Anda di halaman 1dari 17

Abstraksi

Penyelesaian sengketa dagang bisa dilakukan diluar lembaga peradilan dengan


cara arbitrase (Pasal 3 jo. 11 UU Arbitrase), sementara penyelesaian masalah kepailitan
diselesaikan melalui Pengadilan Niaga (Pasal 280 ayat (1) UUK. Namun bagaimana bila
itu menyangkut masalah kepailitan sementara dalam perjanjiannya mencantumkan
klausula arbitrase, menjadi kewenangan lembaga mana, Arbitrase ataukah Pengadilan
Niaga?. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui lebih jauh berlakunya adagium hukum
Lex spesialis derogat lex generalis.

Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan terhadap putusan-putusan


Kepailitan pada Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung antara PT. Enindo dan kawan
melawan PT.Putri Putra Fortuna (PPFW) dan kawan adalah bahwa (1) Yang berwenang
memutus perkara kepailitan yang berklausula Arbitrase dalam perjanjiannya adalah
Pengadilan Niaga, hal ini didasarkan pada ketentuan pasal 280 ayat 1,2 dan
penjelasannya Perpu No: 1/ 1998 yang telah ditetapkan menjadi UU Kepailitan No.4
/1998. (2) Penerapan Asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis dalam Kasus Kepailitan
antara PT Enindo dan Kawan melawan PT. PPFW dan Kawan adalah  (a) Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat, UU Arbitrase Nomor 30/ 1999 sebagai special law dan UU
Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998 sebagai general law, (b) Dalam Kasasi, UUK sebagai
special law (pasal 280 Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang telah ditetapkan menjadi UU
Nomor 4 Tahun 1998) dan UU arbitrase sebagai general law. (c) Dalam Peninjauan
Kembali (PK), UUK sebagai undang-undang khusus (special law) dan UU Arbitrase
menjadi general law. 
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.   LATAR BELAKANG

      Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan,


maka penyelesaian perkara kepailitan diselesaikan oleh Pengadilan Negeri yang
merupakan bagian dari Peradilan Umum sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, ada 4 (empat)
lingkungan peradilan di Indonesia yaitu: Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan
Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara. Namun demikian sejak ditetapkan dan
berlakunya Undang-undang Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998 maka kemudian
penyelesaian perkara Kepailitan diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Niaga yang
berada di lingkungan Peradilan Umum.
      Disisi lain kita juga mengenal adanya penyelesaian sengketa diluar lembaga
peradilan formal, yakni yang dikenal dengan Penyelesaian Sengketa Alternatif maupun
Arbitrase. Ini merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang
didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa. Sebagai konsekuensinya maka
alternatif penyelesaian sengketa bersifat sukarela dan karenanya tidak dapat dipaksakan
oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya yang bersengketa. Walau demikian sebagai
bentuk perjanjian kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak untuk menyelesaikan
sengketa melalui forum diluar pengadilan harus ditaati oleh para pihak.
      Menurut UU Nomor 30 tahun 1999 tentang arbitarse ini, apabila ada sengketa
perdata dagang yang dalam perjanjiannya memuat klausula arbitrase harus diselesaikan
oleh lembaga arbitrase, dan pengadilan negeri wajib menolak dan menyatakan tidak
berwenang untuk mengadilinya apabila perkara tersebut diajukan. Karena menjadi
wewenang lembaga arbitrase untuk menyelesaikannya sesuai dengan kesepakatan para
pihak dalam perjanjian tersebut. Namun bagaimana halnya apabila ini menyangkut
masalah kepailitan sementara dalam perjanjiannya memuat klausula arbitrase menjadi
kewenangan siapakah penyelesaian perkara ini, lembaga arbitrase atau Pengadilan Niaga
dan dasar hukum yang mana yang diterapkan.

1.2  PERUMUSAN MASALAH

      Berangkat dari kerangka berpikir dan fenomena seperti tersebut diatas maka
penelitian ini dilakukan dalam rangka untuk mengetahui lebih jauh tentang:

1. Siapakah yang berwenang memutuskan perkara kepailitan yang berklausula


arbitrase dalam perjanjiannya?.
2. Bagaimanakah penerapan Asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis dalam Kasus
Kepailitan antara PT Enindo dan Kawan melawan PT Putra Putri Fortuna dan Kawan ?. 

