Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

PEMENUHAN KEBUTUHAN NYAMAN NYERI PADA NN. R

DENGAN DIAGNOSA MEDIS APENDISITIS

DI RUANG CEMPAKA RSUD UNGARAN

DISUSUN OLEH :

HASNA ZHAFIRA OKTAVIANA

P1337424416039

PROGRAM STUDI DIV KEBIDANAN SEMARANG JURUSAN KEBIDANAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG

TAHUN 2016/2017
LAPORAN PENDAHULUAN

PEMENUHAN KEBUTUHAN NYAMAN NYERI PADA NN. R

DENGAN DIAGNOSA MEDIS APENDISITIS

DI RUANG CEMPAKA RSUD UNGARAN

BAB I

TINJAUAN TEORI

A. Tinjauan Teori dari Penyakit Klien


1. Pegertian Apendisitis
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua
umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki
berusia antara 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, Arief,dkk, 2007).
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur yang
terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan
multiplikasi (Chang, 2010)
Apendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh
fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi
lumen merupakan penyebab utama Apendisitis. Erosi membran mukosa
appendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris
trichiura, dan Enterobius vermikularis (Ovedolf, 2006).

2. Penyebab Umum
Apendisitis merupakan infeksi bakteri berbagai hal berperan sebagai faktor
pencetusnya timbul tanpa sebab yang jelas atau timbul setelah obstruksi apendiks
oleh tinja atau akibat terpelintirnya apendiks atau pembuluh darah.
Penyebab lain yaitu erosi mukosa apendisitis karena entamuba histolytica
peran kebiasaan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap
timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikan tekanan yang berakibat
timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman
flora kolon biasa dan semua ini akan mempermudah timbulnya penyakit apendiks
akut.
3. Tanda dan Gejala
Gejala yang terlihat pada penderita apendisitis diantaranya adalah:
1. Nyeri pada sisi kanan bagian bawah perut terasa sakit. Nyeri terus menerus
seharian. Jalan nyeri kadang jalan sambil membungkuk.Rasa sakit pada
apendisitis bisa datang dengan kram, dan akan menjadi lebih berat seiring
bertambahnya waktu.
2. Nyeri mulai di epigastrium atau region umbilicus disertai mual dan
anorexia.
3. Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5 – 38,5o C. Bila suhu
lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi.. Nyeri berpindah ke kanan
bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di titik Mc
Burney
4. Nyeri tekan nyeri lepas defans muskuler. Nyeri rangsangan peritoneum tak
langsung nyeri kanan bawah pada tekanan kiri (Rovsing’s Sign) nyeri
kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg’s Sign)
nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam berjalan
batauk atau mengedan.
5. Mual dan muntah
6. Kehilangan nafsu makan, mual, muntah, diare, sembelit,
7. Ketidakmampuan untuk buang angin,
8. Pembengkakan perut,demam yang disertai wajah memerah, dan merasa
nyaman dan lebih baik setelah buang tinja.
9. Radang usus buntu terkadang tidak mempengaruhi kebiasaaan buang air
besar, akan tetapi lebih mempengaruhi kebiasaan buang air kecil.
Gejala apendisitis pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel
dan tidak mau makan. Anak biasanya tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Dalam
beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak menjadi lemah dan
letargi. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering apendisitis diketahui setelah
perforasi. Pada bayi, 80-90% apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak
ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya, pada orang berusia
lanjut yang gejalanya sering samar-samar saja sehingga lebih dari separuh
penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi.
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual dan
muntah. Yang perlu diperhatikan adalah, pada kehamilan trimester pertama sering
juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks
terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan diperu kanan bawah
tetapi lebih ke regio lumbal kanan.
4. Mekanisme Penyakit
Mula-mula disebabkan oleh sumbatan lumen, obstruksi lumen biasanya
disebabkan oleh penyempitan lumen akibat hiperplasia jaringan lymphoid
submukosa. Feces yang terperangkap dalam lumen apendiks mengalami
penyebaran air dan terbentuklah fekalit yang akhirnya sebagai kausa sumbatan.
Sumbatan lumen apendiks ini menyebabkan keluhan sakit disekitar imbilikus,
epigastrium nausea dan muntah.
Sekresi mukus yang terus menerus menyebabkan apendiks teregang
intralumen melebihi tekanan vena (> 85 cm H2O) apendiks menjadi hipoksia dan
dinding apendiks menjadi mudah diserang oleh invasi kuman dan multipikasi
bakteri dan kuman kelapisan mukosa, sub mukosa, lapisan muskularis dan
akhirnya ke peritonuim parietalis sehingga terjadilah peritonotis lokal ke bawah.

