Anda di halaman 1dari 7

Emulsifikasi tentunya berkaitan dengan emulsi, lalu sebenarnya apa yang dimaksud dengan emulsi?

Saat SMA saya


mendefinisikan emulsi sebagai salah satu sistem koloid di mana fase terdispersinya berupa cairan dan fase
pendispersinya adalah cairan, jadi bisa dibilang yang dimaksud dengan emulsi adalah suatu cairan dalam cairan.

Sementara, definisi emulsi yang dijelaskan oleh dosen adalah suatu sistem dispersi di mana fase terdispersinya
berupa zat cair dalam bentuk globul yang terdistribusi secara rata ke ke seluruh cairan pembawanya atau fase
pendispersinya dan saling tidak bercampur. 

Oleh karena itulah, dalam hal ini, tujuan dari emulsifikasi adalah membentuk suatu emulsi yang stabil sehingga
antara kedua cairan yang saling tidak bercampur tersebut dapat saling bercampur dengan adanya zat penstabil atau
zat pengemulsi.

Zat pengemulsi ini biasa disebut sebagai emulgator. Mungkin dapat muncul pertanyaan begini, "Bagaimana bisa
sebuah emulgator dapat menstabilkan suatu emulsi atau dengan kata lain dapat menyebabkan suatu zat cair yang
tidak saling bercampur pada awalnya menjadi dapat bercampur dan dapat stabil pencampurannya?"

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dibuatlah suatu "Teori Emulsifikasi" yang dapat menjelaskan mengenai hal
itu. Teori emulsifikasi ini dapat terbagi menjadi 2--berdasarkan buku panduan praktikum farmasi fisika yang saya
miliki--yaitu "Teori Tegangan Permukaan" dan "Teori Oriented-Wedge".

Teori tegangan permukaan menjelaskan bahwa dalam hal ini, sebuah emulgator dapat membentuk emulsi dengan
menurunkan tegangan permukaannya. Suatu emulsi dapat stabil secara termodinamika apabila energi bebasnya
kecil atau sama dengan nol. Sementara kita tahu bahwa energi bebas merupakan perkalian antara tegangan
permukaan dan luas permukaan. 

Sehingga apabila tegangan permukaannya yang diturunkan, maka dapat menurunkan pula energi bebasnya dan
menghasilkan suatu emulsi yang stabil.

Selain itu, dengan adanya penurunan pada tegangan permukaan juga dapat mengurangi gaya tolak menolak antara
kedua cairan yang saling tidak bercampur pada awalnya dan juga mengurangi gaya tarik menarik antara cairan yang
sejenis sebagaimana kita tahu bahwa suatu emulsi pada awalnya merupakan campuran zat cair yang saling tidak
bercampur karena kuatnya gaya kohesi (tarik menarik dengan cairan sejenis) dan juga lemahnya gaya adhesi (tarik
menarik dengan zat cair yang berbeda yang dengan kata lain antara kedua zat cair, gaya tolak menolaknya besar)
sehingga dengan demikian lebih mendorong kedua cairan untuk saling terpisah.

Kemudian Teori oriented wedge, berdasarkan definisi per katanya yang wedge artinya pengganjal atau penjepit
maka berdasarkan pemahaman saya sendiri teori tersebut ingin menjelaskan peranan emulgator dalam
pembentukan emulsi yang stabil dengan berperan sebagai suatu pengganjal atau penjepit. 

