Anda di halaman 1dari 26

RESUME PBL

SKENARIO 5

KONJUNGTIVITIS NEONATUS

Nama : Susilawati Affanin

NPM : 117170066

Blok : 6.1

Kelompok :4

Tutor : dr. Emallia Fitriani

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI

CIREBON

2020
SKENARIO 5

KONJUNGTIVITIS NEONATUS

Seorang bayi laki-laki berusia 18 hari dibawa ke Puskesmas oleh ibunya karena
kedua mata keluar kotoran berwarna kuning kehijauan sejak 7 hari yang lalu.
Keluhan disertai kedua mata merah, kelopak mata bengkak dan mata sulit
membuka. Pada riwayat antenatal, ibu pasien pernah mengeluhkan keputihan saat
usia kehamilan 4 bulan dan berlangsung hingga persalinan. Selama kehamilan ibu
pasien tidak pernah memeriksakan diri ke dokter ataupun bidan setempat. Pasien
lahir cukup bulan, lahir spontan dan BB lahir 2700 gram, dibantu oleh dukun
bersalin. Saat lahir pasien tidak mendapatkan imunisasi ataupun salep mata
antibiotic. Dokter kemudian melakukan pemeriksaan pada ibu dan bayi tersebut.

 STEP 1
1. Konjungtivitis neonates : radang konjungtiva pada neonates dengan
oset sebelum 28 hari pertama kehidupan. Dengan gejala adanya
discharge dan hiperemis.
 STEP 2
1. Apakah ada hubugan keluhan ibu keputihan dengan keluhan pada
bayi?
2. Apa saja etiologi dan factor resiko terjadinya konjungtivitis neonates?
3. Bagaimana mekanisme keluar kotoran warna kuning kehijauan, mata
merah, mata bengkak dan mata sulit membuka?
4. Bagaimana tatalaksana dari pemeriksaan pada bayi dengan
konjungtivitis neonatorum?
 STEP 3
1.
 Keluhan keputihan pada ibu karena diakibatkan infeksi atau
fisiologis. Terajadinya transmisi dari ibu yang terinfeksi ke neonatus.
Sehingga menginfeksi mata.
 Etiologi dari konjungtivitis bias dari infeksi Gonorrhoea dan
Chlamydia, adanya infeksi baketeri pada ibu dan adanya duh tubuh
pada ibu dapat menginfeksi pada bayi.
 Transmisi infeksi dari jalan lahir menuju neonatus. Bsia melalui
genital, bias juga akibat infeksi dari luar (higienitas pembantu
persalinan kurang)
 Tidak diberikannya antibiotic yang efektif diberikan pada 1 jam
pertama, sehingga menyebabkan infeksi.
2. Etiologi : disebabkan infeksi N.Gonorrhoea yang merupakan
diplokokus gram negative, dapat mempenetrasi epitel dan dapat
membelah diri didalamnya. Bias disebabkan oleh Chlamydia
trachomatis.
Factor resiko : usia muda, social ekonomi rendah, berganti pasangan
seksual dan tidak menggunakan kondom saat berhubungan. Adanya
IMS yang tidak terdeteksi pada ibu hamil, rendahnya tingkat
immunoglobulin pada neonatus (imunitas neonatus masih rendah),
kurangnya higienitas alat saat persalinan, kurangnya pemberian
profilaksis.
3. Mekanisme
 Terpaparnya pathogen ke bayi masuk kedalam
mataprolifetasi antigen pathogen  pada konjungtiva terjadi
reaksi peradangan (rubor,kalor,dolor,functio laesa)
 Keluarnya kotoran akibat reaksi tubuh untuk mengeluarkan
debris atau kotoran.
 Peradangan  timbul rasa nyeri  pembentukan eksudat
konjungtiva  perlengketan pada palpebral ( mata sulit
membuka). Jika mencapai membrane epitel  penonjolan
hipertrofi papilar.
 Hiperemis  vasodilatasi pembuluh darah pada konjungtiva
 Mata bengkak  akibat dilatasi pembuluh darah  hipertrofi
papil timbul rasa mengganjal ( sering mengedip ) dengan
mengedip akan mengeluarkan kotoran (kotoran bergantung
pada etiologi) atau dari produk toksin bakteri  perelengketan
(mata sulit membuka)
4. Pemeriksaan penunjang  dilakukan kultur ( agar coklat 
N.gonorrhoea)
 Terapi topical  irigasi dengan larutan garam untuk
membersihkan eksudat. Pemberian salep mata Bacitrasin. Jika
berat bias dirawat selama 7 hari. Terapi konjungtivitis
gonorrhea  Ceftriaxon 50-100mg/kgBB intramuscular
dengan dosis tunggal bias juga kanamisin 25mg/kgBB
intramuscular. Terapi chlamidia dengan salep eritromisin basa
50mg/kgBB/hari peroral selama 14 hari.
 Pencegahan dengan dibersihkan dengan larutan garam
fisiologis dan salep eritromisin saat selelah pesalinan, jaga
higienitas.
 Bayi datang dengan kotoran kuning lakukan anamnesis
untuk mencari etiologi dan factor resiko. Lakukan PF apakah
ada kelainan dari 1 atau 2 mata. Jika tidak, anjurkan kunjungan
setelah 3 hari, jika ada kelainan pada 1 atau 2 mata, obati
sebagai n gonorrheoea. Jika ada perbaikan, terapi selesai, jika
tidak ada perbaikan terapi sebagai chlamidasis. Jika ada
perbaikan selesai, jika tidak segera rujuk.
 STEP 4
1. Transmisi dari ibu menuju neonatus menyebabkan infeksi pada
neonatus yang mengenai mata. Infeksi bias terjadi melalui 3 cara
(sebelum kelahiran, selama kelahiran, dan setelah lahir)
 Sebelum kelahiran infeksi jarang terjadi.
 Transmisi melalui duh tubuh sehingga dapat menginfeksi janin.
 Dapat juga menyebar secara hematogen  bacteremia
sehingga penularan pada bayi. Bisa juga tertular melalui ostium
serviks yang terinfeksi.
 Factor persalinan yang dapat meningkatkan kejadian infeksi.
2. Etiologi : Berdasarkan durasi terkena konjungtivitis 2-5 hari :
N.Gonorrhoea, 5-12 hari : Chlamdydia , 5-14 hari : infeksi bakteri, 5-
28 hari : P. aeruginosa. Berdasarkan secret yang keluar, jika purulent
 kemungkinan infeksi bakteri, jika serous  kemungkinan infeksi
virus atau alergi, jika warna kuning kehijauan  infeksi P.aeruginosa.
Factor resiko : kurangnya pengetahuan ibu, factor social ekonomi,
factor penolong  pemberian profilaksis sehingga mengurangi resiko
infeksi.
3. Mekanisme timbulnya
 Terjadi infeksi saat persalinan (infeksi melalui jalan lahir),
system imun bayi baru lahir rendah  pathogen dapat
menginvasi konjungtiva lewat jalan lahir  bakteri
berkolonisasi  menyebabkan reaksi radang  sitem imun
merangsang leukosit menuju permukaan konjungtiva 
berakumulasi melalui aliran arah  pembuluh darah berdilatasi
 hipertrofi papil (mata bengkak)  dan mata menjadi
merah  perasaan mengganjal akibat hipertrofi 
merangsang berkedip untuk mengeluaran kotoran yang berasal
dari produk bakteri dan toksin bakteri ( keluarnya lender atau
secret)  terjadi perlengketan dan mata sulit membuka.
4. Pemeriksaan kulur agar coklat  hasil koloni transparan dan opak
serta tidak berpigmen
Tatalaksana irigasi dengan larutan garam fisiologis untuk
membersihkan secret kemudian diberi salep, terapi sistemik dengan
antibiotic 75-100 mg/kgBB iv,im. Bersihkan secret dengan kapas
dengan air. Dilakukan setiap 1x / 15 menit .
Tatalaksana pada ibu  Cefixim 400mg peroral dosis tunggal, atau
Levofloxacin 500 mg dosis tunggal peroral. Tatalaksana servisitis
nongonore azitromisin 1gr dosis tungal peoral. Bias juga diberi
Doksisiklin 200 mg/hari selama 7 hari, eritromisin 4x500 mg/hari
selama 7 hari. Kanamisin 2gr peroral atau IM dosis tunggal. Ceftriaxon
250mg secara IM dosis tunggal.
MIND MAP

Infeksi pada
neonatorum

Konjungtivitis Transmisi

etiologi Saat kehamilan

faktor resiko Saat persalinan

patofisiologi Setelah persalinan

tatalaksana dan
pencegahan

peegakan
diagnosis

TransmisiSebelum
persalinan

STEP 5

1. Kelainan Imunitas: Incompabilitas ABO


2. Infeksi Intrauterin: Infeksi TORCH
3. Kelainan Postpartum: Tetanus Neonatorum, sepsis neonatorum

REFLEKSI DIRI

Alhamdulillah PBL pada pertemuan pertama dapat berjalan dengan lancar,


semoga PBL pada pertemuan berikutnya saya dapat lebih baik lagi.
STEP 6

Belajar Mandiri

STEP 7

1. Masalah yang timbul pada bayi baru lahir yang berhubungan dengan imunitas
(inkompatibilitas ABO dan Rhesus Disease)

1. Inkompabilitas ABO

a. Definisi

Inkompabilitas ABO adalah ketidaksesuaian golongan darah ibu dan janin,


hal ini disebabkan oleh pengikatan antibodi plasma dengan antigen sel darah
merah sehingga menyebabkan reaksi dimana ibu bergolongan darah O dan
janin bergolongan darah A, B, AB. Karena O ada antibodi anti A dan anti B
yang menyerupai IgG yang muncul secara natural melalui plasenta. Dapat
juga disebabkan karena robekan plasenta.1

b. Etiologi

Kasus hemolitik akibat inkompatibilitas ABO disebabkan karena


ketidaksesuaian golongan darah antara penerima dan pendonor.
Ketidaksesuaian ini mengakibatkan adanya reaksi penghancuran pada sel
darah merah donor oleh antibodi penerima. Keadaan ini disebut lethal
tranfusion reaction.

c. Faktor Resiko
a. Bayi golongan darah A atau B yang lahir dari ibu golongan darah O.
b. Defisiensi G6PD merupakan suatu kelainan enzim tersering pada
manusia, yang terkait kromosom sex (x-linked) dimana pada umumnya
bermanifestasi pada laki-laki. Enzim G6PD sendiri berfungsi dalam
menjaga keutuhan sel darah merah sekaligus mencegah hemolitik.1

d. Patofisiologi
Ibu dengan golongan darah O memiliki anti-A dan anti-B. Antibodi yang
ditemukan pada golongan darah O ibu cenderung tipe IgG yang dapat
melewati plasenta dan masuk ke peredaran darah bayi, hal ini dapat
menimbulkan hemolisis karena antibodi dari darah ibu akan bertemu
antigen dari darah anak yang tidak sesuai. Pada kehamilan inkompatibilitas
ABO eritrosit bayi bergolongan darah A dan B telah mengalami sensitisasi
dengan antibodi ibu bergolongan darah O sehingga eritrosit bayi akan
mengalami destruksi. Destruksi terjadi karena ibu bergolongan darah O
memiliki antibodi dan akan mengadakan reaksi inkompatibilitas dengan
eritrosit janin. Destruksi eritrosit yang berlebihan akan meningkatkan
kadar bilirubin bayi sehingga menimbulkan ikterus.2

e. Manifestasi klinis

Neonatus yang mengalami inkompatibilitas ABO gejala klinisnya adalah


ikterus yang terjadi dalam waktu 24 jam pertama setelah lahir dan
mengalami gejala anemia ringan atau tidak mengalami anemia, kadar
hemoglobin < 15 gr%.. Pada pemeriksaan kadar bilirubin serum
didapatkan peningkatan kadar bilirubin indirek > 12 mg/dL pada bayi
cukup bulan dan > 10 mg/dL pada bayi kurang bulan.1,2
f. Diagnosis
- Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis neonatus pada kasus inkompatibilitas ABO merujuk
pada pemeriksaan klinis pada ikterus neonatorum karena secara klinis
neonatus dengan inkompatibilitas ABO akan mengalami ikterus/
hiperbilirubinemia.
- Hitung sel darah merah
Pada kasus inkompatibilitas ABO pada neonatus, pemeriksaan sel darah
merah menunjukkan adanya retikulositosis (retikulosit > 4, 6%) dan
mikrosferosit pada hapusan darah tepi.
- Direct Coomb Test (DCT)
Neonatus yang mengalami inkompatibilitas ABO, menunjukkan hasil
positif pada pemeriksaan ini. Tujuan dari pemeriksaan DCT untuk
mengetahui apakah sel darah merah diselubungi oleh IgG atau
komplemen, artinya apakah ada proses sensitisasi pada sel darah merah
di invivo.1,2

g. Tatalaksana

Tatalaksana pada inkompatibilitas ABO dengan ikterus fisiologis di


rumah adalah :

