Anda di halaman 1dari 14

KOMUNIKASI DALAM KONTEKS PERBEDAAN SOSIAL

DAN LATAR BELAKANG (CULTURE DIVERSITY)


SERTA KEYAKINAN

KOMUNIKASI DALAM KEPERAWATAN


(Dr. Yulastri Arif, M.Kep)

KELOMPOK 1 :
PUTRI GHINA HANISA NIM.2011316001
ARSIL RASYID AMANDA NIM.2011316002
NADYA PUTRI NIM.2011316003
CHYNTIA FULMI YOLANDA NIM.2011316004
AULIYA FAIZAH LIHAYATI NIM.2011316005
PUTERI NABILA NIM.2011316006

S1 KEPERAWATAN PROGRAM B
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan YME atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“Komunikasi Dalam Konteks Perbedaan Sosial Dan Latar Belakang (Culture
Diversity) Serta Keyakinan” dengan baik dan tepat waktu. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, baik
secara penulisan, bahasa atau materi yang ada. Untuk itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun guna lebih sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi pembaca pada umumnya dan
bagi penulis pada khususnya.
Penulis,

September
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Komunikasi merupakan hal yang sangat penting, karena komunikasi
adalah sebuah proses pertukaran simbol verbal dan nonverbal antara
pengirim dan penerima untuk merubah tingkah laku. Jumlah simbol-
simbol yang dipertukarkan tak bisa dihitung dan dikelompokkan secara
spesifik kecuali bentuk simbol yang dikirim, verbal dan non verbal.
Memahami komunikasi tidak ada habisnya karena komunikasi sebagai
suatu proses yang tiada henti melingkupi kehidupan manusia, salah
satunya mengenai komunikasi antar budaya.
Komunikasi dan kebudayaan tidak sekedar dua kata, tetapi dua
konsep yang tidak dapat dipisahkan. Budaya itu sendiri adalah suatu cara
hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh suatu kelompok orang
dari generasi ke generasi. Komunikasi antar budaya adalah setiap proses
pembagian informasi, gagasan, atau perasaan diantara mereka yang
berbeda latar belakang budayanya. Proses pembagian informasi itu
dilakukan secara lisan dan tertulis, juga melalui bahasa tubuh, gaya atau
tampilan pribadi, atupun bantuan hal lain di sekitarnya yang memperjelas
pesan.
Kadangkala adanya perbedaan budaya mampu menimbulkan konflik
antara komunikator dengan komunikan karena makna (meaning) yang
diperoleh mengalami ketidakpastian. Seperti yang di ungkapkan oleh
Gudykunst dan Kim dalam Liliweri (2002:19) menunjukkan bahwa orang-
orang yang tidak saling kenal selalu berusaha untuk mengurangi tingkat
ketidakpastian melalui peramalan yang tepat atas relasi antar pribadi.
Ketidakpastian tersebut bisa dikurangi apabila komunikator dengan
komunikan mampu melakukan proses komunikasi yang efektif.
Selain itu, komunikasi antarbudaya terjadi karena adanya pebedaan
persepsi dan kebiasaan antara komunikator dengan komunikan. Menurut
Devito dalam buku Mulyana (2001:168), persepsi adalah proses dimana
kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indera
kita. Komunikasi apapun bentuk dan konteksnya, selalu menampilkan
perbedaan iklim antara komunikator dengan komunikan. Karena ada
perbedaan iklim budaya tersebut, maka pada umumnya komunikasi yang
terjadi selalu difokuskan pada pesan-pesan yang menghubungkan individu
atau kelompok dari dua situasi budaya yang berbeda. Dalam perbedaan itu
umumnya mengimplikasikan bahwa hambatan komunikasi antarbudaya
sering tampil dalam bentuk perbedaan persepsi terhadap norma- norma
budaya, pola-pola berpikir, struktur budaya, dan sistem budaya. Semakin
besar derajat pebedaan antar budaya, maka semakin besar kehilangan
peluang untuk merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi
yang efektif.
Dalam sebuah pendekatan yang diperkenalkan oleh Ellingsworth
dalam Gundykuntst (1983), dia mengemukakan bahwa setiap individu
dianugerahi kemampuan untuk beradaptasi antarpribadi. Oleh karena itu
maka setiap individu memiliki kemampuan untuk menyaring manakah
perilaku yang harus atau yang tidak harus dia lakukan. Adaptasi nilai atau
norma antarpribadi termasuk antar budaya sangat ditentukan oleh dua
faktor, yakni pilihan untuk mengadaptasikan nilai dan norma yang
fungsional atau mendukung hubungan antar pribadi, atau nilai norma yang
difungsional atau tidak mendukung hubungan antar pribadi.
Berbicara soal perbedaan budaya, Indonesia adalah salah satu negara
kepulauan, dimana dari setiap pulau mempunyai suatu kebudayaan yang
menjadi ciri khas dari pulau tersebut. Oleh karena itu, komunikasi antar
budaya sering terjadi pada masyarakat Indonesia. Terkait dengan
Komunikasi antar budaya, perkumpulan mahasiswa Sumbawa yang ada di
malang adalah salah satu organisasi yang dibuat untuk menjalin
silaturahmi antara mahasiswa sumbawa dengan mahasiswa sumbawa
sendiri serta mahasiswa sumbawa dengan mahasiswa dari daerah lain. Hal
ini dilakukan karena mereka mempunyai latar belakang kebudayaan yang
berbeda-beda dan perbedaan tersebut sangat terlihat jelas pada saat
mahasiswa - mahasiswa tersebut saling berkomunikasi satu sama lain.
Sebagai contoh mahasiswa Papua yang berkuliah di Universitas
Brawijaya terletak di Jawa Timur, mengakibatkan sebagian mahasiswanya
berasal dari Jawa. Namun dalam kasus ini ditemukan ada beberapa
mahasiswa yang berasal dari Papua, sehingga akan terjadi komunikasi
antar mahasiswa Papua dan Jawa ini yang berasal dari budaya yang
berbeda. Hal ini membuat penulis tertarik untuk mengangkat kasus
tersebut yang akan dihubungkan dengan “komunikasi antar budaya”.

B. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana
komunikasi dalam konteks perbedaan sosial dan latar belakang (culture
diversity) serta keyakinan yang akan penulis gambarkan dalam analisis
kasus nantinya.

C. MANFAAT PENULISAN
Penulis berharap agar makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi
pembaca dan bagi penulis sendiri, sehingga pemahaman mengenai
komunikasi antar budaya lebih tergambar jelas.
BAB II
KERANGKA TEORI

A. PENGERTIAN KOMUNIKASI
Definisi komunikasi secara umum adalah suatu proses pembentukan,
penyampaian, penerimaan dan pengolahan pesan yang terjadi didalam diri
seseorang dan atau diantara dua atau lebih dengan tujuan tertentu. Definisi
tersebut memberikan beberapa pengertian pokok yaitu komunikasi adalah
suatu proses mengenai pembentukan, penyampaian, penerimaan dan
pengolahan pesan.
Menurut para ahli :
1. Lexicographer (ahli kamus bahasa)
Komunikasi adalah upaya yang bertujuan berbagi untuk mencapai
kebersamaan. Jika dua orang berkomunikasi maka pemahaman
yang sama terhadap pesan yang saling dipertukarkan adalah tujuan
yang diinginkan keduanya.
2. Barlaund
Komunikasi timbul didorong oleh kebutuhan-kebutuhan untuk
mengurangi rasa ketidakpastian, bertindak secara efektif,
mempertahankan atau memperkuat ego.
3. Weaver
Komunikasi adalah seluruh prosedur melalui mana pikiran
seseorang dapat mempengaruhi pikiran orang lainnya
4. Gode
Komunikasi adalah suatu proses yang membuat sesuatu dari
semula yang dimiliki oleh seseoarang (monopoli seseorang)
menjadi dimiliki oleh dua orang atau lebih.
5. Berelson dan Stainer
Komunikasi adalah proses penyampaian informasi, gagasan,
emosi, keahlian dan lain-lain. Melalui penggunaan symbol-simbol
seperti kata-kata, gambar , ang dan lain lain.
Berdasarkan definisi-definisi tentang komunikasi diatas, dapat diperoleh
gambaran bahwa komunikasi mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1. Komunkasi adalah suatu proses komunikasi sebagai suatu proses
artinya bahwa komunikasi merupakan serangkaian tindakan atau
peristiwa yang terjadi secara berurutan (ada tahapan atau sekuensi)
serta berkaitan satu sama lainnya dalam kurun waktu tertentu.
2. Komunikasi adalah suatu upaya yang disengaja serta mempunyai
tujuan.
3. Komunikasi menuntut adanya partisipasi dan kerja sama dari para
pelaku yang terlibat
4. Komunkasi bersifat simbolis
5. Komunikasi bersifat transaksional
6. Komunikasi menembus faktor ruang dan waktu.

