Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Sampai saat ini, tuberkulosis masih menjadi
penyakit infeksi menular yang paling berbahaya di dunia. World Health
Organization (WHO) melaporkan bahwa sebanyak 1,5 juta orang meninggal
karena TB (1.1 juta dengan HIV negatif dan 0.4 juta dengan HIV positif)
dengan rincian 89.000 laki-laki, 480.000 wanita dan 140.000 anak-anak. Pada
tahun 2014, kasus TB diperkirakan terjadi pada 9,6 juta orang dan 12%
diantaranya adalah HIV-positif (WHO, 2015).

Berdasarkan data dari WHO Global TB Report 2018, diperkirakan insiden


TBC di Indonesia mencapai 842 ribu kasus dengan angka mortalitas 107 ribu
kasus. Jumlah ini membuat Indonesia berada di urutan ketiga tertinggi untuk
kasus TBC setelah India dan China. Kondisi ini tentunya terbilang
memprihatinkan karena berdampak besar terhadap sosial dan keuangan pasien,
keluarga, serta masyarakat. (WHO, 2018).

Saat ini penyakit TBC di Jawa Timur sendiri menempati urutan kedua di
Indonesia. Pada tahun 2018, angka penemuan dan pengobatan kasus TBC
mencapai angka 57.442 kasus, angka tersebut naik dibandingkan dengan tahun
2017 yaitu 55.865 (http://www.harianbhirawa.co.id/provinsi-jatim-terbanyak-
kedua-penderita-tbc-se-indonesia/).

Di tahun 2019 ditemukan penderita TBC di wilayah kerja RSU Karsa


Husada Batu sejumlah 189 penderita terdiagnosa TB, 84 penderita dengan
hasil BTA (+) dan 135 penderita dengan BTA(-) yang berada instalasi rawat
jalan, sedangkan di instalasi rawat inap ditemukan 24 penderita TB Paru
dengan hasil BTA (+) dan 11 penderita dengan diagnose TB lainnya. Dari
hasil data pasien TBC yang ditemukan di wilayah kerja RSU Karsa Husada
Batu ditemukan pasien-pasien yang putus pengobatan, ditemukan data dalam
kurun waktu satu tahun ditemukan 27 pasien yang putus pengobatan dan
sampai MRS dirumah sakit.

Untuk dapat menanggulangi permasalahan TB paru di Indonesia, strategi


Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy (DOTS) yang
direkomendasikan oleh WHO merupakan pendekatan yang paling tepat
dengan tujuan menjamin kedisiplinan, keteraturan pengobatan sesuai jadwal
untuk menghindari kelalaian penderita dalam putus berobat. (World Health
Organization. HIV and TB. Tersedia dari:
http://www.who.int/hiv/topies/tb/en/). Meskipun strategi ini sangat efektif
untuk pengobatan TBC namun kenyataan dilapangan sampai saat ini masih
ditemukannya penderita TB yang putus berobat.

Salah satu faktor keberhasilan pengobatan TB itu sendiri berada pada


peranan PMO yang diambil dari orang terdekat penderita atau keluarga.
(Departemen Kesehatan RI. Profil Indonesia Sehat. Jakarta: Depkes RI; 2018).
Pengobatan penderita TB paru membutuhkan waktu yang lama, sehingga
dapat menyebabkan pengobatan penderita TB paru sangat rawan mengalami
drop out (DO). Banyak faktor yang memengaruhi kejadian drop out
pengobatan penderita TB paru, antara lain termasuk usia, sosial ekonomi,
tidak teraturnya minum obat, penyakit kronik yang menyertai pemakaian obat
anti tuberkulosis sebelumnya, serta resistensi obat dan efek samping obat.
(Mulyadi. Gambaran kejadian drop out Sehat. Jakarta: Depkes RI, 2008.TB
paru di wilayah kerja Puskesmas Sukamerang Kabupaten Garut (skripsi).
Tasikmalaya: STIKes Tasikmalaya: 2010).

Menurut Depkes RI (2002), salah satu komponen DOTS (Directly


Observed Treatment Short cousse) adalah pengobatan dengan paduan OAT
jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh PMO. Tugas seorang PMO
bukanlah untuk menggantikan kewajiban pasien mengambil obat dari unit
pelayanan kesehatan, tetapi tugas PMO yaitu: Mengawasi pasien TB agar
menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan
kepada pasien agar mau berobat teratur dan mengingatkan pasien untuk
periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.
Dari hasil penelitian sebelumnya ditemukan bahwa faktor yang
berhubungan dengan putus berobat pada penderita TB Paru di wilayah kerja
Puskesmas Harapan Raya adalah umur, tidak ada PMO, dan kunjungan
keyankes. Faktor yang tidak berhubungan dengan putus berobat pada
penderita TB Paru di wilayah Kerja Puskesmas Harapan raya adalah jenis
kelamin.
Penghentian pengobatan sebelum waktunya (drop out) di Indonesia
merupakan faktor terbesar dalam kegagalan pengobatan penderita TBC yang
besarnya 50% . Dikatakan Drop out jika pasien yang telah berobat dan putus
berobat selama 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. Masalah yang di
timbulkan oleh drop out tuberkulosis adalah resistensi obat yaitu kemunculan
strain resisten obat selama kemoterapi, dan penderita tersebut merupakan
sumber infeksi untuk individu yang tidak terinfeksi. Angka drop out tidak
boleh lebih dari 10%, karena akan menghasilkan proporsi kasus retreatment
yang tinggi dimasa yang akan datang yang disebabkan karena ketidakefektifan
dari pengendalian tuberkulosis. Menurunnya angka drop out karena
peningkatan kualitas penanggulangan TB akan menurunkan proporsi kasus
pengobatan ulang antara 10-20 % dalam beberapa tahun (Depkes RI, 2008).
Putus berobat bagi penderita TB adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan
berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai (Depkes RI,
2011).

Dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh para peneliti ditemukan


beberapa faktor yang bisa menunjang keberhasilan pengobatan penderita TB
paru, faktor-faktor itu meliputi medis dan non-medis. Faktor medis meliputi:
keluhan pertama sebelum pengobatan, penyakit penyerta, efek samping dan
retensi obat, sedangkan faktor nonmedis meliputi: umur, jenis pekerjaan,
Komunikasi Informasi Edukasi (KIE), sikap petugas kesehatan, kemudahan
jangkauan berobat, PMO dan keteraturan minum obat. (Fahruda A, Supardi S,
Buiningsih N, Pemberian makanan tambahan sebagai upaya peningkatan
keberhasilan pengobatan penderta TB Paru di Kotamadia Banjarmasin
Propinsi Kalimantan Selatan, Berita Kedokteran Masyarakat, 2002;
XVIII(3):123-9.)
Dari hasil pengkajian yang telah dilakukan pada pasien-pasien yang MRS
di ruangan rawat inap didapatkan beberapa faktor yang mempengaruhi pasien-
pasien tersebut sampai drop out obat, salah satu faktor yang paling sering
menyebabkan pasien putus pengobatan adalah efek samping dari obat anti
TBC itu sendiri dimana keluhan yang di rasakan pasien diantaranya adalah
gangguan gastrointestinal (mual, dan muntah) yang berakibat pasien-pasien
tersebut tidak nafsu makan yang kemudian memberikan efek jera pada
penderita TB Paru tersebut untuk minum obat, keluhan seperti ini memanglah
efek normal dari OAT itu sendiri akan tetapi karena masih rendahnya
pemahaman dari pasien terkait dari efek samping obat OAT hal ini lah yang
memicu pasien berhenti pengobatan dengan sendirinya. Faktor lainnya yaitu
kurangnya dukungan dan pengawasan keluarga pada para penderita TB Paru
yang menjalani pengobatan.

Berdasarka data tersebut diatas jelas bahwa yang menjadi masalah dalam
program pemberantasan penyakit TB Paru adalah masih adanya kejadian drop
out dari pengobatan pada penderita TB Paru yang dikarenakan dari masih
rendahnya pemahaman penderita terkait dengan pengobatan TB itu sendiri.
Dengan mempertimbangkan segala keterbatasan yang ada, maka penulis
bermaksud mengadakan penelitian untuk mengurangi kejadian drop out
pengobatan pada penderita TB Paru yang MRS di RSU Karsa Husada Batu
dengan meningkatkan edukasi kepasien dan keluarga sebagai pengawas
minum obat dirumah, serta edukasi terkait bahayanya penyakit TBC itu
sendiri.

1.2 Perumusan Masalah


Karena adanya penemuan kasus drop out obat pada penderita TB Paru
yang berada dirawat inap RSU Karsa Husada Batu. Berdasarkan hal tersebut,
maka dapat dirumuskan permasalahan : pentingnya meningkatnya edukasi
penyakit TBC ke pasien dan keluarga sebagai pengawas minum obat dirumah
terkait bahaya dan pentingnya minum obat sampai tuntas di rawat inap RSU
Karsa Husada Batu ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Diketahuinya faktor- faktor yang berhubungan dengan drop-out terapi
penderita TB paru yang MRS di rawat inap RSU Karsa Husada Batu.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Diketahuinya hubungan tingkat pemahaman dengan drop-out terapi
penderita TB di rawat inap RSU Karsa Husada Batu.
1.3.2.2 Diketahuinya hubungan pengawasan minum obat oleh keluarga dengan
drop-out terapi penderita TB di rawat inap RSU Karsa Husada Batu.
1.4 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya, terutama yang tertarik untuk
meneliti tentang Tuberkulosis.
b. Manfaat Praktisi
Sebagai salah satu bahan masukan bagi RS dan PKM setempat dalam
mengatasi masalah yang menyebabkan drop-out terapi TB, sehingga
tingkat keberhasilan dapat ditingkatkan.
1.5 Keaslian Penelitian

NO Tahun Nama Metode dan Hasil Perbedaan


Penilis/Judul Variabel dengan
penelitian ini
1 2016 Khamidah, Studi kasus Faktor yang Pada penelitian
Herlina kontrol (case berhubungan yang diakukan
Susmaneli, control study), dengan di di rawat inap
Faktor- sampel kontrol putus RSU Karsa
Faktor yang 60 orang yang berobat pada Husada Batu
Berhubungan menjalani penderita penyebab drop
dengan Putus pengobatan TB TB Paru di out obat
Berobat Pada di wilayah wilayah dikarenakan
Penderita TB kerja kerja masih
Paru BTA Puskesma Puskesmas rendahnya
Positif (+ )di Harapan Raya. Harapan tingkat
Wilayah Variabel : 4 Raya adalah pengetahuan
Kerja variabel yang umur, tidak penderita terkait
Puskesmas diteliti yaitu ada pengobatan TB
Harapan umur, jenis PMO, dan dan peran
Raya kelamin, tidak kunjungan penting dari
ada PMO keyankes. pengawas
dan kunjungan Faktor yang minum obat
kepelayanan tidak demi untuk
kesehatan. berhubungan keberhasilan
dengan pengobatan TB
putus itu sendiri.
berobat pada
penderita
TB Paru di
wilayah
Kerja
Puskesmas
Harapan
raya adalah
jenis
kelamin

1.6

Anda mungkin juga menyukai