1.3  TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Arbitrase dan Pailit

a. Pengertian Arbitrase

     Bila diteliti batasan yang ada maka yang dimaksud arbitrase adalah, menurut
Subekti: “Arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan (perkara) oleh seorang atau
beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama-sama ditunjuk oleh para fihak yang
berperkara dengan tidak diselesaikan lewat pengadilan (Abdurrasyid, 2000: 8).
     Arbitrase menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU Arbitrase) adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata diluar lembaga peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat para pihak secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitarse yang tercantum
dalam perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, suatu
perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
     Dalam perkembangannya ternyata tata cara penyelesaian cara damai seperti
arbitrase banyak dimanfaatkan juga dibidang-bidang sengketa tentang: frachising,
penerbangan, telekomunikasi internasional dan penggunaan ruang angkasa komersial,
bahkan ada yang menghendaki agar juga ditetapkan dalam kartu kredit, perbankan dan
pelanggaran terhadap keamanan lingkungan.
b. Pengertian Pailit
     Dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepailitan (yang lama) menyatakan: “setiap
berutang (debitur) yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan sendiri
maupun atas permohonan seseorang atau lebih berpiutang (kreditur), dengan putusan
hakim dinyatakan dalam keadaan pailit”. Sedang menurut ketentuan dalam lampiran
Undang-undang Kepailitan No.4 Tahun 1998 Pasal 1 ayat (1) (selanjutnya disebut UUK),
yang menyebutkan: “Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak
membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2,
baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih
krediturnya. Pernyataan pailit tersebut harus melalui proses pemeriksaan dipengadilan
setelah memenuhi persyaratan di dalam pengajuan permohonannya.
     Dilihat dari beberapa arti kata atau pengertian kepailitan tersebut diatas maka
esensi kepailitan secara singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas harta kekayaan
debitur untuk kepentingan semua kreditur yang pada waktu kreditur dinyatakan pailit
mempunyai hutang.
2. Teori Hukum Perjanjian
      Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain 
atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini,
timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang yang membuatnya.  Perjanjian yang
dibuat oleh para pihak mengikat para pihak dan berlaku sebagai undang-undang, hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang berbunyi: semua
perjanjian yang dibuat berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
      Mengenai kekuatan berlakunya perjanjian atau klausula arbitrase, apakah bisa
dikesampingkan oleh para pihak. Menurut Munir Fuady (2000, 121-122) ada dua aliran
dalam teori hukum, yaitu sebagai berikut:
a. Aliran yang menyatakan bahwa klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase bukan
public policy. Misalnya, yang diputus oleh Hoge Raad negeri Belanda, 6 Januari 1925.
Disini ditegaskan sungguhpun ada klausula arbitrase, tetapi pengadilan tetap berwenang
mengadili sejauh tidak ada eksepsi dari pihak lawan, karena klausula arbitrase bukanlah
openbare orde.
b. Aliran yang menekankan asas “Pacta Sunt Servanda” pada kekuatan klausula
atau perjanjian arbitrase. Aliran ini mengajarkan bahwa klausula atau perjanjian arbitrase
mengikat para pihak dan dapat dikesampingkan hanya dengan kesepakatan bersama para
pihak yang tegas untuk itu. Dalam hal ini penarikan secara diam-diam atau praduga telah
di “waive” tidak berlaku dan perjanjian atau klausula arbitrase dianggap menimbulkan
kompetensi absolut. Aliran ini cukup banyak diikuti oleh Pengadilan-pengadilan, antara
lain dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 225/K/Sip/1981.
c. Aliran Kontroversial.
Disamping dua aliran tersebut diatas, pada perkembangannya yang sebenarnya bersifat
sempalan yang sangat bertolak belakang dengan aliran pacta sunt servanda (nomor b),
misalnya yang diputus oleh MA No.1851 K/PDT/1984.Pada prinsipnya aliran yang
kontroversial ini menyatakan sungguhpun ada klausula  arbitrase  dalam perjanjian para
pihak, in casu yang dipilih adalah BANI, dan sungguhpun ada bantahan dari salah satu