5. Diagnosis Penyakit
Diagnosis apendistis dapat ditegakkan melalui tiga hal yaitu anamnesis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang jika diperlukan. Penegakka
diagnosis yang tepat pada apendisitis dapat mengurangi komplikasi yang terjadi
serta mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas
B. Tinjauan Teori Prioritas Kebutuhan Klien
1. Pengertian Nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang
dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Menurut International Association for Study of Plain 2009 (IASP), nyeri
adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat
terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan
kondisi terjadinya kerusakan.
Nyeri bisa diartikan sebagai pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat dari adanya kerusakan jaringan maupun kemungkinan
potensial yang menyebabkan kerusakan jaringan. Rasa nyeri ini bersifat subjektif
dan hanya bisa dirasakan oleh orang yang mengalaminya. (Mansjoer,2007).

2. Klaisifikasi Nyeri

Klasifikasi nyeri dibagi menjadi 2 yakni nyeri akut dan nyeri kronis.

1. Nyeri akut adalah nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat
menghilang yang tidak memiliki atau melebihi 6 bulan dan ditandai
adanya peningkatan tegangan otot.

2. Nyeri kronis adalah nyeri yang timbul secara perlahan-lahan, biasanya


berlangsung dalam waktu yang lama. Yang lebih dari 6 bulan, yang
termasuk nyeri psikomatis. Dan ditinjau dari sifat terjadinya, nyeri dapat
dibagi ke dalam beberapa kategori, diantaranya nyeri tersusun dan nyeri
terbakar.

(Hidayat Aziz, 2009)

3. Mekanisme Nyeri

Mekanisme nyeri secara sederhana dimulai dari transduksi stimuli akibat


kerusakan jaringan dalam saraf sensorik menjadi aktivitas listrik kemudian
ditransmisikan melalui serabut saraf bermielin A delta dan saraf tidak
bermielin C ke kornu dorsalis medula spinalis, talamus, dan korteks serebri.
Impuls listrik tersebut dipersepsikan dan didiskriminasikan sebagai kualitas
dan kuantitas nyeri setelah mengalami modulasi sepanjang saraf perifer dan
disusun saraf pusat. Rangsangan yang dapat membangkitkan nyeri dapat
berupa rangsangan mekanik, suhu (panas atau dingin) dan agen kimiawi yang
dilepaskan karena trauma/inflamasi.

Fenomena nyeri timbul karena adanya kemampuan system saraf untuk


mengubah berbagai stimuli mekanik, kimia, termal, elektris menjadi potensial
aksi yang dijalarkan ke sistem saraf pusat.

4. Skala Nyeri

Menurut Smeltzer, S.C bare B.G (2008) ialah sebagai berikut :


1) Skala intensitas nyeri deskritif.
2) Skala identitas nyeri numerik.
3) Skala analog visual.
4) Skala nyeri menurut bourbanis.
Keterangan :
a. 0 : Tidak nyeri
b. 1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan
baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai,
sanggup menunjukkan ruangan nyeri, sanggup mendeskripsikannya, bisa
mengikuti perintah bersama baik.
c. 7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah namun masih respon terhadap tindakan, bisa menunjukkan lokasi
nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih
posisi nafas panjang & distraksi.
d. 10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak dapat lagi berkomunikasi,
memukul.
(Smeltzer, Bare, 2008)
5. Penanganan Nyeri
1. Tindakan Farmakologis
Umumnya nyeri direduksi dengan cara pemberian terapi
farmakologi. Nyeri ditanggulangi dengan cara memblokade transmisi
stimulant nyeri agar terjadi perubahan persepsi dan dengan mengurangi
respon kortikal terhadap nyeri.
Adapun obat yang digunakan untuk terapi nyeri adalah :

 Analgesik Narkotik
Opiat merupakan obat yang paling umum digunakan untuk
mengatasi nyeri pada klien, untuk nyeri sedang hingga nyeri yang
sangat berat. Pengaruhnya sangat bervariasi tergantung fisiologi klien
itu sendiri. Klien yang sangat muda dan sangat tua adalah yang sensitive
terhadap pemberian analgesic ini dan hanya memerlukan dosisi yang
sangat rendah untuk meringankan nyeri. Narkotik dapat menurunkan
tekanan darah dan menimbilkan depresi pada fungsi – fungsi vital
lainya, termasuk depresi respiratori, bradikardi dan mengantuk.
Sebagian dari reaksi ini menguntungkan contoh : hemoragi, sedikit
penurunan tekanan darah sangan dibutuhkan. Namun pada pasien
hipotensi akan menimbulkan syok akibat dosis yang berlebihan.

 Analgesik Lokal
Analgesik bekerja dengan memblokade konduksi saraf saat
diberikan langsung ke serabut saraf.

 Analgesik yang dikontrol klien


Sistem analgesik yang dikontrol klien terdiri dari Infus yang diisi
narkotik menurut resep, dipasang dengan pengatur pada lubang injeksi
intravena. Pengandalian analgesik oleh klien adalah menekan sejumlah
tombol agar masuk sejumlah narkotik. Cara ini memerlukan alat khusus
untuk mencegah masuknya obat pada waktu yang belum ditentukan.
Analgesik yang dikontrol klien ini penggunaanya lebih sedikit
dibandingkan dengan cara yang standar, yaitu secara intramuscular. Obat
– obat nonsteroid.

