Anda di halaman 1dari 35

PAPER

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

Paper ini dibuat sebagai salah satu persyaratan dalam mengikuti Kepaniteraan

Klinik di SMF Ilmu paru di RSUD DR. RM. Djoelham Binjai

Disusun oleh :
CHRISTIE JESSICA TAMBUNAN (102119068)
STEFANIE CLARITA (102119027)

Pembimbing :
Dr. Irma Tabrani Sp. P

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR ILMU PARU


RSUD DR.R.M. DJOELHAM KOTA BINJAI SUMATRA UTARA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM
TAHUN 2020
1

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas


rahmat dan karunia-Nya sehingga refarat ini dapat diselesaikan pada waktunya
sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik Senior di SMF bagian Ilmu Paru RSUD Dr. RM. Djoelham
Binjai. Refarat ini menyajikan suatu pembahasan yang diuraikan secara singkat
mengenai “PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)”.

Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih kepada dokter pembimbing
yaitu Dr. Irma Tabrani Sp.P atas bimbingan dan arahannya selama mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di SMF bagian Ilmu Paru RSUD Dr. RM. Djoelham
Binjai. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan tugas ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa papper ini memiliki banyak kekurangan


dari kelengkapan teori maupun penuturan bahasa, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Harapan penulis semoga papper
ini bermanfaat bagi kita semua.

Binjai, Agustus 2020

Penulis
2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................... 1

DAFTAR ISI ................................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 3

A. Latar Belakang......................................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................4

A. Anatomi dan Fisiologi Paru ..................................................................................4

B. Definisi..................................................................................................................7

C. Epidemiologi.........................................................................................................8

D. Etiologi dan Faktor Resiko....................................................................................8

E. Patofisiologi..........................................................................................................9

F. Klasifikasi...........................................................................................................12

G. Manifestasi Klinis................................................................................................13

H. Penegakan Diagnosis...........................................................................................14

I. Diagnosis Banding..............................................................................................18

J. Penatalaksanaan...................................................................................................20

K. Komplikasi..........................................................................................................30

L. Pencegahan..........................................................................................................31

M. Prognosis.............................................................................................................31

BAB III KESIMPULAN...............................................................................................32


3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam beberapa tahun terakhir, pola penyakit di dunia sedang
mengalami transisi penyebab kematian, dari penyakit menular menjadi
penyakit tidak menular (PTM). PTM telah menjadi pandemi yang muncul
secara global dengan tingkat yang lebih tinggi di negara berkembang.
Salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan
masyarakat baik di Indonesia maupun di dunia adalah adalah penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK). PPOK merupakan istilah untuk
menggambarkan sekumpulan penyakit kronik paru yang ditandai dengan
keterbatasan aliran udara (Islam et al., 2014).
Penyakit Paru Obstrutif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru
kronik yang dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan adanya
keterbatasan aliran udara yang persisten dan umumnya bersifat progesif,
berhubungan dengan respons inflamasi kronik yang berlebihan pada
saluran napas dan parenkim paru akibat gas atau partikel berbahaya.
Eksaserbasi dan komorbid berkontribusi pada beratnya penyakit.
Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh
gabungan antara obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) atau
kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi pada individu, akibat
inflamasi kronik yang menyebabkan hilangnya hubungan alveoli dan
saluran napas kecil dan penurunan elastisitas recoil paru.
Menurut World Health Statistics, PPOK akan menjadi penyebab
ketiga kematian di dunia pada tahun 2030 (WHO, 2008). World Health
Organization (WHO) memperkirakan pada tahun 2014, penyakit
pernapasan kronis, salah satunya adalah PPOK, menyumbang 5% dari
total kematian akibat penyakit tidak menular di Indonesia(WHO, 2014).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes-RI) (2013),
PPOK memiliki prevalensi 3,7% (pada kelompok umur ≥30 tahun) per
satu juta penduduk di Indonesia.
PPOK sering kali timbul pada usia pertengahan berhubungan
dengan berbagai faktor resiko seperti merokok, polusi udara, usia dan lain-
4

lain. Dampak PPOK pada setiap individu tergantung derajat keluhan


(khususnya sesak dan penurunan kapasitas latihan), efek sistemik dan
gejala komorbid lainnya. Hal tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh derajat
keterbatasan aliran udara.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI PARU


