Pengharapan
Pengharapan
PENGHARAPAN
Di Susun Oleh :
Kesia B. Kakalang
Kelas : VIII D SMP N 2 Langowan
GAMBAR TENTANG PENGHARAPAN
Kisah Nyata Tentang Pengharapan :
ARTI SEBUAH PENGHARAPAN
Semilir angin bertiup. Aku mencoba untuk tetap
terlihat tenang. Koridor Rumah Sakit PGI Cikini
murung dan kaku. Sekali aku kaget ketika
seorang berteriak keras. Satu kali lagi aku
merinding karena seorang menangis tersedu-
sedu sambil memegang ponsel kuat-kuat. Kali
ini aku benar-benar bergidik ngeri.
"Dia anak ke-2 dari 6 bersaudara." Ibu Sitorus berupaya untuk memulai pembicaraan pastoral dengan
aku. Ini menjadi sedikit berbeda karena tidak dilakukan di kantor gereja sebagaimana biasanya. Koridor
rumah sakit yang lengang menjadi sebuah pilihan untuk duduk dan bercerita dengan seorang ibu yang
tertatih dalam tuntutan memikul salib. Mengikut Kristus dalam perjalanan panjang padang gurun yang
gersang. Pembicaraan pastoral yang menjadi sangat berbeda karena disampaikan oleh seorang ibu yang
melahirkan anak laki-laki dengan segala cinta dan kasih sayang. Seorang ibu bagi anak laki-laki yang
tergeletak tak berdaya dalam gerogotan penyakit yang silih berganti.
"Awalnya ibu tidak menyangka jadi serumit ini." Raut wajah perempuan itu terlihat lelah, bukan hanya
karena semalaman dia tidak bisa tidur mengingat darah kental yang kehitam-hitaman dimuntahkan anak
yang paling dikasihinya. Lebih dari itu, raut wajahnya perempuan itu menggambarkan penderitaan selama
bertahun-tahun merawat anak laki-laki yang terkasih.
"Waktu itu, keluarga kita terpaksa harus pindah-pindah karena tugas bapak." Ibu Sitorus mengatur posisi
duduknya yang sejak tadi kaku dan tegang.
"Bapak bekerja sebagai hakim dan sering berpindah-pindah. Tapi karena anak-anak sudah kuliah, Efendy
akhirnya kuliah di UNILA Lampung. Setelah tamat ambil S2 di UI. Dalam waktu yang singkat, dia dapat
panggilan kerja di sebuah instansi pemerintah. Tapi karena lebih suka usaha sendiri, Efendi lebih memilih
mundur dan membuka kantor sendiri. Dia memulai kantor Notaris dan PPAT di Jawa Barat tepatnya Kota
Padalarang." Ibu Sitorus berdiam sejenak.
"Ketika kantor di Padalarang siap operasional, tiba-tiba Efendy jatuh sakit. Ibu kira mungkin karena dia
kecapaian jadi ibu minta pulang ke Jakarta sekalian medical chek up. Tapi sangat aneh, ketka dicek oleh
dokter tensi darah Efendy sangat tinggi dan sangat berisiko. Kami semua kalang kabut. Dokter
menganjurkan untuk tes laboratorium. Diagnosis sementara dokter, Efendy mengalami gangguan ginjal."
Aku melihat mendung bergayut di raut muka Ibu Sitorus.
"Berita buruk itupun akhirnya datang, ginjal Efendy tinggal 9%. Ibu mulanya berpikir yang rusak 9%
tetapi ternyata yang tertinggal justru hanya 9%. Ibu sungguh terpukul dengan angka-angka yang
membingungkan itu. Menurut dokter, satu-satunya cara adalah transplantasi ginjal. Seluruh anggota
keluarga berunding dan diputuskan untuk segera dibawa ke Mount Elizabeth Hospital di Singapore. Kami
tidak mau ambil risiko. Setibanya di Singapura, dokter di sana geleng-geleng kepala, mereka berkata
mengapa selalu setelah parah baru dibawa ke sini? Ibu tidak mau pusingkan itu, yang penting anakku
sembuh." Ibu Sitorus mengusap wajahnya yang kuyu. Garis-garis wajahnya masih terlihat cantik.
Perempuan Batak kelahiran Pematang Siantar ini memang masih tetap terlihat cantik di usianya yang
menjelang senja.
"Singkat cerita, seluruh keluarga berunding, adik perempuannya yang sekarang tinggal di Lampung
bersedia mendonorkan ginjalnya. Puji Tuhan, setelah melalui beberapa tes medis yang ketat, semua
syarat-syarat medis untuk transplantasi memenuhi syarat. Hati Ibu benar-benar terguncang dan pilu ketika
melihat kedua kakak beradik itu didorong ke ruang bedah. Ibu hanya berdoa dan menangis. Tuhan
tolonglah kami, hanya itu yang dapat ibu katakan."
"Puji Tuhan, operasi berjalan dengan baik dan ketakutan yang sempat dipikirkan keluarga ternyata tidak
terjadi. Adik perempuan Efendy ternyata tetap dapat melahirkan dan Efendy dapat hidup dengan normal
dengan ginjal dari adiknya sendiri. Ibu berpikir Tuhan sudah membawa keluarga ini keluar dan melalui
badai yang berat. Walau semua harta tersita dan terkuras untuk membayar semua biaya rumah sakit,
akomodasi, dan transportasi ke Singapura, yang penting semua anak- anak sehat dan bahagia, itu doa
Ibu." Aku melihat ada setitik garis sendu di wajah Ibu Sitorus. Garis senyum yang memancarkan aura
keteguhan iman dan hatinya. Dia kemudian menarik nafas dalam-dalam untuk melanjutkan kesaksiannya.
"Selama hampir satu tahun, semua berjalan dengan baik. Ginjal Efendy berfungsi dengan baik. Tapi tahun
kedua masalah baru datang. Efendy waktu itu sudah pindah kantor ke Jakarta, jadi ibu dapat mengontrol.
Lagi-lagi Efendy harus dilarikan ke rumah sakit. Hasil diagnosis dokter, levernya mengalami gangguan
serius. Ibu menyaksikan sendiri perlahan-lahan perut Efendy membesar. Seperti perempuan hamil
delapan bulan. Ya! Seperti orang yang sedang hamil, sedangkan badannya kurus kering. Ibu kembali
menjerit kepada Tuhan. Dokter menganjurkan agar cairan yang tidak terkendali akibat lever yang tidak
berfungsi disedot secara rutin. Ya Tuhan, ujian apa lagi ini yang harus kami alami? Ibu benar-benar
sangat bingung." Mendung kembali bergayut di raut wajahnya.
"Ibu berdoa, Tuhan aku minta lagi mujizat-MU. Jikalau cairan yang memenuhi perut anak saya harus di
sedot, aku minta cukup satu kali saja. Ajaib sekali, Tuhan mendengarkan doa ibu. setelah di sedot satu
kali, Efendy bisa pulang ke rumah dan tidak perlu di sedot lagi. Belakangan dokter yang melakukan
operasi penyedotan itu bertemu Efendy setelah satu tahun berlalu. Tuhan bekerja dengan sangat ajaib.
Bahkan dokterpun terhera-heran. Ibu sungguh sangat terheran-heran dan mengucap syukur atas mujzat
ini." Segaris senyum di paras ibu Sitorus.
"Waktu bergulir, ternyata Tuhan masih terus menguji. Sejujurnya Ibu sudah tidak kuat. Bermula dari
ketiadaan dana untuk pulang-pergi ke rumah sakit di Singapura, akhirnya perawatan dirujuk di salah satu
rumah sakit di Jakarta. Entah karena apa, anak saya jatuh sakit lagi, kali ini benar-benar berat dan tidak
terkira-kira."
"Dua hari yang lalu Ibu pergi mengunjungi adik ipar Efendy di Pondok Kopi, Jakarta Timur, adik iparnya
yang berdarah Eropa itu jatuh sakit. Tapi karena takut rumah sakit Indonesia, dia tidak mau di bawa ke
rumah sakit. Di rumah Ken, adik ipar Efendy, sangat tiba-tiba suhu badan Efendy naik. Dia juga merasa
mual dan pusing. Ibu mencoba mengolesi dengan minyak angin. Bukan membaik, ternyata malah
semakin tidak keruan," katanya.
"Puncaknya, Efendy muntah darah kental yang menghitam. Ibu panik, keluarga panik, kami semua panij
dan menjerit-jerit. Segera kami larikan dia ke rumah sakit PGI Cikini." Ibu Sitorus mengatur desah
nafasnya. Rasa galau, takut, dan sedih bercampur aduk tidak karuan.
