Anda di halaman 1dari 6

Perencanaan Berbasis Kearifan Lokal

Judul : Kearifan Lokal Di Kepulauan Kei (Maluku Tenggara)


Dalam Pengelolaan Sumbar Daya Alam Kelautan Yang
Berkelanjutan

Anggota Kelompok :
1. Marthinus Walum Ohoilulin
2. Rainerius Ben Gensa
3. Silvester Batmomolin
4. Venansius Agung
5. Ibrahum Lonthor
6. Notburga Maria Roswita Bhubu

Perencanaan Berbasis Kearifan Lokal


Institut Teknologi Nasional Yogyakarta
Perencanaan Wilayah Dan kota
Tahun 2020
BAB I
LATAR BELAKANG

Pembangunan sector kelautan dan perikanan di Indonesia dihadapkan dengan bebagai


tantangan, salah satunya yaitu penangkapan ikan yang berlebihan dan rusaknya terumbu karang,
Oleh karena itu sangat diperlukannya pengelolaan pemanfaatan sumber daya alam yang
memperhatikan aspek kelestarian lingkungannya.
Pengelolaan sumber daya alam sebenarnya sudah diterapkan sejak dulu oleh nenek
moyang bangsa Indonesia dengan berbasis pada kearifan lokal dalam suatu masyarakat. Di Pulau
Kei terdapat kearifan local yang sangat membantu dalam mengelola atau melestarikan
lingkungan sekitar sehingga dapat dilihat bahwa lokasi pariwisata laut dan ekosistem laut di
Pulau Kei sangat terjaga kelestariannya. Kearifan local tersebut dikenal dengan nama Sasi Laut
atau sasi meti, sasi laut merupakan pengelolaan atau perlindungan terhadap sumber daya alam
laut yang dilaksanakan oleh masyarakat adat Maluku dan kemudian tersebar ke beberapa Daerah
di Papua Barat.
Prinsip pengelolaan sasi laut didukung oleh adat yang sudah ada dan turun-
temurun,aturan ini dibuat karena masyarakat berpikir ketersediaan sumber daya alam terutama di
pulau-pulau kecil sangat terbatas, sedangkan kebutuhan masyarakat sekitar akan terus
meningkat. Luasnya wilayah perairan Maluku menjadikan sector kelautan dan perikanan yang
utama dan berperan penting dalam penggerak pembangunan perekonomian daerah Kepulauan
Maluku. Sumber daya alam laut Maluku mampu memenuhi kebutuhan masyarakat selama
sumber daya alam laut tersebut dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan tepat. Namun, jika suatu
ketika ketersediaan sumber daya alam menipis sedangkan kebutuhan masyarakt meningka, maka
sumber daya alam tersebut akan habis atau punah. Masyarakat kemudian menyadari bahwa
sumber daya alam yang dimiliki harus dikelola, dimanfaatkan, dan dilestarikan dengan tepat.

Gambaran Singkat Wilayah Kepulauan Kei (Maluku Tenggara)


Kepulauan Kei merupakan gugusan pulau-pulau kecil yang memiliki potensi
perikanan dan kelautan yang sangat menjanjikan, dengan mata pencaharian penduduk yang
didominasi oleh nelayan. Kepulauan Kei yang memiliki luas sebesar 7.856,70 Km2(luas laut:
3.180,70 km² dan luas daratan : 4.676 km²) yang terdiri dari Pulau Kei Besar dan Pulau Kei
Kecil. Kei Besar bergunung dan berhutan lebat sedangkan Kei Kecil datar dan memiliki populasi
terbanyak. Kepulauan Kei merupakan berkat keindahan oleh sang pencipta dapat dilihat pada
pantai-pantainya, misalnya pantai Pasir Panjang/Ngurbloat yang menjadi salah satu lokasi
pariwisata dengan hamparan pasir putih yang lembut dan halus.

Pantai Ngurbloat/Pasir Panjang Pantai Ngurtafur

BAB II
PEMBAHASAN
Hukum Adat Sasi Laut Dan Peranannya Dalam Melestarikan Sumber Daya Alam Di
Kepulauan Kei Maluku Tenggara
Kearifan local merupakan suatu kebiasaan atau tradisi masyarakat local yang
mengatur mengenai aspek kehidupan masyarakat local tersebut, mengenai hubungan social antar
masyarakat, ritual ibadah,kepercayaan atau mitos-mitos hingga hukum adat masyarakat local
tersebut. Di Kepulauan Kei dengan gugusan pulau-pulau kecil memilki adat dan budaya local
yang sangat kental dalam kehidupan bermasyarakat. Tatanan budaya di pulau Kei sudah
dibentuk dan dijalankan oleh para leluhur. Salah satu dari tatanan budaya di pulau Kei yang
dijelaskan adalah budaya sasi laut. Sasi laut merupakan hukum adat yang dibuat dengan tujuan
untuk mengelola dan menjaga kelestarian dan kekayaan alam laut.
Hukum adat sasi laut bernilai positif bagi lingkungan yaitu dalam pengelolaan
sumber daya alam dengan prinsip pemanfaatan yang berkelanjutan. Jika hukum Sasi laut tidak
ada maka akan menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan sehingga dapat mengganggu
ketersediaan sumber daya alam. Adanya perebutan sumber daya alam antara masyarakat yang
terkadang menyebabkan konflik antar kampong menjadi dasar munculnya sebuah peraturan
dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam tersebut dalam bentuk sasi. Tujuan dari
sasi laut adalah :
1. Untuk menjaga ketertiban dalam pengelolaan ssumber daya alam dan lingkungan laut.
2. Mengatur penggunaan hak seseorang secara tepat menurut waktu yang ditentukan dalam
pengelolaan maupun pemanfaatan hasil produksi sumber daya alam laut
3. Menumbuhkan wawasan dan tingkah laku dan pola piker masyarkat yang berwawasan
lingkungan terhadap generasi berikutnya.
Hukum adat sasi pertama kali muncul di provinsi Maluku yang kemudian mulai
tersebar ke wilayah Papua Barat yang meliputi kepulauan Raja Ampat, Sorong, Manokwari,
Nabire, Biak,Yapen, Waropen, Sarmi, Kaimana, dan Fakfak. Walaupun memiliki perbedaan
namun prinsipnya tetaplah sama karena merupakan hasil adaptasi dari sasi laut di Maluku.
Hukum adat sasi

1. Hukum Adat Sasi Laut/Sasi Meti di Pulau Kei, Maluku Tenggara


Sasi merupakan Hukum Adat khusus yang berlaku hampir diseluruh pulau di
Propinsi Maluku, Propinsi Maluku Utara dan sebagian daerah di Papua. Di pulau Kei secara
khusus Sasi dikenal dengan nama ‘Yot’ di Kei Besar dan ‘Yutut’ di Kei Kecil. Sasi juga
dikenal sebagai cara pengolahan sumber daya alam di desa-desa pesisir. Sasi dapat diartikan
sebagai larangan untuk mengambil hasil sumber daya alam tertentu sebagai upaya pelestarian
demi menjaga mutu dan populasi sumber daya hayati (hewani maupun nabati) alam tersebut.
Karena peraturan-peraturan dalam pelaksanaan larangan ini juga menyangkut pengaturan
hubungan manusia dengan alam dan hakikatnya, juga merupakan suatu upaya untuk
memelihara dan menjaga tata-krama hidup bemasyarakat, termasuk upaya kearah pemerataan
pembagian atau pendapatan dari hasil sumber daya alam sekitar kepada seluruh
warga/penduduk local setempat.
Tradisi Buka sasi (Waktu panen hasil laut setelah masa tutup sasi)

Sasi ditandai dengan upacara tutup sasi yakni pernyataan bahwa larangan itu
mulai berlaku dengan memberikan tanda sasi yaitu berupa kayu yang diikat dengan pucuk
daun kelapa muda ‘Hawear’ dan tanaman pada batas areal terlarang, dan pada akhirnya
diadakan upacara buka sasi dengan mengangkat tanda sasi tadi dengan upacara adat sebagai
tanda larangan itu tidak berlaku lagi. Setelah sesudah upacara itu, barulah si pemilik dapat
mengambil hasilnya yang sudah matang.
Sasi laut diletakan pada petuanan laut yang meliputi tanah, air, dan dasarnya,
mulai dari pesisir pantai atau dalam bahasa Kei (Ruat met soin) sampai dengan batas air yang
berwarna hitam (Tahit ni wear). Sasi laut sama seperti halnya sasi darat, ditandai dengan
memasang tanda atau lambang sasi berupa janur (daun kelapa mudah) yang disebut
‘Hawear’. Pada umumnya sasi laut berbentuk “Sasi Meti” (sasi yang diletakan pada zona
pasang surut air laut agar tanaman dan organisme laut lainya dapat beregenerasi dan
berkembang biak), dan sasi Lola (sasi pada kerang Lola yang menjadi salah satu komoditi
andalan yang bernilai jual tinggi di pasar Asia).
Kepulauan Kei Maluku Tenggara yang memiliki potensi perikanan dan kelautan
yang sangat menjanjikan, dengan mata pencaharian penduduk pulau ini yang di dominasi
oleh nelayan, sehingga upaya budidaya laut membuat masyarakat harus tetap menjaga dan
melestarikan alam laut yang ada dalam petuanan daerah tersebut. dengan adanya sasi laut
dapat menjaga kelestarian sumber daya alam laut seperti teripang, kerang Lola, dan jenis ikan
tertentu agar tidak punah.

2. Peraturan/Larangan dalam Sasi Laut Pada Masa Tutup Sasi


 Larangan menangkap jenis ikan tertentu, termasuk teripang (Holothuroidea) dan udang.
 Larangan menangkap ikan-ikan di teluk-teluk tertentu dan pada waktu tertentu (tutup
sasi).
 Larangan menangkap ikan dengan menggunakan bom atau bahan beracun.
 Larangan menangkap ikan dengan menggunakan jaring atau jala.
 Mengambil lola (Trochus niloticus), karang laut, karang laut hitam, batu karang dan
pasir.
 Larangan mengumpulkan rumput laut untuk keperluan makanan atau untuk dijual.
Sasi Laut menentukan masa jeda, di mana masyarakat tidak boleh mengambil
sumber daya dari laut dalam waktu tertentu (Tutup Sasi) dan di tempat yang telah ditentukan,
dengan adanya Sasi, warga pun lebih bijak dalam mengambil hasil laut. Ketika Sasi Laut
sedang berlangsung, tidak ada yang boleh mengambil hewan tersebut di wilayah yang sudah
ditentukan hingga masa sasi berakhir (Buka Sasi). Jadi warga harus bersabar untuk memanen
hewan laut tersebut, walaupun tutup Sasi berlangsung selama berbulan-bulan, masyarakat
adat tetap sabar dan mencari pencaharian dari sumber alam lain untuk mencukupi kebutuhan
sehari-hari mereka. Selama tutup Sasi, hewan akan berkembang biak dengan baik dan hasil
panennya juga akan lebih banyak. Selain itu, warga percaya bahwa orang yang melanggar
Sasi akan mendapat sanksi seperti denda harta maupun malapetaka.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sasi laut mempunyai peranan yang sangat penting dalam konservasi sumber daya
hayati selama ini di wilayah pesisir Kepulauan Kei, selain itu praktek sasi laut membuat
ketersediaan keanekaragaman hayati pesisir dan laut yang terus beregenerasi, sehingga
melindungi dan menjaganya dari eksploitasi berlebihan yang akan menyebabkan kepunahan.
Sasi laut juga merupakan metode pengelolaan sumber daya hayati di wilayah pesisir dan laut
yang telah mempraktekkan co-menagement, dimana pemerintah dan masyarakat sama-sama
berperan dan sama-sama bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan.

Saran
Pelaksanaan sanksi sasi pada masa sekarang harusnya lebih rasional, contohnya
dalam hal denda, seharusnya juga ditingkatkan, disesuaikan dengan kondisi sosial dan
ekonomi masa sekarang. Dengan penyesuaian besarnya sanksi yang harus dibayarkan oleh
orang yang melanggar sasi baik yang dilakukan oleh orang dari dalam ataupun luar wilayah
sasi, maka diharapkan sasi dalam pelaksanaannya akan lebih ditaati.
Pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang
berbasis masyarakat, termasuk masyarakat adat, mulai dari sekarang harusnya dijadikan
paradigma acuan dalam menterjemahkan penghormatan hak-hak asasi masyarakat adat dan
pelestarian lingkungan hidup di wilayah pesisir, laut dan pulaupulau kecil, sebagai jawaban
atas permasalahan dan konflik kepentingan yang selama ini terjadi dalam pemanfaatan
sumber daya alam di wilayah pesisir.

Anda mungkin juga menyukai