pihak  ketika harus ke Pengadilan Negeri, tetapi Pengadilan Negeri tetap menyatakan
dirinya berwenang dan MA membenarkannya. Alasannya karena para pihak tidak serius
(istilah pengadilan Negeri yang bersangkutan:“Dalam hati para pihak tidak ada niat untuk
menggunakan arbitrase”).
3. Studi Kewenangan
a. Syarat Arbitrase
      Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi
antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase (Pasal 7 UU Arbitrase). Jadi pada
prinsipnya hanya perjanjian yang mensyaratkan adanya klausula arbitrase saja yang dapat
diselesaikan melalui arbitrase, baik itu arbitrase ad hoc, ataupun lembaga arbitrase seperti
BANI. Tentang klausula ini dapat ditentukan sejak awal (acta compromi) atau dapat
dibuat menyusuli suatu perjanjian kerja sama antara kedua fihak (pactum
decompromittendo).
      Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang
terikat dalam perjanjian arbitrase (Pasal 3). Dengan adanya arbitrase tertulis tersebut
maka akan meniadakan hak para fihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa ke
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Negeri wajib menolak/tidak campur tangan dalam
penyelesaian suatu sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-
hal tertentu yang ditetapkan undang-undang ini. (Pasal 11 UU.Arbitrase).
 b. Syarat Penyelesaian Pailit
      Permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang,
diperiksa dan diputuskan  oleh Pengadilan Niaga yang berada dilingkungan Peradilan
Umum. Dengan ketentuan ini, semua permohonan pernyataan pailit dan penundaan
kewajiban pembayaran utang yang diajukan setelah berlakunya undang-undang tentang
kepailitan sebagaimana diubah dengan Peraturan perundang-undangan ini hanya dapat
diajukan kepada Pengadilan Niaga  (Pasal 280 ayat (1) jo. penjelasan Pasal 280 ayat (1)
UUK.
4. Penelitian Terdahulu
     Studi yang dilakukan oleh Rahayu Hartini (2001), menggambarkan bahwa pada
prinsipnya hanya perjanjian yang mensyaratkan adanya klausula arbitrase saja yang dapat
diselesaikan melalui arbitrase, baik itu arbitrase ad hoc, ataupun lembaga arbitrase seperti
BANI. Demikian juga dalam prakteknya yang ada pada BANI Surabaya. Klausula ini
dibuat secara tertulis yang disepakati oleh kedua pihak yang mengadakan perjanjian
(Acta Compromi) atau dapat dibuat menyusuli suatu perjanjian kerja sama antara kedua
fihak (pactum decompromittendo). Dengan adanya arbitrase tertulis tersebut akan
meniadakan hak para fihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa ke pengadilan
negeri dan pengadilan negeri wajib menolak/tidak campur tangan dalam penyelesaian
suatu sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali yang ditetapkan Undang-
undang Arbitrase Pasal 11. Ketentuan demikian semestinya menjadi pegangan yang
konsisten bagi para pihak, setiap pengacara yang mendampingi mereka dan arbiter yang
dipilih serta para pengguna UU ini pada umumnya.
      Dari studi yang dilakukan oleh Rahayu Hartini tentang Implementasi UU
Arbitrase pada BANI Jatim  (2001), diperoleh gambaran bahwa dalam praktek masih saja
ada kelemahannya ketika tidak disebutkan dengan tegas didalam klausula tersebut apakah
arbitrase ad-hoc ataukah lembaga arbitrase seperti BANI, oleh karena itu hal inipun harus
disepakati terlebih dulu mana yang akan dipilih. Selain itu juga masih adanya kontrak
perjanjian atau kontrak bisnis yang dibuat oleh notaris yang ambivalen atau mendua.,
yaitu bila ada sengketa diselesaikan dengan perundingan langsung dan bersifat informal
ataukah melalui mekanisme formal dan bahkan jelas-jelas menyebut penyelesaian secara
arbitrase yakni dengan menunjuk BANI Jakarta untuk menyelesaiakannya. Dalam
pengimplementasian UU Arbitrase ada beberapa kendala yang ditemuai dilapang yaitu
antara lain yang berkaitan dengan peranan Pengadilan Negeri dan permasalahan diseputar
tidak dilaksanakannya putusan arbitrase secara sukarela oleh pihak yang dikalahkan.
Namun prospek UU Arbitrase ini kedepan cukup bagus, ada bebeparapa hal positif dari
UU ini antara lain: Proses yang menjunjung tinggi kerahasiaan para pihak dengan
pemeriksaan sidang yang tertutup untuk umum dan larangan publikasi putusan arbitrase,
Pemeriksaan dilakukan oleh arbiter atau majelis arbiter pilihan para pihak, Putusan yang
bersifat final dan mengikat, tidak ada upaya banding maupun kasasi, Jangka waktu yang
singkat yaitu 180 hari pemeriksaan harus sudah selesai dan diputus, sehingga memnuhi
acara yang singkat, cepat relatif lebih murah, dll.
BAB II

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Posisi Kasus Perkara Kepailitan PT Putra Putri Fortuna Windu dan Kawan
melawan PT. Enindo dan Kawan

     Berdasarkan perjanjian manajemen “Turnkey” tertanggal 30 Oktober 1995, PT.


Environmental Network Indonesia (selanjutnya disebut PT. Enindo) menerima pekerjaan
jasa manajemen termasuk konstruksi bidang industri agrikultur atau proyek tambak
udang dari PT. Putra Putri Fortuna Windu yang merupakan anak perusahaan dari PPF
Internasional Corporation perusahaan go public yang berada di Kanada. Dalam perjanjian
manajemen “Turnkey”, maka PT. Enindo melakukan pekerjaan yang termasuk tenaga
kerja yang diperlukan menggunakan biaya sendiri. Kemudian secara berkala PT. Putra
Putri Fortuna Windu akan membayar kepada PT.Enindo menggunakan dana dari PPF
Internasional Corporation sebagai penyandang dana.
      Dalam perjanjian tersebut berlaku sampai 10 tahun sejak terhitung mulai tanggal
30 Oktober 1995. Namun tanpa alasan jelas PT. Putra Putri Fortuna Windu mengakhiri
secara paksa isi perjanjian dan mengambil alih proyek, karena untuk menghindari
pertumpahan darah maka PT. Enindo terpaksa mengalah dan atas pengambilalihan
proyek tersebut telah diadakan perhitungan utang piutang atas biaya pelaksanaan
pekerjaan/ proyek sebesar US $ 496.284 yang telah diaudit oleh KAP Collins Barrow.
Juga didiketahui setelah diaudit  ternyata PT. Putra Putri Fortuna Windu adalah anak
perusahaan dari PPFI.
      Setelah diadakan perhitungan jumlah uang yang harus dibayar maka dilakukan
sebuah perjanjian pelunasan utang dengan surat No. 015/DIR/98. PPF Internasional Co,
menjanjikan kepada PT. Enindo untuk melunasi utangnya secara berkala/ mengangsur
dalam dua kali pembayaran, yaitu tahap pertama jatuh tempo tanggal 5 Oktober 1998
sebesar US $ 250.000 dan tahap kedua jatuh tempo tanggal 31 Desember 1998 sebesar
US $ 246.284.
      Pada tanggal 26 Mei  1998 PT. Enindo telah melakukan penagihan kepada PT.
PPF dan PT. PPFW menjawabnya bahwa mereka sedang menunggu pembayaran dari
PPF Internasional Co.
      Bahwa selain utang kepada PT. Enindo, PT. Putra Putri Fortuna Windu
mempunyai utang yaitu menunggak pembayaran sewa tanah periode Januari 1998 s/d
Desember 1998 kepada kelompok tani Tambak FSSP Maserrocinnae. Dalam perjanjian
pembayaran itu ada klausula arbitrase apabila ada sengketa dalam pembayaran utang
tersebut, juga PT. Putra Putri Fortuna Windu telah melakukan kesanggupan membayar
melalui surat perjanjian.
      Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka PT. Enindo dan Kelompok Tani
Tambak FSSP Maserrocinnae mengajukan permohonan pailit atas PT. Putra Putri
Fortuna Windu dan PPF International ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
      Dan perkara ini telah diputus baik pada Tingkat Pertama di Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat, Tingkat Kasasi maupun Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung
RI, sebagai berikut:
a. Dalam Peradilan Tingkat Pertama, yakni pada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, tanggal
31 Maret 1999, Nomor: 14/Pailit/1999/PN.Niaga/Jkt.Pst, dengan amar putusan seperti
berikut:
1. Menyatakan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang
untuk memeriksa dan memutus permohonan ini,
2. Menolak permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh PT. Enindo.
b. Pada Tingkat Kasasi di Mahkamah Agung RI, tanggal 25 Mei 1999, Nomor :
012/PK/N/1999, dengan Amar Putusan seperti berikut:
1. Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi: PT Enindo
2. Membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakrta Pusat tanggal 31 Maret 1999, Nomor
14/Pailit/1999/PN.Niaga/Jkt Pst.
Dan mengadili sendiri:
1. Menyatakan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat berwenang untuk memeriksa dan
memutus perkara ini