Daftar pustaka : Nurhasanah, Nunung. 2010. Ilmu Komunikasi Dalam


Konteks Keperawatan. Jakarta : CV TRANS INFO MEDIA (TIM)

B. KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA


Budaya dan komunikasi mempunyai hubungan yang sangat erat.
Orang berkomunikasi sesuai dengan budaya yang dimilikinya. Kapan,
dengan siapa, berapa banyak hal yang dikomunikasikan sangat bergantung
pada budaya dari orang-orang yang berinteraksi. Melalui pengaruh
budayalah orang-orang belajar berkomunikasi. Perilaku mereka dapat
mengandung makna, sebab perilaku tersebut dipelajari dan diketahui; dan
perilaku itu terikat oleh budaya. Orang- orang memandang dunia mereka
melalui kategori-kategori, konsep-konsep dan label-label yang dihasilkan
budaya mereka (Mulyana dan Rakhmat, 1998: 24).
Komunikasi antarbudaya tidak dapat terlepas dari faktor-faktor
budaya yang melekat pada diri individu. Budaya adalah suatu pola hidup
menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak dan luas. Kata budaya
berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak
dari kata buddhi, yang berarti budi atau akal. Kebudayaan itu sendiri
diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal. Istilah
“culture”berasal dari kata colere yang artinya adalah mengolah atau
mengerjakan, yang dimaksudkan kepada keahlian mengolah dan
mengerjakan tanah atau bertani. Kata “colore”, kemudian berubah menjadi
culture, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah
dan mengubah alam (Soekamto, 1996: 188).
Komunikasi antar budaya sendiri dapat dipahami sebagai pernyataan
diri antar pribadi yang paling efektif antara dua orang yang saling berbeda
latar belakang budaya (Liliweri, 2004: 9). Dalam rangka memahami kajian
komunikasi antar budaya maka kita mengenal beberapa asumsi, yaitu:
Proses komunikasi antar budaya sama seperti proses komunikasi lainnya,
yakni suatu proses yang interaktif dan transaksional serta dinamis (Liliweri,
2004: 24).
Dalam kenyataan sosial disebutkan bahwa manusia tidak dapat
dikatakan berinteraksi sosial kalau tidak berkomunikasi. Demikian pula
dapat dikatakan bahwa interaksi antar budaya yang efektif sangat tergantung
dari komunikasi antar budaya. Konsep ini sekaligus menerangkan bahwa
tujuan komunikasi antar budaya akan tercapai bila bentuk-bentuk hubungan:
1. Komunikasi antar budaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada
perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan.
2. Dalam komunikasi antar budaya terkandung isi dan relasi antarpribadi
3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi
4. Komunikasi antar budaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian
5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan
6. Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antar budaya.

Antarbudaya menggambarkan upaya yang sadar dari peserta


komunikasi untuk memperbaharui relasi antara komunikator dengan
komunikan, menciptakan dan memperbaharui sebuah manajemen
komunikasi yang efektif, lahirnya semangat kesetiakawanan, persahabatan,
hingga kepada berhasilnya pembagian teknologi dan mengurangi konflik.
Komunikasi antar budaya dalam konteks ini menunjuk kepada
komunikasi interpersonal, dengan sub-sub budayanya. Pihak-pihak yang
terlibat dalam komunikasi berasal dari kelompok-kelompok personal yang
berbeda. Sub-sub budaya ini menunjuk kepada kelompok masyarakat atau
komunitas sosial, yang menunjukkan pola-pola tingkah laku dengan ciri
khas tertentu dan memadai untuk dapat dibedakan dari kelompok-kelompok
masyarakat yang lain dalam satu kesatuan budaya atau masyarakat.
Sebagai salah satu bidang studi dari ilmu komunikasi, komunikasi
antarbudaya mempunyai objek formal, yakni mempelajari komunikasi
antarpribadi yang dilakukan oleh seseorang komunikator sebagai produsen
pesan dari satu kebudayaan dengan konsumen pesan atau komunikan dari
kebudayaan lain. Komunikasi antarbudaya berkaitan dengan hubungan
timbal balik antara sifat-sifat yang terkandung dalam komunikasi,
kebudayaan pada gilirannya menghasilkan sifat-sifat komunikasi
antarbudaya.

C. Model Komunikasi Antar Budaya

Model ini mengasumsikan dua orang yang sejajar dalam


berkomunikasi, masing-masing dari mereka sebagai pengirim sekaligus
penerima, atau keduanya sebagai penyandi (encoding) dan penyandi balik
(decoding). Karena hal itulah, kita dapat melihat bahwa pesan dari
seseorang merupakan umpan balik untuk yang lainnya. Pesan atau umpan
balik diantara mereka diwakilkan oleh sebuah garis dari sandi seseorang
kepada sandi balik dari yang lainnya. Dua garis itu menunjukan bahwa
setiap orang dari kita itu berkomunikasi. Kita menyandi dan menyandi balik
pesan dalam satu waktu. Dengan kata lain, komunikasi bukanlah hal yang
statis, kita tidak akan menyandi sebuah pesan dan melakukan apapun
sampai kita mendapat umpan balik.
Menurut Gudykunst dan Kim, penyandian dan penyandian balik
terhadap pesan merupakan suatu proses interaktif yang dipengaruhi oleh
filter‐filter konseptual yang dikategorikan menjadi factor‐faktor kultur,
sosiokultur dan psikokultur yang nampak pada lingkaran dengan garis
putus‐putus. Garis putus‐ putus itu sendiri menggambarkan bahwa ketiga
factor ini saling berhubungan dan mempengaruhi. Selain itu, kedua individu
yang terlibat juga terletak dalam suatu kotak dengan garis putus‐putus yang
berarti mewakili pengaruh lingkaran. Hal ini sekali lagi menggambarkan
bahwa lingkaran tersebut bukanlah suatu sistem tertutup. Pengaruh kultur
dalam model ini meliputi penjelasan mengenai kemiripan dan perbedaan
budaya, misalnya pandangan dunia, bahasa, sikap kita terhadap manusia
(individualisme atau kolektivisme). Sebab ini akanmempengaruhi perilaku
komunikasi kita.
Model Gudykunst dan Kim sebenernya merupakan model komunikasi
antarbudaya, yakni komunikasi antara orang-orang yang berasal dari budaya
berlainan, atau komunikasi dengan orang asing (stranger). Model
komunikasi ini pada dasarnya sesuai untuk komunikasi tatap muka,
khususnya antara 2 orang. Meskipun disebut model komunikasi antarbudaya
atau model komunikasi dengan orang asing, model komunikasi tersebut
dapat merepresentasikan komunikasi antara siapa saja, karena pada dasarnya
tidak ada 2 orang yang mempunyai budaya sosial budaya dan psikobudaya
yang persis sama.
BAB III
ANALISIS KASUS

Sebagai contoh mahasiswa Papua yang berkuliah di Universitas Brawijaya


terletak di Jawa Timur, mengakibatkan sebagian mahasiswanya berasal dari Jawa.
Namun dalam kasus ini ditemukan ada beberapa mahasiswa yang berasal dari
Papua, sehingga akan terjadi komunikasi antar mahasiswa Papua dan Jawa ini
yang berasal dari budaya yang berbeda. Dalam kasus ini akan dilakukan analisis
terhadap model komunikasi antar budaya mahasiswa Papua dan Jawa.
Hasil analisis menunjukkan bahwa perbedaan latar belakang budaya,
sosiobudaya, psikobudaya, dan lingkungan dapat menjadi faktor penghambat
KAB mahasiswa Papua dan mahasiswa tuan rumah. Yang termasuk dalam
hambatan budaya adalah perbedaan bahasa dan perilaku kolektif yang sangat kuat
pada mahasiswa Papua. Hambatan sosiobudaya terjadi karena perbedaan persepsi
tentang pelanggaran norma dan aturan yang bisa di tolerir dan tidak. Hambatan
lingkungan muncul karena perbedaan orientasi tentang waktu dan makna
pendidikan. Sedangkan hambatan psikobudaya tidak nampak mempengaruhi
perilaku komunikasi mahasiswa Papua dan Jawa secara langsung karena
meskipun masing-masing etnis memiliki stereotip, etnosentrisme dan prasangka
tapi tersimpan dalam kepala dan belum diaktifkan dalam perbuatan nyata.
Meskipun berbagai hambatan tersebut tidak bisa dihindari, namun
sebagian mahasiswa Papua berhasil melampauinya karena mereka bertemu
dengan teman sekelas dari etnis Jawa, yang memiliki empati, toleransi, dan
mindfulness sehingga mereka lambat laun bisa menyesuaikan diri dengan
lingkungan baru. Teman sekelas inilah yang selanjutnya menjadi mediator yang
menjembatani komunikasi mahasiswa Papua dengan mahasiswa Jawa yang lain.
Empati adalah partisipasi emosional dan intelektual secara imajinatif pada
pengalaman orang lain (Bennet, dalam Mulyana dkk. 2010:87).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, empati pada awalnya tumbuh dari
informan Jawa yang menaruh perhatian pada kesulitan yang dihadapi teman
Papua yang sekelas dengannya dalam beradaptasi dengan lingkungan baru,
sehingga mereka tergerak untuk mengulurkan bantuan. Informan Jawa Adriana,
misalnya, menunjukkan empatinya pada Hermina dengan mengajak berinteraksi
dan bergabung dengan teman Jawa yang lain, mengerjakan tugas-tugas kelompok,
meminjami catatan, memotivasi untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah, serta
mengunjunginya di asrama untuk memberi dukungan moral. Mahasiswa Jawa
juga melakukan hal yang sama untuk membantu teman Papua yang nampak selalu
canggung dan menyendiri di tengah teman-teman di kelas.
BAB IV
PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai