1/1/1-1
U.J.I P.E.M.A.H.A.M.A.N
Coba berikan pendapat atau komentar kalian tentang pelaksanaan desentralisasi di
daerah Jawa Timur, apakah sudah dilaksanakan dengan sepenuhnya oleh pemerintah
daerah tersebut? apa kelebihan dan kelemahan dari system desentralisasi tersebut?
…………………………………………………………………………………………………………………………………
…………… .……………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………………………
PPKn 3.1/4.1/1/1-1
TAHUKAH KALIAN?????
Sumber. http://ciledug-
ku.blogspot.com/2009/12/gedung-sekolah-di-kota-
ciledug.html
Jawaban
1)
Asas densentralilasi ⇒ yg dpt menyebabkan perubahan pradigma yg berperan
penting dlm otonomi daerah, di Indonesia telah dilaksanaannya deasntralilasi
memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan dengan diadakan asas
desentralilasi di Indonesia maka akan membuat keringanan manajemen
pemerintah pusat dengan desantralisasi yg bersifat langasung maka akan
menyebabkan kepuasan bagi daerah disamping itu memerlukan biaya yg besar ..
Walaupun ditutupi dgn kelebihannya asas disentralilasi tidak cukup baik
diadakan di Indonesia krana asas tersebut dpt membauat masyarakat lebih
kedaerah yg tidak baik jika dilaksanakan serta akan membuat kinerja
pemerintahan di Indinesia menjadi lamban kerenana asas tersebut mengambil
keputusan dgn bertele-tele, dpt menyebabkan terjadinya korupsi dgn
penyaluran langasung akan menyebabkan ketidakjelasan dr kepala daerah .
2).
Sementara itu dalam pengaturan hubungan antara Pemerintah dengan daerah diatur
dalam pasal 18 A ayat (1) dan (2) sebagai berikut:
1. Hubungan wewenang antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan
undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainya antara Pemerintah dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan
secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
PPKn 3.1/4.1/1/1-1
Konsekuensi dari kandungan pasal-pasal dalam UUD 1945 tersebut dapat ditafsirkan
sebagai berikut:
1. Dalam penyelenggaraan pemerintahan Presiden selaku kepala pemerintahan dapat
melaksanakan dengan :
a. melimpahkan sebagian kewenangan kepada perangkat pusat melalui asas
dekonsentrasi;
b. menyerahkan sebagian kewenangan kepada daerah otonom melalui asas
desentralisasi;
c. menugaskan sebagian kewenangan kepada pemerintahan daerah dan/atau
pemerintahan desa meialui asas tugas pembantuan; dan
d. melaksanakan sendiri.
2. Dalam menyelenggarakan otonomi daerah, dibentuk pemerintahan daerah yang
dilaksanakan oleh Kepala Daerah dan DPRD serta dibantu oleh perangkat daerah.
Anggota DPRD dipilih melalui proses pemilihan umum, dan kepala daerah dipilih
melalui proses pemilihan kepala daerah (Pilkada). Kedua lembaga tersebut diberi
mandat untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya.
3. Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah memiliki
hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, dan pemanfaatan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya dengan pemerintah pusat.
4. Dalam melaksanakan hubungan tersebut Pemerintah melaksanakan fungsi
pembinaan yang salah satu wujudnya dengan menetapkan norma, standar, kriteria dan
prosedur; fasilitasi; supervisi; serta monitoring dan evaluasi agar otonomi daerah
senantiasa dilaksanakan oleh pemerintahan daerah sesuai dengan tujuannya.
Sebaliknya pemerintah daerah wajib menyampaikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan daerah serta melaksanakan otonomi daerah berdasarkan standar,
norma, kriteria, dan prosedur yang ditetapkan oleh Pemerintah. Berdasarkan hal ini
maka pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota merupakan sub-ordinasi
Pemerintah.
5. Kesimpulannya, walaupun Pemerintah memberikan otonomi seluas-luasnya kepada
daerah, pemerintahan daerah tetap merupakan sub-ordinasi Pemerintah dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai amanat konstitusi Rl.
Secara filosofis, ada dua tujuan utama yang ingin dicapai dari penerapan kebijakan
desentralisasi yaitu tujuan demokrasi dan tujuan kesejahteraan. Tujuan demokrasi
akan memposisikan pemerintah daerah sebagai instrumen pendidikan politik di
tingkat lokal yang secara agregat akan menyumbang terhadap pendidikan politik
secara nasional sebagai elemen dasar dalam menciptakan kesatuan dan persatuan
bangsa dan negara serta mempercepat terwujudnya masyarakat madani atau civil
society. Tujuan kesejahteraan mengisyaratkan pemerintahan daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal melalui penyediaan pelayanan publik
secara efektif, efisien dan ekonomis.