1. Anatomi Paru
Paru-paru terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang
ujungnya berada di atas tulang iga pertama dan dasarnya berada pada
diafragma. Paru terbagi menjadi dua yaitu, paru kanan dan paru kiri. Paru-
paru kanan mempunyai tiga lobus sedangkan paru-paru kiri mempunyai
dua lobus. Kelima lobus tersebut dapat terlihat dengan jelas. Setiap paru-
paru terbagi lagi menjadi beberapa subbagian menjadi sekitar sepuluh unit
terkecil yang disebut bronchopulmonary segments. Paru-paru kanan dan
kiri dipisahkan oleh ruang yang disebut mediastinum (Sherwood, 2001)
Paru-paru dibungkus oleh selaput tipis yaitu pleura. Pleura terbagi
menjadi pleura viseralis dan pleura pariental. Pleura viseralis yaitu selaput
yang langsung membungkus paru, sedangkan pleura parietal yaitu selaput
yang menempel pada rongga dada. Diantarakedua pleura terdapat rongga
yang disebut kavum pleura (Guyton, 2007).
5

Gambar 3. Anatomi paru

Sistem pernafasan dapat dibagi ke dalam sitem pernafasan bagian


atas dan pernafasan bagian bawah.
1. Pernafasan bagian atas meliputi, hidung, rongga hidung, sinus
paranasal, dan faring.
2. Pernafasan bagian bawah meliputi, laring, trakea, bronkus, bronkiolus
dan alveolus paru (Guyton, 2007) Pergerakan dari dalam ke luar paru
terdiri dari dua proses, yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi adalah
pergerakan dari atmosfer ke dalam paru, sedangkan ekspirasi adalah
pergerakan dari dalam paru ke atmosfer.
Agar proses ventilasi dapat berjalan lancar dibutuhkan fungsi yang
baik pada otot pernafasan dan elastisitas jaringan paru. Otot-otot
pernafasan dibagi menjadi dua yaitu,
1. Otot inspirasi yang terdiri atas, otot interkostalis eksterna,
sternokleidomastoideus, skalenus dan diafragma.
2. Otot-otot ekspirasi adalah rektus abdominis dan interkostalis internus (
Alsagaff dkk., 2005).
6

Gambar 4. Otot-otot pernafasan inspirasi dan ekspirasi.

2. Fisiologi Paru
Paru-paru dan dinding dada adalah struktur yang elastis. Dalam
keadaan normal terdapat lapisan cairan tipis antara paru-paru dan dinding
dada sehingga paru-paru dengan mudah bergeser pada dinding dada.
Tekanan pada ruangan antara paru-paru dan dinding dada berada di
bawah tekanan atmosfer (Guyton, 2007). Fungsi utama paru-paru yaitu
untuk pertukaran gas antara darah dan atmosfer. Pertukaran gas tersebut
bertujuan untuk menyediakan oksigen bagi jaringan dan mengeluarkan
karbon dioksida. Kebutuhan oksigen dan karbon dioksida terus
berubahsesuai dengan tingkat aktivitas dan metabolisme seseorang, tapi
pernafasan harus tetap dapat memelihara kandungan oksigen dan karbon
dioksida tersebut (West, 2004).
Udara masuk ke paru-paru melalui sistem berupa pipa yang
menyempit (bronchi dan bronkiolus) yang bercabang di kedua belah paru-
paru utama (trachea). Pipa tersebut berakhir di gelembung-gelembung
paru-paru (alveoli) yang merupakan kantong udara terakhir dimana
oksigen dan karbondioksida dipindahkan dari tempat dimana darah
7

mengalir. Ada lebih dari 300 juta alveoli di dalam paru-paru manusia
bersifat elastis. Ruang udara tersebut dipelihara dalam keadaan terbuka
oleh bahan kimia surfaktan yang dapat menetralkan kecenderungan
alveoli untuk mengempis (McArdle, 2006). Untuk melaksanakan fungsi
tersebut, pernafasan dapat dibagi menjadi empat mekanisme dasar, yaitu:
1. Ventilasi paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara antara alveoli
dan atmosfer
2. Difusi dari oksigen dan karbon dioksida antara alveoli dan darah
3. Transport dari oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan cairan
tubuh ke dan dari sel
4. Pengaturan ventilasi (Guyton, 2007).

B. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit
atau gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa ostruksi
saluran pernapasan yang bersifat progresif dan tidak sepenuhnya
reversible. Obstruksi ini berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru
terhadap partikel asing atau gas yang berbahaya (Depkes,2007). Pada
PPOK, bronkitis kronik dan emfisema sering ditemukan bersama,
meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi menurut
PDPI 2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi
PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan
emfisema merupakan diagnosis patologi (PDPI, 2010, Andani, 2016).
PPOK adalah penyakit yang umum, dapat dicegah, dan dapat ditangani,
yang memiliki karakteristik gejala pernapasan yang menetap dan
keterbatasan aliran udara, dikarenakan abnormalitas saluran napas
dan/atau alveolus yang biasanya disebabkan oleh pajanan gas atau partikel
berbahaya (GOLD, 2017).
8

PPOK sering kali timbul pada usia pertengahan akibat merokok


dalam waktu yang lama. PPOK sendiri juga mempunyai efek sistemik
yang bermakna sebagai petanda sudah terdapat kondisi komorbid lainnya.
PPOK sering kali timbul pada usia pertengahan berhubungan dengan
berbagai faktor resiko seperti merokok, polusi udara, usia dan lain-lain.
Dampak PPOK pada setiap individu tergantung derajat keluhan
(khususnya sesak dan penurunan kapasitas latihan), efek sistemik dan
gejala komorbid lainnya. Hal tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh derajat
keterbatasan aliran udara.
Bronchitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena:

 Emfisema merupakan diagnosis patologik


 Bronchitis kronik merupakan diagnosis klinis

Selain itu keduanya tidak selalu mencerminkan hambatan aliran


udara dalam saluran napas. (PDPI, 2016).
9

C. Epidemiologi
Data prevalensi PPOK yang ada saat ini bervariasi berdasarkan metode
survei, kriteria diagnostik, serta pendekatan analisis yang dilakukan pada
setiap studi.1 Berdasarkan data dari studi PLATINO, sebuah penelitian
yang dilakukan terhadap lima negara di Amerika Latin (Brasil, Meksiko,
Uruguay, Chili, dan Venezuela) didapatkan prevalensi PPOK sebesar
14,3%, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 18,9% dan
11.3%.5 Pada studi BOLD, penelitian serupa yang dilakukan pada 12
negara, kombinasi prevalensi PPOK adalah 10,1%, prevalensi pada laki-
laki lebih tinggi yaitu 11,8% dan 8,5% pada perempuan. Data di Indonesia
berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 (RISKESDAS), prevalensi
PPOK adalah sebesar 3,7%. Angka kejadian penyakit ini meningkat
dengan bertambahnya usia dan lebih tinggi pada laki-laki (4,2%)
dibanding perempuan(3,3%) (Indonesia KKR. Riset Kesehatan Dasar
2013. 2013).
D. Etiologi dan Faktor Resiko
1. Asap Rokok
2. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a) Riwayat merokok
 Perokok aktif
 Perokok pasif
 Bekas perokok
b) Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu
perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan
lama merokok dalam tahun :
 Ringan : 0-200
 Sedang : 200-600
 Berat : >600
c) 10 Pack Year adalah perhitungan derajat berat merokok dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
10

Jumlah pack year= jumlah pak(bungkus) rokok yang dihisap


perhari x jumlah tahun merokok
1 pak (bungkus) rokok = 20 batang rokok, maka
10 ack year= 10 x 20 batang rokok = 200 batang
3. Polusi Udara
- Polusi didalam ruangan
Asap rokok
Asap dapur (kompor, kayu, arang, dll)
- Polusi diluar ruangan
Gas buang kendaraan bermotor
Debu jalanan
- Polusi ditempat kerja (bhan kimia, zat iritasi, gas beracun)
4. Infeksi saluran napas bawah berulang
5. Social ekonomi
6. Tumbuh kembang paru
7. Genetik
8. Jenis kelamin (PDPI, 2016)
Berdasarkan penelitian Oemiati (2013) menyatakan bahwa faktor
risiko utama PPOK antara lain merokok, polutan indoor, outdoor dan
polutan di tempat kerja, selain itu ada juga faktor risiko lain yaitu genetik,
gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik. Data Riskesdas
2013 berdasarkan karakteristik terlihat prevalensi PPOK semakin
meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Prevalensi PPOK lebih
tinggi pada laki-laki (4,2%) dibanding perempuan (3,3%) dan mulai
meningkat pada kelompok usia ≥ 25 tahun. Prevalensi PPOK lebih tinggi
di perdesaan (4,5%) dibanding perkotaan (3,0%) dan cenderung lebih
tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah (7,9%) dan kuintil
indeks kepemilikan terbawah (7,0%).
E. Patofisiologi
Karakteristik utama PPOK adalah keterbatasan aliran udara sehingga
membutuhkan waktu lebih lama untuk pengosongan paru. Peningkatan
11

