenai cara reproduksinya
foraminifera diketahui dapat melakukan reproduksi secara seksual ataupun
aseksual tergantung pada lingkungan tempat ia tinggal. apabila lingkungan
tempat ia berada tidak memungkinkan maka ia akan melaukukan kegiatan
reproduksi secara aseksual dan apabila lingkungan hidup memungkinkan untuk
13

hidup maka ia akan melakukan kegiatan seksual. Ada sebuah keunikan tersendiri
pada foraminifera yang bereproduksi secara aseksual dan seksual yaitu dengan
melihat ukuran kamar utama/procolum apabila kamar utama lebih besar dari
cangkang maka disebut megalospheric yang menunjukkan ia berkembang secara
aseksual apabila kamar utama kecil dari cangkang disebut sebagai mikrospheric
berarti ia berkembang secara seksual. Gejala ini dikenal dengan sebutan
dimorphism dan apabila berlanjut disebut trimorphism apabila ada perubahan
bentuk pada ketiga kalinya pada cangkang.

2.4.1.2 Morfologi
Foraminifera sebagai makhluk hidup cukup membuat banyak
keunikan tersendiri dalam mempelajarinya sebab melalui morfologinya
kita bisa melihat keanekaragaman hidup dalam bentuk morfologi. Seperti
bentuk yang paling sederhana yang hanya berupa bentuk tabung dengan
satu apertur pada satu sisi atau kedua sisinya. Lebih lanjut lagi secara
pembagian susunan kamar yang ditampilkannya juga masuk kedalam
bentuk-bentuk paling lanjut.
Seperti yang telah dijelaskan diatas keunikan yang ditampilkan
foraminifera dalam bentuk morfologinya telah banyak membuat para
peneliti mempelajari bentuk-bentuk yang ditampilkannya. Salah satu hasil
yang dapat sekarang diketahui dari bentuk fisik foraminifera adalah
struktur dari cangkangnya dimana struktur cangkangnya memiliki banyak
berbagai macam struktur seperti yang paling umum di kelompokan adalah
agluitin/arenaceous, khitin, gamping/kapur, dan silika.
1. Dinding khitin/tektin
Dinding khitin atau tektin merupakan bentuk dinding yang paling
primitif pada foraminifera. Dinding ini terbuat dari zat organik
menyerupai zat tanduk, fleksibel, dan transparan, biasanya berwarna
kuning dan tidak berpori (impperforate). Foraminifera yang
mempunyai bentuk sperti ini jarang ditemukan sebagai fosil (kecuali
golongan Allogromidae). Beberapa golongan foraminifera lainnya
14

seperti Miliolidae, Lituolidae, dan beberapa jenis Astrorrhizidae,


sebagaian dari dinding cangkanya juga terbuat dari khitin, tetapi
biasanya hanya melapisi bagian dalam test.
Menurut Cushman sendiri dinding seperti ini merupakan bentuk
paling primitif dari foraminifera yang kemudian selanjutnya akan
berubah menjadi dinding aglutin atau arenaceous.
2. Dinding aglutin/arenaceous
Dinding test yang terbuat dari material asing yang direkatkan satu
sama lain dengan semen. Berdasarkan kualitasnya, maka ukurannya
dan bentuk material yang dipergunakan dapat dibedakan menjadi dua.
Pada dinding arenaceous, material asing hanya terdiri atas butiran
pasir saja, sedangkan pada dinding aglutin material asing berupa
bermacam-macam material asing disekitar foram yaitu cangkang
foram lain, lumpur, spikula foram, dan lainnya. Biasanya dinding ini
mempunyai lapisan khitin di dalamnya.
Berdasasarkan penelitian lebih lanjut pada foram jenis ini
terdapat peristilahan “four main functional morphological groups”
atau disebut morphogrup/morphogroups peristilahan ini didapat dari
cara pengamatan eksperimental pada laboratorium dan eksplorasi
yang dimana foraminifera ini yang melalui bentuk tesnya dimana
diketahui terdapat empat bentuk foraminifera dengan cara hidup dan
cara makan yang berbeda. Empat besar grup tersebut dapat dibagi
menjadi:
a. Morphogrup A dengan bentuk tubular, cara hidup bentik sesil
berupa epifaunal, tertambat pada dasar laut berlumpur, makanan
dengan cara suspensi
b. Morphogrup B dengan bentuk globular/bulat sampai , cara hidup
bentik berupa sesil bersifat epifaunal, dan termasuk
detritivor/pengurai.
c. Morphogrup C dengan bentuk memanjang, cara hidup bentik
berupa sesil bersifat epifaunal, bersifat pengurai/detritivor.
15

d. Morphogrup D dengan bentuk conical/corong hidup melekat


pada tumbuhan air/epipphytic, dengan cara makan
herbivora/makan tanaman.

