Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH FARMAKOTERAPI

“ GANGGUAN FUNGSI HATI DAN PENATALAKSANAANNYA ’’

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 2 :

DESAK GDE LISTYA PARAMITHA

DESI DAMAYANTI

DIYAH HUSNUL KHOTIMAH

ELISHA AGUSTINA

ERICKA GALUH RIZKY

PROGRAM STUDI DIII FARMASI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNW MATARAM

TAHUM PELAJARAN 2020/2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-
Nyalah sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan Makalah Serosis Hepatis (sirosis
hati) ini tepat pada waktu yang telah ditentukan. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas
yangdiberikan dosen Mata kuliah Farmakoterapi. Pada kesempatan ini juga kami berterima kasih
atas bimbingan dan masukan dari semua pihak yang telah memberi kami bantuan wawasan untuk
dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari isi makalah ini masih jauh dari kategori
sempurna, baik dari segi kalimat, isi maupun dalam penyusunan. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun dari dosen mata kuliah yang bersangkutan dan rekan-rekan semuanya,
sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan makalah-makalah selanjutnya.

Penyusun

Kelompok 2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian

B. Penyebab

C. Ciri-Ciri

D. Klasifikasi dan Etiologi

E. Patologi dan Patogenesis

F. Manifestasi klinis

G. Diognosis

H. Penatalaksanaannya

BAB III REVIEW JURNAL

BAB IV METODE SOAP

Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia, di dalam hati terjadi proses-proses
penting bagi kehidupan kita, yaitu proses penyimpanan energi, pengaturan metabolisme
kolesterol, dan peneralan racun dan obat yang masuk dalam tubuh kita, sehingga dapat kita
bayangkan akibat yang akan timbul apabila terjadi kerusakan pada hati.

Hati (liver) sebagaimana diketahui adalah organ di bagian kanan atas perut yang memiliki
banyak fungsi, di antaranya:

Menyimpan glikogen (bahan bakar untuk tubuh) yang terbuat dari gula. Bila diperlukan,
glikogen dipecah menjadi glukosa yang dilepaskan ke dalam aliran darah.Membantu proses
pencernaan lemak dan protein.

Membuat protein yang penting bagi pembekuan darah.Mengolah berbagai obat yang
mungkin Anda minum.Membantu membuang racun dari tubuh.Sirosis adalah penyakit yang
sangat berbahaya karena mengganggu pelaksanaan fungsi-fungsi di atas. Selain itu, jika Anda
memiliki sirosis Anda juga berisiko mengembangkan kanker hati (hepatocellular carcinoma).
Risiko bervariasi sesuai penyebab sirosis. Risiko terbesar adalah pada sirosis yang disebabkan
oleh infeksi hepatitis C dan B, diikuti dengan sirosis yang disebabkan oleh hemokromatosis

Sirosis hati merupakan penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya
pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan
nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul dan
menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur. (Smeltzer, Bare,
2001).
Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketika pada
pasienyang berusia 45-46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker). Di seluruh dunia
sirosis menempati urutan ke tujuh penyebab kematian. Sekitar 25000 orang meninggal setiap
tahun akibat penyakit ini. Apabila diperhatikan, laporan di negara maju. Maka kasus Sirosis hati
yang datang berobat ke dokter hanya kira-kira 30 % dari seluruh populasi penyakit ini dan lebih
kurang 30% lainnya ditemukan secara kebetulan ketika berobat untuk penyakit lain, sisanya
ditemukan saat atopsi. Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki jika
dibandingkan dengan kaum wanita sekita 1,6:1 dengan umur rata-rata terbanyak antara golongan
umur 40-59 tahun dengan puncaknya sekitar 40-49 tahun (Mariyani, 2003)

Angka kejadian sirosis hati yang paling sering muncul adalah akibat alkoholisme. Namun
tidak menutup kemungkinan penyebab lainnya seperti kekurangan gizi, protein deficiency,
hepatitis dan jenis lain dari proses infeksi, penyakit saluran empedu, dan racun kimia. Gejala
yang ditimbulkan sirosis hepatis akibat perubahan morfologi dapat menggambarkan kerusakan
yang terjadi. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi seperti hematemesis melena, koma
hepatikum.

Peran dan fungsi tenaga kesehatan adalah memberi penyuluhan kesehatan agar masyarakat
dapat mewaspadai bahaya penyakit sirosis hepatis. Terutama untuk tenaga farmasi harus
mengetahui lebih lanjut mengenai sitosis hati dan mengetahui penatalaksaannya yang paling
tepat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu penyakit sirosis hati ?
2. Apa saja komplikasi dari penyakit sirosis hati ?
3. Bagaimana penatalaksanaan dari penyakit gangguan hati tersebut ?

C. Tujuan Masalah
1. Dapat memperoleh pengetahuan mengenai penyakit sirosis hati
2. Dapat mengetahui komplikasi dari penyakit sirosis hati
3. Dapat mengetahui penatalaksanaanya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian

Istilah Sirosis hati diberikan oleh Laence tahun 1819, yang berasal dari kata Khirros yang
berarti kuning orange (orange yellow), karena perubahan warna pada nodul-nodul yang
terbentuk. Pengertian sirosis hati dapat dikatakan sebagai berikut yaitu suatu keadaan
disorganisassi yang difuse dari struktur hati yang normal akibat nodul regeneratif yang
dikelilingi jaringan mengalami fibrosis.

Secara lengkap Sirosis hati adalah suatu penyakit dimana sirkulasi mikro, anatomi
pembuluh darah besar dan seluruh sitem arsitektur hati mengalami perubahan menjadi tidak
teratur dan terjadi penambahan jaringan ikat (fibrosis) disekitar parenkim hati yang mengalami
regenerasi.

Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya
pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan
nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi
arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur
akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut.24 Telah diketahui bahwa penyakit ini
merupakan stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati yang
akan menyebabkan penurunan fungsi hati dan bentuk hati yang normal akan berubah disertai
terjadinya penekanan pada pembuluh darah dan terganggunya aliran darah vena porta yang
akhirnya menyebabkan hipertensi portal. Pada sirosis dini biasanya hati membesar, teraba
kenyal, tepi tumpul, dan terasa nyeri bila ditekan

Menurut Lindseth; Sirosis hati adalah penyakit hati kronis yang dicirikan dengan distorsi
arsitektur hati yang normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan nodul-nodul regenerasi sel hati.
Sirosis hati dapat mengganggu sirkulasi sel darah intra hepatik, dan pada kasus yang sangat
lanjut, menyebabkan kegagalan fungsi hati.
Sirosis adalah suatu kondisi di mana jaringan hati yang normal digantikan oleh jaringan
parut (fibrosis) yang terbentuk melalui proses bertahap. Jaringan parut ini memengaruhi struktur
normal dan regenerasi sel-sel hati. Sel-sel hati menjadi rusak dan mati sehingga hati secara
bertahap kehilangan fungsinya.

B. Penyebab

Pada tahap akhir, sirosis hati terkait dengan banyak gejala. Sebagian besar gejalanya adalah
akibat dari jaringan hati fungsional yang tersisa terlalu sedikit untuk melakukan tugas-tugas hati.

Gejala yang dapat timbul pada fase ini adalah:

1. Kelelahan,Kelemahan.

Cairan yang bocor dari aliran darah dan menumpuk di kaki (edema) dan perut
(ascites).Kehilangan nafsu makan, merasa mual dan ingin muntah, kehilangan berat badan, nyeri
lambung dan munculnya jaringan darah mirip laba-laba di kulit (spider
angiomas)Kecenderungan lebih mudah berdarah dan memar.Penyakit kuning karena
penumpukan bilirubin.Gatal-gatal karena penumpukan racun.

Gangguan kesehatan mental dapat terjadi dalam kasus berat karena pengaruh racun di dalam
aliran darah yang memengaruhi otak. Hal ini dapat menyebabkan perubahan kepribadian dan
perilaku, kebingungan, pelupa dan sulit berkonsentrasi.

2. Tanda Klinis

Tanda-tanda klinik yang dapat terjadi yaitu:

- Adanya ikterus (penguningan) pada penderita sirosis.

Timbulnya ikterus (penguningan ) pada seseorang merupakan tanda bahwa ia sedang


menderita penyakit hati. Penguningan pada kulit dan mata terjadi ketika liver sakit dan tidak bisa
menyerap bilirubin. Ikterus dapat menjadi penunjuk beratnya kerusakan sel hati. Ikterus terjadi
sedikitnya pada 60 % penderita selama perjalanan penyakit.

- Timbulnya asites dan edema pada penderita sirosis

Ketika liver kehilangan kemampuannya membuat protein albumin, air menumpuk pada kaki
(edema) dan abdomen (ascites). Faktor utama asites adalah peningkatan tekanan hidrostatik pada
kapiler usus . Edema umumnya timbul setelah timbulnya asites sebagai akibat dari
hipoalbuminemia dan resistensi garam dan air

- Hati yang membesar

Pembesaran hati dapat ke atas mendesak diafragma dan ke bawah. Hati membesar sekitar 2-3
cm, dengan konsistensi lembek dan menimbulkan rasa nyeri bila ditekan.

- Hipertensi portal.

Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan darah vena portal yang memetap di atas nilai
normal. Penyebab hipertensi portal adalah peningkatan resistensi terhadap aliran darah melalui
hati.

C. Ciri-Ciri

Ciri-ciri yang begitu sederhana memang seringkali menyebabkan penyakit ini baru
terdeteksi di ujung ketika kondisinya sudah cukup parah. Berikut yang sangat sederhana:
menurunnya nafsu makan, mudah lelah. Adanya spider navy (bercak merah seperti bekas kerik
dalam lingkaran berukuran kecil) dan varises di pembuluh darah yang kemudian akan menjadi
sumber pendarahan. Yang terlihat dari tes darah yang paling sederhana adalah nilai SGPT dan
SGOT yang tidak normal, cenderung tinggi tapi di titik tertentu tidak meningkat lagi akan tetapi
kerusakan terus berjalan. Pendarahan akan menurunkan tingkat HB di darah.

Ciri berikutnya adalah menurunnya tingkat albumin. Ini lingkaran yang aku gak tau
bagaimana memutusnya. Secara kasat mata, kekurangan albumin menyebabkan jika kita tekan
bagian tubuh, tidak segera balik lagi. Umumnya terjadi bengkak di tungkai kaki dan perut
diakibatkan cairan yang terperangkap dalam tubuh. Albumin ini konon punya fungsi pintar untuk
memberitau bahwa cairan perlu keluar dalam bentuk urine atau keringat. Tanpa albumin, cairan
ini jadi ikuta jalan2 keliling tubuh. Albumin sendiri terbentuk dari protein dengan bantuan hati,
jadi jelas kalau fungsi hati turun, albumin turun. Untuk meningkatkan albumin berarti perlu lebih
banyak makanan (diet tinggi kalori dan tinggi protein) di sisi lain meningkatnya asupan makanan
menambah jumlah cairan dalam tubuh yang menjadi asites (bengkak). Ketika perut semakin
banyak cairan, semakin sulit untuk makan karena tertekan asites

D. Klasifikasi dan Etiologi

 Klasifikasi

• Berdasarkan morfologi Sherlock membagi Sirosis hati atas 3 jenis, yaitu :

1. Mikronodular

Ditandai dengan terbentuknya septa tebal teratur, di dalam septa parenkim hati
mengandung nodul halus dan kecil merata tersebut seluruh lobul. Sirosis mikronodular besar
nodulnya sampai 3 mm, sedangkan sirosis makronodular ada yang berubah menjadi
makronodular sehingga dijumpai campuran mikro dan makronodular.

2. Makronodular

Sirosis makronodular ditandai dengan terbentuknya septa dengan ketebalan bervariasi,


mengandung nodul (> 3 mm) yang besarnya juga bervariasi ada nodul besar didalamnya ada
daerah luas dengan parenkim yang masih baik atau terjadi regenerasi parenkim.

3. Campuran (yang memperlihatkan gambaran mikro-dan makronodular)

• Secara Fungsional Sirosis terbagi atas :

1. Sirosis hati kompensata.

Sering disebut dengan Laten Sirosis hati. Pada stadium kompensata ini belum terlihat gejala-
gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada saat pemeriksaan screening.
2. Sirosis hati Dekompensata .

Dikenal dengan Active Sirosis hati, dan stadium ini biasanya gejala-gejala sudah jelas,
misalnya ; ascites, edema dan ikterus.

 Etiologi

1. Sirosis laennec. Sirosis yang terjadi akibat mengkonsumsi minuman beralkohol secara
kronis dan berlebihan. Sirosis portal laenec (alkoholik, nutrisional), dimana jaringan parut secara
khas mengelilingi daerah portal. Sirosis ini paling sering disebabkan oleh alkoholisme kronis,
sering ditemukan di Negara Barat.

2. Sirosis pascanekrotik. Sirosis yang terjadi akibat nekrosis massif pada sel hati oleh
toksin. Pada beberapa kasus sirosis ini diakibatkan oleh intoksikasi bahan kimia industry, racun,
arsenic, karbon tetraklorida atau obat-obatan seperti INH dan metildopa. Sirosis pascanekrotik,
terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat lanjut hepatitis virus akut yang terjadi
sebelumnya.

3. Sirosis biliaris. Sirosis ini terjadi akibat sumbatan saluran empedu (obstruksi biliaris)
pascahepatik yang menyebabkan statisnya empedu pada sel hati. Statisnya aliran empedu
menyebabkan penumpukan empedu di dalam masa hati dan pada akhirnya menyebabkan
kerusakan sel-sel hati. Pada sirosis bilier, pembentukan jaringan parut biasanya terjadi dalam hati
sekitar saluran empedu. Tipe ini biasanya terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi
(kolangitis).

4. Sirosis cardiac. Sirosis ini merupakan sirosis sekunder yang muncul akibat gagal jantung
dengan kongesti vena hepar yang kronis.
E. Patologi dan Patogenesis

Sirosis alkholik atau secara historis di sebut sirosis Laennec di tandai oleh pembentukan
jaringan perut yang difus,kehilangan sel-sel hati yang uniform, dan sedikit nodul
reginatif.sehingga kadang-kadang disebut sirosis makronodulardapat ula di akibatkan oleh cidera
hati lainya.Tiga lesi hati terutaa akibat induksi alkohol adalah

1. perlemakan hati alkholik

Steatosis atau perlemakan hati,hepatosit teregang oleh vakula lunak dalam sitoplasma
berbentuk makrovesikel yang mendorong inti hepatosit ke membran sel.

2. hepatitis alkholik

Fibrosis perivenlar berlanjut menjadi sirosis panlobular akibat masukan alkohol dan
destruksi hepatosit yang berkepanjangan..Di daerah periportal dan perisentral timbul septa
jaringan ikat seperti jaring yang ahirnya menghubungkan triad portal dengan vena
sentrialis.Namun demikian kerusakn sel yang terjadi melebuhi perbaikanya.menimbulkan
kolaagn terus berlanjut ukuran hati mengecil,benjol-benjol menjadi keras,terbbentuk sirosis
alkholik.

3. Sirosis Hati Pasca Nekrosis

Gambaran patologi hati biasanya mengkerut, terbentuk tidak teratur, dan terdiri dari
nodulus sel hati yang dipisahkan oleh pita fibrosis yang padat dan lebar. Gambaran mikroskopik
konsisten dengan gambaran makroskopik. Ukuran nodulus sangat berfariasi, dengan sejumlah
besar jaringan ikat yang memisahkan pulau parenkim regenerasi yang susunannya tidak teratur.

Patogenesis sirosis hati menurut penelitian terakhir, memperlihatkan adanya peranan sel
stelata. Dalam keadaan normal sel stelata mempunyai peran dalam keseimbangan pembentukan
matriks ekstrasesular dan proses degradasi. Pembentukan fibrosis menunjukkan perubahan
proses keseimbangan. Jika terpapar faktor tertentu yang berlangsung secara terus menerus
( misal: hepatitis virus, bahan – bahan hepatotoksik ), maka sel stelata akan menjadi sel yang
membentuk kolagen. Jika proses berjalan terus maka fibrosis akan berjalan terus di dalam sel
stelata, dan jaringan hati yang normal akan diganti oleh jaringan ikat.
F. Manifestasi Klinis

Keluhan pasien sirosis hati tergantung pada fase penyakitnya. Gejala kegagalan hati
ditimbulkan oleh keaktifan proses hepatitis kronik yang masih berjalan bersamaan dengan sirosis
hati yang telah terjadi dalam proses penyakit hati yang berlanjut sulit dibedakan hepatitis kronik
aktif yang berat dengan permulaan sirosis yang terjadi (sirosis dini ).

Fase kompensasi sempurna pada fase ini tidak mengeluh sama sekali atu bisa juga keluhan
samar-samar tidak khas seperti pasien merasa tidak bugar/ fit merasa kurang kemampuan kerja
selera makan berkurang, perasaan perut gembung, mual, kadang mencret atau konstipasi berat
badan menurun, pengurangan masa otot terutama pengurangannya masa daerah pektoralis
mayor.

 Gejala – gejala Sirosis

Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemuakan pada waktu pasien
melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena penyakit lain. Gejala awal sirosis meliputi
perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, BB
menurun, pada laki – laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar,
hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut gejala – gejala ini lebih menonjol terutama bila
timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut badan,
gangguan tidur, dan demam tak begitu tinggi. Mungkin diserti adanya gangguan pembekuan
darah, pendarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarna
seperti teh pekat, muntah darah atau melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar
konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma.

G. Diagnosis

Pada stadium kompensasi sempurna kadang – kadang sangat sulit menegakkan diagnosis
sirosis hati. Pada proses lanjutan dari kompensasi sempurna mungkin bisa ditegakkan diagnosis
dengan bantuan pemeriksaan klinis yang cermat, laboratorium atau serolgi, dan pemeriksaan
penunjang lainnya. Pada saat ini penegakkan diagnosis sirosis hati terdiri atas pemeriksan fisis,
laboratorium, dan USG. Pada kasus tertentu diperlukan pemeriksaan biopsi hati atau
peritonioskopi karena sulit membedakan hepatitis kronik aktif yang berat dengan sirosis hati
dini. Pada stadium lanjut, diagnoosis kadang kala tidak sulit karena gejala dan tanda – tanda
klinis sudah tampak dengan adanya komplikasi.

H. Penatalaksanaannya

1. Istirahat di tempat tidur sampai terdapat perbaikan ikterus, asites, dan demam

2. Diet tanpa protein. Bila ada asites diberikan diet rendah garam II.

3. Mengatasi infeksi dengan antibiotik (non hepato toksik) mis neomycin

4. Keseimbangan cairan dan elektrolit

5. No alcohol at all.(Setya, 2011)

 Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati akan diberikan jika telah terjadi komplikasi
seperti :

1. Asites

Alat dikendalikan dengan terapi konservatif yang terdiri atas :

• Istirahat

• Diet rendah garam : untuk asites ringan dicoba dulu dengan istirahat dan diet rendah
garam dan penderita dapat berobat jalan dan apabila gagal maka penderita harus dirawat. Diet
rendah garam diberikan 0,5 g/hari dan total cairan 1,5 L/hari. Spirolakton dimulai dengan dosis
awal 4 x 25 mg/hari dinaikkan sampai total dosis 800 mg sehari, bila perlu dikombinasi dengan
furosemid.

• Diuretik
• Pemberian diuretic hanya bagi penderita yang telah menjalani diet rendah garamdan
pembatasan cairan namun penurunan berat badannya kurang dari 1 kg setelah 4 hari.
Diuresisnya belum tercapai maka dapat kita kombinasikan dengan furosemid.

• Terapi lain (selain konservatif)

• Parasintesis

• cairan asites dapat dilakukan 5-10 liter / hari, dengan catatan harus dilakukan infuse
albumin sebanyak 6 – 8 gr/l cairan asites yang dikeluarkan Indikasi Parasentesis: bila
menyebabkan gangguan nafas

2. Dengan Spontaneus Bacterial Peritonitis (SBP)

Infeksi cairan dapat terjadi secara spontan, atau setelah tindakan parasintese. Tipe yang spontan
terjadi 80% pada penderita sirosis hati dengan asites, sekitar 20% kasus. Keadaan ini lebih sering
terjadi pada sirosis hati stadium kompesata yang berat. Pada sirosis hati terjadi permiabilitas usus
menurun dan mikroba ini berasal dari usus.

• Pengobatan SBP dengan memberikan Cephalosporins Generasi III (Cefotaxime), secara


parental selama lima hari, atau Quinolon secara oral.

• untuk Profilaxis dapat diberikan Norfloxacin (400mg/hari) selama 2-3 minggu.

3. Dengan Perdarahan karena pecahnya Varises Esofagus

Penanganan yang utama adalah tindakan Resusitasi sampai keadaan pasien stabil, dalam keadaan
ini maka dilakukan :

• Pasien diistirahatkan daan dpuasakan

• Pemasangan IVFD berupa garam fisiologis dan kalau perlu transfuse

• Pemasangan Naso Gastric Tube, hal ini mempunyai banyak sekali kegunaannya yaitu :
untuk mengetahui perdarahan, cooling dengan es, pemberian obat-obatan, evaluasi darah.
disamping melakukan aspirasi cairan lambung. Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik 100
x/menit atau Hb 9 g% dilakukan pemberian dekstrosa/salin dan tranfusi darah secukupnya.
Diberikan vasopresin 2 amp. 0,1 g dalam 500 cc cairan d 5 % atau salin pemberian selama 4 jam
dapat diulang 3 kali.

• Menghentikan perdarahan misalnya Pemasangan Ballon Tamponade (sb Tube)

• Bedah anamtomosis porta-kava (Mariyani, 2003)

4. Dengan Ensefalopati Hepatik

Prinsip penggunaan ada 3 sasaran :

• Mengenali dan mengobati factor pencetus

• Intervensi untuk menurunkan produksi dan absorpsi amoniak serta toxin-toxin yang
berasal dari usus dengan jalan :

-Diet tanpa protein

-Pemberian antibiotik (neomisin)

-Pemberian lactulose/ lactikol

• Obat-obat yang memodifikasi Balance Neutronsmiter

-Secara langsung (Bromocriptin,Flumazemil)

-Tak langsung (Pemberian AARS)


BAB III

REVIEW JURNAL

Judul Jurnal : ANALISIS PENGGUNAAN OBAT PADA KOMPLIKASI SIROSIS HATI

Penatalaksanaan terapi sirosis hati bervariasi sesuai dengan komplikasi yang menyertai.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penggunaan obat pada komplikasi sirosis
hati dan membandingkan kesesuaiannya dengan standar pelayanan medik rumah sakit dan
guideline Asia Pasific Ascociation Study for Liver (APASL). Penelitian ini merupakan
penelitian observasional analitik dengan pengambilan data secara retrospektif. Subyek penelitian
diperoleh dengan teknik purposive sampling dengan kriteria inklusi pasien dewasa dan rawat
inap pada periode 2013. Data diperoleh dari rekam medik kemudian dianalisis dengan cara
membandingkan kesesuaian pemberian obat dengan standar pelayanan medik rumah sakit dan
guideline APASL. Subyek penelitian berjumlah 70 pasien dengan komplikasi utama hipertensi
portal (varises esofagus) sebanyak 46 kasus, perdarahan 24 kasus, ascites 36 kasus, infeksi 28
kasus dan ensefalopati hepatik 24 kasus. Terapi utama hipertensi portal dengan propranolol,
perdarahan dengan vitamin K, ascites dengan spironolakton dengan atau tanpa kombinasi
furosemid, infeksi dengan sefalosporin generasi 3 dan quinolone, ensefalopati hepatik dengan
laktulosa dengan atau tanpa neomisin, BCAA dan LOLA. Hasil penelitian menunjukan bahwa
penanganan komplikasi sirosis hati di RSUP Dr. Sardjito belum semuanya sesuai dengan standar
pelayanan medik rumah sakit dan guideline APASL. Pada kondisi pasien yang tidak mengalami
perbaikan dengan terapi standar dilakukan modifikasi terapi seperti pada kasus perdarahan
dengan menambahkan proton pump inhibitor (omeprazole, lansoprazol atau pantoprazol) dan
asam traneksamat.
A. Metode

Subyek Penelitian Populasi penelitian adalah seluruh pasien sirosis hati yang menjalani rawat
inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada periode 2013. Teknik sampling adalah purposive
sampling dengan kriteria inklusi pasien dewasa (≥ 26 tahun) dan terdaftar rawat inap per 1
Januari sampai 31 Desember 2013. Kriteria eksklusinya adalah sirosis hati yang berkembang
menjadi kanker dan data pasien rekam medis tidak lengkap. Sampel minimal dihitung dengan
menggunakan rumus binomunal proportions dengan populasi tidak diketahui dan proporsi 4%
sehingga jumlah sampel minimal adalah 60 (Riwidikdo, 2009).

B. Alat dan Bahan

Penelitian dilakukan dengan pendekatan retrospektif dengan bahan rekam medik dengan kode
K.74.6 yaitu diagnosis utama sirosis hati. Alat yang digunakan adalah lembar pengumpul data.

C. Pengambilan Data

Proses pengumpulan data dimulai dari observasi rekam medik kasus sirosis hati periode
2013. Data dikumpulkan dengan mengidentifikasi pasien yang memenuhi kriteria inklusi
berdasarkan informasi yang tercatat dalam rekam medik. Data yang diperoleh dari rekam medik
meliputi diagnosis, kelas perawatan, lama perawatan, tindakan, pemeriksaan laboratorium dan
terapi. Pengolahan dan analisis data. Data demografi pasien dibuat dalam bentuk tabel dan
diagram. Data dikelompokan berdasarkan kriteria masing-masing kemudian dihitung
persentasenya. Subyek penelitian diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahan, komplikasi,
penyebab sirosis dan penyakit penyerta. Pengobatan yang diterima pasien dikelompokan sesuai
dengan komplikasinya kemudian dicocokan kesesuaiannya dengan standar pelayanan medik
rumah sakit dan guideline APASL.
D. Hasil dan Pembahasan

Penelusuran data penggunaan obat dan biaya pasien sirosis hati rawat inap di RSUP Dr. Sarjito
Yogyakarta tahun 2013 menunjukan hasil sebagai berikut :

 Gambaran Karakteristik pasien

Perbandingan jenis kelamin laki-laki dan perempuan sebesar 1,8 : 1. Menurut Kusumobroto
perbandingan prevalensi sirosis pada laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan yaitu
2,1:1(Kusumobroto, 2007). Usia rata-rata pasien adalah 46-55 tahun, sesuai dengan data dari
suatu sumber yang menyebutkan bahwa kejadian sirosis terbanyak pada dekade kelima (Tarigan,
2007). Lama perawatan berkisar 1-28 hari, dan kondisi keluar sebagian besar membaik (69%)
dan angka kematian sebesar 24%.

 Gambaran Penyakit Sirosis hati

Keparahan penyakit diklasifikasikan dengan Child Turcotte Score A, B dan C dengan


mayoritas pasien dengan skor keparahan B yaitu 36%. Dalam penelitian ini 50% sirosis hati
disebabkan oleh hepatitis B. Komplikasi yang terjadi pada pasien sirosis hati meliputi hipertensi
portal (varises esofagus) 46 kasus dan 24 kasus diantaranya mengalami perdarahan, ascites 36
kasus, infeksi 28 kasus dan ensefalopati hepatik 26 kasus. Infeksi yang terjadi antara lain SBP
sebanyak 13 pasien (36% dari pasien yang mengalami ascites), ISK 9 pasien dan pneumonia 6
pasien. Kematian paling banyak disebabkan oleh ensefalopati hepatik dan syok septik masing-
masing sebesar 29%. Penyakit penyerta terbanyak adalah diabetes mellitus sebanyak 16 kasus.
DM juga menjadi faktor risiko terjadinya komplikasi yang menyebabkan kematian (Garcia dkk.,
2009). Pada penelitian ini 2 diantara 17 pasien yang meninggal memiliki penyakit penyerta
diabetes melitus.

 Pola Penggunaan Obat

Terapi yang diberikan pada pasien didasarkan pada tingkat keparahan penyakit, komplikasi
yang muncul serta penyakit penyerta yang diderita pasien. Propranolol diberikan pada pasien
yang mengalami hipertensi portal. Gambaran penggunaan obat dapat dilihat pada tabel 1. Pasien
yang menderita hipertensi portal mendapat terapi propranolol kecuali pada 3 pasien karena
terjadi perdarahan akut. Hal ini sesuai dengan standar pelayanan medik rumah sakit (Komite
Medik, 2005) dan guideline Asia Pasific Ascociation Study for Liver (APASL) 2008. Pemberian
propranolol ditunda jika pasien mengalami perdarahan karena rupture varises esofagus (Tsao
dkk., 2007). Hal ini telah sesuai dengan konsensus persatuan peneliti hati Indonesia (Widjaja dan
Karjadi, 2011) Penggunaan proton pump inhibitor (PPI) tidak masuk dalam standar pelayanan
medik rumah sakit maupun guideline penanganan varises esofagus maupun perdarahan varises
esofagus APASL.

Modifikasi terapi dengan pemberian PPI dilakukan untuk mengatasi perdarahan yang
disebabkan oleh varises di daerah gaster atau terjadinya gastropati. Hal ini diketahui dari hasil
pemeriksaan endoskopi. Menurut studi RCT di Jepang penggunaan PPI jangka panjang dapat
mengurangi risiko kegagalan terapi ligasi (Hidaka dkk., 2012).Selain terapi dengan propranolol,
8 orang pasien juga mendapatkan tindakan ligasi untuk mencegah terjadinya perdarahan. Hal ini
telah sesuai dengan guideline APASL. Profilaksis direkomendasikan untuk pasien dengan risiko
perdarahan tinggi yaitu pasien dengan small varises esofagus pada penyakit hati stadium lanjut
dan medium/large varises esofagus (Simonetto dkk., 2014).

Pendapat berbeda dikemukakan berdasarkan studi Deshpande dkk., (2013) menyebutkan


bahwa penggunaan obat penekan sekresi asam dapat meningkatkan terjadinya infeksi SBP
sebesar 3x. Hal ini juga didukung oleh sebuah studi metaanalisis yang menyebutkan bahwa PPI
atau H2 bloker dapat meningkatkan risiko terjadinya pneumonia (Eom dkk., 2011). Pada
penelitian ini beberapa pasien yang mengalami infeksi juga menggunakan PPI. Adanya
perbedaan pendapat tentang penggunaan maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang
efektivitas dan keamanan PPI pada pasien sirosis hati. Pada penelitian ini, perdarahan diterapi
dengan beberapa variasi kombinasi obat. Diantara 24 pasien yang mengalami perdarahan, semua
mendapatkan terapi vitamin K dan 10 diantaranya dikombinasikan dengan asam traneksamat.
Asam traneksamat tidak tercantum dalam standar pelayanan medik rumah sakit maupun
guideline APASL. Menurut Senzollo dkk., (2006) pasien dengan penyakit hati yang parah
mengalami penurunan sintesis plasma fibrinogen sehingga risiko perdarahan akan meningkat.
Dalam penelitian ini, modifikasi terapi perdarahan dengan pemberian asam traneksamat
dimungkinkan karena perdarahan yang tidak teratasi dengan vitamin K. Salah satu faktor yang
berpengaruh adalah terjadinya fibrinolisis sehingga pemberian antifibrinolisis (asam
traneksamat) dapat dilakukan pada pasien yang tidak mengalami perpanjangan aPTT. Selain
kombinasi vitamin K, asam traneksamat, dan PPI pada 2 orang pasien juga diberikan ranitidin.
Pemberian ranitidin pada penanganan perdarahan telah sesuai dengan standar pelayanan medik
rumah sakit. Beberapa pasien yang mengalami perdarahan juga mendapatkan terapi vasoaktif
yaitu somatostatin pada 3 pasien dan ocreotid (sandostatin®) pada 1 pasien. Hal ini telah sesuai
dengan standar pelayanan medik rumah sakit maupun guideline APASL. Menurut studi
metaanalisis yang dilakukan oleh Wells dkk., (2012), penggunaan vasoaktif (vasopressin,
somatostatin, terlipressin, vapreotid dan ocreotid) mampu menurunkan secara signifikan risiko
kematian dan kebutuhan transfusi darah dan menurunkan lama waktu rawat inap. Pada penelitian
ini, tidak bisa dibandingkan risiko kematian, kebutuhan transfusi dan lama waktu perawatan
antara pasien yang mendapatkan vasoaktif dan yang tidak mendapatkan karena adanya faktor
komplikasi lain yang berpengaruh pada risiko kematian dan lama rawat inap.
Pada penelitian ini, perdarahan diterapi dengan beberapa variasi kombinasi obat. Diantara
24 pasien yang mengalami perdarahan, semua mendapatkan terapi vitamin K dan 10 diantaranya
dikombinasikan dengan asam traneksamat. Asam traneksamat tidak tercantum dalam standar
pelayanan medik rumah sakit maupun guideline APASL. Menurut Senzollo dkk., (2006) pasien
dengan penyakit hati yang parah mengalami penurunan sintesis plasma fibrinogen sehingga
risiko perdarahan akan meningkat.

Dalam penelitian ini, modifikasi terapi perdarahan dengan pemberian asam traneksamat
dimungkinkan karena perdarahan yang tidak teratasi dengan vitamin K. Salah satu faktor yang
berpengaruh adalah terjadinya fibrinolisis sehingga pemberian antifibrinolisis (asam
traneksamat) dapat dilakukan pada pasien yang tidak mengalami perpanjangan aPTT. Selain
kombinasi vitamin K, asam traneksamat, dan PPI pada 2 orang pasien juga diberikan ranitidin.
Pemberian ranitidin pada penanganan perdarahan telah sesuai dengan standar pelayanan medik
rumah sakit. Beberapa pasien yang mengalami perdarahan juga mendapatkan terapi vasoaktif
yaitu somatostatin pada 3 pasien dan ocreotid (sandostatin®) pada 1 pasien. Hal ini telah sesuai
dengan standar pelayanan medik rumah sakit maupun guideline APASL. Menurut studi
metaanalisis yang dilakukan oleh Wells dkk., (2012), penggunaan vasoaktif (vasopressin,
somatostatin, terlipressin, vapreotid dan ocreotid) mampu menurunkan secara signifikan risiko
kematian dan kebutuhan transfusi darah dan menurunkan lama waktu rawat inap. Pada penelitian
ini, tidak bisa dibandingkan risiko kematian, kebutuhan transfusi dan lama waktu perawatan
antara pasien yang mendapatkan vasoaktif dan yang tidak mendapatkan karena adanya faktor
komplikasi lain yang berpengaruh pada risiko kematian dan lama rawat inap. Pada penelitian
ini, ascites terjadi pada 36 pasien. Ascites yang belum bisa teratasi dengan spironolakton maka
ditambahkan diuretik furosemid. Terapi yang diberikan sesuai dengan standar pelayanan medik
rumah sakit dan guideline EASL (European Association for the Study of the Liver, 2010).

Antibiotik yang digunakan oleh pasien adalah antibiotik sefalosporin generasi 3 yaitu
cefotaxim, ceftazidim, ceftriaxon serta floroquinolone yaitu ciprofloxacin dan levofloxacin.
Hampir seluruh pasien yang mengalami SBP mendapatkan antibiotik cefotaxim. Hal ini juga
didukung oleh guideline dari AASLD, pasien yang terdiagnosis spontaneous bacterial peritonitis
sebaiknya diberikan pengobatan empirik antibiotik spektrum luas sefalosporin generasi 3
(cefotaxim) dan infus albumin intravena, sambil melakukan uji kultur mikroba penyebab
(Runyon, 2012). Antibiotik sefalosporin generasi tiga merupakan pilihan karena memberikan
beberapa keuntungan antara lain memiliki spektrum luas, relatif aman dan toleransi baik,
efektivitas terbukti dari berbagai penelitian dalam mengatasi SBP (Koulaouzidis dkk., 2009).
Pasien yang mengalami ISK sebanyak 9 pasien mendapatkan terapi antibiotik golongan
floroquinolon yaitu ciprofloxacin dan levofloxacin. ISK yang dialami oleh pasien dikaitkan
dengan penggunaan kateter, maupun infeksi yang diperoleh saat di rumah sakit yang umumnya
disebabkan oleh suatu bakteri aerob Gram (-) seperti enterococus. Obat golongan floroquinolon
memiliki aktivitas yang baik terhadap bakteri Gram (-). Pemilihan floroquinolon telah sesuai
dengan guideline IDSA untuk pasien yang mendapatkan ISK di rumah sakit (Guglielmo, 2013).
Pneumonia yang dialami pasien adalah CAP sebanyak 4 pasien mendapatkan terapi ceftriaxone
dan HAP sebanyak 2 pasien mendapatkan ceftazidim.

Menurut IDSA guideline selain floroquinolon, salah satu terapi CAP pada pasien rawat
inap adalah obat-obat golongan β lactam seperti ceftriaxon (Mandell dkk., 2007). HAP salah satu
penyebabnya adalah bakteri Pseudomonas aeroginosa. Diantara obatobat golongan sefalosporin
yang memiliki aktivitas antipseudomonas adalah ceftazidim, sehingga penggunaan ceftazidim
telah sesuai dengan guideline IDSA, baik digunakan tunggal maupun kombinasi dengan
floroquinolon atau makrolida (American Thoracic Society dan Infectious Diseases Society of
America, 2005). Pasien yang mengalami ensefalopati hepatik mendapatkan terapi laktulosa. Hal
ini telah sesuai dengan standar terapi rumah sakit.

Disakarida non absorben merupakan gold standar terapi ensefalopati hepatik. Pada 3
pasien pasien, laktulosa dikombinasikan dengan neomisin. Pasien yang mendapatkan neomisin
mengalami perdarahan saluran cerna yang ditandai dengan hematemesis. Pasien yang
mendapatkan BCAA, LOLA atau keduanya merupakan pasien yang mengalami ensefalopati
hepatik derajat 3 atau 4. Berdasarkan penelitian Malaguarnera dkk., (2009) yang dilakukan pada
48 pasien dengan ensefalopati hepatik derajat 3 dan 4, kombinasi BCAA dan LOLA mampu
memperbaiki fungsi cognitive yang ditunjukan dari peningkatan skor GCS setelah diterapi 1 hari.
Kombinasi BCAA dengan LOLA memberikan keuntungan yang sangat signifikan. Di dalam
standar pelayanan medik tidak dijelaskan kriteria pasien yang harus mendapatkan kombinasi
laktulosa dengan neomisin, BCAA serta LOLA sedangkan pada kenyataanya tidak semua pasien
ensefalopati hepatik medapatkan kombinasi laktulosa, neomisin, BCAA dan LOLA sehingga
kedepannya perlu diperjelas tentang tatalaksana terapi ensefalopati hepatik. Selain terapi utama
yang sesuai dengan komplikasi sirosis hati, beberapa pasien juga mendapatkan hepatoprotektor
antara lain curcuma, Fructus Schisandrae, dan injeksi SNMC yang berfungsi untuk menjaga
fungsi hati. Pemberian hepatoprotektor tidak dicantumkan pada tatalaksana terapi sirosis hati
dalam standar pelayanan medik rumah sakit. Pada kenyataannya, obat-obat hepatoprotektor
terutama diberikan pada pasien yang mengalami peningkatan nilai SGOT dan SGPT.
Penggunaan Fructus Schisandrae dalam pengobatan hepatitis akut dan kronis telah memperoleh
hasil yang sangat baik (Yang dkk., 2012).

Akan tetapi sampai saat ini belum ada penelitian mengenai manfaat Fructus Schisandrae
pada pasien sirosis hati sehingga pemberiannya perlu diteliti lebih lanjut dengan analisis
efektivitas biayanya. Pada penelitian ini, diantara 70 pasien, yang mendapatkan injeksi SNMC
sebanyak 6 pasien. SNMC (Silymarin) diberikan pada pasien dengan kenaikan SGOT dan SGPT
yang tinggi. Sirosis hati jarang terjadi pada pasien dengan SNMC jangka panjang (Kumada,
2002). Studi lain menyebutkan bahwa Silymarin dibandingkan dengan placebo terbukti
memperbaiki profil SGOT dan SGPT tetapi tidak berefek pada perbaikan komplikasi penyakit
hati seperti dalam perbaikan kadar albumin dan protrombin time (Shiha dkk., 2009). Berdasarkan
hal tersebut disimpulkan bahwa pemberian injeksi SNMC bermanfaat untuk mencegah
perburukan fungsi hati agar tidak terjadi keparahan lebih lanjut tetapi tidak memberikan efek
perbaikan pada fungsi hati jika pasien telah mengalami sirosis hati. Oleh sebab itu pemberian
injeksi SNMC pada pasien sirosis hati perlu dikaji ulang karena harganya yang mahal akan
berpengaruh terhadap biaya sedangkan efektivitasnya terhadap sirosis hati belum terbukti.

E. Kesimpulan

Penggunaan obat dalam penatalaksanaan komplikasi sirosis hati belum semuanya sesuai
standar pelayanan medik RSUP Dr. Sardjito dan guideline APASL. Pada beberapa pasien yang
tidak membaik dengan terapi standar dilakukan modifikasi terapi yaitu pemberian PPI dan asam
traneksamat pada perdarahan varises esofagus.
BAB IV

METODE SOAP

( Subjective, Objective, Asessment, Plan)

 Subjective ( Keluhan Pasien )

Sirosis hati berdasarkan keluhan penyakit yang diderita oleh pasien pada Jurnal berjudul
Analisis Penggunaan Pbat pada Komplikasi Sirosis Hati.

 Objective ( Hasil Pemeriksaan )

Keparahan penyakit diklasifikasikan dengan Child Turcotte Score A, B dan C dengan


mayoritas pasien dengan skor keparahan B yaitu 36%. Dalam penelitian ini 50% sirosis hati
disebabkan oleh hepatitis B. Komplikasi yang terjadi pada pasien sirosis hati meliputi hipertensi
portal (varises esofagus) 46 kasus dan 24 kasus diantaranya mengalami perdarahan, ascites 36
kasus, infeksi 28 kasus dan ensefalopati hepatik 26 kasus.

Infeksi yang terjadi antara lain SBP sebanyak 13 pasien (36% dari pasien yang mengalami
ascites), ISK 9 pasien dan pneumonia 6 pasien. Kematian paling banyak disebabkan oleh
ensefalopati hepatik dan syok septik masing-masing sebesar 29%. Penyakit penyerta terbanyak
adalah diabetes mellitus sebanyak 16 kasus. DM juga menjadi faktor risiko terjadinya komplikasi
yang menyebabkan kematian (Garcia dkk., 2009). Pada penelitian ini 2 diantara 17 pasien yang
meninggal memiliki penyakit penyerta diabetes melitus.

 Asessment ( Diagnosis )

70 pasien dengan komplikasi utama hipertensi portal (varises esofagus) sebanyak 46 kasus,
perdarahan 24 kasus, ascites 36 kasus, infeksi 28 kasus dan ensefalopati hepatik 24 kasus.
 Plan ( Asuhan )
Daftar pustaka

Rosenack,J, Diagnosis and Therapy of Chronic Liver and Biliarry Diseases

Hadi.Sujono, Gastroenterology,Penerbit Alumni / 1995 / Bandung

Sherlock.S, Penyakit Hati dan Sitim Saluran Empedu, Oxford,England Blackwell


1997
Hakim Zain.L, Penatalaksanaan Penderita Sirosis Hepatitis
Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam jilid I, Edisi II, Penerbit Balai FK UI, Jakarta
1987
Anonymous http://alcoholism.about.com/library/blcirrosis.htm

Lesmana.L.A, Pembaharuan Strategi Terapai Hepatitis Kronik C, Bagian Ilmu


Penyakit Dalam FK UI. RSUPN Cipto Mangunkusumo

Anda mungkin juga menyukai