30000117410025
Tugas Mata Kuliah Ekologi dan Ilmu Lingkungan
BAB I
PENDAHULUAN
pertanian. Terjadinya perubahan pada aspek fisik dan non fisik dalam tata ruang perkotaan karena adanya
dukungan dari faktor eksternal dan internal. Sebagai faktor eksternal adalah lokasi alam dan letak dari
kota dengan sekitarnya, sedangkan faktor internal adalah kependudukan, pelayanan sosial ekonomi dan
kemampuan mengelola pembangunan dalam menciptakan suatu iklim yang dapat merangsang
pertumbuhan.
Kota Semarang merupakan salah satu kota di Indonesia yang memiliki dinamika perkembangan
kota yang semakin pesat. Dinamika perkembangan kota dapat ditinjau dari peningkatan aktilitas kegiatan
sosial ekonomi dan pergerakan arus mobilitas penduduk, yang pada akhirnya menuntut kebutuhan ruang
bagi pemukiman (Koestoer, 2001). Perkembangan kota Semarang yang ditandai dengan berbagai
pembangunan fisik ini rupanya kurang memperhatikan aspek ekologis sehingga berdampak pada
menurunnya kualitas lingkungan perkotaan. Menurunnya kualitas lingkungan dapat dilihat dari
munculnya potensi bencana alam di kawasan perkotaan seperti banjir rob dan penurunan muka tanah
(land subsidence) terutama di daerah pesisir dan kawasan perkotaan yang didominas oleh permukiman
penduduk. Permukiman sebagai bagian dari lingkungan hidup dan merupakan lingkungan hidup buatan
manusia yang dilengkapi prasarana lingkungan untuk mencapai kesejahteraan hidup serta pemenuhan
kebutuhan lahir dan batin.
Wilayah Semarang Timur merupakan daerah permukiman padat penduduk di Kota Semarang
yang memiliki kerawanan terhadap penurunan muka tanah (land subsidence). Kepadatan penduduk yang
tinggi dan minimnya infrastruktur sanitasi lingkungan semakin memperburuk penurunan muka tanah di
kawasan tersebut. Sistem sanitasi terdiri dari pengelolaan sampah, limbah domestik, saluran drainase dan
pengelolaan air bersih. Peningkatan jumlah penduduk mendorong peningkatan kebutuhan ruang untuk
tempat tinggal. Semakin banyak penduduk yang bermukim maka semakin banyak pula buangan limbah
dan kebutuhan air bersih. Hal tersebut tentunya berpengaruh pada perubahan ketersediaan sumber daya
alam di suatu wilayah. Jumlah penduduk di wilayah Semarang Timur pada lima tahun terakhir mengalami
penurunan sekitar 1,4% setiap tahunnya dari 79.615 jiwa pada tahun 2012 menjadi 76.608 jiwa pada
tahun 2017 (BPS Kota Semarang, 2017). Penurunan jumlah penduduk di wilayah Semarang Timur ini
disebabkan oleh dampak degradasi lingkungan terutama penurunan muka tanah (land subsidence).
Pada kasus penurunan muka tanah yang terjadi setiap tahunnya diakibatkan oleh pengambilan air
secara berlebihan dari sumber air sumur arthesis. Susanto (2010) memprediksi bahwa pada tahun 2030,
Kota Semarang akan mengalami krisis air bersih. Hal ini terjadi karena kebutuhan air bersih untuk
kegiatan industri pada tahun 2010 sudah mencapai 90% yang diambil dari air bawah tanah sekitar 3.17 x
106 m3 , kemudian kebutuhan air untuk penduduk permukiman sebesar 263,267 m 3 . Adapun kebutuhan
air bersih untuk hotel diasumsikan 150 liter per orang per hari atau sekitar 236,940 m 3 air bersih diambil
dari sumber air bawah tanah. Total jumlah pengambilan air bawah tanah (groundwater) di Kota Semarang
diprediksikan mencapai 4.04 x 106 m3. Pada umumnya air bawah tanah sifatnya kompleks terutama di
Kota Semarang yang telah mengalami intrusi air laur sehingga terjadi kontaminasi sumber air bawah
tanah. Akibat dari penurunan muka tanah ini bangunan rumah menjadi lebih rendah dari jalan sehingga
ketika curah hujan tinggi akan menyebabkan banjir. Terlebih lagi kurangnya proporsi ruang terbuka hijau
di setiap rumah tangga atau kurangnya daerah resapan air semakin memperparah banjir di kawasan ini.
Oleh karena itu, Zhou et al. (2005) berpendapat bahwa pengembangan model intrusi air laut dapat
membantu upaya manajemen sumber daya air terutama sumber air bawah tanah (groundwater) pada
akuifer.
Sistem drainase di kawasan permukiman ini menampung limpahan air hujan dan air limbah
rumah tangga sehingga buangan air melebihi kapasitas volume saluran drainase. Ditambah lagi lokasi
wilayah Semarang Timur yang memiliki topografi datar menyebabkan buangan air pada sistem drainase
tidak mengalir dengan lancar dan cenderung menggenang sehingga menimbulkan bau yang tidak sedap.
Adapun sistem persampahan di kawasan permukiman ini juga masih dikelola secara konvensional
sehingga sampah dibiarkan menumpuk dan mengganggu estetika lingkungan maupun kualitas lingkungan
publik. Oleh karena itu, pengelolaan sistem sanitasi harus menjadi prioritas utama karena dampak yang
ditimbulkan dapat berpengaruh pada lingkungan, kesehatan masyarakat dan perkembangan kota.
Kerjasama stakeholder dan perubahan perilaku masyarakat juga dibutuhkan untuk mengurangi dampak
degradasi lingkungan di wilayah Semarang Timur.
Dengan demikian maka muncul pertanyaan penelitian atau research question sebagai berikut:
1) Bagaimana kondisi sistem sanitasi di kawasan permukiman wilayah Semarang Timur?
2) Apa saja dampak ekonomi dan sosial yang ditimbulkan dari degradasi lingkungan (penurunan
muka tanah) di kawasan permukiman wilayah Semarang Timur?
3) Bagaimana model pengelolaan sistem sanitasi di kawasan permukiman yang mengalami
degradasi lingkungan?
dan peranan perkotaan serta mewujudkan kota sebagai pusat pembangunan dan tercapai pemanfaatan
ruang kota yang terpadu, berdaya guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA