Paper ini dibuat sebagai salah satu persyaratan dalam mengikuti Kepaniteraan
Disusun oleh :
CHRISTIE JESSICA TAMBUNAN (102119068)
STEFANIE CLARITA (102119027)
Pembimbing :
Dr. Irma Tabrani Sp. P
KATA PENGANTAR
Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih kepada dokter pembimbing
yaitu Dr. Irma Tabrani Sp.P atas bimbingan dan arahannya selama mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di SMF bagian Ilmu Paru RSUD Dr. RM. Djoelham
Binjai. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan tugas ini.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................... 1
A. Latar Belakang......................................................................................................3
B. Definisi..................................................................................................................7
C. Epidemiologi.........................................................................................................8
E. Patofisiologi..........................................................................................................9
F. Klasifikasi...........................................................................................................12
G. Manifestasi Klinis................................................................................................13
H. Penegakan Diagnosis...........................................................................................14
I. Diagnosis Banding..............................................................................................18
J. Penatalaksanaan...................................................................................................20
K. Komplikasi..........................................................................................................30
L. Pencegahan..........................................................................................................31
M. Prognosis.............................................................................................................31
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam beberapa tahun terakhir, pola penyakit di dunia sedang
mengalami transisi penyebab kematian, dari penyakit menular menjadi
penyakit tidak menular (PTM). PTM telah menjadi pandemi yang muncul
secara global dengan tingkat yang lebih tinggi di negara berkembang.
Salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan
masyarakat baik di Indonesia maupun di dunia adalah adalah penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK). PPOK merupakan istilah untuk
menggambarkan sekumpulan penyakit kronik paru yang ditandai dengan
keterbatasan aliran udara (Islam et al., 2014).
Penyakit Paru Obstrutif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru
kronik yang dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan adanya
keterbatasan aliran udara yang persisten dan umumnya bersifat progesif,
berhubungan dengan respons inflamasi kronik yang berlebihan pada
saluran napas dan parenkim paru akibat gas atau partikel berbahaya.
Eksaserbasi dan komorbid berkontribusi pada beratnya penyakit.
Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh
gabungan antara obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) atau
kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi pada individu, akibat
inflamasi kronik yang menyebabkan hilangnya hubungan alveoli dan
saluran napas kecil dan penurunan elastisitas recoil paru.
Menurut World Health Statistics, PPOK akan menjadi penyebab
ketiga kematian di dunia pada tahun 2030 (WHO, 2008). World Health
Organization (WHO) memperkirakan pada tahun 2014, penyakit
pernapasan kronis, salah satunya adalah PPOK, menyumbang 5% dari
total kematian akibat penyakit tidak menular di Indonesia(WHO, 2014).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes-RI) (2013),
PPOK memiliki prevalensi 3,7% (pada kelompok umur ≥30 tahun) per
satu juta penduduk di Indonesia.
PPOK sering kali timbul pada usia pertengahan berhubungan
dengan berbagai faktor resiko seperti merokok, polusi udara, usia dan lain-
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Fisiologi Paru
Paru-paru dan dinding dada adalah struktur yang elastis. Dalam
keadaan normal terdapat lapisan cairan tipis antara paru-paru dan dinding
dada sehingga paru-paru dengan mudah bergeser pada dinding dada.
Tekanan pada ruangan antara paru-paru dan dinding dada berada di
bawah tekanan atmosfer (Guyton, 2007). Fungsi utama paru-paru yaitu
untuk pertukaran gas antara darah dan atmosfer. Pertukaran gas tersebut
bertujuan untuk menyediakan oksigen bagi jaringan dan mengeluarkan
karbon dioksida. Kebutuhan oksigen dan karbon dioksida terus
berubahsesuai dengan tingkat aktivitas dan metabolisme seseorang, tapi
pernafasan harus tetap dapat memelihara kandungan oksigen dan karbon
dioksida tersebut (West, 2004).
Udara masuk ke paru-paru melalui sistem berupa pipa yang
menyempit (bronchi dan bronkiolus) yang bercabang di kedua belah paru-
paru utama (trachea). Pipa tersebut berakhir di gelembung-gelembung
paru-paru (alveoli) yang merupakan kantong udara terakhir dimana
oksigen dan karbondioksida dipindahkan dari tempat dimana darah
7
mengalir. Ada lebih dari 300 juta alveoli di dalam paru-paru manusia
bersifat elastis. Ruang udara tersebut dipelihara dalam keadaan terbuka
oleh bahan kimia surfaktan yang dapat menetralkan kecenderungan
alveoli untuk mengempis (McArdle, 2006). Untuk melaksanakan fungsi
tersebut, pernafasan dapat dibagi menjadi empat mekanisme dasar, yaitu:
1. Ventilasi paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara antara alveoli
dan atmosfer
2. Difusi dari oksigen dan karbon dioksida antara alveoli dan darah
3. Transport dari oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan cairan
tubuh ke dan dari sel
4. Pengaturan ventilasi (Guyton, 2007).
B. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit
atau gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa ostruksi
saluran pernapasan yang bersifat progresif dan tidak sepenuhnya
reversible. Obstruksi ini berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru
terhadap partikel asing atau gas yang berbahaya (Depkes,2007). Pada
PPOK, bronkitis kronik dan emfisema sering ditemukan bersama,
meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi menurut
PDPI 2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi
PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan
emfisema merupakan diagnosis patologi (PDPI, 2010, Andani, 2016).
