Anda di halaman 1dari 13

PPKn 3.1/4.

1/1/1-1

Nama: Nisrina qurrotul Aini


Kelas: X agama 2
No. Absen: 18

U.J.I P.E.M.A.H.A.M.A.N
Coba berikan pendapat atau komentar kalian tentang pelaksanaan desentralisasi di

daerah Jawa Timur, apakah sudah dilaksanakan dengan sepenuhnya oleh pemerintah

daerah tersebut? apa kelebihan dan kelemahan dari system desentralisasi tersebut?

…………………………………………………………………………………………………………………………………
…………… .……………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………………………
PPKn 3.1/4.1/1/1-1

TAHUKAH KALIAN?????

Gedung sekolah merupakan


fasilitas umum yang
disediakan oleh pemerintah
daerah dalam menjalankan
desentralisasi dengan
maksimal.

Sumber. http://ciledug-
ku.blogspot.com/2009/12/gedung-sekolah-di-kota-
ciledug.html

Carilah daerah otonom di Indonesia. Analisislah daerah yang anda pilih

Berkaitan dengan sistem pembagian kekuasaannya, hubungan dengan


pemerintah Pusat dan Kementrian. Anda bisa mencarinya di media cetak
maupun elektronik. Kumpulkan hasilnya kepada guru.
Hubungan antara pusat dan daerah bukanlah sekedar hubungan elit pusat
dan elit daerah. Melainkan hubungan untuk mentransformasikan perlindungan
hak -hak konstitusional dan kesejahteraan rakyat dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Apakah menurut anda hal tersebut sudah tercapai ? Jelaskan
analisa anda!
PPKn 3.1/4.1/1/1-1

Jawaban

1)
Asas densentralilasi ⇒ yg dpt menyebabkan perubahan pradigma yg berperan
penting dlm otonomi daerah, di Indonesia telah dilaksanaannya deasntralilasi
memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan dengan diadakan asas
desentralilasi di Indonesia maka akan membuat keringanan manajemen
pemerintah pusat dengan desantralisasi yg bersifat langasung maka akan
menyebabkan kepuasan bagi daerah disamping itu memerlukan biaya yg besar ..
Walaupun ditutupi dgn kelebihannya asas disentralilasi tidak cukup baik
diadakan di Indonesia krana asas tersebut dpt membauat masyarakat lebih
kedaerah yg tidak baik jika dilaksanakan serta akan membuat kinerja
pemerintahan di Indinesia menjadi lamban kerenana asas tersebut mengambil
keputusan dgn bertele-tele, dpt menyebabkan terjadinya korupsi dgn
penyaluran langasung akan menyebabkan ketidakjelasan dr kepala daerah .

2).

OTONOMI DAN PEMERINTAHAN ACEH *


A. Otonomi Daerah
Berdasarkan UUD 1945, negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk
Republik. Sesuai ketentuan pasal 4 ayat (1) UUD 1945, dalam penyelenggaraan
pemerintahan dinyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan.

Mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas, maka dalam penyelenggaraan


pemerintahan kebijakan desentralisasi dilaksanakan bersamaan dengan asas
dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945 dinyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-
daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur
dengan undang-undang.

Sementara itu dalam pengaturan hubungan antara Pemerintah dengan daerah diatur
dalam pasal 18 A ayat (1) dan (2) sebagai berikut:
1. Hubungan wewenang antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan
undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainya antara Pemerintah dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan
secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
PPKn 3.1/4.1/1/1-1