tahanan jalan napas pada saluran napas kecil dan peningkatan compliance
paru akibat kerusakan emfisematus menyebabkan perpanjangan waktu
pengosongan paru. Hal tersebut dapat dinilai dari pengukuran Volume Ekspirasi
Paksa detik pertama (FEV1) dan rasio FEV1 dengan Kapasitas Vital Paksa
(FEV1/FVC) (Masna dan Fachri, 2014). Patofisiologi pada pasien PPOK menurut
The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease 2017 sebagai
berikut :
- Keterbatasan Aliran Udara dan Air Trapping
Tingkat peradangan, fibrosis, dan eksudat luminal dalam saluran
udara kecil berikorelasi dengan penurunan VEP1 dan rasio VEP1/KVP.
Penurunan VEP1 merupakan gejala yang khas pada PPOK, obstruksi
jalan napas perifer ini menyebabkan udara terperangkap dan
mengakibatkan hiperinflasi. Meskipun emfisema lebih dikaitkan dengan
kelainan pertukaran gas dibandingkan dengan VEP1 berkurang, hal ini
berkontribusi juga pada udara yang terperangkap yang terutama terjadi
pada alveolar. Ataupun saluran napas kecil akan menjadi hancur ketika
penyakit menjadi lebih parah.
Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan
kapasitas residual fungsional, khususnya selama latihan (bila kelainan
ini dikenal sebagai hiperinflasi dinamis), yang terlihat sebagai dyspnea
dan keterbatasan kapasitas latihan. Hiperinflasi yang berkembang pada
awal penyakit merupakan mekanisme utama timbulnya dyspnea pada
aktivitas. Bronkodilator yang bekerja pada saluran napas perifer
mengurangi perangkap udara, sehingga mengurangi volume paru residu
dan gejala serta meeningkatkan dan kapasitas inspirasi dan latihan.
- Mekanisme Pertukaran Gas
Ketidakseimbangan pertukaran gas menyebabkan kelainan
hipoksemia dan hypercapnia yang terjadi karena beberapa mekanisme.
Secara umum, pertukaran gasakan memburuk selama penyakit
berlangsung. Tingkat keparahan emfisema berkorelasi dengan PO2
arteri dan tanda lain dari ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (VA/Q).
12

Obstruksi jalan napas perifer juga menghasilkan ketidakseimbangan


VA/Q. Gangguan fungsi otot ventilasi pada penyakityang sudah parah
akan mengurangi ventilasi. Kedua hal tersebut menyebabkan retensi
karbon dioksida. Kelainan pada ventilasi alveolar dan berkurangnya
pembuluh darah paru akan lebih memperburuk kelainan VA/Q.
- Hipersekresi Mukus
Hipersekresi mukus yang mengakibatkan batuk produktif kronis,
adalah gambaran dari bronkitis kronis tidak selalu dikaitkan dengan
keterbatasan aliran udara. Hal ini disebabkan karena metaplasia mukosa
yang meningkatkan jumlah sel goblet dan membesarnya kelenjar
submukosa sebagai respons terhadap iritasi kronis saluran napas oleh
asap rokok atau agen berbahaya lainnya. Beberapa mediator dan
protease merangsang hipersekresi mukus melalui aktivasi reseptor
faktor EGFR. Namun tidak semua pasien dengan PPOK memiliki
gejala hipersekresi mukus.
- Hipertensi Pulmoner
Hipertensi pulmoner ringan sampai sedang mungkin terjadi pada
PPOK akibat proses vasokonstriksi yang disebabkan hipoksia arteri
kecil pada paru yang kemudian mengakibatkan perubahan struktural
yang meliputi hiperplasia intima dan kemudian hipertrofi otot polos /
hiperplasia. Respon inflamasi dalam pembuluh darah sama dengan yang
terlihat di saluran napas dengan bukti terlihatnya disfungsi sel endotel.
Hilangnya kapiler paru pada emfisema juga dapat menyebabkan
peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru sehingga terjadi. Hipertensi
pulmoner yang progresif sehingga mengakibatkan hipertrofi ventrikel
kanan dan berlanjut menjadi gagal jantung kanan.
- Gambaran Dampak Sistemik
Beberapa studi melaporkan bahwa PPOK memberikan gambaran
sistemik, khususnya pada PPOK yang berat. Hal ini berdampak besar
terhadap kualitas hidup. Kakeksia umumnya terlihat pada pasien PPOK
berat, disebabkan oleh hilangnya massa otot rangka dan kelemahan otot
13