- Anjurkan ibu untuk menyusui bayi secara dini, dan ASI eksklusif
lebih sering minimal tiap 2 jam.
- Jika bayi tidak dapat menyusu, ASI eksklusif dapat diberikan melalui
pipa nasogastrik atau dengan gelas dan sendok
- Gendong bayi untuk mendapatkan sinar matahari pagi selama 30
menit pada pukul 07.00-07.30 WIB, dalam 3-4 hari
- Pada dasarnya inkompatibilitas ABO dengan ikterus fisiologis tidak
memerlukan penanganan khusus dan dapat menjalani rawat jalan
dengan nasehat untuk kembali jika ikterik berlangsung lebih dari 2
minggu
- Fototerapi merupakan terapi yang dilakukan dengan menggunakan
cahaya dari lampu fluorescent khusus dengan intensitas tinggi, secara
umum metode ini efektif untuk mengurangi serum bilirubin dan
mencegah icterus.2

2. Infeksi yang terjadi pada bayi saat intrauterin dan patomekanismenya

1. Toksoplasmosis

a. Definisi

Toksoplasmosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh


protozoa Toxoplasma gondii.
b. Patofisiologi
Toksoplasmosis merupakan infeksi protozoa yang disebabkan oleh
Toxoplasma gondii dengan hospes definitif kucing dan hospes perantara
manusia. Manusia dapat terinfeksi parasit ini bila memakan daging yang
kurang matang atau sayuran mentah yang mengandung ookista atau pada
anak-anak yang suka bermain di tanah, serta ibu yang gemar berkebun
dimana tangannya tertempel ookista yang berasal dari tanah.
Perkembangan parasit dalam usus kucing menghasilkan ookista yang
dikeluarkan bersama tinja. Ookista menjadi matang dan infektif dalam
waktu 3-5 hari di tanah. Ookista yang matang dapat hidup setahun di
dalam tanah yang lembab dan panas, yang tidak terkena sinar matahari
secara langsung. Ookista yang matang bila tertelan tikus, burung, babi,
kambing, atau manusia yang merupakan hospes perantara, dapat
menyebabkan terjadinya infeksi.
Pada ibu hamil yang terinfeksi di awal kehamilan, transmisi ke fetus
umumnya jarang, tetapi bila terjadi infeksi, umumnya penyakit yang
didapat akan lebih berat. Pada toksoplasmosis yang terjadi di bulan-
bulan terakhir kehamilan, parasit tersebut umumnya akan ditularkan ke
fetus tetapi infeksi sering subklinis pada saat lahir. Pada ibu hamil yang
mengalami infeksi primer, mula-mula akan terjadi parasitemia, kemudian
darah ibu yang masuk ke dalam plasenta akan menginfeksi plasenta
(plasentitis). Infeksi parasit dapat ditularkan ke janin secara vertikal.
Takizoit yang terlepas akan berproliferasi dan menghasilkan fokus-fokus
nekrotik yang menyebabkan nekrosis plasenta dan jaringan sekitarnya,
sehingga membahayakan janin dimana dapat terjadi ekspulsi kehamilan
atau aborsi.

Gambar 2.1 Siklus hidup toksoplasma

c. Manifestasi klinis

Toksoplasmosis akut biasanya bersifat asimptomatik. umumnya hanya


bermanifestasi sebagai limfadenopati asimtomatik pada kelenjar getah
bening leher bagian belakang, dapat menyebar atau terlokalisasi pada satu
nodul di area tertentu. Tanda dan gejala yang sering timbul pada ibu hamil
ialah demam, sakit kepala, dan kelelahan. Beberapa pasien menunjukkan
tanda mononucleosis like syndrome seperti demam, ruam makulopapular
(Blue-berry muffin) yang mirip dengan kelainan kulit pada demam tifoid.
Lesi pada mata merupakan salah satu manifestasi yang paling sering pada
toksoplasmosis kongenital. Gambaran lesi toksoplasmosis okular ialah
adanya fokus nekrosis pada retina. Pada fase akut, lesi ini timbul sebagai
bercak putih kekuningan di fundus dan biasanya berhubungan dengan ruam
pada vitreus. Gejala yang timbul pada infeksi mata antara lain penglihatan
kabur, fotofobia, nistagmus, strabismus epifora, dan katarak.
Manifestasi neurologik pada anak menunjukkan gejala-gejala neurologik
termasuk kalsifikasi intrakranial, hidrosefalus, epilepsi, retardasi mental,
dan mikrosefalus. Fungsi intelektual anak yang terinfeksi juga mengalami
penurunan.
d. Tatalaksana
- Penggunaan antibiotik spiramisin selama kehamilan dengan infeksi T.
gondii akut dilaporkan menurunkan frekuensi transmisi vertikal.
- Sulfadiazin merupakan golongan sulfonamida dengan masa kerja sedang.
Mekanisme kerjanya bersifat bakteriostatik dengan menghambat sintesis
asam folat, serta menghambat enzim yang membentuk asam folat dan para
amino benzoic acid (PABA). Dosis pemberian 2-4 gram per oral 1x/hari
selama 1-3 minggu, kemudian dosis dikurangi setengah dari dosis
sebelumnya dan terapi dilanjutkan hingga 4-5 minggu.5
- Penatalaksanaan Pada bayi baru lahir dengan toksoplasmosis, dapat
diberikan kombinasi pirimetamin 1 mg / kg per hari selama 2 bulan diikuti
oleh 1 mg / kg setiap 2 hari selama 10 bulan, sulfadiazine 50 mg / kg berat
badan per hari, serta asam folat 5–10 mg 3 kali seminggu untuk mencegah
efek samping pyrimethamine
- Selain pemberian obat-obatan juga diperlukan tindak lanjut rutin. Hitung
darah lengkap 1-2 kali per minggu untuk dosis harian pirimetamin dan 1-2
kali per bulan untuk dosis pirimetamin dilakukan setiap 2 hari untuk
memantau efek racun dari obat tersebut. Juga diperlukan pemeriksaan
pediatrik yang lengkap, termasuk pemeriksaan oftalmologis setiap 3 bulan
hingga usia 18 bulan dan kemudian setahun sekali, serta pemeriksaan
neurologis setiap 3-6 bulan hingga 1 tahun.

2. Rubella

a. Definisi

Congenital Rubella Syndrome Rubella atau campak Jerman adalah


penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus rubella. Virus rubella
diisolasi pertama kali pada tahun 1962 oleh Parkman dan Weller. Rubella
merupakan virus RNA yang termasuk dalam genus Rubivirus, famili
Togaviridae, dengan jenis antigen tunggal yang tidak dapat bereaksi silang
dengan sejumlah grup Togavirus lainnya. Virus rubella memiliki 3 protein
struktural utama yaitu 2 glycoprotein envelope, E1 dan E2 dan 1 protein
nukleokapsid. Secara morfologi, virus rubella berbentuk bulat (sferis)
dengan diameter 50–70 mm dan memiliki inti (core) nukleoprotein padat,
dikelilingi oleh dua lapis lipid yang mengandung glycoprotein E1 dan E2.
Virus rubella dapat dihancurkan oleh proteinase, pelarut lemak, formalin,
sinar ultraviolet, PH rendah, panas dan amantadine tetapi relatif rentan
terhadap pembekuan, pencairan atau sonikasi. Virus Rubella terdiri atas
dua subunit struktur besar, satu berkaitan dengan envelope virus dan yang
lainnya berkaitan dengan nucleoprotein core Virus Rubella terdiri dari
lapisan glycoprotein, lemak & inti dengan RNA.

b. Patofisiologi

Masa inkubasi virus rubella berkisar antara 14–21 hari. Masa penularan 1
minggu sebelum dan 4 hari setelah onset ruam (rash). Pada episode ini,
Virus rubella sangat menular. Ketika infeksi virus rubella terjadi selama
awal kehamilan, maka resiko serius lebih sering terjadi yaitu abortus, lahir
mati dan sebagainya. Resiko infeksi kongenital dan defek meningkat selama
kehamilan 12 minggu pertama dan menurun setelah kehamilan diatas 12
minggu dengan defek jarang terjadi pada kehamilan 20 minggu.
Infeksi transplasenta janin dalam kandungan terjadi saat viremia
berlangsung. Infeksi rubella menyebabkan kerusakan janin karena proses
pembelahan terhambat. Dalam sekret faring dan urin bayi dengan CRS,
terdapat virus rubella dalam jumlah banyak yang dapat menginfeksi bila
bersentuhan langsung. Virus dalam tubuh bayi dengan CRS dapat bertahan
hingga beberapa bulan atau kurang dari 1 tahun setelah kelahiran.
Kerusakan janin disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya oleh kerusakan
sel akibat virus rubella dan akibat pembelahan sel oleh virus. Infeksi
plasenta terjadi selama viremia ibu, menyebabkan daerah nekrosis yang
tersebar secara fokal di epitel vili korealis dan sel endotel kapiler. Sel ini
mengalami deskuamasi ke dalam lumen pembuluh darah, virus rubella
kemudian masuk ke dalam sirkulasi janin sebagai emboli sel endotel yang
terinfeksi. Hal ini selanjutnya mengakibatkan infeksi dan kerusakan organ
janin. Selama kehamilan muda mekanisme pertahanan janin belum matang
dan gambaran khas embriopati pada awal kehamilan adalah terjadinya
nekrosis seluler tanpa disertai tanda peradangan. Sel yang terinfeksi virus
rubella memiliki umur yang pendek. Organ janin dan bayi yang terinfeksi
memiliki jumlah sel yang lebih rendah daripada bayi yang sehat. Virus
rubella juga dapat memicu terjadinya kerusakan dengan cara apoptosis.
Jika infeksi maternal terjadi setelah trimester pertama kehamilan, frekuensi
dan beratnya derajat kerusakan janin menurun drastis. Perbedaan ini terjadi
karena janin terlindung oleh perkembangan respon imun janin, baik yang
bersifat humoral maupun seluler, dan adanya antibodi maternal yang
ditransfer secara pasif. Pada infeksi rubella maternal, yang biasanya terjadi
lima sampai tujuh hari setelah inokulasi pada ibu, virus menyebar ke seluruh
plasenta secara hematogen, yang mengarah kepada infeksi bawaan yang
potensial pada janin yang sedang berkembang. Pada infeksi rubella maternal
dengan ruam, frekuensi infeksi kongenital adalah lebih dari 80% selama 12
minggu pertama kehamilan, sekitar 54% di 13-14 minggu, dan sekitar 25%
pada akhir trimester kedua. Setiap infeksi rubella maternal yang terjadi
setelah 16 minggu kehamilan, tidak ada risiko terjadi sindrom rubella
kongenital pada bayi yang baru lahir.
Dari beberapa studi menunjukkan bahwa rute infeksi virus rubella adalah
melalui organ sistemik pada janin manusia. Fakta ini telah dikonfirmasi oleh
tes imunohistokimia dan deteksi langsung dari RNA virus di beberapa
organ. Perubahan histopatologi yang utama diamati dalam hepar. Hepar
embrio memiliki peran yang sangat penting dalam proses hematopoiesis
selain sumsum tulang. Temuan antigen virus di sel epitel glomerulus dan
tubulus proksimal pada ginjal juga menunjukkan ekskresi virus dalam urin.

c. Manifestasi klinis
Bayi di diagnosis mengalami congenital rubella syndrom apabila mengalami
2 gejala pada kriteria A atau 1 kriteria A dan 1 kriteria B, sebagai berikut:
A) Katarak, glaukoma bawaan, penyakit jantung bawaan (paling sering
adalah patient ductus arteriosus atau peripheral pulmonary artery
stenosis), kehilangan pendengaran, pigmentasi retina.
B) Purpura, splenomegali, jaundice, mikroemsefali, retardasi mental,
meningoensefalitis dan radiolucent bone disease (tulang tampak gelap
pada hasil foto roentgen).
Diagnosis laboratorium menggunakan tes serologi deteksi IgM atau
peningkatan antibodi 4 kali; antibodi IgM spesifik menunjukkan infeksi
rubela baru terjadi. Tes IgM paling membantu pada bayi kurang dari 2
bulan, meskipun dapat terdeteksi selama 12 bulan.

