Anda di halaman 1dari 19

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Lokasi Penelitian


1.1.1. Kesampaian Lokasi
Lokasi penelitian berada di Dususn Karanganyar, Desa Ngalang, Kecamatan
Gedang Sari, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Lokasi ini dapat dijangkau dengan menggunakan sepeda motor dengan waktu tempuh
sekitar 40 menit dari kota Yogyakarta.

1.1.2 Formasi Lokasi Penelitian


Lokasi pengamatan terletak pada Formasi Sambipitu.Lokasi tipe formasi ini
terletak di Desa Sambipitu pada jalan raya Yogyakarta-Patuk-Wonosari kilometer
27,8. Secara lateral, penyebaran formasi ini sejajar di sebelah selatan Formasi
Nglanggran, di kaki selatan Subzona Baturagung, namun menyempit dan kemudian
menghilang di sebelah timur. Ketebalan Formasi Sambipitu ini mencapai 230 meter.
Batuan penyusun formasi ini di bagian bawah terdiri dari batupasir kasar,
kemudian ke atas berangsur menjadi batupasir halus yang berselang-seling dengan
serpih, batulanau dan batulempung. Pada bagian bawah kelompok batuan ini tidak
mengandung bahan karbonat. Namun di bagian atasnya, terutama batupasir,
mengandung bahan karbonat. Formasi Sambipitu mempunyai kedudukan menjemari
dan selaras di atas Formasi Nglanggran.
Fosil yang ditemukan pada formasi ini diantaranya Lepidocyclina verbeekiNEWTON
dan HOLLAND, Lepidocyclina ferreroi PROVALE, Lepidocyclina sumatrensis
BRADY, Cycloclypeus comunis MARTIN, Miogypsina polymorphaRUTTEN dan
Miogypsina thecideaeformis RUTTEN yang menunjukkan umur Miosen Tengah
(Bothe, 1929). Namun Suyoto dan Santoso (1986, dalam Bronto dan Hartono, 2001)
menentukan umur formasi ini mulai akhir Miosen Bawah sampai awal Miosen
Tengah. Kandungan fosil bentoniknya menunjukkan adanya percampuran antara
endapan lingkungan laut dangkal dan laut dalam. Dengan hanya tersusun oleh

1
batupasir tuf serta meningkatnya kandungan karbonat di dalam Formasi Sambipitu ini
diperkirakan sebagai fase penurunan dari kegiatan gunungapi di Pegunungan Selatan
pada waktu itu (Bronto dan Hartono, 2001).

1.2 Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dalam laporan ini yaitu
- Mengetahui pengertian dari fosil jejak.
- Mengetahui formasi pada lokasi penelitian dan litologi di daerah
penelitian tersebut.
- Dapat menentukan jenis proses pengawetan, pola hidup, lingkungan
pengendapan dari fosil jejak tersebut.
- Dapat menentukan lingkungan pengendapan batuan didasarkan atas sifa
dan ekologi kehidupan fosil yang dikandung dalam batuan tersebut

1.3 Lokasi Analisis Fosil Jejak


Dalam pengamata pada penelitian ini dibagi menjadi 2 lokasi pengamatan
yaitu lokasi pengamatan 1 dan lokasi pengamatan 2.

1.3.1 Lokasi Pengamatan 1


Daerah penelitian termasuk dalam wilayah fisiografi bagian tengah dan timur
Pulau Jawa (van Bemmelen, 1949) yaitu zona Pegunungan Selatan. Penelitian
dipusatkan pada daerah kali Ngalang, dusun Karanganyar, Kecamatan Gedangsari,
Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

1.3.2 Lokasi Pengamatan 2


Daerah penelitian termasuk dalam wilayah fisiografi bagian tengah dan timur
Pulau Jawa (van Bemmelen, 1949) yaitu zona Pegunungan Selatan. Penelitian
dipusatkan pada daerah kali Ngalang, dusun Karanganyar, Kecamatan Gedangsari,
Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