akibat dari apoptosis yang meningkat dan/atau tidak digunakannya otot-


otot tersebut. Peningkatan proses osteoporosis, depresi dan anemia
kronik juga terjadi pada PPOK.
- Eksaserbasi
Eksaserbasi PPOK didefinisikan sebagai kondisi akut yang
ditandai dengan perburukan gejala respirasi dari variasi gejala normal
harian dan membutuhkan perubahan terapi. Eksaserbasi sering terjadi
pada pasien PPOK yang dicetuskan oleh infeksi bakteri atau virus,
polusi lingkungan atau faktor lain yang belum diketahui. Infeksi bakteri
dan virus memiliki karakteristik peningkatan respons inflamasi. Selama
eksaserbasi gejala sesak meningkat karena peningkatan hiperinflasi, air
trapping dan penurunan aliran udara. Eksaserbasi juga menyebabkan
penurunan VA/Q yang menyebabkan hipoksemia berat. Beberapa
keadaan menyerupai eksaserbasi PPOK adalah pneumonia,
tromboemboli dan gagal jantung akut.
F. Klasifikasi
Klasifikasi PPOK berdasarkan hasil pengukuran FEV1 dan FVC
dengan spirometri setelah pemberian bronkodilator dibagi menjadi GOLD
1, 2, 3, dan 4. Cara kerja tes spirometri adalah pengukuran berat badan
tinggi badan terlebih dahulu, kemudian melakukan tes dengan menarik
nafas dalam-dalam dengan posisi sungkup mulut terpasang pada mulut.
Setelah penuh, tutup bagian mulut, kemudian hembuskan nafas sekencang-
kencangnya dan semaksimal mungkin hingga udara dalam paru-paru
keluar sepenuhnya dan paru-paru dalam keadaan kosong
(Medicalogy,2018). Pengukuran spirometri harus memenuhi kapasitas
udara yang dikeluarkan secara paksa dari titik inspirasi maksimal (Forced
Vital Capacity (FVC)), kapasitas udara yang dikeluarkan pada detik
pertama (Forced Expiratory Volume in one second (FEV1)), dan rasio
kedua pengukuran tersebut (FEV1/FVC).
 Derajat I: PPOK ringan
14

Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum).Keterbatasan


aliran udara ringan (FEV1/FVC<70%; FEV1 ≥80% prediksi). Pada derajat ini,
orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa fungsi parunya abnormal.

 Derajat II: PPOK sedang


Semakin memburuknya hambatan aliran udara (FEV1/FVC< 70%; 50%
<FEV1< 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Dalam
tingkat ini pasien biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena sesak
nafas yang dialaminya.
 Derajat III: PPOK berat
Ditandai dengan keterbatasan/ hambatan aliran udara yang semakin
memburuk (FEV1/FVC<70%; 30%<FEV1 < 50% prediksi). Terjadi sesak nafas
yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi yang
berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien.
 Derajat IV: PPOK sangat berat
Keterbatasan/hambatan aliran udara yang berat (FEV1/FVC< 70%; FEV1 <
30% prediksi) atau FEV1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya gagal nafas
kronik dan gagal jantung kanan.

G. Manifestasi Klinis
Gejala yang paling sering terjadi pada pasien PPOK adalah sesak
napas. Sesak napas biasanya menjadi komplain ketika FEV1 <60%
prediksi. Selain sesak nafas gejala lainnya yang muncul adalah batuk
kronis atau produksi sputum, dan/atau riwayat pajanan akan faktor resiko
(GOLD, 2017) . Faktor risiko PPOK berupa merokok, genetik, paparan
terhadap partikel berbahaya, usia, asma, status sosiol ekonomi, dan infeksi.
15

Gejala tambahan pada penyakit PPOK dengan derajat berat seperti


kelelahan, kehilangan berat badan, dan anoreksia merupakan gejala yang
umum terjadi pada pasien PPOK dengan derajat keparahan yang tinggi dan
sangat berat (Soeroto dan Suryadinata, 2014).
H. Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misalnya berat
badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang,
lingkungan asap rokok dan polusi udara
Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
Riwayat keluarga PPOK
Riwayat perawatan sebelumnya karena penyakit paru
Penyakit komorbid seperti penyakit jantung, osteoporosis,
musculoskeletal dan keganasan
Keterbatasan aktivitas, kondisi depresi dan ansietas serta gangguan
aktifitas seksual
2. Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
a. Inspeksi
 Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu).
(Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut
mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi
sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2
yang terjadi pada gagal napas kronik.)
16

 Barrel chest (dada tong, diameter antero - posterior dan


transversal sebanding)
 Penggunaan otot bantu napas
 Hipertropi otot bantu napas
 Pelebaran sela iga
 Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis leher dan edema tungkai
 Penampilan pink puffer (gambaran yang khas pada
emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan
pursed – lips breathing) atau blue bloater(gambaran khas
pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat
edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis
sentral dan perifer).