Dua cairan yang saling terpisah tersebut dengan adanya emulgator sebagai pengganjal atau penjepit akhirnya dapat
saling menyatu. Kenapa emulgator tersebut bisa mengganjal atau menjepit kedua cairan yang saling berbeda
sifatnya? Karena emulgator tersebut memilki kedua sifat tersebut. Sebagaimana kita tahu bahwa suatu emulsi yang
terdiri dari dua cairan yang saling tidak bercampur, pada umumnya karena cairan yang satu bersifat hidrofilik
sementara yang satunya lagi bersifat lipofilik. Oleh karena itulah dalam hal ini, emulgator tersebut dapat menjepit
karena memiliki kedua sifat tersebut. Bagian dari emulgator yang bersifat hidrofilik akan memegang cairan yang
bersifat hidrofilik sementara bagian lainnya dari emulgator yang bersifat lipofilik memengang cairan satunya lagi
yang bersifat lipofilik.
Berdasarkan teori yang kedua ini, bisa diketahui bahwa suatu emulgator memiliki dua sifat yaitu hidrofilik dan
lipofilik. Pada kenyataannya, distribusi kekuatan sifatnya tersebut tidak sama, hanya salah satu sifatnya saja yang
akan lebih dominan. Ukuran dari keseimbangan antara sifat hidrofilik dan lipofilik ini ditetapkan dalam suatu ukuran
yang disebut dengan HLB (Hidrofilik Lipofilik Balance). 

Dengan adanya HLB tersebut, oleh Griffin, diberikan suatu skala yang menetapkan bahwa nilai HLB yang kecil
menunjukkan sifat emulgator yang lebih lipofilik sementara yang nilai HLBnya besar menunjukkan sifat hidrofiliknya
yang lebih dominan.

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa dalam emulsi ini, terdapat dua tipe, yaitu tipe A/M (Air dalam Minyak) dan tipe
M/A (Minyak dalam Air). Yang menentukan suatu emulsi merupakan tipe A/M atau M/A adalah jumlah dari tiap-tiap
zatnya. Untuk tipe A/M artinya jumlah air lebih sedikit dibandingkan minyak sehingga air berperan sebagai zat
terdispersi (fase internalnya) dan minyak berperan sebagai zat pendispersi (fase eksternalnya), begitu juga
sebaliknya, untuk tipe M/A, jumlah minyak sebagai zat terdispersi lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah air
sebagai zat pendispersinya. 

Selain jumlah zatnya, HLB suatu emulgator juga dapat mempengaruhi tipe emulsi. Apabila kita menginginkan untuk
membuat emulsi tipe A/M maka kita harus menggunakan HLB yang sesuai yaitu yang memiliki sifat lipofilik yang
lebih dominan yaitu yang antara 3-6. Sementara apabila kita menginginkan tipe emulsi M/A maka kita harus
menggunakan HLB yang memiliki sifat hidrofilik yang lebih dominan yaitu yang antara 8-18. Jadi tergantung dari sifat
zat cair pendispersinya yang jumlahnya lebih banyak, apabila yang jumlah pendispersinya lebih banyak adalah
minyak (yang bersifat lipofilik) maka HLB yang digunakan haruslah yang sesuai dengan yang jumlahnya lebih banyak
yaitu yang HLBnya kisaran lipofilik juga (3-6) begitu pula sebaliknya. Dengan kata lain, apabila tidak sesuai maka tipe
emulsi yang diinginkan mungkin tidak dapat tercapai. Sekiranya pemahaman saya terkait yang satu ini begitu,
apabila ternyata salah, saya mohon maaf. 

Dalam hal ini fungsi dari mengetahui harga HLB tiap emulgator adalah untuk mengetahui seberapa banyak
emulgator yang dibutuhkan sebenarnya sampai pada harga HLB berapa hingga dapat membentuk emulsi yang
optimal dan stabil. Tiap jenis minyak memiliki HLB butuhnya masing-masing, misalnya saja parrafin liquid, parrafin
liquid memiliki HLB butuh 12, artinya untuk dapat membentuk suatu emulsi yang stabil dengan jenis minyak ini,
perlu menggunakan emulgator dengan kisaran HLB demikian. Diketahuinya HLB butuh parrafin liquid adalah sebesar
12, ditentukan berdasarkan percobaan. HLB butuh ini juga tergantung dari tipe emulsi yang diinginkan, akan berbeda
apabila kita ingin membuat emulsi dengan parrafin liquid tetapi tipe emulsinya M/A maka HLB butuhnya menjadi 5.

Berikut adalah macam-macam jenis minyak beserta harga HLB butuhnya:

Jadi sudah dapat diketahui bahwa dengan mengetahui HLB butuh tersebut, artinya emulgator yang ada, diharapkan
memiliki HLB sesuai dengan HLB butuhnya. Namun kenyataannya, tidak ada emulgator yang benar-benar sesuai
dengan HLB butuh tiap minyak, sehingga diperlukan adanya kombinasi antar tiap emulgator, meskipun demikian,
justru dengan adanya kombinasi tersebut menyebabkan emulsi menjadi lebih stabil karena akan didapatkan lapisan
film yang lebih rapat.
Berikut adalah beberapa macam jenis emulgator beserta harga HLBnya:
Mungkin muncul pertanyaan, "Baiklah kalau begitu, jika memang untuk bisa mendapatkan suatu emulsi yang stabil
perlu menggunakan kombinasi emulgator yang akumulasi harganya sesuai dengan HLB butuh minyak, misalnya saja
emulsi tersebut merupakan campuran antara air dengan minyak seperti parrafin liquid dan minyak jagung yang
berdasarkan perhitungan dan pertimbangan besar bobotnya hingga akhirnya didapatkan HLB butuh minyaknya
sebesar 10, apabila menggunakan kombinasi emulgator seperti span 80 yang HLBnya 4,3 dan tween 80 yang HLBnya
15, pastinya berapa kombinasi jumlah massa dari span 80 dan tween 80 yang dibutuhkan untuk membuat emulsi
stabil yang demikian?"

Jawabannya bisa dilihat pada gambar di bawah ini, untuk mengetahui jumlah massa tiap jenis emulgatornya bisa kita
gunakan rumus 1 dan rumus 2 (rumus silang).

Berdasarkan tampilan soal di atas, diketahui bahwa emulgator yang dibutuhkan sebesar 2%, artinya dengan jumlah
emulsi yang diinginkannya adalah 100 gram, sementara ada keterangan da 70, maka jumlah emulgator = 2% x100 x
70/100 = 1,4 gram.

Jadi berdasarkan soal, dapat disimpulkan bahwa jumlah tween 80 yang dibutuhkan adalah sebanyak 0,75 gram,
sementara jumlah span 80 yang dibutuhkan adalah sebanyak 0,65 gram.

Sebelumnya telah disebutkan bahwa suatu emulsi pada dasarnya merupakan sistem yang tidak stabil yang oleh
karena adanya zat penstabil seperti emulgator tersebutlah pada akhirnya dapat membuat suatu emulsi yang stabil.
Tetapi sebenarnya pada waktu tertentu dan pada jangka waktu yang berbeda-beda, suatu emulsi dapat kembali
menjadi tidak stabil. Kenapa bisa menjadi tidak stabil? Bisa karena pengaruh dari lingkungan seperti suhu, pH,
kelembapan, dan lain sebagainya yang mana dengan adanya pengaruh tersebut dapat mengakibatkan rusaknya film
yang dibentuk oleh emulgator, dan apabila film tersebut rusak, tentunya emulsi stabil yang terbentuk bisa menjadi
pecah atau rusak juga sehingga menjadi tidak stabil kembali.
Lalu bagaimana caranya mengetahui suatu emulsi sudah tidak stabil lagi? Dalam hal ini ada 2 fenomena yang dapat
menjelaskan ketidakstabilan suatu emulsi. Kedua fenomena tersebut antara lain, fenomena ketidakstabilan yang
ditujukan dengan film yang terbentuk oleh emulgator masih belum rusak dan fenomena ketidakstabilan dengan film
yang sudah rusak.

Fenomena ketidakstabilan yang filmnya masih belum rusak terjadi akibat adanya energi bebas permukaan yang
besar yang dengan untuk menurunkan energi bebas yang tidak diinginkan tersebut, maka emulsi berusaha untuk
memperkecil luas permukaan yang mana sebelumnya telah diketahui bahwa apabila luas permukaan diturunkan,
maka menurun pula energi bebas permukaannya (lihat kembali persamaan sebelumnya yang di atas). Untuk dapat
menurunkan luas permukaan tersebut, maka antara globul zat terdispersi yang satu dan yang lainnya saling
berdekatan hingga membentuk globul yang lebih besar. Pembentukan globul yang lebih besar ini disebut
dengan flokukasi. Kemudian apabila pembentukan globul yang lebih besar tersebut terus berlanjut, maka dapat
menyebabkan terbentuknya lapisan di bawah atau di atas emulsi, tergantung dengan massa jenisnya, apabila massa
jenis globul besar yang membentuk lapisan tersebut lebih besar massa jenisnya dibandingkan dengan massa jenis zat
pendispersinya maka lapisannya akan terbentuk di bawah, begitu juga sebaliknya. Peristiwa lanjutan dari flokulasi
yang hingga dapat menyebabkan terbentuknya lapisan tersebut disebut dengan creaming. Apabila terbentuk
fenomena ketidakstabilan creaming ini, ketika dikocok masih dapat membentuk emulsi yang stabil karena filmnya
masih belum rusak.

Kemudian fenomena ketidakstabilan yang filmnya sudah rusak, hampir sama dengan sebelumnya, akan dapat
terjadi koalesen, mirip dengan flokulasi, terbentuk pula globul-globul yang besar tetapi bedanya, koalesen ini
terbentuk dengan film yang sudah rusak. Dan kelanjutan dari koalesen ini yaitu terbentuknya lapisan di bawah atau
di atas permukaan disebut dengan demulsifikasi yang oleh pengocokan tidak dapat kembali membentuk emulsi
karena filmnya sudah rusak.

Jadi sekali lagi, diingatkan bahwa peristiwa flokulasi, creaming, koalesen, dan demulsifikasi merupakan fenomena
ketidakstabilan suatu emulsi.
Stabilitas Emulsi
Sebagaimana diketahui, alaminya minyak dan air tidak bisa menyatu. Keduanya akan cenderung untuk
memisah. Hal ini karena adanya adanya tegangan antar muka di antara keduanya. Tegangan antar muka ini
menyebabkan setiap permukaan air dan minyak membutuhkan energy. Semakin banyak permukaan air yang
bertemu atau berbatasan dengan permukaan minyak, maka semakin banyak pula energy yang dibutuhkan
untuk mempertahankan kondisi tersebut. Namun, dalam emulsi, keduanya “dipaksa” untuk menyatu, artinya
semakin banyak permukaan air yang “dipaksa” untuk bertemu dengan permukaan minyak. Akibatnya, energy
yang dibutuhkan pun semakin besar. Karena tidak ada supply energy, maka ketika didiamkan kedua fase
tersebut akan cenderung untuk memisah agar antar muka yang saling bersinggungan semakin sedikit. Keadaan
seperti inilah yang disebut sebagai rusaknya suatu emulsi atau ketidakstabilan emulsi.

Mekanisme ketidakstabilan emulsi ini dapat terjadi melalui beberapa jalan, yaitu:

Coalescence: yaitu peristiwa 2 tetesan minyak (atau air) bersatu dan membentuk membentuk suatu tetesan baru
yang lebih besar tetapi memiliki luas permukaan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan jika tetesan baru
tersebut pecah menjadi tetesan – tetesan kecil seperti semula. Jika dibiarkan, hal ini akan terus berlangsung
hingga semua tetesan minyak (atau air) menyatu dan akhirnya membentuk lapisan sendiri yang terpisah dari
emulsi.
Flocculation atau Flokulasi adalah suatu peristiwa berkumpulnya beberapa tetesan minyak tetapi tidak
membentuk tetesan minyak baru yang lebih besar seperti pada peristiwa coalescence hingga mengakibatkan
distribusinya dalam emulsi tidak merata (tidak homogeny lagi).
Peristiwa coalescence  dan flocculation secara bersama – sama akan menyebabkan
peristiwa creacking atau breaking. Peristiwa ini mungkin disebabkan oleh ketidaktepatan pemilihan emulgator
dalam formulasi, emulgator mengalami dekomposisi, atau temperature penyimpanan yang tidak sesuai. Problem
ini tidak cukup diatasi hanya dengan penggojigan ringan. Dengan kata lain, emulsi yang mengalami hal ini telah
rusak sama sekali.
Creaming  yaitu peristiwa mengapungnya fase minyak. Hal ini terjadi jika fase minyak memiliki densitas yang
lebih kecil daripada fase air. Definisi lain menyebutkan bahwa creaming merupakan peristiwa memisahnya
emulsi menjadi 2 bagian dengan salah satu bagian mengandung lebih banyak fase disperse daripada bagian
yang lain. Hal ini mungkin disebabkan karena homogentias emulsi ketika formulasi kurang tetapi masalh ini bisa
diatasi dengan penggojogan ringan.
Phase Inversion atau pembalikan fase emulsi yang semula O/W menjadi W/O atau sebaliknya. Hal ini mungkin
disebabkan terlalu banyaknya fase disperse (mencapai lebih dari 74%). Masalah ini juga tidak dapat diatasi
hanya dengan penggojogan ringan.

Emulsi merupakan suatu sediaan cair obat yang terdispersi dalam cairan pembawa yang distabilkan dengan
penambahkan pengemulsi (emulgator) yang cocok. Dengan kata lain emulsi merupakan suatu sediaan yang cair
yang tidak saling bercampur, dimana zat pendispersi berbentuk dalam tetesan-tetesan kecil yang terdispersi
dalam larutan pembawa.

Berikut komponen-komponen emulsi adalah :


1. Komponen dasar emulsi, komponen dasar emulsi terdiri dari fase terdispersi (fase internal, fase dikontinue,
fase dalam), fase pendispersi (fase eksternal/fase luar/fase kontinue), emulgator (penstabil emulsi)
2. Komponen tambahan emulsi
Komponen tambahan emulsi merupakan suatu zat yang ditambahkan dengan tujuan mendapatkan emulsi yang
lebih baik. Komponen tambahan tersebut diantaranya adalah corigen odoris, corigen saporis, pengawet, dll.

Teori terbentuknya emulsi


1. Teori tegangan permukaan
Teori ini mengatakan bahwa penambahan emulgator pada sediaan emulsi berfungsi menurunkan tegangan
permukaan di batas antara fasa pendispersi dan fasa terdispersi, sehingga keduanya akan mudah bercampur
2. Teori orientasi bentuk baji
Menurut teori ini pembentukan emulsi terbentuk karena sifat selektif dari emulgator, yaitu mempunyai sifat
hidrofil (suka air) dan lipofil (suka minyak)
3. Teori film plastis
Penambahan emulgator akan diserap diantara kedua batas cairan yang tidak menyatu, sehingga emulgator
akan membungkus masing-masing fasa sehingga keinginan untuk saling menyatu diantara fasa yang sama
dapat dihindari, sehingga akan terbentuk emulsi yang stabil
4. Teori rangkap listrik

Macam-macam emulgator yang digunakan dalam pembuatan emulsi adalah :


1. PGA
2. Tragakan
3. Span
4. Tween
5. Kuning telor

Beberapa keuntungan sediaan emulsi adalah sebagai berikut


1. Dapat membentuk sediaan yang saling tidak bercampur menjadi dapat bersatu membentuk sediaan yang
homogen dan stabil
2. Bagi oarng yang susah menelan tablet dapat menggunakan sediaan emulsi sebagai alternatif
3. Dapat menutupi rasa tidak enak obat dalam bentuk cair, contohnya minyak ikan
4. Meningkatkan penerimaan oleh pasien

Beberapa kerugian emulsi adalah sebagai berikut


1. Sediaan emulsi kurang praktis daripada sediaan tablet
2. Sediaan emulsi mempunyai stabilitias yang rendah daripada sediaan tablet karena cairan merupakan media
yang baik untuk pertumbuhan bakteri
3. Takaran dosisnya kurang teliti

Berikut ini adalah beberapa tehnik untuk menentukan tipe emulsi adalah
1. Pengenceran dengan fase luar
Tipe emulsi minyak dalam air (o/w), akan melarut jika diencerkan dengan air, sedangkan tipe air dalam minyak
(w/o) akan melarut jika diencerkan dengan minyak
2. Perubahan warna
Penambahan metilen blue pada emulsi, jika metilen blue melarut pada emulsi hal tersebut menunjukan bahwa
tipe emulsi tersebut adalah minyak dalam air (o/w), sedangkan jika tidaj tipe emulsi tersebut adalah minyak
dalam air (w/o)
3. Fluoresensi
Tipe emulsi air dalam minyak (o/w) akan berfluoresensi jika disinari dengan sinar UV, sedangkan tipe emulsi
minyak dalam air (w/o) tidak berfluoresensi
4. Penghantaran arus listrik
Tipe emulsi minyak dalam air (o/w) dapat menghantarkan arus listrik, sedangkan tipe emulsi air dalam minyaj
(w/o) tidak.

Berikut ini adal kerusakan emulsi yang dapat terjadi adalah


1. Creaming
Creaming adalah terpisahnya emulsi menjadi dua bagian, bagian fase disper lebih banyak daripada fase lain.
Kerusakan seperti ini bersifat reversibel artinya dengan pengocokan perlahan dapat terdispersi kembali
2. Breaking atau koalesensi
Koalesensi adalah pecahnya emulsi diakibatkan karena rusaknya lapisan film yang melapisi partikel atau
butiran-butiran emulsi, sehingga terjadi pemisahan antara fase minyak dan fase air dan masing-masing fase
bersatu sesama jenisnya
3. Inversi fase
Inversi fase adalah perubahan tipe emulsi dari minyak dalam air (o/w) menjadi air dalam minyak (w/o) atau
sebaliknya.

1. TEORI TEGANGAN PERMUKAAN (Surface tension)


Molekul memilki daya tarik menarik antara molekul yang sejenis yang disebut sebagai daya kohesi, selain itu mulekul
juga memiliki daya tarik menarik antara molekul yang tidak sejenis yang disebut daya kohesi
Daya kohesi suatu zat selalu sama, sehingga pada permukaan suatu zat cair akan tejadi perbedaan tegangan karena
tidak adanya keseimbangan daya kohesi. Tegangan yang terjadi pada permukaan tersebut dinamakan dengan
tegangan permukaan (surface tension)
Dengan cara yang sama dapat dijelaskan terjadinya perbedaan tegangan bidang batas dua cairan yang tidak dapat
bercampur (immicible liquid). Tegangan yang terjadi antara 2 (dua) cairan tersebut dinamakan tegangan bidang batas
(interfacial film).
Semakin tinggi perbedaan tegangan yang terjadi pada bidang batas mengakibatkan antara kedua zat cair itu semakin
susah untuk bercampur. Tegangan yang terjadi pada air akan bertambah dengan penambahan garam anorganik atau
senyawa elektrolit, tetapi akan berkurang dengan penambahan senyawa organik tertentu antara lain sabun (sapo)
Teori ini dikatakan bahwa penambahan emulgator yang akan menurunkan tegangan yang terjadi pada bidang batas
sehingga antara kedua zat cair tersebut akan mudah bercampur.
Semakin besar tegangan permukaan, semakin tinggi tegangan bidang batasnya, sehingga jika semakin tinggi
tegangan bidang batasnya, maka semakin sulit untuk bercampur

2. TEORI ORIENTASI BENTUK BAJI (Oriented wedge)


Setiap molekul emulgator dibagi menjadi 2 (dua) kelompok:
a. Kelompok hidrofilik, yaitu dari emulgator yang suka pada air
b. Kelompok lipofilik, yaitu dari emulgator yang suka pada minyak
Semua jenis emulgator yang memiliki harga keseimbangan yang besarnya tidak sama. Harga keseimbangan dikenal
dengan istilah hidrofil lipofil balance (HLB), Yaitu angka yang menunjukkan perbandingan antara kelompok lipofil
dengan kelompok hidrofil

3. TEORI INTERPARSIAL FILM


Untuk memberikan stabilitas maksimum pada emulsi, syarat emulgator yang dipakai:
a. Dapat membentuk lapisan film yang kuat tapi lunak
b. Jumlah cukup untuk menutup semua permukaan partikel fase dispers
c. Dapat membentuk lapisan film dengan cepat dan dapat menutup semua permukaan partikel dengan segera
Teori ini emulgator akan menyelubungi fase dispers
Mayoritas tipe emulsi yang dibentuk adalah o/w

4. TEORI ELECTRIC DOUBLE LAYER (Lapisan listrik rangkap)


Teori ini tanpa adanya emulgator
Jika minyak terdispers ke dalam permukaan air, lapisan air yang langsung berhubungan dengan permukaan minyak
akan bermuatan sejenis, sedangkan lapisan berikutnya akan mempunyai muatan yang berlawanan dengan lapisan
didepannya. Dengan demikian seolah-olah partikel minyak dilindungi oleh 2 benteng lapisan listrik yang saling
berlawanan.
Terjadinya muatan listrik disebabkan oleh salah satu dari ke tiga cara di bawah ini,
a. Terjadinya ionisasi dari molekul pada permukaan partikel
b. Terjadinya absorbsi ion oleh partikel dari cairan disekitarnya
c. Terjadinya gesekan partikel dengan cairan disekitarnya
Cara Membedakan Tipe Emulsi
1. Test Pengenceran Tetesan

Metode ini berdasarkan prinsip bahwa suatu emulsi akan bercampur dengan yang menjadi fase luarnya.
Misalnya suatu emulsi tipe m/a, maka emulsi ini akan mudah diencerkan dengan penabahan air. Begitu pula
sebaliknya dengan tipe a/m.

2. Test Kelarutan Pewarna

Metode ini berdasarkan prinsip keseragaman disperse pewarna dalam emulsi , jika pewarna larut dalam fase
luar dari emulsi. Misalnya amaranth, adalah pewarna yang larut air, maka akan terdispersi seragam pada emulsi
tipe m/a. Sudan III, adalah pewarna yang larut minyak, maka akan terdispersi seragam pada emulsi tipe a/m.

3. Test Creaming (Arah Pembentukan Krim)

Creaming adalah proses sedimentasi dari tetesan-tetesan terdispersi berdasarkan densitas dari fase internal
dan fase eksternal. Jika densitas relative dari kedua fase diketahui, pembentukan arah krim dari fase dispers
dapat menunjukkan tipe emulsi yang ada. Pada sebagian besar system farmasetik, densitas fase minyak atau
lemak kurang dibandingkan fase air; sehingga, jika terjadi krim pada bagian atas, maka emulsi tersebut adalah
tipe m/a, jika emulsi krim terjadi pada bagian bawah, maka emulsi tersebut merupakan tipe a/m.

4. Test Konduktivitas Elektrik

Metode ini berdasarkan prinsip bahwa air atau larutan berair mampu menghantarkan listrik, dan minyak tidak
dapat menghantarkan listrik. Jika suatu elektroda diletakkan pada suatu system emulsi, konduktivitas elektrik
tampak, maka emulsi tersebut tipe m/a, dan begitu pula sebaliknya pada emulsi tipe a/m.

5. Test Fluorosensi

Sangat banyak minyak yang dapat berfluorosensi jika terpapar sinar ultra violet. Jika setetes emulsi di uji
dibawah paparan sinar ultra violet dan diamati dibawah mikroskop menunjukkan seluruh daerah berfluorosensi
maka tipe emulsi itu adalah a/m, jika emulsi tipe m/a, maka fluorosensi hanya berupa noda.

Anda mungkin juga menyukai