Anda di halaman 1dari 15

Journal Reading

Keterlibatan Sistem Saraf Setelah Infeksi COVID-19 dan Coronavirus yang Lain
Kasus Meningitis/Ensefalitis Pertama yang Berkaitan dengan SARS-Coronavirus-2

Oleh:
Mohamad Fakih

Pembimbing:
dr. Aris Catur Bintoro, Sp. S (K)

PPDS I ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. KARIADI SEMARANG
2020
Keterlibatan Sistem Saraf Setelah Infeksi COVID-19 dan Coronavirus yang Lain

ABSTRAK
Infeksi virus memiliki dampak yang buruk pada fungsi neurologi, dan bahkan bisa menyebabkan
kerusakan neurologi berat. Coronavirus (CoV), khususnya severe acute respiratory syndrome
CoV 2 (SARS-CoV-2), menunjukkan sifat neurotropic dan bisa menyebabkan penyakit
neurologi. CoV dapat ditemukan di cairan serebrospinal atau otak. Patobiologi virus neuroinvasif
ini masih belum sepenuhnya diketahui, sehingga penting untuk mengeksplorasi dampak infeksi
CoV pada sistem saraf pusat. Studi ini mengulas tentang komplikasi neurologi infeksi CoV dan
mekanisme kerusakan sistem saraf.

1. Pendahuluan
Pada Desember 2019, epidemic Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) muncul di Wuhan,
China, menyebabkan perhatian global. Virus ini dikenal sebagai severe acute respiratory
syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Selain gejala sistemik dan respirasi, 36,4% (78/214)
pasien dengan COVID-19 mengalami gejala neurologi, yaitu nyeri kepala, gangguan
kesadaran, dan paresthesia. Pasien yang memiliki penyakit berat akan lebih rentan
mengalami gejala neurologi daripada pasien yang memiliki penyakit ringan atau sedang.
Laporan Otopsi menunjukkan edema jaringan otak dan degenerasi neuronal parsial pada
pasien yang meninggal. Pada 4 Maret 2020, Beijing Ditan Hospital melaporkan kasus
pertama ensefalitis virus karena novel coronavirus (CoV) yang menyerang sistem saraf pusat
(SSP). Peneliti mengonfirmasi adanya SARS-CoV-2 di cairan serebrospinal dengan
sekuensing genome. Hal itu menunjukkan bahwa COVID-19 memiliki potensi untuk
menyebabkan kerusakan sistem saraf. Karena pandemi COVID-19 yang sedang berlangsung
saat ini, klinisi perlu waspada akan dampak berbagai infeksi CoV pada SSP. Artikel ini
mengulas epidemiologi, mekanisme neuroinvasi, dan strategi tatalaksana infeksi CoV yang
melibatkan sistem saraf.

2. Infeksi CoV menyerang SSP


Banyak infeksi virus dapat menyebabkan kerusakan serius pada struktur dan fungsi sistem
saraf, termasuk ensefalitis berat karena infeksi virus di SSP, ensefalopati toksik yang
disebabkan oleh infeksi virus sistemik, dan lesi demyelinasi akut berat setelah infeksi virus.
Beberapa virus bersifat neurotropik dan dapat menginvasi jaringan saraf dan menyebabkan
infeksi makrofag, mikroglia, atau astrosit ke SSP.
CoV memiliki rerata diameter 100 nm, dan berbentuk sferis atau oval. Terdapat duri
glikoprotein membran virus besar di permukaan, dan, ketika dilihat dengan mikroskop
elektron, virus yang tidak tercat ini menunjukkan bentuk mirip mahkota tipikal. CoV adalah
virus RNA berantai tunggal positif, yang merupakan genome terbesar di antara virus RNA,
dengan panjang genome sekitar 26-32 kb. Patogen wabah pneumonia baru adalah novel CoV
2019 (SARS-CoV-2), yang merupakan CoV ketujuh yang menginfeksi manusia; 6 lainnya
adalah HCoV-229E, HCoV-OC43, HCoV-NL63, HCoV-HKU1, SARS-CoV, dan MERS-
CoV. Jenis infeksi CoV yang paling sering dan penting dan berpotensi merusak sistem saraf
dijelaskan berikut ini.
2.1. SARS-CoV
Severe acute respiratory syndrome (SARS) adalah penyakit respiratori zoonotik yang
disebabkan oleh SARS-CoV yang berawal dari Asia dan menyebar ke seluruh dunia
pada tahun 2003. Karakteristiknya adalah onset akut dan infektivitas yang kuat, sehingga
merupakan ancaman besar bagi kesehatan. Manifestasi klinis utama SARS adalah
demam, menggigil, batuk kering, dan kesulitan bernafas. Pada kasus berat, gagal nafas
dan kematian dapat terjadi. Selain itu, SARS-CoV dapat menginduksi penyakit
neurologi seperti polineuropati, ensefalitis, dan stroke iskemik aorta. Studi otopsi
menunjukkan bahwa tanda edema serebri dan vasodilatasi meningeal dapat terdeteksi
pada sebagian besar kasus SARS. Selain itu, infiltrasi monosit dan limfosit di dinding
pembuluh darah, perubahan iskemik neuron, demyelinasi serabut saraf, serta partikel
virus SARS-CoV dan sekuensing genome bisa terdeteksi di otak.

2.2. MERS-CoV
Middle East Respiratory Syndrome (MERS), yang disebabkan oleh MERS-CoV, berasal
dari kelelawar, dan inang perantaranya adalah unta. Pasien dengan infeksi MERS-CoV
biasanya datang dengan gejala terkait pneumonia, seperti demam, myalgia, batuk, dan
dispnea. Kasus berat dapat menyebabkan acute respiratory distress syndrome (ARDS),
syok sepsis, gagal organ multipel, dan kematian. MERS-CoV berpotensi neuronvasif,
dan studi retrospektif menemukan bahwa 25,7% pasien dengan MERS dapat mengalami
gangguan mental dan 8,6% mengalami kejang. Kim, dkk juga melaporkan bahwa hampir
1/5 pasien dengan infeksi MERS-CoV menunjukkan gejala neurologi selama proses
infeksi, seperti gangguan kesadaran, paralisis, stroke iskemik, sindroma Guillan-Barre
dan neuropati infeksius atau toksik lainnya. Akan tetapi, komplikasi neurologinya tidak
disertai gejala respirasi, tetapi terlambat 2-3 minggu.

2.3. SARS-CoV-2
Kesamaan genetik antara SARS-CoV-2 dan SARS-CoV sebesar 79,5%, dan kesamaan
dengan coronavirus kelelawar setinggi 96%. Pasien yang terinfeksi dengan SARS-CoV-
2 memiliki gejala bervariasi, bekisar dari demam atau batuk ringan hingga pneumonia
dan keterlibatan ekstensif fungsi organ multipel dengan tingkat mortalitas 2 – 4 %. Saat
ini, data klinis menunjukkan bahwa beberapa pasien dengan COVID-19 memiliki gejala
yang sama dengan infeksi intrakranial seperti nyeri kepala, epilepsi, dan gangguan
kesadaran. Selain itu, banyak pasien COVID-19 yang melaporkan kehilangan
kemampuan menghidu dan merasa tiba-tiba. Oleh karena itu, anosmia dan disgeusia
dapat terjadi pada pasien dengan COVID-19. Nyatanya, beberapa pasien bahkan baru
mengalami gejala terkait COVID-19 setelah menunjukkan gejala neurologi. Baru-baru
ini, Beijing Ditan Hospital melaporkan kasus ensefalitis virus pertama kali yang
disebabkan oleh CoV baru yang menyerang SSP. Peneliti mengonfirmasi adanya SARS-
CoV-2 di cairan serebrospinal dengan sekuensing genome, yang mendukung teori bahwa
virus pneumonia baru ini juga bisa menyebabkan kerusakan sistem saraf. Oleh karena
itu, seperti bakteri patogenik lainnya, ia dapat merusak sawar darah-otak, dan infeksi
intrakranial sekunder dapat menyebabkan nyeri kepala, muntah proyektil, kehiangan
visus, dan konvulsi tungkai pada pasien dengan gejala COVID-19 berat.

3. Penyakit sistem saraf yang terkait infeksi CoV


3.1. Ensefalitis virus
Ensefalitis adalah lesi inflamasi di parenkim otak yang disebabkan oleh patogen,
termasuk kerusakan saraf dan lesi jaringan saraf. Penyakit ini ditandai dengan onset
akut, dan gejala berupa nyeri kepala, demam (biasanya demam tinggi), muntah,
konvulsi, dan gangguan kesadaran. Diagnosis awal ensefalitis virus kritis. Dalam
epidemik pneumonia saat ini, tim terapi di Beijing Ditan Hospital mengonfirmasi adanya
SARS-CoV-2 di cairan serebrospinal pasien dengan COVID-19 dengan sekuensing
genome, sehingga memverifikasi ensefalitis virus secara klinis. Hal ini memberikan
dasar solif CoV menyebabkan ensefalitis.

3.2. Ensefalopati toksik infeksius


Ensefalopati toksik infeksius, juga disebut dengan ensefalitis toksik akut, adalah tipe
sindroma disfungsi otak reversibel yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti toksemia
sistemik, gangguan metabolik, dan hipoksia selama proses infeksi akut. Perubahan
patologi dasar penyakit ini adalah edema serebri, tanpa adanya bukti inflamasi dalam
analisis cairan serebrospinal. Gejala klinisnya kompleks dan bervariasi. Pasien dengan
penyakit ringan bisa mengalami nyeri kepala, disforia, gangguan mental, dan delirium.
Pasien dengan penyakit berat akan mengalami disorientasi, hilangnya kesadaran, koma,
dan paralisis. Infeksi viral akut juga penyebab penting penyakit ini, dicontohkan oleh
infeksi respirasi karena CoV. Pasien dengan COVID-19 sering menderita hipoksia berat
dan viremia, yang berpotensi menyebabkan ensefalopati toksik. Hampir 40% pasien
dengan COVID-19 mengalami nyeri kepala, gangguan kesadaran, dan gejala disfungsi
otak lainnya, dan studi otopsi melaporkan bahwa edema terdeteksi di jaringan otak
pasien COVID-19. Temuan ini memberikan bukti bahwa COVID-19 dapat
menyebabkan ensefalopati toksik infeksius, meskipun studi yang lebih rinci perlu
dilakukan.

3.3. Penyakit serebrovaskular akut


Sejumlah bukti mengindikasikan bahwa infeksi terkait respirasi adalah faktor risiko
independen penyakit serebrovaskular akut. Data dari penggunaan model tikus
eksperimental menunjukkan bahwa virus influenza bisa memperparah trauma otak
iskemik dengan memicu kaskade sitokin dan meningkatkan risiko perdarahan serebral
setelah terapi dengan tissue-type plasminogen activator. Infeksi CoV, khususnya SARS-
CoV-2, telah dilaporkan menyebabkan sindroma badai sitokin, yang merupakan salah
satu faktor CoV menyebabkan penyakit serebrobasilar akut. Selain itu, pasien yang kritis
dengan infeksi SARS-CoV-2 berat sering menunjukkan peningkatan kadar D-dimer dan
penurunan trombosit berat, yang menyebabkan pasien rentan terhadap penyakit
serebrivaskular akut. Oleh karena itu, selama infeksi CoV, pasien yang berisiko terkena
penyakit serebrovaskular dapat diwaspadai akan terjadinya penyakit serebrovaskular
akut.

4. Mekanisme infeksi CoV pada kerusakan sistem saraf


4.1. Trauma infeksi langsung
Material genetik dan protein berbagai virus sering terdeteksi dalam jaringan sistem saraf
(seperti cairan serebrospinal atau otak), yang menunjukkan bahwa virus dapat secara
langsung menginvasi sistem saraf dan menyebabkan kerusakan saraf.
4.1.1. Jalur sirkulasi darah
Virus yang biasanya masuk ke SSP melalui sirkulasi darah adalah virus JE, yang
bermultiplikasi di sel vaskular area kulit yang digigit nyamuk. Virus ini kemudian
dilepaskan ke darah untuk mereproduksi makrofag mononuklear di tubuh. Pelepasan
sekunder ke darah dapat meningkatkan permeabilitas sawar darah-otak melalui sitokin,
sehingga virus dapat masuk ke otak dan menyebabkan ensefalitis virus. Meskipun
terdapat sedikit bukti bahwa CoV, khususnya SARS-CoV-2, menginvasi sistem saraf
melalui jalur sirkulasi darah, studi lanjutan perlu dilakukan.
4.1.2. Jalur neuronal
Jalur neuronal adalah kendaraan penting untuk virus neurotropik masuk ke SSP.
Virus dapat bermigrasi dengan menginfeksi sensory atau motor nerve ending, sehingga
terjadi transport neuronal retrograde atau anterograde melalui protein motorik, dynein,
dan kinesin. Satu contoh jalur neuronal adalah transport neuron olfaktorius. Organisasi
anatomikal unik nervus olfaktorius dan bulbus olfaktorius di cavum nasi dan otak depan
membuat mereka menjadi saluran antara epitel nasi dan SSP. Konsekuensinya, CoV
dapat masuk ke otak melalui traktus olfaktorius di stadium awal infeksi atau vaksinasi
nasi. Misalnya, setelah CoV menginfeksi sel nasi, virus ini dapat mencapai seluruh otak
dan cairan serebrospinal melalui nervus olfaktorius dan bulbus olfaktorius dalam 7 hari
dan menyebabkan inflamasi serta reaksi demyelinasi. Namun, pengambilan bulbus
olfaktorius di tikus, menghasilkan invasi CoV terbatas ke SSP. Gu, dkk juga mendeteksi
partikel virus SARS dan sekuensing genome di neuron otak. Observasi ini
mengindikasikan bahwa CoV dapat menginvasi SSP dari perifer melalui jalur neuronal.
4.2. Trauma hipoksia
Ketika virus berproliferasi di sel jaringan paru, akan menyebabkan eksudasi inflamasi
alveolar difusa dan interstitial, edema, dan pembentukan membran transparan. Hal ini
menyebabkan gangguan pertukaran gas di alveoli sehingga terjadi hipoksia di SSP,
meningkatkan metabolisme anaerob di mitokondria sel otak. Akumulasi asam dapat
menyebabkan vasodilatasi serebri, edema sel otak, edema interstitial, obstruksi aliran
darah serebri, dan bahkan nyeri kepala karena iskemi dan kongesti. Jika hipoksia
berlanjut, edema serebri dan gangguan sirkulasi serebri akan memburuk. Dengan
hipertensi intrakranial, fungsi otak menurun secara bertahap, dan dapat terjadi kantuk,
edema konjungtiva bulbar, dan bahkan koma. Selain itu, untuk pasien yang berisiko
terjadi penyakit serebrovaskular, hipoksia dapat menginduksi terjadinya penyakit
serebrovaskular akut seperti stroke iskemik akut. Fakta bahwa pasien dengan COVID-19
sering menderita hipoksia berat, trauma hipoksia dapat menyebabkan kerusakan sistem
saraf.

4.3. Trauma imun


Kerusakan sistem saraf yang disebabkan oleh infeksi virus dapat dimediasi oleh sistem
imun. Patologi infeksi virus berat sangat berkaitan dengan terjadinya systemic
inflammatory response syndrome (SIRS). SIRS dapat diawali secara abnormal dengan
pneumonia berat karena infeksi CoV, sedangkan intervensi antiinflamasi awal secara
efektif mencegah kerusakan imun dan mengurangi risiko trauma sistem saraf. SARS dan
COVID-19 menyebabkan fatalitas yang besar, sebagian besar disebabkan oleh multiple
organ failure (MOF) karena SIRS atau penyakit imun mirip SIRS yang diinduksi virus.
Persistensi infeksi CoV dan kemampuannya menginfeksi makrofag, mikroglia, dan
astrosit di SSP penting. Virus neurotropik dapat mengaktivasi sel glia dan menginduksi
status pro-inflamasi. Interleukin (IL)-6, anggota penting badai sitokin, berkorelasi positif
dengan keparahan gejala COVID-19. Selain itu, eksperimen telah mengonfirmasi bahwa
sel glia primer yang dikultur in vitro mensekresikan faktor inflamasi dalam jumlah besar
seperti IL-6, IL-12, IL-15, dan TNF-α setelah terinfeksi dengan CoV. Aktivasi sel imun
di otak akan menyebabkan inflamasi kronik dan kerusakan otak.

4.4. Angiotensin-converting enzyme 2


Angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) adalah faktor proteksi vaskular kardio-
serebral yang terdapat di berbagai organ, termasuk sistem saraf dan otot skeletal,
berperan besar dalam mengatur tekanan darah dan mekanisme anti-aterosklerosis. ACE2
juga target penting untuk berbagai virus CoV dan influenza. Dengan berikatan pada
reseptor ACE2, virus yang disebutkan di atas dapat menyebabkan peningkatan tekanan
darah abnormal dan meningkatakan risiko perdarahan serebri. Selain itu, protein jarum
SARS-CoV-2 dapat berinteraksi dengan ACE2 yang diekspresikan di endotel kapiler,
virus juga bisa merusak sawar darah-otak dan masuk ke SSP dengan menyerang sistem
vaskular.

4.5. Lain-lain
Sifat biologi SSP dapat memfasilitasi eksaserbasi kerusakan neuronal yang disebabkan
oleh infeksi CoV. SSP memiliki struktur parenkin padat dan rendahnya permeabilitas
pembuluh darahnya merupakan penghalang invasi virus. Namun, jika virus mendapatkan
akses ke SSP, sulit untuk diambil. Karena jarangnya major histocompatibility complex
antigen di sel saraf, eliminasi virus di sel saraf tergantung hanya pada peran sel T
sitotoksik; namun, apoptosis neuron matur setelah infeksi virus juga memiliki efek
protektif. Selain itu, karakteristik homeostasis sel di SSP juga berkontribusi terhadap
keberlangsungan virus.

5. Kesimpulan
Infeksi CoV dapat berdampak pada sistem saraf, dan saat ini dipercaya bahwa CoV bekerja
sama dengan mechanism imun inang bisa membuat infeksi ini menjadi infeksi persisten yang
menyebabkan penyakit neurologi. Oleh karena itu, pasien dengan infeksi CoV harus
dievaluasi gejala neurologi sejak dini, yaitu nyeri kepala, gangguan kesadaran, paresthesia,
dan tanda patologi lain. Analisis cairan serebrospinal dan kewaspadaan serta tatalaksana
komplikasi neurologi terkait infeksi adalah kunci untuk memperbaiki prognosis pasien kritis.
LCS

Bulbusolfactorius

N. vagus

Infeksi Alirandarah
coronavirus Darah

Fusimembran

Gambar 1. Mekanisme infeksi coronavirus dan kerusakan neuronal yang disebabkan oleh
coronavirus. Coronavirus dapat menyebabkan kerusakan saraf melalui jalur infeksi langsung
(jalur sirkulasi darah dan jalur neuronal), hipoksia, trauma imun, ACE2, dan mekanisme lainnya.
Sedangkan, coronavirus memiliki efek buruk pada jaringan paru, dan menyebabkan lesi paru
seperti hipoksia. Selain itu, coronavirus dapat masuk ke sistem saraf secara langsung melalui
nervus olfactorius, dan juga masuk ke sistem saraf melalui sirkulasi darah dan jalur neuronal,
yang menyebabkan gangguan neurologi.
Invasi Coronavirus

Trauma infeksilangsung Trauma hipoksia ACE2 Trauma imun Lain-lain

Jalursirkulasidarah
Jalur neuronal
Metabolismeanaerob↑
& SIRS ↑ Tidakada
IL ↑ Demyelinasi↑ Metabolitasam ↑ MHC
Limfadenopati↑
BBB ↑

Ensefalopatitoksikinfeksius Ensefalitis virus Penyakitserebrovaskularakut

Gambar 2. Patogenesis trauma sistem saraf yang disebabkan oleh coronavirus.


Kasus Meningitis/Ensefalitis Pertama yang Berkaitan dengan SARS-Coronavirus-2

Abstrak
Novel coronavirus (SARS-Coronavirus-2:SARS-CoV-2) yang muncul di Wuhan, China, telah
menyebar ke berbagai negara dengan cepat. Kami melaporkan kasus meningitis pertama yang
berkaitan dengan SARS-CoV-2 yang dibawa dengan ambulan karena kejang dan tidak sadar. Ia
tidak pernah ke luar negeri. Ia merasa fatigue generalisata dan demam (hari 1). Ia bertemu dokter
dua kali (hari 2 dan 5) dan diresepkan Laminamivir dan agen antipiretik. Keluarganya segera
membawanya ke rumah sakit dengan ambulan (hari 9). Di dalam ambulan, ia mengalami kejang
generalisata transien yang berlangsung selama satu menit. Ia mengalami kekakuan leher. RNA
SARS-CoV-2 spesifik tidak terdeteksi di swab nasofaringeal tetapi terdeteksi di LCS. Antibodi
anti-HSV1 dan IgM varicella zoster tidak terdeteksi di sampel serum. MRI otak menunjukkan
hiperintensitas di sepanjang dinding ventrikel lateral kanan dan perubahan sinyal hiperintens di
lobus temporalis mesial kanan dan hippocampus, yang menunjukkan kemungkinan meningitis
SARS-CoV-2. Kasus ini memperingatkan dokter mengenai pasien yang mengalami gejala SSP.

Pendahuluan
Novel coronavirus (SARS-Coronavirus-2:SARS-CoV-2) muncul pada Desember 2019 di
Wuhan, China, dan telah menjadi kegawatan global. Laporan preliminer memperingatkan bahwa
SARS-CoV-2 berpotensi neuroinvasif karena beberapa pasien menunjukkan gejala neurologi
seperti nyeri kepala, mual, dan muntah. Untuk mengakhiri pandemi penyakit SARS-
Coronavirus-2, diagnosis penyakit harus cepat dan tidak mengabaikan temuan apapun.
Laporan singkat ini menggambarkan kasus pertama pasie, yang dibawa dengan ambulan karena
konvulsi dan tidak sadar, didiagnosis dengan ensefalitis aseptic dengan RNA SARS-CoV-2 di
cairan serebrospinal.

Kasus
Laki-laki berusia 24 tahun
Ia tidak pernah ke luar negeri. Ia mengalami nyeri kepala, fatigue generalisata dan demam pada
akhir Februari 2020 (hari 1). Pada hari 2, ia berobat ke dokter. Di sana, ia diresepkan
Laninamivir dan agen antipiretik karena didiagnosis influenza karena gejala klinisnya meskipun
hasil uji diagnostik negatif. Tiga hari kemudian (hari 5), ia datang ke klinik lain karena
perburukan gejala, nyeri kepala, dan nyeri tenggorok. Ia menjalani pemeriksaan rontgen thoraks
dan darah rutin yang hasilnya negatif. Pada hari 9, ia ditemukan terbaring di lantai dengan
gangguan kesadaran. Ia langsung dibawa ke rumah sakit dengan ambulan. Selama perjalanan, ia
mengalami kejang generalisata transien selama satu menit.
Saat tiba di rumah sakit, ia memiliki Glasgow Coma Scale (GCS) 6 (E4M1V1) dengan
hemodinamik stabil. Ia mengalami kekakuan leher. Pemeriksaan darah menunjukkan
peningkatan leukosit, dominan neutrophil, penurunan limfosit relatif, peningkatan C-reactive
protein. Pemeriksaan lanjutan meliputi CT sistemik tidak menunjukkan bukti edema otak. CT
scan dada menunjukkan terdapat ground glass opacity kecil di lobus superior kanan dan kedua
sisi lobus inferior. Pada pemeriksaan pungsi lumbal, cairan serebrospinalnya jernih dan tak
berwarna, dan tekanan awal lebih dari 320 mmH2O. Jumlah sel LCS 12/μL-10 sel mononuklear
dan 2 sel polimorfonuklear tanpa sel darah merah. Antibodi anti-HSV1 dan IgM varicella-zoster
tidak terdeteksi di serum. Uji RT-PCR untuk SARS-CoV-2 dilakukan dari swab nasofaringeal
dan LCS karena kami berasumsi bahwa SARS-CoV-2 terlibat dalam wabah. Meskipun RNA
SARS-CoV-2 tidak terdeteksi di swab nasofaringeal, tetapi terdeteksi di LCS (Tabel tambahan 1)
Selama terapi kegawatan, intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik dibutuhkan karena kejang
epileptik multipel. Ia ditransfer ke ICU dengan diagnosis klinis meningitis dan pneumonia viral.
Setelah masuk ICU, ia diberikan ceftriaxone, vancomycin, acyclovir, dan steroid intravena. Ia
juga mendapatkan Levetiracetam intravena untuk kejangnya. Favipiravir diberikan melalui
nasogastric tube selama 10 hari sejak hari ke 2. MRI otak dilakukan 20 jam setelah masuk ICU
(Gambar 1). Diffusion weighted images (DWI) menunjukkan hiperintensitas di sepanjang
dinding cornus inferior ventrikel lateral kanan. Gambar fluid-attenuated inversion recovery
(FLAIR) menunjukkan perubahan sinyal hiperintens di lobus temporal mesial kanan dan
hippocampus dengan atrofi hippocampus sedikit. Gambar contrast-enhanced tidak menunjukkan
penyangatan dura. Temua ini mengindikasikan ventrikulitis lateral kanan dan ensefalitis di lobus
mesial kanan dan hippocampus. Diagnosis bandingnya ada sclerosis hippocampus disertai post
ensefalopati konvulsif. Selain itu, gambar T2-weighted menunjuukan sinusitis pan-paranasal.
Pada hari 15, kami melanjutkan terapi untuk pneumonia bacterial dan gangguan kesadaran
karena ensefalitis yang berkaitan dengan SARS-CoV-2 di ICU.
Pengambilan Spesimen
Spesimen klinis untuk uji diagnostik SARS-CoV-2 didapatkan sesuai dengan pedoman National
Institute of Infectious Diseases di Jepang. Spesimen swab nasofaringeal diambil dengan swab
serabut sintesis; setiap swab dimasukkan ke tabung steril terpisah yang mengandung 1 ml
phosphate-buffered saline (PBS) ditambah dengan 0,5% BSA. Cairan medulla spinalis
dikumpulkan dalam kontainer spesimen steril. Spesimen segera diperiksa di Yamanashi
University Hospital Laboratory Department atau disimpan pada 4oC sampai siap untuk diperiksa.

Uji diagnostik untuk SARS-CoV-2


RNA virus diekstraksi dari spesimen klinis menggunakan magLEAD 6gC (Precision System
Science Co., Ltd.). RNA SARS-CoV-2 dideteksi menggunakan AgPath-IDTM One-Step RT-
PCR Reagents (AM1005) (Applied Biosystems) on CobasZ480 (Roche). The diagnostic assay
Pemeriksaan diagnostik untuk SARS-CoV-2 memiliki tiga target gen nukleokapsid (Supplemen-
tary Materials).

Uji spesimen untuk SARS-CoV-2


Swab nasofaringeal yang diambil dari pasien pada hari 1 (66 menit setelah masuk) negatif untuk
N dan N2 (tabel tambahan 1). Sedangkan cairan LCS, 1 sampel dari 2 pada hari 1 (84 menit
setelah masuk) positif untuk N, tetapi tidak untuk N2. Oleh karena itu, kami memeriksa kembali
spesimen yang sama dan menemukan 2/2 sampel positif untuk N, tetapi tidak untuk N2. Swab
nasofaringeal kembali negatif untuk N dan N2.

Pembahasan
Laporan kami menggambarkan kasus meningitis/ensefalitis pertama yang berkaitan dengan
SARS-CoV-2. Kasus ini menunjukkan potensi neuroinvasif virus dan kami tidak bisa
mengeksklusikan infeksi SARS-CoV-2 bahkan jika uji RT-PCR untuk SARS-CoV-2
menggunakan spesimen nasofaringeal pasien negatif.
Pada 2002-2003, pandemi Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) muncul dan SARS-CoV
diisolasi sebagai patogen dan menjadi keluarga baru coronavirus manusia. Selama beberapa
tahun, coronavirus manusia termasuk SARS-CoV diidentifikasi sebagai patogen untuk patologi
di luar sistem respirasi.
Sebuah laporan menunjukkan bahwa sekuens genome SARS-CoV terdeteksi dalam otak dari
semua otopsi SARS dengan real-time RT-PCR. Sinyal kuat di hippocampus dimana kami
menemukan inflamasi di otak pasien.
Studi terbaru mengakui bahwa sekuens genomik sama antara SARS-CoV dan SARS-CoV-2,
khususnya domain SARS-CoV terikat reseptor yang memiliki struktur sama dengan SARS-CoV-
2. Hal ini menyebabkan SARS-CoV dan SARS-CoV-2 memmiliki reseptor yang sama yaitu
ACE2. Itulah alasan mengapa SARS-CoV dan SARS-CoV-2 dapat menginvasi tempat yang
sama di otak manusia.
Pada kasus ini, MRI menunjukkan temuan abnormal lobus temporal medial termasuk
hippocampus yang menggambarkan ensefalitis, sclerosis hippocampus atau post ensefalitis
konvulsif. Sklerosis hippocampus tidak mungkin karena pasien tidak mengalami riwayat episode
epilepsi temporal mesial. Selain itu, kasus ini disertai dengan sinusitis paranasal signifikan.
Meskipun hubungan antara sinusitis dan transfer trans-sinaps retrograde tidak jelas, kami harus
memperhatikan kondisi nasal dan paranasal dalam diagnosis dan terapi infeksi SARS-CoV-2.
Kami menganggap bahwa kasus ini penting karena menunjukkan bahwa pasien yang tidak sadar
berpotensi terinfeksi SARS-CoV-2 dan dapat menyebakan infeksi horizontal. Untuk
menghentikan pandemi penyakit SARS-CoV-2, diagnosis penyakit harus cepat dan tidak
mengabaikan temuan apapun. Menemukan pasien suspek adalah langkah pertama preventif
melawan pandemic. Perlu diperhatikan bahwa gejala ensefalitis atau cerebropathia bisa menjadi
indikasi pertama, selain gejala respirasi, untuk menemukan pasien SARS-CoV-2 tersembunyi.
Gambar 1. MRI otak yang dilakukan 20 jam setelah masuk.
A: Diffusion weighted images (DWI) menunjukkan hiperintensitas di sepanjang dinding cornu
inferior ventrikel lateralis kanan.
B,C: Gambar fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR) menunjukkan perubahan sinyal
hiperintens di lobus temporal mesial kanan dan hippocampus dengan atrofi hippocampal sedikit.
Temua ini mengindikasikan ventrikulitis lateralis kanan dan ensefalitis khususnya di lobus
mesial kanan dan hippocampus.
D: Gambar T2-weighted menunjukkan sinusitis pan-paranasal.

Anda mungkin juga menyukai