b. Palpasi
 Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
c. Perkusi
 Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil,
letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
d. Auskultasi
 Suara napas vesikuler normal, atau melemah
 Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa
atau pada ekspirasi paksa
 Ekspirasi memanjang
Bunyi jantung terdengar jauh
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Faal paru
I. Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP)
 Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
VEP1/KVP (%).
17

Obstruksi:% VEP1(VEP1/VEP1 pred) <80% VEP1%


(VEP1/KVP) < 70 %
 VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
 Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai
sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi
dan sore, tidak lebih dari 20%
II. Uji bronkodilator
 Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada
gunakan APE meter.
 Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 4-8 hisapan,
15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE,
perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml.
 Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
b. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit, dan analisis gas darah
c. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
1. Hiperinflasi
2. Hiperlusen
3. Ruang retrosternal melebar
4. Diafragma mendatar
5. Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance)
Pada bronkitis kronik :
1. Normal
2. Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
18

Penilaian kombinasi PPOK


Populasi A
Risiko rendah, gejala sedikit. Klasifikasi spirometri GOLD I dan II,
eksaserbasi pertahunnya 0-1 kali, skor mMRC 0-1 dan skor CAT < 10
Populasi B
Risiko rendah, gejala banyak. Klasifikasi spirometri GOLD I dan II,
eksaserbasi pertahunnya 0-1 kali, skor mMRC ≥ 2 dan skor CAT ≥ 10
Populasi C
Risiko tinggi, gejala sedikit. Klasifikasi spirometri GOLD III dan IV,
eksaserbasi pertahunnya > 2 kali, skor mMRC 0-1 dan skor CAT < 10
Populasi D
Risiko tinggi, gejala banyak. Klasifikasi spirometri GOLD III dan IV,
eksaserbasi pertahunnya > 2 kali, skor mMRC ≥ 2 dan skor CAT ≥ 10.
19
20

I. Diagnosis Banding
Diagnosis Gejala
PPOK Onset : usia pertengahan
Gejala progesif lambat
Riwayat merokok lama
Sesak saat aktivitas
Irreversibel
Asma Semua umur, sering pada anak
Gejala bervariasi dari hari ke hari
Gejala pada malam/ menjelang
pagi
Dapat disertai alergi, rhinitis/eksim
Riwayat keluarga asma
Reversibel
Gagal jantung kongestif Auskultasi : ronki halus basal
Foto thorax : jantung membesar,
edema paru
Uji fungsi paru :retriksi bukan
obstruksi
Bronkiektasis Sputum produktif dan purulen
Umumnya terkait infeksi bakteri
21

Auskultasi : ronki kasar


Foto thoraks/CT scan: pelebaran
dan penebalan bronkus
Tuberculosis Onset : segala usia
Foto thoraks : infitrat diparu
BTA positif
Prevalens tinggi di daerah endemis
Bronkiolitis obliterans Onset usia muda, bukan perokok
Mungkin ada riwayat RA/ pajanan
asap
CT-Scan Thoraks pada ekspirasi
menunjukan daerah hipodens
Panbronkiolitis diffuse Banyak pada laki-laki bukan
perokok
Hampir semua menderita sinusitis
kronis
Foto thoraks ada nodul opak
menyebar kecil di sentrilobular dan
gambaran hiperinflasi

J. Penatalaksanaan
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang
pada PPOK stabil. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang
ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan
keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
22

1. Pengetahuan dasar tentang PPOK


2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktiviti
Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit :
Ringan
 Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
 Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus,
antara lain berhenti merokok
 Segera berobat bila timbul gejala
Sedang
 Menggunakan obat dengan tepat
 Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
 Program latihan fisik dan pernapasan
Berat
 Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
 Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan
 Penggunaan oksigen di rumah
2. Farmakologi
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat
penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser
tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat
berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release )
atau obat berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik
23

Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping


sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir
( maksimal 4 kali perhari ).
- Golongan agonis beta – 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak,
peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor
timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan
sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi
eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan
jangka panjang.
Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat
efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat
kerja yang berbeda.
Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih
sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan
pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat
sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus
atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
a. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
24

panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat


perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
b. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin
makrolid
- Lini II : Amoksisilin dan asam klavulanat
Sefalosporin
Kuinolon
Makrolid baru
c. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N -
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering,
tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin

d. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.
e. Antitusif
Diberikan dengan hati – hati
Tabel 3. Pengobatan berdasarkan kelompok PPOK
Kelompok Obat pilihan Obat pilihan Obat lainnya
pasien pertama alternative
A Antikolinergik Antikolinergik Teofilin
kerja singkat, bila kerja lama atau
perlu Beta 2 Beta 2 agonis
agonis kerja kerja lama atau
singkat Beta agonis kerja
singkat dan
antikolinergik
kerja singkat
B Antikolinergik Antikolinergik Beta 2 agnosi
25