Dari tataran filosofis di atas nampak bahwa pemerintahan daerah dituntut untuk
mampu menyejahterakan masyarakat lokal secara demokratis. Proses demokrasi di
tingkat lokal akan nampak dari diselenggarakannya pemilihan anggota-anggota DPRD
PPKn 3.1/4.1/1/1-1
Kedua pola ini sudah pernah diterapkan di Indonesia dengan berbagai implikasi yang
melingkupinya.
Pada saat ini, sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1945, pola yang dianut adalah
otonomi seluas-luasnya. Ini berarti bahwa daerah diberikan kewenangan yang luas
untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan yang menjadi
kepentingan masyarakat daerah, kecuali yang ditentukan menjadi kewenangan
Pemerintah. Namun, secara empirik Pemerintah selain memiliki kewenangan pada
enam urusan pemerintahan sebagaimana tersebut di atas, juga memiliki kewenangan
lain yakni urusan pemerintahan yang bersifat lintas provinsi, nasional, bahkan lintas
negara. Ini berarti bahwa selain keenam urusan yang mutlak menjadi kewenangan
Pemerintah, terdapat juga bagian dari urusan yang bersifat “concurrent” atau urusan
bersama.
Agar urusan pemerintahan yang bersifat “concurrent” dapat dibagi secara proporsional
antar tingkatan pemerintahan maka sesuai dengan UU Pemerintahan Daerah telah
diatur kriteria pembagian urusan “concurrent” tersebut dengan menggunakan tiga
kriteria yaitu, eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Dengan menerapkan ketiga
kriteria tersebut, maka deskripsi urusan pemerintahan dari Pemerintah, provinsi dan
kabupaten/kota akan menjadi sebagai berikut:
1. Pemerintah:
a. Membuat aturan main dalam bentuk norma, standar dan prosedur untuk
melaksanakan suatu urusan pemerintahan;
b. Menegakkan aturan main dalam bentuk monitoring, evaluasi dan supervisi agar
urusan pemerintahan tersebut dilaksanakan dalam koridor norma, standar, prosedur
yang dibuat Pemerintah;
PPKn 3.1/4.1/1/1-1
2. Pemerintah Provinsi:
Mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam skala provinsi (lintas
kabupaten/kota) sesuai norma, standar, dan prosedur yang ditetapkan oleh
Pemerintah.
3. Kabupaten/Kota:
Mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dalam skala kabupaten/kota
sesuai norma, standar, dan prosedur yang ditetapkan Pemerintah.
1. Pendidikan;
2. Kesehatan;
3. Pekerjaan Umum;
4. Perumahan;
5. Penataan Ruang;
6. Perencanaan Pembangunan;
7. Perhubungan;
8. Lingkungan Hidup;
9. Pertanahan;
10.Kependudukan dan Catatan Sipil;
11.Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak;
12.Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera;
13.Sosial;
14.Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
15.Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah;
16.Penanaman Modal;
17.Kebudayaan dan Pariwisata;
18.Pemuda dan Olah Raga;
19.Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri;
20.Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah,
Perangkat Daerah, Kepegawaian, dan Persandian;
21.Pemberdayaan Masyarakat dan Desa;
22.Statistik;
23.Arsip dan Perpustakaan;
24.Komunikasi dan Informatika;
25.Pertanian dan Ketahanan Pangan;
26.Kehutanan;
27.Energi dan Sumber Daya Mineral;
28.Kelautan dan Perikanan;
29.Perdagangan;
30.Perindustrian.
(2) Kelembagaan
PPKn 3.1/4.1/1/1-1
Elemen dasar yang kedua dari pemerintahan daerah adalah kelembagaan. Kewenangan
daerah tidak mungkin dapat dilaksanakan kalau tidak diakomodasikan dalam
kelembagaan daerah. Ada dua kelembagaan penting yang membentuk pemerintahan
daerah, yaitu kelembagaan untuk pejabat politik yaitu kelembagaan kepala daerah dan
DPRD, dan kelembagaan untuk pejabat karir yang terdiri dari perangkat daerah (dinas,
badan, kantor dan sekretariat, kecamatan, kelurahan dll).
(3) Personel
Elemen dasar yang ketiga yang membentuk pemerintahan daerah adalah adanya
personel yang menggerakkan kelembagaan daerah untuk menjalankan kewenangan
otonomi yang menjadi domain daerah. Personel daerah (PNS Daerah) tersebut pada
gilirannya akan menjalankan kebijakan publik strategis yang dihasilkan oleh pejabat
politik (DPRD dan kepala daerah) untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and
services) sebagai hasil akhir (end product) dari pemerintahan daerah.
