Anda di halaman 1dari 13

Nama : Ifrah Syahmina

Kelas : PBIO1

Mata Kuliah : evolusi

EVOLUSI PRIMATA

Evolusi primata merupakan salah satu contoh evolusi dengan data yang “cukup
lengkap”. Teori evolusi yang hanya didasarkan atas adanya fosil tidak pernah dapat
menerangkan dengan lengkap apa yang terjadi di masa lampau. Oleh karena itu untuk
mempelajari evolusi suatu organism, biasanya para ahli menggunakan data organisme
yang masih hidup hingga kini. Dalam hal ini, yang dilakukan para ahli ialah melihat
perubahan struktur dari organisme-organisme yang paling erat kekerabatan dengan
organisme sasaran yang diteliti. Dengan mengaitkan perubahan-perubahan suatu ciri,
maka dapat ditarik kesimpulan mengenai apa yang terjadi dimasa silam. Dalam hal ini,
untuk menjelaskan evolusi manusia, digunakan pendekatan pada golongan primata.

Berbicara mengenai evolusi manusia dan primata, tidaklah berarti bahwa manusia
berasal dari kera. Dalam menjelaskan mengenai evolusi, terutama mengenai evolusi
manusia kita harus berhati-hati dan dapat bersikap netral. Hal ini berarti apapun
keyakinan kita mengenai asal-usul manusia, kita harus dapat mengemukakan bagaimana
pendapat sekelompok orang dan bagaimana pula mengenai pendapat dari kelompok
yang lain, dan bukan hanya pendapat kita sendiri. Apabila manusia memang berasal dari
kera sekalipun, para ahli evolusi tidak akan dapat membuktikanya. Jadi dalam
membuktikan evolusi kita tidak menggunakan pendekatan metode pendidikan.

Kita yang hidup pada masa sekarang tidak pernah dapat mengetahui dengan pasti
mengenai apa yang terjadi dimasa lalu. Oleh karena itu, digunakan  data fosil dan data
organisme yang hidup pada masa kini. Bukti yang digunakan untuk mempelajari
perubahan akan tinjauan dari banyak segi, yang dapat memberikan banyak petunjuk
mengenai apa yang terjadi dimasa lalu. Suatu sifat akan berevolusi sesuai dengan
perkembangan waktu dan tempat. Dengan menggunakan fosil dan organisme aktuil
mempunyai semua sifat terevolusi. 
A. Radiasi Adaptif Primata
Perkembangan evolusi primata dimulai dari moyang yang berupa hewan mammalia
pemakan serangga menurunkan Prosimian yang hidup pada zaman Paleosin. Hewan ini
bertubuh kecil seperti cecurut, bermoncong, dan berekor panjang. Mereka tangkas dan
cerdas, mempunyai organ-organ penggenggan dan lima jari. Dari prosimian perkembangan
radiasi evolusi menuju 4 golongan besar yang masih tetap hidup sekarang ini.

a) Prosimian Modern

Kelompok besar pertama yakni prosimian modern. Yang termasuk kelompok ini adalah
lemur dan loris, sekarang hidup di pulau Madagaskar. Hewan-hewan ini masih
mempunyai moncong dan ekor yang panjang, berkuku, bukan cakar dengan kemampuan
untuk memanipulasi obyek, hal ini merupakan ciri utama primata.

Hewan lain yang termasuk prosimian modern ialah Tarsier (binatang hantu), hidup di
Asia Selatan dan Indonesia (daerah pantai Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera). Pada
hewan ini tidak dijumpai lagi moncong yang panjang, mata lebih ke depan tidak seperti
mata lemur yang agak kesamping. Oleh karena itu, Tarsier dapat memfokuskan satu titik
dengan kedua matanya. Nampak adanya peningkatan pada alat-alat penglihatan dan
mekanisme saraf yang memberikan kemampuan untuk kedalaman persepsi (binocular
stereoscopic vision) dan penglihatn warna pada tahap-tahap beranekaragam.

b) Ceboidea (Monyet Dunia Baru)

Ceboidea hanya hidup pada lingkungan pohon dan ditemukan di daerah hutan-hutan
sebelah selatan Amerika Utara, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Mereka terbagi
menjadi dua famili, yakni Callithricidae dan Cebidae.

Callithricidae atau marmoset adalah Primata kecil yang telah menempati niche seperti
bajing di hutan dunia baru. Perkembangan yang menonjol pada cakar untuk memanjat
yang merupakan bagian penting dari pergerakan mereka.

Ceboidae hidup di lingkungan pohon. Namun lebih berkembang dibandingkan dengan


Callithricidae. Mereka mengembangkan beraneka ragam besar tubuh dan adaptasi
ekologis di npohon-pohon. Beberapa anggota Cebidae telah beradaptasi dengan cara
hidup di lingkungan pohon dengan jalan mengembangkan “kaki ke-5” dalam bentuk
ekor prehensil (penggenggam). Ekor prehensil tidak hanya terdapat pada monyet dunia
lama.

c) Cercopithecoidea (Monyet Dunia Lama)

Semua primata dunia lama kecuali prosimian adalah catarrhini (hidung terbelah).
Monyet-monyet dunia lama diklasifikasikan dalam satu famili yakni Cercopithecidae
yang terbagi menjadi 2 sub famili, yaitu Cercopithecinae (Monyet babon) dan Colobinae
(monyet pemakan daun).

Pada catatan fosil Cercopithecoidea berkembang pada zaman Oligosin dan Miosin. Pada
akhir miosin mereka telah menempati sejumlah niche lingkungan pohon serta terestrial
di Afrika dan Erasia. Pada saat sekarang mereka berkembang menjadi colonin (monyet
pemakan daun) dan cercopithecin. Cercopithecin yang hidup sekarang menempati iklim
dan habitat yang lebih luas dibandingkan primata lain, kecuali manusia.

 Colobinae

Colobinae hidup beradaptasi makan daun vegetasi muda. Mereka mempunyai puncak
gigi yang tajam pada gigi molar, kantung pipi khusus, dan bentuk perut khusus untuk
mencernakan makanan. Pencernaan dilakukan dengan bantuan bakteri yang hidup pada
perutnya yang mirip dengan kantung. Langur (sebutan untuk beberapa Colobinae)
mendiami banyak habitat. Beberapa diantaranya di gunung-gunung tinggi dengan sedikit
pohon dan makanya tergantung pada puncak-puncak cemara dan kulit pohon dan
dedauna.

 Cercopithecinae

Sub famili ini beraneka habitat, mulai dari savana terbuka (babon, macaques, monyet
pantas) sampai hutan (mandril, mangabey, dan quenon). Tingkah laku sosial babon dan
Cercopithecinae terestrial banyak dipelajari oleh ahli anthropologi untuk mengetahui
faktor-faktor lingkungan dan ekologi yang menolong membentuk nenek moyang
manusia.

Mereka berjalan di atas 4 kaki (quadrapedal dan mengembangkan kemampuan


mencengkeram, tetapi tidak dengan ekor prehensil. Bentuk pergerakan mereka
dinamakan branch walking  (berjalan di atas cabang), plantigrade (kecenderungan
bergerak pada permukaan palntar = tapak tangan atau tapak kaki).

Gibbon mempunyai tengkorak yang lebih kecil dibandingkan dengan Hominoid yang
lain semata-mata arboreal. Bentuk gibbon khusus untuk bergerak arboncal, disebut
brachiation. Brachiation memungkinkan gibbon bergerak lebih cepat antara pepohonan
dengan menggunakan kedua lenganya, hingga tangannya berfungsi sebagai sebuah kait.
Tetapi jika ia turun ke tanah atau berjalan-jalan di atas dahan, dilakukan dengan dua
kaki.

Orangutan seperti gibbon hidup terbatas di Asia Tenggara dan pernah hidup tersebar
luas di Asia. Cara bergerak orangutan dinamakan quadramanual (empat tangan).
Meskipun orangutan mengahabiskan banyak waktunya di atas pohon dengan
mengguankan 4 anggota badanya, juga dapat berjalan jauh sekali di daratan tanah,
khususnya jantan dewasa` hampir 2 kali lebih besar daripada betinanya dn menjalani
hidup membujang.

Gorila sangat terbatas ruang lingkupnya dan sekarang hanya terdapat di hutan
pegunungan daerah katulistiwa dan dataran tinggi Afrika Timur. Gorila dalah vegetarian
terestrial, pemakan daun yang tumbuh di daratan tanah. Susunan kerangka sangat khusus
untuk menopang berat badan terestrial dan berjalan di atas buku-buku jari. Cara
bergerak seperti inin terlihat pada bentuk dada, bahu, tangan, dan tulang lumbar
vertebral yang kuat.

Simpanse tidak mempunyai catatan fosil, hidup terbatas di daerah hutan dan bagian
berhutan kera. Karena adaptasi mereka, mempunyai struktur badan yang orthograde
(tegak), yang memungkinkan mereka berjalan jauh di atas permukaan tanah, tetapi juga
posisi duduk dalam jangka waktu lama. Untuk duduk, babon telah mengembangkan
sepetak kulit pada bagian belakang yang dinamakan ischial callosities.

 Hominoidea

Kelompok ini muncul pada zaman Paleosin. Selama niosin awal radiasi Hominoidae
bercabang menjadi dua yakni Anthropoidea (kera) dan Hominidae (keluarga manusia).
Kedua famili ini ditandai dengan hilangnya ekor dan berkembangnya ukuran besar
badan. Otak Anthropoidae dan Hominiidae jauh lebih berkembang dan demikian fungsi
lebih kompleks. Kera-kera hidup sekarang dibagi 4 genus, yakni gibbon,
orangutan,simpanse, dan gorila.

B. Informasi Non Genetik

Proses evolusi makhluk hidup yang menjadi sorotan tajam dan menjadi perdebatan
yang hangat adalah evolusi manusia. Tegasnya kebanyakan orang (awam) mempertanyakan
apakah manusia merupakan produk evolusi  seperti halnya makhluk hidup yang lain. Dan bila
benar demikian tentunya manusia berasal dari makhluk hidup yang lebih sederhana dan inilah
yang menimbulkan “rasa tidak enak” pada orang-orang yang mempertanyakan tersebut,
lebih-lebih bila dikatakan leluhur manusia adalah kera. Namun disamping itu bila manusia
merupakan produk evolusi, sehingga berkedudukan sebagai obyek, sehingga konsekuensinya
adalah bahwa manusia masa kini akan berevolusi terus, dan tidak mustahil bila keturunan kita
di masa mendatang adalah makhluk hidup yang jauh lebih “sempurna” dari kita, manusia
sekarang terlepas dari aspek ragawi, yang mempunyai kemiripan dari beberapa jenis binatang
tertentu, bahkan ada kesamaan mengenai unsur pembentuk raga yang paling dasar, dengan
semua makhluk hidup, dirasakan adanya aspek tertentu yang membedakan manusia dengan
makhluk hidup yang lain.
Kalau dalam studi biologi kita mengenal adanya informasi-genetik yang
ditransmisikan dari generasi ke generasi, yang memberi gambaran tentang ciri-ciri biologik
makhluk hidup yang bersangkutan, maupun kemungkinan perkembangannya kemudian, serta
kemungkinan asal mulanya, maka pada manusia selain informasi genetik dikenal adanya
informasi non-genetik. Informasi non-genetik mencakup cara merespons lingkungan dan
gejala perubahannya, kebiasaan perilaku, pola tradisi dan hasil budaya yang ditransisikan
pada keturunannya. Pewarisan ini dan adanya perubahan dari apa yang diwariskan
menunjukkan adanya perkembangan yang semakin kompleks.
Hal yang menarik yang dapat dikemukakan disini adalah pemakaian dan pembuatan
alat untuk menopang eksistensi makhluk hidup. Dengan alat tersebut makhluk hidup dapat
memanfaatkan dan menguasai lingkungan hidupnya, mulai dari sekedar membantu
mempermudah memperoleh buruan, mempertahankan diri dari lawan-lawannya,
berkompetisi dengan makhluk lain untuk memperoleh makan, membangun tempat
berlindung, membuat pakaian, menciptakan seni dan untuk upacara “keagamaan”.
Dari peninggalan yang diperoleh para ahli berusaha untuk membuat interpretasi
perkembangan evolusi dari aspek psiko-sosial. Sorotan perkembangan aspek psiko-sosisal
yang dalam judul tulisan ini dinamakan sebagai perkembangan informasi non-genetik
dibatasi dari sorotan terhadap makhluk bipedal, bertumpu, dan berjalan dengan dua anggota
(kaki), yang sikapnya tegak sampai yang digolongkan pada Homo sapiens.
Makhluk bipedal yang sikapnya tegak yang paling tua yang ditemukan sampai hari ini, adalah
Australopitesin yang mungkin sudah muncul 8 – 10 juta tahun yang lalu, yang sudah
diidentifikasikan adalah apa yang sudah ditemukan oleh Bryan Pattersons di Kenya 5,5 juta
tahun yang lalu, yang selanjutnya dinamai Australopithecus africanus (australopithecus =
kera dari selatan). Yang lebih muda adalah Australopithecus afarensis, yang berumur 3,5 juta
tahun, ditemukan di Afar (Ethiopia) oleh Mary Leaky. Disamping kedua Australopithesin
tersebut masih dijumpai Australopithesin lain yang hidup sekitar 2 – 1 juta tahun yang lalu,
yaitu Australopithecus robustus dan Australopithecus boisei. Makhluk yang digolongkan
sebagai hominid (pra-manusia) ini sebagian makan tumbuhan dan ada pula yang makan
daging.
Pada situs, tempat ditemukannya fosil Australopithecus africanus si pemakan daging,
ditemukan batu dengan bentuk khusus yang menunjukan bahwa batu tersebut digunakan
sebagai perkakas untuk berburu dan untuk melawan musuhnya. Ternyata selain
Australopitesin disepakati para ahli sebagai pemakai perkakas ditemukan pula oleh suami
istri Leakey tipe fosil yang lebih maju dari Australopitesin, yang selanjutnya diberi
nama Homo habilis  (habilis = tukang), disebut demikian karena ada tanda-tanda bahwa
makhluk ini tidak sekedar pemakai alat, tetapi juga sudah membuatnya.
Sekitar 700.000 tahun yang lalu beberapa tempat di Asia (Jawa), Afrika (Tanzania,
Kenya) dan Eropa (Pegunungan Atlas), dihuni oleh makhluk yang semula disebut
Pithecantropus (oleh Duboi) yang berarti “manusia kera” , namun adanya ciri-ciri yang lebih
berat pada ciri-ciri manusia, maka sebutan yang lebih tepat adalah Homo erectus. Makhluk
ini sudah mampu membuat alat untuk berburu yang kualitasnya lebih baik dari yang dibuat
oleh Homo habilis dan ragamnya lebih banyak. Dikenal selain alat yang terbuat dari batu,
juga alat yang terbuat dari kayu maupun tulang. Yang lebih menonjol lagi adalag bahwa
makhluk ini sudah mengenal api, dengan kata lain mereka sudah mengenal benda atau
perkakas  yang menghasilkan api. Dari peninggalan kerangka binatang yang menumpuk di
tempat tertentu menunjukkan bahwa mereka adalah pemburu  ulung dan satu langkah yang
lebih maju adalah adanya kehidupan bermasyarakat yang terdiri dari sekitar 20 – 50 orang. Di
Jawa peninggalan yang ditemukan oleh Von Koeningswad yang selanjutnya dikenal
dengan Meganthopus palaeojavanicus, si manusia raksasa yang hidup 600-500.000 tahun
yang lalu. Setua manusia raksasa adalah fosil yang ditemukan di Goa Chou Kou Tien di
China, yang karenanya fosil itu ditandai dengan nama Sinanthropus atau selanjutnya lazim
disebut “Homo erectus Pekinensis” hidup sekitar 500.000 tahu yang lalu. Sampai begitu jauh
penemuan fosil ini tidak menambah perbendaharaan pelacakan evolusi manusia ditinjau dari
segi psiko-sosial/informasi non-genetik.
C. Potensi Manusia dalam Evolusi

