Keterlibatan Sistem Saraf Setelah Infeksi COVID-19 dan Coronavirus yang Lain
Kasus Meningitis/Ensefalitis Pertama yang Berkaitan dengan SARS-Coronavirus-2
Oleh:
Mohamad Fakih
Pembimbing:
dr. Aris Catur Bintoro, Sp. S (K)
ABSTRAK
Infeksi virus memiliki dampak yang buruk pada fungsi neurologi, dan bahkan bisa menyebabkan
kerusakan neurologi berat. Coronavirus (CoV), khususnya severe acute respiratory syndrome
CoV 2 (SARS-CoV-2), menunjukkan sifat neurotropic dan bisa menyebabkan penyakit
neurologi. CoV dapat ditemukan di cairan serebrospinal atau otak. Patobiologi virus neuroinvasif
ini masih belum sepenuhnya diketahui, sehingga penting untuk mengeksplorasi dampak infeksi
CoV pada sistem saraf pusat. Studi ini mengulas tentang komplikasi neurologi infeksi CoV dan
mekanisme kerusakan sistem saraf.
1. Pendahuluan
Pada Desember 2019, epidemic Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) muncul di Wuhan,
China, menyebabkan perhatian global. Virus ini dikenal sebagai severe acute respiratory
syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Selain gejala sistemik dan respirasi, 36,4% (78/214)
pasien dengan COVID-19 mengalami gejala neurologi, yaitu nyeri kepala, gangguan
kesadaran, dan paresthesia. Pasien yang memiliki penyakit berat akan lebih rentan
mengalami gejala neurologi daripada pasien yang memiliki penyakit ringan atau sedang.
Laporan Otopsi menunjukkan edema jaringan otak dan degenerasi neuronal parsial pada
pasien yang meninggal. Pada 4 Maret 2020, Beijing Ditan Hospital melaporkan kasus
pertama ensefalitis virus karena novel coronavirus (CoV) yang menyerang sistem saraf pusat
(SSP). Peneliti mengonfirmasi adanya SARS-CoV-2 di cairan serebrospinal dengan
sekuensing genome. Hal itu menunjukkan bahwa COVID-19 memiliki potensi untuk
menyebabkan kerusakan sistem saraf. Karena pandemi COVID-19 yang sedang berlangsung
saat ini, klinisi perlu waspada akan dampak berbagai infeksi CoV pada SSP. Artikel ini
mengulas epidemiologi, mekanisme neuroinvasi, dan strategi tatalaksana infeksi CoV yang
melibatkan sistem saraf.
2.2. MERS-CoV
Middle East Respiratory Syndrome (MERS), yang disebabkan oleh MERS-CoV, berasal
dari kelelawar, dan inang perantaranya adalah unta. Pasien dengan infeksi MERS-CoV
biasanya datang dengan gejala terkait pneumonia, seperti demam, myalgia, batuk, dan
dispnea. Kasus berat dapat menyebabkan acute respiratory distress syndrome (ARDS),
syok sepsis, gagal organ multipel, dan kematian. MERS-CoV berpotensi neuronvasif,
dan studi retrospektif menemukan bahwa 25,7% pasien dengan MERS dapat mengalami
gangguan mental dan 8,6% mengalami kejang. Kim, dkk juga melaporkan bahwa hampir
1/5 pasien dengan infeksi MERS-CoV menunjukkan gejala neurologi selama proses
infeksi, seperti gangguan kesadaran, paralisis, stroke iskemik, sindroma Guillan-Barre
dan neuropati infeksius atau toksik lainnya. Akan tetapi, komplikasi neurologinya tidak
disertai gejala respirasi, tetapi terlambat 2-3 minggu.