2
BAB 2
DASAR TEORI

2.1. Fosil Jejak

- Pengertian Fosil Jejak


Ichnofossil atau trace fossil didefinisikan sebagai : Suatu struktur sedimen
berupa track, trail, burrow, tube, boring atau tunnel yang terawetkan (terfosilisasi)
sebagai hasil dari aktifitas kehidupan (selain tumbuh) hewan. Tanda/jejak yang dibuat
hewan-inventerbrate saat bergerak, merayap, makan, memanjat, lari atau istirahat,
pada atau di dalam sedimen lunak.Struktur sedimen ini seringkali terawetkan
sehingga membentuk tinggian atau rendahan (a raised or depressed form) pada batuan
sedimen.
Tanda/jejak hasil aktifitas atau kebiasaan organisma sebagai trace fossil atau
ichofossil dikenali berupa : tracks, trail, burrow, tube, boring atau tunnel.
a. Track
Struktur fosil jejak berupa bekas atau jejak yang tercetak pada material
lunak, terbentuk oleh kaki burung, reptil, mamalia atau hewan lainnya. Istilah lain
untuk track adalah footprint.
b. Trail
Struktur fosil jejak berupa jejak atau tanda lintasan satu atau beberapa
hewan yang berbentuk tanda seretan menerus yang ditinggalkan organisma pada saat
bergerak di atas permukaan.
c. Burrow
Struktur fosil jejak berupa liang di dalam tanah, biasanya untuk
bersembunyi.
d. Tube
Struktur fosil jejak berupa pipa.
e. Borring
Struktur fosil jejak berupa (lubang) pemboran, umumnya berarah vertikal.
f. Tunnel

3
Struktur fosil jejak berupa terowongan sebagai hasil galian.
- Kegunaan Fosil Jejak
Trace fossils tidak mengawetkan tubuh atau morfologi organisma, tapi
memiliki kelebihan dibandingkan fosil kerangka, yaitu :
a. Trace fossils biasanya terawetkan pada lingkungan yang berlawanan
dengan pengendapan fosil rangka (misalnya : perairan dangkal dengan
energi tinggi, batupasir laut dangkal dan batulanau laut dalam)
b. Trace fossils umumnya tidak dipengaruhi oleh diagenesa, dan bahkan
diperjelas secara visual oleh proses diagenesa.
c. Trace fossils tidak tertransport sehingga menjadi indikator lingkungan
pengendapan yang sebenarnya.

2.2. Klasifikasi Fosil Jejak


Klasifikasi dalam fosil jejak dapat didasrkan pada 4 hal yaitu, taksonomi,
model pengawetan, pola hidup dan lingkungan pengendapan.

2.3 Taksonomi Fosil Jejak


Penggunaan taksonomi dalam fosil jejak disebut dengan Ichnotaxonomy.
Sampai sekarang taksonomi di dalam fosil jejak masih dalam perdebatan, hal ini
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
- Jejak yang sama dapat saja dihasilkan oleh lebih dari satu jenis organis.
Contoh : Ophiomorpha
- Satu organism dapat menghasilkan berbagai jejak. Contoh : Nereites,
Scalarituba dan lain-lain.
- Bagian-bagian struktur biogenic dapat dihasilkan oleh dua atau lebih
organism berbeda yang hidup bersama-sama. Contoh : Thalassinoides.

2.4. Model Pengawetan


Beberapa peneliti telah memberikan berbagai usulan mengenai kategori dan
pengertian dari aspek-aspek model pengawetan. Salah satunya adalah Seilacher
(1964) membedakan bentukan-bentukan fosil-fosil jejak berdasarkan posisi stratum.

4
Dalam klasifikasi ini dihasilkan kelompok-kelompok full relief, semirelief dan
hyporelief.

Gambar 2.1. Pengertian dari klasifikasi fosil jejak berdasarkan model pengawetan
menurut Seilacher (1967, diambil dari Ekdale, dkk, 1984)

2.5. Pola Hidup


Sejak diketemukan hubungan antara fosil jejak dengan perilaku organism,
maka salah satu tujuan mempelajari fosil jejak adalah mengenali perilaku dari
organism yang sudah mati. Perilaku-perilaku tersebut dapat tercermin pada struktur
sedimen dan dapat dibedakan dalam beberapa jenis perilaku. Seilacher
mengelompokan jenis-jenis perilaku menjadi :
- Domichnia, merupakan jejak-jejak tempat tinggal dari suatu organism.
- Repichnia, merupakan jejak yang dibentuk oleh pergerakan organism
termasuk berlari, merayap, berjalan. Bentuk dapat memotong perlapisan,
sejajar, berkelok atau berpola tidak beraturan.
- Cubichnia, merupakan jejak yang dibentuk pada saat organism istirahat
selama beberapa waktu.
- Fodinichnia, jejak yang terbentuk pada infaunal deposit feeders. Merupakan
kombinasi tempat tinggal sementara dengan pencarian makanan.
- Pascichnia, jejak yang terbentuk dari kombinasi antara mencari makan dan
berpindah tempat.