Obat – obat nonsteroid antiinflamasi bekerja terutama terhadap


penghambatan sintesa prostaglandin. Pada dosis rendah obat – obat ini
bersifat analgesic. Pada dosis tinggi, obat obat ini bersifat
antiinflamatori. Prinsip kerja obat ini adalah untuk mengendalikan nyeri
sedang dari dismenorea, arthritis dan gangguan musculoskeletal yang
lain, nyeri postoperative dan migraine. NSAID digunakan untuk
menyembuhkan nyeri ringan sampai sedang.

2. Tindakan Non Farmakologis

Menurut Tamsuri (2007), selain tindakan farmakologis untuk


menanggulangi nyeri ada pula tindakan nonfarmakologis untuk
mengatasi nyeri terdiri dari beberapa tindakan penaganan berdasarkan :
Penanganan fisik/stimulasi fisik meliputi :

 Stimulasi kulit
Massase kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan
ketegangan otot. Rangsangan masase otot ini dipercaya akan
merangsang serabut berdiameter besar, sehingga mampu mampu
memblok atau menurunkan impuls nyeri.

 Stimulasi electric (TENS)


Cara kerja dari sistem ini masih belum jelas, salah satu pemikiran
adalah cara ini bisa melepaskan endorfin, sehingga bisa memblok
stimulasi nyeri. Bisa dilakukan dengan massase, mandi air hangat,
kompres dengan kantong es dan stimulasi saraf elektrik transkutan
(TENS/ transcutaneus electrical nerve stimulation). TENS
merupakan stimulasi pada kulit dengan menggunakan arus listrik
ringan yang dihantarkan melalui elektroda luar.

 Akupuntur
Akupuntur merupakan pengobatan yang sudah sejak lama
digunakan untuk mengobati nyeri. Jarum – jarum kecil yang
dimasukkan pada kulit, bertujuan menyentuh titik-titik tertentu,
tergantung pada lokasi nyeri, yang dapat memblok transmisi nyeri
ke otak.

 Plasebo
Plasebo dalam bahasa latin berarti saya ingin menyenangkan
merupakan zat tanpa kegiatan farmakologik dalam bentuk yang
dikenal oleh klien sebagai “obat” seperti kaplet, kapsul, cairan
injeksi dan sebagainya.

Intervensi perilaku kognitif meliputi :

 Relaksasi
Relaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan
merelaksasikan keteganggan otot yang mendukung rasa nyeri.
Teknik relaksasi mungkin perlu diajarkan bebrapa kali agar
mencapai hasil optimal. Dengan relaksasi pasien dapat mengubah
persepsi terhadap nyeri.

 Umpan balik biologis


Terapi perilaku yang dilakukan dengan memberikan individu
informasi tentang respon nyeri fisiologis dan cara untuk melatih
kontrol volunter terhadap respon tersebut. Terapi ini efektif untuk
mengatasi ketegangan otot dan migren, dengan cara memasang
elektroda pada pelipis.

 Hipnotis
Membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti
positif.

 Distraksi
Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, efektif untuk nyeri ringan
sampai sedang. Distraksi visual (melihat TV atau pertandingan
bola), distraksi audio (mendengar musik), distraksi sentuhan
(massase, memegang mainan), distraksi intelektual (merangkai
puzzle, main catur)

 Guided Imagery (Imajinasi terbimbing)


Meminta klien berimajinasi membayangkan hal-hal yang
menyenangkan, tindakan ini memerlukan suasana dan ruangan
yang tenang serta konsentrasi dari klien. Apabila klien mengalami
kegelisahan, tindakan harus dihentikan. Tindakan ini dilakukan
pada saat klien merasa nyaman dan tidak sedang nyeri akut.

(Tamsuri,2007)
Daftar Pustaka
Brunner and Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC. Jakarta.

Carpetino, Lynda Juali. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. EGC.
Jakarta.

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta.

DinKes Kabupaten Bandung. 2000. Profil Kabupaten Bandung. DinKes Kab.


Bandung. Bandung.

Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC. Jakarta.

Efendy, Nasrul. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. EGC. Jakarta.

Engram, Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. EGC. Jakarta.

Long, Barbara C. 1996. Perawatan Medikal Bedah. YIAPK Pajajaran. Bandung.

Mansoer, Arif. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid I. EGC. Jakarta.

Nursalam. 2002. Proses dan Dokumentasi Keperawatan Konsep dan Praktek Salemba
Medical. Jakarta.

Potter, Perry. 1999. Buku Saku Keterampilan Dan Prosedur Dasar. EGC. Jakarta.

Price, Sylvia Anderson. 1994. Patopisiologi Edisi IV, EGC. Jakarta.

Priharjo, Robert. 1996. Pengkajian Fisik Keperwatan. EGC. Jakarta.

Robins and Kumar. 1995. Ilmu Bedah Edisi VII. EGC. Jakarta.

Sjamsuhidajat, R. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai