Anda di halaman 1dari 16

Nama : Dina Anggraini

Kelas : 2B/D3 Keperawatan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Keperawatan Perioperatif, Preoperatif, dan Post operatif

1. Keperawatan Preoperatif

A. Definisi

Fase praoperatif dimulai ketika keputusan untuk intervensi bedah dibuat dan

berakhir ketika pasien dikirim ke meja operasi. Lingkup aktivitas keperawatan

selama waktu tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian dasar pasien di

tatanan klinik atau di rumah, menjalani wawancara praoperatif, dan menyiapkan

pasien untuk anestesi yang diberikan dan pembedahan (Brunner & Suddarth,

2002).

Tindakan keperawatan preoperatif merupakan tindakan yang dilakukan oleh

perawat dalam rangka mempersiapkan pasien untuk dilakukan tindakan

pembedahan dengan tujuan untuk menjamin keselamatan pasien intraoperatif.

Persiapan fisik maupun pemeriksaan penunjang serta persiapan mental sangat

diperlukan karena kesuksesan suatu tindakan pembedahan berawal dari

kesuksesan persiapan yang dilakukan selama tahap persiapan (Rothrock, 2002).

Berdasarkan tinjauan teoritis diatas, penulis menyimpulkan keperawatan

preoperatif adalah fase dimulai ketika keputusan bedah dibuat dan berakhir ketika
pasien dikirim ke meja operasi. Pada fase ini pasien harus betul-betul dipersiapkan

keadaannya baik fisik maupun mental karenan persiapan preoperatif ini akan

menentukan kesuksesan pada tahap selanjutnya.

2. Keperawatan Pascaoperatif

A. Defenisi

Fase pascaoperatif dimulai dengan pemindahan pasien ke PACU dan berakhir

pada waktu pasien dipulangkan dari rumah sakit. Termasuk dalam kegiatan

perawatan adalah mengkaji perubahan fisik dan psikologis, memantau kepatenan

jalan nafas, tanda-tanda vital dan status neurologis secara teratur,

mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, mengkaji secara akurat serta

haluaran dari semua drain (Baradero, Dayrit, Siswadi, 2009).

Fase pascaoperatif dimulai dengan masuknya pasien ke ruang pemulihan dan

berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau di rumah. Lingkup

keperawatan mencakup rentang aktivitas yang luas selama periode ini. Pada fase

pascaoperatif langsung, fokus termasuk mengkaji efek dari agens anestesia dan

memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan

kemudian berfokus pada peningkatan penyembuhan pasien dan melakukan

penyuluhan, perawatan tindak lanjut, dan rujukan yang penting untuk

penyembuhan yang berhasil dan rehabilitasi diikuti dengan pemulangan (Brunner

& Suddarth, 2002).

Berdasarkan tinjauan teoritis diatas, penulis menyimpulkan bahwa


keperawatan pascaoperatif adalah fase masuknya pasien ke ruangan pemulihan

serta memantau terus tanda vital pasien, kesadaran pasien, komplikasi yang terjadi

sehingga pasien sembuh dan rehabilitasi diikuti dengan pemulangan.

3. Peran perawat dalam fase preoperatif dan pascaoperatif

1. Fase Preoperatif

a. Pengkajian praoperatif

Penetapan pengkajian dasar pasien dalam tatanan klinik, menjalani wawancara

praoperatif, melibatkan keluarga dalam wawancara, memastikan kelengkapan

preoperatifdan mengkaji kebutuhan pasien terhadap transportasi.

b. Unit bedah

Melengkapi pengkajian preoperatif, mengkoordinasi penyuluhan pasien,

menjelaskan fase-fase dalam periode perioperatif dan membuat rencana

asuhan

c. Ruang operasi

Mengkaji kesadaran pasien, menelaah lembar observasi pasien,

mengidentifikasi pasien dan memastikan daerah pembedahan

d. Perencanaan

Menentukan rencana asuhan dan mengkoordinasi pelayanan

e. Dukungan psikologis

Menceritakan pada pasien apa yang sedang terjadi, menentukan status

psikologis, memberikan penguatan akan stimuli nyeri dan


mengkomunikasikan status emosional pada anggota tim kesehatan yang

berkaitan.

(Smeltzer & Bare, 2002)

2. Fase Pascaoperatif

a. Komunikasi dari informasi pascaoperatif

Menyebutkan nama pasien, menyebutkan jenis pembedahan, menggambarkan

faktor-faktor intraoperatif, menggambarkan keterbatasan fisik, melaporkan tingkat

kesadaran praoperasi pasien, dan mengkomunikasikan alat yang diperlukan

b. Pengkajian pascaoperasi ruang pemulihan

Menentukan respon langsung terhadap intervensi pembedahan

c. Unit bedah

Mengevaluasi efektifitas dari asuhan keperawatan di ruang operasi, menentukan

tingkat kepuasan pasien dengan asuhan yang diberikan selama periode

perioperatif, menentukan status psikologis pasien, dan membantu dalam

pelaksanaan pemulangan.

d. Di rumah/klinik

Gali persepsi pasien tentang pembedahan dan tentukan persepsi keluarga tentang

pembedahan.

(Smeltzer & Bare, 2002).

4. Konsep Asuhan Keperawatan Preoperatif dan Pascaoperatif

A. Keperawatan Preoperatif
a. Pengkajian

Pengkajian keperawatan yang dilakukan pada tahap preoperatif ini

meliputi pengumpulan data subjektif yaitu: usia, alergi (iodin, medikasi, lateks,

larutan antiseptik atau larutan pencuci kulit, plester), obat dan zat lain yang

sedang dipakai (obat dari dokter, rokok, alkohol), tinjauan sistem tubuh,

pengalaman pembedahan yang dulu dan yang sekarang, latar belakang

kebudayaan (termasuk kepercayaan, keyakinan, agama), dan psikososial

(Baradero, Dayrit, Siswadi, 2009).

1. Usia

Usia bisa mempengaruhi pembedahan dan hasi pascaoperasi. Pada usia 30

40 tahun, kapasitas fungsional dari setiap sistem tubuh menurun sekitar

1% setiap tahunnya.

2. Alergi

Pasien harus dikaji untuk mengetahui adanya alergi terhadap iodin, lateks,

obat-obatan, larutan antiseptik, atau larutan pencuci kulit dan plester.

Povidon iodin dipakai untuk mencuci kulit, apabila pasien ragu-ragu

apakah ia alergi terhadap iodin atau tidak, tanya apakah ia alergi terhadap

kerang. Iodin juga dipakai sebagai media kontras untuk pemeriksaan

tertentu yang bisa dilaksanakan pada tahap intraoperatif.

3. Obat dan zat yang digunakan

Data ini penting sekali karena zat atau obat-obatan ini dapat menimbulkan
efek yang tidak baik pada anestesia dan berisiko menimbulkan komplikasi

intraoperasi dan pascaoperasi

4. Riwayat medis

Pemeriksaan ulang terhadap sistem tubuh sangat penting untuk

mengetahui status imunologis, endokrin, kardiovaskuler, pernafasan,

ginjal, gastrointestinal, neurologis, muskuluskeletal, dan dermatologis.

5. Status nutrisi

Pasien dengan gangguan nutrisi berisiko tinggi mengalami komplikasi

karena pembedahan atau anestesia. Individu yang cenderung memiliki

nutrisi yang tidak adekuat adalah mereka yang lanjut usia, yang

mengalami gangguan gastrointestinal, atau malignansi. Individu yang

malnutrisi juga tidak mempunyai cadangan karbohidrat dan lemak. Protein

dalam tubuh akan dipakai untuk menghasilkan energi, mempertahankan

fungsi metabolik, dan memperbaiki sel. Oleh karena itu, kekurangan

protein bisa mengakibatkan penyembuhan luka yang lambat, dehisensi

(luka terbuka), dan infeksi

6. Pengalaman pembedahan terdahulu dan sekarang

Pengertian pasien mengenai pembedahan yang akan dilaksanakan dan

rutinitas praoperasi dan pascaoperasi harus dikaji. Disamping itu, perlu

juga informas dari pasien mengenai pengalamannya tentang pembedahan

yang akan dijalaninya. Data ini bisa membuat dokter bedah, ahli anestesi,
dan perawat sadar akan respons pasien dan komplikasi yang mungkin bisa

timbul.

7. Latar belakang budaya dan agama

Kebudayaan dan kepercayaan bisa mempengaruhi respon seseorang

terhadap kesehatan, sakit, pembedahan, dan kematian.

8. Psikososial

Pengkajian psikososial yaitu data subjektif dan objektif. Pengetahuan dan

persepsi pasien tentang pembedahannya dapat ditanyakan langsung pada

pasien. Pengetahuan pasien tentang pembedahannya perlu diketahui oleh

perawat agar perawat dapat memberi penjelasan lebih lanjut.

Pemeriksaan fisik dan diagnostik yang dilakukan oleh perawat meliputi

pemeriksaan head to toe. Pada tahap preoperatif, data objektif dikumpulkan

dengan dua tujuan yaitu memperoleh data dasar untuk digunakan sebagai

pembanding data pada tahap intraoperatif dan tahap pascaoperatif dan mengetahui

masalah potensial yang memerlukan penanganan sebelum pembedahan

dilaksanakan (Baradero, Dayrit, Siswadi, 2009).

Pengkajian preoperasi mengenai status sistem pernafasan perlu dikaji

dengan teliti. Terganggunya ventilasi karena efek dari anestesia serta

meningkatnya sekresi mukus bisa engakibatkan atelektasis dan pneumonia. Untuk

menghindari komplikasi dan mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi, perlu

dilakukan pengkajian praoperasi terhadap status pernafasan (Baradero, Dayrit,


Siswadi, 2009).

Pengkajian preoperasi mengenai kardiovaskuler, yang terpenting adalah

dari pasien dengan penyakit kardiovaskuler adalah kebutuhan untuk menghindari

perubahan posisi secara mendadak, imobilisasi berkepanjangan, hipotensi atau

hipoksia, dan terlalu membebani sistem sirkulasi dengan cairan atau darah

(Brunner & Suddarth, 2002).

Pengkajian preoperasi mengenai fungsi ginjal yaitu ginjal terlibat dalam

eksresi obat-obat anestesi dan metabolitnya. Status asam basa dan metabolisme

juga merupakan pertimbangan penting dalam pemberian anestesia. Pembedahan

dikontraindikasikan apabila pasien menderita nefritis akut, insufisiensi renal akut

dengan oliguri atau anuria, atau masalah-masalah renal akut lainnya, kecuali kalau

tindakan merupakan satu tindakan penyelamat hidup atau amat penting untuk

memperbaiki fungsi urinari, seperti pada obstruksi uropati (Brunner & Suddarth,

2002).

Pengkajian preoperasi hepar penting dalam biotransformasi senyawa

senyawa anestesia. Karena itu, segala bentuk kelainan hepar mempunyai efek

pada bagaimana anestetik tersebut dimetabolisme. Karena penyakit hepar akut

berkaitan dengan mortalitas bedah yang tinggi, perbaikan fungsi hepar praoperatif

amatlah diperlukan (Brunner & Suddarth, 2002).

b. Diagnosa Keperawatan Adapun diagnosa keperawatan yang muncul pada tahap


preoperatif menurut Brunner (2002) mencakup:
1. Ansietas yang berhubungan dengan pengalaman bedah (anestesi, nyeri)

dan hasil akhir dari pembedahan.

2. Defisit pengetahuan mengenai prisedur dan protokol praoperatif dan

harapan pascaoperatif.

4.1.3.Perencanaan dan implementasi Tujuan: tujuan utama pasien bedah dapat


meliputi, menghilangkan ansietas

praoperatif dan peningkatan pengetahuan tentang persiapan preoperatif dan

harapan pascaoperatif. 4.1.4. Intervensi Keperawatan 1) Ansietas yang berhubungan


dengan pengalaman bedah (anestesi, nyeri)

dan hasil akhir dari pembedahan.

a. Mengidentifikasi sumber rasa cemas

b. Membantu pasien memakai mekanisme koping yang efektif

c. Membantu pasien untuk melakukan kegiatan yang bisa mengurang rasa

cemas, misalnya mendengarkan musik, relaksasi progresif, imajinasi

terbimbing dan sebagainya.

d. Melibatkan sistem pendukung pasien seperti keluarga dan orang yang

berarti baginya.

e. Memberikan obat-obatan yang bisa mengurangi rasa cemas seperti

diazepam (Valium 5-15 mg IV/IM/oral), midazolam (Versed 1-4 mg

IV/IM), dan obat-obat lain yang dapat mengurangi kecemasan.

2) Defisit pengetahuan yang berhubungan dengan tidak ada informasi

mengenai rutinitas perioperatif.


a. Melakukan penyuluhan kesehatan terkait rutinitas perioperatif.

b. Memberikan informasi yang singkat dan jelas tentang pembedahan.

c. Menjelaskan prosedur pembedahan kepada pasien dan keluarganya.

4.1.5. Evaluasi Setelah dilakukan intervensi keperawatan, pasien:

a. Mengungkapkan bahwa perasaan cemas berkurang, merasa nyaman,

nampak relaks, dan memakai mekanisme koping yang efektif

b. Berpartisipasi dan mengikuti instruksi serta rutinitas perioperatif,

menjelaskan rasional dan intervensi perioperatif 4.1.6. Persetujuan Tindakan Secara


hukum pembedahan tidak boleh dilakukan sebelum pasien

memahami perlunya prosedur tersebut, tahap-tahap yang harus dilalui, risiko,

hasil yang diharapkan, dan terapi alternatifnya. Memberi informasi pada klien

merupakan tanggung jawab utama dokter, persetujuan tidak bisa diinformasikan

jika pasien dalam keadaan bingung, tidak sadar, mengalami gangguan mental,

atau dibawah pengaruh obat penenang. Seluruh format persetujuan harus

ditandatangani oleh pasien sebelum perawat memberi obat-obatan preoperatif

(Potter & Perry, 2005).

Idealnya, dokter telah memperoleh persetujuan sebelum pasien masuk ke

rumah sakit atau ke tempat bedah keliling. Penjelasan dokter bedah harus

didiskusikan oleh anggota tim kesehatan yang memenuhi syarat. Struktur format

persetujuan memungkinkan dokter menulis informasi yang berkaitan dengan

pembedahan. Tanda tangan pasien pada format persetujuan menunjukkan bahwa


pasien telah diberikan informasi lengkap tentang prosedur yang akan

dilaksanakan. Perawat sering menjadi saksi saat pasien menandatangani lembar

persetujuan dan memeriksa ketepatan tanggal, waktu, dan tanda tangan yang

terdapat dalam dokumen dan semuanya harus ditulis menggunakan tinta (Potter &

Perry, 2005).

Pasien yang buta huruf dapat memberi persetujuannya dengan

menggunakan tanda asalkan tetap disaksikan dengan benar, sebagai saksi perawat

boleh memastikan kembali bahwa pasien telah mendapat informasi yang tepat.

Setelah format persetujuan tindakan dilengkapi, perawat memastikan bahwa

format tersebut diletakka di dalam rekam medik pasien dan rekam medik pasien

tersebut dibawake ruang operasi bersama-sama dengan pasien (Potter & Perry,

2005).

4.2.Keperawatan Pascaoperatif 4.2.1. Pengkajian 1. Sistem pernafasan

Sangat penting untuk mengkaji status pernafasan segera pascaopeerasi.

Kepatenan jalan nafas dan fungsi pernafasan yang adekuat harus dipastikan.

Komplikasi yang bisa segera muncul adalah obstruksi jalan nafas, hipoksemia,

hipoventilasi, aspirasi, dan laringospasme (Baradero, Dayrit, Siswadi, 2009).

2. Cairan dan elektrolit

Pasien bisa kehilangan cairan tubuh karena perdarahan intraoperasi atau

karna hiperventilasi. Hilangnya banyak darah harus diganti dengan transfusi darah

atau pemberian penggantian darah, koloid, dan kristaloid. Volume cairan tubuh
bisa dipertahankan dengan pemberian salin normal atau ringer laktat intravena

(Baradero, Dayrit, Siswadi, 2009).

Universitas

Pasien yang diberikan cairan infus harus dipantau adanya tanda edema

paru (dipsnea, batuk produktif), atau tanda intoksikasi air (perubahan tingkah

laku, bingung, kulit basah dan hangat, defisit natrium). Ketidakseimbangan cairan

dan elektrolit harus dipantau. Ekstra kalium perlu diberikan untuk mengganti

kalium yang hilang lewat sekresi slang nasogastrik (Baradero, Dayrit, Siswadi,

2009).

3. Sistem gastrointestinal

Mual dan muntah adalah dua gangguan yang lazim dialami pasien

pascaoperasi. Dua gangguan ini dikaitkan dengan anestesia umum, obesitas,

pembedahan abdomen, pemakaian obat opiat, analgesik, adanya riwayat mabuk

perjalanan, dan faktor psikologis.

Hampir semua pembedahan mengakibatkan rasa nyeri. Nyeri terjadi akibat luka,

penarikan, dan manipulasi jaringan serta organ. Apabila pasien mengeluh nyeri

pascaoperasi, perawat tidak boleh langsung menafsirkannya sebagai nyeri insisi,

perawat harus mengkaji nyeri yang dialami pasien. Nyeri adalah suatu

pengalaman yang sangat subjektif dan hanya pasien yang tahu tentang nyeri yang

dialaminya (Baradero, Dayrit, Siswadi, 2009).

4. Status neurologis
Status neurologis dapat ditentukan dengan mengamati tingkat kesadaran

pasien. Respons terhadap stimulus verbal atau stimulus yang menyakiti harus

didokumentasikan. Respon pupil terhadap cahaya dan persamaan respon kedua

pupil juga harus dkaji. Komplikasi mayor sistem saraf yang bisa timbul segera

karena anestesia umum adalah somnolen yang berlanjut dan kelemahan otot

(Baradero, Dayrit, Siswadi, 2009).

5. Sistem kardiovaskuler

Trombosis vena dan embolisme paru adalah dua komplikasi yang timbul

kemudian. Pemantauan terhadap tanda-tanda vital, cairan IV, dan haluaran urine

secara ketat harus dilakukan. Trombosis vena diakibatkan karena pembentukan

darah beku dalam pembuluh darah vena di pelvis dan tungkai bawah yang bisa

menganggu sirkulasi darah. Embolisme paru terjadi karena darah beku atau

sebagian dari darah beku bisa lepas dari dinding vena dan ikut dengan sirkulasi

darah menuju ke jantung dan sirkulasi pulmona, kemudian bisa menyumbat salah

satu pembuluh darah pulmonal (embolisme pulmonal) (Baradero, Dayrit, Siswadi,

2009). 4.2.2. Diagnosa Keperawatan 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif yang
berhubungan dengan banyak

sekresi, penyumbatan jalan nafas, posisi yang tidak benar.

2. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan nyeri luka bedah,

balutan yang kencang, efek dari obat.

3. Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan adanya masalah


jantung sebelum pembedahan, hipotensi.

4. Kekurangan/kelebihan volume cairan yang berhungan dengan cairan

intravena, gangguan ginjal, gangguan endokrin.

(Baradero, Dayrit, Siswadi, 2009).

c. Perencanaan dan implementasi

Tujuan: tujuan utama pasien dapat mencakup fungsi pernafasan yang optimal,

reda dari nyeri dan ketidaknyamanan pascaoperatif (mual dan muntah, distensi

abdomen, cegukan), pemeliharaan suhu tubuh normal, bebas dari cedera,

pemeliharaan keseimbangan nutrisi, kembalinya fungsi perkemihan yang normal,

mengalami kembali pola biasanya dari eliminasi usus, pemulihan mobilitas dalam

keterbatasan pascaoperatif dan rencana rehabilitatif, reduksi ansietas dan

pencapaian kesejahteraan psikologi, dan tidak adanya komplikasi. Komplikasi ini

termasuk, tetapi tidak terbatas pada kerusakan perfusi jaringan,

ketidakseimbangan cairan, kerusakan integritas kulit dan infeksi (Brunner &

Suddarth, 2002). 4.2.4. Intervensi keperawatan 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif
yang berhubungan dengan efek depresan

dari medikasi dan agen anestetik.

a. Memastikan fungsi pernafasan yang optimal.

b. Meningkatkan ekspansi paru, seperti meminta pasien untuk menguap atau

melakukan inspirasi maksimal tertahan dapat menciptakan tekanan

intratoraks negatif -40mmHg dan mengembangkan volume paru sampai


kapasitas total, setidaknya setiap 2 jam pasien dibalik dan didorong untuk

melonggarkan sumbatan mukus.

c. Mengajarkan batuk efektif.

Universitas Sumatera Utara

2. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan nyeri luka bedah,

balutan yang kencang, efek dari obat.

a. Pemberian oksigen sesuai dengan kebutuhan pasien.

b. Mengajarkan nafas dalam.

c. Mengajarkan batuk efektif

d. Membuat posisi yang membantu pasien dalam hal pernafasan.

e. Pemberian obat (kolaborasi).

3. Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan adanya masalah

jantung sebelum pembedahan, hipotensi.

a. Mengukur TTV pasien.

b. Memberikan oksigen sesuai kebutuhan.

c. Menganjurkan pasien untuk memakai stoking anti embolik jika diperlukan.

d. Melakukan penggerakan kedua tungkai bawah pasien

e. Melakukan miring kanan/kiri setiap 2 jam

4. Kekurangan/kelebihan volume cairan yang berhungan dengan cairan

intravena, gangguan ginjal, gangguan endokrin.

a. Memberikan cairan intravena sesuai kebutuhan pasien.


b. Memantau masukan dan haluaran

c. Mengontrol kecepatan infus yang diberikan pada pasien.

d. Memberikan cairan per oral (bisa dimulai apabila sudah ada gerakan

peristaltis, refleks muntah maupun batuk).

(Baradero, Dayrit, Siswadi, 2009). 4.2.5. Evaluasi

Universitas Sumatera Utara

Untuk mengevaluasi berhasilnya intervensi keprawatan, perlu dibandingkan

antara perilaku pasien dan hasil yang diharapkan. Intervensi keperawatan

dikatakan berhasil apabila pasien dapat:

a. Mempertahankan jalan nafas yang paten dan auskultasi paru tidak

menunjukkan rales

b. Mempertahankan nilai gas darah dalam batas normal dan saturasi oksigen

paa kadar 96% atau lebih.

c. Bisa batuk secara efektif.

d. Memiliki haluaran urine lebih dari 30 ml per jam; tidak ada edema.

e. Berkemih secara spontan 8-10 jam setelah pembedahan.

(Baradero, Dayrit, Siswadi, 2009)

Anda mungkin juga menyukai