"Apalagi Tuhan yang hendak Engkau lakukan? Ibu terus bertanya-tanya pada Tuhan. Tapi kali ini Tuhan
memvonis sangat berat, analisis dokter sudah positif, Efendy terserang Hepatitis C. Dugaan sementara
penularan penyakit akibat terapi dan penggunaan alat-alat medis rumah sakit yang tidak steril. Sepertinya
dunia ini berwarna kelabu, hitam pekat dan mengerikan. Ibu benar-benar terpukul, anakku terserang
penyakit yang mengerikan. Ibu pikir Tuhan sudah keterlaluan!" Ibu Sitorus terengah-engah. Nafasnya
memburu, air matanya mulai jatuh, biji matanya berkaca-kaca menambah sendu dan suaranya pun mulai
serak.
"Kemarin ususnya mengalami varises, jadi pembuluh darahnya ada yang pecah. Efendy harus menjalani
rawat intensif. Cuci darah secara rutin. Ibu sudah pasrah, Ibu tidak punya apa-apa lagi. Uang sudah habis
dan semua angota keluarga sudah letih. Yang Ibu tahu dan masih ingat Tuhan Yesus tidak memberikan
ujian melebihi kemampuan kita. Ibu masih percaya bahwa Tuhan dapat melakukan apa yang mustahil
bagi manusia. Ibu percaya mujizat."
Aku terhenyak mendengar kata-kata Ibu Sitorus kali ini. Dalam keadaan terempas dan tergeletak, Ibu
yang berhati teguh ini berhasil mengkhotbahi aku. Pikiranku cepat-cepat berlari kepada sebuah ayat
dalam Kitab Suci, "Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak
melebihi kekuatan manusia. Sebab A265239h setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu
dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberkan kepadamu jalan keluar,
sehingga kamu dapat menanggungnya." 1 Korintus 10:13. Matahari sudah tergelincir ke ufuk barat. Senja
mulai membiaskan jingga di langit Jakarta. Perlahan-lahan malam akan turun menyelimuti bumi. Akupun
telah sedari tadi pamit setelah menumpangkan tangan dan berdoa.
"Firman Tuhan berkata, Oleh bilur-bilurNya kamu telah sembuh, jadi berdoalah dengan Iman!" Aku
mencoba untuk membangun kembali iman dan pengharapan ibu yang hampir terpuruk ini. Masih sempat
aku bacakan beberapa ayat yang sudah menjadi kesukaanku sebagai seorang pelayan dan konselor Kristen
kalau akan mendoakan orang sakit. Akupun masih menyaksikan wajah Effendy yang berseri-seri dan
mengangguk-angguk. Dia sangat senang mendengar Yesaya 53 : 3-5 yang sengaja aku bacakan lembut di
sampingnya. Sekarang akupun harus pulang dan melangkah pergi meninggalkan rumah sakit yang telah
menguras segenap perasaanku. Meningalkan Ibu Sitorus yang dengan setia tidak mau beranjak dari sisi
anak laki-laki kesayangannya. Langkahku berat menuruni tangga. Sebuah pikiran aneh tiba-tiba
mengejarku. Tuhan apakah aku tidak sedang menipu diriku sendiri? Sejujurnya akupun tidak menyakini
akan mampu berdiri tegar dengan ujian seberat Effendy. Aku bahkan hampir tidak bisa berpikir akan ada
sebuah mujizat lagi yang akan menyelamatkan dia dari penyakit maut itu. Ah, peduli amat dengan apa
yang aku pikirkan. Yang aku tahu, aku punya iman yang membuatku harus menawan segala pikiran dan
menaklukkannya. Aku harus mengenakan pikiran Kristus. Bukankah dengan mendengarkan firman
Tuhan akan mengalirkan iman dalam jiwa? Aku kemudian berjalan melintas pelataran parkir. Jiwaku
mulai menghafalkan ayat favoritku, "Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil (Lukas 1 :37)".Amin.
Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/
ARTIKEL
Levi Strauss, tidak putus asa karena apa yang dihadapinya, sehingga
dia bisa melihat kesempatan emas yang ada didepannya. Jika satu
pintu tertutup, pintu lain terbuka. Untuk itu, jangan pernah
melepaskan iman dan pengharapan dari hidup Anda.