Konsekuensi dari kandungan pasal-pasal dalam UUD 1945 tersebut dapat ditafsirkan
sebagai berikut:
1. Dalam penyelenggaraan pemerintahan Presiden selaku kepala pemerintahan dapat
melaksanakan dengan :
a. melimpahkan sebagian kewenangan kepada perangkat pusat melalui asas
dekonsentrasi;
b. menyerahkan sebagian kewenangan kepada daerah otonom melalui asas
desentralisasi;
c. menugaskan sebagian kewenangan kepada pemerintahan daerah dan/atau
pemerintahan desa meialui asas tugas pembantuan; dan
d. melaksanakan sendiri.
2. Dalam menyelenggarakan otonomi daerah, dibentuk pemerintahan daerah yang
dilaksanakan oleh Kepala Daerah dan DPRD serta dibantu oleh perangkat daerah.
Anggota DPRD dipilih melalui proses pemilihan umum, dan kepala daerah dipilih
melalui proses pemilihan kepala daerah (Pilkada). Kedua lembaga tersebut diberi
mandat untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya.
3. Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah memiliki
hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, dan pemanfaatan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya dengan pemerintah pusat.
4. Dalam melaksanakan hubungan tersebut Pemerintah melaksanakan fungsi
pembinaan yang salah satu wujudnya dengan menetapkan norma, standar, kriteria dan
prosedur; fasilitasi; supervisi; serta monitoring dan evaluasi agar otonomi daerah
senantiasa dilaksanakan oleh pemerintahan daerah sesuai dengan tujuannya.
Sebaliknya pemerintah daerah wajib menyampaikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan daerah serta melaksanakan otonomi daerah berdasarkan standar,
norma, kriteria, dan prosedur yang ditetapkan oleh Pemerintah. Berdasarkan hal ini
maka pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota merupakan sub-ordinasi
Pemerintah.
5. Kesimpulannya, walaupun Pemerintah memberikan otonomi seluas-luasnya kepada
daerah, pemerintahan daerah tetap merupakan sub-ordinasi Pemerintah dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai amanat konstitusi Rl.

Secara filosofis, ada dua tujuan utama yang ingin dicapai dari penerapan kebijakan
desentralisasi yaitu tujuan demokrasi dan tujuan kesejahteraan. Tujuan demokrasi
akan memposisikan pemerintah daerah sebagai instrumen pendidikan politik di
tingkat lokal yang secara agregat akan menyumbang terhadap pendidikan politik
secara nasional sebagai elemen dasar dalam menciptakan kesatuan dan persatuan
bangsa dan negara serta mempercepat terwujudnya masyarakat madani atau civil
society. Tujuan kesejahteraan mengisyaratkan pemerintahan daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal melalui penyediaan pelayanan publik
secara efektif, efisien dan ekonomis.

Dari tataran filosofis di atas nampak bahwa pemerintahan daerah dituntut untuk
mampu menyejahterakan masyarakat lokal secara demokratis. Proses demokrasi di
tingkat lokal akan nampak dari diselenggarakannya pemilihan anggota-anggota DPRD
PPKn 3.1/4.1/1/1-1

melalui pemilu, pemilihan kepala daerah secara langsung, proses penyusunan


peraturan daerah mengenai APBD, perencanaan pembangunan daerah dan kegiatan
daerah lainnya yang melibatkan partisipasi masyarakat. Oleh karenanya, pemerintahan
daerah harus mampu mengartikulasikan serta mengagregasikan kepentingan
masyarakat, mengakomodasikan pluralitas sosial ke dalam perencanaan dan kegiatan
pemerintahan daerah melalui penyediaan ruang untuk partisipasi publik, transparansi
dan akuntabilitas.
Pemberian otonomi dari Pemerintah kepada daerah otonom pada dasarnya terdapat
dua pola yang lazim diterapkan secara universal yaitu:
1. Pola otonomi terbatas; yakni kewenangan daerah hanya terbatas pada urusan-
urusan pemerintahan yang ditetapkan secara limitatif oleh peraturan perundang-
undangan yang ada.
2. Pola otonomi luas (general competence); yakni daerah diberikan kewenangan yang
iuas untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan yang terkait dengan
kepentingan masyarakat daerah tersebut kecuali urusan pemerintahan yang
ditetapkan menjadi kewenangan Pemerintah. Pengecualian yang lazim diberlakukan
adalah urusan-urusan pemerintahan yang memiliki dampak nasional ataupun
internasional seperti, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal
nasional, yustisi, dan agama.

Kedua pola ini sudah pernah diterapkan di Indonesia dengan berbagai implikasi yang
melingkupinya.

Pada saat ini, sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1945, pola yang dianut adalah
otonomi seluas-luasnya. Ini berarti bahwa daerah diberikan kewenangan yang luas
untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan yang menjadi
kepentingan masyarakat daerah, kecuali yang ditentukan menjadi kewenangan
Pemerintah. Namun, secara empirik Pemerintah selain memiliki kewenangan pada
enam urusan pemerintahan sebagaimana tersebut di atas, juga memiliki kewenangan
lain yakni urusan pemerintahan yang bersifat lintas provinsi, nasional, bahkan lintas
negara. Ini berarti bahwa selain keenam urusan yang mutlak menjadi kewenangan
Pemerintah, terdapat juga bagian dari urusan yang bersifat “concurrent” atau urusan
bersama.
Agar urusan pemerintahan yang bersifat “concurrent” dapat dibagi secara proporsional
antar tingkatan pemerintahan maka sesuai dengan UU Pemerintahan Daerah telah
diatur kriteria pembagian urusan “concurrent” tersebut dengan menggunakan tiga
kriteria yaitu, eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Dengan menerapkan ketiga
kriteria tersebut, maka deskripsi urusan pemerintahan dari Pemerintah, provinsi dan
kabupaten/kota akan menjadi sebagai berikut:

1. Pemerintah:
a. Membuat aturan main dalam bentuk norma, standar dan prosedur untuk
melaksanakan suatu urusan pemerintahan;
b. Menegakkan aturan main dalam bentuk monitoring, evaluasi dan supervisi agar
urusan pemerintahan tersebut dilaksanakan dalam koridor norma, standar, prosedur
yang dibuat Pemerintah;
PPKn 3.1/4.1/1/1-1

c. Melakukan fasilitasi dalam bentuk pemberdayaan (capacity building) agar daerah


mampu melaksanakan otonominya dalam norma, standar dan prosedur yang dibuat
Pemerintah; dan
d. Melaksanakan urusan-urusan pemerintahan yang berdampak nasional (lintas
Provinsi) dan internasional.

2. Pemerintah Provinsi:
Mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam skala provinsi (lintas
kabupaten/kota) sesuai norma, standar, dan prosedur yang ditetapkan oleh
Pemerintah.

3. Kabupaten/Kota:
Mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dalam skala kabupaten/kota
sesuai norma, standar, dan prosedur yang ditetapkan Pemerintah.

Uraian di atas memberikan gambaran umum tentang kebijakan desentralisasi dan


otonomi daerah secara nasional. Namun kebijakan desentralisasi terhadap daerah-
daerah tertentu dapat diberlakukan asimetrik karena daerah tersebut bersifat
istimewa atau khusus. Aceh sesuai dengan konstitusi termasuk dalam kategori daerah
istimewa dan memiliki kekhususan. Oleh karena itu kebijakan terhadap Aceh
diberlakukan lain dengan kebijakan desentralisasi secara umum sebagaimana
diuraikan.

B. Elemen-Elemen Dasar Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Agar pemerintah daerah di Indonesia mampu melaksanakan otonominya secara


optimal, maka kita harus terlebih dahulu memahami secara benar elemen-elemen
dasar yang membentuk pemerintahan daerah sebagai suatu kesatuan pemerintahan.
Sedikitnya ada 7 (tujuh) elemen dasar yang membangun kesatuan pemerintahan
daerah yaitu:

(1) Urusan Pemerintahan.


Elemen dasar pertama dari pemerintahan daerah adaiah “urusan pemerintahan” yang
berupa kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 ada
tiga kriteria yang dipakai dalam membagi urusan pemerintahan yaitu eksternalitas,
akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan
pemerintahan. Berdasarkan kriteria tersebut akan tersusun pembagian kewenangan
yang jelas antar tingkatan pemerintahan (Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota) dari
setiap bidang atau sektor pemerintahan. Dalam koridor otonomi luas setidaknya
terdapat 30 (tiga puluh) sektor pemerintahan yang merupakan urusan pemerintahan
yang didesentralisasikan ke daerah baik yang terkait dengan urusan yang bersifat
wajib untuk menyeienggarakan pelayanan dasar maupun urusan yang bersifat pilihan
untuk menyelenggarakan pengembangan sektor unggulan.
Adapun urusan-urusan pemerintahan yang didesentralisasikan ke daerah sebanyak 30
(tiga puluh) bidang urusan, sebagai berikut:
PPKn 3.1/4.1/1/1-1

1. Pendidikan;
2. Kesehatan;
3. Pekerjaan Umum;
4. Perumahan;
5. Penataan Ruang;
6. Perencanaan Pembangunan;
7. Perhubungan;
8. Lingkungan Hidup;
9. Pertanahan;
10.Kependudukan dan Catatan Sipil;
11.Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak;
12.Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera;
13.Sosial;
14.Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
15.Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah;
16.Penanaman Modal;
17.Kebudayaan dan Pariwisata;
18.Pemuda dan Olah Raga;
19.Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri;
20.Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah,
Perangkat Daerah, Kepegawaian, dan Persandian;
21.Pemberdayaan Masyarakat dan Desa;
22.Statistik;
23.Arsip dan Perpustakaan;
24.Komunikasi dan Informatika;
25.Pertanian dan Ketahanan Pangan;
26.Kehutanan;
27.Energi dan Sumber Daya Mineral;
28.Kelautan dan Perikanan;
29.Perdagangan;
30.Perindustrian.