Gambar 4, cara hidup foraminifera, sumber:


https://paleonerdish.files.wordpress.com/2013/06/clip_image001.jpg

Morphogrup A memiliki karakteristik yaitu hidup pada


lingkungan atas-kebawah batial, khusunya ditemukan pada
lingkungna kipas bawah laut tempat ini memdakan grup ini dengan
grup suspensi yang lainnya. Morpho grup B keterdapatannya pada
seluruh tempat lingkungan perairan, tetapi ia secara khusus menjadi
penciri khas lingkungan laut dalam, menengah-kebawah batial dan
abysal, pencirikhas lingkungan laut dalam karena jumlahnya sangat
banyak yang disebabkan oleh jumlah material organik di dasar lantai
samudra. Morpho grup C juga hidup pada semua lingkungan, tetapi
16

lebih banyak ditemui pada lingkungan laut dangkal sampai dengan


lingkungan menengah dari lautan. Morpho grup D lingkungan laut
marginal, khususnya delta lingkungan menyebar dari atas-menengah
lingkungan delta.

Gambar 5, stuktur morfologi bawah laut, sumber:


https://belajar.kemdikbud.go.id/file_storage/modul_online/mol201/ur1_7_morfologi.jpg

3. Dinding silikaan
Dinding tipe yang jarang ditemukan. Material silikaan dapat
dihasilkan oleh organisme itu sendiri atau dapat juga merupakan
material sekunder dalam pembentukannya. Contoh foraminifera yang
dapat mempunyai dinding silikaan adalah golongan Ammodiscidae,
Hyperamminidae, Silicimidae, dan beberapa spesies dari golongan
Miliodae.
4. Dinding gampingan
Williamson (1958), dalam pengamatannya pada foraminifera
resen, mengklasifikasikan tipe dinding gampingan ini menjadi dua,
yaitu dinding porselen dan hyalin. Tetapi, selain kedua tipe ini masih
terdapat tipe dinding gampingan lain, yaitu tipe dinding gampingan
yang granuler dan kompleks. Jadi, terdapat empat tipe dinding
gampingan, yaitu:
a. Dinding porselen
17

Terbuat dari zat gampingan, tidak berpori, mempunyai


kenampakan seperti porselen, dengan sinar langsing (episkopik)
berwarna opak (buram) dan putih, dengan sinar transmisi
(diaskopik) berwarna amber.
Galloway (1933), dengan sinar X, ,meneliti dinding porselen
ini dan menyimpulkan bahwa tipe dinding ini terdiri atas krisral
kalsit yang krypto-kristalin. Sementara itu, Cushman & Warner
(1940) beranggapan bahwa tipe ini merupakan campuran dari zat
gampingan dan khitin sehingga menimbulkan warna amber.
Contoh foraminifera berdinding porselen adalah golongan
Miliolidae seperti Quinqueloculina, Triloculina, Pyrgo dan
golongan Peneroplidae seperti Peneroplis, Sorites, dan
Orbitolites.
b. Dinding hyalin (vitrocalcarea)
Hampir kebanyakan foraminifera mempunyai dinding tipe
ini. Tipe dinding ini merupakan dinding gampingan yang bersifat
bening dan transparan, berpori. Umumnya, yang berpori halus
dianggap lebih primitif daripada yang berpori kasar. Golongan
Nadosaridae, Globigerinidae, dan Polymorphinidae mempunyai
diameter pori sekitar 5-9 mikro meter, sedangkan beberapa jenis
lain seperti Anomalina, Planulina, dan Chibidides besar lubang
porinya lebih kurang 15 mikro meter.
c. Dinding gampingan yang granular
Kebanyakan foraminifera yang hidup pada zaman
paleozoikum (terutama paleozonik) mempunyai dinding
cangkang yang teridri dari kristal kalsit yang granular tanpa ada
material asing atau semen, seperti pada Edothyra, beberapa
spesies Bradyina, Hyperammina dan beberapa bentuk yang
menyerupai Ammodiscus atau Spirillina. Plummer (1930) dan
beberapa penulis lain beranggapan bahwa materi pembentuk
18

dinding ini dihasilkan oleh binatang itu sendiri. Dalam sayatan


tipis, dinding ini tampak gelap.
d. Dinding gampingan yang kompleks
Dinding tipe ini terdapat pada golongan Fusulinidae (foram
besar); mempunyai beberapa lapisan yang berdasarkan lapisan-
lapisan tersebut kita dapat membedakan antara tipe fusulinidae
dan schwagerenid.

Gambar 6, macam cangkang gampingan, sumber: https://lh4.ggpht.com/_ws37-LV0eUA/SXl5xCn-


4zI/AAAAAAAAAGs/ScDoFJCrUT0/foraminifera%20wall_thumb%5B2%5D.jpg?imgmax=800

Foraminifera yang telah terawetkan atau telah menjadi fosil umumnya


meninggalkan cangkangnya saja ketika menjadi fosil. Cangkang ini biasanya terdiri
dari beberapa atas sebuah kamar atau lebih yang dibatasi oleh sekat. Sekat ini
dikenal sebagai septa bisa dilihat hanya pada bagia dalam ketika disayat sedangkan
untuk menenntukan sekat yang berada diluar mengguanakan suture yaitu garis yang
nampak terlihat pada permukaan cangkang foraminifera. Selain dari kedua bentuk
diatas terdapat pula sebuah apertur. Aperture disini berfungsi sebagai tempat
pertemuan foraminifera dengan dunia luar atau sebagai tempat segala kegiatan
kehidupan seperti makan dan membuang hasil sisa metabolisme tubuh. Disamping
19

aperture terdapat kamar utama/kamar awal yaitu kamar yang pertama kali terbentuk
ketika foram tersebut ada.
Bentuk cangkang pada foraminifera sendiri cukup banyak dan dalam berbagai
bentuk hal ini sebagai bentuk cara hidupnya. Pada umumnya foraminifera
membentuk cangkang yang biasanya terdiri atas satu atau beberapa kamar.
Berdasarkan jumlah kamar yang dipunyainya, yang kita kenal:
1. Monotalamus test (uniloculer): cangkang foraminifera yang terdiri atas satu
kamar.
2. Politalamus test (multiloculer): cangkang foraminifera yang terdiri atas
banyak kamar.
Jika dipahami lebih lanjut pada saat kegiatan praktikum uumnya kelompok
monotalamus lebih banyak didominasi oleh kelompok bentonik. Dengan berbagai
macam bentuk misal bulat, memanjang, memipih, tabung, dan lain-lain. Sementara
itu, bentuk susunan kamar cangkang politalamus lebih rumit daripada
monotalamus. Berdasarkan bentuk akhir susunan kamarnya, secara umum
cangkang politalamus dapat dibedakan menjadi:
1. Uniformed test: terdiri atas satu macam kamar, contoh: Nodosaria
2. Biformed test: terdiri atas dua macam kamar, contoh: Heterostomella
3. Triformed test: terdiri atas tiga macam kamar, contoh: Vulvulina
4. Multiformed test: terdiri atas banyak macam kamar, sangat jarang dijumpai.
20

Gambar 7, macam dasar cangkang, sumber:


http://images.slideplayer.info/35/10637290/slides/slide_3.jpg

Susunan kamar yang seragam (uniformed test) dapat diperinci lagi


berdasarkan kamarnya sebagai berikut:
1. Uniserial: terdiri atas satu baris kamar yang seragam . bentuk ini
masih dapat dibedakan lagi menjadi:
a. Linier dan mempunyai leher: cangkang yang teridiri atas satu
barisan kamar yang membulat satu sama lain yang
dipisahkan oleh stolon (leher), contoh: Nodosaria
b. Curvilinier: cangkang uniserial yang melengkung,contoh:
Dentalina
c. Equitant: cangkang sama seperti Linier tetapi tidak terdapat
stolon sebagai sekat antar kamar, sehingga kamar yang satu
meneutupi kamar yang lainnya (overlap),contoh: Glandulina
2 Cangkang uniserial yang terputar dapat dikelompokkan lagi atas
beberapa bentuk seperti berikut:
21

a. Planispiral coiled test: cangkang yang berputar pada pada


satu bidang, contoh: Endothyra
b. Nautiloid test: cangkang yang kamarnya berupa tumpang
tindih antar satu dengan yang lainnya atau menyelubungi
kamar lainnya, terutama pada bagian umbilicus sehingga
kamarnya lebih besar di tepian (periphery) daripada bagian
pusatnya (umbilicus), contoh: Nonion
c. Involute test: cangkang dengan putaran kamar akhir yang
menutupi kamar awal, sehingga hanya putaran kamar akhir
saja yang terlihat,contoh: Lenticulina
d. Evolute test: cangkang yang putaran kamarnya terlihat jelas,
contoh: Operculina
e. Rotaloid test: cangkang dengan paduan evolute dan involute,
dimana kamarnya pada bagian dorsal (belakang) putaran
kamarnya terlihat dan sebaliknya kamar di depan (ventral)
hanya terlihat putaran kamar akhir saja, contoh: Rotalia
f. Helicoid test: cangkang uniserial dengan kamarnya tersususn
dalam susunan putaran yang khas yang tinggi lingkarannya
(coiling) cepat sekali membesar, contoh: Globegerina
3 Biserial cangkang yang terdiri dari dua baris kamar yang letaknya
saling berselingan, contoh: Bolivina
4 Triserial cangkang yang terdiri dari tiga baris kamar yang letaknya
saling berselingan, contoh: Uvigerinas
Lalu salah satu bagian yang terpenting pada morfologi foraminifera adalah
bagian aperture tempat ini penting karena merupakan satu-satunya tempat
foraminifera dapat berkomunikasi dengan dunia luar dari cangkangnya.
Aperture sendiri ialah sebuah lubang yang berfungsi untuk memasukkan
makanan dan juga mengeluarkan protoplasma. Hasil dari penelitian
menyebutkan tidak semua foram memiliki aperture, terutam golongan foram
besar yang tak akan dibahas secara lanjut. Ditinjau dari bentuknya, aperture
dapat dibedakan menjadi beberapa klasifikasi berikut:
22

1. Aperture yang bulat sederhana. Berbentuk bulat, sedehana,


biasanya terletak pada ujung kamar akhir. Contoh : Lagena dan
Bathysipon.
2. Aperture yang memancar (radiate). Merupakan sebuah lubang
yang bulat dengan golongan-golongan yang memancar dari pusat
lubang. Contoh : Nodosaria dan Dentalina.
3. Aperture Phialine. Merupakan lubang bulat, mempunyai bibir
(lip) dan leher (neck). Contoh : Uvigerina dan Amphikoryna.
4. Aperture Crescentik. Berbentuk tapak kaki kuda atau busur
panah. Contoh : Nodosarella dan Pleurostomella.
5. Aperture Virguline atau Bulimine. Berbentuk seperti koma (,)
yang melengkung. Contoh : Virgulina dan Bulimina.
6. Aperture yang slit-like. Merupakan aperture yang membentuk
lubang sempit yang memanjang. Contoh : Sphaeroidinella dan
Pullenia.
7. Aperture Ectosolenia. Aperture yang memiliki leher yang pendek.
Contoh : Ectosolenia dan Oolina.
8. Aperture Entosolenia. Aperture yang mempunyai leher dalam
(internal neck). Contoh : Fissurina dan Entosolenia.
9. Aperture Multiple, Cribrate dan Accesory. Aperture yang terdiri
dari beberapa lubang bulat dan kadang-kadang membentuk
saringan (cribrate) atau terdiri dari satu lubang utama dan
beberapa lubang bulat yang lebih kecil (accessory). Contoh :
Elphidium dan Cribrostomum.
10. Aperture dendritik. Berbentuk seperti ranting pohon (denrit)
terletak pada “septal-face”. Contoh : Dendritina
11. Aperture yang bergerigi. Berbentuk lubang yang melengkung
dimana dalamnya terdapat tonjolan menyerupai gigi (single tooth,
bifid tototh). Contoh : Pyrgo dan Quinquelokulina.
12. Aperture yang berhubungan dengan Umbilicus. Biasanya
merupakan lubang yang berbentuk busur, ceruk ataupun persegi
23

kadang-kadang dilengkapi dengan bibir (lip), gigi-gigi, ataui


ditutupi dengan selaput tipis (bulla). Contoh : Globigerina,
Globoquadrina dan Globigerinita.
Ditinjau dari kedudukanya pada cangkang foraminifera, aperture dapat dibedakan
menjadi 3 jenis yaitu:
1 Aperure terminal, yaitu aperture yang terletak pada ujung kamar
terakhir, contoh: Cornuspira
2 Aperture pada apertural face, yaitu apertur yang terletak pada
permukaan kamar yang terakhir, contoh: Cribrohantkenina
3 Aperture periferal, yaitu aperture yang memanjang dari bagian
umbilicus ke arah tepi, contoh: Globorotalia.
Ornamentasi atau hiasan pada cangkang foram juga merupakan bagian penting dari
morfologi foram. Sebab melalui hiasan atau ornamentasi ini kita dapat meilihat tipe
bentuk kehidupannya tempat ia hidup. Secara ddefinisinya hiasan atau ornamentasi
adalah aneka struktur mikro yanh menghiasi bentuk fisik cangkang foram.
Beberapa bentuk hiasan dapat dijumpai pada cangkang foram dapat dilihat pada
gambar 7.

Gambar 8, macam ornamen, sumber: https://2.bp.blogspot.com/-


5O49JQQuITw/UgneviQ3QkI/AAAAAAAAANU/Mpmc8cf29gQ/s1600/ornamentasi.jpg

Anda mungkin juga menyukai