kerja lama, atau kerja lama dan kerja singkat


Beta 2 agonis beta 2 agonis dan/ atau
kerja lama kerja lama antikolinergik
kerja singkat
teofilin
C Kortikosteroid Antikolinergik Beta 2 agonis
inhalasi + Beta 2 kerja lama dan kerja singkat dan
agonis kerja lama beta 2 agonis / atau
atau kerja lama atau antikolinergik
antikolinergik antikolinergik kerja singkat
kerja lama kerja lama dan Teofilin
PDE4 inhibitor
atau beta 2 agonis
kerja lama dan
PDE4 inhibitor
D Kortikosteroid Kortikosteroid Carbocystein
inhalasi + beta 2 inhalasi + beta 2 N-acethylsistein
agonis kerja lama agonis kerja lama Beta 2 agonis
atau dan dan antikolinergik kerja singkat dan
antikolinergik kerja lama atau / atau
kerja lama kortikosteroid antikolinergik
inhalasi + beta 2 kerja singkat
agonis kerja lama
dan PDE4 Teofilin
inhibitor atau
antikolinergik
kerja lama dan
beta 2 agonis
kerja lama atau
antikolinergik
kerja lama dan
PDE4 inhibitor

3. Terapi Oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang


menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan
hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah
kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya.
Indikasi terapi oksigen
- Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
26

- Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,
perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan,
sleep apnea, penyakit paru lain
Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah
dibedakan :
- Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy =
LTOT )
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti (1-2 L/mnt)
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

4. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal
napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien
PPOK derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat
digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.

a. Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :


- Ventilasi mekanik dengan intubasi
- Ventilasi mekanik tanpa intubasi
- Ventilasi mekanik tanpa intubasi
- Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal
napas kronik dan dapat digunakan selama di rumah.
Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah Nonivasive Intermitten Positif
Pressure (NIPPV) atau Negative Pessure Ventilation (NPV).
NIPPV dapat diberikan dengan tipe ventilasi :
- Volume control
- Pressure control
- Bilevel positive airway pressure (BiPAP)
- Continous positive airway pressure (CPAP)
27

NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus menerus


(LTOT / Long Tern Oxygen Theraphy) akan memberikan perbaikan yang
signifikan pada :
- Analisis gas darah
- Kualiti dan kuantiti tidur
- Kualitas hidup
- Analisis gas darah
b. Indikasi penggunaan NIPPV
- Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus
respirasi dan abdominal paradoksal
- Asidosis sedang sampai berat pH < 7,30 - 7, 35
- Frekuensi napas > 25 kali per menit
NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas,
disamping harus menggunakan perlengkapan yang tidak sederhana.
5. Pembedahan
Bertujuan untuk :

- Memperbaiki fungsi paru


- Memperbaiki mekanik paru
- Meningkatkan toleransi terhadap eksaserbasi
- Memperbaiki kualiti hidup
Operasi paru yang dapat dilakukan yaitu :
1. Bulektomi
2. Bedah reduksi volume paru (BRVP) / lung volume reduction surgey
(LVRS)
3. Transplantasi paru

PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel,


sehingga penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan
stabil dan (2) penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.
1. PPOK Stabil
Kriteria PPOK stabil adalah :
- Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik
28

- Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas
darah menunjukkan
PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg
- Dahak jernih tidak berwarna
- Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil
spirometri)
- Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
- Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan
Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil :
- Mempertahankan fungsi paru
- Meningkatkan kualiti hidup
- Mencegah eksaserbasi
29

2. PPOK Pada Eksaserbasi Akut


Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan
dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat
disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan
atau timbulnya komplikasi.
Gejala eksaserbasi :
- Sesak bertambah
- Produksi sputum meningkat
- Perubahan warna sputum
Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :
a. Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas ( pasien dibawa
ke rumah sakit dan butuh ruang emergency)
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas ( terapi
dengan SABDs plus antibiotic dan atau kortikosteroid oral)
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah
infeksi saluran napas atas lebihdari 5 hari, demam tanpa sebab lain,
peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi
30

pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline
( terapi dengan bronkodilator short acting, SABDs)

Penyebab eksaserbasi akut


Primer :
- Infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus)

Sekunder :
- Pnemonia
- Gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia
- Emboli paru
- Pneumotoraks spontan
- Penggunaan oksigen yang tidak tepat
- Penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat
- Penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit)
- Nutrisi buruk
- Lingkunagn memburuk/polusi udara
- Aspirasi berulang
- Stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi)
31

Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah


mengatasi segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal
napas. Bila telah menjadi gagal napas segera atasi untuk mencegah kematian.
Beberapa hal yang harus diperhatikan meliputi :
1. Diagnosis beratnya eksaerbasi
- Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal
- Kesadaran
- Tanda vital
- Analisis gas darah
- Pneomonia

K. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :
1. Gagal napas
- Gagal napas kronik
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
2. Infeksi berulang
3. Kor pulmonal
Gagal napas kronik :
- Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan
pH normal, penatalaksanaan :
- Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2
- Bronkodilator adekuat
- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
- Antioksidan
Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing Gagal napas akut pada gagal
napas kronik, ditandai oleh :
32

- Sesak napas dengan atau tanpa sianosis


- Sputum bertambah dan purulen
- Demam
- Kesadaran menurun
- Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi
kronik ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar
limposit darah.
Kor pulmonal :
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal
jantung kanan

L. Pencegahan
1. Mencegah terjadinya PPOK
 Hindari asap rokok
 Hindari polusi udara
 Hindari infeksi saluran napas berulang
2. Mencegah perburukan PPOK
 Berhenti merokok
 Gunakan obat-obatan adekuat
 Mencegah eksaserbasi berulang
M. Prognosis
Prognosis dari PPOK cukup buruk, karena PPOK tidak dapat
disembuhkan secara permanen, 30% penderita dengan sumbatan yang
berat akan meninggal dalam waktu satu tahun 95% meninggal dalam
waktu 10 tahun. Ini terjadi oleh karena kegagalan napas, pneumonia,
aritmia jantung atau emboli paru (Tomas, 2008)
33

BAB III

KESIMPULAN

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit


paru kronik berupa obstruksi saluran pernapasan yang bersifat progresif dan tidak
sepenuhnya reversible yang diasosiasikan dengan respon inflamsi abnormal paru
terhadap gas berbahaya ataupun partikel asing. Faktor resiko yang berkaitan
dengan PPOK adalah faktor herediter yaitu defisiensi alpha – 1 antitripsin,
kebiasaan merokok, riwayat terpapar polusi udara di lingkungan dan tempat kerja,
hipereaktivitas bronkus, riwayat infeksi saluran napas bawah berulang.

Gejala PPOK secara umum ada tiga yaitu, batuk, berdahak dan sesak
napas khsususnya saat beraktivitas.ATS telah membagi skala sesak napas dari
tingkat 0, satu, dua, tiga dan empat, yang menuju ke tingkat keparahan.
Sedangkan klasifikasi PPOK terdiri dari ringan sedang dan berat yang diukur
berdasarkan pemeriksaan spirometri yang menghasilkan nilai VEP1 dibagi dengan
KVP yaitu besarnya ratio udara yang mampu dihisap dan dikeluarkan oleh paru-
paru manusia. Faktor risiko utama PPOK antara lain merokok, polutan indoor,
outdoor dan polutan di tempat kerja, selain itu ada juga faktor risiko lain yaitu
genetik, gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik.

Diagnosis pada pasien PPOK dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. PPOK eksaserbasi akut adalah bila
kondisi pasien PPOK mengalami perburukan yang bersifat akut dari kondisi
sebelumnya yang stabil yang ditandai dengan sesak napas yang bertambah berat,
produksi sputum yang meningkat dan perubahan warna sputum menjadi lebih
purulent.

Dampak PPOK pada seseorang pasien, bergantung tidak hanya pada


derajat keterbatasan saluran nafas, tetapi juga pada keparahan gejalanya. Staging
berdasarkan spirometri, adalah pendekatan pragmatik yang ditujukan pada
implementasi praktis dan harus digunakan sebagai alat edukasi dan suatu indikasi
umum untuk dilakukan pengobatan

Tujuan penatalaksaan PPOK adalah untuk mengurangi gejala, mencegah


eksaserbasi berulang memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru dan
meningkatkan kualitas hidup penderita.
34

DAFTAR PUSTAKA

1. Indonesia KKR. Riset Kesehatan Dasar 2013. 2013


2. Alibakhshi, E., dan Shirvani, H. 2015. Nutritional Status in Patients with
Chronic Obstruction Pulmonary Disease (COPD) - Review Article. EC
Nutrition 2.1: 267-274.
3. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), 2017.
Global Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease. www.goldcopd.org
4. Safitri, Y. 2016. Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Derajat
Keparahan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Universitas Negeri
Semarang: Skripsi.
5. Barnes PJ. Mediators of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
Pharmacological Reviews. 2017;56(4):515-48.

6. Anonim 2016. Konsensus PPOK. Tersedia di:


www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf

Anda mungkin juga menyukai