Anda di halaman 1dari 8

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di lingkungan industri, korosi sering kali menimbulkan kendala dan menghambat jalann
yaproses industri. Korosi merupakan pengurangan daya guna logam akibat adanya
perpindahan elektron pada reaksi elektrokimia. Korosi dapat menyerang peralatan industri
terutama peralatan yang berbahan logam. Salah satu peralatan pabrik yang paling sering
terkena korosi adalah pipa karena biasanya pipa bersinggungan langsung dengan lingkungan
berupa air, udara, gas, larutan asam, dan lain-lain. (Rini Riastuti dan Andi Rustandi, 2008).

Mikroorganisme berperan secara aktif maupun secara pasif dalam menyebabkan korosi di
hampir semua peralatan pabrik karena mikroorganisme dapat mempengaruhi dan
mempercepat terjadinya korosi. Salah satu mikroorganisme korosif adalah Sulfate Reducing
bacteria (SRB). SRB menyebabkan korosi karena dapat mereduksi ion SO 42- menjadi ion S2-.
Selanjutnya ion S2- akan bereaksi dengan Fe2+ menghasilkan FeS yang merupakan produk
korosi. Proses korosi oleh mikroorganisme biasanya diawali dengan kolonisasi pada
lengkungan-lengkungan seperti pada sistem perpipaan. . Koloni tadi akan mengendap dan
lama – kelamaan akan akan menjadi deposit yang keras dan menjadi tempat ideal untuk
mikroorganisme hidup atau berkembang biak. Biosida menjadi alternatif sebuah pabrik untuk
menangani korosi akibat mikroorganisme.

Biosida merupakan istilah umum yang menggambarkan zat kimia yang bekerja
menginaktivasi mikroorganisme dengan cara menghambat pertumbuhannya (statik) maupun
mematikannya (sida). Biosida dapat meinaktivasi dan mematikan mikroorganisme Menurut
Directive 98/8/EC of the European Parliament and Council of the 16 February 1998 biosida
didefinisikan sebagai zat aktif yang mengandung satu atau lebih zat aktif,, dimaksudkan untuk
memusnahkan, membuat tidak berbahaya, mencegah tindakan, atau dengan cara memberikan
efek pengendalian pada organisme berbahaya dengan menggunakan bahan kimia atau
biologis. Biosida telah banyak digunakan dalam pengendalian bakteri selama beberapa
dekade, dan umumnya dimasukkan ke dalam berbagai produk termasuk formulasi disinfektan,
kosmetik, pengawet, pestisida dan antiseptik (McDonnell dan Russell, 1999; Paulus, 2012).
Berbagai teknologi biosida telah berhasil digunakan Secara umum, biosida diperlukan untuk
mengontrol aktivitas bakteri dalam suatu sistem. Ada lima syarat biosida dapat mengontrol
aktivitas mikroorganisme (Zhou, 1990). diantaranya :

1. Kemampuan dan jangkauan membunuh bakteri yang luas.


2. Properti non-korosif, kemampuan menghambat yang baik, dan kenyamanan untuk
transportasi dan aplikasi.
3. Tidak beracun atau toksisitas rendah yang tidak menyebabkan kerusakan pada
manusia dan berada dalam peraturan kontrol lingkungan.
4. Kesesuaian yang baik, tanpa kerusakan atau gangguan pada cairan pengeboran atau
agen kimianya.
5. Efek membunuh mikroorganisme tidak terpengaruh oleh adaptasi lingkungan dari
bakteri.

Biosida harus mengandung saponin, flavonoid dan tanin agar dapat menginaktivasi dan
mematikan mikroorganisme dengan baik.

Tanaman jeruk nipis mempunyai akar tunggang dan termasuk jenis tumbuhan perdu
yang memiliki dahan dan ranting. Batang pohonnya berkayu ulet dan keras, sedangkan
permukaan kulit luarnya berwarna tua dan kusam. Tanaman jeruk nipis pada umur 2,5 tahun
sudah mulai berbuah. Buahnya berbentuk bulat sebesar bola pingpong dengan diameter 3,5-5
cm. Kulitnya berwarna hijau atau kekuning-kuningan dengan tebal 0,2-05 cm. Daging
buahnya berwarna kuning kehijauan (Rukmana, 1996 dan Steenis et al., 2006) Daunnya
majemuk, berbentuk elips dengan pangkal membulat, ujung tumpul, dan tepi beringgit.
Panjang daunnya mencapai 2,5-9 cm dan lebarnya 2-5 cm. Tulang daunnya menyirip dengan
tangkai bersayap, hijau dan lebar 5-25 mm (Rukmana, 1996).

Daun jeruk nipis mengandung senyawa bioaktif, seperti alkaloid, flavonoid, terpenoid,
saponin, tanin, dan steroid. Senyawa-senyawa tersebut memiliki kemampuan untuk
menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan cara merusak dinding sel, merusak
membran sitoplasma sel, mengubah struktur molekul protein dan asam nukleat, serta
menghambat kerja enzim bakteri (Pelczar dan Chan, 1986) Salah satu manfaat daun jeruk
adalah untuk mengobati influenza dan malaria. Air infusan daun jeruk nipis juga dapat
meringankan sakit kepala (Kharismayanti, 2015). Kandungan daun jeruk nipis bisa
didapatkan dengan mengekstraksi bubuk daun jeruk nipis dengan menggunakan pelarut
tertentu. Menurut Departemen Kesehatan RI (2006), ekstraksi adalah proses penarikan
kandungan kimia yang dapat larut dari suatu serbuk simplisia, sehingga terpisah dari bahan
yang tidak dapat larut. Salah satu metode ekstraksi adalah maserasi. Maserasi adalah proses
ekstraksi simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengadukan pada suhu
ruangan. Pengadukan disini berfungsi untuk meningkatkan kecepatan ekstraksi. Prosedurnya
sederhana hanya merendam simplisia dalam pelarut yang sesuai dalam wadah tertutup.
Simplisia menurut Farmakope Indonesia Edisi III adalah bahan alami yang belum mengalami
pengolahan sebelumnya dalam hal ini adalah daun jeruk nipis yang sudah berbentuk bubuk.

1.2 Tujuan Penelitian


- Dapat mengetahui pengaruh ekstrak daun jeruk nipis terhadap korosi pada pipa steam
- Dapat menentukan konsentrasi yang paling optimum untuk menghilangkan korosi pada
pipa steam
- Dapat menghitung Kecepatan Hambat Minumum Sulfate Reducing Bacteria (SRB)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Korosi

Korosi merupakan degradasi material akibat reaksi elektrokimia dengan zat


sekitarnya (Einar Bardal, 2003). Jika dilihat dari sudut pandang ilmu kimia, korosi pada
dasarnya merupakan reaksi logam yang berubah menjadi ion dan adanya kontak langsung dengan
lingkungan yang berair dan beroksigen (Siti Chodijah 2008 ).  Logam bersifat anoda karena
mengalami oksidasi, dan lingkungan bersifat sebagai katode yang akan mengalami reduksi
atau membutuhkan elektron dari anoda. Korosi mengalami reaksi redoks yang berlangsung
secara spontan. Di bidang teknik kimia, korosi dapat mengkontaminasi air pada cooling tower
sehingga suhu air tidak sesuai dengan kemauan kita dan pada unit heat exchanger, korosi
dapat menimbulkan kerak dan menurunkan kinerja pertukaran panas di dalam heat exchanger.

2.1.1 Jenis-jenis korosi

Jenis – jenis korosi yang terjadi pada pipa dapat dibedakan berdasarkan masing-masing
penyebabnya. Diantaranya adalah :

1. Uniform attack (korosi seragam) dapat terjadi pada permukaan logam akibat reaksi
kimia karena pH air yang rendah dan udara yang lembab yang menyebabkan logam
terus menipis..
2. . Pitting corrosion (korosi sumur) disebabkan karena komposisi logam yang tidak
homogen sehingga timbul korosi yang berbentuk seperti sumur.
3. Errosion Corrosion ( korosi erosi) terjadi karena keausan akibat fluida yang mengalir
terus menerus sehingga bisa mengikis pelindung pada logam.
4. Galvaniscorrosion (korosi galvanis) terjadi karena adanya dua logam yang berbeda
dalam satu elektrolit sehingga logam yang lebih anodik (permukaan logam) akan
terkorosi.
5. Stress corrosion (korosi tegangan) terjadi karena logam yang mengalami perlakuan
khusus seperti diregang, ditekuk dll. sehingga logam menjadi tegang dan mudah
bereaksi dengan lingkungan.
6. Crevice corrosion (korosi celah) terjadi pada logam yang berdempetan dengan logam
lain diantaranya ada celah yang dapat menahan kotoran dan air sehingga kosentrasi O2
bagian dalam dan bagian luar berbeda. Bagian dalam menjadi lebih anodik dan bagian
mulut menjadi katodik.
7. Fatigue corrosion (korosi lelah) terjadi karena logam mendapatkan beban siklus yang
terus berulang dan lama kelamaan akan patah.
8. Korosi mikrobiologi terjadi karena mikroba seperti jamur, alga, protozoa dan
mikroorganisme. Korosi ini bertanggung jawab terhadap degenerasi material di
lingkungan.

2.1.2 Faktor – faktor yang mempengaruhi korosi

Beberapa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi proses korosi secara umum
antara lain :
1. Suhu
Semakin tinggi suhu maka laju korosi juga akan semakin cepat. (Fogler, 1992).
meningkatnya suhu maka akan terjadi tumbukan efektif antar partikel yang akan
meningkatkan energi kinetik pada reaksi redoks
2. Kecepatan Alir Fluida
Ketika kecepatan aliran fluida bertambah besar maka laju korosi yang didapatkan akan
semakin cepat. Hal ini dikarenakan ion – ion logam mengalami keausan karena adanya
kontak antara zat dan logam yang semakin besar (Kirk Othmer, 1965). Aliran fluida
yang sangat deras dapat merusak permukaan film dan lapisan film sehingga dapat
terjadi korosi
3. pH
Semakin asam atau basa pH maka laju korosi akan semakin cepat (Djaprie, 1995).
Biasanya larutan di atur sekitar pH netral antara 7,5-8.
4. Pertumbuhan Mikroorganisme
Mikroorganisme baik yang telah mati atau masih hidup dapat memicu perubahan laju
aliran pada fluida yang dapat menyebabkan korosi. Mikroorganisme yang telah mati
juga dapat mengeluarkan gas ammonia yang mempercepat laju korosi.
Mikroorganisme juga disebabkan oleh bakteri aerob maupun anaerob  dapat
disebabkan baik oleh bakteri aerob ataupun anaerob, diantaranya adalah Sulfate
Reducing Bacteria (SRB), pemproduksi asam, pendeposit logam, slime formers.
2.2 Sulfate Reducing Bacteria (SRB)
Sulfate Reducing Bacteria (SRB) merupakan mikroorganisme yang bisa hidup tanpa
memerlukan oksigen. Mikroorganisme ini akan tumbuh subur bila kandungan oksigen di
lingkungannya sangat kecil Jika dilihat menggunakan mikroskop, SRB mempunyai panjang
badan kurang lebih 10 mm dan mempunyai diameter sekitar 1mm. SRB dapat menyebabkan
korosi internal pada pipa atau bagian dalam pipa. Chevron ETC mencoba untuk mengetahui
apakah perkembangan SRB ini dapat ditekan atau dihilangkan sehingga tidak akan
menimbulkan masalah. Penelitian ini hanya melihat dari pengaruh pH dan suhu. Para peneliti
dari Chevron mengambil sampel SRB dari 20 sumur yang berbeda yang diduga terdapat
koloni SRB yang menetap. Masing – masing diamati setiap hari selama 8 inkubasi. Hasil
penelitiannya menyimpulkan bahwa Koloni SRB ditemukan pada sampel yang mempunyai
rentan suhu dari 99 – 128 oF dan rentan pH 6.51 – 6.85. Populasi SRB tidak ditemukan pada
rentan suhu 150oF

Pencegahan korosi akibat SRB salah satunya adalah menggunakan inhibitor atau
memakai cat. Dewasa ini, biosida sering digunakan sebagai campuran cat sebagai antibakteri.

2.2 Biosida

Menurut Larasati dan Triastuti Rahayu (2017) akar dan batang pisang ambon dapat
digunakan sebagai biosida karena mengandung golongan senyawa flavonoid, tannin dan
saponin yang terkenal dapat menghilangkan mikroorganisme yang merugikan. Teknik
maserasi dipakai untuk mengekstraksi akar dan batang pisang ambon menggunakan pelarut
metanol. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan potensi biosida
ekstrak akar dan batang pisang ambon untuk mencegah kontaminasi pada kultur in vitro.
Metode eksperimen yang digunakan adalah Rancang Acak lengkap (RAL). Hasil
penelitiannya menyimpulkan bahwa ekstrak akar dan batang pisang ambon dapat membunuh
mikroorganisme yang merugikan tanpa menghambat pertumbuhan pada kultur in vitro.

Biosida juga dapat dibuat dengan cara polimerisasi vinil asetat dan asam akrilat dengan
Cu menggunakan azobisisobutilronitril (AIBN) sebagai inisiator. Harmami, Mansur, dan
Haryono (2018) mengatakan bahwa biosida ini berbentuk kopolimer biosida yang dapat
digunakan sebagai antifouling. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat lapisan pada
material kelautan yang selalu kontak dengan air laut. Karakterisasi yang digunakan berupa
Fourier Transform InfraRed (FTIR) Spectroscopy, Transmission Electron Microscope (TEM)
dan Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS). Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa
Ion Cu terperangkap dalam polyvinyl acetate-coacrylic asam. Artinya, kopolimer biosida
berhasil dibuat dan siap di aplikasikan pada proses pembuatan material kelautan.

2.3 Daun jeruk nipis

. Sudah banyak penelitian yang memanfaatkan daun jeruk nipis pada berbagai bidang.
(Nita Oktavia 2013) memanfaatkan daun jeruk nipis sebagai bahan untuk membuat insektisida
alami pembasmi kutu beras. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dua jalur dengan kombinasi 9 perlakuan dan 3 ulangan. Parameter yang diukur adalah waktu
kematian kutu beras. Hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa insektisida alami daun
jeruk nipis berpengaruh terhadap pembasmian kutu beras

Afrina dkk memanfaatkan ekstrak daun jeruk nipis untuk mengetahui konsentrasi
hambat dan bunuh minimum. Dengan menggunakan teknik maserasi menggunakan pelarut
etanol didaptkan kesimpulan bahwa adanya Konsentrasi Hambat Minumum pada
pertumbuhan A. actinomycetemcomitans dengan metode Standard Plate Count (SPC).

2.3 Pelarut Ekstraksi Daun Jeruk Nipis

. Faktor utama untuk memilih pelarut adalah selektivitas terhadap senyawa yang
diinginkan, ekonomis, ramah lingkungan, dan aman (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2000). Etanol merupakan senyawa dengan gugus C, H O yang paling sering
digunakan untuk mengekstraksi bahan simplisia, Etanol mempunyai gugus karboksil (alkohol)
yang polar dan gugus karbonil (keton) yang nonpolar. Kedua gugus etanol ini dapat menarik
senyawa polar, yaitu alkaloid, flavonoid, saponin, dan tanin, serta senyawa nonpolar, yaitu
terpenoid dan steroid sehingga pelarut etanol dapat mengekstrak sebagian besar senyawa
kandungan yang diinginkan.

2.4 Flavonoid
Senyawa flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang ditemukan di alam.
Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, biru dan kuning yang ditemukan
dalam tumbuh- tumbuhan seperti pada biji, buah, kulit, batang, akar dan getah. Warna - warna
yang cantik ini berfungsi sebagai penarik serangga dan hewan dalam penyerbukannya dan
penyebaran biji-biji tumbuh– tumbuhan. Pada buah-buahan, senyawa flavonoid memiliki peran
sebagai penentu kualitas buah yang dihasilkan, seperti warna, aroma dan tekstur buah
(www.herkules.oulu.com).
Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua
cincin benzene (C6) terikat pada suatu rantai propane (C3) sehingga membentuk suatu susunan
C6 -C3 -C6
( Lenny, 2006).
Penelitian tentang efek farmakolgis senyawa flavonoid dari berbagai sampel tanaman obat telah
banyak dilakukan. Penelitian-penelitian tersebut menyebutkan bahwa flavonoid sebagai
kelompok senyawa polipenolat memiliki efek sebagai antibakteri, anti-inflammatori, antialergi,
antimutagen, antiviral, antineoplastik, dan memiliki efek sebagai vasodilator ( Mujwah, et al.,
2010).

2.5 Tannin
2.6 Saponin

Anda mungkin juga menyukai