DURABILITAS BAHAN
Oleh:
Amalia Nurul F 16/404753/PTK/11170
Korosi merupakan salah satu hal yang sangat dihindari dalam industri konstruksi karena
dinilai memberikan banyak kerugian dan memiliki dampak yang berjangka waktu panjang.
Berbagai macam pencegahan dan perawatan dilakukan agar tidak terkena serangan korosi,
untuk itu perlu adanya suatu literature yang digunakan sebagai panduan untuk mengetahui
apa yang dimaksud dengan korosi serta bagaimana pencegahan serta perbaikan apabila
bangunan sudah mengalami korosi.
Pengertian korosi menurut (Martanto,2014) adalah suatu proses degradasi atau deteriorasi
atau kerusakan material yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan di sekitarnya, atau
beberapa pakar mengatakan bahwa:
1. Korosi merupakan perusakan material tanpa perusakn material
2. Korosi adalah kebalikan dari metalurgi ekstraktif
3. Korosi adalah system termodinamika logam dalam lingkungan (udara, air, tanah) yang
berusaha mencapai kesetimbangan.
Korosi menurut (Sidiq, 2013) merupakan penurunan kualitas yang diakibatkan adanya reaksi
kimia antara logam dengan unsur lain yang terdapat di alam. Korosi yang didasarkan pada
proses elektro-kimia terdiri dari 4 komponen utama:
a. Anoda
Anoda biasanya terkorosi dengan melepaskan electron-elektron dari atom-atom logam
netral untuk membentuk ion-ion yang bersangkutan. Ion-ion ini mungkin tetap tinggal
dalam larutan atau bereaksi membentuk hasil korosi yang tidak larut. Reaksi pada anoda
dapat dituliskan dengan persamaan :
b. Katoda
Katoda biasanya tidak mengalami korosi, walaupun dimungkinkan mengalami kerusakan
pada kondisi-kondisi tertentu. Reaksi yang terjadi pada katoda berupa reaksi reduksi.
Reaksi pada katoda tergantung pada pH lauran yang bersangkutan, seperti:
c. Elektrolit
Elektrolit adalah larutan yang memiliki sifat menghantarkan listrik. Elektrolit dapat
berupa larutan asam, basa, dan larutan garam. Larutan elektrolit memiliki posisi penting
dalam korosi logam karena larutan ini dapat menjadikan kontak listrik antara anoda dan
katoda.
d. Anoda dan Katoda harus terhubung secara elektris
Antara anoda dan katoda harus ada hubungan listrik agar arus dalam sel korosi dapat
mengalir. Hubungan secara fisik tidak diperlukan jika anoda dan katoda merupakan
bagian dari logam yang sama.
Laju korosi tidak hanya dipengaruhi oleh air, berikut adalah beberapa hal yang ikut
mempengaruhi laju korosi (Sidiq,2013).
Karbondioksida, jika karbondioksida dilarutkan dalam air maka akan terbentuk asam
karbonat (H2CO3) yang dapat menurunkan pH air dan meningkatkan korosifitas.
2. Faktor temperatur
Penambahan temperature umumnya menambah laju korosi walaupun kenyataannya
kelarutan oksigen berkurang dengan meningkatnya temperature. Apabila metal pada
temperature yang tidak uniform, maka akan besar kemungkinan terbentuk korosi.
3. Faktor pH
pH dikatan netral apabila nilainya 7, sedangkan pH < 7 bersifat asam dan korosif,
sedangkan untuk pH >7 bersifat basa juga korosif. Tetapi untuk besi, laju korosi rendah
pada pH antara 7 13. Laju korosi akan meningkat pada pH < 7 dan pada pH > 13.
4. Faktor bakteri pereduksi atau sulfat reducing bacteria
Adanya bakteri pereduksi sulfat akan mereduksi ion sulfat menjadi gas H2S, yang mana
jika gas tersebut kontak dengan besi akan menyebabkan terjadinya korosi.
5. Faktor padatan terlarut
Klorida (Cl), klorida menyerang lapisan mild steel dan lapisan stainless steel.
Padatan ini menyebabkan terjadinya pitting, crevice corrosion, dan juga
menyebabkan pecahnya alooys.
Karbonat (CO3), kalsium karbonat sering digunakan sebagai pengontrol korosi
dimana film karbonat diendapkan sebagai lapisan pelindung permukaan metal, tetapi
dalam produksi minyak hal ini cenderung menimbulkan masalah scale.
Sulfat (SO4), ion sulafat ini biasanya terdapat dalam minyak. Dalam air, ion sulfat
juga ditemukan dalam logam atau paduan dalam suatu lingkungan korosif tertentu
untuk mengurangi resiko terjadinya korosi.
C. Jenis-Jenis Korosi
Jenis kerusakan yang terjadi tidak hanya tergantung pada jenis logam, keadaan fisik logam
dan keadaan penggunaan-penggunaannya, tetapi juga tergantung pada lingkungannya.
Ditinjau dari bentuk produk atau prosesnya, menurut Setyowati tahun 2008 korosi dapat
dibedakan dalam beberapa jenis (Sidiq,2013), diantaranya:
a. Korosi merata (uniform corrosion)
Korosi merata merupakan korosi yang terjadi secara bersamaan diseluruh permukaan
logam, akibatnya terjadi pengurangan dimensi tampang yang relatif besar per satuan
waktu. Penyebab dari korosi seragam adalah terjadinya reaksi kimia karena pH air yang
rendah serta udara yang lembab, sehingga semakin lama logam akan semakin menipis.
Benda-benda yang mengalami korosi jenis ini antara lain baja atau profil dan logam
homogen.
h. Korosi lelah
Merupakan kegagalan logam akibat aksi gabungan beban dinamik dan lingkungan
korosif. Korosi ini dapat terjadi apabila logam mendapatkan beban siklik yang berulang
sampai mengalami patah karena logam kelelahan. Korosi jenis ini dapat dicegah dengan
penggunaan inhibitor dan pemilihan bahan yang tahan korosi.
i. Pitting corrosion
Korosi sumuran (pitting corrosion), korosi ini terjadi akibat adanya sistem anoda pada
logam, dimana daerah tersebut terdapat konsentrasi ion Cl yang tinggi. Korosi jenis ini
sangat berbahaya karena pada bagian permukaan hanya lubang kecil, sedangkan pada
bagian dalamnya terjadi proses korosi membentuk sumur yang tidak tampak.
Mekanisme dari korosi ini adalah klorida akan merusak lapisan pasif (oksida) sehingga
pitting dapat terjadi pada dudukan oksida. Lingkungan juga dapat mengatur perbedaan
sel aerasi (tetesan air pada permukaan baja) dan pitting akan mulai pada daerah anodic
(pusat tetesan air)
Gambar 6. Mekanisme korosi sumuran (Martanto,2014)
Macam-macam bentuk pitting. Berikut ini adalah macam-macam bentuk dari korosi
sumuran:
Cara mencegah agar tidak terjadi proses korosi sumuran (pitting corrosions), yaitu:
1. Meletakkan material tegak berdiri sehingga tidak akan terjadi genangan air pada
permukaan logam
2. Melapisi permukaan logam dengan pelindung atau lazim disebut coating baik
organic maupun yang organic
3. Penambahan inhibitor yang sesuai dengan lingkungannya
4. Merubah lingkungan dengan mengurangi faktor utama penyebab dampak korosi
5. Pemasangan seng anode yang sesuai dengan kondisi dimana korosi tersebut terjadi
j. Korosi mikrobiologi
Korosi yang terjadi adanya pengaruh mikroba seperti bakteri, jamur, alga dan protozoa.
Korosi ini bertanggung jawab terhadap degradasi material di lingkungan. Mekanisme
korosi jenis ini yaitu mikroorganisme umumnya berhubungan dengan permukaan korosi
kemudian menempel pada permukaan logam dalam bentuk lapisan tipis atau biodeposit.
Gambar 8. Korosi mikrobiologi (Martanto,2014)
Fenomena korosi yang terjadi dapat disebabkan adanya keberadaan dari bakteri. Jenis-
jenis bakteri yang berkembang yaitu :
1. Bakteri reduksi sulfat
Bakteri ini merupakan bakteri jenis anaerob membutuhkan lingkungan bebas oksigen
atau lingkungan reduksi, bakteri ini bersirkulasi di dalam air aerasi termasuk larutan
klorin dan oksidiser lainnya, hingga mencapai kondisi ideal untuk mendukung
metabolisme. Bakteri ini tumbuh pada oksigen rendah. Bakteri ini tumbuh pada
daerah-daerah kanal, pelabuhan, daerah air tenang tergantung pada lingkungannya.
Bakteri ini mereduksi sulfat menjadi sulfit, biasanya terlihat dari meningkatnya kadar
H2S atau Besi sulfida.Tidak adanya sulfat, beberapa turunan dapat berfungsi sebagai
fermenter menggunakan campuran organik seperti pyruvnate untuk memproduksi
asetat, hidrogen dan CO2, banyak bakteri jenis ini berisi enzim hidrogenase yang
mengkonsumsi hidrogen.
2. Bakteri oksidasi sulfur-sulfida
Bakteri jenis ini merupakan bakteri aerob yang mendapatkan energi dari oksidasi
sulfit atau sulfur. Bebarapa tipe bakteri aerob dapat teroksidasi sulfur menjadi asam
sulfurik dan nilai pH menjadi 1. bakteriThiobaccilus umumnya ditemukan di deposit
mineral dan menyebabkan drainase tambang menjadi asam.
3. Bakteri besi mangan oksida
Bakteri memperoleh energi dari osidasi Fe2+ Fe3+ dimana deposit berhubungan
dengan bakteri korosi. Bakteri ini hampir selalu ditemukan di Tubercle (gundukan
Hemispherikal berlainan ) di atas lubang pit pada permukaan baja. Umumnya
oksidaser besi ditemukan di lingkungan dengan filamen yang panjang.
D. Dampak Korosi
Dampak yang ditimbulkan korosi sungguh luar biasa. Berdasarkan pengalaman pada tahun-
tahun sebelumnya, Amerika Serikat mengalokasikan biaya pengendalian korosi sebesar 80
hingga 126 milyar dollar per tahun. Di Indonesia, dua puluh tahun lalu saja biaya yang
ditimbulkan akibat korosi dalam bidang indusri mencapai 5 trilyun rupiah. Nilai tersebut
memberi gambaran kepada kita betapa besarnya dampak yang ditimbulkan korosi dan nilai
ini semakin meningkat setiap tahunnya karena belum terlaksananya pengendalian korosi
secara baik bidang indusri. Dampak yang ditimbulkan korosi dapat berupa kerugian langsung
dan kerugian tidak langsung. Kerugian langsung adalah berupa terjadinya kerusakan pada
peralatan, permesinan atau stuktur bangunan. Sedangkan kerugian tidak langsung berupa
terhentinya aktifitas produksi karena terjadinya penggantian peralatan yang rusak akibat
korosi, terjadinya kehilangan produk akibat adanya kerusakan pada kontainer, tanki bahan
bakar atau jaringan pemipaan air bersih atau minyak mentah, terakumulasinya produk korosi
pada alat penukar panas dan jaringan pemipaannya akan menurunkan efisiensi perpindahan
panasnya, dan lain sebagainya.