5
- Fugichnia, merupakan jejak yang terbentuk dari aktivitas melepaskan diri dari
kejaran organism pemangsa.
- Agrichnia, jejak yang berbentuk tidak teratur, belum dapat ditentukan jenis
aktivitasnya.

Gambar 2.2 Jenis – jenis fosil jejak berdasarkan perilaku organisme menurut
Seilacher (1967, diambil dari Ekdale, dkk, 1984)

2.6. Lingkungan Pengendapan


Kegunaan utama dari studi fosil jejak adalah sebagai penentu lingkungan
masa lampau. Seilacher ( 1967 ) memperkenalkan konsep Ichnofasies yaitu hubungan
antara lingkungan pengendapan dengan kemunculan fosil-fosil jejak. Konsep ini
kemudian lebih dikembangkan lagi oleh Pemberton, dkk ( 1984 ).
Berdasarkan lingkungannya, fosil jejak dikelompokkan ke dalam lima
Ichnofasies. Kelima fasies tersebut pembentukannya bukan hanya dikontrol oleh
batimetri dan salinitas saja, namun juga dikontrol oleh bentuk permukaan dan jenis
lapisan batuannya. Pada umumnya Ichnofasies terbentuk pada substrat yang lunak,
namun ada beberapa yang terbentuk pada substrat yang keras. Kelima fsies tersebut
adalah :

6
- Scoyenia, terbentuk pada lingkungan darat ataupun air tawar. Beberapa genus
yang masuk dalam fasies ini antara lain :Scoyenia, Planolites, Isopdhichnus
dan beberapa yang lainnya.
- Skolithos, terbentuk pada daerah intertidal dengan substrat berupa pasir
dengan fluktuasi air tinggi. Didominasi oleh fosil jejak jenis vertical.
Beberapa genus yang masuk kelompok ini antara lain : Skolthos,
Diplocraterion, Thallasinoides dan Ophiomorpha.
- Cruziana, terbentuk pada laut dangkal dengan permukaan air laut surut.
Sangat dipengaruhi oleh gelombang. Hampir semua bentuk baik vertical
maupun horizontal dapat terbentuk. Beberapa genus yang termasuk kelompok
ini antara lain : Rusophycus, Cruziana dan Rhizocorallium
- Zoophycos, terbentuk pada lingkungan laut bathyal, tidak dipengaruh oleh
pengaruh gelombang. Biasanya didominasi oleh jenis horizontal. Genus yang
masuk dalam fasies ini antara lain : Zoophycos.
- Nereites, terbentuk pada lingkungan laut abyssal. Biasanya terbentuk pada
substrat lempung daripada distal turbidity beds. Genus yang masuk dalam
kelompok ini antara lain : Nereites dan Scalarituba.

7
Tabel2.1. Hubungan antara fasies fosil jejak dengan lingkungannya menurut Collison
dan Thompson (1984); dalam Pandita (2003)
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1. Litologi Lokasi Pengamatan


- Litologi Lokasi Pengamatan 1a

Gambar 3.1. Litologi Lokasi Pengamatan 1a dengan kedudukan lapisan N 80°E/ 26°
dan azimuth N 195°E
Terdiri dari 2 unit litologi. Unit litologi ini yaitu :
a. Unit Litologi batupasir karbonatan
Dijumpai warna berupa coklat dengan tekstur yaitu ukuran butir berupa
pasir sedang sampai pasir halus (1/2 – 1/8 mm), kemudian memiliki struktur berupa
berlapis. Komposisi dari batuan tersebut yaitu terdiri dari fragmen dan matriks
berukuran pasir berupa mineral karbonatan dengan ciri khas yaitu akan bereaksi
dengan HCl dan terdapat perselingan batulanau dibawah lapisan tersebut.
b. Unit Litologi batulanau

8
Dijumpai warna berupa putih kecoklatan dengan tekstur yaitu ukuran butir
berupa pasir sangat halus sampai lanau (1/8 – 1/256 mm), kemudian memiliki
struktur berupa berlapis. Komposisi dari batuan tersebut yaitu fragmen dan matrik
berukuran lanau dengan kandungan mineral karbonatan dengan ciri khas yaitu akan
bereaksi dengan HCl.

- Litologi Lokasi Pengamatan 1b

Gambar 3.2. Litologi Lokasi Pengamatan 1B dengan kedudukan lapisan N 83°E/ 22°
dan azimuth N 170°E

a. Unit Litologi batupasir karbonatan


Dijumpai warna berupa putih kecoklatan dengan tekstur yaitu ukuran butir
berupa pasir sedang sampai pasir halus (1/2 – 1/8 mm), kemudian memiliki struktur
berupa berlapis. Komposisi dari batuan tersebut yaitu terdiri dari fragmen dan matriks
berukuran pasir berupa mineral karbonatan dengan ciri khas yaitu akan bereaksi
dengan HCl dan terdapat perselingan batulanau dibawah lapisan tersebut.
b. Unit Litologi batupasir

9
Dijumpai warna berupa abu – abu kehitaman dengan tekstur yaitu ukuran
butir berupa pasir halus sampai pasirsangat halus (1/2 – 1/8 mm), kemudian memiliki
struktur berupa berlapis. Komposisi dari batuan tersebut yaitu terdiri dari mineral
fragmen dan litik berukuran pasir dengan semen silica.

- Litologi Lokasi Pengamatan 2a


Terdiri dari 2 unit litologi. Unit litologi ini yaitu :
a. Unit Litologi batupasir karbonatan
Dijumpai warna berupa abu – abu terang dengan tekstur yaitu ukuran butir
berupa pasir sedang sampai pasir halus (1/2 – 1/8 mm), kemudian
memiliki struktur berupa berlapis. Komposisi dari batuan tersebut yaitu
terdiri dari fragmen dan matriks berukuran pasir berupa mineral
karbonatan dengan ciri khas yaitu akan bereaksi dengan HCl dan terdapat
perselingan batulanau dibawah lapisan tersebut.
b. Unit Litologi batupasir karbonatan
Dijumpai warna berupa abu – abu kecoklatan dengan tekstur yaitu ukuran
butir berupa pasir kasar sampai pasir sedang (1 – 1/4 mm), kemudian
memiliki struktur berupa berlapis. Komposisi dari batuan tersebut yaitu
terdiri dari fragmen dan matriks berukuran pasir berupa mineral
karbonatan dengan ciri khas yaitu akan bereaksi dengan HCl dan terdapat
perselingan batulanau dibawah lapisan tersebut.

10
- Litologi Lokasi Pengamatan 2b

Gambar 3.3. Litologi Lokasi Pengamatan 2B dengan kedudukan lapisan N 80°E/ 26°
dan azimuth N 315°E

a. Unit Litologi batupasir karbonatan


Dijumpai warna berupa abu – abu terang dengan tekstur yaitu ukuran butir
berupa pasir sedang sampai pasir halus (1/2 – 1/8 mm), kemudian memiliki struktur
berupa berlapis. Komposisi dari batuan tersebut yaitu terdiri dari fragmen dan matriks
berukuran pasir berupa mineral karbonatan dengan ciri khas yaitu akan bereaksi
dengan HCl dan terdapat perselingan batulanau dibawah lapisan tersebut.
b. Unit Litologi batupasir karbonatan
Dijumpai warna berupa abu – abu kecoklatan dengan tekstur yaitu
ukuran butir berupa pasir kasar sampai pasir sedang (1 – 1/4 mm), kemudian
memiliki struktur berupa berlapis. Komposisi dari batuan tersebut yaitu terdiri dari
fragmen dan matriks berukuran pasir berupa mineral karbonatan dengan ciri khas
yaitu akan bereaksi dengan HCl dan terdapat perselingan batulanau dibawah lapisan
tersebut.