2.3. SARS-CoV-2
Kesamaan genetik antara SARS-CoV-2 dan SARS-CoV sebesar 79,5%, dan kesamaan
dengan coronavirus kelelawar setinggi 96%. Pasien yang terinfeksi dengan SARS-CoV-
2 memiliki gejala bervariasi, bekisar dari demam atau batuk ringan hingga pneumonia
dan keterlibatan ekstensif fungsi organ multipel dengan tingkat mortalitas 2 – 4 %. Saat
ini, data klinis menunjukkan bahwa beberapa pasien dengan COVID-19 memiliki gejala
yang sama dengan infeksi intrakranial seperti nyeri kepala, epilepsi, dan gangguan
kesadaran. Selain itu, banyak pasien COVID-19 yang melaporkan kehilangan
kemampuan menghidu dan merasa tiba-tiba. Oleh karena itu, anosmia dan disgeusia
dapat terjadi pada pasien dengan COVID-19. Nyatanya, beberapa pasien bahkan baru
mengalami gejala terkait COVID-19 setelah menunjukkan gejala neurologi. Baru-baru
ini, Beijing Ditan Hospital melaporkan kasus ensefalitis virus pertama kali yang
disebabkan oleh CoV baru yang menyerang SSP. Peneliti mengonfirmasi adanya SARS-
CoV-2 di cairan serebrospinal dengan sekuensing genome, yang mendukung teori bahwa
virus pneumonia baru ini juga bisa menyebabkan kerusakan sistem saraf. Oleh karena
itu, seperti bakteri patogenik lainnya, ia dapat merusak sawar darah-otak, dan infeksi
intrakranial sekunder dapat menyebabkan nyeri kepala, muntah proyektil, kehiangan
visus, dan konvulsi tungkai pada pasien dengan gejala COVID-19 berat.
4.5. Lain-lain
Sifat biologi SSP dapat memfasilitasi eksaserbasi kerusakan neuronal yang disebabkan
oleh infeksi CoV. SSP memiliki struktur parenkin padat dan rendahnya permeabilitas
pembuluh darahnya merupakan penghalang invasi virus. Namun, jika virus mendapatkan
akses ke SSP, sulit untuk diambil. Karena jarangnya major histocompatibility complex
antigen di sel saraf, eliminasi virus di sel saraf tergantung hanya pada peran sel T
sitotoksik; namun, apoptosis neuron matur setelah infeksi virus juga memiliki efek
protektif. Selain itu, karakteristik homeostasis sel di SSP juga berkontribusi terhadap
keberlangsungan virus.
5. Kesimpulan
Infeksi CoV dapat berdampak pada sistem saraf, dan saat ini dipercaya bahwa CoV bekerja
sama dengan mechanism imun inang bisa membuat infeksi ini menjadi infeksi persisten yang
menyebabkan penyakit neurologi. Oleh karena itu, pasien dengan infeksi CoV harus
dievaluasi gejala neurologi sejak dini, yaitu nyeri kepala, gangguan kesadaran, paresthesia,
dan tanda patologi lain. Analisis cairan serebrospinal dan kewaspadaan serta tatalaksana
komplikasi neurologi terkait infeksi adalah kunci untuk memperbaiki prognosis pasien kritis.
LCS
Bulbusolfactorius
N. vagus
Infeksi Alirandarah
coronavirus Darah
Fusimembran
Gambar 1. Mekanisme infeksi coronavirus dan kerusakan neuronal yang disebabkan oleh
coronavirus. Coronavirus dapat menyebabkan kerusakan saraf melalui jalur infeksi langsung
(jalur sirkulasi darah dan jalur neuronal), hipoksia, trauma imun, ACE2, dan mekanisme lainnya.
Sedangkan, coronavirus memiliki efek buruk pada jaringan paru, dan menyebabkan lesi paru
seperti hipoksia. Selain itu, coronavirus dapat masuk ke sistem saraf secara langsung melalui
nervus olfactorius, dan juga masuk ke sistem saraf melalui sirkulasi darah dan jalur neuronal,
yang menyebabkan gangguan neurologi.
Invasi Coronavirus
Jalursirkulasidarah
Jalur neuronal
Metabolismeanaerob↑
& SIRS ↑ Tidakada
IL ↑ Demyelinasi↑ Metabolitasam ↑ MHC
Limfadenopati↑
BBB ↑
Abstrak
Novel coronavirus (SARS-Coronavirus-2:SARS-CoV-2) yang muncul di Wuhan, China, telah
menyebar ke berbagai negara dengan cepat. Kami melaporkan kasus meningitis pertama yang
berkaitan dengan SARS-CoV-2 yang dibawa dengan ambulan karena kejang dan tidak sadar. Ia
tidak pernah ke luar negeri. Ia merasa fatigue generalisata dan demam (hari 1). Ia bertemu dokter
dua kali (hari 2 dan 5) dan diresepkan Laminamivir dan agen antipiretik. Keluarganya segera
membawanya ke rumah sakit dengan ambulan (hari 9). Di dalam ambulan, ia mengalami kejang
generalisata transien yang berlangsung selama satu menit. Ia mengalami kekakuan leher. RNA
SARS-CoV-2 spesifik tidak terdeteksi di swab nasofaringeal tetapi terdeteksi di LCS. Antibodi
anti-HSV1 dan IgM varicella zoster tidak terdeteksi di sampel serum. MRI otak menunjukkan
hiperintensitas di sepanjang dinding ventrikel lateral kanan dan perubahan sinyal hiperintens di
lobus temporalis mesial kanan dan hippocampus, yang menunjukkan kemungkinan meningitis
SARS-CoV-2. Kasus ini memperingatkan dokter mengenai pasien yang mengalami gejala SSP.
Pendahuluan
Novel coronavirus (SARS-Coronavirus-2:SARS-CoV-2) muncul pada Desember 2019 di
Wuhan, China, dan telah menjadi kegawatan global. Laporan preliminer memperingatkan bahwa
SARS-CoV-2 berpotensi neuroinvasif karena beberapa pasien menunjukkan gejala neurologi
seperti nyeri kepala, mual, dan muntah. Untuk mengakhiri pandemi penyakit SARS-
Coronavirus-2, diagnosis penyakit harus cepat dan tidak mengabaikan temuan apapun.
Laporan singkat ini menggambarkan kasus pertama pasie, yang dibawa dengan ambulan karena
konvulsi dan tidak sadar, didiagnosis dengan ensefalitis aseptic dengan RNA SARS-CoV-2 di
cairan serebrospinal.
Kasus
Laki-laki berusia 24 tahun
Ia tidak pernah ke luar negeri. Ia mengalami nyeri kepala, fatigue generalisata dan demam pada
akhir Februari 2020 (hari 1). Pada hari 2, ia berobat ke dokter. Di sana, ia diresepkan
Laninamivir dan agen antipiretik karena didiagnosis influenza karena gejala klinisnya meskipun
hasil uji diagnostik negatif. Tiga hari kemudian (hari 5), ia datang ke klinik lain karena
perburukan gejala, nyeri kepala, dan nyeri tenggorok. Ia menjalani pemeriksaan rontgen thoraks
dan darah rutin yang hasilnya negatif. Pada hari 9, ia ditemukan terbaring di lantai dengan
gangguan kesadaran. Ia langsung dibawa ke rumah sakit dengan ambulan. Selama perjalanan, ia
mengalami kejang generalisata transien selama satu menit.
Saat tiba di rumah sakit, ia memiliki Glasgow Coma Scale (GCS) 6 (E4M1V1) dengan
hemodinamik stabil. Ia mengalami kekakuan leher. Pemeriksaan darah menunjukkan
peningkatan leukosit, dominan neutrophil, penurunan limfosit relatif, peningkatan C-reactive
protein. Pemeriksaan lanjutan meliputi CT sistemik tidak menunjukkan bukti edema otak. CT
scan dada menunjukkan terdapat ground glass opacity kecil di lobus superior kanan dan kedua
sisi lobus inferior. Pada pemeriksaan pungsi lumbal, cairan serebrospinalnya jernih dan tak
berwarna, dan tekanan awal lebih dari 320 mmH2O. Jumlah sel LCS 12/μL-10 sel mononuklear
dan 2 sel polimorfonuklear tanpa sel darah merah. Antibodi anti-HSV1 dan IgM varicella-zoster
tidak terdeteksi di serum. Uji RT-PCR untuk SARS-CoV-2 dilakukan dari swab nasofaringeal
dan LCS karena kami berasumsi bahwa SARS-CoV-2 terlibat dalam wabah. Meskipun RNA
SARS-CoV-2 tidak terdeteksi di swab nasofaringeal, tetapi terdeteksi di LCS (Tabel tambahan 1)
Selama terapi kegawatan, intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik dibutuhkan karena kejang
epileptik multipel. Ia ditransfer ke ICU dengan diagnosis klinis meningitis dan pneumonia viral.
Setelah masuk ICU, ia diberikan ceftriaxone, vancomycin, acyclovir, dan steroid intravena. Ia
juga mendapatkan Levetiracetam intravena untuk kejangnya. Favipiravir diberikan melalui
nasogastric tube selama 10 hari sejak hari ke 2. MRI otak dilakukan 20 jam setelah masuk ICU
(Gambar 1). Diffusion weighted images (DWI) menunjukkan hiperintensitas di sepanjang
dinding cornus inferior ventrikel lateral kanan. Gambar fluid-attenuated inversion recovery
(FLAIR) menunjukkan perubahan sinyal hiperintens di lobus temporal mesial kanan dan
hippocampus dengan atrofi hippocampus sedikit. Gambar contrast-enhanced tidak menunjukkan
penyangatan dura. Temua ini mengindikasikan ventrikulitis lateral kanan dan ensefalitis di lobus
mesial kanan dan hippocampus. Diagnosis bandingnya ada sclerosis hippocampus disertai post
ensefalopati konvulsif. Selain itu, gambar T2-weighted menunjuukan sinusitis pan-paranasal.
Pada hari 15, kami melanjutkan terapi untuk pneumonia bacterial dan gangguan kesadaran
karena ensefalitis yang berkaitan dengan SARS-CoV-2 di ICU.
Pengambilan Spesimen
Spesimen klinis untuk uji diagnostik SARS-CoV-2 didapatkan sesuai dengan pedoman National
Institute of Infectious Diseases di Jepang. Spesimen swab nasofaringeal diambil dengan swab
serabut sintesis; setiap swab dimasukkan ke tabung steril terpisah yang mengandung 1 ml
phosphate-buffered saline (PBS) ditambah dengan 0,5% BSA. Cairan medulla spinalis
dikumpulkan dalam kontainer spesimen steril. Spesimen segera diperiksa di Yamanashi
University Hospital Laboratory Department atau disimpan pada 4oC sampai siap untuk diperiksa.
Pembahasan
Laporan kami menggambarkan kasus meningitis/ensefalitis pertama yang berkaitan dengan
SARS-CoV-2. Kasus ini menunjukkan potensi neuroinvasif virus dan kami tidak bisa
mengeksklusikan infeksi SARS-CoV-2 bahkan jika uji RT-PCR untuk SARS-CoV-2
menggunakan spesimen nasofaringeal pasien negatif.
Pada 2002-2003, pandemi Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) muncul dan SARS-CoV
diisolasi sebagai patogen dan menjadi keluarga baru coronavirus manusia. Selama beberapa
tahun, coronavirus manusia termasuk SARS-CoV diidentifikasi sebagai patogen untuk patologi
di luar sistem respirasi.
Sebuah laporan menunjukkan bahwa sekuens genome SARS-CoV terdeteksi dalam otak dari
semua otopsi SARS dengan real-time RT-PCR. Sinyal kuat di hippocampus dimana kami
menemukan inflamasi di otak pasien.
Studi terbaru mengakui bahwa sekuens genomik sama antara SARS-CoV dan SARS-CoV-2,
khususnya domain SARS-CoV terikat reseptor yang memiliki struktur sama dengan SARS-CoV-
2. Hal ini menyebabkan SARS-CoV dan SARS-CoV-2 memmiliki reseptor yang sama yaitu
ACE2. Itulah alasan mengapa SARS-CoV dan SARS-CoV-2 dapat menginvasi tempat yang
sama di otak manusia.
Pada kasus ini, MRI menunjukkan temuan abnormal lobus temporal medial termasuk
hippocampus yang menggambarkan ensefalitis, sclerosis hippocampus atau post ensefalitis
konvulsif. Sklerosis hippocampus tidak mungkin karena pasien tidak mengalami riwayat episode
epilepsi temporal mesial. Selain itu, kasus ini disertai dengan sinusitis paranasal signifikan.
Meskipun hubungan antara sinusitis dan transfer trans-sinaps retrograde tidak jelas, kami harus
memperhatikan kondisi nasal dan paranasal dalam diagnosis dan terapi infeksi SARS-CoV-2.
Kami menganggap bahwa kasus ini penting karena menunjukkan bahwa pasien yang tidak sadar
berpotensi terinfeksi SARS-CoV-2 dan dapat menyebakan infeksi horizontal. Untuk
menghentikan pandemi penyakit SARS-CoV-2, diagnosis penyakit harus cepat dan tidak
mengabaikan temuan apapun. Menemukan pasien suspek adalah langkah pertama preventif
melawan pandemic. Perlu diperhatikan bahwa gejala ensefalitis atau cerebropathia bisa menjadi
indikasi pertama, selain gejala respirasi, untuk menemukan pasien SARS-CoV-2 tersembunyi.
Gambar 1. MRI otak yang dilakukan 20 jam setelah masuk.
A: Diffusion weighted images (DWI) menunjukkan hiperintensitas di sepanjang dinding cornu
inferior ventrikel lateralis kanan.
B,C: Gambar fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR) menunjukkan perubahan sinyal
hiperintens di lobus temporal mesial kanan dan hippocampus dengan atrofi hippocampal sedikit.
Temua ini mengindikasikan ventrikulitis lateralis kanan dan ensefalitis khususnya di lobus
mesial kanan dan hippocampus.
D: Gambar T2-weighted menunjukkan sinusitis pan-paranasal.