SKENARIO 5
KONJUNGTIVITIS NEONATUS
NPM : 117170066
Blok : 6.1
Kelompok :4
FAKULTAS KEDOKTERAN
CIREBON
2020
SKENARIO 5
KONJUNGTIVITIS NEONATUS
Seorang bayi laki-laki berusia 18 hari dibawa ke Puskesmas oleh ibunya karena
kedua mata keluar kotoran berwarna kuning kehijauan sejak 7 hari yang lalu.
Keluhan disertai kedua mata merah, kelopak mata bengkak dan mata sulit
membuka. Pada riwayat antenatal, ibu pasien pernah mengeluhkan keputihan saat
usia kehamilan 4 bulan dan berlangsung hingga persalinan. Selama kehamilan ibu
pasien tidak pernah memeriksakan diri ke dokter ataupun bidan setempat. Pasien
lahir cukup bulan, lahir spontan dan BB lahir 2700 gram, dibantu oleh dukun
bersalin. Saat lahir pasien tidak mendapatkan imunisasi ataupun salep mata
antibiotic. Dokter kemudian melakukan pemeriksaan pada ibu dan bayi tersebut.
STEP 1
1. Konjungtivitis neonates : radang konjungtiva pada neonates dengan
oset sebelum 28 hari pertama kehidupan. Dengan gejala adanya
discharge dan hiperemis.
STEP 2
1. Apakah ada hubugan keluhan ibu keputihan dengan keluhan pada
bayi?
2. Apa saja etiologi dan factor resiko terjadinya konjungtivitis neonates?
3. Bagaimana mekanisme keluar kotoran warna kuning kehijauan, mata
merah, mata bengkak dan mata sulit membuka?
4. Bagaimana tatalaksana dari pemeriksaan pada bayi dengan
konjungtivitis neonatorum?
STEP 3
1.
Keluhan keputihan pada ibu karena diakibatkan infeksi atau
fisiologis. Terajadinya transmisi dari ibu yang terinfeksi ke neonatus.
Sehingga menginfeksi mata.
Etiologi dari konjungtivitis bias dari infeksi Gonorrhoea dan
Chlamydia, adanya infeksi baketeri pada ibu dan adanya duh tubuh
pada ibu dapat menginfeksi pada bayi.
Transmisi infeksi dari jalan lahir menuju neonatus. Bsia melalui
genital, bias juga akibat infeksi dari luar (higienitas pembantu
persalinan kurang)
Tidak diberikannya antibiotic yang efektif diberikan pada 1 jam
pertama, sehingga menyebabkan infeksi.
2. Etiologi : disebabkan infeksi N.Gonorrhoea yang merupakan
diplokokus gram negative, dapat mempenetrasi epitel dan dapat
membelah diri didalamnya. Bias disebabkan oleh Chlamydia
trachomatis.
Factor resiko : usia muda, social ekonomi rendah, berganti pasangan
seksual dan tidak menggunakan kondom saat berhubungan. Adanya
IMS yang tidak terdeteksi pada ibu hamil, rendahnya tingkat
immunoglobulin pada neonatus (imunitas neonatus masih rendah),
kurangnya higienitas alat saat persalinan, kurangnya pemberian
profilaksis.
3. Mekanisme
Terpaparnya pathogen ke bayi masuk kedalam
mataprolifetasi antigen pathogen pada konjungtiva terjadi
reaksi peradangan (rubor,kalor,dolor,functio laesa)
Keluarnya kotoran akibat reaksi tubuh untuk mengeluarkan
debris atau kotoran.
Peradangan timbul rasa nyeri pembentukan eksudat
konjungtiva perlengketan pada palpebral ( mata sulit
membuka). Jika mencapai membrane epitel penonjolan
hipertrofi papilar.
Hiperemis vasodilatasi pembuluh darah pada konjungtiva
Mata bengkak akibat dilatasi pembuluh darah hipertrofi
papil timbul rasa mengganjal ( sering mengedip ) dengan
mengedip akan mengeluarkan kotoran (kotoran bergantung
pada etiologi) atau dari produk toksin bakteri perelengketan
(mata sulit membuka)
4. Pemeriksaan penunjang dilakukan kultur ( agar coklat
N.gonorrhoea)
Terapi topical irigasi dengan larutan garam untuk
membersihkan eksudat. Pemberian salep mata Bacitrasin. Jika
berat bias dirawat selama 7 hari. Terapi konjungtivitis
gonorrhea Ceftriaxon 50-100mg/kgBB intramuscular
dengan dosis tunggal bias juga kanamisin 25mg/kgBB
intramuscular. Terapi chlamidia dengan salep eritromisin basa
50mg/kgBB/hari peroral selama 14 hari.
Pencegahan dengan dibersihkan dengan larutan garam
fisiologis dan salep eritromisin saat selelah pesalinan, jaga
higienitas.
Bayi datang dengan kotoran kuning lakukan anamnesis
untuk mencari etiologi dan factor resiko. Lakukan PF apakah
ada kelainan dari 1 atau 2 mata. Jika tidak, anjurkan kunjungan
setelah 3 hari, jika ada kelainan pada 1 atau 2 mata, obati
sebagai n gonorrheoea. Jika ada perbaikan, terapi selesai, jika
tidak ada perbaikan terapi sebagai chlamidasis. Jika ada
perbaikan selesai, jika tidak segera rujuk.
STEP 4
1. Transmisi dari ibu menuju neonatus menyebabkan infeksi pada
neonatus yang mengenai mata. Infeksi bias terjadi melalui 3 cara
(sebelum kelahiran, selama kelahiran, dan setelah lahir)
Sebelum kelahiran infeksi jarang terjadi.
Transmisi melalui duh tubuh sehingga dapat menginfeksi janin.
Dapat juga menyebar secara hematogen bacteremia
sehingga penularan pada bayi. Bisa juga tertular melalui ostium
serviks yang terinfeksi.
Factor persalinan yang dapat meningkatkan kejadian infeksi.
2. Etiologi : Berdasarkan durasi terkena konjungtivitis 2-5 hari :
N.Gonorrhoea, 5-12 hari : Chlamdydia , 5-14 hari : infeksi bakteri, 5-
28 hari : P. aeruginosa. Berdasarkan secret yang keluar, jika purulent
kemungkinan infeksi bakteri, jika serous kemungkinan infeksi
virus atau alergi, jika warna kuning kehijauan infeksi P.aeruginosa.
Factor resiko : kurangnya pengetahuan ibu, factor social ekonomi,
factor penolong pemberian profilaksis sehingga mengurangi resiko
infeksi.
3. Mekanisme timbulnya
Terjadi infeksi saat persalinan (infeksi melalui jalan lahir),
system imun bayi baru lahir rendah pathogen dapat
menginvasi konjungtiva lewat jalan lahir bakteri
berkolonisasi menyebabkan reaksi radang sitem imun
merangsang leukosit menuju permukaan konjungtiva
berakumulasi melalui aliran arah pembuluh darah berdilatasi
hipertrofi papil (mata bengkak) dan mata menjadi
merah perasaan mengganjal akibat hipertrofi
merangsang berkedip untuk mengeluaran kotoran yang berasal
dari produk bakteri dan toksin bakteri ( keluarnya lender atau
secret) terjadi perlengketan dan mata sulit membuka.
4. Pemeriksaan kulur agar coklat hasil koloni transparan dan opak
serta tidak berpigmen
Tatalaksana irigasi dengan larutan garam fisiologis untuk
membersihkan secret kemudian diberi salep, terapi sistemik dengan
antibiotic 75-100 mg/kgBB iv,im. Bersihkan secret dengan kapas
dengan air. Dilakukan setiap 1x / 15 menit .
Tatalaksana pada ibu Cefixim 400mg peroral dosis tunggal, atau
Levofloxacin 500 mg dosis tunggal peroral. Tatalaksana servisitis
nongonore azitromisin 1gr dosis tungal peoral. Bias juga diberi
Doksisiklin 200 mg/hari selama 7 hari, eritromisin 4x500 mg/hari
selama 7 hari. Kanamisin 2gr peroral atau IM dosis tunggal. Ceftriaxon
250mg secara IM dosis tunggal.
MIND MAP
Infeksi pada
neonatorum
Konjungtivitis Transmisi
tatalaksana dan
pencegahan
peegakan
diagnosis
TransmisiSebelum
persalinan
STEP 5
REFLEKSI DIRI
Belajar Mandiri
STEP 7
1. Masalah yang timbul pada bayi baru lahir yang berhubungan dengan imunitas
(inkompatibilitas ABO dan Rhesus Disease)
1. Inkompabilitas ABO
a. Definisi
b. Etiologi
c. Faktor Resiko
a. Bayi golongan darah A atau B yang lahir dari ibu golongan darah O.
b. Defisiensi G6PD merupakan suatu kelainan enzim tersering pada
manusia, yang terkait kromosom sex (x-linked) dimana pada umumnya
bermanifestasi pada laki-laki. Enzim G6PD sendiri berfungsi dalam
menjaga keutuhan sel darah merah sekaligus mencegah hemolitik.1
d. Patofisiologi
Ibu dengan golongan darah O memiliki anti-A dan anti-B. Antibodi yang
ditemukan pada golongan darah O ibu cenderung tipe IgG yang dapat
melewati plasenta dan masuk ke peredaran darah bayi, hal ini dapat
menimbulkan hemolisis karena antibodi dari darah ibu akan bertemu
antigen dari darah anak yang tidak sesuai. Pada kehamilan inkompatibilitas
ABO eritrosit bayi bergolongan darah A dan B telah mengalami sensitisasi
dengan antibodi ibu bergolongan darah O sehingga eritrosit bayi akan
mengalami destruksi. Destruksi terjadi karena ibu bergolongan darah O
memiliki antibodi dan akan mengadakan reaksi inkompatibilitas dengan
eritrosit janin. Destruksi eritrosit yang berlebihan akan meningkatkan
kadar bilirubin bayi sehingga menimbulkan ikterus.2
e. Manifestasi klinis
g. Tatalaksana
- Anjurkan ibu untuk menyusui bayi secara dini, dan ASI eksklusif
lebih sering minimal tiap 2 jam.
- Jika bayi tidak dapat menyusu, ASI eksklusif dapat diberikan melalui
pipa nasogastrik atau dengan gelas dan sendok
- Gendong bayi untuk mendapatkan sinar matahari pagi selama 30
menit pada pukul 07.00-07.30 WIB, dalam 3-4 hari
- Pada dasarnya inkompatibilitas ABO dengan ikterus fisiologis tidak
memerlukan penanganan khusus dan dapat menjalani rawat jalan
dengan nasehat untuk kembali jika ikterik berlangsung lebih dari 2
minggu
- Fototerapi merupakan terapi yang dilakukan dengan menggunakan
cahaya dari lampu fluorescent khusus dengan intensitas tinggi, secara
umum metode ini efektif untuk mengurangi serum bilirubin dan
mencegah icterus.2
1. Toksoplasmosis
a. Definisi
c. Manifestasi klinis
2. Rubella
a. Definisi
b. Patofisiologi
Masa inkubasi virus rubella berkisar antara 14–21 hari. Masa penularan 1
minggu sebelum dan 4 hari setelah onset ruam (rash). Pada episode ini,
Virus rubella sangat menular. Ketika infeksi virus rubella terjadi selama
awal kehamilan, maka resiko serius lebih sering terjadi yaitu abortus, lahir
mati dan sebagainya. Resiko infeksi kongenital dan defek meningkat selama
kehamilan 12 minggu pertama dan menurun setelah kehamilan diatas 12
minggu dengan defek jarang terjadi pada kehamilan 20 minggu.
Infeksi transplasenta janin dalam kandungan terjadi saat viremia
berlangsung. Infeksi rubella menyebabkan kerusakan janin karena proses
pembelahan terhambat. Dalam sekret faring dan urin bayi dengan CRS,
terdapat virus rubella dalam jumlah banyak yang dapat menginfeksi bila
bersentuhan langsung. Virus dalam tubuh bayi dengan CRS dapat bertahan
hingga beberapa bulan atau kurang dari 1 tahun setelah kelahiran.
Kerusakan janin disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya oleh kerusakan
sel akibat virus rubella dan akibat pembelahan sel oleh virus. Infeksi
plasenta terjadi selama viremia ibu, menyebabkan daerah nekrosis yang
tersebar secara fokal di epitel vili korealis dan sel endotel kapiler. Sel ini
mengalami deskuamasi ke dalam lumen pembuluh darah, virus rubella
kemudian masuk ke dalam sirkulasi janin sebagai emboli sel endotel yang
terinfeksi. Hal ini selanjutnya mengakibatkan infeksi dan kerusakan organ
janin. Selama kehamilan muda mekanisme pertahanan janin belum matang
dan gambaran khas embriopati pada awal kehamilan adalah terjadinya
nekrosis seluler tanpa disertai tanda peradangan. Sel yang terinfeksi virus
rubella memiliki umur yang pendek. Organ janin dan bayi yang terinfeksi
memiliki jumlah sel yang lebih rendah daripada bayi yang sehat. Virus
rubella juga dapat memicu terjadinya kerusakan dengan cara apoptosis.
Jika infeksi maternal terjadi setelah trimester pertama kehamilan, frekuensi
dan beratnya derajat kerusakan janin menurun drastis. Perbedaan ini terjadi
karena janin terlindung oleh perkembangan respon imun janin, baik yang
bersifat humoral maupun seluler, dan adanya antibodi maternal yang
ditransfer secara pasif. Pada infeksi rubella maternal, yang biasanya terjadi
lima sampai tujuh hari setelah inokulasi pada ibu, virus menyebar ke seluruh
plasenta secara hematogen, yang mengarah kepada infeksi bawaan yang
potensial pada janin yang sedang berkembang. Pada infeksi rubella maternal
dengan ruam, frekuensi infeksi kongenital adalah lebih dari 80% selama 12
minggu pertama kehamilan, sekitar 54% di 13-14 minggu, dan sekitar 25%
pada akhir trimester kedua. Setiap infeksi rubella maternal yang terjadi
setelah 16 minggu kehamilan, tidak ada risiko terjadi sindrom rubella
kongenital pada bayi yang baru lahir.
Dari beberapa studi menunjukkan bahwa rute infeksi virus rubella adalah
melalui organ sistemik pada janin manusia. Fakta ini telah dikonfirmasi oleh
tes imunohistokimia dan deteksi langsung dari RNA virus di beberapa
organ. Perubahan histopatologi yang utama diamati dalam hepar. Hepar
embrio memiliki peran yang sangat penting dalam proses hematopoiesis
selain sumsum tulang. Temuan antigen virus di sel epitel glomerulus dan
tubulus proksimal pada ginjal juga menunjukkan ekskresi virus dalam urin.
c. Manifestasi klinis
Bayi di diagnosis mengalami congenital rubella syndrom apabila mengalami
2 gejala pada kriteria A atau 1 kriteria A dan 1 kriteria B, sebagai berikut:
A) Katarak, glaukoma bawaan, penyakit jantung bawaan (paling sering
adalah patient ductus arteriosus atau peripheral pulmonary artery
stenosis), kehilangan pendengaran, pigmentasi retina.
B) Purpura, splenomegali, jaundice, mikroemsefali, retardasi mental,
meningoensefalitis dan radiolucent bone disease (tulang tampak gelap
pada hasil foto roentgen).
Diagnosis laboratorium menggunakan tes serologi deteksi IgM atau
peningkatan antibodi 4 kali; antibodi IgM spesifik menunjukkan infeksi
rubela baru terjadi. Tes IgM paling membantu pada bayi kurang dari 2
bulan, meskipun dapat terdeteksi selama 12 bulan.
d. Tatalaksana
- Upaya untuk mengobati anak yang sedang menderita CRS dengan obat ini
tidak berhasil. Karena amantadin tidak dianjurkan pada wanita hamil,
penggunaannya amat terbatas. Interferon dan isoprinosin telah digunakan
dengan hasil yang terbatas.
- Pada Bayi yang dilakukan tergantung kepada organ yang terkena: Gangguan
pendengaran diatasi dengan pemakaian alat bantu dengar, terapi wicara dan
memasukkan anak ke sekolah khusus atau implantasi koklea.
c. Manifestasi klinis
Sebagian besar anak yang lahir dengan infeksi CMV kongenital tidak
menunjukkan gejala (asimptomatik) saat lahir. Asimptomatik dalam hal
tersebut didefinisikan sebagai terdeteksinya CMV di dalam cairan tubuh
mana pun pada anak dalam 3 minggu pertama kehidupan, namun tidak
menunjukkan kelainan pada klinis, hasil laboratorium, dan hasil
pemeriksaan radiologi. Anak yang menunjukkan gejala infeksi CMV
kongenital saat lahir hanya berkisar antara 7-10%. Jaundice (62%),
petechiae (58%), dan hepatosplenomegali (50%) adalah tiga manifestasi
klinis yang sering ditemukan sehingga disebut juga trias infeksi CMV
kongenital.8
Gold standard diagnosis infeksi CMV kongenital adalah isolasi atau kultur
virus pada anak dalam usia tiga minggu pertama. Sampel yang diambil
untuk isolasi virus dapat berupa sampel urin, saliva, secret servikovaginal,
cairan amnion, darah, dan cairan serebrospinal (CSS). polymerase chain
reaction (PCR) dari sampel urin atau saliva, Computed Tomography (CT)
scan, MRI (Magnetic Resonance Imaging), amniosentesis, dan USG
(Ultrasonography) antenatal.
Gambar 2.2 Manifestasi Klinis Cytomegalovirus
d. Tatalaksana
Tatalaksana anak dengan infeksi CMV kongenital meliputi tatalaksana
suportif. Pemberian ASI, Transfusi sel darah merah atau trombosit dapat
diberikan jika terjadi anemia berat atau trombositopenia berat. Anak dapat
dirawat dalam ruang perawatan intensif jika diperlukan. Antivirus
ganciclovir secara intravena dengan dosis 6 mg/kgBB/hari tiap 12 jam atau
valganciclovir per oral dengan dosis 16 mg/kgBB/hari tiap 12 jam.
Beberapa literatur menyatakan bahwa antivirus tersebut diberikan selama 6
minggu, namun pemberian antivirus selama 6 minggu tidak selalu
direkomendasikan. Pemberian antivirus selama 2 minggu sudah
memberikan dampak yang baik pada perjalanan.8