Hingga dewasa ini evolusi yang menyangkut manusia masih saja mengundang perdebatan
yang sengit, meskipun mulai ada tanda-tanda pengertian bahwa manusia bukanlah makhluk
yang dapat terbebas dari pengaruh perubahan lingkungan dan manusia tidak pula luput dari
efek negative perbuatannya dalam memanfaatkan alam sebagai sumber untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Keadaan inilah diungkapkan dengan kalimat “bahwa manusia adalah
bagian integral dari alam”. Sementara orang awam berpendapat, bila benar manusia itu
produk evolusi dan bila evolusi it uterus berlangsung seperti yang terjadi dimasa lampau,
maka keturunan manusia dikemudian hari adalah makhluk lebih sempurna disbanding dengan
makhluk masa kini. Sudah barang tentu hal ini sekedar didasari pada pemikiran analogik
belaka, tanpa ada kejelasan dalam hal apa kelebihannya dan bagaimana mekanismenya.
Bagaimanapun hal ini mendorong para ahli untuk mencoba mengungkap kebenaran proses
evolusi, melalui eksplorasi dari aspek geologik, palaentologik, maupun arkeologik disamping
mulai diadakannya eksperimentasi dengan ilmu dan alat mutakhir yang dapat menunjang
mempertajam bila perlu membenahi atau merombak gagasan evolusi. Mereka dapat
melakukan hal ini dengan lebih terbuka.

Lebih dari itu banyak para ahli termasuk para ulama, mencoba menelaah evolusi manusia,
dengan menggunakan kitab suci sebagai bahan acuannya. Jelas hal ini tidak terjadi pada abad
ke-19 dan sebelumnya. Terjadinya spesies baru menurut Charles Darwin dapat terjadi akibat
terjadinya seleksi alam. Pendapat Charles Darwin ini berupa interpretasi dari pada kenyataan,
interpretasi yang tidak dilandasi oleh teori yang kuat. Hanya enam tahun kemudian
pertanyaan yang tidak terjawab mengenai mekanisme seleksi alam jaawabannya tersimpul
hasil percobaan-percobaan oleh mandel dan para ahli ilmu genetika. 