(7) Pengawasan
Elemen dasar ketujuh yang membentuk pemerintahan daerah adalah pengawasan.
Argumen dari pengawasan adalah adanya kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan
sebagaimana adagium dari Lord Acton yang menyatakan bahwa “power tends to
corrupt and absolute power will corrupt absolutely”. Untuk mencegah hal tersebut,
maka elemen pengawasan mempunyai posisi strategis untuk menghasilkan
pemerintahan yang bersih. Berbagai isu pengawasan akan menjadi agenda penting
seperti sinergi lembaga pengawasan internal, efektifitas, pengawasan eksternal,
pengawasan sosial, pengawasan legislatif, dan juga pengawasan melekat (built in
control).
Dari uraian di atas, tampaklah bahwa penataan otonomi khusus di Aceh merupakan
salah satu upaya meretas hadirnya sebuah keadilan dan pencapaian tujuan otonomi
daerah dalam kerangka NKRI, yaitu mencapai kesejahteraan secara demokratis di
Nanggroe Aceh Darussaiam. Penandatanganan Nota Kesepahaman antara Pemerintah
RI dan GAM pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, menjadi pintu pembuka bagi
kedamaian di Aceh. Walaupun pada awalnya, penandatangan MoU sempat mendapat
reaksi pro dan kontra dari berbagai macam elemen masyarakat, namun pada akhirnya
dengan segala kelapangan dada semua sepakat, bahwa perdamaian abadi harus
diwujudkan di Aceh.
Ada enam butir utama isi Nota Kesepahaman yang telah dicapai yaitu:
penyelenggaraan pemerintahan di Aceh; hak asasi manusia; amnesti dan reintegrasi ke
dalam masyarakat; pengaturan keamanan; pembentukan Misi Monitoring Aceh (AMM)
dan penyelesaian perselesihan. Setelah hampir semua butir-butir nota kepahaman
dilaksanakan, maka penyusunan RUU Pemerintahan Aceh mendapat perhatian dari
seluruh komponen masyarakat. Bagi masyarakat Aceh, yang menjadi pertanyaan
adalah apakah butir-butir yang terdapat dalam Nota Kesepahaman segera dapat
ditindaklanjuti dengan undang-undang, sedang bagi masyarakat di luar Aceh akan
melihat sejauh mana keistimewaan atau kekhususan yang diberikan kepada
masyarakat Aceh.
(UU-PA) iniiah yang patut menjadi acuan bersama, yakni membangun Aceh yang lebih
berkeadilan, sejahtera, demokratis dan bermartabat.
Pada awalnya, tak kurang dari enam versi naskah RUU PA didiskusikan di Aceh, yaitu
dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nanggroe Aceh Darussalam (DPRD NAD),
Pemerintah Daerah (Pemda NAD), Universitas Syiah Kuala, Universitas Islam Negeri
(IAIN) Arraniry, Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF), dan dari GAM. DPRD NAD
pun berinisiatif mengadakan serangkaian diskusi dan dialog dengan berbagai pihak
untuk bersama-sama membicarakan RUU ini. Seluruh pihak yang mempunyai naskah
RUU dan berkepentingan dengan RUU ini diundang untuk berdiskusi. Mulai dari
kelompok ulama, sampai dengan organisasi perempuan di Aceh.
Melihat proses yang begitu dinamis dari berbagai pihak ini, timbul dorongan dari
komponen masyarakat sipil untuk membentuk Tim Perumus Bersama yang terdiri dari
berbagai komponen pemangku kepentingan dan bertugas menyepakati satu naskah
bersama yang dapat mewakili berbagai elemen di Aceh untuk disampaikan ke Jakarta.
Tanggal 22-30 November 2005 pun menjadi suatu fase penting dalam pembicaraan ini.
Dalam kurun waktu seminggu tersebut terjadi perdebatan, tekanan, dan tarik menarik
untuk mendorong adanya satu draf bersama dari Aceh. DPRD NAD dianggap sebagai
pihak yang mempunyai kapasitas politik yang strategis untuk menjembatani proses
partisipasi seperti ini, sehingga rapat paripurna DPRD NAD pun dijadikan momentum
penting untuk menandai munculnya satu draf bersama ini. Pada malam 29 November
2005 terjadilah pembahasan yang intensif antara DPRD NAD, Pemda, berbagai
komponen masyarakat sipil, dan GAM. Maka lahirlah draf keenam dari DPRD NAD yang
secara maksimal berupaya mengakomodasi seluruh kepentingan peserta pembahas
pada saat itu. Draf yang terdiri atas 38 Bab dan 209 pasal inilah yang diserahkan
kepada Departemen Dalam Negeri (Depdagri) pada 30 November 2005. Setelah
penyerahan secara resmi, diadakan pula berbagai diskusi formal dan informal antara
berbagai lembaga dan komponen masyarakat di Aceh yang menyepakati RUU itu
dengan berbagai lembaga politik di Jakarta untuk mendorong substansi yang telah
disepakati bersama tersebut.
Sementara itu, ada tekanan yang tinggi mengenai batas waktu pembahasan.
Pemerintah pada awalnya meminta agar ada naskah yang masuk pada Oktober 2005
agar tenggat waktu 31 Maret 2006 dapat dipenuhi. Namun, semua pihak tentu
menyadari bahwa membuat suatu undang-undang tidaklah semudah membalikkan
telapak tangan. Apalagi karena undang-undang tersebut diharapkan mendorong
terjadinya perubahan besar di Nanggroe Aceh Darussalam. Setelah dilakukan
PPKn 3.1/4.1/1/1-1
Tanggal 11 Juli 2006 menjadi hari yang bersejarah bagi rakyat Indonesia khususnya
bagi masyarakat Aceh, ketika secara aklamasi RUU PA disetujui dalam Sidang
Paripurna DPR RI. Tentunya ada beberapa masalah krusial yang menjadi pembahasan
intensif, seperti masalah judul; kewenangan; bagi hasil; parpol lokal; pilkada; peradilan
HAM dan lain-lain yang memerlukan penjelasan, sehingga tidak menimbulkan tafsir
yang berbeda dari semangat yang mendasarinya.
UU Pemerintahan Aceh yang merupakan upaya maksimal dari proses politik, tentunya
tidak adil kalau hanya dikritisi dari satu sisi yang tidak seluruhnya bisa
diakomodasikan, tetapi akan adil bila melihat secara menyeluruh niat baik semua pihak
yang ingin melihat Aceh menjadi lebih sejahtera. Perlu dicatat, bahwa beberapa
kewenangan yang tidak ada dalam MoU maupun draf RUU PA usul DPRD, dimasukkan
dalam UU ini. Oleh karena itu hendaknya kita melihat UU-PA ini dengan pandangan
yang jernih demi masa depan Aceh yang lebih baik. Sejarah perjalanan hidup
masyarakat Aceh yang ditandai dengan munculnya gerakan perjuangan menuntut
kemerdekaan telah membawa dampak negatif berupa jatuhnya korban yang tidak
berdosa. Masyarakat Aceh hidup dalam suasana yang mencekam di bawah ancaman
keamanan. Kehidupan perekonomian menjadi tidak berkembang, menyebabkan
semakin terpuruknya masyarakat Aceh dalam kesengsaraan.
Dalam hal ini terlihat bahwa Undang-Undang Pemerintahan Aceh dapat memberikan
diskresi kewenangan yang cukup besar, baik di tingkatan pemerintahan provinsi
maupun kabupaten/kota, terlebih jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.
Yang menjadi tantangan ke depan sesungguhnya adalah bagaimana Pemerintah,
Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota secara sinergis mampu
mengoptimalkan segala peluang yang tergambar melalui diskresi kewenangan tersebut
untuk dapat memakmurkan rakyat Aceh secara demokratis. Kita berharap dengan
disahkannya UU-PA ini dapat mempercepat terwujudnya kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat Aceh dalam perdamaian yang abadi. Masih diperlukan sebuah proses
panjang untuk melaksanakan undang-undang ini, oleh sebab itu dibutuhkan partisipasi
aktif dari seluruh komponen bangsa, khususnya rakyat Aceh.
Mengakhiri ulasan, ada suatu hal yang menarik dalam ‘penciptaan’ UU-PA ini karena
rupanya angka “11” menjadi “angka keramat” bagi masyarakat Aceh. Dilihat dari
bagaimana tanggal 11 Juli 2006 menjadi hari yang bersejarah bagi masyarakat Aceh, di
mana secara aklamasi RUU PA disetujui dalam Sidang Paripurna DPR RI. Pun ketika
proses penomoran UU-PA, Sekretariat Negara “dibisiki” elemen masyarakat Aceh agar
bila memungkinkan UU-PA diberi nomor “11” karena suatu alasan yang berkaitan
dengan keyakinan masyarakat Aceh. Dan secara kebetulan pula, hal itu dapat terwujud
karena sesuai kondisi yang ada pada saat itu UU-PA memang sebagai undang-undang
urutan yang ke-11 yang lahir pada tahun 2006. Hal lain yang kemudian menggunakan
angka “11” adalah pelaksanaan Pilkada Aceh yang baru saja diselenggarakan pada
tanggal 11 Desember 2006 lalu.