Anda di halaman 1dari 4

Kepergian Ayahku Jadi Titik Balik Hidupku

Hidup memang tentang pilihan. Setiap lelaki pun berhak menentukan dan mengambil
pilihannya sendiri dalam hidup. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup
justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.

***

Ya Allah, aku siap bahagia!

Aku tidak ingin berkata bahwa hidupku benar-benar berat karena aku yakin setiap insan
mempunyai ujian yang berbeda. Tingkat ujian yang diberikan oleh Tuhan kepada makhluk-
Nya disesuaikan dengan kemampuan mereka masing-masing. Sehingga, dari teori itulah aku
berusaha untuk tidak meremehkan kesusahan yang dihadapi oleh orang lain dan tentu saja
aku berharap, orang di sekitarku tidak memperkeruh suasana dengan menambah beban
pikiranku dengan berbicara hal yang menyakitkan dengan kejadian yang aku alami saat ini. 

Jika berbicara tentang sebuah pilihan berarti akan ada beberapa pertimbangan sebelum kita
menentukan pilihan yang kita ambil. Permasalahan dari pilihan yang aku ambil sangatlah
sederhana. 

Menjadi anak lelaki sulung dengan dua adik sungguh membuatku selalu memikirkan tentang
kesuksesan, kemapanan, dan kebahagiaan. Apalagi sejak Ayah pergi untuk selama-lamanya
pada tahun 2018 lalu. Membuatku tidak henti-hentinya memikirkan masa depan, terkadang
hal itu membuatku menangis di malam hari ketika beranjak tidur. Aku merasa tidak siap dan
sangat takut, entah apa yang membuatku takut.

Aku kuliah di perguruan tinggi swasta Institut Agama Islam Cipasung singaparna sedangkan
keluargaku berada di Salawu. Terkejut ketika aku menerima telepon dari Ayah dengan suara
terbata memintaku pulang ke kampung. Ayah dan aku sangat jarang sekali mempunyai
kecocokan, kami selalu bertengkar dan meributkan suatu hal walaupun itu sepele. Perginya
aku ke singaparna untuk kuliah merupakan kesepakatan keluarga yang diambil diam-diam
supaya percekcokan di antara kami berkurang. Namun ternyata via telepon pun kami masih
sering ribut bahkan hingga merembet ke keluarga besar.

Untuk itu ayah selalu melarangku pulang ke rumah meskipun itu libur lebaran, sebagai
gantinya aku diharuskan ke rumah nenek. Aku adalah sosok yang keras kepala, aku
menabung dari sisa uang bulanan untuk mempunyai ongkos pulang walaupun aku selalu tahu
apa yang akan terjadi, yaitu sebuah keributan besar di antara kami.

Maka, aku selalu ingat saat ketika ayah memintaku pulang sebelum kepergiannya untuk
pertama dan terakhir kalinya. Tanpa pikir panjang, aku segera menyelesaikan urusan
akademikku dan memohon kepada beberapa dosen untuk memberikan aku tugas UAS take
home. Walaupun beberapa dosen tidak memberikannya, aku sangat tidak peduli termasuk
dengan IPK nanti.

Aku sampai di rumah pada malam hari, berencana pergi ke rumah sakit keesokan harinya.
Besoknya, ayah sudah tidak dapat lagi melihatku, untuk mengenaliku pun butuh bantuan dari
ibuku. Dikarenakan ayah sudah tidak bisa tertolong karena memang sudah jelas terlihat
bahwa ayah mendekati ajal, akhirnya setelah hampir sebulan di RS ayah dibawa pulang ke
rumah. 

Beberapa hari kemudian, ayah meninggal. Suatu hal yang sudah pasti terjadi dalam waktu
dekat dan harusnya aku bisa tegar. Tapi gagal, aku justru histeris pada waktu itu. Meskipun
aku adalah anak yang paling sering berselisih paham dengan ayah bagaimana pun aku pernah
menjadi putra kecilnya yang pernah ia sayang. Sama seperti keinginan anak lelaki kecil
lainnya yang selalu menjawab ingin mainan dengan ayahnya di waktu TK dan pernah
menjadikan ayah sebagai seorang raja bagiku.

Akhirnya Ibu menjadi tulang punggung keluarga sendirian, menyuruhku kembali ke


singaparna seusai liburan untuk tetap fokus pada kuliahku. Alhamdulillah aku lulus meskipun
lebih lambat dari target, dengan dana minim dari hasil berjualan dan uang pensiun yang tidak
seberapa ibu cukup pandai mengelola keuangan. Seringnya aku membuat ibu khawatir,
menjadikanku pulang ke singaprna untuk mencari pekerjaan berharap dari gajiku kelak aku
bisa membantu ibu baik secara finansial maupun pekerjaan rumah. Selain itu, ibu juga
berharap bisa berkumpul dengan ketiga anaknya.
Namun, masalah baru muncul! Hingga saat ini aku belum mendapatkan pekerjaan. Aku sudah
berusaha bahkan bisa dibilang di luar batas kemampuanku. Jika aku sudah pasti mendapatkan
pekerjaan via orang dalam, entah bagaimana caranya pekerjaan itu hilang begitu saja. Aku
sampai mual mendengar nyinyiran orang-orang mengenai aku. Rasanya ingin saja aku
berteriak bahwa aku tidak pilih-pilih pekerjaan, gaji berapa pun Insya Allah aku terima.
Beberapa orang menyuruhku untuk merantau keluar kota meskipun aku sudah berkali-kali
bilang bahwa aku ingin menemani ibu dan mewujudkan keinginan ibu untuk berkumpul
bersama ketiga anaknya.

Setahun lebih aku menganggur dengan berusaha membawa amplop kesana-kemari, interview
di beberapa tempat yang hingga saat ini tak kunjung mendapat panggilan, hingga uang habis
untuk remeh-temeh seperti cetak foto, fotocopy, nge-print CV, dan beli amplop. Tidak jarang
dalam diam dan sepi aku menangis dan iri melihat teman-temanku yang mempunyai uang
sendiri dan justru membantu orang tua mereka, sedangkan aku masih memeras keringat
ibuku. 

Hingga pada suatu hari, tanpa melamar pun aku mendapatkan pekerjaan. Pemilik perusahaan
yang meminta aku berkerja di sana dan ia mendapatkan nomor ponselku dari temenku yang
melamar di perusahaannya.

Sepengetahuanku, banyak yang tidak betah bekerja di sana karena bos yang bertindak
semena-mena. Pada saat interview semua hal itu tidak nampak. Pemilik perusahaan itu
seorang perempuan tua dengan senyum ramah dan sangat komunikatif. Setelah berdiskusi
dengan temanku akhirnya aku menerima tawaran bekerja di situ meskipun ada beberapa
kejanggalan yang aku rasakan, salah satunya adalah aku diterima dengan mudah sedangkan
temanku masih harus menunggu konfirmasi selanjutnya dengan alasan dia tidak pernah
menerima karyawan secara bersamaan.

Pada hari aku bekerja, semuanya terungkap! Senyum manis dan perkataan yang bos tersebut
bicarakan palsu. Dia sangat semena-mena pada karyawan hingga menyebut mereka
“kacung”, aku melamar dan diterima sebagai admin bahkan dia berkata bahwa anaknya yang
akan mengajari aku softwarekomputer namun beberapa saat aku menyadari bahwa di ruangan
itu sama sekali tidak ada komputer dan hanya ada sebuah printer, aku bekerja tidak sesuai
dengan perjanjian bahkan dia seringkali membentak dan memaki diriku meskipun aku tidak
melakukan kesalahan. Aku selalu berpikir untuk bertahan dan bagaimana caranya
menghindari bentakan, hingga pada suatu titik dia memperlakukan diriku di luar batas dan
akhirnya aku resign dari perusahaan tersebut. 

Aku pulang dengan tangisan karena merasa harga diriku terkoyak, meminta maaf pada ibu
karena tidak jadi membuat dia menikmati gajiku. Aku merasa tertekan dan berpikir bahwa
dunia ini tidak adil. Kenapa Tuhan memberikan aku hukuman seperti ini, apa salahku?
Mengapa ini harus terjadi padaku? Apalagi yang harus aku lakukan, Tuhan?

Selama seminggu mengalami depresi yang lumayan berat, akhirnya aku menyadari bahwa
Tuhan pasti akan memberikan rezeki di waktu yang tepat. Aku harus bersyukur karena
memiliki seorang ibu yang meskipun dalam susahnya tidak menuntutku, selalu membelaku
jika ada tetangga yang nyinyir kepadaku. Aku seharusnya bersyukur mempunyai adik yang
selalu membuatku tertawa, meredam segala tangisanku dan bersyukur jika senyumku mulai
merekah. Aku patutnya bersyukur mempunyai sahabat yang menasihati dan mengingatkan
bahwa ujian ini pasti terlewati, Tuhan selalu punya rencana indahnya. Rezeki orang diberikan
diwaktu yang berbeda, jangan pantang menyerah semua ada waktunya.

Bersyukurlah dengan segala hal yang kau miliki saat ini, bisa jadi ini adalah rezeki yang kita
miliki dan belum tentu bertahan esok. Meskipun selalu bertengkar, setidaknya aku pernah
merasakan kasih sayang seorang ayah. Setidaknya untuk saat ini, keluarga dan sahabatku
adalah rezekiku yang sangat membahagiakan.

Hingga saat ini, aku berusaha mempertahankan pilihanku untuk mencari penghasilan di kota
ini, meskipun sulit. Demi ibuku yang ingin kami berkumpul di rumah yang penuh kenangan
bersama ayah. Berharap kami bisa hidup berbahagia dan  menjadi keluarga besar di kota ini.
Terima kasih Tuhan, hidupku asyik dan aku siap menerima reward atas ujianku selama ini!

Anda mungkin juga menyukai