Anda di halaman 1dari 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. KAJIAN DASAR RUU KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri resmi dibentuk pada Desember 2003
berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam UU tersebut disebutkan bahwa KPK dibentuk karena lembaga pemerintah yang
menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam
memberantas tindak pidana korupsi. Adapun latar belakang pembentukan KPK adalah karena
pasca reformasi penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan
secara konvensional mengalami hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum
secara luar biasa melalui pembentukan badan khusus yang mempunyai kewenangan luas,
independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi, yang pelaksanaanya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, professional serta
berkesinambungan. Tugas KPK diatur secara rinci dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu:

a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana


korupsi.

b. Supervise terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana


korupsi.

c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi

d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.

e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah.

B. KONSEP-KONSEP DASAR RUU KPK

Konsep Dasar Ruu Kpk yaitu :

1. Independensi KPK terancam


o KPK tidak disebut lagi sebagai lembaga Independen yang bebas dari pengaruh
kekuasaan manapun;
o KPK dijadikan lembaga Pemerintah Pusat
o Pegawai KPK dimasukan dalam kategori ASN sehingga hal ini akan beresiko
terhadap independensi pegawai yang menangani kasus korupsi di instansi
pemerintahan;

2. Penyadapan dipersulit dan dibatasi


o Penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Dewan Pengawas.
Sementara itu, Dewan Pengawas dipilih oleh DPR dan menyampaikan
laporannya pada DPR setiap tahunnya;
o Selama ini penyadapan seringkali menjadi sasaran yang ingin diperlemah
melalui berbagai upaya, mulai dari jalur pengujian UU hingga upaya revisi
UU KPK
o Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan dilakukan secara tertutup.
Sehingga bukti-bukti dari Penyadapan sangat berpengaruh signifikan dalam
membongkar skandal korupsi;
o Penyadapan diberikan batas waktu 3 bulan. Padahal dari pengalaman KPK
menangani kasus korupsi, proses korupsi yang canggih akan membutuhkan
waktu yang lama dengan persiapan yang matang. Aturan ini tidak melihat
kecanggihan dan kerumitan kasus korupsi yang terus berkembang;
o Polemik tentang Penyadapan ini semestinya dibahas secara komprehensif
karena tidak hanya KPK yang memiliki kewenangan melakukan Penyadapan;

3. Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR


o DPR memperbesar kekuasaannya yang tidak hanya memilih Pimpinan KPK
tetapi juga memilih Dewan Pengawas
o Dewan pengawas menambah panjang birokrasi penanganan perkara karena
sejumlah kebutuhan penanganan perkara harus izin Dewan Pengawas, seperti:
penyadapan, penggeledahan dan penyitaan

4. Sumber penyelidik dan penyidik dibatasi


o Penyelidik KPK hanya berasal dari Polri, sedangkan Penyidik KPK berasal
dari Polri dan PPNS;
o Hal ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang memperkuat
dasar hukum bagi KPK dapat mengangkat Penyelidik dan Penyidik sendiri;
o Lembaga-lembaga KPK di beberapa negara di dunia telah menerapkan sumber
terbuka Penyidik yang tidak harus dari kepolisian, seperti: CPIB di Singapura,
ICAC di Hongkong, MACC di Malaysia, Anticorruption Commision di Timor
Leste, dan lembaga antikorupsi di Sierra Lone.
o Selama ini proses Penyelidikan dan Penyidikan yang dilakukan KPK sudah
berjalan efektif dengan proses rekruitmen yang terbuka yang dapat berasal dari
berbagai sumber;

5. Penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung


o KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam melakukan
Penuntutan Korupsi;
o Hal ini beresiko mereduksi independensi KPK dalam menangani perkara dan
akan berdampak pada semakin banyaknya prosedur yang harus ditempuh
sehingga akan memperlambat penanganan perkara

6. Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria


o Ketentuan yang sebelumnya diatur di Pasal 11 huruf b UU KPK tidak lagi
tercantum, yaitu: mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat;
o Padahal pemberantasan korupsi dilakukan karena korupsi merugikan dan
meresahkan masyarakat dan diperlukan peran masyarakat jika ingin
pemberantasan korupsi berhasil;

7. Kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas


o Pengambilalihan perkara hanya bisa dilakukan untuk proses Penyelidikan;
o KPK tidak lagi bisa mengambil alih Penuntutan sebagaimana sekarang diatur
di Pasal 9 UU KPK
8. Kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan
o Pelarangan ke luar negeri
o Meminta keterangan perbankan
o Menghentikan transaksi keuangan yang terkait korupsi
o Meminta bantuan Polri dan Interpol

9. KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan

 KPK menetapkan suatu kasus penyidikan melalui proses yang sangat hati-hati karena
tidak adanya penghentian penyidikan dan penuntutan. Melalui ketentuan tersebut akan
menurunkan strandar KPK dalam penanganan kasus.
 Penghentian penyidikan dan penuntutan yang belum selesai selama 1 (satu) tahun
akan membuat potensi intervensi kasus menjadi rawan. Terlebih pada kasus yang
besar serta menyangkut internasional proses penanganan akan sangat sulit
menyelesaikan selama satu tahun. Selain itu, berpotensi juga dilakukan penghambatan
kasus secara administrasi sehingga lebih dari 1 (satu) tahun.
 Tingkat kesulitan penanganan perkara dari satu perkara ke perkara lain bermacam-
macam, sehingga mungkin saja ada perkara yang amat rumit sehingga membutuhkan
waktu lebih dari satu tahun untuk menanganinya.
 Tidak pernah ada aturan dalam sistem hukum acara pidana nasional yang mengatur
bahwa suatu penyidikan/penuntutan harus dihentikan jika selama jangka waktu
tertentu proses penyidikan/penuntutannya belum selesai, jadi aturan ini adalah aturan
anomali yang sama sekali tidak mendukung pelaksanaan tugas penegakan hukum
KPK.

10. Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN


dipangkas
o Pelaporan LHKPN dilakukan di masing-masing instansi, sehingga hal ini akan
mempersulit melihat data kepatuhan pelaporan dan kewajaran kekayaan
Penyelenggara Negara;
o Posisi KPK direduksi hanya melakukan kooordinasi dan supervisi;
o Selama ini KPK telah membangun sistem dan KPK juga menemukan sejumlah
ketidakpatuhan pelaporan LHKPN di sejumlah institusi;

C. UU KPK

UU KPK yang disahkan DPR pada 17 September 2019 itu bakal menggantikan UU KPK Nomor 30
Tahun 2002 tentang KPK. Berikut adalah perubahan yang bakal terjadi pada KPK bila UU baru itu
berlaku.

KPK jadi lembaga rumpun eksekutif

Hal ini diatur dalam Pasal 3. Dalam versi lama, KPK disebut sebagai 'lembaga negara' saja. Namun
dalam UU KPK yang baru, KPK disebut sebagai 'lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif'.

Pasal 3:

Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh
kekuasaan manapun.

Pegawai KPK nantinya juga adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) alias PNS. Mereka harus taat para
peraturan perundang-undangan mengenai ASN. Sebelumnya, pegawai KPK bukanlah PNS melainkan
diangkat karena keahliannya.

Pasal 1 ayat 6:

Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan aparatur sipil negara.

Anda mungkin juga menyukai