Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH EVOLUSI

TENTANG
“EVOLUSI PRIMATES DAN PERKEMBANGAN MENUJU
MANUSIA MODREN”

KELOMPOK 7
1. NOVITA SARI / 15300600046
2. RAHAYU SURYANI / 15300600052
3. RAHMI AFRIDA SARI / 15300600054

BIOLOGI VI B

DOSEN PEMBIMBING
RESCHA,M.Pd

JURUSAN TADRIS BIOLOGI


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BATUSANGKAR
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Teori evolusi menjadi semacam landasan ilmiah bagi materialisme, dasar
pijakan ideologi komunisme. Dengan merujuk teori evolusi, komunisme
berusaha membenarkan diri dan menampilkan ideologinya sebagai sesuatu yang
logis dan benar. Karena itulah Karl Marx, pencetus komunisme, menuliskan The
Origin of Species, buku Darwin yang mendasari teori evolusi dengan “Inilah
buku yang berisi landasan sejarah alam bagi pandangan kami”. Namun faktanya,
temuan-temuan baru ilmu pengetahuan modern telah membuat teori evolusi,
dogma abad ke-19 yang menjadi dasar pijakan segala bentuk ajaran kaum
materialis, menjadi tidak berlaku lagi. Dan ilmu pengetahuan menunjukkan
bahwa segala yang ada merupakan hasil ciptaan sesuatu yang lebih tinggi. Perlu
diketahui bahwa evolusionis tidak memiliki bantahan terhadap buku yang sedang
Anda baca ini. Mereka bahkan tidak akan berusaha membantah karena sadar
bahwa tindakan seperti itu hanya akan membuat setiap orang semakin paham
bahwa teori evolusi hanyalah sebuah kebohongan.
Dari latar belakang tersebut, maka kami akan menjelaskan tentang evolusi
primates.

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu :
1. Menjelaskan radiasi adaptif primates
2. Menjelaskan informasi non genetic
3. Menjelaskan kaitan evolusi koltural dan evolusi biologic
4. Menjelaskan potensi manusia dalam evolusi
5. Menjelaskan manusia modren
BAB II
PEMBAHASAN

A. RADIASI ADAPTIF PRIMATES


Dalam biologi evolusioner, radiasi adaptif adalah proses di mana
organisme berubah secara cepat menjadi beberapa bentuk baru, khususnya saat
ada perubahan lingkungan yang membuat adanya sumber baru dan membuka
niche ekologi tertentu. Berawal dari moyang yang sama, proses ini menghasilkan
spesiasi dan dan adaptasi fenotipe berbagai spesies menunjukkan ciri-ciri
morfologi dan fisiologis yang berbeda dari mereka yang dapat memanfaatkan
berbagai lingkungan yang berbeda (Wikipedia).

Gambar 1: Spesies Finch (Wikipedia)

Empat dari 14 spesies finch yang ditemukan di Kepulauan Galápagos,


dianggap disebabkan oleh radiasi adaptif yang membedakan bentuk paruh
mereka sesuai dengan sumber makanannya.
Salah satu pola umum evolusi adalah berkembangnya suatu spesies
menjadi beberapa spesies turunan secara radiasi adaptif atau sering disebut
sebagai pola evolusi divergen (evolusi bercabang). Radiasi adaptif adalah
spesiasi yang berlangsung cepat ke banyak arah, terjadi bila suatu populasi
memasuki suatu kawasan geografi baru atau berkembang ke arah cara hidup
baru. Divergensi evolusi cenderung menghasilkan organ-organ yang homolog,
salah satu contoh radiasi adaptif adalah keanekaragaman hewan marsupialia di
Australia. Dengan tidak adanya mamalia berplasenta maka marsuplialia
berkembang menjadi berbagai bentuk: perumput (kangguru), pelubang (tikus),
mirip tupai (phalanger), mirip kelinci (walabi), karnivor mirip anjing (srigala)
dan lain-lain. Pada dunia tumbuhan banyak terjadi radiasi adaptif ini
(Unila.ac.id).
Jika kita contohkan evolusi adaktif ini pada sebuah keluarga, maka
diumpamakan manusia yang mempunyai keturunan dan melahirkan anak.
Kemudian mempunyai cucu, lalu mereka tersebar dan tidak hidup pada satu
tempat yang sama. Sehingga pola kehidupan mereka berbeda satu sama lain
menyesuaikan dengan lingkungan yang mereka huni dan pekerjaan yang mereka
lakukan.
Perkembangan evolusi primata dimulai dari moyang yang berupa hewan
mammalia pemakan serangga menurunkan Prosimian yang hidup pada zaman
Paleosin. Hewan ini bertubuh kecil seperti cecurut, bermoncong, dan berekor
panjang. Mereka tangkas dan cerdas, mempunyai organ-organ penggenggan dan
lima jari. Dari prosimian perkembangan radiasi evolusi menuju 4 golongan besar
yang masih tetap hidup sekarang ini, yaitu :
1. Prosimian Modern
Kelompok besar pertama yakni prosimian modern, yang termasuk
kelompok ini adalah lemur dan loris, sekarang hidup di pulau Madagaskar.
Hewan-hewan ini masih mempunyai moncong dan ekor yang panjang,
berkuku, bukan cakar dengan kemampuan untuk memanipulasi obyek, hal
ini merupakan ciri utama primata.
Hewan lain yang termasuk prosimian modern ialah Tarsier (binatang
hantu), hidup di Asia Selatan dan Indonesia (daerah pantai Kalimantan,
Sulawesi, dan Sumatera). Pada hewan ini tidak dijumpai lagi moncong yang
panjang, mata lebih ke depan tidak seperti mata lemur yang agak kesamping.
Oleh karena itu, Tarsier dapat memfokuskan satu titik dengan kedua
matanya. Nampak adanya peningkatan pada alat-alat penglihatan dan
mekanisme saraf yang memberikan kemampuan untuk kedalaman persepsi
(binocular stereoscopic vision) dan penglihatn warna pada tahap-tahap
beranekaragam.
2. Ceboidea (Monyet Dunia Baru)
Ceboidea hanya hidup pada lingkungan pohon dan ditemukan di
daerah hutan-hutan sebelah selatan Amerika Utara, Amerika Tengah, dan
Amerika Selatan. Mereka terbagi menjadi dua famili, yakni Callithricidae
dan Cebidae. Callithricidae atau marmoset adalah Primata kecil yang telah
menempati niche seperti bajing di hutan dunia baru. Perkembangan yang
menonjol pada cakar untuk memanjat yang merupakan bagian penting dari
pergerakan mereka. Ceboidae hidup di lingkungan pohon. Namun lebih
berkembang dibandingkan dengan Callithricidae. Mereka mengembangkan
beraneka ragam besar tubuh dan adaptasi ekologis di npohon-pohon.
Beberapa anggota Cebidae telah beradaptasi dengan cara hidup di
lingkungan pohon dengan jalan mengembangkan “kaki ke-5” dalam bentuk
ekor prehensil (penggenggam). Ekor prehensil tidak hanya terdapat pada
monyet dunia lama.