Beberapa kasus hanya mempunyai satu gejala dan kehilangan pendengaran


merupakan cacat paling umum yang ditemukan di bayi dengan CRS.
Definisi kehilangan pendengaran menurut WHO adalah batas pendengaran
≥ 26 dB yang tidak dapat disembuhkan dan bersifat permanen.

d. Tatalaksana

Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk CRS, pengobatannya hanya


bersifat suportif.7

- Jika tidak terjadi komplikasi bakteri, pengobatan adalah simptomatis.


Adamantanamin hidroklorida (amantadin) telah dilaporkan efektif in vitro
dalam menghambat stadium awal infeksi rubella pada sel yang dibiakkan.

- Upaya untuk mengobati anak yang sedang menderita CRS dengan obat ini
tidak berhasil. Karena amantadin tidak dianjurkan pada wanita hamil,
penggunaannya amat terbatas. Interferon dan isoprinosin telah digunakan
dengan hasil yang terbatas.

- Pada Bayi yang dilakukan tergantung kepada organ yang terkena: Gangguan
pendengaran diatasi dengan pemakaian alat bantu dengar, terapi wicara dan
memasukkan anak ke sekolah khusus atau implantasi koklea.

- Keterbelakangan mentalnya diatasi dengan fisioterapi, terapi wicara,


okupasi atau jika sangat berat, mungkin anak perlu dimasukkan ke institusi
khusus.

3. Cytomegalovirus (CMV) Jaundice, petechiae (58%), dan hepatosplenomegali


a. Definisi
Infeksi akibat Cytomegalovirus (CMV) merupakan infeksi kongenital
yang terbanyak dan menyebabkan morbiditas yang cukup tinggi pada
bayi baru lahir. Infeksi CMV menyebabkan terjadinya gangguan
perkembangan organ-organ pada janin. CMV juga merupakan penyebab
terbanyak dari gangguan pendengaran, gangguan perkembangan saraf,
dan retardasi mental pada anak.
b. Patofisiologi
Cytomegalovirus (CMV) yang menginfeksi manusia disebut dengan
human Cytomegalovirus. CMV merupakan virus DNA yang termasuk
dalam famili herpesviridae. Virus ini disebut cytomegalovirus karena sel
yang terinfeksi akan membesar hingga dua kali lipat dibandingkan
dengan ukuran sel yang tidak terinfeksi. CMV menginvasi sel inang dan
kemudian memperbanyak diri (replikasi). Transmisi CMV dapat terjadi
secara horizontal (dari satu orang ke orang yang lain) maupun vertikal
(dari ibu ke janin). CMV ditransmisikan secara horizontal terjadi melalui
cairan tubuh dan membutuhkan kontak yang dekat dengan cairan tubuh
yang telah terkontaminasi CMV. CMV dapat ditemukan di dalam darah,
urin, cairan semen, sekret serviks, saliva, air susu ibu, dan organ yang
ditransplantasi. Transmisi CMV terjadi secara vertikal melalui cara
sebagai berikut:
a) In utero: melalui jalur transplasenta dengan viremia CMV dalam
sirkulasi maternal.
b) Intrapartum: paparan janin terhadap sekret serviks dan vagina yang
mengandung CMV saat proses persalinan.
c) Postnatal: ingesti air susu ibu yang mengandung CMV atau melalui
transfusi darah yang terkontaminasi CMV.

c. Manifestasi klinis

Sebagian besar anak yang lahir dengan infeksi CMV kongenital tidak
menunjukkan gejala (asimptomatik) saat lahir. Asimptomatik dalam hal
tersebut didefinisikan sebagai terdeteksinya CMV di dalam cairan tubuh
mana pun pada anak dalam 3 minggu pertama kehidupan, namun tidak
menunjukkan kelainan pada klinis, hasil laboratorium, dan hasil
pemeriksaan radiologi. Anak yang menunjukkan gejala infeksi CMV
kongenital saat lahir hanya berkisar antara 7-10%. Jaundice (62%),
petechiae (58%), dan hepatosplenomegali (50%) adalah tiga manifestasi
klinis yang sering ditemukan sehingga disebut juga trias infeksi CMV
kongenital.8
Gold standard diagnosis infeksi CMV kongenital adalah isolasi atau kultur
virus pada anak dalam usia tiga minggu pertama. Sampel yang diambil
untuk isolasi virus dapat berupa sampel urin, saliva, secret servikovaginal,
cairan amnion, darah, dan cairan serebrospinal (CSS). polymerase chain
reaction (PCR) dari sampel urin atau saliva, Computed Tomography (CT)
scan, MRI (Magnetic Resonance Imaging), amniosentesis, dan USG
(Ultrasonography) antenatal.
Gambar 2.2 Manifestasi Klinis Cytomegalovirus

d. Tatalaksana
Tatalaksana anak dengan infeksi CMV kongenital meliputi tatalaksana
suportif. Pemberian ASI, Transfusi sel darah merah atau trombosit dapat
diberikan jika terjadi anemia berat atau trombositopenia berat. Anak dapat
dirawat dalam ruang perawatan intensif jika diperlukan. Antivirus
ganciclovir secara intravena dengan dosis 6 mg/kgBB/hari tiap 12 jam atau
valganciclovir per oral dengan dosis 16 mg/kgBB/hari tiap 12 jam.
Beberapa literatur menyatakan bahwa antivirus tersebut diberikan selama 6
minggu, namun pemberian antivirus selama 6 minggu tidak selalu
direkomendasikan. Pemberian antivirus selama 2 minggu sudah
memberikan dampak yang baik pada perjalanan.8