2. Mengabulkan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh pemohon: PT.
Enindo. 
3. Menyatakan para Termohon: 1. PT. Putra Putri Fortuna Windu dan 2. PPF
International Coorpration dalam keadaan pailit.
c. Pada Tingkat Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung RI, tanggal 2 Agustus
1999, Nomor: 013 PK/N/1999, dengan Amar putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan PK dari pemohon: PT Putra Putri Fortuna dan kawan
2. Membatalkan putusan MA tanggal 25 Mei 1999 Nomor: 012/KN/1999 dan putusan
Pengadilan Niaga Jakrta Pusat tanggal 13 Maret 1999, Nomor: 014/
Pailit/1999/PN.Niaga/Jkt.Pst
Dan mengadili kembali :
1. Menolak permohonan pailit dari pemohon: PT Enindo dan kawan. 
2. Pihak Yang Berwenang Memutuskan Perkara Kepailitan Yang Berklausula
Arbitrase Dalam Perjanjiannya
        Mengenai pihak mana yang berwenang untuk memutuskan perkara kepailitan
yang ada klausula arbitrase dalam perjanjiannya (Pengadilan Niaga ataukah BANI
sebagai Lembaga Arbitrase, tentunya kita perlu melihat kembali pada teori hukum
tentang kekuatan berlakunya perjanjian atau klausula arbitrase. Ada dua aliran dalam
teori hukum (dan dalam perkembangannya dikenal tiga teori hukum) yakni bahwa :
1)Klausula arbitrase bukan public policy (meskipun ada klausula arbitrase, pengadilan
tetap berwenang mengadili sejauh tidak ada eksepsi dari pihak lawan, karena klausula
arbitrase bukanlah openbare orde), 2) Aliran yang menekankan asas “Pacta Sunt
Servanda” pada kekuatan klausula atau perjanjian arbitrase (klausula arbitrase mengikat
para pihak dan dapat dikesampingkan hanya dengan kesepakatan bersama para pihak
yang tegas untuk itu. Dalam hal ini penarikan secara diam-diam atau praduga telah di
“waive” tidak berlaku dan klausula arbitrase dianggap menimbulkan kompetensi absolut),
3). Kontroversial (sungguhpun ada klausula  arbitrase, in casu yang dipilih adalah BANI,
dan sungguhpun ada bantahan dari salah satu pihak  ketika harus ke Pengadilan Negeri,
tetapi Pengadilan Negeri tetap menyatakan dirinya berwenang dan MA
membenarkannya, alasannya karena para pihak tidak serius). Jadi pada prinsipnya
walaupun sengketa dinyatakan menjadi kewenangan arbitrase, tidak berarti bahwa
Pengadilan sama sekali tidak berwenang.
Dengan alasan bahwa:
a. Berdasar pasal 280 (1,2) Perpu Nomor 1 Tahun 1998, yang telah ditetapkan menjadi
Undang-undang  Nomor 4 Tahun 1998, status hukum dan kewenangan (legal status and
power) Pengadilan Niaga mempunyai kapasitas hukum (legal capacity) untuk
menyelesaikan permohonan pailit.
b. Klausula Arbitrase berdasarkan penjelasan pasal 3 UU Nomor 14 Tahun 1970 jo pasal
377 HIR dan pasal 615-651 RV, telah menempatkan status hukum dan kewenangan
arbitrase memiliki kapasitas hukum untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari
perjanjian dalam kedudukan sebagai extra judicial berhadapan dengan Pengadilan Negeri
sebagai Pengadilan Negara biasa.
c. Dalam kedudukan arbitrase sebagai extra judicial yang lahir dari kalusula arbitrase,
jurisprudensi telah mengakui legal effect yang memberi kewenangan absolute bagi
arbitrase untuk menyelesaikan  sengketa yang timbul dari perjanjian, Azas Pacta Sunt
Servanda yang ditetapkan dalam pasal 1338 KUH Perdata.
d. Akan tetapi kewenangan absolute tersebut dalam kedudukannya sebagai extra judicial
tidak dapat mengesampingkan kewenangan Pengadilan Niaga (extra ordinary) yang
secara khusus diberi kewenangan untuk memeriksa dan mengadili penyelesaian
insolvensi atau pailit oleh Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang telah ditetapkan menjadi
Undang-undang dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 sebagai undang-undang
khusus (special law). 
3. Penerapan Asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis dalam Kasus Kepailitan
antara PT. Enindo dan Kawan melawan PT. Putra Putri Fortuna dan Kawan
a. Pada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan putusan, bahwa Pengadilan Niaga tidak
berwenang untuk memeriksa dan memutus  serta menolak permohonan pernyataan
pailit yang diajukan oleh PT. Enindo. Ini berarti, mendasarkan pada UU Arbitrase Nomor
30 Tahun 1999 pasal 3,11 jo 7  (sebagai specialis law) dan UU Kepailitan Nomor 4
Tahun 1998 (sebagi general law).
b. Pada Tingkat Kasasi di Mahkamah Agung, diputus dengan mengadili sendiri:
Menyatakan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat berwenang untuk memeriksa dan
memutus serta mengabulkan pernyataan pailit yang dimohon oleh PT. Enindo. 
Ini berarti, mendasarkan pada pasal 280 Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang telah
ditetapkan menjadi UU Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (special law) dan UU
arbitrase (general law).
c. Pada Tingkat Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung, mengabulkan PK oleh
PT Putra Putri Fortuna dan membatalkan putusan MA maupun Pengadilan Niaga
dan mengadili kembali : Menolak permohonan pailit dari PT Enindo.
Dengan alasan bahwa:
1. Tidak mempertimbangkan formil permohonan kasasi apakah dapat diterima/ tidak.
Alasan ini dapat dibenarkan menurut Mahkamah Agung karena terdapat kesalahan berat
dalam menerapkan pasal 8 Perpu Nomor 1 Tahun 1998, yakni telah melampaui tenggang
waktu pengajuan kasasi (lebih 8 hari sejak diputus) sehingga harus ditolak tanpa perlu
mempertimbangkan materi perkara.
Klausula Arbitrase dalam hubungannya dengan Pengadilan Niaga, Mahkamah Agung
mempertimbangkan bahwa:
1. Benar Pengadilan Niaga merupakan salah satu organ dari Peradilan Umum yang
ditempatkan pada Pengadilan Negeri yang tak terpisah dari struktur Pengadilan Negeri itu
sendiri (pasal 280 ayat 1 Perpu No 1 jo UUK No 4/1998), namun berkaitan dengan
penyelesaian pailit telah dilimpahkan kewenangannya kepada Pengadilan Niaga.
Sehingga berdasarkan pasal 280 ayat 1, 2 dan penjelesannya Perpu No: 1/ 1998 yang
telah ditetapkan menjadi Undang-undang  No: 4/ 1998 tersebut, maka status hukum dan
kewenangan (legal status and power) Pengadilan Niaga mempunyai kapasitas hukum
(legal capacity) untuk menyelesaikan permohonan pailit.
2. Berdasarkan penjelasan pasal 3 UU Nomor 14 Tahun 1970 jo pasal 377 HIR dan pasal
615-651 RV, bahwa klausula Arbitrase sebagai extra judicial  dan jurisprudensi telah
mengakui legal effect, maka Badan Arbitrase mempunyai kewenangan absolute akan
tetapi kewenangan absolut (extra judidicial) tersebut tidak dapat mengesampingkan
kewenangan Pengadilan Niaga (extra ordinary) yang secara khusus diberi kewenangan
untuk memeriksa masalah kepailitan sebagaimana ditetapkan oleh Perpu Nomor 4 Tahun
1998 yang telah ditetapkan menjadi UU Kepailitan.Ini berarti bahwa dalam hal ini UUK
sebagai undang-undang khusus (special law) dan UU Arbitrase menjadi general law.
3. Meskipun P. Niaga menyatakan tidak berwenang mengadili a quo, namun karena
pemeriksaannya telah selesai dan semua fakta telah terungkap dalam persidangan serta
sifat penyelesaian perkara kepailitan yang cepat dan sederhana dengan pembatasan waktu
penyelesaiannya, maka Majelis Peninjauan Kembali pada MA RI mengadili sendiri
perkara ini dengan mempertimbangkan apakah Termohon I dan II memenuhi syarat
untuk dipailitkan (pasal 1 ayat 1 Perpu No:1/ 1998) yang telah ditetapkan menjadi UU
No: 4/ 1998, dan ternyata syarat 1,2) yakni adanya utang satu dari utang telah jatuh
tempo dan dapat ditagih (terpenuhi) sedang syarat 3) adanya 2 atau lebih kreditur (tidak
terpenuhi), karena pemohon I hanya menjadi kreditur terhadap termohon II saja, dan
tidak ada kreditur lain  selain pemohon I dan II, maka Termohon I dan II masing-masing
hanya punya 1 kreditur. Sehingga permohonan pailit dari pemohon harus ditolak.