Dalam pelacakan menuju perkembangan manusia modern banyak dugaan yang timbul
mengenai mata rantai mulai dari makhluk yang diduga sebagai pra manusia sampai manusia
modern salah satu kemungkinan adalah dmenganggap bahwa garis tersebut dimulai dari
Australopithecus – Homohabilis – Homoerectus – Manusia lembah Neander – Manusia Cro-
magnon – Manusia modern. Pendapat lain adalah bahwa homohabilis lah yang merupakan
titik mula leluhur manusia yang bipedal.

D. Kaitan Evolusi Kultural dan Evolusi Biologik

 Apakah peninggalan yang semakin kompleks atau maju itu disebabkan oleh adanya
informasi non-genetik yang ditransmisikan dari generasi ke generasi, tentunya hal itu yang
harus dijawab, kalau kita akan bicara masalah evolusi kultural. Perkembangan aspek psiko-
sosial dari individu tidak lepas dari perkembangan biologiknya, dan atas dasar inilah orang
cenderung untuk mencoba mencari hubungan antara peninggalan yang mempunyai aspek
psiko-sosial dan aspek ragawinya.
Analisis untuk mencari kaitan dimaksud sudah barang tentu bersifat interpretatif dengan
menggunakan modal objek konkret berupa peninggalan dan modal analisis dan
perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini. Hal ini penting dikemukakan oleh karena
bertambahnya ilmu pengetahuan yang melaju dengan pesat dan bertambahnya penemuan
hasil eksplorasi dengan teknologi canggih, sangat boleh jadi mengubah pendapat, hasil
analisis tersebut. Lebih-lebih karena membicarakan evolusi manusia adalah membicarakan
diri kita sendiri, oleh karena itu tidak dapat dielakkan adanya rancu ilmiah (Scientific bias)
dan rancu kultural (Cultural Bias).
Upaya untuk mencari hubungan seperti dimaksud di atas, menurut ahli antropologi,
merupakan suatu keharusan, karena manusia adalah bagian integral dari alam, dari suatu segi
mempunyai kedudukan yang sama dengan makhluk hidup yang lain, jadi merupakan produk
evolusi dan dari segi lain mempunyai kemampuan dan potensi yang khas, yang dapat
mempengaruhi alam sekelilingnya.
Sotoran pada aspek biologik pada makhluk-makhluk yang dianggap leluhur manusia,
atau setidak-tidaknya diduga mempunyai leluhur yang sama dengan manusia atau hidup
berdampingan pada waktu yang lama.
Pada fosil makhluk-makhluk tersebut analisis utama dapat ditunjukkan pada bagian-
bagian yang paling pokok, yaitu: kaki, pinggul, tangan dan kepala. Ketiga bagian tersebut
merupakan kunci yang antara lain  dapat memberikan gambaran tentang posisi tubuh,
perilaku gerak dalam kaitannya dengan tanggapan terhadap rangsang, perilaku gerak dalam
kaitannya dalam upaya pemenuhan kebutuhan fisologik, kemampuan memilih, menggunakan
dan membuat alat bantu untuk pemenuhan kebutuhan fisiologik, kedudukan alat indera dan
besarnya potensi penginderaanya, volume otak dan perkembangan bagian-bagiannya,
kedudukan kepala dalam kaitannya dengan kedudukan otot-otot tertentu, bentuk dan perilaku
makan.
Dari bentuk tulang pinggul dapat diperkirakan posisi tubuh fosil yang diteliti, sewaktu
masih hidup (Lihat Gambar 7.3).
Panjang tulang-tulang, panjang kaki ikut menentukan gerak atau kegesitan gerak,
kemudian pula besarnya tulang-tulang tersebut, kondisi tulang, lurus atau bengkok ikut pula
menentukan, begitu juga kedudukan tulang telapak kaki. Pada manusia sekarang
kedudukannya tulang-tulang tersebut, sedemikian rupa keadaannya, sehingga bila kaki
ditapakkan, telapak kaki tidak seluruhnya secara merata menapak di landasan.
Bipedalisme, sungguhpun tidak menjamin kecepatan gerak, tetapi ada keleluasaan
gerak, yang memberi keuntungan pada usaha membela diri. Dari segi lain bipedalisme
memberi kebebasan pada ekstremitas superior yang memberi keuntungan dalam rangka
membela diri, mencari makan dan menghasilkan karya mulai bentuk yang paling sederhana
seperti kapak genggam sampai karya yang bernilai seni seperti halnya Manusia Cro-Magnon
(Lihat Gambar 7.2). Karya bentuk lukisan tersebut hanya akan terwujud bila ibu jari dapat
bergerak secara luwes (prehensil) dan dapat dipertemukan dengan jari-jarinya atau paking
tidak dengan jari telunjuk. Keuntungan lain dari ekstremitas superior dari fungsi lokomosi
adalah dipengaruhinya fungsi lain, seperti pemeliharaan atau mengasuh anak/keturunan dan
meraba serta untuk komunikasi dalam bentuk isyarat, disamping bentuk-bentuk lambang lain
yang telah dikemukakan di awal bab ini dinyatakan sebagai transmisi informasi non-genetik,
suatu bentuk aktivitas psiko-sosial.
Letak alat indera, misalnya mata, yang terletak pada suatu bidang memungkinkan
adanya penginderaan binokuler, dan pada perkembangannya memungkinakan penginderaan
stereoskopik, sehingga obyek tiga dimensi dapat tertangkap sebagaimana keadaan yang
sebenarnya. Pada makhluk arboreal, yang hidup di pepohonan, jarak dahan ke dahan dapat
terindera secara tepat. Pada makhluk teresterial penginderaan stereoskopik memberikan
kemampuan pandang dalam yang memungkinkan dapat mengindera dengan cermat. Pada
makhluk arboreal dan teresterial dan teresterial perkembangan penglihatan dan perabaan yang
semakin maju, melebihi perkembangan indera penciuman dan pendengar. Bagi makhluk
arboreal ini sangat berarti untuk ketepatan sasaran yang akan dicapai, sedang pada makhluk
teresterial koordinasi tangan dan mata merupakan sarat pembutan alat perkakas.
Bentuk tengkorak memberi kemungkinan perkembangan bagian-bagian otak tertentu,
seperti bagian frontal yang berkaitan dengan gerak, bagian temporal berkaitan dengan tutur
dan ingatan, bagian occipital ada hubungannya dengan penyimpanan informasi.
Semakin luas dan kompleksnya pengideraan baik melalui indera penglihatan maupun
peraba, membawa konsekuensi perkembangan sistem masukkan sensorik, mekanisme neural
untuk mengevaluasi masukkan sensorik, dalam hal ini terjadi di cortek cerebri, yang juga
berfungsi untuk formulasi dan inisiasi tanggapan terhadap stimulasi lingkungan yang
diindera.
Rahang bawah yang masif dan karenanya berat, serta menonjol ke muka,
mengisyaratkan sulitnya komunikasi secara lisan, demikian pula adanya guratan yang
menunjukkan tempat pertautan otot yang kuat. Gigi geligi pada rahang memberi ilustrasi
apakah sewaktu hidup makanannya berasal dari tumbuhan atau berupa daging. Geligi yang
merupakan indikator apakah pemakan daging dapat dikaitkan dengan bentuk dan susunan
tangan yang luwes.
Makhluk bipedal yang berpostur tegak atau hampir tegak yang oleh sementara ahli
digolongkan pada homonid (menyerupai manusia) adalah Australopitesin (kera dari selatan).
Dibedakan Australopitesin pemakan tumbyhan seperti Australopithecus robustus, dilihat dari
geliginya dan pemakan daging seperti Australopithecus boisei. Volume otak berkisar antara
400 – 530 cc, ciri ke-kera-an selain dilihat dari volume otaknya juga dari dahi yang rendah,
tulang kening yang menonjol, rahang masif dan geligi kekeraan. Kepala menggantung karena
foramen magnum berada di belakang. Di antara Australopithesin yang dikenal diantaranya
yang paling muda adalah Australopithecus boisei. Sementara para ahli beranggapan bahwa
makhluk tersebut telah mampu membuat alat, nyata dapat dibedakan dari yang ada
disekitarnya. Namun kemudian dari hasil penggalian Leaky suami istri, ditemukan di Olduval
(tanganyika) fosil yang oleh mereka disebut sebagai Homo habilis si manusia tukang. Dari
tengkorak yang ditemukan terlihat bahwa kapasitas otaknya lebih besar dari Australopitesin,
tengkoraknya halus cenderung membulat, dan tangannya menurut Napier, yang ahli dalam
penelaahan fungsi tangan, mempunyai kapabilitas untuk membuat alat. Namun sengketa
tentang julukan Homo berkembang dan ada yang beranggapan bahwa “Homo habilis” adalah
Australopitesin yang sudah maju.
Dari pendapat yang pertama dapat diartikan bahwa Australopiesin dan leluhur Homo
haiblisbersia sekitar 2,5 juta tahun. Perkiraan ini didasarkan pada penemuan Richard
Leaky  di danau Turkana yang mempunyai keistimewaan antara lain mempunyai tulang
kening yang tidak menjorok, kapasitas otak ± 800 cc, dan dikenal sebagai pemakan daging.
Fosil ini kemudian dikenal sebagai manusia 1470, disebut demikian karena di Musium
Nasional Kenya tercatat sebagai fosil yang  bernomor 1470. Fosil yang lebih muda adalah
fosil yang semula dijuluki sebagai manusia kera atau Pithecanthropus, yang karena berdiri
tegak, disebut Pithecanthropus erectus. Namun kemudian julukan tersebut dirubah
menjadi Homo erectus karena ciri-ciri manusianya lebih menonjol. Dengan demikian
statusnya kebalikan dari Australopithecus yang dijuluki kera yang mirip manusia.
Volume otak Homo erectus berkisar antara 700 – 900 cc, seperti yang dikemukakan
oleh Von Koenigswald di Jawa, manusia jawa yang berkapasitas 900 cc. Tengkorak dari
anak-anak dari apa yang disebut Homo erectus Mojokerto saja, kapasitas otaknya 700 cc,
fosil yang sangat mirip dengan Homo erectus penemuan Von Koenigswald adalah Homo
erectus Peking yang semula disebut sebagai Sinanthropus.
Fosil yang lebih muda yang kemudian disebut manusia Trinil dan manusia Ngandong
(Homo erectus Soloensis) disebut demikian karena letak kedua kota tersebut adalah dekat
Bengawan Solo, mempunyai kapasitas otoak antara 900 – 1.000 cc. Besarnya otak ini
selanjutnya dikaitkan pula dengan ditemukannya ± 2.400 perkakas dekat Pacitan. Mereka
sudah menggunakan api, sebagaimana diketahui api adalah suatu yang menarik, melalui