11
3.2. Fosil Jejak Daerah Penelitian
Keterdapatan fosil jejak di lokasi penelitian boleh dikata sangat banyak sekali.
Akan tetapi karena kondisi singkapan tergenang air akibat arus yang cukup
deras,mengakibatkan hanya beberapa fosil yang dapat di amati.
- Fosil Jejak Lokasi Pengamatan 1
a. Fosil Jejak 1

Gambar 3.4. Fosil Jejak Ephicnia (Martinson) dengan azimuth N 195°E

Dijumpai fosil jejak dengan model pengawetan menurut Seilacher berupa


Semi relief (Epirelief) dan menurut Martinson berupa Ephicnia.(Concave)
berdasarkan klasifikasi fosil jejak model pengawetan menurut Seilacher (1967,
diambil dari Ekdale, dkk, 1984). Pola hidup fosil jejak berdasarkan Seilacher (1967)
termasuk kedalam Rephicniayaitu jejak yang dibentuk pada saat organisme termasuk
berlari, merayap, berjalan dengan bentuk berkelok. Ciri – ciri lain pada fosil ini yaitu
memiliki panjang sekitar 8 cm dan lebar 1 cm dengan pengisi lebih halus dari batuan.
Pengisi berupa batupasir halus sedangkan batuan yang diisi yaitu batupasir sedang
sampai kasar.

12
b. Fosil Jejak 2

Gambar 3.5. Fosil Jejak Edhicnia (Martinson) dengan azimuth N 170°E

Dijumpai fosil jejak dengan model pengawetan menurut Seilacher berupa Full
relief dan menurut Martinson berupa Edhicnia.(Convex) berdasarkan klasifikasi fosil
jejak model pengawetan menurut Seilacher (1967, diambil dari Ekdale, dkk, 1984).
Pola hidup fosil jejak berdasarkan Seilacher (1967) termasuk kedalam Domichnia
yaitu jejak tempat tinggal dari suatu organisme. Ciri – ciri lain pada fosil ini yaitu
bebrbentuk membulat di permukaan dengan diameter 2 cm. Pengisi lebih halus dari
batuan. Pengisi berupa batupasir sangat halus sedangkan batuan yang diisi yaitu
batupasir sedang sampai halus.

13
- Fosil Jejak Lokasi Pengamatan 2
a. Fosil jejak 1

Gambar 3.6. Fosil Jejak Ephicnia (Martinson) dengan azimuth N 354°E


Dijumpai fosil jejak dengan model pengawetan menurut Seilacher berupa
Semi relief (Epirelief) dan menurut Martinson berupa Ephicnia.(Concave)
berdasarkan klasifikasi fosil jejak model pengawetan menurut Seilacher (1967,
diambil dari Ekdale, dkk, 1984). Pola hidup fosil jejak berdasarkan Seilacher (1967)
termasuk kedalam Domichnia yaitu jejak – jejak tempat tinggal suatu organisme. Ciri
– ciri lain pada fosil ini yaitu memiliki panjang sekitar 7,5 cm dan lebar 2,5 cm.
b. Fosil Jejak 2
Dijumpai fosil jejak dengan model pengawetan menurut Seilacher berupa
Semi relief (Epirelief) dan menurut Martinson berupa Ephicnia.(Concev)
berdasarkan klasifikasi fosil jejak model pengawetan menurut Seilacher (1967,

14
diambil dari Ekdale, dkk, 1984). Pola hidup fosil jejak berdasarkan Seilacher (1967)
termasuk kedalam Rephicnia yaitujejak yang dibentuk pada saat organisme termasuk
berlari, merayap, berjalan dengan bentuk berkelok. Ciri – ciri lain pada fosil ini yaitu
memiliki panjang sekitar lebar 2,4 cm dengan pengisi lebih halus dari batuan. Pengisi
berupa batupasir halus sedangkan batuan yang diisi yaitu batupasir sedang sampai
kasar.
c. Fosil Jejak 3

Gambar 3.7. Fosil Jejak Ephicnia (Martinson) dengan azimuth N 315°E

Dijumpai fosil jejak dengan model pengawetan menurut Seilacher berupa


Semi relief (Epirelief) dan menurut Martinson berupa Ephicnia.(Convex)
berdasarkan klasifikasi fosil jejak model pengawetan menurut Seilacher (1967,
diambil dari Ekdale, dkk, 1984). Pola hidup fosil jejak berdasarkan Seilacher (1967)
termasuk kedalam Rephicnia yaitujejak yang dibentuk pada saat organisme termasuk
berlari, merayap, berjalan dengan bentuk berkelok. Ciri – ciri lain pada fosil ini yaitu
memiliki lebar 1 cm dengan pengisi lebih halus dari batuan. Pengisi berupa batupasir
halus sedangkan batuan yang diisi yaitu batupasir sedang.

15
3.3. Analisa Lingkungan Masa Lampau
Pengamatan dilapangan banyak sekali dijumpai fosil jejak terutama di formasi
Sambipitu. Dari pengamatan dilapangan menunjukan bahwa jenis fosil jejak tersebut
adalah Chondroites isp dan Thalasinoides isp.

Berdasarkan asosiasi pada fosil jejak Chondrites isp dan Thalasionides isp
maka daerah penelitian termasuk Fasies Zoophycus. Munculnya Chondrites
menunjukan bahwa daerah penelitian termasuk lingkungan pengenadapan daerah
transisi. Chondrites sendiri terbentuk pada lingkungan pengendapan zona bathyal
didaerah continental slope. Selain itu lingkungan pengendapannya berupa lingkungan
pengendapan arus turbid ( Ekdale, dkk, 1984, dalam Pandita 2003 ). Thalasinoides
merupakan bagian dari fasies Skholites yang terbentuk pada kedalaman 0 – 200 m.
Munculnya Fosil jejak Thalasinoides jelas memeliki lingkungan pengendapan yang
sangat berbeda dengan Chondrites. Fasies Skholites terbentuk pada daerah tidal zone
didaerah Continental shelf yang memiliki arus energi yang kuat.
Menurut Ekdale, dkk, 1984 (dalam Pandita 2003 ), menyebut bahwa
Thalasionides dapat juga muncul di fasies Zoophycus. Berdasarkan fosil jejak
Chondrites dan Thalasionides yang hidup di zona bathyal maka dapat di simpulkan
bahwa daerah penelitian terjadi di Zona Tidal.

16
Tabel3.1. Hubungan antara fasies fosil jejak dengan lingkungannya menurut Collison
dan Thompson (1984); dalam Pandita (2003)

17
BAB 4
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Dari lokasi pengamatan I dijumpai dan II dapat disimpulkan bahwa daerah
tersebut dulunya merupakan lingkungan laut berupa zona tidal. Hal ini ditunjukan
dengan adanya fosil yang terkandung dalam batuan, yakni fosil jejak Chondrites dan
Thalasionides yang hidup di zona bathyal
Hubungan antara lokasi I dan lokasi II menunjukan kedudukan dimana
seakan-akan batuan pada lokasi II lebih tua dibandingkan dengan lokasi I, tetapi
berdasarkan fosil yang terkangdung, fosil pada lokasi I lebih tua dari fosil yang
terkandung pada batuan di lokasi II. Hal ini menunjukan bahwa dulunya lokasi ini
merupakan lingkungan laut dalam yang mengalami pengangkatan akibat aktivitas
tektonik sehingga lapisan batuan yang tersingkap pada saat sekarang telah mengalami
pembalikan .

4.2 Saran
Adapun saran yang dapat dijadikan untuk instropeksi diri sehingga fieldtrip
praktikum paleontologi lebih baik lagi yaitu :
- Penyampaian materi di lapangan lebih banyak, sehingga praktikan dapat lebih
maksimal dalam pengambilan data di lapangan
- Asisten dosen dapat lebih maksimal dalam mendampingi praktikan saat di
lapangan maupun di laboratorium agar berjalan lebih maksimal

18
DAFTAR PUSTAKA

Pandita,H., 2003, Penentuan Lingkungan Pengendapan Berdasarkan Fosil Jejak Pada


Formasi Sambipitu di Lintasan Kali Ngalang, Kecamatan Gedangsari,
Kabupaten Gunung Kidul, Laporan Penelitian , STTNas, Yogyakarta.
Pandita, H., 2008, Lingkungan Pengendapan Formasi Sambipitu Berdasarkan Fosil
Jejak di Daerah Nglipar, JTM, Institut Teknologi Bandung, Vol. XV, No. 2 hal
85-94. ISSN 0854-8528

19

Anda mungkin juga menyukai