Desentralisasi urusan pemerintahan ini didasarkan pada urusan-urusan yang ada


kelembagaannya di tingkat pusat baik dalam bentuk departemen atau LPND.
Argumennya adalah jangan sampai “ada lembaga pusat” yang menangani urusan
tersebut, tapi tidak ada kejelasan lembaga mana yang menangani urusan tersebut di
daerah. Semestinya, kebijakan yang dibuat di tingkat pusat harus jelas lembaga mana
yang mengoperasionalkannya di daerah. Namun tidak pula berarti semua urusan
tersebut harus ada kelembagaannya di daerah, karena akan membengkakkan overhead
cost daerah. Yang penting adalah “fungsi” tersebut ada yang bertanggung jawab
melaksanakannya di daerah. Untuk efisiensi, maka perlu ada perumpunan terhadap
urusan-urusan pemerintahan yang sejenis yang diakomodasikan dalam kelembagaan
daerah.

(2) Kelembagaan
PPKn 3.1/4.1/1/1-1

Elemen dasar yang kedua dari pemerintahan daerah adalah kelembagaan. Kewenangan
daerah tidak mungkin dapat dilaksanakan kalau tidak diakomodasikan dalam
kelembagaan daerah. Ada dua kelembagaan penting yang membentuk pemerintahan
daerah, yaitu kelembagaan untuk pejabat politik yaitu kelembagaan kepala daerah dan
DPRD, dan kelembagaan untuk pejabat karir yang terdiri dari perangkat daerah (dinas,
badan, kantor dan sekretariat, kecamatan, kelurahan dll).

(3) Personel
Elemen dasar yang ketiga yang membentuk pemerintahan daerah adalah adanya
personel yang menggerakkan kelembagaan daerah untuk menjalankan kewenangan
otonomi yang menjadi domain daerah. Personel daerah (PNS Daerah) tersebut pada
gilirannya akan menjalankan kebijakan publik strategis yang dihasilkan oleh pejabat
politik (DPRD dan kepala daerah) untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and
services) sebagai hasil akhir (end product) dari pemerintahan daerah.

(4) Keuangan Daerah


Elemen dasar yang keempat yang membentuk pemerintahan daerah adalah keuangan
daerah. Keuangan daerah adalah sebagai konsekuensi dari adanya urusan
pemerintahan yang diserahkan kepada daerah. Hal tersebut sesuai dengan prinsip
“money follows functions”. Daerah harus diberikan sumber-sumber keuangan baik
yang bersumber pada pajak dan retribusi daerah (desentralisasi fiskal) maupun
bersumber dari dana perimbangan (subsidi dan bagi hasil) yang diberikan ke daerah.
Adanya sumber keuangan yang memadai memungkinkan daerah untuk melaksanakan
urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah.

(5) Perwakilan Daerah


Elemen dasar yang kelima yang membentuk pemerintahan daerah adalah perwakilan
daerah. Secara filosofis, rakyatlah yang mempunyai otonomi daerah tersebut. Namun
secara praktis adalah tidak mungkin masyarakat untuk memerintah bersama. Untuk itu
maka dilakukan pemilihan wakii-wakil rakyat untuk menjalankan mandat rakyat dan
mendapatkan legitimasi untuk bertindak untuk dan atas nama rakyat daerah. Dalam
sistem pemerintahan di Indonesia, ada dua jenis wakil rakyat. Pertama, yaitu DPRD
yang dipilih melalui Pemilu untuk menjalankan fungsi legislatif daerah. Kedua, adalah
kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara
langsung oleh rakyat daerah yang bersangkutan untuk menjalankan fungsi eksekutif
daerah. Dengan demikian, kepala daerah dan DPRD adalah pejabat yang dipilih secara
politis oleh rakyat melalui proses pemilihan, yang mendapat mandat untuk mengatur
dan mengurus rakyat dalam koridor kewenangan yang dimiliki daerah yang
bersangkutan.

Dalam elemen perwakilan tersebut terkandung berbagai dimensi yang bersinggungan


dengan hak-hak dan kewajiban masyarakat. Termasuk dalam dimensi tersebut adalah
bagaimana hubungan DPRD dengan kepala daerah; bagaimana hubungan keduanya
dengan masyarakat yang memberikan mandat kepada mereka; pengakomodasian
pluralisme lokal kedalam kebijakan-kebijakan daerah; penguatan civil society dan isu-
isu lainnya yang terkait dengan proses demokratisasi di tingkat lokal.
PPKn 3.1/4.1/1/1-1

(6) Pelayanan Publik


Elemen dasar yang keenam yang membentuk pemerintahan daerah adalah “pelayanan
publik”. Hasil akhir dari pemerintahan daerah adalah tersedianya “goods and services”
yang dibutuhkan masyarakat. Secara lebih detail goods and services tersebut dapat
dibagi dalam dua klasifikasi sesuai dengan hasil akhir (end products) yang dihasilkan
pemerintahan daerah. Pertama pemerintahan daerah menghasilkan public goods yaitu
barang-barang (goods) untuk kepentingan masyarakat lokal seperti jalan, jembatan,
irigasi, gedung sekolan, pasar, terminal, rumah sakit dsb yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Kedua, Pemerintah Daerah menghasilkan pelayanan yang bersifat
pengaturan publik (public regulations) seperti menerbitkan akta kelahiran, KTP, KK,
IMB, dan sebagainya. Pada dasarnya pengaturan publik dimaksudkan untuk
menciptakan ketentraman dan ketertiban (law and order} dalam masyarakat.
Isu yang paling dominan dalam konteks pelayanan publik tersebut adalah bagaimana
kualitas dan kuantitas pelayanan publik yang dihasilkan pemerintah daerah dalam
rangka menyejahterakan masyarakat lokal. Prinsip-prinsip standar pelayanan minimal
dan pengembangan pelayanan prima (better, cheaper, and faster) serta akuntabilitas,
akan menjadi isu utama dalam pelayanan publik tersebut.

(7) Pengawasan
Elemen dasar ketujuh yang membentuk pemerintahan daerah adalah pengawasan.
Argumen dari pengawasan adalah adanya kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan
sebagaimana adagium dari Lord Acton yang menyatakan bahwa “power tends to
corrupt and absolute power will corrupt absolutely”. Untuk mencegah hal tersebut,
maka elemen pengawasan mempunyai posisi strategis untuk menghasilkan
pemerintahan yang bersih. Berbagai isu pengawasan akan menjadi agenda penting
seperti sinergi lembaga pengawasan internal, efektifitas, pengawasan eksternal,
pengawasan sosial, pengawasan legislatif, dan juga pengawasan melekat (built in
control).

C. Perjalanan Terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh

Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945


mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus,
atau bersifat istimewa. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa Aceh merupakan
satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa terkait
dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiiiki
ketahanan yang tinggi. Ketahanan dan daya juang yang tinggi itu bersumber dari
pandangan hidup yang berlandaskan syariat Islam yang kuat sehingga Aceh menjadi
daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pandangan Hidup yang berlandaskan syariat
Islam itulah yang kemudian dijadikan dan diberlakukan sebagai tatanan hidup dalam
bermasyarakat saat ini. Hal demikian kemudian menjadi pertimbangan
penyelenggaraan keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh dengan Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 1999.
PPKn 3.1/4.1/1/1-1

Namun, dalam implementasinya, UU tersebut dipandang kurang memberikan


kehidupan di dalam keadilan atau keadilan di dalam kehidupan. Bagi masyarakat Aceh
kondisi demikian belum dapat mengakhiri pergolakan masyarakat di Provinsi DI Aceh
yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk reaksi. Respons Pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat RI melahirkan salah satu solusi politik bagi penyelenggaraan
persoalan Aceh, berupa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang mengatur
penyelenggaraan otonomi khusus bagi Provinsi DI Aceh sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussaiam.

Dalam pelaksanaannya, undang-undang tersebut juga belum cukup memadai dalam


menampung aspirasi dan kepentingan pembangunan ekonomi dan keadilan politik. Hal
demikian mendorong lahirnya undang-undang tentang Pemerintahan Aceh dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya. Bencana alam, gempa bumi, dan tsunami yang terjadi
di Aceh pada akhir Desember 2004, telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi
bangsa untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh. Begitu pula telah
tumbuh kesadaran yang kuat dari Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk
menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, serta bermartabat
yang permanen dalam kerangka NKRI.

Dari uraian di atas, tampaklah bahwa penataan otonomi khusus di Aceh merupakan
salah satu upaya meretas hadirnya sebuah keadilan dan pencapaian tujuan otonomi
daerah dalam kerangka NKRI, yaitu mencapai kesejahteraan secara demokratis di
Nanggroe Aceh Darussaiam. Penandatanganan Nota Kesepahaman antara Pemerintah
RI dan GAM pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, menjadi pintu pembuka bagi
kedamaian di Aceh. Walaupun pada awalnya, penandatangan MoU sempat mendapat
reaksi pro dan kontra dari berbagai macam elemen masyarakat, namun pada akhirnya
dengan segala kelapangan dada semua sepakat, bahwa perdamaian abadi harus
diwujudkan di Aceh.

Ada enam butir utama isi Nota Kesepahaman yang telah dicapai yaitu:
penyelenggaraan pemerintahan di Aceh; hak asasi manusia; amnesti dan reintegrasi ke
dalam masyarakat; pengaturan keamanan; pembentukan Misi Monitoring Aceh (AMM)
dan penyelesaian perselesihan. Setelah hampir semua butir-butir nota kepahaman
dilaksanakan, maka penyusunan RUU Pemerintahan Aceh mendapat perhatian dari
seluruh komponen masyarakat. Bagi masyarakat Aceh, yang menjadi pertanyaan
adalah apakah butir-butir yang terdapat dalam Nota Kesepahaman segera dapat
ditindaklanjuti dengan undang-undang, sedang bagi masyarakat di luar Aceh akan
melihat sejauh mana keistimewaan atau kekhususan yang diberikan kepada
masyarakat Aceh.

Kalau kita kembali mencermati proses perjalanan penyusunan dan pembahasan


Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA) dengan jelas terlihat segala
upaya telah dilaksanakan secara serius dengan memperhatikan seluruh aspirasi
masyarakat, khususnya yang berada di wilayah Aceh. Terlepas masih adanya
kekurangan, namun semangat yang mendasari Undang-Undang Pemerintahan Aceh
PPKn 3.1/4.1/1/1-1

(UU-PA) iniiah yang patut menjadi acuan bersama, yakni membangun Aceh yang lebih
berkeadilan, sejahtera, demokratis dan bermartabat.

UU Pemerintahan Aceh adaiah undang-undang yang unik dalam proses


penyusunannya, karena melibatkan berbagai elemen masyarakat Aceh secara luas,
bahkan menarik perhatian dunia. Pihak-pihak yang turut berpartisipasi meliputi
masyarakat Aceh yang berasal dari pemerintah daerah, kalangan LSM, akademisi,
wanita, ulama, dan anggota GAM. Sebagai sebuah produk hukum baru yang lahir dari
konsekuensi adanya perubahan kebijakan politik antara Pemerintah RI dan GAM, maka
RUU ini harus dapat mengakomodasi tuntutan kedua belah pihak secara adil.

Pada awalnya, tak kurang dari enam versi naskah RUU PA didiskusikan di Aceh, yaitu
dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nanggroe Aceh Darussalam (DPRD NAD),
Pemerintah Daerah (Pemda NAD), Universitas Syiah Kuala, Universitas Islam Negeri
(IAIN) Arraniry, Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF), dan dari GAM. DPRD NAD
pun berinisiatif mengadakan serangkaian diskusi dan dialog dengan berbagai pihak
untuk bersama-sama membicarakan RUU ini. Seluruh pihak yang mempunyai naskah
RUU dan berkepentingan dengan RUU ini diundang untuk berdiskusi. Mulai dari
kelompok ulama, sampai dengan organisasi perempuan di Aceh.