penginderaan mata, tetapi sekaligus menakutkan bagi binatang. Diperkirakan otak Homo
erectus mempu memanipulasi api tidak saja untuk memanasi tubuh tetapi untuk keperluan
yang lain.
Ciri yang mendekati ciri manusia adalah adanya prosessus mastoideus, tonjolan tulang
tengkorak, oss, mastoideus, yang letaknya dibelakang telinga. Disamping itu gigi geligi yang
serupa manusia , tidak ada taring yang muncul, sedang proporsi rahangnya mirip proporsi
rahang manusia. Namun demikian ciri kekeraan yang masih terlihat adalah tulang kening
yang menonjol dan masif serta dahi yang melereng (agak kurang), pada Homo erectus
Peking, fosil ini di juluki Pra-Neanderthal.
Tengkorak manusia Lembah Neander menunjukkan semakin dekat ciri manusia
modern, namun belum dapat digolongkan pada manusia modern. Bentuk bagian tengkorak
tidak seekstrim pada Homo erectus ataupun Australopiithecus, meskipun ciri adanya tulang
kening dan tidak adanya dagu masih mewarnai bentuk tengkorak keseluruhan. Yang
mengherankan adalah besarnya otak sama dengan otak manusia modern. Manifestasi dengan
semakin besarnya volume otak tersebut adalah adanya gejala pemujaan suatu yang abstrak,
mereka telah mulai berabstraksi dan setidak-tidaknya berkhayal.
Catatan fosil yang khusus adalah fosil manusia Swanscombe dari lembah sungai
Thames (London) yang ternyata kemungkinan besar lebh tua dari manusia lembah Neander,
namun mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan Homo sapiens. Sementara ahli beranggapan
bahwa Manusia Swanscombe, juga yang lain, yaitu Steinheim merupakan manusia modern
yang muncul terlalu dini, garis-garis primitif memang masih kelihatan, namun lebih
berkemang dibanding dengan manusia Lembah Neander.
Fosil manusia Cro-Magnon, yang hidup 40.000 – 10.000 tahun yang lalu, adalah benar-
benar makhluk yang mirip dengan Homo sapiens. Tengkorak tipis, dahi tinggi, mulut tidak
monyong sedang besarnya otak sama dengan manusia modern.
Secara lepas makin muda umur geologik fosil, makin kompleks perkembangan budaya,
dan aspek psiko-sosialnya, semakin muda umur geologik fosil, perkembangan bagian tubuh
tertentu semakin mirip dengan manusia modern.
Pertanyaan yang timbul adalah apakah perkembangan raga tersebut ada
kesinambungannya, untuk dapat dikatakan sebagai suatu proses evolusi.
Munculnya Homo hibilis pada masa  “kejayaan” Australopithecus, dan munculnya
manusia Swanscombe bersamaan waktunya dengan Homo erectus, memberikan gambaran
kemungkinan adanya kesinambungan informasi genetik.
Hal tersebut mendorong para ahli untuk mencoba mencari bentuk-bentuk antara, antara
manusia dengan kera. Hal ini penting oleh karena hebatnya pro dan kontra terhadap teori
yang dikemukakan oleh Charles Darwin yang menyatakan bahwa spesies itu mengalami
perubahan dari masa ke masa, tanpa dapat mengelak dari pengaruh lingkungan, perubahan itu
dapat begitu jauh hingga dapat menjadi spesies baru.
Dari penemuan Australopitesin yang dianggap sebagai kera yang mempunyai ciri
manusia, kemudian manusia kera yang dinyatakan cenderung sebagai manusia tetapi masih
mempunyai ciri kera, semua itu tidak melegakan harapan, karena ciri-ciri yang ada pada
Australopitesin, maupun manusia kera (Pithechantropus) masih terlalu harus. Para ahli masih
mencari bentuk peralihan yang lebih “halus”, suatu bentuk “campuran”  dalam arti
sebenarnya.
Sehingga pada tahun 1912, Charles Dawson menemukan fosil di Piltdown (Inggris)
yang benar-benar dapat mewakili bentuk antara yang dicari. Fosil tersebut menunjukkan
adanya campuran yang lebih, integral, karena telah direkonstruksi bentuk fosil itu nyata-nyata
merupakan tengkorak manusia modern, dengan rahang bawah yang mempunyai ciri kera.
Fosil tersebut pernah dinamaiEoanthropus Dawnsoni, meskipun demikian dengan
membandingkan fosil tersebut dengan penemuan lain, para ahli merasa curiga, karena fosil
yang ditemukan adalah cenderung menunjukkan tengkorak yang menyerupai kera dan rahang
yang menyerupai manusia. Lalu arah evolusi manakah yang benar?
Ternyata kemudian pada permulaan 1950, dengan pengujian kimiawi, melalui Horine
Test serta melalui analisis anatomi, ternyata bahwa fosil tersebut palsu. Tengkorak tersebut
adalah hasil rakitan yang cermat tentunya oleh orang yang mengenal kimia dan anatomi. Hal
ini menilik warna tulang yang kepurba-purbaan dan bentuk gigi yang kekera-keraan, hasil
suatu kikiran yang cukup halus.
Akhirnya manusia Piltdown disisihkan dari percaturan penelitian fosil-fosil antara, dan
dianggap sebagai suatu lelucon yang menyakitkan hati. Betapa tidak, selama ± 40 tahun, para
ahli berdebat dan terdorong untuk mencari kelengkapan informasi tentang fosil tersebut.

