Anda di halaman 1dari 5

CHOIRUN NISA

203190132
PGMI D
BERDUSTA PADA EMPAT MATA
Dibalik bunga-bunga harum nan indah yang menghiasi pekarangan rumah,memaksa
benakku memutar segalanya. Begitupun dengan sebuah tangkai kamboja yang mengelurakan
aroma khas membuatku menembus ruagn dan waktu. Aku terduduk diam merangkai kata
dalam goresan tinta , sedikit terlintas dalam fikiranku tentang seseorang yang pernah hadir
dalam pergolakan hati ini. Namun saat itu juga aku tersadar bahwa cintanya tak kan pernah
untukku. Meski ia selalu bilang tak ada yang lain, namun selalu ada kehangatan yang berbeda
saat mata mereka bertemu. Kehangatan yang coba ku cari saat ku tatap juah pada kedua retina
matamu. Hingga detik ini, tak pernah ku temukan. Dan kuputuskan untuk akhiri semuanya.
Maaf, jika melukai semua janji kita atau mungkin hatimu juga. Kupikir tak semudah itu
terlupakan semua di benaknya. Namun yang kulihat aku hanya angin yang berlalu dan tanpa
jejak yang tersisa di hidupmu.
Aku terhenti menggoreskan tinta pena, saat handphone di mejaku bergetar. Aku terpaku
saat ku menatap nama yang tertera disana. Sakit itu mulai nampak kurasakan lagi, kupikir
setelah sekian lama kami tak pernah bertemu, semuanya akan berlalu dengan mudah. Namun
sepertinya akan kembali sulit bagiku mengubris semua rasa yang ada. Aku masih saja terdiam
hingga handphoneku bergetar untuk kedua kalinya. Saat itu pikiranku melayang jauh,
menyusuri waktu itu.
Hariku terasa sangat menyenangkan kali ini, meski dari kemarin aku tak tidur karena
sibuk dengan pentas seni. Tak kurasakan kantuk sedikitpun saat itu, mungkin karena aku terlalu
bahagia saat itu. Ya, siapa yang tak bahagia bila orang yang kau cintai berada di sampingmu
saat itu, meski kau terlalu sibuk hanya untuk sekedar mengobrol dengannya.
Sejak saat itu, kulalui hari-hari indah bersamanya, walau terkadang aku terlalu tak peduli
dengan kehadirannya, tapi dengan sabar ia berada di sampingku. Sepuluh bulan sudah kulalui
hari-hari indahku bersamanya. Jujur ketika itu aku terlalu sibuk dengan kegiatanku sendiri,
tanpa pernah kusadari segalanya tak seindah dulu.
Tepat ketika hari jadi kami yang ke sepuluh bulan, hari yang tak akan kulupa sedikitpun
detailnya. Mendung dan pelangi menari diambang angkasa, akhirnya Hujan rintik-rintik
membasahi segalanya di sekitarku, aku berlari untuk menemuinya, karena takut ia terlalu lama
menunggu. Ku susuri setiap jejak langkah di jalan setapak, kakiku terlalu berat melangkah lagi
hingga tak pernah sekalipun aku sampai kesana.
Di antara hujan yang semakin deras, kulihat segalanya terlalu indah untuk mengganggu
kebersamaannya. Sejak saat itu kusadari semua, tatapan yang tak pernah bisa aku temukan saat
kau menatapku sepanjang hari-hari kita. Ku balikkan badan dan habiskan hari itu sendirian
dengan tatapan kosong di sudut jendela kamar. Dan sejak hari itu, aku benci hari saat bulir-
bulir air turun membahasi bumi.
Tanpa sadar mataku terasa basah ketika handphone yang sudah ku genggam kembali
bergetar. Ku tarik napas dalam-dalam dan ku tekan tombol angkat dengan sangat ragu-ragu,
lalu ku tempelkan di telinga.
“ha…halo” kataku gugup
“hai, lama aku tak mendengar lagi suaramu, bagaimana kabarnya?” katanya.
Aku tersentak mendengar kalimat itu, namun ku berusaha terdengar baik-baik saja di
telinganya.
“a…aku baik-baik saja, kamu?” kataku
“bagaimana menurutmu, apakah terdengar tidak baik?” katanya tertawa ringan
“sepertinya baik, semoga?” kataku, berusaha rileks. Ia hanya tertawa ringan mendengar
jawabanku.
“apakah aku mengganggumu?” tanyanya
“tidak” jawabku singkat
“emmm, apakah kamu ada waktu hari ini?” tanyanya lagi
“sepertinya tidak, ada apa?” tanyaku
“aku ingin bertemu denganmu, sudah lama kita tak pernah bertemu kan?” katanya. Hatiku
langsung semakin kacau saat mendengarnya.
“hei, apakah kau mendengarku?” tanyanya
“i…iya” kataku gugup
“iya apa, jadi ketemu maksudmu? Kalau gitu aku tunggu jam lima, di tempat biasa kita yah”
katanya lalu memutuskan teleponnya.
“Ada apa ini, apa yang harus aku lakukan” tanyaku pada diriku sendiri. Aku sebenarnya tak
ingin lagi melihatnya, tapi kenapa dia harus datang lagi, belum cukupkah semua luka yang ada.
Aku masih saja termenung di sudut jendela kamar, hujan rintik-rintik mulai turun membasahi
bumi. Semuanya seakan kembali terulang lagi, waktu terus berjalan tanpa kusadari sudah
mendekati jam lima sore, aku tersadar saat sms masuk ke handphoneku. “hemmm, dia lagi”
aku bergumam, lalu kubuka smsnya.
“Ku tunggu di tempat biasa. Jangan sampai terlambat yah”
Ku taruh handphoneku di atas buku harianku, lalu bergegas menyiapkan diri untuk
menemuinya. Aku tak tahu kenapa aku menemuinya, tapi tubuh ini seakan menolak semua rasa
di hati dan menemuinya. Tanpa sadar aku sudah berada di tempat itu, aku mencari-cari
sosoknya tapi tak kutemukan. “apa dia sudah berubah, tanpa bisa kukenali?” pikirku. Lalu aku
tersentak saat seseorang menepuk bahuku.
“maaf yah, aku sedikit terlambat” katanya tersenyum, “ayo” ajaknya sambil memegang
tanganku. Aku hanya memandangi tangan kami yang berpegangan dan mengikuti langkah
kakinya. Kami langsung duduk di tempat yang kosong dan aku masih diam tanpa kata.
Tak lama waiters mendatangi meja kami dan ia langsung memesan minuman tanpa
menanyakannya padaku.

“hot chocolate dan capucinno” katanya pada waiters, Ia masih ingat minuman favoritku ketika
hujan, aku makin tak bisa berkata apa-apa saat itu. “kau masih menyukainya kan?”.
“i…iya” kataku masih gugup
Waiters itu langsung meninggalkan tempat kami, tak lama kemudian pesanan kami
datang. Aku masih terdiam memandangi kepulan asap hot chocolate di depanku. Aku
langsung meminumnya secara perlahan dan hati-hati. Ku alihkan pandanganku ke jendela di
samping kami agar tak terlihat gugup di depannya dan merilekskan diriku sendiri.
“ternyata kamu masih tidak berubah yah, selalu menmandangi rintik-rintik hujan, sampai-
sampai aku dicuekin” katanya memecah kesunyian. Aku hanya tesenyum menanggapi
ucapannya. Tanpa sadar aku pun mulai kehilangan kegugupanku, dan kami mulai berbicara
seperti dulu lagi, ya, seperti saat kami masih bersama. Sejak saat itu kami lebih sering
bertemu dan menghabiskan waktu bersama, hingga membuatku lupa dengan luka yang ada.
“apakah semua ini hanya mimpi? kalau memang begitu apakah aku harus terbangun atau
tetap terlelap?” pikirku. Handphoneku berdering saat memikirkan semuanya.
“halo” kataku
“keluarlah, aku ada di depan rumahmu” katanya
“apa? Mau apa kam…” kataku
“cepatlah, aku tak ingin di luar sendirian” katanya menyelaku
Aku langsung menemuinya di depan rumahku. “mau apa dia ke rumah?” tanyaku sendiri.
Saatku membuka pintu, aku langsung berlari menghampirinya.
“kenapa gak di dalam mobil aja nunggunya? Kan gak kehujanan kaya gini.” Kataku. Ia hanya
tersenyum menanggapi ucapanku.
Aku langsung membuatkannya teh hangat agar ia tidak kedinginan.
“ada apa ini?” tanyaku
Ia masih menyeruput teh hangat saatku menanyakannya.
“emm, tehnya enak sekali” katanya mengalihkan pembicaraan
Aku hanya memasang muka sedikit cemberut saat mendengarnya, ia hanya tertawa kecil
melihat ekspresiku.
“sekarang kamu cepetan ganti baju, soalnya kita mau pergi, menikmati aroma tahun baru, aku
tahu kamu suka dengan keindahan kembang api dimalam hari kan ” katanya
“pergi? Pergi kemana? Lagi pula hujan bulan desember ini, pasti tak begitu menyenangkan
untuk menutup tahun ” kataku
“udah, gak usah banyak nanya, cepat sana ganti baju” katanya
aku masih terdiam dalam kebingungan, sementara ia memaksaku. Aku tak tahu kami
akan pergi kemana, semuanya serba mendadak dalam benakku. Di dalam mobil kami saling
membisu satu sama lainnya. Aku hanya menatap pada kunang-kunang jalan raya yang saling
bertebaran . Sebenranya Aku ingin bertanya mau kemana kita, tapi enggan ku lakukan karena
dia sedang sibuk dengan seseorang yang meneleponnya, hingga ia memarkirkan mobilnya.
Memang, jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku namun aku tak tahu tempat apa ini. Kami
langsung turun dari mobil, lalu ia menarik tanganku untuk mengikuti langkahnya.

