Anda di halaman 1dari 4

Webinar forum manajemen COVID 19 journal reading.

Saat ini belum ditemukan terapi farmakologi yang pasti untuk kasus COVID-19, tetapi ada terapi
farmakologi secara umum yaitu :
Dengan terapi antiviru.Belum ada terapi yang terbukti efektif atau di rekomendasikan untuk
COVID-19.Antivirus yang digunakan oleh tempat tempat pelayanan kesehatan untuk COVID-19
mengacu pada terapi ketika epidemi SARS dan MERS Semua negara masih mencari pengobatan
yang terbaik untuk COVID 19.Sekitar 300 uji klinik yang dilakukan dengan berbagai obat, yang
sebagian besar menggunakan obat yang sudah ada untuk indikasi lain sebagai terapi COVID-19
baik sebagai antivirus, anti inflamasi atau imunomodulator
Prof Zullies menjelaskan dalam jurnal, penulis mengklasifikasikan 3 kelompok pembagian obat
yaitu :
Selected repurposed drugs :
Chloroquine/hydroxychloroquine
Lopinavir/ritonavir.
Ribavirin
Other antivirals
Oseltamivir
Umifenovir (Arbidol)
5. Miscellaneous agents
Investigational Drugs
Remdesivir
Favipiravir (Avigan)
Adjunctive therapy
Corticosteroid
Anti cytokines therapy (anti IL-6)
Immunoglobulin therapy
Target-target dari obat yang sudah tersedia terkait dari life circle firus.
Chloroquine dan hydroxychloroquine
Chloroquine dan hydroxychloroquine mirip tetapi berbeda, di gugus
hydroxychloroquine terdapat OH yang nanti nya akan mempengaruhi dari propertis dari
obat nya, terutama sifat lipopilisitas nya, dimana Chloroquine lebih lifopil karena ada
kekurangan gugus hidroksil. Nanti akan menentukan efek samping dimana bahwa
hydroxychloroquine memiliki efek samping yang lebih ringan dari pada Chloroquine
walaupun target nya sama. Obat ini merupakan obat anti malaria tetapi juga memiliki
aktivitas sebagai obat antivirus khusus nya untuk obat COVID 19. Terdapat 3 mekanisme
yang di usulkan beberapa litelatur
Menghambat masuk nya virus SARS-CoV2 dengan menghabat glikosilasi dari receptor ACE2
maka nanti akan bersifat sebagai profilaksis
Ketika virus nya sudah terlanjur masuk maka Chloroquine atau hydroxychloroquine bisa
meningkatkan PH endosomal, sifat obat ini bersifat basa sehingga replikasi virus akan
terhambat ketikasuasan menjadi lebih basa
Obat Chloroquine dan hydroxychloroquine memiliki efek imunomodulator dengan menekan
beberapa produksi sitokin didalam proses inflamasi
Chloroquine dan hydroxychloroquine sudah terbukti secara invitro bisa menghambat
SARS-CoV2, hydroxychloroquine lebih poten menghambat SARS-CoV2 secara invitro.
Uji klinis dari beberapa negara terhadap obat ini sampai saat ini belum ada yang
memberikan avidence yang kuat.
Di prancis HCQ sudah di publis, mengenai HCQ kombinasi dengan azitromisin, setelah di
kaji 100% hanya 6 orang saja yang mendapatkan HQC dengan azitromisin, selain itu juga
ada concren terhadap resiko kardiotoksisitas atas interaksi HQC dengan azitromisin
karena diketahui bahwa efek saping QC/HQC meliputi aritma jantung, gagguan
pengelihatan. Khusus untuk jantung memiliki efek serius jika dikombinasikan dengan
obat yang juga memiliki efek memperpanjang interval QT seperti kuinolon, makrolid dll.

Lopinavir/Ritonavir
Obat ini dekembangkan sebagai obat HIV dan bekerja dengan mekanisme
protease inhibitor, efek antiretroviral dari obat tersebut dibuktikan pada saat SARS-CoV
dan MERS-CoV tahun 2004. Kebanyakan untuk terapinya dikombinasikan dengan
ribavirin atau interveron, jadi pada uji klinik nya pada saat digunakan pada SARS-CoV
dan MERS-CoV dikombinasikan dengan ribavirin atau interveron. Dan bukti terakhir
masih menunjukan tidak ada nya aktivitas antivirus pada SARS-CoV2.
Obat ini memiliki efek samping kepada beberapa pasien yaitu :
gastrointestinal distres seperti mual dan diare
hepatotoxicity.
Efek samping ini bisa makin memburuk karena infeksi virus covid pada 20-30% pasien covid
mengalami peningkatan transaminase.Karena itu penggunaan ini tidak direkomendasikan untuk
pasien yang mengalami gangguan liver.
Ribavirin
Suatu analog dari nukleotida guanosin menghambat polymerase RNA virus.Indikasi nya
untuk hepatitis C dan hemorrhagic fever.Studi invitro terhadap SARSCoV hasilnya adalah
membutuhkan dosis yang sangat tinggi untuk menggunakan obat ini.
Kajian sistematik 30 studi pada penggunaan SARS tidak menghasilkan kesimpulan yang
konklusif diantaranya menunjukan ADR hematologi dan liver toxicity.Pada uji klinis
untuk MERS 40% pasien yang menggunakan obat ini memerlukan transfusi
darah.Memiliki efek teratogenik dan ikontraindikasikan untuk keamilan
Ribavirin kurang potensial untuk digunakan dalam terapi COVID-19, namun mungkin
dengan kombinasi akan bisa menguangi dosis ribavirin bisa bersinergi dengan obat lain.
Arbidol (umifenovir)
obat ini dibuat oleh rusia sebagai terapi pengobatan dan pencegahan influeza.Bekerja
menghambat fusi virus dengan membran sel inang, sehingga menghambat masuk nya
virus kedalam sel.Selama pandemi COVID-19 ini sudah ada yang menggunakan untuk
terapi covid.Sudah dicobakan dicina untuk uji klinik nya
Oseltamivir (Tamiflu)
Sering digunakan untuk obat antiinfluenza, dengan mekanisme nya adalah
neurominidase inhibitor.Uji klinik yang dilakukan yaitu : pada saat terjadinya covid di
wuhan sudah dicobakan pada 99 pasien covid, 76% enerima terapi obat ini, pada akhir
evaluasi 58% pasien masih di rawat, 31% sembuh dan 11% meninggal.
Belum ada bukti yang mendukung efektivitas dari obat ini.Pada uji invitro,
neurominidase inhibitor tidak aktiv pada SARSCov.Banyak pasien covid 19 yang
menunjukan gejala seperti influenza, ada baik nya juga tetap diberikan untuk
mengurangi perburukan gejala pasien akibat influenza.
Oseltamivir tidak poten terhadap COVIDA-19 karena obat ini bekerja neuramidase
inhibitor dibutuhkan oleh virus untuk melepaskan virion baru, ketika di hambat oleh
neuramidase maka akan tidak terjadi pelepasan dari virion sehingga menghambat
replikasi dari virus. SARSCov itu tidak memiliki neuramidase sehingga memang tidak ada
target nya Oseltamivir untuk tepat aksinya sehingga itu yang menyebabkan kirang
kompeten untuk covid 19.
Remdesivir
Remdesivir adalah analog dari nukleotida adenosin, mekanisme nya yang mana akan
menghambat sintesis RNA virus.Memiliki spektrum yang luas sebagai antivirus.Sudah di
coba pada SARS, MERS, dan EBOLA
Pada uji in vitro menunjukan aktivitas terhadap SARS-CoV2, SARS-CoV dan MERS-CoV
memang mempunyai aktivitas dari corona virus. WHO memulai uji klinik oat ini untuk
COVID-19 di beberapa negara dan kemungkinan indonesia akan turut serta.Dan sejauh
ini dikatakan paling menjanjikan sebagai antivirus yang poten terhadapa SARS-CoV2,
atau COVID-19.
Avigan (favipiravir)
Favipiravir atau avigan adalah ativiral yang bekerja menghambat sintesis RNA virus
(merupakan obat yang sudah di pakai di indonesia).Obat ini berasal dari jepang, disana
sebagai obat anti influenza, jadi untuk influenza yang tidak bisa diatasi dengan obat lain
makanya dikembangkan lah obat ini.
Pada aktivitas in vitro, kalau di convert ke dosis pada manusia maka akan membutuh
kan loading dose sebesar 2400mg sampai 3000 mg setiap 12 jam, dan kalau di indonesia
kita menggunakan 1600mg setiap 12 jam.Obat ini digunakan di cina dan disimpulkan
cukup efektif ntuk covid.Dan di italy menyetujui penggunaan avigan sebagai drug for
experimental use terhadapa covid-19.
Corticosteroid
Dikelompokan sebagai konjunggatif terapi, dimana masih kontraversial, karena tidak
direkomendasikan penggunaan steroid.Tetapi penelitian di cina pada pasien covid yang
mengalami rds Treatment dengan methylprednisolone bisa mengurangi resiko kematian
dibandingkan dengan yang tanpa steroid.Dan belum bisa dikatakan sebagai evidence
yang kuat.
Terapi kortikosteroid pada SARSCov maupun pada MERSCov banyak dihasilkan evidence
yang justru tidak mendukung terapi covid karena mengurangi clereace RNA dan
beberapa menyebakan kompilkasi diabetes dll
Anticytokine :Tocilizumab (Actemra)
Pada gejala covid yang parah akan terjadi cytokine strome yang meliatkan pelepasan
sitokin besar besaran yang merusak jaringan paru paru salah satunya adalah interlekin-
6.interlekin-6 biasanya juga di jumpai pada penyakit rheumatoid artritis sehingga
tocillizumab awalnya dikembangkan untuk rheumatoid artritis.
pada covid beberapa peneliti melakukan treatment Tocilizumab dan hasil nya perbaikan
klinis nya 91% pasien mengalami perbaikan.FDA sudah menyetujui uji klinik fase III dari
Tocilizumab secara intravena untuk pasien covid yang parah
Immunoglobulin therapy
FDA mengeluarkan recommendation for investigational covid 19 convalescent
plasma.Case saries dari 3 pasien di wuhan china melaporkan keberhasilan pemberian
intravenous immunoglobulin .
Apakah mereka yang hipertensi yang medapatkan terapi ARB dan ACEI boleh tetap
menggunakan, karena obat2 ini bisa meningkatkan ekskresi dari ACE2 yang merupakan
pintu masuk dari virus corona. Dengan pemberian obat antihipertensi ARB dan ACEI
akan bisa meningkatkan kemungkinan untuk mendapatkan infeksi virus, tetapi ternyata
informasi terhadapat peningkatan ACE2 haya dijumpai pada hewan. Alasan karena
belum ada bukti yang kuat bahwa obat obatan ACEI dan ARB dapat eningkatkan ekspresi
ACE2 pada manusia.
Tidak ada yang efektif dari semua obat obat yang ada diatas. Tidak efektif karena ntuk
persyaratan suatau obat yang bisa di rekomendasikan apabila obat itu dengan desain, domais,
double blain, plasebo control trail. Suatu obat yang bisa di rekomendasi harus ada data
penelitian invitronya dan invivonya. Pada manusia pun yang nama nya uji klinis harus
mencantumkan selain efektivitas obat juga harus mencantumkan keamanan. Untuk menjadi
suatu persyaratan obat yang bisa di rekomendasikan sangatlah berat, sehingga tidak ada
rekomendasi pada obat diatas. Terapi yang saat ini digunakan di indonesia untuk covid-19
diberikan hidroksicloroquin dan asitromisin dan dengan vitamin C dosis tinggi.

Anda mungkin juga menyukai