Melihat proses yang begitu dinamis dari berbagai pihak ini, timbul dorongan dari
komponen masyarakat sipil untuk membentuk Tim Perumus Bersama yang terdiri dari
berbagai komponen pemangku kepentingan dan bertugas menyepakati satu naskah
bersama yang dapat mewakili berbagai elemen di Aceh untuk disampaikan ke Jakarta.
Tanggal 22-30 November 2005 pun menjadi suatu fase penting dalam pembicaraan ini.
Dalam kurun waktu seminggu tersebut terjadi perdebatan, tekanan, dan tarik menarik
untuk mendorong adanya satu draf bersama dari Aceh. DPRD NAD dianggap sebagai
pihak yang mempunyai kapasitas politik yang strategis untuk menjembatani proses
partisipasi seperti ini, sehingga rapat paripurna DPRD NAD pun dijadikan momentum
penting untuk menandai munculnya satu draf bersama ini. Pada malam 29 November
2005 terjadilah pembahasan yang intensif antara DPRD NAD, Pemda, berbagai
komponen masyarakat sipil, dan GAM. Maka lahirlah draf keenam dari DPRD NAD yang
secara maksimal berupaya mengakomodasi seluruh kepentingan peserta pembahas
pada saat itu. Draf yang terdiri atas 38 Bab dan 209 pasal inilah yang diserahkan
kepada Departemen Dalam Negeri (Depdagri) pada 30 November 2005. Setelah
penyerahan secara resmi, diadakan pula berbagai diskusi formal dan informal antara
berbagai lembaga dan komponen masyarakat di Aceh yang menyepakati RUU itu
dengan berbagai lembaga politik di Jakarta untuk mendorong substansi yang telah
disepakati bersama tersebut.

Sementara itu, ada tekanan yang tinggi mengenai batas waktu pembahasan.
Pemerintah pada awalnya meminta agar ada naskah yang masuk pada Oktober 2005
agar tenggat waktu 31 Maret 2006 dapat dipenuhi. Namun, semua pihak tentu
menyadari bahwa membuat suatu undang-undang tidaklah semudah membalikkan
telapak tangan. Apalagi karena undang-undang tersebut diharapkan mendorong
terjadinya perubahan besar di Nanggroe Aceh Darussalam. Setelah dilakukan
PPKn 3.1/4.1/1/1-1

pembahasan di Depdagri dan pembahasan antar departemen, RUU PA menjadi 40 Bab


dan 206 Pasal yang terdiri dari 1446 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).

Secara substantif RUU PA dapat dikatakan sebagai kekhususan yang menyangkut


Pemerintahan Daerah Aceh, yakni:
• Kekhususan yang pertama, RUU PA akan menanggung beban sebagai turunan dari
sebuah Nota Kesepahaman. Karena itu, hampir dapat dipastikan pembahasan substansi
RUU ini akan berjalan alot apabila tidak ada langkah-langkah khusus yang
menyertainya.
• Kekhususan yang kedua, sebagai bagian dari sebuah upaya perdamaian yang sekian
lama dinantikan, proses yang inklusif menjadi prasyarat yang tak dapat ditolak lagi.
Proses penyusunan dan pembahasan yang partisipatif dan transparan akan menjadi
bagian dari proses perdamaian itu sendiri. Sebab, dalam proses itulah akan terkumpul
masukan dan terjadi ‘internalisasi’ dan proses pemahaman substansi RUU, sehingga
akan membantu masyarakat untuk memantau implementasi undang-undang itu
nantinya. RUU PA juga menanggung beban sebagai bagian dari upaya membangun
kembali Aceh, bukan hanya dalam arti fisik tetapi lebih jauh lagi, RUU ini juga akan
menjadi sarana dalam membangun masyarakat (society) Aceh. Dan membangun Aceh
di sini bukan hanya pasca-tsunami, tetapi membangun kembali masyarakat Aceh yang
sudah sekian lama hidup dalam suasana represif.
• Kekhususan yang ketiga, RUU PA mempunyai jangka waktu penyusunan yang tidak
dapat ditawar lagi, yaitu hanya kurang lebih 6 (enam) bulan. Suatu jangka waktu yang
singkat untuk sebuah RUU yang substansinya bahkan belum pernah dibicarakan
sebelum Nota Kesepahaman ditandatangani pada 15 Agustus 2005.

Kekhawatiran banyak pihak akan terjadinya debat berkepanjangan dalam pembahasan


RUU-PA tidak terbukti. Meski berjalan cukup alot, namun draft UU-PA telah dapat
diselesaikan pada tanggal 7 Juli 2006 di tingkat Pansus.Yang membanggakan, bahwa
sepanjang pembahasan di tingkat Pansus, kehadiran anggota DPR sekitar 82% dan di
tingkat Panja sekitar 90%. Bahkan tidak ada satu masalah pun yang diambil secara
voting. Ini menunjukkan pemahaman yang demikian tinggi setiap anggota DPR dalam
pengambilan keputusan yang diambil.