3. Cercopithecoidea (Monyet Dunia Lama)


Semua primata dunia lama kecuali prosimian adalah catarrhini (hidung
terbelah). Monyet-monyet dunia lama diklasifikasikan dalam satu famili
yakni Cercopithecidae yang terbagi menjadi 2 sub famili, yaitu
Cercopithecinae (Monyet babon) dan Colobinae (monyet pemakan daun).
a. Colobinae
Colobinae hidup beradaptasi makan daun vegetasi muda. Mereka
mempunyai puncak gigi yang tajam pada gigi molar, kantung pipi
khusus, dan bentuk perut khusus untuk mencernakan makanan.
Pencernaan dilakukan dengan bantuan bakteri yang hidup pada
perutnya yang mirip dengan kantung. Langur (sebutan untuk beberapa
Colobinae) mendiami banyak habitat. Beberapa diantaranya di
gunung-gunung tinggi dengan sedikit pohon dan makanya tergantung
pada puncak-puncak cemara dan kulit pohon dan dedauna.
b. Cercopithecinae
Sub famili ini beraneka habitat, mulai dari savana terbuka
(babon, macaques, monyet pantas) sampai hutan (mandril, mangabey,
dan quenon). Tingkah laku sosial babon dan Cercopithecinae terestrial
banyak dipelajari oleh ahli anthropologi untuk mengetahui faktor-
faktor lingkungan dan ekologi yang menolong membentuk nenek
moyang manusia.

4. Hominoidea
Kelompok ini muncul pada zaman Paleosin. Selama niosin awal
radiasi Hominoidae bercabang menjadi dua yakni Anthropoidea (kera) dan
Hominidae (keluarga manusia). Kedua famili ini ditandai dengan hilangnya
ekor dan berkembangnya ukuran besar badan. Otak Anthropoidae dan
Hominiidae jauh lebih berkembang dan demikian fungsi lebih kompleks.

B. INFORMASI NON GENETIC


Dalam studi biologi kita mengenal adanya informasi-genetik yang
ditransmisikan dari generasi ke generasi, yang memberi gambaran tentang ciri-
ciri biologik makhluk hidup yang bersangkutan, maupun kemungkinan
perkembangannya kemudian, serta kemungkinan asal mulanya, maka pada
manusia selain informasi genetik dikenal adanya informasi non-genetik.
Informasi non-genetik mencakup cara merespons lingkungan dan gejala
perubahannya, kebiasaan perilaku, pola tradisi dan hasil budaya yang
ditransisikan pada keturunannya. Pewarisan ini dan adanya perubahan dari apa
yang diwariskan menunjukkan adanya perkembangan yang semakin kompleks.
Hal yang menarik yang dapat dikemukakan disini adalah pemakaian dan
pembuatan alat untuk menopang eksistensi makhluk hidup. Dengan alat tersebut
makhluk hidup dapat memanfaatkan dan menguasai lingkungan hidupnya, mulai
dari sekedar membantu mempermudah memperoleh buruan, mempertahankan
diri dari lawan-lawannya, berkompetisi dengan makhluk lain untuk memperoleh
makan, membangun tempat berlindung, membuat pakaian, menciptakan seni dan
untuk upacara “keagamaan”.
Dari peninggalan yang diperoleh para ahli berusaha untuk membuat
interpretasi perkembangan evolusi dari aspek psiko-sosial. Sorotan
perkembangan aspek psiko-sosial yang dimaknakan sebagai perkembangan
informasi non-genetik dibatasi dari sorotan terhadap makhluk bipedal, bertumpu,
dan berjalan dengan dua anggota (kaki), yang sikapnya tegak sampai yang
digolongkan pada Homo sapiens.
Berbicara keturunan ada dua hal yang akan diwariskan pada anakan
manusia yatiu informasi genetik dan informasi non-genetik. Informasi genetik
sudah sangat jelas wujudnya, namun informasi non-genetik adalah hasil interaksi
manusia terhadap lingkungan. Karena manusia adalah makhluk yang berakal
membuat informasi non-genetik yang diturunkan semakin kompleks sehingga
pembahasan perkembangan evolusi manusia ditinjau dari aspek psiko-sosial dari
makhluk bipedal sampai Homo sapien.
1. Australopithecines
Karakteristiknya yaitu:
a. Merupakan makhluk bipedal tegak yang paling tua
b. Muncul 8-10 juta tahun yang lalu
c. Digolongkan sebagai hominid (pra-manusia)
d. Australopitthecus africanus (5,5 juta tahun yang lalu)
e. Australopitthecus afarensis (3,5 juta tahun yang lalu)
f. Australopitthecus robustus dan Australopitthecus boisei (2-1 juta tahun
yang lalu)
g. Pemakan daging dan pemakan tumbuhan
h. Mengenal alat dari batu untuk berburu dan untuk melawan musuh
i. Homo habilis, Australopithesin yang paling maju, tidak sekedar
memakai alat tapi juga membuatnya

1. Homo erectus
Karakteristiknya yaitu:
a. Manusia kera yang memiliki ciri-ciri manusia
b. Mampu membuat alat yang lebih baik dari alat yang dibuat Homo
habilis dengan variasi yang lebih banyak
c. Alat dari batu dan kayu
d. Mengenal api dan mengenal alat penghasil api
e. Pemburu ulung dan sudah bermasyarakat
f. Meganthropus palaeojavanicus (600-500.000 tahun yang lalu)
g. Homo erectus Pekinensis (500.000 tahun yang lalu)

2. Homo Neanthertalensis
Karakteristiknya yaitu:
a. Hidup sekitar 150.000-60.000 tahun yang lalu
b. Mengenal alat berburu, alat mempertahankan diri, alat makan, dan alat
minum
c. Sudah mengenal benih-benih kepercahayaan dengan ditemukanya
kuburan yang dilakukan penguburan dengan cara terhormat
(kepercayaan ada kehidupan sesudah mati)
d. Dianggap sebagai pra-Homo sapien
A B

Gambar 2 : (A) Budaya Penguburan oleh Manusia Neanthertal, (B) Alat-alat


yang dipakai oleh Manusia Neanthertal

3. Homo sapien
Karakteristiknya yaitu:
a. Homo sapien Tua =Manusia Cro-magnon
b. 40.000-10.000 tahun yang lalu
c. kebudayaannya sudah lebih maju
d. mengenal seni lukis dan seni patung dan mengenal pewarna
e. mengenal alat dari batu, kayu, tanduk, jarum
f. berbahasa dan berpakaian
Gambar 3 : Evolusi Manusia

C. KAITAN EVOLUSI KOLTURAL DAN EVOLUSI BIOLOGIC


Evolusi dapat didefinisikan sebagai perubahan atau perkembangan, misalnya
perubahan dari yang sederhana ke yang kompleks. Perubahan yang terjadi
bersifat perlahan-lahan, sedikit demi sedikit. Evolusi merupakan lawan dari kata
revolusi, yang berarti perubahan secara cepat. Bidang-bidang telaah sosial selama
abad ke-19 didominasi oleh teori-teori evolusi dan perkembangan. Konsep
evolusi yang diungkapkan oleh Darwin tentang evolusi manusia menjadi ide
kunci dari konsep evolusi. Pengertian teori evolusi mengalami perkembangan
dari abad ke abad. Pada abad ke-18, evolusi dianggap sama dengan teori human
progress, yaitu teori yang mengatakan bahwa sejarah manusia merupakan
kemajuan yang bertahap dari ke-tak
beradaban dan kesengsaraan menuju sesuatu yang lebih tinggi, cara hidup yang
lebih baik. Teori evolusi, sebagaimana teori progress, menekankan paham
optimisme bahwa dalam perkembangan ini, sesuatu menjadi lebih baik. Lambat
laun kedua teori ini berpisah, karena permasalahan yang timbul semakin
kompleks. Kebudayaan tidak selalu berkembang ke arah yang lebih baik,
sebagaimana menjadi ciri utama teori progress. Berdasar kenyataan inI maka
teori evolusi mendapat tempat tersendiri.
Adanya peninggalan-peninggalan “budaya” yang menunjukkan bahwa
semakin muda umur fosil, semakin kompleks peninggalan “budayanya”. Apakah
peninggalan yang semakin kompleks atau maju itu disebabkan oleh adanya
informasi non-genetik yang ditransmisikan dari generasi ke generasi, tentunya
hal itu yang harus dijawab, kalau kita akan bicara masalah evolusi kultural.
Perkembangan aspek psiko-sosial dari individu tidak lepas dari perkembangan
biologiknya, dan atas dasar inilah orang cenderung untuk mencoba mencari
hubungan antara peninggalan yang mempunyai aspek psiko-sosial dan aspek
ragawinya.
Analisis untuk mencari kaitan dimaksud sudah barang tentu bersifat
interpretatif dengan menggunakan modal objek konkret berupa peninggalan dan
modal analisis dan perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini. Hal ini penting
dikemukakan oleh karena bertambahnya ilmu pengetahuan yang melaju dengan
pesat dan bertambahnya penemuan hasil eksplorasi dengan teknologi canggih,
sangat boleh jadi mengubah pendapat, hasil analisis tersebut. Lebih-lebih karena
membicarakan evolusi manusia adalah membicarakan diri kita sendiri, oleh
karena itu tidak dapat dielakkan adanya rancu ilmiah (Scientific bias) dan rancu
kultural (Cultural Bias).
Upaya untuk mencari hubungan seperti dimaksud di atas, menurut ahli
antropologi, merupakan suatu keharusan, karena manusia adalah bagian integral
dari alam, dari suatu segi mempunyai kedudukan yang sama dengan makhluk
hidup yang lain, jadi merupakan produk evolusi dan dari segi lain mempunyai
kemampuan dan potensi yang khas, yang dapat mempengaruhi alam
sekelilingnya.
Sotoran pada aspek biologik pada makhluk-makhluk yang dianggap leluhur
manusia, atau setidak-tidaknya diduga mempunyai leluhur yang sama dengan
manusia atau hidup berdampingan pada waktu yang lama. Pada fosil makhluk-
makhluk tersebut analisis utama dapat ditunjukkan pada bagian-bagian yang
paling pokok, yaitu: kaki, pinggul, tangan dan kepala. Ketiga bagian tersebut
merupakan kunci yang antara lain dapat memberikan gambaran tentang posisi
tubuh, perilaku gerak dalam kaitannya dengan tanggapan terhadap rangsang,
perilaku gerak dalam kaitannya dalam upaya pemenuhan kebutuhan fisologik,
kemampuan memilih, menggunakan dan membuat alat bantu untuk pemenuhan
kebutuhan fisiologik, kedudukan alat indera dan besarnya potensi
penginderaanya, volume otak dan perkembangan bagian-bagiannya, kedudukan
kepala dalam kaitannya dengan kedudukan otot-otot tertentu, bentuk dan perilaku
makan.
Dari bentuk tulang pinggul dapat diperkirakan posisi tubuh fosil yang diteliti,
sewaktu masih hidup. Panjang tulang-tulang, panjang kaki ikut menentukan
gerak atau kegesitan gerak, kemudian pula besarnya tulang-tulang tersebut,
kondisi tulang, lurus atau bengkok ikut pula menentukan, begitu juga kedudukan
tulang telapak kaki. Pada manusia sekarang kedudukannya tulang-tulang
tersebut, sedemikian rupa keadaannya, sehingga bila kaki ditapakkan, telapak
kaki tidak seluruhnya secara merata menapak di landasan.
Bipedalisme, sungguhpun tidak menjamin kecepatan gerak, tetapi ada
keleluasaan gerak, yang memberi keuntungan pada usaha membela diri. Dari
segi lain bipedalisme memberi kebebasan pada ekstremitas superior yang
memberi keuntungan dalam rangka membela diri, mencari makan dan
menghasilkan karya mulai bentuk yang paling sederhana seperti kapak genggam
sampai karya yang bernilai seni seperti halnya Manusia Cro-Magnon (Lihat
Gambar 7.2). Karya bentuk lukisan tersebut hanya akan terwujud bila ibu jari
dapat bergerak secara luwes (prehensil) dan dapat dipertemukan dengan jari-
jarinya atau paking tidak dengan jari telunjuk. Keuntungan lain dari ekstremitas
superior dari fungsi lokomosi adalah dipengaruhinya fungsi lain, seperti
pemeliharaan atau mengasuh anak/keturunan dan meraba serta untuk
komunikasi dalam bentuk isyarat, disamping bentuk-bentuk lambang lain yang
telah dikemukakan di awal bab ini dinyatakan sebagai transmisi informasi non-
genetik, suatu bentuk aktivitas psiko-sosial.
Letak alat indera, misalnya mata, yang terletak pada suatu bidang
memungkinkan adanya penginderaan binokuler, dan pada perkembangannya
memungkinakan penginderaan stereoskopik, sehingga obyek tiga dimensi dapat
tertangkap sebagaimana keadaan yang sebenarnya. Pada makhluk arboreal,
yang hidup di pepohonan, jarak dahan ke dahan dapat terindera secara tepat.
Pada makhluk teresterial penginderaan stereoskopik memberikan kemampuan
pandang dalam yang memungkinkan dapat mengindera dengan cermat. Pada
makhluk arboreal dan teresterial dan teresterial perkembangan penglihatan dan
perabaan yang semakin maju, melebihi perkembangan indera penciuman dan
pendengar. Bagi makhluk arboreal ini sangat berarti untuk ketepatan sasaran
yang akan dicapai, sedang pada makhluk teresterial koordinasi tangan dan mata
merupakan sarat pembutan alat perkakas.
Bentuk tengkorak memberi kemungkinan perkembangan bagian-bagian otak
tertentu, seperti bagian frontal yang berkaitan dengan gerak, bagian temporal
berkaitan dengan tutur dan ingatan, bagian occipital ada hubungannya dengan
penyimpanan informasi. Semakin luas dan kompleksnya pengideraan baik
melalui indera penglihatan maupun peraba, membawa konsekuensi
perkembangan sistem masukkan sensorik, mekanisme neural untuk
mengevaluasi masukkan sensorik, dalam hal ini terjadi di cortek cerebri, yang
juga berfungsi untuk formulasi dan inisiasi tanggapan terhadap stimulasi
lingkungan yang diindera.
Rahang bawah yang masif dan karenanya berat, serta menonjol ke muka,
mengisyaratkan sulitnya komunikasi secara lisan, demikian pula adanya guratan
yang menunjukkan tempat pertautan otot yang kuat. Gigi geligi pada rahang
memberi ilustrasi apakah sewaktu hidup makanannya berasal dari tumbuhan
atau berupa daging. Geligi yang merupakan indikator apakah pemakan daging
dapat dikaitkan dengan bentuk dan susunan tangan yang luwes.
Makhluk bipedal yang berpostur tegak atau hampir tegak yang oleh
sementara ahli digolongkan pada homonid (menyerupai manusia) adalah
Australopitesin (kera dari selatan). Dibedakan Australopitesin pemakan
tumbyhan seperti Australopithecus robustus, dilihat dari geliginya dan pemakan
daging seperti Australopithecus boisei. Volume otak berkisar antara 400 – 530
cc, ciri ke-kera-an selain dilihat dari volume otaknya juga dari dahi yang
rendah, tulang kening yang menonjol, rahang masif dan geligi kekeraan. Kepala
menggantung karena foramen magnum berada di belakang. Di antara
Australopithesin yang dikenal diantaranya yang paling muda adalah
Australopithecus boisei. Sementara para ahli beranggapan bahwa makhluk
tersebut telah mampu membuat alat, nyata dapat dibedakan dari yang ada
disekitarnya. Namun kemudian dari hasil penggalian Leaky suami istri,
ditemukan di Olduval (tanganyika) fosil yang oleh mereka disebut sebagai
Homo habilis si manusia tukang. Dari tengkorak yang ditemukan terlihat bahwa
kapasitas otaknya lebih besar dari Australopitesin, tengkoraknya halus
cenderung membulat, dan tangannya menurut Napier, yang ahli dalam
penelaahan fungsi tangan, mempunyai kapabilitas untuk membuat alat. Namun
sengketa tentang julukan Homo berkembang dan ada yang beranggapan bahwa
“Homo habilis” adalah Australopitesin yang sudah maju.
Dari pendapat yang pertama dapat diartikan bahwa Australopiesin dan
leluhur Homo haiblis bersia sekitar 2,5 juta tahun. Perkiraan ini didasarkan pada
penemuan Richard Leaky di danau Turkana yang mempunyai keistimewaan
antara lain mempunyai tulang kening yang tidak menjorok, kapasitas otak  800
cc, dan dikenal sebagai pemakan daging. Fosil ini kemudian dikenal sebagai
manusia 1470, disebut demikian karena di Musium Nasional Kenya tercatat
sebagai fosil yang bernomor 1470. Fosil yang lebih muda adalah fosil yang
semula dijuluki sebagai manusia kera atau Pithecanthropus, yang karena berdiri
tegak, disebut Pithecanthropus erectus. Namun kemudian julukan tersebut
dirubah menjadi Homo erectus karena ciri-ciri manusianya lebih menonjol.
Dengan demikian statusnya kebalikan dari Australopithecus yang dijuluki kera
yang mirip manusia.
Volume otak Homo erectus berkisar antara 700 – 900 cc, seperti yang
dikemukakan oleh Von Koenigswald di Jawa, manusia jawa yang berkapasitas
900 cc. Tengkorak dari anak-anak dari apa yang disebut Homo erectus
Mojokerto saja, kapasitas otaknya 700 cc, fosil yang sangat mirip dengan Homo
erectus penemuan Von Koenigswald adalah Homo erectus Peking yang semula
disebut sebagai Sinanthropus.
Fosil yang lebih muda yang kemudian disebut manusia Trinil dan manusia
Ngandong (Homo erectus Soloensis) disebut demikian karena letak kedua kota