BAB III
KESIMPULAN
Dari hasil analisa mengenai putusan perkara kepailitan antara PT Enindo dan
kawan melawan PT. Putra Putri Fortuna Windu dan kawan yang telah diputus oleh
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung baik pada tingkat Kasasi maupun
Peninjauan Kembali, maka dapat penulis uraikan sebagai berikut:
1. Bahwa klausula Arbitrase dalam perjanjian tidak dapat mengesampingkan
kewenangan Pengadilan Niaga untuk memeriksa dan memutuskan perkara permohonan
pernyataan pailit (Pasal 280 Perpu No.1/1998 yang telah ditetapkan menjadi UU
No.4/1998 tentang Kepailitan).
2. Menurut penulis dalam memutuskan kasus kepailitan tersebut Mahkamah Agung
(dalam Peninjauan Kembali) lebih cenderung mengikuti aliran Kontroversial. Jadi pada
prinsipnya walaupun sengketa dinyatakan menjadi kewenangan arbitrase, tidak berarti
bahwa Pengadilan sama sekali tidak berwenang.

SARAN/ REKOMENDASI

Berdasarkan hasil pembahasan pada kasus kepailitan tersebut, maka penulis


menyarankan khususnya bagi:

1. Bagi jajaran Hakim di Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung, agar lebih jeli, teliti
serta hati-hati dalam menerapkan hukum, menafsirkan/ menyelesaikan perkara kepailitan
khususnya yang ada klausula arbitrase dalam perjanjiannya.
2. Bagi Kurator/ Pengacara sebagai kuasa dari pihak-pihak yang bersengketa (pemohon
pailit) juga harus teliti agar tidak keliru dalam menggunakan dasar tuntutan maupun
dalam mengajukan sengketa pailit yang mengandung klausul arbitrase.
3. Bagi Pemerintah, agar segera dipikirkan adanya suatu lembaga khusus yang
berwenang menyelesaikan apabila ada masalah dimana peraturan khusus satu
bertentangan dengan peraturan khusus yang lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
 

Asikin, Zainal, 2001, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia,


Jakarta, Cetakan Pertama, Raja Grafindo Persada.

Fuady, Munir, 2000, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya Bhakti,
Bandung.

-----------------, 2002, Hukum Pailit 1998: Dalam Teori Dan Praktek, Aditya Bhakti,
Bandung.

Gautama, Sudargo, 1989, Pekembangan Arbitrase Dagang Internasional Di Indonesia,


Eresco Bandung.

----------------------, 1999, Undang-Undang Arbitrase Baru, Citra Aditya Bhakti.

Harahap, M.Yahya, 2001, Arbitrase, Sinar Grafika, Jakarta.

Hartini, Rahayu, 2002, Aspek Hukum Bisnis, Edisis Revisi, Cetakan Ketiga, UMM Pres,
Malang.