E. Manusia Modern

Homo erectus dan Homo sapiens mempunyai morfologi yang berbeda. Rangka Homo


erectus lebih kekar dan kompak daripada Homo sapiens yang mengindikasikan secara
fisik Homo sapiens lebih lemah dibanding Homo erectus. Di sisi lain, biometrik Homo
sapiensmenunjukkan karakter yang lebih berevolutif dan lebih canggih dari Homo erectus.
Yang paling signifikan adalah bertambahnya kapasitas otak yang jauh lebih besar. Alat-alat
mastikasi Homo erectus yang sangat kuat telah banyak tereduksi di kalangan Homo
sapiens menunjukkan. Segi-segi morfologi dan tingkatan kepurbaannya menunjukkan
perbedaan yang nyata antara dua spesies yang sangat dalam satu genus Homo tersebut. Homo
sapiens akhirnya tampil sebagai spesies yang sangat tangguh dalam beradaptasi dengan iklim
dan sekaligus menyebar ke segala penjuru dunia dengan cepat.

Kehadiran Homo sapiens sebagai manusia modern di muka bumi masih menjadi kontroversi


dalam ilmu paleoantropologi. Kapan, di mana, dan bagaimana proses transformasi dari Homo
erectus ke Homo sapiens belum terjawab secara utuh. Berbagai teori telah mewarnai
munculnya Manusia Modern di dunia. Masing-masing teori mempunyai penganut serta
mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Anda mungkin juga menyukai