tersebut adalah dekat Bengawan Solo, mempunyai kapasitas otoak antara 900 –
1.000 cc. Besarnya otak ini selanjutnya dikaitkan pula dengan ditemukannya 
2.400 perkakas dekat Pacitan. Mereka sudah menggunakan api, sebagaimana
diketahui api adalah suatu yang menarik, melalui penginderaan mata, tetapi
sekaligus menakutkan bagi binatang. Diperkirakan otak Homo erectus mempu
memanipulasi api tidak saja untuk memanasi tubuh tetapi untuk keperluan yang
lain. Ciri yang mendekati ciri manusia adalah adanya prosessus mastoideus,
tonjolan tulang tengkorak, oss, mastoideus, yang letaknya dibelakang telinga.
Disamping itu gigi geligi yang serupa manusia , tidak ada taring yang muncul,
sedang proporsi rahangnya mirip proporsi rahang manusia. Namun demikian
ciri kekeraan yang masih terlihat adalah tulang kening yang menonjol dan masif
serta dahi yang melereng (agak kurang), pada Homo erectus Peking, fosil ini di
juluki Pra-Neanderthal.
Tengkorak manusia Lembah Neander menunjukkan semakin dekat ciri
manusia modern, namun belum dapat digolongkan pada manusia modern.
Bentuk bagian tengkorak tidak seekstrim pada Homo erectus ataupun
Australopiithecus, meskipun ciri adanya tulang kening dan tidak adanya dagu
masih mewarnai bentuk tengkorak keseluruhan. Yang mengherankan adalah
besarnya otak sama dengan otak manusia modern. Manifestasi dengan semakin
besarnya volume otak tersebut adalah adanya gejala pemujaan suatu yang
abstrak, mereka telah mulai berabstraksi dan setidak-tidaknya berkhayal.
Catatan fosil yang khusus adalah fosil manusia Swanscombe dari lembah
sungai Thames (London) yang ternyata kemungkinan besar lebh tua dari
manusia lembah Neander, namun mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan Homo
sapiens. Sementara ahli beranggapan bahwa Manusia Swanscombe, juga yang
lain, yaitu Steinheim merupakan manusia modern yang muncul terlalu dini,
garis-garis primitif memang masih kelihatan, namun lebih berkemang dibanding
dengan manusia Lembah Neander. Fosil manusia Cro-Magnon, yang hidup
40.000 – 10.000 tahun yang lalu, adalah benar-benar makhluk yang mirip
dengan Homo sapiens. Tengkorak tipis, dahi tinggi, mulut tidak monyong
sedang besarnya otak sama dengan manusia modern. Secara lepas makin muda
umur geologik fosil, makin kompleks perkembangan budaya, dan aspek psiko-
sosialnya, semakin muda umur geologik fosil, perkembangan bagian tubuh
tertentu semakin mirip dengan manusia modern.
Pertanyaan yang timbul adalah apakah perkembangan raga tersebut ada
kesinambungannya, untuk dapat dikatakan sebagai suatu proses evolusi.
Munculnya Homo hibilis pada masa “kejayaan” Australopithecus, dan
munculnya manusia Swanscombe bersamaan waktunya dengan Homo erectus,
memberikan gambaran kemungkinan adanya kesinambungan informasi genetik.
Hal tersebut mendorong para ahli untuk mencoba mencari bentuk-bentuk
antara, antara manusia dengan kera. Hal ini penting oleh karena hebatnya pro
dan kontra terhadap teori yang dikemukakan oleh Charles Darwin yang
menyatakan bahwa spesies itu mengalami perubahan dari masa ke masa, tanpa
dapat mengelak dari pengaruh lingkungan, perubahan itu dapat begitu jauh
hingga dapat menjadi spesies baru. Dari penemuan Australopitesin yang
dianggap sebagai kera yang mempunyai ciri manusia, kemudian manusia kera
yang dinyatakan cenderung sebagai manusia tetapi masih mempunyai ciri kera,
semua itu tidak melegakan harapan, karena ciri-ciri yang ada pada
Australopitesin, maupun manusia kera (Pithechantropus) masih terlalu harus.
Para ahli masih mencari bentuk peralihan yang lebih “halus”, suatu bentuk
“campuran” dalam arti sebenarnya.
Sehingga pada tahun 1912, Charles Dawson menemukan fosil di Piltdown
(Inggris) yang benar-benar dapat mewakili bentuk antara yang dicari. Fosil
tersebut menunjukkan adanya campuran yang lebih, integral, karena telah
direkonstruksi bentuk fosil itu nyata-nyata merupakan tengkorak manusia
modern, dengan rahang bawah yang mempunyai ciri kera. Fosil tersebut pernah
dinamai Eoanthropus Dawnsoni, meskipun demikian dengan membandingkan
fosil tersebut dengan penemuan lain, para ahli merasa curiga, karena fosil yang
ditemukan adalah cenderung menunjukkan tengkorak yang menyerupai kera
dan rahang yang menyerupai manusia. Lalu arah evolusi manakah yang benar?
Ternyata kemudian pada permulaan 1950, dengan pengujian kimiawi,
melalui Horine Test serta melalui analisis anatomi, ternyata bahwa fosil tersebut
palsu. Tengkorak tersebut adalah hasil rakitan yang cermat tentunya oleh orang
yang mengenal kimia dan anatomi. Hal ini menilik warna tulang yang kepurba-
purbaan dan bentuk gigi yang kekera-keraan, hasil suatu kikiran yang cukup
halus. Akhirnya manusia Piltdown disisihkan dari percaturan penelitian fosil-
fosil antara, dan dianggap sebagai suatu lelucon yang menyakitkan hati. Betapa
tidak, selama  40 tahun, para ahli berdebat dan terdorong untuk mencari
kelengkapan informasi tentang fosil tersebut.