“sebenarnya kita mau kemana sih?” tanyaku penasaran


“liat aja nanti” katanya sambil tersenyum.
Aku terus mengikuti langkahnya hingga kami berada di tepi danau. Aku terpana melihat
pemandangan disana, sungguh indah di tengah gulita, dan rintik hujan. Tiba-tiba ia menarikku
ke jembatan yang membelah danau itu, aku sedikit berlari mengikutinya.

“nah, disini pemandangannya lebih oke” katanya padaku


“yap” kataku bersemangat, “oya, sebenarnya ada apa? Kenapa kamu mengajakku kesini?”
tanyaku
“se… sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan” katanya gugup
“tentang apa? Katakan saja” kataku
“apakah kamu merasa semuanya seperti dulu?” tanyanya padaku
“maksudmu?” kataku yang masih asyik memandangi senja yang memantul di riak-riak air
danau.
“saat kita bersama dulu” katanya padaku.
aku langsung mengalihkan pandangan padanya, yang saat itu juga dia memandangku. Aku
kembali memandangi danau dan berkata “kupikir”.
Luka itu kembali terasa dan bayangan hari itu terlintas kembali dlam benakku, sementara ia
terus memandangku dan menarik tanganku.
“Nayla, setelah cukup lama kita lalui lagi waktu bersama, maukah kamu kita bersama lagi?
Seperti dulu” katanya padaku.
Mendengar ucapannya, membuat hatiku berdesir namun terlalu sakit dan terdiam.
“Nayla…?” tanyanya.
Aku langsung menarik tanganku dalam genggamannya dan memandangi danau di bawah
kami.
“apakah ini terlalu cepat?” tanyanya
“ti… tidak Ovan” kataku.
Untuk pertama kalinnya aku kembali memanggil namanya lagi. Harus kuputuskan sekarang,
harus kuungkap sekarang.
“lalu?” tanyanya
Ku tarik napas dalam-dalam untuk mengungkapkan segalanya dan kupegang erat kayu
jembatan yang kami pijak.
“sejak hari tak pernah bisa kulepas semua tentang kita, sampai kamu datang kembali di
hidupku dan saat ini kamu bilang ingin bersama kembali. Semua terasa seperti mimpi Ovan,
sudah lama aku menginginkannya, dan tanpa disangka semuanya benar terjadi. Tapi, itu dulu
, sekarang aku sudah tak menginginkannya lagi karena sudah terlalu lama ku menunggu”
kataku sambil menatapnya. “Maaf, harus kuakhiri segalanya, terlalu banyak luka untuk
memulainya lagi. meski ku akhirnya menemukan tatapan yang selama ini aku cari” Batinku.
Hari itu senja mulai ditelan malam gelap yang membias di riak-riak air danau, rintik hujan pun
semakin terasa di hati kami yang membeku.

Anda mungkin juga menyukai