4. Herpes simplex virus (HSV)


a. Definisi
. Infeksi HSV sering terjadi pada wanita usia reproduktif dan dapat
ditransmisikan kepada fetus pada saat kehamilan, persalinan maupun sesudah
persalinan. Herpes simplex virus merupakan penyebab penting infeksi pada
neonatus dan dapat menyebabkan kematian atau kecacatan pada bayi yang baru
dilahirkan.4
b. Patofisiologi
Peningkatan transmisi dari infeksi herpes simpleks neonatus pada wanita yang
menderita infeksi HSV pada menjelang usia kehamilan dapat merupakan akibat
dari satu atau lebih faktor berikut : (1) penurunan waktu untuk transfer pasif
antibodi HSV spesifik dari ibu ke janin ; (2) terpaparnya neonatus terhadap
peningkatan titer HSV di traktus genitalis dari perempuan yang terinfeksi
sebagai akibat sekresi serviks yang mengandung antibodi penetralisir HSV
dalam jumlah kecil; (3) peningkatan kemungkinan paparan HSV secara
perinatal dikarenakan infeksi herpes genitalis merupakan faktor risiko yang
signifikan untuk terjadinya reaktivasi HSV secara lebih sering dari laten dan
peluruhan.
Pada respon imun humoral kemampuan dari antibodi yang spesifik terhadap
patogen untuk mengikat, menetralisir dan mengeliminasi mikroba sangat
rendah segera setelah infeksi primer tetapi kemudian meningkat secara
bertahap oleh proses yang disebut maturasi afinitas. Respon awal pejamu
terhadap infeksi, sel B yang spesifik antigen mengalami point mutation dengan
kecepatan yang tinggi dan beberapa dari mutasi ini akan menghasilkan sel B
dengan afinitas terhadap antigen yang lebih tinggi. Sehingga saat mekanisme
pertahanan pejamu menurunkan beban patogen, hanya sel B yang mengenali
antigen dengan afinitas tertinggi yang dapat bertahan, dan maturasi dari
imunitas humoral spesifik terhadap patogen menghasilkan inmunoglobulin
dengan afinitas yang lebih tinggi terhadap antigen. Dikarenakan rendah atau
tidak didapatkannya afinitas antibodi spesifik terhadap patogen lebih
mencirikan infeksi primer yang baru.4
3. Kelainan Postpartum
1. Tetanus Neonatorum
a. Definisi
Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus yang
disebabkan oleh Clostridium tetani GRAM + yaitu bakteria yang
mengeluarkan toksin (racun) yang menyerang sistem saraf pusat , 28 HARI.
b. Faktor resiko
• Faktor Risiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik
Lingkungan yang mempunyai sanitasi yang buruk akan memyebabkan
Clostridium tetani lebih mudah berkembang biak.
• Faktor Alat Pemotongan Tali Pusat
Penggunaan alat yang tidak steril untuk memotong tali pusat meningkatkan
risiko penularan penyakit tetanus neonatorum.
• Faktor Cara Perawatan Tali Pusat
Terdapat sebagian masyarakat di negara-negara berkembang masih
menggunakan ramuan untuk menutup luka tali pusat seperti kunyit dan abu
dapur. Seterusnya, tali pusat tersebut akan dibalut dengan menggunakan kain
pembalut yang tidak steril sebagai salah satu ritual untuk menyambut bayi
yang baru lahir. Cara perawatan tali pusat yang tidak benar ini akan
meningkatkan lagi risiko terjadinya kejadian tetanus neonatorum.
• Faktor Kebersihan Tempat Pelayanan Persalinan
Tempat pelayanan persalinan yang ideal sebaiknya dalam keadaan bersih dan
steril.
c. Patofisiologi
Pertolongan persalinan dan pemotongan tali pusat yang tidak steril akan
memudahkan spora Clostridium tetani masuk dari luka tali pusat dan
melepaskan tetanospamin. Tetanospamin akan berikatan dengan reseptor di
membran prasinaps pada motor neuron. Kemudian bergerak melalui sistem
transpor aksonal retrograd melalui sel-sel neuron hingga ke medula spinalis
dan batang otak, seterusnya menyebabkan gangguan sistim saraf pusat (SSP)
dan sistim saraf perifer. Gangguan tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi
presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi, yaitu asam
aminobutirat gama (GABA) dan glisin, sehingga terjadi epilepsi, yaitu lepasan
muatan listrik yang berlebihan dan berterusan, sehingga penerimaan serta
pengiriman impuls dari otak ke bagian-bagian tubuh terganggu. Ketegangan
otot dapat bermula dari tempat masuk kuman atau pada otot rahang dan leher.
Pada saat toksin masuk ke sumsum tulang belakang, kekakuan otot yang lebih
berat dapat terjadi. Dijumpai kekakuan ekstremitas, otot-otot dada, perut dan
mulai timbul kejang. Sebaik sahaja toksin mencapai korteks serebri, penderita
akan mengalami kejang spontan. Pada sistim saraf otonom yang diserang
tetanospasmin akan menyebabkan gangguan proses pernafasan, metabolisme,
hemodinamika, hormonal, pencernaan, perkemihan, dan pergerakan otot.
Kekakuan laring, hipertensi, gangguan irama jantung, berkeringat secara
berlebihan.
d. Manifestasi Klinik
Neonatus yang terinfeksi Clostridium tetani masih menunjukkan perilaku
seperti menangis dan menyusui seperti bayi yang normal pada dua hari yang
pertama. Pada hari ke-3, gejala-gejala tetanus mula kelihatan. Masa inkubasi
tetanus umumnya antara 3 – 12 hari, namun dapat mecapai 1 – 2 hari dan
kadang-kadang lama melebihi satu bulan; makin pendek masa inkubasi makin
buruk prognosis. Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman
Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat, serta interval antara terjadinya
luka dengan permulaan penyakit; semakin jauh tempat invasi, semakin panjang
masa inkubasi. Gejala klinis yang sering dijumpai pada tetanus neonatorum
adalah:
a. Terjadinya kekakuan otot rahang sehingga penderita sukar membuka mulut.
Dijumpai mulut mecucu seperti mulut ikan dan kekakuan pada mulut
sehingga bayi tak dapat menetek.
b. Terjadi kekakuan otot mimik muka dimana dahi bayi kelihatan mengerut,
mata bayi agak tertutup, dan sudut mulut bayi tertarik ke samping dan ke
bawah.
c. Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur,
bertumpu pada tumit dan belakang kepala. Jika dibiarkan secara berterusan
tanpa rawatan, bisa terjadi fraktur tulang vertebra.
d. Kekakuan pada otot dinding perut menyebabkan dinding perut teraba seperti
papan.
e. Tatalaksana
Umum
Umum:
a. mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi dengan pemberian ASI atau susu
formula melalui sonde lambung, atau pemberian cairan intra vena bila
terdapat kekakuan otot baik spontan maupun bila dirangsang,
b. dirawat dalam suasana yang tenang,
c. menjaga saluran nafas tetap bebas,
d. memberikan O2 dengan sungkup atau masker bila perlu.
Khusus
Medikamentosa :
- ATS pada tetanus neonatorum 10.000 IU (setengahnya diberikan im, bila
toleransi baik sisanya diberikan iv pelan-pelan) atau TIG (tetanus immune
globin) 550 IU dosis tunggal im,. ATS pada tetanus anak 100.000 IU
(setengahnya diberikan im, bila toleransi baik sisanya diberikan iv pelan-pelan)
atau TIG (tetanus immune globin) 3000 - 6000 IU dosis tunggal im. Sebelum
pemberian ATS harus dilakukan tes sensitifitas.
- Antibiotika Metronidazole 30 mg/kg BB/hari setiap 6 jam oral atau IV selama 7 –
10 hari atau Penicillin G 100.000 U/kg BB/hari IV setiap 6 jam selama 10 hari. -
antikonvulsan pada tetanus neonatorum diazepam 45-60 mg/24 jam dengan
pompa semprit (syringe pump) atau dibagi dalam 12 dosis antikonvulsan pada
tetanus anak diberikan (diazepam180-200mg/24 jam atau terbagi dalam 12
dosisi) diazepam 0,1-0,3 mg/kgBB perkali IV tiap 2-4 jam dalam keadaan berat
20 mg/kgBB perhari drip, dosis rumatan 8mg/kgBB/hr dibagi 6-8 dosis.
2. Sepsis Neonatorum
a. Definisi
Sepsis neonatorum adalah suatu sindroma klinis oleh bakteri, virus, dan jamur
yang ditandai dengan gejala dan tanda sistemik serta menunjukkan kultur darah
positif yang terjadi pada bulan pertama kehidupan. Perjalanan penyakit sepsis
dapat berlangsung cepat sehingga sering kali tidak terpantau tanpa pengobatan
yang memadai sehingga neonatus dapat meninggal dalam waktu 24 sampai 48
hari.
Sepsis neonatorum dibagi menjadi 2 kategori berdasarkan waktu terjadinya yaitu
sepsis neonatorum awitan dini (SNAD) dengan usia < 7 hari setelah lahir dan
sepsis neonatorum awitan lambat (SNAL) dengan usia 7- 28 hari setelah lahir,
STAPHYLOCOCCUS AUREUS.
b. Faktor Resiko
Faktor risiko yang berhubungan terhadap kejadian sepsis neonatorum meliputi
beberapa faktor yaitu: dari faktor ibu, bayi, dan nosokomial.
- Faktor ibu antara lain ketuban pecah dini > 18 jam, ketuban bau busuk, dengan
atau tanpa adanya meconium, demam selama kehamilan, persalinan lama (kala
I dan kala II > 24 jam) dan persalinan dengan tindakan. Perawatan antenatal
yang tidak memadai; Ibu menderita eklamsia, diabetes mellitus; Pertolongan
persalinan yang tidak hygiene.
- Faktor nosocomial yang terdapat di rumah sakit, Sarana perawatan yang tidak
baik, bangsal yang penuh sesak.
- Faktor bayi yang memengaruhi sepsis neonatorum, antara lain: jenis kelamin,
status kembar, bayi kurang bulan BBLR, APGAR score, dan usia gestasi.
Prematuritas memiliki risiko kesakitan dan kematian yang tinggi pada masa
gestasi untuk terjadinya sepsis neonatorum (mempunyai sistem kekebalan
tubuh yang belum matang karena kekurangan antibodi IgG. Antibodi tersebut
tidak melewati plasenta dari ibu ke darah janin saat pada akhir kehamilan
sehingga meningkatkan risiko terjadinya infeksi setelah lahir hingga akhirnya
menjadi sepsis neonatorum), bayi dengan jenis kelamin laki-laki (karena
aktivitas pada bayi laki-laki lebih tinggi dibandingkan bayi perempuan
sehingga bayi laki-laki memerlukan oksigen yang lebih banyak, karena jika
oksigen kurang di dalam tubuh maka bakteri anaerob akan mudah
berkembang). Pada BBLR menurunnya berat badan bayi dapat terjadi setiap
saat, karena biasanya akan ada masalah pada pemberian Air Susu Ibu (ASI),
kurang atau tidak mampunyai bayi menghisap ASI juga menjadi risiko
mudahnya terkena infeksi, hal ini disebabkan kurangnya nutrisi dan
immunoglobulin yang didapat bayi dari ASI. Pada BBLR pusat pengaturan
pernafasan belum sempurna, otot pernafasan dan tulang iga masih lemah yang
mengakibatkan oksigen yang masuk ke otak kurang, jika oksigen kurang maka
kuman anaerob mudah berkembang yang menyebabkan mudah terjadi infeksi.
c. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya sepsis neonatorum secara garis besar dibagi menjadi
tiga, yaitu infeksi antenatal atau intrauterin, infeksi intranatal, dan infeksi
pascanatal. Jalur antenatal terjadi karena ibu sedang menderita suatu penyakit
infeksi dari mikroorganisme patogen seperti rubela, poliomyelitis, coxsackie,
variola, vaccinia, bakteri treponema palidum, E. coli, dan listeria monositogen,
yang berada dalam sirkulasi ibu kemudian melewati plasenta dan masuk ke
dalam sirkulasi janin dan menyebabkan sepsis, dengan atau tanpa
menyebabkan korioamnionitis, yaitu infeksi pada plasenta dan cairan amnion.
Pada dasarnya, janin atau neonatus baru akan terpapar mikroorganisme patogen
ketika membran plasenta telah ruptur dan melalui jalan lahir atau lingkungan
ekstrauterin. Jalan lahir ibu dengan kolonisasi organisme aerob dan anaerob
memiliki kemungkinan terpapar pada janin dan terjadi infeksi asenden, yaitu
naiknya mikroorganism menuju plasenta dan menyebabkan amnionitis. Infeksi
pascanatal, merupakan jalur yang sebagaian besar dapat dicegah kejadiannya,
terjadi setelah bayi dilahirkan dengan lengkap, biasanya terjadi karena diluar
faktor ibu seperti kontaminasi penggunaan alat, perawatan yang tidak terjaga
kesterilnnya, atau tertular oleh orang lain, dan pada neonatus sering terjadi
diruang perawatan atau rumah sakit. Jalur ini sebagian besar dapat dicegah.
Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman
karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion.
khorion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun
demikian kemungkinan konmtaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai
jalan yaitu :
a) Infeksi kuman. parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin
melalui aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin.
Keadaan ini ditemukan pada infeksi TORCH, Triponema pallidum atau
Listeria dll.
b) Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor aseptik misalnya saat
pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau amniosentesis.
Paparan kuman pada cairan amnion saat prosedur dilakukan akan
menimbulkan amnionitis dan pada akhirnya terjadi kontaminasi kuman
pada janin.
Pada saat ketuban pecah. paparan kuman yang berasal dari vagina akan lebih
berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk ke dalam
rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui saluran pernafasan
ataupun saluran cerna.Kejadian kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir
akan meningkat apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-24 jam.10
Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena
infeksi silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi. bayi yang
mendapat prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam
ventilator, kurang memperharikan tindakan anti sepsis. Iawat inap yang terlalu
lama dan hunian terlalu padat, dll.11
d. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala sepsis neonatorum umumnya tidak jelas dan tidak spesifik.
Tanda dan gejala sepsis neonatorum yaitu:
• Tanda dan gejala umum meliputi hipertermia atau hipotermi bahkan normal,
aktivitas lemah atau tidak ada tampak sakit, berat badan menurun tiba-tiba;
• Tanda dan gejala pada saluran pernafasan meliputi dispnea, takipnea, apnea,
tampak tarikan otot pernafasan,merintih, mengorok, dan pernafasan cuping
hidung;
• Tanda dan gejala pada system kardiovaskuler meliputi hipotensi, kulit
lembab, pucat dan sianosis;
• Tanda dan gejala pada saluran pencernaan mencakup distensi abdomen,
malas atau tidak mau minum, diare;
• Tanda dan gejala pada sistem saraf pusat meliputi refleks moro abnormal,
iritabilitas, kejang, hiporefleksia, fontanel anterior menonjol, pernafasan tidak
teratur;
• Tanda dan gejala hematology mencakup tampak pucat, ikterus, patikie,
purpura, perdarahan, splenomegali.
e. Tatalaksana
Setelah neonatus terdiagnosis sepsis neonatorum atau kecurigaan besar sepsis,
tatalaksana yang dapat diberikan adalah pemberian antibiotik awal secara
intravena berupa ampisilin (50 mg/kgBB/kali IV setiap 6-jam) ditambah
aminoglikosida (gentamisin 5-7 mg/kgBB/kali IV sekali sehari, amikasin 10-20
mg/kgBB/hari IV).
Namun, bila organisme tidak dapat ditemukan dari pemeriksaan penunjang dan
bayi tetap menunjukkan tanda-tanda sepsis sesudah 48 jam, ganti ampisilin
dengan sefotaksim dan pemberian gentamisin tetap dilanjutkan, kemudian
antibiotik spesifik diberikan untuk lanjutan terapi, disesuaikan dengan hasil
kultur dan sensitivitas, gejala klinis, dan pemeriksaan laboratorium serial
(seperti CRP).
DAFTAR PUSTAKA
1. Azzahra A, dkk. Gambaran Neonatal Hiperbilirubinemia pada Bayi yang
Lahir dari Ibu Golongan Darah O di RSUD Al Ihsan Kabupaten Bandung.
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung. 2018; 4(2): 361-7.
2. Akbar TIS, Ritchie NK, Sari N. Inkompatibilitas ABO pada Neonatus di UTD
PMI Kota Banda Aceh tahun 2018. Jurnal Averrous. 2019 Nov; 5(2): 59-75.
3. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SJ, Hauth JC. Obstetri Williams. Edisi
23. Vol 2. Jakarta: EGC; 2012.
4. Yuliawati I, nasronudin. Pathogenesis, diagnostic and management of
toxoplasmosis. Indonesian Journal of Tropical and Infectious Disease. 2015
Jan-April; 5(4): 100-6.
5. Kurniawan R. Sindrom Rubela Kongenital. Kalbemed. 2019; 46(3): 193-7.
6. Sari Ratna DP. Kehamilan dengan Infeksi TORCH. Jurnal FK UNILA. 2019
Mar; 3(1): 176–81.
7. Fajar. Cytomegalovirus Kongenital. Jurnal Kesehatan Melayu. 2018 Mei; 1(2);
EISSN.2597-7407.
8. Sari SN. Analisis faktor risiko kematian bayi penderita tetanus neonatorum di
provinsi jawa timur. Jurnal Berkala Epidimiology. 2017 Mei; 5(2): 195-206.
9. Marcdante K, Kliegman R, Jenson H, Behrman RE. Nelson Ilmu Kesehatan
Anak Esensial. Edisi 6. Jakarta: Ikatan dokter Anak Indonesia; 2011.

Anda mungkin juga menyukai