PENDAHULUAN
Berangkat dari kerangka berpikir dan fenomena seperti tersebut diatas maka
penelitian ini dilakukan dalam rangka untuk mengetahui lebih jauh tentang:
a. Pengertian Arbitrase
Bila diteliti batasan yang ada maka yang dimaksud arbitrase adalah, menurut
Subekti: “Arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan (perkara) oleh seorang atau
beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama-sama ditunjuk oleh para fihak yang
berperkara dengan tidak diselesaikan lewat pengadilan (Abdurrasyid, 2000: 8).
Arbitrase menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU Arbitrase) adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata diluar lembaga peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat para pihak secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitarse yang tercantum
dalam perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, suatu
perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Dalam perkembangannya ternyata tata cara penyelesaian cara damai seperti
arbitrase banyak dimanfaatkan juga dibidang-bidang sengketa tentang: frachising,
penerbangan, telekomunikasi internasional dan penggunaan ruang angkasa komersial,
bahkan ada yang menghendaki agar juga ditetapkan dalam kartu kredit, perbankan dan
pelanggaran terhadap keamanan lingkungan.
b. Pengertian Pailit
Dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepailitan (yang lama) menyatakan: “setiap
berutang (debitur) yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan sendiri
maupun atas permohonan seseorang atau lebih berpiutang (kreditur), dengan putusan
hakim dinyatakan dalam keadaan pailit”. Sedang menurut ketentuan dalam lampiran
Undang-undang Kepailitan No.4 Tahun 1998 Pasal 1 ayat (1) (selanjutnya disebut UUK),
yang menyebutkan: “Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak
membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2,
baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih
krediturnya. Pernyataan pailit tersebut harus melalui proses pemeriksaan dipengadilan
setelah memenuhi persyaratan di dalam pengajuan permohonannya.
Dilihat dari beberapa arti kata atau pengertian kepailitan tersebut diatas maka
esensi kepailitan secara singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas harta kekayaan
debitur untuk kepentingan semua kreditur yang pada waktu kreditur dinyatakan pailit
mempunyai hutang.
2. Teori Hukum Perjanjian
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain
atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini,
timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang yang membuatnya. Perjanjian yang
dibuat oleh para pihak mengikat para pihak dan berlaku sebagai undang-undang, hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang berbunyi: semua
perjanjian yang dibuat berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Mengenai kekuatan berlakunya perjanjian atau klausula arbitrase, apakah bisa
dikesampingkan oleh para pihak. Menurut Munir Fuady (2000, 121-122) ada dua aliran
dalam teori hukum, yaitu sebagai berikut:
a. Aliran yang menyatakan bahwa klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase bukan
public policy. Misalnya, yang diputus oleh Hoge Raad negeri Belanda, 6 Januari 1925.
Disini ditegaskan sungguhpun ada klausula arbitrase, tetapi pengadilan tetap berwenang
mengadili sejauh tidak ada eksepsi dari pihak lawan, karena klausula arbitrase bukanlah
openbare orde.
b. Aliran yang menekankan asas “Pacta Sunt Servanda” pada kekuatan klausula
atau perjanjian arbitrase. Aliran ini mengajarkan bahwa klausula atau perjanjian arbitrase
mengikat para pihak dan dapat dikesampingkan hanya dengan kesepakatan bersama para
pihak yang tegas untuk itu. Dalam hal ini penarikan secara diam-diam atau praduga telah
di “waive” tidak berlaku dan perjanjian atau klausula arbitrase dianggap menimbulkan
kompetensi absolut. Aliran ini cukup banyak diikuti oleh Pengadilan-pengadilan, antara
lain dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 225/K/Sip/1981.
c. Aliran Kontroversial.
Disamping dua aliran tersebut diatas, pada perkembangannya yang sebenarnya bersifat
sempalan yang sangat bertolak belakang dengan aliran pacta sunt servanda (nomor b),
misalnya yang diputus oleh MA No.1851 K/PDT/1984.Pada prinsipnya aliran yang
kontroversial ini menyatakan sungguhpun ada klausula arbitrase dalam perjanjian para
pihak, in casu yang dipilih adalah BANI, dan sungguhpun ada bantahan dari salah satu
pihak ketika harus ke Pengadilan Negeri, tetapi Pengadilan Negeri tetap menyatakan
dirinya berwenang dan MA membenarkannya. Alasannya karena para pihak tidak serius
(istilah pengadilan Negeri yang bersangkutan:“Dalam hati para pihak tidak ada niat untuk
menggunakan arbitrase”).
3. Studi Kewenangan
a. Syarat Arbitrase
Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi
antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase (Pasal 7 UU Arbitrase). Jadi pada
prinsipnya hanya perjanjian yang mensyaratkan adanya klausula arbitrase saja yang dapat
diselesaikan melalui arbitrase, baik itu arbitrase ad hoc, ataupun lembaga arbitrase seperti
BANI. Tentang klausula ini dapat ditentukan sejak awal (acta compromi) atau dapat
dibuat menyusuli suatu perjanjian kerja sama antara kedua fihak (pactum
decompromittendo).
Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang
terikat dalam perjanjian arbitrase (Pasal 3). Dengan adanya arbitrase tertulis tersebut
maka akan meniadakan hak para fihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa ke
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Negeri wajib menolak/tidak campur tangan dalam
penyelesaian suatu sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-
hal tertentu yang ditetapkan undang-undang ini. (Pasal 11 UU.Arbitrase).
b. Syarat Penyelesaian Pailit
Permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang,
diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Niaga yang berada dilingkungan Peradilan
Umum. Dengan ketentuan ini, semua permohonan pernyataan pailit dan penundaan
kewajiban pembayaran utang yang diajukan setelah berlakunya undang-undang tentang
kepailitan sebagaimana diubah dengan Peraturan perundang-undangan ini hanya dapat
diajukan kepada Pengadilan Niaga (Pasal 280 ayat (1) jo. penjelasan Pasal 280 ayat (1)
UUK.
4. Penelitian Terdahulu
Studi yang dilakukan oleh Rahayu Hartini (2001), menggambarkan bahwa pada
prinsipnya hanya perjanjian yang mensyaratkan adanya klausula arbitrase saja yang dapat
diselesaikan melalui arbitrase, baik itu arbitrase ad hoc, ataupun lembaga arbitrase seperti
BANI. Demikian juga dalam prakteknya yang ada pada BANI Surabaya. Klausula ini
dibuat secara tertulis yang disepakati oleh kedua pihak yang mengadakan perjanjian
(Acta Compromi) atau dapat dibuat menyusuli suatu perjanjian kerja sama antara kedua
fihak (pactum decompromittendo). Dengan adanya arbitrase tertulis tersebut akan
meniadakan hak para fihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa ke pengadilan
negeri dan pengadilan negeri wajib menolak/tidak campur tangan dalam penyelesaian
suatu sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali yang ditetapkan Undang-
undang Arbitrase Pasal 11. Ketentuan demikian semestinya menjadi pegangan yang
konsisten bagi para pihak, setiap pengacara yang mendampingi mereka dan arbiter yang
dipilih serta para pengguna UU ini pada umumnya.
Dari studi yang dilakukan oleh Rahayu Hartini tentang Implementasi UU
Arbitrase pada BANI Jatim (2001), diperoleh gambaran bahwa dalam praktek masih saja
ada kelemahannya ketika tidak disebutkan dengan tegas didalam klausula tersebut apakah
arbitrase ad-hoc ataukah lembaga arbitrase seperti BANI, oleh karena itu hal inipun harus
disepakati terlebih dulu mana yang akan dipilih. Selain itu juga masih adanya kontrak
perjanjian atau kontrak bisnis yang dibuat oleh notaris yang ambivalen atau mendua.,
yaitu bila ada sengketa diselesaikan dengan perundingan langsung dan bersifat informal
ataukah melalui mekanisme formal dan bahkan jelas-jelas menyebut penyelesaian secara
arbitrase yakni dengan menunjuk BANI Jakarta untuk menyelesaiakannya. Dalam
pengimplementasian UU Arbitrase ada beberapa kendala yang ditemuai dilapang yaitu
antara lain yang berkaitan dengan peranan Pengadilan Negeri dan permasalahan diseputar
tidak dilaksanakannya putusan arbitrase secara sukarela oleh pihak yang dikalahkan.
Namun prospek UU Arbitrase ini kedepan cukup bagus, ada bebeparapa hal positif dari
UU ini antara lain: Proses yang menjunjung tinggi kerahasiaan para pihak dengan
pemeriksaan sidang yang tertutup untuk umum dan larangan publikasi putusan arbitrase,
Pemeriksaan dilakukan oleh arbiter atau majelis arbiter pilihan para pihak, Putusan yang
bersifat final dan mengikat, tidak ada upaya banding maupun kasasi, Jangka waktu yang
singkat yaitu 180 hari pemeriksaan harus sudah selesai dan diputus, sehingga memnuhi
acara yang singkat, cepat relatif lebih murah, dll.
BAB II
1. Posisi Kasus Perkara Kepailitan PT Putra Putri Fortuna Windu dan Kawan
melawan PT. Enindo dan Kawan
BAB III
KESIMPULAN
Dari hasil analisa mengenai putusan perkara kepailitan antara PT Enindo dan
kawan melawan PT. Putra Putri Fortuna Windu dan kawan yang telah diputus oleh
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung baik pada tingkat Kasasi maupun
Peninjauan Kembali, maka dapat penulis uraikan sebagai berikut:
1. Bahwa klausula Arbitrase dalam perjanjian tidak dapat mengesampingkan
kewenangan Pengadilan Niaga untuk memeriksa dan memutuskan perkara permohonan
pernyataan pailit (Pasal 280 Perpu No.1/1998 yang telah ditetapkan menjadi UU
No.4/1998 tentang Kepailitan).
2. Menurut penulis dalam memutuskan kasus kepailitan tersebut Mahkamah Agung
(dalam Peninjauan Kembali) lebih cenderung mengikuti aliran Kontroversial. Jadi pada
prinsipnya walaupun sengketa dinyatakan menjadi kewenangan arbitrase, tidak berarti
bahwa Pengadilan sama sekali tidak berwenang.
SARAN/ REKOMENDASI
1. Bagi jajaran Hakim di Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung, agar lebih jeli, teliti
serta hati-hati dalam menerapkan hukum, menafsirkan/ menyelesaikan perkara kepailitan
khususnya yang ada klausula arbitrase dalam perjanjiannya.
2. Bagi Kurator/ Pengacara sebagai kuasa dari pihak-pihak yang bersengketa (pemohon
pailit) juga harus teliti agar tidak keliru dalam menggunakan dasar tuntutan maupun
dalam mengajukan sengketa pailit yang mengandung klausul arbitrase.
3. Bagi Pemerintah, agar segera dipikirkan adanya suatu lembaga khusus yang
berwenang menyelesaikan apabila ada masalah dimana peraturan khusus satu
bertentangan dengan peraturan khusus yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Fuady, Munir, 2000, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya Bhakti,
Bandung.
-----------------, 2002, Hukum Pailit 1998: Dalam Teori Dan Praktek, Aditya Bhakti,
Bandung.
Hartini, Rahayu, 2002, Aspek Hukum Bisnis, Edisis Revisi, Cetakan Ketiga, UMM Pres,
Malang.
Marzuki, Mahmud, Peter, 1997, Hukum Kepailitan Menyongsong Era Global, Makalah
Semiloka Restrukturisasi Organisasi Bisnis Melalui Hukum Kepailitan, FH-UNDIP-
ELIPS.
Mochtar Kasran, Hartini, 2000, UU. No. 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian sengketa, Makalah Seminar tentang Arbitrase dan E -Comerce, 6
September .
Muljadi, Kartini dan Widjaya, Gunawan, 2003, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan,
Rajawali Grafindo Persada
Nusantara, Garuda, Hakim, Abdul, 14 April 2000, Aspek-aspek Hukum Kepailitan dan
Problematikanya Dalam Praktek Peradilan, Makalah Dialog Hukum Bisnis, Independent
Lawyers Club (ILC) Surabaya.
Priyatno, Abdur Rasyid, 2000, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Makalah
Seminar Nasional tentang Arbitrase dan I E-Commerce, 6 September.
Riyanto, 1996, Tinjauan Sekilas Akibat Hukum Kepailitan dalam Perseroan Terbatas,
Semarang, Makalah Seminar Lembaga Kepailitan dalam Pembaharuan Hukum Ekonomi
di Indonesia, FH UNIKA Soegijapranata.
Remy, Sutan, Sjahdeni, 2002, Hukum Kepailitan, Grafiti, Jakarta,
Widjaya, Gunawan, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Seri Hukum Bisnis, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.