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh korosi diantaranya adalah:
1. Penurunan kekuatan material
2. Penipisan
3. Downtime dari equipment
4. Retak dan pitting
5. Kebocoran fluida
6. Embrittlement
7. Penurunan sifat permukaan material
8. Penuruan nilai
E. Pencegahan Korosi
1. Pendahuluan
Salah satu pabrik di Kawasan Industri di kota Bekasi selesai dibangun pada bulan
Desember 2008. Bangunan tersebut menggunakan atap yang terlapisi oleh material zinc
(seng). Pada bulan April 2010 telah ditemukan adanya kerusakan pada atap bangunan
pabrik. Bentuk kerusakannya adalah deposit berwarna kecoklatan tebal dan tipis yang
menempel pada atap tersebut. Analisa kerusakan yang dilakukan antara lain pemeriksaan
visual, SEM-EDAX, metalografi, uji kerapatan deposit, dan analisa laju korosi.
2. Prosedur Percobaan
Material
Material substrat yang digunakan pada atap ini adalah baja karbon rendah. Komposisi
kimia material ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Pada titik VII sampel 1 (satu) dan sampel 2 (dua) masing-masing dipotong sesuai ukuran
standard uji kemudian dilakukan pengujian sebanyak 3 (tiga) kali pengulangan. Pengujian
tersebut antara lain: uji SEM-EDAX dan XRD dilakukan pada penampang permukaan
sampel, uji mikroskop optik[4-5] pada penampang melintang sampel, uji kerapatan
zinccoating (lapis seng)[6-7], dan laju korosi pada penampang permukaan sampel.
3. Hasil dan Pembahasan
Uji SEM-EDAX
Gambar 3 menunjukkan hasil uji SEM (scanning electron microscope) pada sampel 1
kecoklatan tebal dan tipis. Pada sampel 1 kecoklatan tebal memiliki deposit lebih rapat
daripada sampel 1 kecoklatan tipis. Adanya deposit tersebut disebabkan karena adanya
pengotor dari udara yang menempel di atas atap.
Gambar 3c menunjukkan hasil uji SEM pada sampel 2 kecoklatan tebal. Sampel 2 kecoklatan
tebal memiliki bentuk deposit berbeda dengan bentuk deposit sampel 1 kecoklatan tebal. Hal
ini disebabkan karena perbedaan lokasi antara sampel 1 dan 2. Pada Tabel 2 menunjukkan
hasil uji EDAX dari unsur-unsur yang terkandung di dalam deposit sampel 1 dan 2. Pada
tabel tersebut menunjukkan adanya unsur pengotor yang berasal dari udara. Pada sampel 1
unsur pengotornya adalah C, O, Al, Si, Na, S, K, P, Ca, Mn, dan Mo dan Fe. Pada sampel 1
deposit tebal unsur dominan adalah Fe=28,76%, O=29,60% dan Zn=16,26%, sedangkan pada
sampel 1 deposit tipis unsur yang dominan adalah Fe=12,38%, O=33,96%, dan Zn=34,32%
(Tabel 2). Pada sampel 2 unsur pengotornya adalah C, O, Al, Si, S, Ca, dan Fe. Sampel 2
(dua) deposit tebal unsur yang dominan adalah Fe=34,55%, O=27,60% dan Zn=27,91%
(Tabel 2).
Karena relatif banyaknya unsur-unsur pengotor yang berasal dari udara mengakibatkan
terjadinya deposit di atas permukaan atap yang didominasi oleh besi oksida dengan tingkat
oksidasi yang berbeda-beda sehingga menjadikan degradasi perubahan warna pada atap dan
hal ini dapat menginisiasi terjadinya kerusakan lapisan Zn yang ditunjukkan dengan adanya
penurunan kadar Zn pada sampel deposit tebal dibandingkan dengan sampel deposit tipis
(Tabel 2).
Gambar 4 menunjukkan hasil uji XRD pada sampel atap yang terdeposit. Pada gambar
tersebut menunjukkan intensitas senyawa didominasi oleh senyawa ZnO, FeO, dan Zn.
Adanya senyawa besi oksida yang berdeposit di atas permukaan atap tersebut mengakibatkan
terjadinya korosi galvanik. Korosi galvanik ini dapat terjadi ketika ZnO dan Zn yang
memiliki potensial lebih negatif dari pada besi oksida saling kontak di udara mengakibatkan
Zn terkorosi.
Hasil metalografi
Gambar 5 menunjukkan struktur mikro pada sampel atap baru dan sampel atap yang rusak
(sampel 1 deposit tebal dan tipis, dan sampel 2 deposit tebal). Pada gambar tersebut, sampel
atap baru menunjukkan lapisan zinc yang merata, sedangkan pada sampel atap rusak
menunjukkan lapisan zinc yang tidak rata lagi.
Berdasarkan Gambar 5, lapisan zincoated pada sampel baru memiliki ketebalan rata rata 16
m. Sampel 1 deposit tebal dan tipis menunujukkan ketebalan minimal 5 m dan 10 m. Dan
pada sampel 2 deposit tebal menunjukkan ketebalan minimal 7 m. Sehingga pada sampel 1
deposit tebal mempunyai ketebalan lapisan zinccoating paling tipis dibandingkan dengan
sampel 1 deposit tipis dan sampel 2 deposit tebal. Penipisan pada lapisan zinccoating ini
disebabkan karena terkikisnya lapisan zinc oleh proses korosi galvanis antara ZnO dengan
FeO.
Tabel 3 menunjukkan hasil uji kerapatan zinccoating pada sampel atap baru dan sampel atap
yang terdeposit. Nilai kerapatan zinccoating pada sampel atap baru sebesar 184 g/m2. Sampel
1 deposit tebal mengalami penurunan berat lapisan sebesar 10 % dari sampel baru. Sampel 1
deposit tipis mengalami penurunan berat lapisan sebesar 4 % dari sampel baru. Sampel 2
deposit tebal mengalami penurunan berat lapisan sebesar 7 % dari sampel baru. Jadi dapat
disimpulkan bahwa sampel 1 deposit tebal terjadi penipisan lapisan zinccoating lebih besar
daripada sampel lainnya.
Dengan waktu pemakaian atap selama 16 bulan maka laju korosi mulai terbesar sampai
terkecil ditemukan pada sampel 1 deposit tebal sebesar 13,5 g/m2/years, sampel 2 sebesar
9,75 g/m2/years, dan sampel 1 deposit tipis sebesar 5,25 g/m2/years. Menurut ISO 9223 laju
korosi yang dialami oleh atap zinccoating masuk kedalam kategori moderate[8].
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengujian dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
a. Penyebab utama warna kecoklatan pada atap zinccoating adalah adanya pengotor atau
deposit yang didominasi oleh besi oksida. Besi oksida yang berasal dari udara memiliki
tingkat oksidasi yang berbeda-beda ketika menempel pada permukaan atap.
b. Kandungan deposit didominasi oleh senyawa besi oksida.
c. Adanya senyawa besi oksida di dalam kandungan deposit mengakibatkan terjadinya
korosi galvanik pada permukaan atap yang terekspos udara, yang mengakibatkan lapisan
zinccoating terkorosi.
d. Laju korosi lapisan zinccoating yang terjadi pada sampel 1 deposit tebal, sebesar 13,5
g/m2/years, lebih tinggi dari pada sampel 1 deposit tipis (5,25 g/m2/years) dan sampel 2
deposit tebal (9,75 g/m2/years).
5. Solusi
1. Penambahan lapisan coating agar logam Zn tidak semakin terkorosi
2. Apabila atap akan diganti maka terdapat 2 pilihan solusi
a. Pemilihan materil pelapis yang lebih tahan karat dibanding Zn, mengingat atap digunakan
pada daerah industri
b. Penambahan inhibitor korosi pada campuran logam pembuat atap sehingga terbentuk
lapisan pasif yang akan melindungi atap dari serangan korosi
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, M. S., Sutowo, C., Pramono, A. W., Priyono, B., & Nasoetion, R. (2012). Analisa Kerusakan
Pada Atap Zincoating Di Lingkungan Atmosfer Industri. Majalah Metalurgi V27.3, 225 - 230.
Sidiq, M. F. (April 2013). Analisa Korosi dan Pengendaliannya. Jurnal Foundry Vol. 3 No. 1, 25-30.