Tujuan dari percobaan ini adalah praktikan diharapkan dapat memahami dan melakukan
standarisasi larutan serta menggunakannya untuk analisis kuantitatif sampel.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Dengan rumus :
VA . MA . nA = VB . MB . nB
Keterangan :
VA = Volume sebelum pengenceran
MA = Molaritas sebelum pengenceran
VB = Volume setelah pengenceran
MB = Molaritas setelah pengenceran
nA = Valensi asam
nB = Valensi basa (Keenan, 1991).
Analisis kimiawi menetapkan komposisi kuantitatif dan kualitatif suatu materi. Konstituen-
konstituen yang akan didereksi ataupun ditentukan jumlahnya adalah unsur, rasikal, gugus
fungsi, senyawaan atau fase. Analisis kimia menyangkut aspek analisis yang lebih sempit.
Analisis pada umumnya terdiri atas analisis kualitatif dilakukan sebelum analisis kuantitatif.
Tahapan penentuan analisis kuantitatif adalah dengan usaha mendapatkan sampel, mengubahnya
menjadi keadaan yang dapat terukur, pengukuran konstituen yang dikehendaki, dan yang terakhir
perhitungan dan interprestasi data numerik (Khopkar, 1990).
Istilah analisis titrametri mengacu pada analisis kimia kuantitatif yang dilakukan dengan
menetapkan volume suatu larutan yang konsentrasinya diketahui dengan tepat, yang diperlukan
untuk bereaksi secara kuantitatif dengan larutan zat yang akan ditetapkan. Larutan dengan
kekuatan (konsentrasi) yang diketahui tepat itu, disebut larutan standar. Bobot zat yang hendak
ditetapkan, dihitung dari volume standar yang digunakan dan hukum-hukum stokiometri yang
diketahui. Dahulu digunakan orang analisis volumetri, tetapi sekarang telah diganti dengan
analisiss titrimetri, karena yang terakhir ini dianggap lebih baik menyatakan proses titrasi,
sedangkan yang disebut terdahulu dapat dikacaukan dengan pengukuran-pengukuran volume,
seperti yang melibatkan gas-gas. Reagensia dengan konsentrasi yang diketahui itu disebut titran,
dan zat yang sedang dititrasi disebut titrat (Basset, 1994).
Suatu reaksi dapat digunakan sebagai dasar analisa titrimetri apabila memenuhi
persyaratan berikut:
1. Reaksi harus berlangsung cepat, sehingga titrasi dapat dilakukan dalam waktu yang tidak terlalu
lama.
2. Reaksi harus sederhana dan diketahui dengan pasti, sehingga didapat kesetaraan yang pasti
dalam reaktan.
3. Reaksi harus berlangsung secara sempurna.
4. Mempunyai massa ekuivalen yang besar (Sukmariah, 1990).
Untuk analisis titrimetri lebih mudah jika kita memahami sistem ekuivalen (larutan
normal) sebab pada titik akhir titrasi jumlah ekuivalen dari zat yang dititrasi = jumlah ekuivalen
zat penitrasi. Berat ekuivalen suatu zat sangat sukar dibuat definisinya, tergantung dari macam
reaksinya. Volumetri dapat dibagi menjadi:
1. Asidi dan alkalimetri
2. Oksidimetri
3. Argentometri
Asidimetri adalah yang diketahui konsentrasi asamnya, sedangkan alkalimetri bila yang
diketahui adalah konsentrasi basanya. Titrasi asam basa ada lima. Empat diantaranya adalah:
1. Titrasi asam dengan basa kuat
Diakhir titrasi akan terbentuk garam yang berasal dari asam kuat dan basa kuat.
Misal:
HCl + NaOH NaCl + H2O
2. Titrasi asam lemah dan basa kuat
Pada akhir titrasi terbentuk garam yang berasal dari asam lemah dan basa kuat. Misal : asam
asetat dengan NaOH.
CH3COOH + NaOH CH3COONa + H2O
3. Titrasi basa lemah dan asam kuat
Pada akhir titrasi akan terbentuk garam yang berasal dari basa lemah dan asam kuat. Misal :
NH4Cl dan HCl
NH4OH + HCl NH4Cl + H2O
4. Titrasi asam lemah dan basa lemah
Pada akhir titrasi akan terbentuk garam yang berasal dari asam lemah dan basa lemah. Misal :
asam asetat dan NH4OH
CH3COOH + NH4OH CH3COONH4 + H2O (Sukmariah, 1990).
Peningkatan kadar logam berat dalam air laut akan diikuti peningkatan kadar logam berat
dalam biota laut yang pada gilirannya melalui rantai makanan akan menimbulkan keracunan akut
dan khronik, bahkan bersifat karsinogenik pada manusia konsumen hasil laut (Keman, 1998).
Penelitian yang telah dilakukan oleh Pikir (1993) dengan metode Spektroskopi Serapan Atom
(SSA) menyimpulkan bahwa kerang yang berasal dari Pantai Kenjeran Suraba ya, mengandung
logam berat Cadmium (Cd) sebesar 1,22 ppm dan kerang dari Pantai Keputih Surabaya,
mengandung 1,09 ppm logam berat Cadmium. Penelitian lain yang dilakukan dengan metode
yang sama oleh Moesriati (1995) terhadap beberapa jenis ikan dan kerang di Pantai Kenjeran
Surabaya menyatakan bahwa kadar logam berat Cadmium dalam daging kerang adalah 1,21 ppm
(Sari, 2005).
III. ALAT DAN BAHAN
A. Alat
Alat-alat yang digunakan pada percobaan ini meliputi gelas arloji, gelas beker 100 mL,
pengaduk kaca, pipet tetes, pipet ukur, erlenmeyer 100 mL, labu takar 100 mL, dan buret 50 mL.
B. Bahan
Bahan-bahan yang diperlukan pada percobaan ini meliputi asam oksalat dihidrat
(H2C2O4.2H2O), larutan standart NaOH 0,1 N, akuades, cuka makan komersial jeruk nipis, dan
indikator fenophtalein.
IV. PROSEDUR PERCOBAAN
A. Pembuatan Larutan Standar Asam Oksalat dan Penggunaannya untuk Standarisasi
Larutan NaOH
1. Sebanyak 1,26 gram asam oksalat dihidrat (H 2C2O42H2O) ditimbang dengan menggunakan gelas
arolji dan neraca analitik.
2. Asam Oksalat dipindahkan dari gelas arloji ke dalam gelas beker 100 mL, tambahkan 25-30 mL
akuades, kemuadian diaduk hingga larut. Setelah itu gelas arloji dibilas dengan sedikit akuades,
dan masukkan air bilasan ke dalam gelas beker yang berisi larutan asam oksalat tersebut.
3. Larutan asam oksalat dipindahkan ke dalam labu takar 100 mL, kemudian gelas beker dibilas
dengan sedikit akuades, air bilasan tersebut dimasukkan ke dalam labu takar.
4. Akuades ditambahkan ke dalam labu takar hingga tepat tanda batas dan dikocok hingga
homogen.
5. Buret yang akan digunakan dicuci dengan menggunakan akuades kemudian dikeringkan.
6. Larutan asam oksalat yang telah dibuat dimasukkan ke dalam buret 50 mL.
7. 10 mL larutan NaOH yang akan distandarisasi dimasukkan kedalam erlenmeyer kemudian
ditambahkan 2-3 tetes indikator fenophtalein.
8. Larutan NaOH dititrasi dengan larutan asam oksalat dari buret.
9. Jika terjadi perubahan warna yang konstan titrasi dihentikan kemudian dicatat volume asam
oksalat yang digunakan untuk titrasi.
10. Dilakukan titrasi kembali sebanyak 3 kali dan dihitung rata-rata volume yang digunakan dari
tiga kali titrasi yang telah dilakukan.
B. Penentuan Konsentrasi Asam Asetat dalam Asam Cuka Komersial
1. 10 mL asam cuka komersial dituangkan kedalam labu takar 250 mL dengan menggunakan pipet
ukur.
2. Akuades ditambahkan ke dalam labu takar hingga tanda batas kemudian labu takar tersebut
ditutup dan dikocok hingga larutan homogen.
3. 15 mL asam cuka yang telah diencerkan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 mL.
4. Ditambahkan 2-3 tetes indikator fenophtalein ditambahkan kedalam larutan.
5. Buret yang akan digunakan dicuci dengan akuades kemudian dikeringkan.
6. Larutan standart NaOH 0,1 M yang telah distandarisasi di masukkan ke dalam buret.
7. Larutan asam cuka encer dititrasi dengan menggunakan larutan NaOH 0,1 M dalam buret.
8. Jika terjadi perubahan warna yang konstan titrasi dihentikan dan dicatat volume NaOH yang
digunakan.
9. Dilakukan kembali titrasi sebanyak tiga kali dan dihitung volume rata-rata yang digunakan saat
titrasi.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil dan Pembahasan
1. Hasil
b. Titrasi 2
o Warna larutan sebelum titrasi Ungu
e. Titrasi 2
Bening
o Warna larutan sebelum titrasi
V1 = 15 mL
o Dihitung volume Asam cuka
V2 = 21 mL
o Dihitung volume NaOH
Fenofthalein
o Indikator yang digunakan
Bening ⇾ Ungu
o Perubahan warna larutan setelah dititrasi
Vrata-rata = 18 mL
o Volume rata-rata
2. Perhitungan
a. Standarisasi Larutan NaOH
Konsentrasi Larutan Asam Oksalat
Kita tahu bahwa standarisasi adalah suatu proses yang digunakan untuk menentukan
konsentrasi suatu larutan secara teliti atau bisa juga diartikan sebagai penentuan konsentrasi
eksak dari suatu larutan standar. Larutan standar sendiri merupakan larutan yang telah diketahui
konsentrasinya. Ada dua cara untuk menstandarkan larutan, yaitu :
a. Pembuatan langsung larutan dengan melarutkan suatu zat murni dengan berat tertentu,
kemudian diencerkan sampai memperoleh volume tertentu secara tepat. Larutan ini disebut
larutan standar primer, dan zat yang kita gunakan disebut standar primer
b. Larutan yang konsentrasinya tidak dapat diketahui dengan cara menimbang zat kemudian
melarutkannya untuk memperoleh volume tertentu, tetapi dapat distandarkan dengan larutan
standar primer, disebut larutan standar sekunder.
Sebelum melakukan pembahasan tentang analisis kuantitatif, ada baiknya memahami
terlebih dahulu tentang pengertian analisis kuantitatif itu sendiri. Analisis kuantitatif memberikan
informasi mengenai berapa banyak komposisi suatu komponen dalam sampel. Pada percobaan
kali ini kita melakukan analisis kuantitatif untuk menentukan kadar asam asetat dalam asam cuka
komersial, yang beredar dipasaran. Dimana pada percobaan ini digunakan asam cuka botol.
Analisis yang dilakukan adalah analisis tirimetri karena kadar komposisi ditetapkan berdasarkan
volum pereaksi (konsentrasi diketahui). Penggunaan analisi tirimetri ini menggunakan larutan
NaOH 0,1 N sebagai larutan standarnya. Karena NaOH merupakan larutan standar sekunder ,
maka sebelum digunakan terlebih dahulu larutan NaOH tersebut distandarisasi dengan larutan
asam oksalat yang merupakan suatu standar primer.
Pada penentuan Konsentrasi asam asetat terjadi reaksi antara asam lemah (CH 3COOH)
dengan basa kuat (NaOH). Sebelum dititrasi, asam asetat telah diencerkan terlebih dahulu.
Karena asam asetat adalah asam monoproptik, maka n asam asetat sebesar 1 ek/mol. Reaksi yang
terjadi pada saat penitrasian adalah :
CH3COOH + NaOH CH3COONa + H2O
Pada percobaan ini, dilakukan analisis kuantitatif untuk menentukan kadar asam cuka
komersial. Analisis yang dilakukan adalah analisis tirtimetri dengan menggunakan larutan NaOH
0,1 N sebagai larutan standarnya. Akan tetapi, sebelum NaOH digunakan, terlebih dahulu larutan
NaOH tersebut distandarisasikan dengan menggunakan larutan asam oksalat yang merupakan
larutan standar primer. Hal ini perlu dilakukan karena larutan NaOH adalah larutan standar
sekunder.
Untuk menentukan konsentrasi dari larutan NaOH, maka dilakukan titrasi antara NaOH
dengan asam oksalat sebagai titran. Titrasi ini dilakukan dengan menambahkan 2-3 tetes
indikator fenofhtalein ke dalam larutan NaOH, indikator fenofhtalein digunakan pada titrasi ini
karena terjadi antara asam kuat dan basa kuat, sehingga akan mudah melihat perubahan warna
dari larutan yang dititrasi.
Titrasi NaOH ini baru dihentikan setelah terjadi perubahan warna konstan pada larutan
NaOH, yang sebelumnya berwarna ungu dan setelah dititrasi dengan menggunakan indikator
fenofhtalein menjadi bening. Perubahan warna tersebut menunjukkan telah tercapainya titik
ekuivalen.
Titrasi pertama dilakukan sebanyak 2 kali, kemudian dihitung volume rata-ratanya. Pada
titrasi pertama volume asam oksalat yang diperlukan adalah sebanyak 8,1 mL, pada titrasi kedua
sebanyak 5,5 mL. Maka dari hasil kedua titrasi tersebut didapatkan volume rata-rata asam
oksalat yang diperlukan yaitu sebesar 6,8 mL sehingga dari volume rata-rata tersebut dapat
menentukan konsentrasi NaOH.
Tercapainya titik ekuivalen pada proses titrasi menyatakan terjadinya kesetimbangan
antara mol asam dan mol basa, sehingga diperoleh persamaan berikut:
(N . M)asam = (N . M)basa
Dari persamaan diatas, maka dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi NaOH, maka dari
hasil perhitungan diperoleh konsentrasi NaOh sebesar 0, 272 ek/L. Kemudian dari nilai tersebut
dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi asam asetat. Tetapi penentuan konsentrasi asam
asetat ini juga harus dilakuakan melalui titrasi.
Titrasi asam asetat ini juga sama seperti pada titrasi NaOH dengan asama oksalat sebagai
titran, yaitu dengan menggunakan indikator fenofhtalein. Tetapi, yang membedakan titrasi ini
dengan titrasi sebelumnya adalah jika titrasi ini terjadi antar cuka sebagai asam lemah dan NaOH
sebagai bassa kuat. Asam cuka digunakan pada percobaan ini karena asam cuka termaasuk ke
dalam asam asetat, sehingga untuk mengetahui konsentrasinya dari asam asetat dapat digunakan
asam cuka yang tentunya terlebih dahulu ditambahkan dengan aakuades.
Pada titrasi asam cuka dengan NaOH sebagai titran ini berbeda dengan titrasi sebelumnya.
Perbedaannya adalah pada warna larutan NaOH pada titarsi pertama dengan titrasi asam cuka
pada titrasi kedua. Pada titrasi pertama, larutan NaOH yang ada dalam erlenmeyer setelah
ditambahkan dengan indikator fenofhtalein, warna larutan yang mulanya ungu berubah menjadi
bening. Berbeda dengan titrasi kedua, pada titrasi ini larutan asam cuka yang ada dalam
erlenmeyer setelah ditetesi 2-3 tetes indikator fenofhtalein warna larutan yang mualnya bening
menjadi ungu. Hal tersebut terjadi karena pada titrasi pertama adalah NaOH sebagai basa kuat
dan pada titrasi yang kedua yang dititrasi adalah asam cuka sebagai basa lemah.
Titrasi kedua ini juga dilakukan sebanyak 2 kali, kemudian dihitung volume rata-ratanya.
Pada titrasi NaOH yang pertama dan kedua diperlukan sebanyak 15 mL, maka diperoleh volume
rata-rata sebesar 21 mL. Kemudian volume rata-rata tersebut dapat menentukan nilai dari
konsentrasi asam asetat, dan dari hasil perhitungan diperoleh konsentrasi asam asetat sebesar 0,2
mol/L
Konsentrasi asam asetat yang diperoleh tersebut merupakan konsentrasi sam asetat yang
telah diencerkan, untuk mengetahui besarnya konsentrasi asam aseata sebelum diencerkan dapat
dihitung dengan rumus pengenceran sehingga diperoleh konsentrasi dari asam asetat sebelum
diencerkan sebesar 9,52 mol/L. Dari konsentrasi asam asetat yang diperoleh sebelumnya
diencerkan tersebut dapat kita ketahui hasil konsentrasi asam asetat dalam jumlah presentasnya
sebesar 57, 12 %.
VI. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Pada standarisasi didapat bahwa konsentrasi asam asetat sebelum diencerkan adalah 9,52 mol/L.
2. Dalam hasil perhitungan di dapat nilai kadar asam asetat (%CH 3COOH) dalam air yaitu sebesar
57,12 %
3. Pada standarisasi, analisis yang digunakan yaitu analisis titrimetri karena akurasi yang
dihasilkan sanggat tinggi.
4. Pada analisis titrimetri diperlukan bahan yang memiliki berat molekul yang tinggi, relatif
satbil, tidak bersifat hidroskopis, bereaksi sangat cepat daan reaksi berlangsung secara lengkap
dan stoikiometris.
DAFTAR PUSTAKA
Basset, J. et al. 1994. Buku Ajar Vogel : Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Kedokteran EGC,
Jakarta.
Brady, J. E. 1990. Kimia Universitas: Asas dan Struktur Jilid 1. Erlangga, Jakarta.
Keenan, Charles W. dkk. 1991. Ilmu Kimia Untuk Universitas. Jakarta, Erlangga.