PPOK adalah penyakit yang umum, dapat dicegah, dan dapat ditangani,
yang memiliki karakteristik gejala pernapasan yang menetap dan
keterbatasan aliran udara, dikarenakan abnormalitas saluran napas
dan/atau alveolus yang biasanya disebabkan oleh pajanan gas atau partikel
berbahaya (GOLD, 2017).
8
C. Epidemiologi
Data prevalensi PPOK yang ada saat ini bervariasi berdasarkan metode
survei, kriteria diagnostik, serta pendekatan analisis yang dilakukan pada
setiap studi.1 Berdasarkan data dari studi PLATINO, sebuah penelitian
yang dilakukan terhadap lima negara di Amerika Latin (Brasil, Meksiko,
Uruguay, Chili, dan Venezuela) didapatkan prevalensi PPOK sebesar
14,3%, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 18,9% dan
11.3%.5 Pada studi BOLD, penelitian serupa yang dilakukan pada 12
negara, kombinasi prevalensi PPOK adalah 10,1%, prevalensi pada laki-
laki lebih tinggi yaitu 11,8% dan 8,5% pada perempuan. Data di Indonesia
berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 (RISKESDAS), prevalensi
PPOK adalah sebesar 3,7%. Angka kejadian penyakit ini meningkat
dengan bertambahnya usia dan lebih tinggi pada laki-laki (4,2%)
dibanding perempuan(3,3%) (Indonesia KKR. Riset Kesehatan Dasar
2013. 2013).
D. Etiologi dan Faktor Resiko
1. Asap Rokok
2. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a) Riwayat merokok
Perokok aktif
Perokok pasif
Bekas perokok
b) Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu
perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan
lama merokok dalam tahun :
Ringan : 0-200
Sedang : 200-600
Berat : >600
c) 10 Pack Year adalah perhitungan derajat berat merokok dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
10
tahanan jalan napas pada saluran napas kecil dan peningkatan compliance
paru akibat kerusakan emfisematus menyebabkan perpanjangan waktu
pengosongan paru. Hal tersebut dapat dinilai dari pengukuran Volume Ekspirasi
Paksa detik pertama (FEV1) dan rasio FEV1 dengan Kapasitas Vital Paksa
(FEV1/FVC) (Masna dan Fachri, 2014). Patofisiologi pada pasien PPOK menurut
The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease 2017 sebagai
berikut :
- Keterbatasan Aliran Udara dan Air Trapping
Tingkat peradangan, fibrosis, dan eksudat luminal dalam saluran
udara kecil berikorelasi dengan penurunan VEP1 dan rasio VEP1/KVP.
Penurunan VEP1 merupakan gejala yang khas pada PPOK, obstruksi
jalan napas perifer ini menyebabkan udara terperangkap dan
mengakibatkan hiperinflasi. Meskipun emfisema lebih dikaitkan dengan
kelainan pertukaran gas dibandingkan dengan VEP1 berkurang, hal ini
berkontribusi juga pada udara yang terperangkap yang terutama terjadi
pada alveolar. Ataupun saluran napas kecil akan menjadi hancur ketika
penyakit menjadi lebih parah.
Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan
kapasitas residual fungsional, khususnya selama latihan (bila kelainan
ini dikenal sebagai hiperinflasi dinamis), yang terlihat sebagai dyspnea
dan keterbatasan kapasitas latihan. Hiperinflasi yang berkembang pada
awal penyakit merupakan mekanisme utama timbulnya dyspnea pada
aktivitas. Bronkodilator yang bekerja pada saluran napas perifer
mengurangi perangkap udara, sehingga mengurangi volume paru residu
dan gejala serta meeningkatkan dan kapasitas inspirasi dan latihan.
- Mekanisme Pertukaran Gas
Ketidakseimbangan pertukaran gas menyebabkan kelainan
hipoksemia dan hypercapnia yang terjadi karena beberapa mekanisme.
Secara umum, pertukaran gasakan memburuk selama penyakit
berlangsung. Tingkat keparahan emfisema berkorelasi dengan PO2
arteri dan tanda lain dari ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (VA/Q).
