Anda di halaman 1dari 13

PROPOSAL SKRIPSI

APLIKASI BIOSIDA PADA PIPA SEBAGAI ANTIFOULING

MENGGUNAKAN EKSTRAK DAUN JERUK NIPIS

NAUFAL FASA
102316048

2019
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di lingkungan industri, korosi sering kali menimbulkan kendala dan menghambat jalan n
ya proses industri. Korosi merupakan pengurangan daya guna logam akibat adanya
perpindahan elektron pada reaksi elektrokimia. Korosi dapat menyerang peralatan industri
terutama peralatan yang berbahan logam. Salah satu peralatan pabrik yang paling sering
terkena korosi adalah pipa karena biasanya pipa bersinggungan langsung dengan lingkungan
berupa air, udara, gas, larutan asam, dan lain-lain yang mengandung mikroorganisme. (Rini
Riastuti dan Andi Rustandi, 2008).

Mikroorganisme berperan secara aktif maupun secara pasif dalam menyebabkan korosi di
hampir semua peralatan pabrik karena mikroorganisme dapat mempengaruhi dan
mempercepat terjadinya korosi. Salah satu mikroorganisme korosif adalah Sulfate Reducing
bacteria (SRB). SRB menyebabkan korosi karena dapat mereduksi ion SO 42- menjadi ion S2-.
Selanjutnya ion S2- akan bereaksi dengan Fe2+ menghasilkan FeS yang merupakan produk
korosi. Proses korosi oleh mikroorganisme biasanya diawali dengan kolonisasi pada
lengkungan-lengkungan seperti pada sistem perpipaan. . Koloni tadi akan mengendap dan
lama – kelamaan akan akan menjadi deposit yang keras dan menjadi tempat ideal untuk
mikroorganisme hidup atau berkembang biak. Biosida menjadi alternatif sebuah pabrik untuk
menangani korosi akibat mikroorganisme.

Biosida merupakan istilah umum yang menggambarkan zat kimia yang bekerja
menginaktivasi mikroorganisme dengan cara menghambat pertumbuhannya (statik) maupun
mematikannya (sida). Biosida dapat meinaktivasi dan mematikan mikroorganisme Menurut
Directive 98/8/EC of the European Parliament and Council of the 16 February 1998 biosida
didefinisikan sebagai zat aktif yang mengandung satu atau lebih zat aktif,, dimaksudkan untuk
memusnahkan, membuat tidak berbahaya, mencegah tindakan, atau dengan cara memberikan
efek pengendalian pada organisme berbahaya dengan menggunakan bahan kimia atau
biologis. Biosida telah banyak digunakan dalam pengendalian bakteri selama beberapa
dekade, dan umumnya dimasukkan ke dalam berbagai produk termasuk formulasi disinfektan,
kosmetik, pengawet, pestisida dan antiseptik (McDonnell dan Russell, 1999; Paulus, 2012).
Berbagai teknologi biosida telah berhasil digunakan Secara umum, biosida diperlukan untuk
mengontrol aktivitas bakteri dalam suatu sistem. Ada lima syarat biosida dapat mengontrol
aktivitas mikroorganisme diantaranya :

1. Kemampuan dan jangkauan membunuh bakteri yang luas.


2. Properti non-korosif, kemampuan menghambat yang baik, dan kenyamanan untuk
transportasi dan aplikasi.
3. Tidak beracun atau toksisitas rendah yang tidak menyebabkan kerusakan pada
manusia dan berada dalam peraturan kontrol lingkungan.
4. Kesesuaian yang baik, tanpa kerusakan atau gangguan pada cairan pengeboran atau
agen kimianya.
5. Efek membunuh mikroorganisme tidak terpengaruh oleh adaptasi lingkungan dari
bakteri.

Biosida harus mengandung saponin, flavonoid dan tanin agar dapat menginaktivasi dan
mematikan mikroorganisme dengan baik.

Tanaman jeruk nipis mempunyai akar tunggang dan termasuk jenis tumbuhan perdu
yang memiliki dahan dan ranting. Batang pohonnya berkayu ulet dan keras, sedangkan
permukaan kulit luarnya berwarna tua dan kusam. Tanaman jeruk nipis pada umur 2,5 tahun
sudah mulai berbuah. Buahnya berbentuk bulat sebesar bola pingpong dengan diameter 3,5-5
cm. Kulitnya berwarna hijau atau kekuning-kuningan dengan tebal 0,2-05 cm. Daging
buahnya berwarna kuning kehijauan (Rukmana, 1996 dan Steenis et al., 2006) Daunnya
majemuk, berbentuk elips dengan pangkal membulat, ujung tumpul, dan tepi beringgit.
Panjang daunnya mencapai 2,5-9 cm dan lebarnya 2-5 cm. Tulang daunnya menyirip dengan
tangkai bersayap, hijau dan lebar 5-25 mm (Rukmana, 1996).

Daun jeruk nipis mengandung senyawa bioaktif, seperti alkaloid, flavonoid, terpenoid,
saponin, tanin, dan steroid. Senyawa-senyawa tersebut memiliki kemampuan untuk
menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan cara merusak dinding sel, merusak
membran sitoplasma sel, mengubah struktur molekul protein dan asam nukleat, serta
menghambat kerja enzim bakteri (Pelczar dan Chan, 1986) Salah satu manfaat daun jeruk
adalah untuk mengobati influenza dan malaria. Air infusan daun jeruk nipis juga dapat
meringankan sakit kepala (Kharismayanti, 2015). Kandungan daun jeruk nipis bisa
didapatkan dengan mengekstraksi bubuk daun jeruk nipis dengan menggunakan pelarut
tertentu. Menurut Departemen Kesehatan RI (2006), ekstraksi adalah proses penarikan
kandungan kimia yang dapat larut dari suatu serbuk simplisia, sehingga terpisah dari bahan
yang tidak dapat larut. Salah satu metode ekstraksi adalah maserasi. Maserasi adalah proses
ekstraksi simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengadukan pada suhu
ruangan. Pengadukan disini berfungsi untuk meningkatkan kecepatan ekstraksi. Prosedurnya
sederhana hanya merendam simplisia dalam pelarut yang sesuai dalam wadah tertutup.
Simplisia menurut Farmakope Indonesia Edisi III adalah bahan alami yang belum mengalami
pengolahan sebelumnya dalam hal ini adalah daun jeruk nipis yang sudah berbentuk bubuk.

1.2 Tujuan Penelitian


- Dapat mengetahui pengaruh ekstrak daun jeruk nipis terhadap korosi pada pipa
- Dapat menentukan konsentrasi yang paling optimum untuk menghilangkan korosi pada
pipa
- Dapat menghitung Kecepatan Hambat Minumum Sulfate Reducing Bacteria (SRB)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Korosi

Korosi merupakan degradasi material akibat reaksi elektrokimia dengan zat


sekitarnya (Einar Bardal, 2003). Jika dilihat dari sudut pandang ilmu kimia, korosi pada
dasarnya merupakan reaksi logam yang berubah menjadi ion dan adanya kontak langsung dengan
lingkungan yang berair dan beroksigen (Siti Chodijah 2008 ).  Logam bersifat anoda karena
mengalami oksidasi, dan lingkungan bersifat sebagai katode yang akan mengalami reduksi
atau membutuhkan elektron dari anoda. Korosi mengalami reaksi redoks yang berlangsung
secara spontan. Di bidang teknik kimia, korosi dapat mengkontaminasi air pada cooling tower
sehingga suhu air tidak sesuai dengan kemauan kita dan pada unit heat exchanger, korosi
dapat menimbulkan kerak dan menurunkan kinerja pertukaran panas di dalam heat exchanger.

2.1.1 Jenis-jenis korosi

Jenis – jenis korosi yang terjadi pada pipa dapat dibedakan berdasarkan masing-masing
penyebabnya. Diantaranya adalah :

1. Uniform attack (korosi seragam) dapat terjadi pada permukaan logam akibat reaksi
kimia karena pH air yang rendah dan udara yang lembab yang menyebabkan logam
terus menipis..
2. . Pitting corrosion (korosi sumur) disebabkan karena komposisi logam yang tidak
homogen sehingga timbul korosi yang berbentuk seperti sumur.
3. Errosion Corrosion ( korosi erosi) terjadi karena keausan akibat fluida yang mengalir
terus menerus sehingga bisa mengikis pelindung pada logam.
4. Galvaniscorrosion (korosi galvanis) terjadi karena adanya dua logam yang berbeda
dalam satu elektrolit sehingga logam yang lebih anodik (permukaan logam) akan
terkorosi.
5. Stress corrosion (korosi tegangan) terjadi karena logam yang mengalami perlakuan
khusus seperti diregang, ditekuk dll. sehingga logam menjadi tegang dan mudah
bereaksi dengan lingkungan.
6. Crevice corrosion (korosi celah) terjadi pada logam yang berdempetan dengan logam
lain diantaranya ada celah yang dapat menahan kotoran dan air sehingga kosentrasi O2
bagian dalam dan bagian luar berbeda. Bagian dalam menjadi lebih anodik dan bagian
mulut menjadi katodik.
7. Fatigue corrosion (korosi lelah) terjadi karena logam mendapatkan beban siklus yang
terus berulang dan lama kelamaan akan patah.
8. Korosi mikrobiologi terjadi karena mikroba seperti jamur, alga, protozoa dan
mikroorganisme. Korosi ini bertanggung jawab terhadap degenerasi material di
lingkungan.

2.1.2 Faktor – faktor yang mempengaruhi korosi

Beberapa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi proses korosi secara umum
antara lain :
1. Suhu, semakin tinggi suhu maka laju korosi juga akan semakin cepat. (Fogler, 1992).
meningkatnya suhu maka akan terjadi tumbukan efektif antar partikel yang akan
meningkatkan energi kinetik pada reaksi redoks
2. Kecepatan Alir Fluida, ketika kecepatan aliran fluida bertambah besar maka laju korosi
yang didapatkan akan semakin cepat. Hal ini dikarenakan ion – ion logam mengalami
keausan karena adanya kontak antara zat dan logam yang semakin besar (Kirk Othmer,
1965). Aliran fluida yang sangat deras dapat merusak permukaan film dan lapisan film
sehingga dapat terjadi korosi
3. pH. semakin asam atau basa pH maka laju korosi akan semakin cepat (Djaprie, 1995).
Biasanya larutan di atur sekitar pH netral antara 7,5-8.
4. Pertumbuhan Mikroorganisme, mikroorganisme baik yang telah mati atau masih hidup
dapat memicu perubahan laju aliran pada fluida yang dapat menyebabkan korosi.
Mikroorganisme yang telah mati juga dapat mengeluarkan gas ammonia yang
mempercepat laju korosi. Mikroorganisme juga disebabkan oleh bakteri aerob maupun
anaerob  dapat disebabkan baik oleh bakteri aerob ataupun anaerob, diantaranya adalah
Sulfate Reducing Bacteria (SRB), pemproduksi asam, pendeposit logam, slime
formers.

2.2 Sulfate Reducing Bacteria (SRB)


Sulfate Reducing Bacteria (SRB) merupakan mikroorganisme yang bisa hidup tanpa
memerlukan oksigen. Mikroorganisme ini akan tumbuh subur bila kandungan oksigen di
lingkungannya sangat kecil Jika dilihat menggunakan mikroskop, SRB mempunyai panjang
badan kurang lebih 10 mm dan mempunyai diameter sekitar 1mm. SRB dapat menyebabkan
korosi internal pada pipa atau bagian dalam pipa. Chevron ETC mencoba untuk mengetahui
apakah perkembangan SRB ini dapat ditekan atau dihilangkan sehingga tidak akan
menimbulkan masalah. Penelitian ini hanya melihat dari pengaruh pH dan suhu. Para peneliti
dari Chevron mengambil sampel SRB dari 20 sumur yang berbeda yang diduga terdapat
koloni SRB yang menetap. Masing – masing diamati setiap hari selama 8 inkubasi. Hasil
penelitiannya menyimpulkan bahwa Koloni SRB ditemukan pada sampel yang mempunyai
rentan suhu dari 99 – 128 oF dan rentan pH 6.51 – 6.85. Populasi SRB tidak ditemukan pada
rentan suhu 150oF

Pencegahan korosi akibat SRB salah satunya adalah menggunakan inhibitor atau
memakai cat. Dewasa ini, biosida sering digunakan sebagai campuran cat sebagai antibakteri.

2.2 Biosida

Biosida merupakan senjata yang mematikan bagi mikroorganisme karena dapat


menghancurkan sel – sel mikroorganisme dengan cara secara melakukan penetrasi dan
merusak mekanisme penghasil energinya. Menurut Larasati dan Triastuti Rahayu (2017) akar dan
batang pisang ambon dapat digunakan sebagai biosida karena mengandung golongan senyawa
flavonoid, tannin dan saponin yang terkenal dapat menghilangkan mikroorganisme yang
merugikan. Teknik maserasi dipakai untuk mengekstraksi akar dan batang pisang ambon
menggunakan pelarut metanol. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
perbandingan potensi biosida ekstrak akar dan batang pisang ambon untuk mencegah
kontaminasi pada kultur in vitro. Metode eksperimen yang digunakan adalah Rancang Acak
lengkap (RAL). Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa ekstrak akar dan batang pisang
ambon dapat membunuh mikroorganisme yang merugikan tanpa menghambat pertumbuhan
pada kultur in vitro.

Biosida juga dapat dibuat dengan cara polimerisasi vinil asetat dan asam akrilat dengan
Cu menggunakan azobisisobutilronitril (AIBN) sebagai inisiator. Harmami, Mansur, dan
Haryono (2018) mengatakan bahwa biosida ini berbentuk kopolimer biosida yang dapat
digunakan sebagai antifouling. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat lapisan pada
material kelautan yang selalu kontak dengan air laut. Karakterisasi yang digunakan berupa
Fourier Transform InfraRed (FTIR) Spectroscopy, Transmission Electron Microscope (TEM)
dan Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS). Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa
Ion Cu terperangkap dalam polyvinyl acetate-coacrylic asam. Artinya, kopolimer biosida
berhasil dibuat dan siap di aplikasikan pada proses pembuatan material kelautan.

2.3 Daun jeruk nipis

. Sudah banyak penelitian yang memanfaatkan daun jeruk nipis pada berbagai bidang.
Nita (2013) memanfaatkan daun jeruk nipis sebagai bahan untuk membuat insektisida alami
pembasmi kutu beras. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua
jalur dengan kombinasi 9 perlakuan dan 3 ulangan. Parameter yang diukur adalah waktu
kematian kutu beras. Hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa insektisida alami daun
jeruk nipis berpengaruh terhadap pembasmian kutu beras

Afrina (2016) memanfaatkan ekstrak daun jeruk nipis untuk mengetahui konsentrasi
hambat dan bunuh minimum. Dengan menggunakan teknik maserasi menggunakan pelarut
etanol didaptkan kesimpulan bahwa adanya Konsentrasi Hambat Minumum pada
pertumbuhan A. actinomycetemcomitans dengan metode Standard Plate Count (SPC).

2.3 Pelarut Ekstraksi Daun Jeruk Nipis

. Faktor utama untuk memilih pelarut adalah selektivitas terhadap senyawa yang
diinginkan, ekonomis, ramah lingkungan, dan aman (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2000). Etanol merupakan senyawa dengan gugus C, H O yang paling sering
digunakan untuk mengekstraksi bahan simplisia, Etanol mempunyai gugus karboksil (alkohol)
yang polar dan gugus karbonil (keton) yang nonpolar. Kedua gugus etanol ini dapat menarik
senyawa polar, yaitu alkaloid, flavonoid, saponin, dan tanin, serta senyawa nonpolar, yaitu
terpenoid dan steroid sehingga pelarut etanol dapat mengekstrak sebagian besar senyawa
kandungan yang diinginkan.

2.4 Flavonoid
Senyawa flavonoid merupakan senyawa dari kelompok fenol yang dapat ditemukkan
di alam dalam jumlah yang sangat banyak. Senyawa ini dapat ditemukkan pada ditemukan
pada biji, buah, kulit, batang, akar dan getah. Flavonoid memiliki dua cincin benzene (C6)
yang terikat pada suatu rantai propane (C3) sehingga membentuk suatu susunan C6 -C3 -C6
( Lenny, 2006). Senyawa flavonoid memiliki efek sebagai antibakteri, anti-inflammatori,
antialergi, antimutagen, antiviral, antineoplastik, dan memiliki efek sebagai vasodilator
( Mujwah, et al., 2010). Sartini dkk berhasil melakukan skrinning fitokimia senyawa
flavonoid dengan metode seperti yang digunakan Harbone (1987). Sampel di ekstrak
menggunakan etanol menggunakan teknik maserasi lalu di ujib di lab fitokimia menggunakan
beberapa larutan. Ketika ekstrak diberi NaOH encer sampel berubah menjadi warna biru
violet, dengan H2SO4 pekat sampel membentuk warna orange ke kuning-kuningan dan
dengan harutal Mg-HCl encer sampel membentuk warna merah jambu Pembentukan warna
dengan penambahan larutan tadi dapat menyimpulkan bahwa terdapat senyawa flavonoid pada
sampel tersebut.

2.5 Tanin
Tanin merupakan zat organik yang sangat kompleks dan terdiri dari senyawa fenolik.
Tanin biasanya terdapat pada bagian kulit kayu, batang, daun dan buah – buahan. Menurut
Sjostrom (1981) tanin adalah suatu senyawa polifenol dan dari struktur kimianya dapat
digolongkan menjadi dua macam, yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi . Tanin
terhidrolisi biasanya mudah mengalami hidrolisis dengan asam, basa, atau enzim. Jika
dilarutkan dalam air senyawa ini akan pecah menjadi asam galat (Hagerman, 2002). Tanin
terkondensasi biasanya menghasilkan asam klorida. Tanin diketahui dapat digunakan sebagai
antivirus, antibakteri dan antitumor. Indarto berhasil mendapatkan senyawa tannin dengan
mengekstrak kulit dan batang tumbuhan Artocarpus dadah dengan menambahkan
Ferriklorida. Hasilnya, warna larutan sampel menjadi kuning kehijauan karena sejatinya tanin
dapat mereduksi besi (III) menjadi besi (II).

2.6 Saponin
Saponin merupakan senyawa glikosida steroid dapat menimbulkan busa jika dikocok
dalam air (Robinson 1991). Beberapa saponin bekerja sebagai antimikroba (Hasan et al.
2010). Saponin dapat diperoleh dari beberapa tumbuhan dengan hasil yang baik dan
digunakan sebagai bahan baku untuk sintesis hormon steroid yang digunakan dalam bidang
tertentu. jenis saponin ini larut dalam air dan etanol, tetapi tidak larut dalam eter (Robinson
1991). Firawati telah melakukan penelitian untuk mengidentifikasi senyawa saponin dari daun
majapahit. Daun majapahit di ekstrak menggunakan pelarut butanol. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa telah teridentifikasi senyawa saponin pada uji busa dan hasil
spektruminfra merah ditandai dengan adanya gugus O-H, C=C, C-C, dan C-H
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
1. Fourier Tansform Infrared Spectroscopy (FTIR)
2. Inkubator
3. Gelas ukur 500ml x 2
4. Pipa x 4
5. Pipet tetes
3.1.2 Bahan
1. Bubuk daun jeruk nipis 500mg
2. Ethanol 95%
3. Aquades
3.2 Prosedur Percobaan
1. Bakteri diambil dari sumur yang disinyalir mengandung SRB.
2. Bakteri diisolasi pada media postgade.
3. Sterilkan pada suhu 120 oC dan tekanan 1 atmosfer selama 20 menit.
4. Tunggu sampai 1 sampai 2 hari sampai timbul koloni berwarna coklat tua atau
hitam pada dasar tabung.
5. Bubuk daun jeruk nipis diekstrak menggunakan etanol dengan teknik maserasi.
6. Ambil ekstraks daun jeruk nipis lalu tutup sampai tidak ada udara yang masuk
7. 4 pipa yang sudah disiapkan dilapisi SRB yang sudah dibuat sebelumnya
8. 2 pipa awal di lapisi dengan ekstrak daun jeruk nipis dan 2 pipa terakhir tidak
dilapisi ekstrak daun jeruk nipis. Kosentrasi ekstrak daun jeruk nipis 0,5% dan
0,7%
9. Teliti dan amati perubahannya.

REFERENSI
Riastuti, Rini & Andi Rustandi., 2008. “Diktat Mata Kuliah Korosi dan
Proteksi Logam”.
McDonnell, G., and A. D. Russell. (1999). Antiseptics and disinfectants:
activity, action, and resistance. Clin. Microbiol. Rev. Vol : 12. Halaman147-179.
Pelczar, M.J. & E.C.S. Chan, 1986, Penterjemah , Ratna Siri Hadioetomo dkk.
Dasar-Dasar Mikrobiologi 1, Universitas Indonesia Press. Jakart
Rukmana, R. 1996. Jeruk Nipis. Kanisius : Yogyakarta
Steenis, V. 2006. Flora. Cetakan Kelima. Jakarta: PT. Pradya Paramita.
Kharismayanti, A. 2015. Uji aktivitas antibakteri minyak atsiri daun jeruk nipis
(Citrus aurantifolia (Christm. & Panz.) Swingle) terhadap Porphyromonas gingivalis
ATCC 33277 secara in vitro. Naskah Skripsi S-1. Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Jember, Jember.
Departemen Kesehatan, 2006, Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia,
Vol.2, 124, Jakarta, Depkes RI.
Bardal, Einar, 2003, “Corrosion and Protection,” Springer. London
Chodijah, Siti. (2008). Efektivitas Penggunaan Pelapisan Epoxy dalam
Ketahanan Korosi Pipa Baja ASTM A53. Fakultas Teknik Universitas
Indonesia. Jakarta
Harmami, Sri Budi, Dieni Mansur, and Agus Haryono. 2018. “POLIMERISAS
IMONOMER VINIL ASETAT DENGAN ASAM AKRILAT MENGGUNAKAN
INISIATOR AZOBISISOBUTILRONITRIL (AIBN) SEBAGAI BIOSIDA
POLIMER.” Jusami | Indonesian Journal of Materials Science 16(2): 72.
Larasati, Kunti, and M. Si Triastuti Rahayu. 2017. “Perbandingan Potensi
Biosida Ekstrak Akar Dan Batang Pisang Ambon Untuk Mencegah Kontaminasi Pada
Kultur In Vitro.” s1. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
http://eprints.ums.ac.id/54903/ (February 24, 2019).

Anda mungkin juga menyukai