-------------------, 2003, Hukum Kepailitan, Cetakan Pertama, Bayu Media, Malang.

-------------------, 2001, Implementasi Undang-undang  No. 30 Tahun 1999 Tentang


Arbitrase (Studi Pada BANI Jawa Timur Di Surabaya), Hasil Penelitian.

Hartono, Redjeki, Sri, 1996, Prospek Lembaga Kepailitan Di Indonesia, Semarang,


Makalah Seminar Nasional Lembaga Kepailitan dalam Pelaksanaan Hukum Ekonomi di
Indonesia, FH UNIKA Soegijapranata.

---------------------, 1997, Analisis Terhadap Peraturan Kepailitan Dalam Kerangka


Pembangunan Hukum, Semarang, Makalah Seminar Nasional dan Lokakarya
Restrukturisasi Organisasi Bisnis Melalui Hukum  Kepailitan, FH UNDIP, Elips Project.
Lukito, Wiryo, 1997, Penyelesaian Kepailitan Melalui Pengadilan (Studi Kasus
Kepailitan), Semarang, Makalah Seminar Nasional dan Lokakarya Restrukturisasi
Organisasi Bisnis Melalui Hukum  Kepailitan, FH UNDIP, Elips Project

Marzuki, Mahmud, Peter, 1997, Hukum Kepailitan Menyongsong Era Global, Makalah
Semiloka Restrukturisasi Organisasi Bisnis Melalui Hukum Kepailitan, FH-UNDIP-
ELIPS.

Mochtar Kasran, Hartini, 2000, UU. No. 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian sengketa, Makalah Seminar tentang Arbitrase dan  E -Comerce, 6
September .

Muljadi, Kartini dan Widjaya, Gunawan, 2003, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan,
Rajawali Grafindo Persada

Nusantara, Garuda, Hakim, Abdul, 14 April 2000, Aspek-aspek Hukum Kepailitan dan
Problematikanya Dalam Praktek Peradilan, Makalah Dialog Hukum Bisnis, Independent
Lawyers Club (ILC) Surabaya.

Purwosutjipto, H.M.N.,1992, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia,  Perwasitan


dan Penundaaan Pembayaran, Jilid 8 , Jakarta, Djambatan.

Prasojo, Ratnawati, 1996, Kebijakan Pemerintah dalam Pembaharuan Peraturan


Perundang-undangan Tentang Kepailitan di Indonesia, Semarang, Makalah Seminar
Nasional Lembaga Kepailitan dalam Pembaharuan Hukum Ekonomi di Indonesia, FH
UNIKA Soegijapranata.

Priyatno, Abdur Rasyid, 2000, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Makalah
Seminar Nasional tentang Arbitrase dan I E-Commerce, 6 September.

Riyanto, 1996, Tinjauan Sekilas Akibat Hukum Kepailitan dalam Perseroan Terbatas,
Semarang, Makalah Seminar Lembaga Kepailitan dalam Pembaharuan Hukum Ekonomi
di Indonesia, FH UNIKA Soegijapranata.
    Remy, Sutan, Sjahdeni, 2002,  Hukum Kepailitan, Grafiti, Jakarta,

Soebekti, R, 1987, Hukum Perjanjian, Cetakan XI, Internusa.

-------------------- dan Tjiptosudibio, R : KUH Dagang dan UU Kepailitan,   Jakarta,


Cetakan XVI, Pradnya Paramita.

--------------------, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Cetakan XVIII,


Pradnya Paramita.

S.Suryono, 2002, Himpunan Yurisprudensi Hukum Kepailitan Dan Hutang Piutang, BP


Cipta Jaya.

Waluyo, Bernadette, 1999, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Kewajiban


Utang,  Mandar Maju, Bandung.

Widjaya, Gunawan, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Seri Hukum Bisnis, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.

---------------------, 1998, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1


Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan, Surabaya,
Arkola.

--------------------, Undang-Undang Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998, PT Kloang Klode,


Jakarta.

---------------------, Putusan-putusan Pailit Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

-----------,Putusan Peninjauan Kembali No: 013 PK/N/1999                    , Putusan Kasasi


No :012 K/N/1999, Putusan Pengadilan Niaga No: 14/Pailit/1999/PN. Niaga/JKT PST

Anda mungkin juga menyukai