Tanggal 11 Juli 2006 menjadi hari yang bersejarah bagi rakyat Indonesia khususnya
bagi masyarakat Aceh, ketika secara aklamasi RUU PA disetujui dalam Sidang
Paripurna DPR RI. Tentunya ada beberapa masalah krusial yang menjadi pembahasan
intensif, seperti masalah judul; kewenangan; bagi hasil; parpol lokal; pilkada; peradilan
HAM dan lain-lain yang memerlukan penjelasan, sehingga tidak menimbulkan tafsir
yang berbeda dari semangat yang mendasarinya.

Undang-Undang ini memiliki 2 (dua) sifat pokok, yaitu:


1. Komprehensif, dalam arti mengatur hal ihwal penyelenggaraan pemerintahan di
Aceh secara menyeluruh sehingga muatannya mencakup 40 Bab dan 273 Pasal.
2. Tuntas, dalam arti memuat pengaturan secara rinci dan detail sehingga hanya
diperlukan 2 (dua) Peraturan Pemerintah dan 3 (tiga) Peraturan Presiden sebagai
pelaksanaan Undang-Undang, sedangkan daerah harus menyelesaikan 68 qanun.
PPKn 3.1/4.1/1/1-1

UU Pemerintahan Aceh yang merupakan upaya maksimal dari proses politik, tentunya
tidak adil kalau hanya dikritisi dari satu sisi yang tidak seluruhnya bisa
diakomodasikan, tetapi akan adil bila melihat secara menyeluruh niat baik semua pihak
yang ingin melihat Aceh menjadi lebih sejahtera. Perlu dicatat, bahwa beberapa
kewenangan yang tidak ada dalam MoU maupun draf RUU PA usul DPRD, dimasukkan
dalam UU ini. Oleh karena itu hendaknya kita melihat UU-PA ini dengan pandangan
yang jernih demi masa depan Aceh yang lebih baik. Sejarah perjalanan hidup
masyarakat Aceh yang ditandai dengan munculnya gerakan perjuangan menuntut
kemerdekaan telah membawa dampak negatif berupa jatuhnya korban yang tidak
berdosa. Masyarakat Aceh hidup dalam suasana yang mencekam di bawah ancaman
keamanan. Kehidupan perekonomian menjadi tidak berkembang, menyebabkan
semakin terpuruknya masyarakat Aceh dalam kesengsaraan.

Dalam hal ini terlihat bahwa Undang-Undang Pemerintahan Aceh dapat memberikan
diskresi kewenangan yang cukup besar, baik di tingkatan pemerintahan provinsi
maupun kabupaten/kota, terlebih jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.
Yang menjadi tantangan ke depan sesungguhnya adalah bagaimana Pemerintah,
Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota secara sinergis mampu
mengoptimalkan segala peluang yang tergambar melalui diskresi kewenangan tersebut
untuk dapat memakmurkan rakyat Aceh secara demokratis. Kita berharap dengan
disahkannya UU-PA ini dapat mempercepat terwujudnya kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat Aceh dalam perdamaian yang abadi. Masih diperlukan sebuah proses
panjang untuk melaksanakan undang-undang ini, oleh sebab itu dibutuhkan partisipasi
aktif dari seluruh komponen bangsa, khususnya rakyat Aceh.

Mengakhiri ulasan, ada suatu hal yang menarik dalam ‘penciptaan’ UU-PA ini karena
rupanya angka “11” menjadi “angka keramat” bagi masyarakat Aceh. Dilihat dari
bagaimana tanggal 11 Juli 2006 menjadi hari yang bersejarah bagi masyarakat Aceh, di
mana secara aklamasi RUU PA disetujui dalam Sidang Paripurna DPR RI. Pun ketika
proses penomoran UU-PA, Sekretariat Negara “dibisiki” elemen masyarakat Aceh agar
bila memungkinkan UU-PA diberi nomor “11” karena suatu alasan yang berkaitan
dengan keyakinan masyarakat Aceh. Dan secara kebetulan pula, hal itu dapat terwujud
karena sesuai kondisi yang ada pada saat itu UU-PA memang sebagai undang-undang
urutan yang ke-11 yang lahir pada tahun 2006. Hal lain yang kemudian menggunakan
angka “11” adalah pelaksanaan Pilkada Aceh yang baru saja diselenggarakan pada
tanggal 11 Desember 2006 lalu.

Anda mungkin juga menyukai