12
G. Manifestasi Klinis
Gejala yang paling sering terjadi pada pasien PPOK adalah sesak
napas. Sesak napas biasanya menjadi komplain ketika FEV1 <60%
prediksi. Selain sesak nafas gejala lainnya yang muncul adalah batuk
kronis atau produksi sputum, dan/atau riwayat pajanan akan faktor resiko
(GOLD, 2017) . Faktor risiko PPOK berupa merokok, genetik, paparan
terhadap partikel berbahaya, usia, asma, status sosiol ekonomi, dan infeksi.
15
b. Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
c. Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil,
letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
d. Auskultasi
Suara napas vesikuler normal, atau melemah
Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa
atau pada ekspirasi paksa
Ekspirasi memanjang
Bunyi jantung terdengar jauh
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Faal paru
I. Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP)
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
VEP1/KVP (%).
17
I. Diagnosis Banding
Diagnosis Gejala
PPOK Onset : usia pertengahan
Gejala progesif lambat
Riwayat merokok lama
Sesak saat aktivitas
Irreversibel
Asma Semua umur, sering pada anak
Gejala bervariasi dari hari ke hari
Gejala pada malam/ menjelang
pagi
Dapat disertai alergi, rhinitis/eksim
Riwayat keluarga asma
Reversibel
Gagal jantung kongestif Auskultasi : ronki halus basal
Foto thorax : jantung membesar,
edema paru
Uji fungsi paru :retriksi bukan
obstruksi
Bronkiektasis Sputum produktif dan purulen
Umumnya terkait infeksi bakteri
21
J. Penatalaksanaan
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang
pada PPOK stabil. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang
ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan
keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
22
d. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.
e. Antitusif
Diberikan dengan hati – hati
Tabel 3. Pengobatan berdasarkan kelompok PPOK
Kelompok Obat pilihan Obat pilihan Obat lainnya
pasien pertama alternative
A Antikolinergik Antikolinergik Teofilin
kerja singkat, bila kerja lama atau
perlu Beta 2 Beta 2 agonis
agonis kerja kerja lama atau
singkat Beta agonis kerja
singkat dan
antikolinergik
kerja singkat
B Antikolinergik Antikolinergik Beta 2 agnosi
25
3. Terapi Oksigen
- Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,
perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan,
sleep apnea, penyakit paru lain
Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah
dibedakan :
- Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy =
LTOT )
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti (1-2 L/mnt)
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
4. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal
napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien
PPOK derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat
digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.
- Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas
darah menunjukkan
PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg
- Dahak jernih tidak berwarna
- Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil
spirometri)
- Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
- Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan
Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil :
- Mempertahankan fungsi paru
- Meningkatkan kualiti hidup
- Mencegah eksaserbasi
29
pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline
( terapi dengan bronkodilator short acting, SABDs)
Sekunder :
- Pnemonia
- Gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia
- Emboli paru
- Pneumotoraks spontan
- Penggunaan oksigen yang tidak tepat
- Penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat
- Penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit)
- Nutrisi buruk
- Lingkunagn memburuk/polusi udara
- Aspirasi berulang
- Stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi)
31
K. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :
1. Gagal napas
- Gagal napas kronik
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
2. Infeksi berulang
3. Kor pulmonal
Gagal napas kronik :
- Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan
pH normal, penatalaksanaan :
- Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2
- Bronkodilator adekuat
- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
- Antioksidan
Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing Gagal napas akut pada gagal
napas kronik, ditandai oleh :
32
L. Pencegahan
1. Mencegah terjadinya PPOK
Hindari asap rokok
Hindari polusi udara
Hindari infeksi saluran napas berulang
2. Mencegah perburukan PPOK
Berhenti merokok
Gunakan obat-obatan adekuat
Mencegah eksaserbasi berulang
M. Prognosis
Prognosis dari PPOK cukup buruk, karena PPOK tidak dapat
disembuhkan secara permanen, 30% penderita dengan sumbatan yang
berat akan meninggal dalam waktu satu tahun 95% meninggal dalam
waktu 10 tahun. Ini terjadi oleh karena kegagalan napas, pneumonia,
aritmia jantung atau emboli paru (Tomas, 2008)
33
BAB III
KESIMPULAN
Gejala PPOK secara umum ada tiga yaitu, batuk, berdahak dan sesak
napas khsususnya saat beraktivitas.ATS telah membagi skala sesak napas dari
tingkat 0, satu, dua, tiga dan empat, yang menuju ke tingkat keparahan.
Sedangkan klasifikasi PPOK terdiri dari ringan sedang dan berat yang diukur
berdasarkan pemeriksaan spirometri yang menghasilkan nilai VEP1 dibagi dengan
KVP yaitu besarnya ratio udara yang mampu dihisap dan dikeluarkan oleh paru-
paru manusia. Faktor risiko utama PPOK antara lain merokok, polutan indoor,
outdoor dan polutan di tempat kerja, selain itu ada juga faktor risiko lain yaitu
genetik, gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik.
DAFTAR PUSTAKA