BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Korosi
Korosi merupakan hasil destruktif atau kerusakan matrial dari reaksi kimia
antara logam dengan lingkungannya. Lingkungannya dapat berupa air, udara, larutan
asam, dan lain sebagainya, yang berinteraksi dengan logam sehingga menjadi faktor
utama yang memicu terjadinya korosi (Jones, 1992). Seperti sepotong logam yang
dapat terkorosi dalam larutan elektrolit, sebagian area pada logam tersebut bersifat
anodik dimana terjadi reaksi oksidasi, sedangkan daerah lain bersifat katodik, dimana
terjadi reaksi reduksi pada logam. Pada proses korosi reaksi anodik dan katodik
berlangsung secara bersamaan, artinya bila salah satu reaksi tidak berlangsung maka
korosi tidak dapat terjadi (Utami, 2009).
Pada ilustrasi diatas maka proses korosi dapat terjadi pada suatu material
dengan memenuhi keempat elemen membentuk korosi atau kerusakan material.
Berikut ini adalah keempat elemen tersebut :
1) Anoda yaitu tempat terjadi reaksi oksidasi, maka daerah tersebut akan timbul
korosi
2) Katoda yaitu tempat terjadi reaksi reduksi, daerah tersebut mengkonsumsi
elektron
3) Tedapat hubungan (Metallic Pathaway), yang mana sebagai tempat arus
mengalir dari katoda ke anoda
4) Larutan (electrolyte) merupakan suatu larutan korosif yang dapat mengalirkan
arus listrik, dan mengandung ion-ion.
Reaksi korosi yang akan terjadi pada logam sebagai berikut:
Anoda: 4Fe → 4Fe2+ + 8e- (oksidasi)
Katoda: 4H2O + 2O2 + 8e- → 8OH- (reduksi)
4Fe2+ + 8OH- → 4Fe(OH)2
4Fe(OH)2 + O2 → 2Fe2O3.2H2O (karat)
(Afandi, 2015)
Dalam mekanisme terjadinya korosi pada logam besi yang keberadanya jauh
dari permukaan kontak dengan udara akan dioksidasi oleh ion Fe2+. Ion ini larut dalam
tetesan air. Tempat terjadinya reaksi oksidasi di salah satu ujung tetesan air ini disebut
anode. Elektron yang terbentuk bergerak dari anode ke katode melalui logam dan
elektron ini selanjutnya mereduksi oksigen dari udara dan menghasilkan air. Pada
ujung tetesan air tempat terjadinya reaksi reduksi ini disebut katode. Sebagian oksigen
dari udara larut dalam tetesan air dan dapat mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ yang
membentuk karat besi (Fe2O3.H2O). Besi atau logam yang berkarat bersifat rapuh,
mudah larut, dan bercampur dengan logam lain, serta bersifat racun. Tentu hal ini
berbahaya jika digunakan sebagai bahan konstruksi dan peralatan mekanik serta
peralatan industri obat dan makanan (Utomo, 2015).
II.1.1 Jenis – Jenis Korosi
1. Korosi Sumur (Pitting Corrosion)
Korosi sumuran terjadi merata pada seluruh permukaan logam, sehingga terjadi
pengurangan ukuran dengan menghasilkan lubang-lubang kecil yang tersebar
dipermukaan logam, diawali dengan rusaknya selaput pasif didalam lingkungan yang
terdapat ion agresif terutama ion klorida (Cl-). Akibat adanya korosi sumuran
menyebabkan kehilangan material konstruksi, mencemarkan lingkungan, penurunan
kapasitas dan peningkatan biaya perawatan (preventive maintenance).
2. Korosi Seragam (Uniform Attack)
Korosi seragam terjadi pada permukaan logam akibat reaksi kimia karena pH
air yang rendah dan udara yang lembab, sehingga semakin lama logam semakin
menipis. Umumnya terjadi pada pelat baja atau profil, dan logam homogen. Korosi
jenis ini dapat dicegah dengan cara diberi lapis lindung yang mengandung inhibitor.
2) Inhibitor Anodik
Inhibitor anodik merupakan inhibitor yang dapat menurunkan laju
reaksi anodik dengan cara meningkatkan polarisasi anoda melalui reaksi
dengan ion-ion logam untuk menghasilkan lapisan pasif tipis berupa lapisan
oksida yang kemudian menyelimuti permukaan logam (Nikitasari, 2014). Pada
Inhibitor ini mampu mengubah sifat permukaan logam menjadi pasif. Cara
kerja inhibitor ini ada terdapat dua cara yaitu (1) membetuk perlindungan tanpa
membutuhkan oksigen dan inhibitor ini berbasis nitrat, nitrit dan kromat dan
(2) membentuk perlindungan dengan membutuhkan oksigen dan berbasis
posfat, tungstat, dan molibdat. Penggunaan Inhibitor jenis ini biasa pada
recirculation-cooling systems, rectrifier dan cooling tower (Utomo, 2015).
II.2.2 Mekanisme Inhibitor
Mekanisme kerja inhibitor yaitu inhibitor mula-mula membentuk lapisan tipis
pada permukaan logam dengan dipengaruh oleh lingkungan (misalnya pH) dapat
menyebabkan inhibitor mengendap dan teradsopsi pada permukaan logam sehingga
dapat melindungi logam terhadap serangan korosi. Dengan demikian adanya inhibitor
akan memperlambat laju korosi dengan cara antara lain meningkatkan sifat polarisasi
katodik dan anodik material, mereduksi pergerakan atau difusi ion ke permukaan
logam, meningkatkan tahanan listrik pada permukaan logam (Utomo, 2015).
tipe 304 ini antara lain kekuatan tarik 580 Mpa, yield strength 198 Mpa, elongation
50%, kekerasan 87HRB.
II.4.2 Stainless Steel 304
Baja paduan SS 304 merupakan jenis baja tahan karat austenitic stainless steel
yang memiliki komposisi 0.042%C, 1.19%Mn, 0.034%P, 0.006%S, 0.049%Si,
18.24%Cr, 8.15%Ni, dan sisanya Fe. Terdapat beberapa sifat mekanik yang dimiliki
baja karbon tipe 304 ini antara lain kekuatan tarik 646 Mpa, yield strength 270 Mpa,
elongation 50%, kekerasan 82 HRB. Baja paduan tahan karat ini paling banyak
digunakan, dengan komposisi kimia, kekuatan mekanik, kemampuan las, ketahanan
terhadap korosi yang sangat baik dan harga yang relatif terjangkau. Stainless steel tipe
304 ini banyak digunakan dalam dunia industri maupun skala kecil. Penggunaannya
antara lain pada tanki dan container untuk berbagai macam cairan dan padatan,
peralatan pertambangan, kimia, makanan, dan industri farmasi. (Sumarji, 2011)
II.4.3 Stainless Steel 316L
Stainless steel 316 L adalah stainless steel molibdenum austenitic. Kandungan
nikel dan molibdenum yang lebih tinggi di kelas ini memungkinkannya untuk
menunjukkan sifat tahan korosi keseluruhan yang lebih baik daripada 304, terutama
yang berkaitan dengan korosi pitting dan celah di lingkungan klorida. Selain itu, Alloy
316L memberikan kekuatan tarik yang sangat baik, serta kemampuan bentuk dan
kemampuan las yang luar biasa. 316L adalah versi karbon yang lebih rendah dari 316.
Oleh karena itu, sangat sering digunakan dalam komponen yang dilas berat. Stainless
steel 316 L merupakan jenis baja tahan karat austenitic stainless steel yang memiliki
komposisi 0,029% C, 1,648% Mn, 0,05% P, 0,035% S, 0,39% Si, 16,860% Cr, 9,930%
Ni, 2,057% MO dan sisanya Fe. Terdapat beberapa sifat mekanik yang dimiliki
stainless steel 316 L ini antara lain kekuatan tarik 485 Mpa, yield strength 170 Mpa,
elongation 40%, kekerasan 95HRB (Sinaga, 2020).
Sifat stainless steel yang tidak mudah terkorosi merupakan keuntungan dari
baja paduan tersebut. Tetapi tidak menutup kemungkinan stainless steel tetap akan
mengalami korosi pada lingkungan yang mendukung. Salah satunya pada lingkungan
yang memiliki kadar garam hingga 3,5% atau lingkungan dengan kadar ion klorida
yang cukup tinggi, baja karbon rendah mengalami kerusakan material akibat korosi
yang menyeluruh ke seluruh permukaan logam diakibatkan ketergantungan dari
konsentrasi elektrolit di lingkungan tersebut (Jodi, 2010).
II.5 Landasan Teori
II.5.1 Natrium Nitrit
Natrium Nitrit (NaNO2) adalah senyawa anorganik berbentuk kristal yang
berwarna putih, dan diklasifikasikan sebagai inhibitor anorganik yang dapat mencegah
terjadinya proses korosi pada baja karbon. Penggunaan inhibitor natrium nitrit dalam
menurunkan laju korosi membutuhkan konsentrasi kritis agar dapat melindungi baja
karbon terhadap serangan korosi (Hayyan, 2012). Menurut Karim (2010) penambahan
konsentrasi inhibitor natrium nitrit dalam lingkungan air pendingin simulasi dapat
menghambat korosi pada baja ringan, dengan aktivitas penghambatan maksimum yang
dicapai sebesar 500 ppm. Di samping itu natrium nitrit adalah salah satu inhibitor
anodik yang dapat menaikkan polarisai anodik ke arah yang lebih mulia dan
menggeser kurva polarisasi ke atas dengan cara membentuk lapisan pasif pada
permukaan logam yang intinya menghambat korosi pada lapisan pasif kromium oksida
tersebut (Djunaidi, 2007).
Adapun mekanisme inhibitor natrium nitrit dalam menurunkan laju korosi pada
logam yaitu diawali dengan rusaknya lapisan pasif kromium oksida yang bertindak
sebagai katoda pada permukaan logam yang dipengaruhi oleh lingkungannya (air laut).
Kerusakan lapisan pasif ini menyebabkan hilangnya atom besi (Fe) sebagai anoda dari
logam yang diakibatkan oleh reaksi elektrokimia. Kemudian atom Fe yang terlepas
dari logam akan ikut larut ke dalam lingkungannya membentuk ion Fe2+ yang dapat
mengakibatkan kehilangan massa pada logam karena berkurangnya luas penampang
logam sehingga terjadi proses korosi pada logam tersebut. Korosi dapat terjadi pada
logam dikarenkan ion Fe2+ yang terlarut bereaksi dengan ion hidroksida (OH-) dan
oksigen (O2) membentuk karat (Fe2O3.xH2O) yang menyebabkan rusaknya lapisan
pasif kromium oksida pada logam dalam lingkungannya (Nugroho, 2015). Proses
korosi tersebut dapat ditangani dengan cara menggunakan inhibitor natrium nitrit
dalam menurunkan laju korosinya. Penambahan natrium nitrit kedalam lingkungan
mengakibatkan ion Fe2+ terlarut bereaksi dengan ion hidroksida (OH-) dan NO2 (nitrit)
membentuk NO (nitric oxide), Fe2O3 (iron (III) Oxide) dan H2O (air). Dalam hal ini
Fe2O3 merupakan lapisan pelindung pasif yang terbentuk untuk melindungi lapisan
pasif kromium oksida yang rusak pada logam terhadap serangan korosi sehingga
menyebebkan laju korosinya menjadi terhenti. Laju pembentukan lapisan pelindung
pasif oleh nitrit sangat cepat di antara beberapa penghambat korosi lainnya, sehingga
nitrit menunjukkan kinerja yang baik (Kim, 2015).
Adapun reaksi pembentukan lapisan pasif oleh natrium nitrit adalah sebagai
berikut :
2Fe2+(aq) + 2OH- (aq) + 2NO2- (g) → 2NO(g) + Fe2O3(s) +H2O(l)
(Nikitasari, 2014)
Pemilihan inhibitor natrium nitrit dalam membantu menurunkan laju korosi
pada bahan uji stainless steel dikarenakan nitrit sebagai inhibitor anodik yang efektif
diantara inhibitor kromat, molibdat, benzoat, asam askorbat dan ortofosfat dengan
kemampuan untuk meningkatkan polarisasi anodik sehingga menunjukan kinerja yang
baik dalam menurunkan laju korosi pada lingkungan NaCl. Selain itu nitrit umumnya
biasa digunakan sebagai inhibitor untuk air pendingin. Air pendingin banyak
digunakan oleh sebagian besar proses kimia dan banyak industri lainnya. Air
pendingin mengandung ion agresif yang menyebabkan masalah korosi pada boiler,
kondensor, heat exchanger, saluran pipa, economizers, dan lain sebagainya.
Penggunaan inhibitor dalam mengendalikan korosi pada sistem air pendingin
merupakan metode yang paling mudah dan ekonomis dibandingkan dengan metode
yang lain (Karim, 2010).
II.5.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Inhibisi dari Inhibitor
Berikut ini faktor-faktor yang mempengaruhi persentase inhibisi dengan
menggunakan salah satu jenis inhibitor:
1. Pengaruh waktu Perendaman Besi
Waktu perendaman logam dalam inhibitor merupakan proses pembentukan
lapisan inhibitor (inhibisi) pada permukaan logam. Semakin lama waktu perendaman
maka akan memberikan persentase inhibisi yang lebih baik dibandingkan dengan
waktu perendaman yang cepat. Persentase yang dimaksud adalah persentase
permukaan dengan ketebalan lapisan tertentu.
2. Pengaruh konsentrasi inhibitor
Hubungan antara konsentrasi inhibitor dengan persentase inhibisi dianalogkan
dengan hasil reaksi :
aA + bB → cC (2.1)
Kecepatan reaksi :
V = k (A)m (B)n (2.2)
Pada persamaan di atas dapat dilihat bahwa jika nilai konsentrasi reaktan (A)
dan (B) besar, maka nilai V juga besar sebanding dengan reaktan. Demikian pula
persentase inhibisi akan meningkat sebanding dengan konsentrasi inhibitor karena jika
konsentrasi inhibitor tinggi maka kecepatan inhibisi meningkat dan menghasilkan
persentase inhibisi semakin tinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
“semakin tinggi besar konsentrasi inhibitor maka semakin besar persentasi pelapisan
permukaan logam sehingga logam makin tahan terhadap korosi” (Utomo, 2015).
II.5.3 Metode Penentuan Laju Korosi
1. Metode pengurangan berat (Weight loss)
Pengurangan berat (Weight loss) merupakan metode sederhana yang digunakan
untuk pengukuran laju korosi. Kupon merupakan suatu lempengan logam yang
ditempatkan dilingkungan terbuka dan dibiarkan untuk terkorosi. Kupon digunakan
untuk mengetahui laju korosi melalui weight loss (Jones, 1992). Pengukuran
kekurangan berat logam yang diakibatkan korosi, dengan cara menimbang berat awal
dari benda uji dan kekurangan berat daripada berat awal merupakan nilai kehilangan
beratnya. Dikarenakan metode ini sangat sederhana, tentu banyak sekali error atau
kesalahan pengukuran yang terjadi. Persamaan laju korosi dihitung sesuai dengan
ASTM G31-72 sebagai berikut :
𝐾. 𝑊
CR (mpy) = 𝐷. 𝐴. 𝑇
Keterangan :
CR = corrosion rate atau laju korosi (mpy)
K = konstanta (mpy = 3,45 x 106)
W = kehilangan berat (gram)
D = densitas logam (gram/cm3)
A = luas permukaan yang terendam (cm2)
T = waktu (jam)
(Suparman, 2019)
2. Metode Polarisasi Potensiostat
Polarisasi merupakan perubahan potensial dari keadaan seimbang. Ketika suatu
logam tidak berada pada keadaan kesetimbangan dengan larutan yang mengandung
ion-ionnya, maka potensial elektrodanya berbeda dari potensial korosi bebas. Dimana
selisih antar keduanya bisa disebut polarisasi. Perbedaan potensial antara katoda dan
anoda sangat penting untuk menggambarkan terjadinya korosi. Tetapi dalam hal ini
belum dapat menggambarkan laju korosi yang sebenarnya. Laju korosi yang terjadi
juga tergantung pada kerapatan arus yang muncul. Semakin tinggi kerapatan arus,
maka laju korosi semakin cepat. Korosi dapat digambarkan dengan kurva tegangan
fungsi arus, yang selanjutnya disebut kurva polarisasi (Trethewey, 1991).
Jika pergeseran potensial pada logam menggunakan arus pada arah positif (atas
Ecorr), maka disebut polarisasi anodik. Sedangkan jika pergeseran potensial pada
logam menggunkan arus pada arah negatif (bawah Ecorr), maka disebut polarisasi
katodik (Hafydhz, 2018). Dalam penggunaan inhibitor dapat ditentukan efisiensi dari
II.6 Hipotesis
Pada penelitian ini, penambahan inhibitor Natrium Nitrit dan jenis bahan uji
mempengaruhi laju korosi, dimana konsentrasi inhibitor yang ditambahkan dapat
menurunkan laju korosi secara signifikan. Pemilihan jenis bahan uji stainless steel juga
berpengaruh terhadap ketahanan korosi.