Anda di halaman 1dari 27

KATA

PENGANTAR………………………………………………………………………i

DAFTAR

ISI……………………………………………………………………………………ii

BAB I

PENDAHULUAN……………………………………………………………………

BAB II

Rumusan Masalah……………………………………………………………

BAB III

PEMBAHASAN…………………………………………………………………….

BAB IV

Kesimpulan……………………………………………………………………………

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………

Page 1 of 27
I.PENDAHULUAN

Perkembangan perekonomian global membawa pengaruh terhadap

perkembangan hukum terutama hukum dagang yang merupakan roda penggerak

perekonomian. Erman Radjagukguk menyebutkan bahwa globalisasi hukum akan

menyebabkan peraturan-peraturan Negara-negara berkembang mengenai

investasi,perdagangan, jasa-jasa dan bidang perekonomian lainnya mendekati

Negara-negara maju. (Convergency).Dalam rangka menyesuaikan dengan

perekonomian global, Indonesia melakukan revisi terhadap seluruh hukum

ekonominya.Namun demikian tidak dapat disangkal bahwa perubahan terhadap

hukum ekonomi Indonesia dilakukan juga  karena tekanan dari badan-badan

dunia seperti WTO, IMF dan Worl Bank. Bidang hukum yang mengalami revisi

antara lain adalah hukum kepailitan. Hukum kepailitan sendiri merupakan

warisan dari pemerintahan Kolonial Belanda yang notabenenya bercorak sistem

hukum Eropa Kontinental. Di Indonesia saat ini dalam hukum ekonomi mendapat

pengaruh yang cukup kuat dari sistem hukum Anglo Saxon.

Pada dasarnya Kepailitan dapat terjadi karena makin pesatnya perkembangan

perekonomian dan perdagangan dimana muncul berbagai macam permasalahan

utang piutang yang timbul dalam masyarakat. Begitu juga dengan krisis moneter

yang terjadi di Indonesia telah memberikan dampak yang tidak  menguntungkan

terhadap perekonomian nasional sehingga menimbulkan kesulitas besar terhadap

dunia usaha dalam menyelesaikan utang piutang untuk meneruskan kegiatan

usahanya.

Mempelajari perkembangan hukum kepailitan yang berlaku di Indonesia tidak

terlepas dari kondisi perekonomian nasional khususnya yang terjadi pada

pertengahan tahun 1997. Dari sisi ekonomi patut disimak data yang dikemukakan

Page 2 of 27
oleh Lembaga Konsultan (think tank) Econit Advisory Group, yang menyatakan

bahwa tahun 1997 merupakan ‘Tahun Ketidak pastian” (A Year of Uncertainty).

Sementara itu, Tahun 1998 merupakan “Tahun Koreksi” (A Year of Correction).

Pada pertengahan tahun 1997 terjadi depresiasi secara drastis nilai tukar rupiah

terhadap mata uang asing, khususnya US $ dari sekitar Rp. 2300,00 pada sekitar

bulan Maret menjadi sekitar Rp. 5000,00 per US $ pada akhir tahun 1997.

Bahkan pada pertengahan tahun 1998 nilai tukar rupiah sempat menyentuh Rp.

16.000,00 per US $. Kondisi perekonomian ini mengakibatkan keterpurukan

terhadap pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya positif sekitar 6 – 7 % telah

terkontraksi menjadi minus 13 – 14 %. Tingkat inflasi meningkat dari di bawah

10 % menjadi sekitar 70 %. Banyak perusahaan yang kesulitan membayar

kewajiban utangnya terhadap para kreditor dan lebih jauh lagi banyak perusahaan

mengalami kebangkrutan (Pailit) termasuk di dalamnya adalah PT.Dirgantara

Indonesia sehingga timbullah gugatan dari karyawan ke pengadilan niaga..

Di dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, telah diatur

tentang pengajuan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga. Pemohon Pailit

yangtelah memenuhi syarat pengajuan permohonan pailit dapat mengajukan

permohonannya. Pemohon Pailit dalam kasus ini adalah mantan karyawan PT

Dirgantara Indonesia (Persero) yang mengajukan permohonan pailit atas PT

Dirgantara Indonesia (Persero) sebagai Termohon Pailit. Pemohon Pailit

mengajukan pailit karena PT Dirgantara Indonesia (Perseo) belum membayarkan

kompensasi dana pensiun dan tunjangan hari tua sesuai perhitungan gaji pokok

terakhir senilai Rp 200 miliar kepada 6.500 mantan karyawan, yang merupakan

isi dari butir ketiga putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan

Pusat(P4P),Terhadap permohonan tersebut Kemudian Pengadilan Niaga pada

Page 3 of 27
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan putusan Nomor

41/pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst atas pailitnya PT Dirgantara Indonesia (Persero),

putusan tersebut diputus berdasarkan pertimbangan hukum sendiri dan dengan

adanyaputusan tersebut PT Dirgantara Indonesia (Persero) dinyatakan pailit

dengan semua akibat hukumnya.

Page 4 of 27
II.RUMUSAN MASALAH

1. Siapakah pihak yang bisa mengajukan pailit terhadap BUMN?

2. Bagaimanakan selanjutnya pelaksanaan putusan pailit pengadilan niaga dengan

adanya putusan MA yang membatalkannya?

Page 5 of 27
III.PEMBAHASAN

1.Yang dapat mengajukan pailit terhadap BUMN

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang seluruh atau sebagian besar modalnya

berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan merupakan salah satu pelaku

ekonomi dalam sistem perekonomian nasional, di samping usaha swasta dan

koperasi. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, BUMN, swasta dan koperasi

melaksanakan peran saling mendukung berdasarkan demokrasi ekonomi. Maksud

dan tujuan dibentuknya BUMN menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun2003

ialah sebagai berikut :

a. memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada

umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; 

b.mengejar keuntungan;

c. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau

jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak

d. menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh

sektor swasta dan koperasi; 

e. turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan

ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.

BUMN mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian

nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dalam Undang-Undang

BUMN dijelaskan bahwa BUMN ikut berperan menghasilkan barang dan/atau

jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran

Page 6 of 27
masyarakat. Peran BUMN dirasakan semakin penting sebagai pelopor dan/atau

perintis dalam sektor-sektor usaha yang belum diminati usaha swasta. Di samping

itu, BUMN juga mempunyai peran strategis sebagai pelaksana pelayanan publik,

penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar, dan turut membantu

pengembangan usaha kecil/koperasi. BUMN juga merupakan salah satu sumber

penerimaan negara yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis pajak, dividen

dan hasil privatisasi. Meskipun demikian, suatu BUMN tetap dimungkinkan

untuk dinyatakan pailit. Dalam Undang-Undang Kepailitan, suatu BUMN dapat

dimohonkan pailit. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 2 ayat 5 dan Pasal 3

ayat (5). Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan menyatakan bahwa ,“dalam hal Debitur

adalah Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik,

maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri

Keuangan”. Selanjutnya Pasal 3 ayat (5) berbunyi, “Dalam hal Debitor

merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana

dimaksud dalam anggaran dasarnya”. Undang-Undang Kepailitan tersebut tidak

membedakan antara badan hukum publik dan badan hukum privat. Dengan

demikian BUMN yang merupakan badan hukum publik tetap dapat dinyatakan

pailit, baik Perusahaan Umum (Perum) maupun Perusahaan Perseroan (Persero).

Selain itu, dalam Undang-Undang BUMN sendiri juga ada pasal yang mengatur

tentang kepailitan suatu BUMN. Misalnya, Pasal 55 Undang -Undang BUMN

mengatur tentang kepailitan Perum. Jadi meskipun mempunyai peranan penting

dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan

masyarakat, BUMN dapat dinyatakan pailit sepanjang telah memenuhi syarat-

syarat kepailitan,

Page 7 of 27
Akibat kepailitan terhadap debitor pailit ialah bahwa debitor tersebut demi

hukum kehilangan hak untuk mengurus harta kekayaannya. Seluruh kekayaan

perusahaan selanjutnya diambil alih oleh kurator, hal tersebut dilakukan karena

pada dasarnya kepailitan adalah sita. Selanjutnya harta kekayaan yang disita

tersebut tersebut akan dibagi kepada para kreditor sesuai dengan prosentase

tagihannya. Penyitaan seluruh aset tersebut berpengaruh bagi debitor dalam

menjalankan usahanya, terlebih bagi sebuah BUMN. Mengingat peranannya yang

sangat penting, kepailitan suatu BUMN tentu sangatlah berpengaruh bagi

perekonomian negara kita. Maka dari itu. Undang-Undang Kepailitan

memberikan syarat permohonan pernyataan pailit terhadap BUMN harus

diajukan oleh pihak yang memiliki kapasitas dalam pengelolaan keuangan

negara, dalam hal ini Menteri Keuangan. Menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (5)

Undang-Undang Kepailitan, permohonan pernyataan pailit harus diajukan oleh

Menteri Keuangan dalam hal debitor adalah BUMN yang bergerak di bidang

kepentingan publik, BUMN yang dimaksud mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

a)Seluruh modalnya dimiliki oleh negara Undang –Undang BUMN membedakan

antara BUMN dalam bentuk erum dan Persero. Dalam hal kepemilikan modal,

suatu Persero modalnya minimal 51 % modalnya harus dimiliki oleh Negara.

Ketentuan tersebut hanyalah minimalnya saja, yang berarti seluruh modal Persero

boleh dimiliki oleh Negara. Hal tersebut sangat dimungkinkan, karena sudah

sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas.

Berbeda dengan Persero, pada Perum seluruh modalnya harus dimiliki oleh

Negara, yang berarti pihak manapun selain Negara tidak boleh ikut memiliki

Perum. 

b)Tidak terbagi atas saham Dalam Undang-Undang BUMN dise

Page 8 of 27
butkan bahwa modal Perum tidak terbagi atas saham. Perusahaan yang modalnya

terbagi atas saham adalah Persero. Namun, kepemilikan saham suatu Persero

harus tetap mematuhi ketentuan dalam Undang-Undang PT, karena Persero

adalah perusahaan perseroan yang harus tunduk pada Undang-Undang PT. Dalam

Undang-Undang PT disyaratkan kepemilikan saham perseroan tidak boleh hanya

dimiliki oleh satu pihak saja. Kepemilikan saham minimal harus dua pihak.

Namun, untuk suatu BUMN, Undang-Undang PT membolehkan suatu perseroan

seluruh modalnya yang terbagi atas saham itu dimiliki Negara seluruhn

Pada dasarnya UU Kepailitan tidak membedakan kepailitan berdasarkan

kepemilikian. UU Kepailitan hanya mendeskripsikan debitur yang dapat

dipailitkan menjadi dua, yaitu orang perorangan (pribadi), dan badan hukum.

Artinya, baik orang perorangan, maupun badan hukum dapat dinyatakan

pailit.Hal ini terlihat dari ps. 2 ayat (5) UU Kepailitan yang menyebutkan bahwa

Dalam hal debitur merupakan badan hukum, maka kedudukan hukumnya adalah

sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasarnya .Selain itu, dalam ps. 3 ayat

(1) UU Kepailitan disebutkan bahwa Dalam hal permohonan pernyataan pailit

diajukan oleh debitur yang menikah, permohonan hanya dapat diajukan atas

persetujuan suami atau istrinya

Kedua pasal tersebut dapat dijadikan dasar, siapa saja (debitur) yang dapat

dipailitkan.Namun tidak dengan sendirinya semua jenis pihak dapat dipailitkan,

harus diperhatikan kualifikasi dan kapasitas pihak tersebut. Secara logis

kepailitan membutuhkan pihak yang cakap melakukan tindakan keperdataan,

seperti kapasitas untuk memiliki aset, membuat perjanjian dengan pihak ketiga;

sehingga dapat dikatakan bahwa yang dapat dipailitkan hanyalah pihak yang

memenuhi syarat sebagai subyek hukum.Hal ini karena melihat sifat kepailitan
Page 9 of 27
yang merupakan sita umum terhadap harta kekayaaan debitur, maka sifat tersebut

menuntut adanya kepemilikan mutlak atas harta yang sedianya akan dijadikan

budel pailit. Tidak ada artinya memailitkan suatu entitas yang tidak memiliki hak

milik atau kapasitas dalam lalu lintas keperdataan, karena tidak ada apapun yang

dapat disita sebagai sita umum.Sehingga untuk kepailitan suatu persekutuan

perdata seperti firma, CV, Joint operation, maka kepailitan tidak diarahkan

kepada firma, CV, Joint operation yang bersangkutan, namun diarahkan kepada

persero-persero yang memiliki kapasitas dalam persekutuan perdata tersebut.

Tentunya tidak mungkin dilakukan sita umum terhadap suatu badan hukum yang

tidak memiliki kapasitas atas harta bendanya, alias barang tersebut milik orang

lain.Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dibutuhkan untuk dapat dinyatakan pailit

adalah kapasitas dan kecakapan suatu subyek hukum untuk melakukan tindakan-

tindakan keperdataan, dan bukan hal lainnya.

Membicarakan konsep kepailitan bagi BUMN, maka tidak boleh dibedakan

antara kepailitan terhadap badan hukum privat dan badan hukum publik seperti

BUMN. Baik BUMN yang berbentuk Persero, maupun Perum dapat dipailitkan

sebagaimana layaknya badan hukum privat dapat dipailitkan. Pertama karena UU

Kepailitan tidak membedakan antara kapasitas badan hukum publik BUMN

dengan badan hukum privat, kedua, karena dalam pengaturan mengenai BUMN

sendiri, dimungkinkan terjadinya kepailitan bagi BUMN baik Persero (lihat

Penjelasan ps. 7 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1998), maupun Perum (lihat

ps. 25 Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1998).Dari kacamata itu, maka tidak

ada masalah dalam mempailitkan suatu BUMN yang berbentuk badan hukum

persero, karena memang UU Kepailitan juga tidak memberikan privilege

terhadap BUMN pada umumnya (perhatikan privilege yang berlaku bagi Bank,

Page 10 of 27
dan Perusahaan efek, yang dengan sendirinya berlaku mutatis mutandis bagi

BUMN yang merupakan Bank dan perusahaan efek), dan oleh karenanya

kepailitan BUMN harus dipandang sebagaimana kepailitan suatu Badan Hukum

biasa.

Praktis tidak ada hal spesifik yang perlu diperhatikan dalam mengajukan

kepailitan bagi BUMN, namun untuk memberi contoh pendapat pengadilan

mengenai kepailitan BUMN, maka agak sulit, karena sampai saat ini belum ada

satupun BUMN di Indonesia dinyatakan pailit.

PT Dirgantara Indonesia (DI) akhirnya batal pailit setelah Mahkamah Agung

menolak permohonan pailit mantan karyawan DI pada Senin (22/10) lalu.

Pembatalan itu diputus oleh Majelis yang diketuai Wakil Ketua MA Marianna

Sutadi beranggotakan Ketua Muda MA Perdata Niaga Abdul Kadir Mappong dan

Atja Sondjaja. Permohonannya sendiri diajukan mantan karyawan terkait

kekurangan pembayaran iuran pensiun setelah mereka di PHK.MA

berkesimpulan bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN), baik berbentuk

Perusahaan Umum (Perum) atau Persero hanya dapat dimohonkan pailit oleh

Menteri Keuangan (Menkeu). dinyatakan oleh Marianna Sutadi yang bertindak

sebagai ketua majelis. BUMN yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara, yang

melaksanakan kegiatan kepentingan publik hanya dapat dimohonkan pailit oleh

Menteri Keuangan.Sebelumnya Pengadilan Niaga menyatakan mantan karyawan

PT DI berhak mengajukan permohonan pailit, karena DI merupakan persero yang

terbagi atas saham. Memang, mengacu pada Pasal 2 Ayat (5) Undang-Undang

Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU beserta penjelasannya, hanya

perusahaan yang tidak terbagi atas saham permohonan yang pailitnya hanya

dapat diajukan oleh Menkeu. Sedangkan BUMN yang terbagi atas saham
Page 11 of 27
seharusnya dapat dipailitkan siapa saja. [Putusan ini sempat memunculkan

perdebatan. Presiden dan Wakilnya pun sempat urun bicara.]Meski mengacu

pada ketentuan yang sama, MA mengenyampingkan kata-kata tidak terbagi atas

saham' dalam penjelasan pasal dari Undang-Undang. Pasal 2 Ayat (5)

menyebutkan BUMN yang menjalankan kepentingan umum hanya dapat

dimohonkan pailit oleh Menkeu. Namun penjelasan pasal itu memberi pengertian

yang masuk kategori BUMN menjalankan kepentingan publik ialah BUMN yang

seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham.

UU Kepailitan Pasal 2 Ayat 5 berbunyi :

“Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana

Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan

publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri

Keuangan”.Yang dimaksud dengan "Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di

bidang kepentingan publik" adalah badan usaha milik negara yang seluruh

modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham.Alasan majelis MA

menyesampingkannya ketentuan tidak terbagi atas saham, karena PT DI terpaksa

menjadi membagi kepemilikannya atas saham untuk memenuhi syarat

kepemilikan dari sebuah perseroan terbatas. Oleh karena untuk memenuhi

ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas. Bahwa suatu perseroan hanya

dimiliki oleh sekurang-kurangnya dua orang. Maka dibagilah atas saham. Tapi

keseluruhan modal itu kan modal yang dimiliki oleh negara .pembatalan ini

dikuatkan dengan adanya lampiran keputusan Menteri Perindustrian yang

menyebutkan beberapa BUMN, termasuk PT DI adalah obyek vital industri.

Selain itu, PT DI juga dianggap sebagai aset negara, sehingga tidak dapat

disita.Pasal 50 UU Perbendaharaan Negara; di dalam putusan MA, meletakkan


Page 12 of 27
sita saja dilarang. Kepailitan itu sita umum, kan tentunya hanya dapat dilakukan

kalau dimohonkan oleh Menteri Keuangan sebagai bendahara umum negara,

Dalam situs resminya, Profesor Doktor Remy Sutan menyampaikan bahwa ada

beberapa golongan tentang siapa yang dapat menggugat BUMN khususnya

terhadap Komisaris dan Direksi dalam hal perseroan mengalami kerugian

dan/atau kepailitan, antara lain:

♦ Khusus bagi Komisaris, berlaku Pasal 114 ayat (6) UUPT Atas nama

Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh)

bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat menggugat anggota

Dewan Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan

kerugian pada Perseroan ke pengadilan negeri.

♦ Ketentuan Pasal 114 ayat (6) UUPT tersebut di atas, secaraeksplisit ditentukan

sebagai hak pemegang saham minoritas untuk menggugat Dewan Komisaris saja;

Hak pemegang saham minoritas tersebut tidak secara ekspilit ditentukan untuk

dapat menggugat Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan

kerugian pada Perseroan ke pengadilan negeri

♦ Tidak jelas mengapa UUPT bersikap diskriminatif seperti itu.

♦ Namun sekalipun tidak ditentukan secara eksplisit, tidak menutuppemegang

saham minoritas untuk menggugat juga anggota Direksiyang karena kesalahan

atau kelalaiannya menimbulkan kerugianpada Perseroan ke pengadilan negeri.

Hukum tidak hanya memberi hak kepada pemegang saham minoritas tetapi setiap

pemegang saham yang mana pun untuk dapat menggugat Direksi dan Komisaris

apabila perseroan mengalami kerugian dan/atau kepailitan sebagai akibat

Page 13 of 27
kesalahan atau kelalaian Direksi dan Dewan Komisaris sepanjang pemegang

saham tersebut dapat membuktikan kerugian yang dideritanya adalah akibat

perseroan mengalami kerugian dan/atau kepailitan.

Selain setiap pemegang saham, menurut hukum semua pihak lain yang

mengalami kerugian akibat perseroan mengalami kerugian dan/atau kepailitan

dapat mengajukan gugatan terhadap Direksi & Komisaris yang karena kesalahan

atau kelalaiannya menimbulkan kerugian dan/atau kepailitan pada Perseroan ke

pengadilan negeri.

♦ Pihak-pihak yang mungkin mengalami kerugian antara lain adalah:

1. Kreditor yang belum seluruh piutangnya dibayar lunas.

2. Pegawai yang terpaksa mengalami pengurangan gaji, tidak naik gaji,

ataumengalami PHK.

3. Negara yang belum dibayar lunas tagihan pajaknya.

4. Pihak-pihak lain yang berhak atas harta pailit.

Menurut Ricardo Simanjuntak, putusan yang menyatakan PT DI hanya dapat

dipalitkan Menkeu bertentangan dengan hokum, ketentuan tentang BUMN yang

dapat dipailitkan diatur secara tegas. UU Kepailitan menetapkan bahwa meski

milik pemerintah, apabila mereka terbagi atas saham, dalam hal ini berbentuk

Persero, dapat dimohonkan pailit oleh siapa saja. Kalau dia bilang harus melalui

menkeupadahalUU bilang bisa, pertimbangannya menjadi tidak masuk akal dan

bertentangan dengan hukum .Ketentuan tegas tidak dapat diinterpretasikan.

Page 14 of 27
Dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN. hanya ada dua

(BUMN, red) Perum dan Persero. UU Kepailitan menjelaskan yang terbagi atas

saham dan tidak terbagi atas saham

Pasal 1 (2) Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN

yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang

bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa

yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip

pengelolaan perusahaan.

Pasal 1 (4) Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah

BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham

yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki

oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.

Pendapat Swandy Halim, pengaturan penjelasan Pasal 2 Ayat 5 UU Kepailitan

sifatnya kumulatif. Jadi, bukan hanya BUMN tersebut harus dimiliki negara

tetapi kepemilikannya tidak boleh berbentuk saham. Kalau kita lihat Undang-

undangnya secara letterlijk memang bisa dipailitkan karena terbagi atas saham .

Disini terdapat inkonsistensi dari MA dalam putusan ini dalam memandang

status aset BUMN. Tahun lalu MA telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan

piutang BUMN bukan piutang negara. Itu berarti ada kontradiksi. Disatu pihak

menyatakan piutang bank-bank negara diselesaikan menurut UU PT karena

bukan piutang negara, dan dipihak lain menganggap BUMN sebagai milik

negara. masalah pokok terletak pada UU Kepailitan. Kalau kita melihat spirit

pembatasan pemohon pailit dalam UU, itu sebenarnya untuk melindungi

kepentingan umum. Dalam UU tersebut badan-badan yang tidak serta merta

Page 15 of 27
dapat dimohonkan palilit. Bank-bank, perusahaan efek dan bahkan perusahaan

asuransi tidak begitu saja dapat dipailitkan.

Yang saat ini dapat dilakukan untuk mengubah ketentuan ini ialah lewat

amandemen UU atau mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang. Swandy berpandangan kata-kata tidak terbagi atas saham' sebaiknya

dihapus, karena itu hanya memperumit. Atau sebut saja semua BUMN tidak

dapat dipailitkan kenapa harus malu-malu. Atau dapat saja BUMN mengajukan

judicial review ke MK untuk meminta kata-kata tidak terbagi atas saham'

dinyatakan tidak mengikat. putusan juga sangat cepat keluar. Putusan pailit

Pengadilan Niaga dibacakan 4 September. Berkas memori dan kontra memori

para pihak dikirimkan oleh PN dan diterima oleh MA pada 25 September .

Kurang dari sebulan sejak berkas diterima MA memutus kasasi . sedangkan

sesuai Undang Undang, jangka waktu memutus ialah 60 hari. Sementara cukup

banyak perkara yang diputus MA lewat dari jangka waktu yang ditentukan.

II.Pelaksanaan Putusan Pailit

Pada dasarnya pelaksanaan putusan atau eksekusi merupakan suatu pelaksanaan

terhadap suatu putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap yang dilakukan

dengan bantuan pengadilan atau dikutip pendapat R. Subekti bahwa eksekusi

adalah:”Melaksanakan putusan yang sudah tidak dapat diubah lagi itu, ditaati

secara sukarela oleh pihak yang bersengketa. Jadi di dalam makna perkataan

eksekusi sudah mengandung arti pihak yang kalah mau tidak mau harus mentaati

putusan itu secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya

dengan bantuan kekuatan umum, dimana kekuatan umum ini berarti

polisi”.Sedangkan menurut R. Supomo:“Hukum yang mengatur cara dan syarat-

syarat yang dipakai oleh alat-alat negara guna membantu pihak yang

Page 16 of 27
berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim, apabila pihak yang kalah

tidak bersedia memenuhi bunyinya putusan dalam waktu yang ditentukan”.Suatu

putusan hakim yang dapat dieksekusi harus putusan hakim yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yaitu apabila tidak

ada lagi upaya hukum biasa yang dipergunakan yaitu perlawanan, banding dan

kasasi. Karena dengan memperoleh kekuatan hukum yang tetap maka putusan itu

tidak dapat lagi diubah, sekalipun dengan pengadilan yang lebih tinggi, kecuali

dengan upaya hukum yang khusus, yaitu request civil dan perlawanan oleh pihak

ketiga Dalam suatu putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah

terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang

berperkara sehingga putusan tesebut harus ditaati dan harus dipenuhi oleh para

pihak. Cara menaati dan memenuhi hubungan hukum yang ditetapkan dalam

amar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, yaitu dapat

dilakukan atau dijalankan secara sukarela oleh pihak tergugat dan bila enggan

menjalankan putusan secara sukarela, hubungan hukum yang ditetapkan dalam

putusan harus dilaksanakan dengan paksa dengan jalan bantuan hukumTetapi

tidak selalu hanya putusan yang telah memperoleh berkekuatan hukum tetap yang

dapat dieksekusi, menurut ketentuan pasal 180 HIR/191 RBg, hakim diizinkan

untuk menjalankan putusannya terlebih dahulu walaupun belum berkekuatan

hukum tetap yang disebut dengan putusan serta merta (uitvoerbaar bij vooraad).

Putusan serta merta tersebut dianut dalam UUKPKPU, diatur dalam pasal 8 ayat

(7):“Putusan atas permohonan pernyataan pailit sebagaimana dimaksud pada ayat

(6) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan

tersebut harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat

dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu

Page 17 of 27
upaya hukum”.Adanya putusan serta merta ini disebabkan pembentuk undang-

undang menginginkan agar putusan pernyataan pailit dapat secepatnya

dilaksanakan.Pelaksanaan putusan secara serta merta ini dapat menimbulkan

masalah hukum nantinya apabila terhadap putusan pailit tersebut dimintakan

upaya hukum, baik Kasasi ataupun Peninjauan Kembali dan kemudian

permintaan tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Agung dan putusan Pengadilan

Niaga dibatalkan sedangkan Kurator telah melakukan pengurusan dan/atau

pemberesan atas harta pailit tersebut, misalnya: telah dilakukan penjualan

terhadap sebagian harta pailit kepada pihak ketiga, apakah pihak ketiga harus

mengembalikan barang tersebut? Bagaimana bila barang tersebut sudah dijual

oleh pihak ketiga?. Menyikapi hal tersebut pasal 16 ayat (2) UUKPKPU

mengatur bahwa dalam hal putusan pernyataan pailit dibatalkan sebagai akibat

adanya Kasasi atau Peninjauan Kembali, segala perbuatan yang telah dilakukan

oleh Kurator sebelum atau pada tanggal Kurator menerima pemberitahuan

tentang putusan pembatalan, tetap sah dan mengikat Debitor.  Namun walaupun

undang-undang telah mengatur bahwa perbuatan pengurusan atau pembereresan

Kurator tetap sah dan mengikat Debitor walau dilakukan upaya hukum tapi tetap

tidak dapat dihindari kemungkinan terjadinya kerugian bagi kelangsungan usaha

Debitor setelah pembatalan putusan pernyataan pailit oleh Mahkamah Agung

karena bisa saja yang berhasil dijual oleh Kurator tersebut adalah asset yang

diperlukan untuk kelangsungan usaha Debitor. Menurut pendapat Sutan Remy

Sjahdeini, sebaiknya undang-undang menentukan bahwa yang boleh dilakukan

Kurator terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit itu adalah tugas

pengurusan dan pemberesan atas harta pailit kecuali melakukan penjualan harta

tetap yang merupakan harta  yang mutlak diperlukan bagi kegiatan usaha atau

Page 18 of 27
bisnis Debitor, yang tanpa dimilikinya lagi harta itu oleh Debitor maka tidak

mungkin lagi bagi Debitor untuk dapat melanjutkan usaha atau bisnisnya

seandainya putusan pernyataan pailit itu dibatalkan Wewenang

Menjalankan Pelaksanaan Putusan PailitDalam perkara perdata umum,

pelaksanaan putusan atau eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan

Ketua Pengadilan Negeri, diatur dalam Pasal 195 (1) HIR yang menentukan

bahwa eksekusi terhadap suatu putusan hakim dilakukan atas perintah dan

dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang dulu memeriksa dan memutus

perkara tersebut dalam tingkat pertama, walau ada dilakukan upaya hukum. Hal

ini berarti kewenangan menjalankan eksekusi terhadap putusan hakim mutlak

berada pada Pengadilan Negeri, kemudian Ketua Pengadilan Negeri tersebut akan

menuangkannya dalam suatu surat penetapan, untuk kemudian dijalankan oleh

panitera dan juru sita.  Sedangkan di dalam perkara kepailitan, yang

melaksanakan putusan pailit dalam hal pengrusan dan/atau pemberesan terhadap

harta pailit adalah Kurator bukan Ketua Pengadilan dan dalam perkara kepailitan

tidak ada yang memimpin eksekusi, sebab UU Kepailitan hanya menyatakan

bahwa dalam melakukan pemberesan dan pengurusan harta pailit, Kurator

diawasi oleh Hakim Pengawas Sebelum diuraikan lebih lanjut mengenai tata cara

pelaksanaan putusan pailit, perlu diketahui bahwa tujuan akhir dari kepailitan

adalah menjadikan harta pailit menjadi uang untuk kemudian dipakai untuk

membayar seluruh utang Debitor pailit secara adil merata berimbang (menurut

tingkatan dan sifat utang masing-masing) di bawah pengawasan Hakim

Pengawas dimana orang yang mempunyai tugas melakukan pengurusan dan

pemberesan harta pailit adalah Kurator, maka perlu diketahui pekerjaan yang

harus dilakukan oleh Kurator adalah Menginventarisir harta kekayaan Debitor

Page 19 of 27
Pailit untuk kemudian menentukan mana yang masuk harta pailit, mana yang

bukan, mengingat adanya pengecualian yang diatur dalam undang-undang.

Membuat daftar Kreditor dari Debitor Pailit dengan menyebutkan sifat dan

jumlah utang Debitor atau piutang Kreditor beserta nama dan tempat

tinggalnya.- Mengadakan verifikasi dari piutang Kreditor dari Debitor Pailit

dalam rapat verifikasi yang dipimpin oleh Hakim Pengawas.Membuat daftar

pembayaran piutang pada Kreditor sesuai peraturan hukum yang berlaku

(tingkatan para Kreditor). Dalam hal pemberesan harta pailit dapat terlihat bahwa

tugas Kurator sangat berat karena Kurator bertanggung jawab atas kesalahan atau

kelalaiannya dalam menjalankan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang

yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit Sehubungan dengan hal

tersebut maka Kurator dapat digugat dan wajib membayar ganti kerugian apabila

karena kelalaiannya atau terutama karena kesengajaannya telah menyebabkan

harta pailit mengalami kerugian, dan kemanakah gugatan terhadap Kurator

tersebut harus diajukan, apakah ke Pengadilan Niaga atau Pengadilan Negeri?

UUKPKPU tidak mengaturnya namun karena Pengadilan Niaga hanya

berwenang memeriksa gugatan pailit saja maka gugatan tersebut harus diajukan

ke Pengadilan Negeri.

Dalam tata Cara Pelaksanaan Putusan Pailit berdasarkan Undang-Undang No. 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang Salah satu pihak dalam proses eksekusi perkara kepailitan adalah Panitia

Kreditor. Dalam putusan pailit atau dengan penetapan kemudian, Pengadilan

Niaga dapat membentuk Panitia Kreditor sementara yang terdiri dari tiga orang

anggota yang dipilih dari para Kreditor yang dikenal dengan maksud memberikan

nasehat kepada Kurator dalam tugasnya memeriksa keadaan harta pailit dan

Page 20 of 27
melakukan pencocokan utang-utang Debitor Pailit, yang kemudian dilaporkan

pada Hakim Pengawas.  Pada prinsipnya Panitia Kreditor adalah pihak yang

mewakili pihak Kreditor, sehingga panitia ini tentunya akan memperjuangkan

segala kepentingan hukum pihak Kreditor. Kreditor yang diangkat menjadi

Panitia Kreditor dapat mewakilkan kepada orang lain semua pekerjaan yang

berhubungan dengan tugas-tugasnya dalam panitia. Dalam hal seorang Kreditor

yang ditunjuk menolak pengangkatannya, berhenti, atau meninggal, Pengadilan

harus mengganti Kreditor tersebut dengan mengangkat seorang di antara 2 (dua)

calon yang diusulkan oleh Hakim Pengawas

♦ Pasal 104 ayat (2) UUPT

Dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena

kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar

seluruh kewajiban

Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung

renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta

pailit tersebut.♦ Pasal 115 ayat (1) Dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan

atau kelalaian Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap

pengurusan yang dilaksanakan oleh Direksi dan kekayaan Perseroan tidak cukup

untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan akibat kepailitan tersebut, setiap

anggota Dewan

Komisaris secara tanggung renteng ikut bertanggung jawab dengan anggota

Direksi atas kewajiban yang belum dilunasi.69

Page 21 of 27
♦ Pasal 115 ayat (2)

Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi anggota

Dewan Komisaris yang sudah tidak menjabat 5 (lima) tahun sebelum putusan

pernyataan pailit diucapkan ♦ Tanggung jawab yang dimaksudkan dalam Pasal

104

ayat (2) dan Pasal 115 ayat (1) UUPT tersebut adalahtanggung jawab pribadi

anggota Direksi & Komisaris.

♦ Pasal 104 ayat (3) UUPT

Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga bagi anggota

Direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota Direksi

dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.

♦ Pasal 104 ayat (4) UUPT

Anggota Direksi tidak bertanggungjawab atas kepailitan Perseroan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) apabila dapat membuktikan kepailitan tersebut bukan

karena kesalahan atau kelalaiannya telah melakukan pengurusan dengan itikad

baik,

kehati-hatian, dan penuh tanggungjawab untuk kepentingan Perseroan dan sesuai

dengan maksud dan tujuan Perseroan;c. tidak mempunyai benturan kepentingan

baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan;

dan telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan

Page 22 of 27
♦ Menurut Pasal 115 ayat (1)

Setiap anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng ikut bertanggung

jawab dengananggota Direksi atas kewajiban yang belum dilunasi apabila

perseroan mengalami kepailitan; Sementara itu, Pasal 114 ayat (4) tidak

menentukan tanggung jawab setiap anggota Dewan Komisaris secara tanggung

renteng adalah bersama dengan anggota Direksi apabila perseroan mengalami

kerugian.

♦ Dalam Penjelasan Undang-undang tersebut tidak ada keterangan apa pun

mengenai perbedaan tersebut., Logika hukumnya, tanggung jawab renteng

Dewan Komisaris

adalah bersama dengan Direksi bukan saja dalam hal perseroan mengalami

kerugian tetapi juga dalam hal perseroan mengalami kepailitan.

♦ Pasal 115 ayat (3) Anggota Dewan Komisaris tidak dapat dimintai pertanggung

jawaban atas kepailitan Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila

dapat membuktikan:

a. kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

b. telah melakukan tugas pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk

kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

c. tidak mempunyai kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak langsung

atas tindakan pengurusan oleh Direksi yang mengakibatkan kepailitan; dan

Page 23 of 27
d. telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah terjadinya

kepailitan.

UUPT MENGANUT ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM HAL

PERSEROAN MENGALAMI KERUGIAN DAN/ATAU KEPAILITAN hal ini

bisa dilihat dengan berlakunya Pasal 97 ayat (5), Pasal 114 ayat (5),Pasal 104

ayat (4), dan Pasal 115 ayat (3) UUPT - yaitu pasal pasal yang menentukan

bahwa Direksi atau Komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas

kerugian atau kepailitan Perseroan apabila dapat membuktikan dirinya tidak

bersalah atau lalai telah mengakibatkan terjadinya kerugian atau kepailitan

perseroan – berarti UUPT menganut asas “beban pembuktian terbalik”; Artinya,

bukan penggugat tetapi anggota Direksi atau Komisaris yang digugat (pihak

tergugat) yang harus membuktikan terpenuhinya semua hal yang dimaksud dalam

pasal-pasal tersebut;

Menurut ketentuan hukum acara perdata yang harus membuktikan dalihnya

adalah penggugat bukan tergugat..Dalam hal pengajuan gugatan berdasarkan

UUPT, penggugat cukup hanya membukti kan bahwa penggugat mengalami

kerugian sebagai akibat kerugian atau kepailitan yang dialami oleh Perseroan;

Tegasnya, penggugat tidak perlu membuktikan Direksi atau Komisaris telah

bersalah atau lalai mengakibatkan kerugian dan/atau kepailtan perseroan..

Arti tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris secara renteng adalah:

a) Masing-masing anggota Direksi dan Dewan Komisaris bertanggung jawab untuk

bagian yang sama.

Page 24 of 27
b) Pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi cukup dari salah satu anggota

Direksi dan Dewan Komisaris saja untuk keseluruhan jumlah kerugian yang

dideritnya.

c) Apabila salah satu anggota Direksi dan Dewan Komisaris telah membayar ganti

rugi, maka perbuatan anggota Direksi dan Dewan Komisaris tersebut

membebaskan tanggung jawab anggota Direksi dan Dewan Komisaris lainnya

terhadap pihak yang dirugikan.

d) Anggota Direksi dan Dewan Komisaris lainnya yang telah dibebaskan dari

tanggung jawabnya kepada pihak yang dirugikan selanjutnya bertanggung jawab

kepada anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang telah membayar ganti rugi

itu.

e) Anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang telah membayar ganti rugi tersebut

selanjutnya dapat menagih kepada anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang

lain sesuai dengan porsi tanggung jawabnya.

Page 25 of 27
V.KESIMPULAN

Bahwa dengan adanya analisa diatas maka dapat disimpulkan bahwa seharusnya

dari pihak Mahkamah Agung tidak begitu saja membatalkan putusan pengadilan

niaga dikarenakan adanya suatu asas pembuktian terbalik dalam Undang-Unang

Perseroan Terbatas maka jangan hanya mementingkan kepentingan Negara tapi

juga memikikirkan hajat hidup orang banyak yang telah mengabdi begitu lama

tapi karena kesalahan sekelompok pimpinan yang tidak becus mengelola BUMN

maka jerih payah mereka selama bertahun-tahun jadi hilang karena majelis hakim

di Mahkamah Agung hanya menggunakan kebenaran formil bukan materiil dan

hati nurani.

Page 26 of 27
VI.Daftar Pustaka

 Sjahdeini, Sutan Reny Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti,


Jakarta, Cetakan ke IV 2010.
 Harahap, M.Yahya, Segi - segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986.
 Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit Intermasa, Jakarta, 2008.
 UU No.37 tahun 2004 Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.

Page 27 of 27

Anda mungkin juga menyukai