D. POTENSI MANUSIA DALAM EVOLUSI


Hingga dewasa ini evolusi yang menyangkut manusia masih saja
mengundang perdebatan yang sengit, meskipun mulai ada tanda-tanda
pengertian bahwa manusia bukanlah makhluk yang dapat terbebas dari
pengaruh perubahan lingkungan dan manusia tidak pula luput dari efek negatif
perbuatannya dalam memanfaatkan alam sebagai sumber untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Keadaan inilah yang diungkapkan dengan kalimat
“Bahwa manusia adalah bagian integral dari alam”.
Kalau di masa lalu ulama Gereja, Uskub Oxford, yang bernama Samuel
Wilberforce (1860), dengan kemarahan yang luar biasa membakar hadirin
untuk membakar teori Darwin, maka dewasa ini orang dapat memahami teori
tersebut, meskipun hal tersebut tidak berarti menyetujuinya. Sementara orang
awam berpendapat, bila benar manusia itu produk evolusi dan bila evolusi itu
terus berlangsung seperti yang terjadi di masa lampau, maka keturunan manusia
dikemudian hari adalah makhluk yang lebih sempurna dibanding dengan
manusia masa kini. Sudah barang tentu hal ini sekedar di dasari pada pemikiran
analogik belaka, tanpa ada kejelasan dalam hal apa kelebihannya dan
bagaimana mekanismenya. Bagaimanapun hal ini mendorong para ahli untuk
mendoba mengungkap kebenaran proses evolusi, melalui eksplorasi dari aspek
Geologik, paleontologik, maupun arkeologik,disamping mulai diadakannya
eksperimentasi dengan ilmu dan alat mutakhir yang dapat menunjang
mempertajam bila perlu membenahi atau merombak gagasan evolusi. Mereka
dapat melakukan hal ini dengan lebih terbuka. Lebih dari itu banyak para ahli
termasuk para ulama, mencoba menelaah evolusi manusia, dengan
menggunakan kitab suci sebagai bahan acuannya. Jelas hal ini tidak terjadi
pada abad IX dan sebelumnya.
Sebagaimana diketahui sebelum Charles Darwin mengemukakan gagasannya
tentang asal mula spesies, kebanyakan orang berpendapat bahwa spesies
(makhluk) hidup itu suatu ciptaan. Pendapat ini jelas bersumber dari Kitab Suci.
Dalam ilmu pengetahuan saat itu berkemabang pendapat tentang tetang “Special
Creation” yang intinya pada dasarnya tidak berbeda dengan apa yang diacu dari
Kitab Suci, meskipun pengungkapannya berbeda. Ciptaan khusus (Special
Creation) menyatakan bahwa setiap spesies diciptakan secara khusus oleh suatu
kekuatan yang disebut sebagai “Super Natural Power”.
Namun pengalaman menyedihkan dimasa lampau yang menyangkut hukuman
mati terhadap Galileo Galilei karena mempertahankan faham “Heliosentris” dari
Capernicus, membuat orang berhati-hati karena dikemudian hari ternyata teori
tersebut benar. Senada dengan itu pula setelah dipahami bahwa panjang hari di
planet bumi tidak sama dengan di planet-planet lain, orang dapat memahami
bahwa sebutan “hari” dalam Kitab Suci yang menyangkut ciptaan bumi dan
seisinya tidak dapat disamakan dengan “hari” seperti yang dikenal oleh
kebanyakan orang, yaitu 24 jam dalam sehari semalam. Para ulama kini
cenderung memahami Kitab Suci tidak secara harfiah, seperti yang tersurat,
tetapi lebih pada yang tersirat. Perkembangan ilmu pengetahuan yang juga
membentuk cara berfikir dan bersikap, memberi kemampuan pada manusia
dalam abad ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) ini, untuk memahami apa
yang ada di “balik” kata-kata dalam Kitab Suci itu. Sudah barang tentu hal
inipun mengundang perdebatan pula karena perlu diketahui pula pendapat
bahwa Agama tidak dapat dicampur adukan dengan ilmu pengetahuan dalam
penggunaannya sebagai pisau analisis masalah yang berkembang, kini mulai
berubah, orang berusaha untuk mencari titik temu yang menjembatani antara
Ilmu pengetahuam dengan Agama. Catatan khusus akan hal ini akan berlaku
bagi kita yang hidup di Negara Pancasila ini, karena disini kita mengaku bahwa
Kitab Suci berisikan Wahyu Illahi, dan bukan buatan Orang karena itu
kebenaran yang terkandung adalah mutlak dan kekal. Kini banyak buku-buku
yang mencoba untuk menelaah proses evolusi, termasuk asal-usul manusia
dengan menggunakan Kitab Suci.
Pada bab sebelumnya telah disinggung bahwa, terjadinya spesies baru
menurut Charles Darwin dapat terjadi akibat terjadinya seleksi alam. Pendapat
Charles Darwin ini lebih berupa sebagai interpretasi dari pada kenyataan,
interpretasi yang tidak dilandasi oleh teori yang kuat. Hanya enam tahun
kemudian pertanyaan yang tidak terjawab mengenai mekanisme seleksi alam,
jawabannya tersimpul hasil percobaan-percobaan oleh Mendel dan para ahli
ilmu Genetika.
Dalam pelacakan menuju perkembangan menuju manusia modern banyak
dugaan yang timbul mengenai mata rantai mulai dari makhluk yang diduga
sebagai pra manusia modern. Salah satu kemungkinan adalah menganggap
bahwa garis tersebut dimulai dari Australopithecus,- Homo habilis – Homo
erectus (Pithecanthropus) - Manusia Lembah Neander – Manusia Cro-magnon
- Manusia modern. Pendapat yang lain adalah bahwa Homo habilis lah yang
merupakan titik mula leluhur manusia, yang bipedal, untuk selanjutnya dapat
digambarkan sebagai berikut: Homo habilis – Manusia lembah Neander –
Manusia Cro-Magnon – Manusia Modern atau dengan adanya ciri-ciri yang
lebih manusia pada manusia Swanscombe maka kemungkinan urutannya
menjadi Homo habilis – Manusia :”Swanscombe” (mempunyai ciri yang sama
dengan manusia Swanscombe yang ditemukan di lembah sungai Thames) –
Manusia Cro-Magnon – Manusia Modern. Masih banyak kemungkinan yang
dapat terjadi.
Dari kemugkinan mata rantai tersebut kemungkinan yang lain adalah adanya
kemungkinan pertukaran gena antara yang diduga sebagai leluhur manusia,
yang hidup dalam saat yang bersamaan dan mempunyai relung (niche) yang
sama. Ini berarti bahwa antara mereka yang hidup pada dimensi waktu yang
jauh, keturunannya tidak mungkin untuk saling tukar-menukar gena, dan
mereka disebut sebagai Chronospecies. Pengertian ini dilandasi oleh pengertian
bahwa dalam perjalanan waktu, makhluk hidup dapat mengalami modifikasi,
modifikasi berlanjut, ataupun mutasi kecil sehingga dalam dimensi waktu
tertentu, suatu saat keduanya tak mungkin mengadakan pertukaran gena.
Pengertian lain yang timbul adalah pengertian Biospecies, yang timbul dan
berkembang dalam kurun waktu yang sama. Ilustrasi beriut memberi gambaran
tentang Biospecies dan Chronospecies.
Kemungkinan pertukran gena antar populasi kecil (sub Populasi) dapat terjadi,
meskipun tidak harus demikian. Memperlihatkan tentang kemajuan terjadinya
pertukaran gena antara sub populasi karena mengandung informasi genetik yang
sama. Dari percobaan-percobaan penyilangan maupun yang berlangsung secara
alami selalu ada kemungkinan munculnya varian yang jauh berbeda dengan
keturunan yang lain. Apakah varian yang khas ini dapat mengadakan pertukaran
gena dengan yang lain, mungkin saja meskipun tidak menjadi keharusan.
Dimulai kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi yang menyangjut
makhluk-makhluk hidup yang mendahului manusia modern. Jelas
menggunakan pengalaman dan ide dari genetika berkedudukan sebagai analisis
pikir murni. Pendekatan Biokimiawi dan Biofisikawi dapat memberi harapan
gambaran hubungan antar spesies dari peninggalan yang konkret.
Mengenai “kesadaran batin” sesungguhnya tidak hanya dijumpai pada
manusia saja, tetapi memang bahwa kesadaran batin pada manusia merupakan
bentuk paling tinggi, Evolusi yang menuju pada manusia modern, menurut
Teilhard justru dimulai dari perkembangan internalnya, kemudian perwujudan
keluarnya adalah sebagai suatu bentuk aksi pada lingkungan. Pada evolusi
manusia interaksi dengan lingkungan, menunjukkan kecenderungan bahwa
semakin muda usia geologik pendahulu manusia modern, semakin jelaslah
peran “kesadaran batinnya”. Manusia tidak semata-mata beradaptasi terhadap
lingkungannya. Hal ini mungkin benar pada Australopitesin, tetapi selanjutnya
perkemabangannya adalah terjadi suatu evolusi dalam mewujudkan relungnya
(niche). Itulah sebabnya sementara para ahli berpendapat bahwa adaptasi
manusia dalam perkembangan evolusinya tidak semata-mata terhadap alam,
tetapi juga terhadap lingkungan kulturnya.
Evolusi “kesadaran batin” menurut Teilhard mencapai puncaknya pada
manusia, dan ini terus berkembang samapai mendekati titik omega (w) yaitu
mendekati sifat-sifat Tuhan. Kata mendekati harus digaris bawahi karena
bagaimanapun sifat itu tidak pernah akan tercapai disamping itu menjadi
pertanyaan besar, melihat keadaan dewasa ini, yang penuh dengan hingar-
bingar, penyimpangan norma dan nilai-nilau luhur yang sudah menjadi tradisi,
peperangan, perkosaan, dan segala macam kekerasan. Sampai-sampai
kekerasanpun kini sudah melembaga. Apakah manusia sekarang memiliki sifat-
sifat yang lebih luhur dari nenek moyang kita leluhur manusia yang masih
berbudaya alami?.
Komunikasi yang terbuka, transportasi yang canggih, perubahan cara berpikir,
bersikap dan bertindak memungkinkan terjadinya alur gena secara leluasa, bahkan
bukan sekedar alur potensi tetapi sekaligus alur produk budayanya. Relung (niche)
ekologik cenderung menjadi seragam namun semakin jauh dari sentuhan alam.
Adaptasi, seleksi alam dan spesiasi tidak lagi semata-mata tergantung alam. Manusia
cenderung untuk mengarahkan sendiri ciri-ciri keturunannya di masa datang.

E. MANUSIA MODREN
Manusia modern memiliki ciri-ciri antara lain:
1. Memiliki volume otak ± 1400 – 1500 cm3
2. Memiliki tinggi badan ± 1,6 m
3. Memiliki peradaban yang maju
4. Mempunyai peralatan yang lebih baik
5. Suka berburu
6. Sudah terdapat hubungan sosial dan upacara ritual
7. Diperkirakan hidup sekitar 100.000 – 40.000 tahun yang lalu.
Dari ciri-ciri tersebut, dapat melihat suatu perkembangan terjadi menuju
bentuk manusia yang lebih baik. Dari penjelasan mengenai berbagai sejarah
evolusi manusia tersebut, maka akan memiliki gambaran tentang perkembangan
dari generasi ke generasi sehingga membentuk manusia yang lebih sempurna
seperti sekarang.
Perkembangan primates primitif ke primates maju , yaitu :
1. Hubungan antara tulang vetebrata dan tengkorak mengalami perubahan
yang berangsur-angsur menuju ke titik berat tengkorak
Mula-mula hubungan ini terdapat di bagian tepi menjadi berada tepat
dibawah. Perubahan ini diikuti dengan perubahan cara berjalan dari empat
kaki menjadi dua kaki. Sejalan dengan perubahan ini, maka otot leherpun
menjadi lebih lemah, sedangkan panggul menjadi jauh lebih penting dan
kuat. Bentuk tengkorak yang memanjang dengan rahang besar, gigi yang
kuat dan membentuk moncong menjadi bertambah pendek. Rongga hidung
yang besar sekarang menjadi jauh lebih kecil.
2. Bola mata pada non primata tidak mempunyai tulang yang me-
lingkupinya
Pada kera dan manusia, mata sudah sepenuhnya terlindungi. Hal ini
menunjukkan bahwa mata menjadi organ yang sangat penting. Selain itu,
dapat pula dilihat bahwa mata yabg menghadap kesamping, menjadi
berangsur-angsur menghadap kedepan. Penglihatanpun berubah dari dua
dimensi menjadi tiga dimensi, dan kemampuan melihat warna meningkat
dari hitam putih untuk membedakan gelap dan terang menjadi mampu
melihat hampir semua spektru warna. Hal ini erat kaitanya dengan cara
hidup dari malam hari menjadi siang hari. Selain itu, matapun diperluakan
untuk melihat makanan diantara ranting-ranting pohon, untuk
menyelinapkan dengan mudah diantara hutan.
3. Ujung jari bercakar secara berangsur-angsur berubah menjadi kuku
(tupai bercakar, primata lain berkuku tebal, dan manusia berkuku
tipis)
Hal ini terlihat bahwa tupai mempunyai cakar, sedangkan primata
lebih lanjut mempunyai kuku yang tebal dan akhirnya manusia mempunyai
kuku yang tipis. Cakar mula-mula digunakan untuk mengais mencari makan.
Dengan berubahnya cara hidup dari hidup di tanah menjadi kehidupan
arboreal, maka cakar menjadi mengganggu kemampuan bergerak dengan
cepat diatas pohon. Kehidupan arboreal lebih membutuhkan kemampuan
memegang. Dengan demikian, terjadi pula perubahan cara memegang
dengan terbentuknya ibu jari dengan persendian yang lain daripada jari-jari
yang lain. Hal ini erat kaitanya dengan timbulnya flora hutan sebagai habitat
baru dimuka bumi. Cakar perlu untuk naik pohon, tetapi selalu terkait kalau
pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Selain itu, terjadi pula
perubahan dari telapak tangan. Hal ini penting berkaitan dengan
kemampuan untuk memegang yang terliahat pada kera, yang mempunyai
“empat tangan”, bahkan pada kera Amerika Selatan, ekorpun dapat
digunakan untuk memegang.

4. Fungsi tangan menjadi lebih penting dari pada kaki dalam kehidupan
arboreal
Hal ini terlihat pada bangsa kera yang memiliki tangan yang lebih
panjang dan kuat daripada kaki. Struktur ini penting untuk dapat berayun-
ayun dan berpindah tempat. Dengan berubahnya permukaan bumi, maka
jumlah hutan menjadi semakin sedikit. Selain itu, ditemukan primata
berukuran besar yang tidak dapat ditunjang oleh hutan. Akibatnya tangan
menjadi kurang diperlukan sedangkan kaki diperlukan untuk mengejar
mangsa dan menghindarkan diri dari perdator.
5. Volume otak mengalami perubahan pesat
Faktor ini sangat nyata terlihat pada golong-golongan kera manusia.
Australopithecus hanya mempunayi volume otak 600 cc, sedangkan manusia
modern dua kali lebih besar. Data fosil menunjukan bahwa fosil manusia
lainnya mempunyai kisaran antara keduanya. Perubahan volume otak dapat
pula dilihat pada perubahan dahi, yang tidak ada pada kera dan hampir tegak
pada manusia.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Evolusi primata merupakan salah satu contoh evolusi dengan data yang
“cukup lengkap”. Perkembangan evolusi primata dimulai dari moyang yang
berupa hewan mammalia pemakan serangga menurunkan Prosimian yang hidup
pada zaman Paleosin. Pandangan bahwa manusia adalah produk evolusi juga
membawa konsekuensi bahwa keturunan manusia yang akan datang adalah
makhluk yang lebih sempurna dari manusia yang sekarang. Berbicara keturunan
ada dua hal yang akan diwariskan pada anakan manusia yatiu informasi genetik
dan informasi non-genetik. Informasi genetik sudah sangat jelas wujudnya,
namun informasi non-genetik adalah hasil interaksi manusia terhadap
lingkungan.

B. SARAN
Adapun saran yang dapat diberikan pada makalah ini yaitu, agar pembaca
memahami bagaimana evolusi primates dan bagaimana perkembangan menuju
primates yang maju.
DAFTAR PUSTAKA

Andre. 2012. http:// andre 4088. blogspot. Com /2012 /02 /kaitan- evolusi- kultural- dan-
evolusi.html
Andre. 2012. http:// andre 4088. blogspot. com/ 2012 /02/ potensi- manusia- dalam-
evolusi_13.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Radiasi_adaptif
Unila. 2017. http://staff.unila.ac.id/priyambodo/files/2017/01/08.-Makroevolusi.pdf
Uny. http://ikadbudi.uny.ac.id/informasi/herbert-spencer-dan-evolusi-budaya

Anda mungkin juga menyukai