Anda di halaman 1dari 152

EFEKTIFITAS PURSED LIPS BREATHING DAN TIUP

BALON TERHADAP PENINGKATAN ARUS PUNCAK


EKSPIRASI PADA PASIEN PPOK DI RUANG
PERAWATAN PENYAKIT DALAM RSUD KOJA
TAHUN 2013

TESIS

Oleh
ARI SUSIANI
NPM: 2011980003

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2013
EFEKTIFITAS PURSED LIPS BREATHING DAN TIUP
BALON TERHADAP PENINGKATAN ARUS PUNCAK
EKSPIRASI PADA PASIEN PPOK DI RUANG
PERAWATAN PENYAKIT DALAM RSUD KOJA
TAHUN 2013

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh gelar


Magister Ilmu Keperawatan Keperawatan

Oleh
ARI SUSIANI
NPM: 2011980003

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2013
i
ii
LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

NAMA : Ari Susiani


NPM : 2011980003

Dengan ini menyatakan bahwa tesis ini adalah hasil karya sendiri yang merupakan
hasil penelitian, pengolahan dan analisis saya sendiri, serta bukan merupakan
replikasi maupun saduran dari hasil penelitian orang lain

Apabila terbukti tesis ini merupakan plagiat atau replikasi maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala akibat yang ditimbulkan menjadi
tanggung jawab saya

Jakarta, Oktober 2013

Ari Susiani

iii
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

Tesis, Oktober 2014


Ari Susiani

Efektifitas Pursed-Lips Breathing dan Tiup Balon terhadap Peningkatan Arus Puncak
Ekspirasi pada Pasien PPOK di Ruang Perawatan Penyakit Dalam RSUD Koja
Tahun 2013

X + 116 hal + 20 tabel + 3 skema + 6 lampiran

ABSTRAK

Penyakit Paru Obstruksi Kronik merupakan suatu penyakit paru yang berlangsung
lama ditandai dengan peningkatan resistensi terhadap aliran udara,air trapping, dan
hiperinflasi paru, dengan keadaan tersebut menyebabkan terjadinya penurunan pada
arus puncak ekspirasi. Pursed lips breathing dapat memperbaiki kelenturan rongga
dada serta diafragma dan melatih otot-otot ekspirasi untuk memperpanjang ekshalasi
Penelitian ini bertujuan menganalisis efektifitas pursed-lips breathing dan Tiup
Balon terhadap Peningkatan Arus Puncak Ekspirasi pada Pasien PPOK di Ruang
Perawatan Penyakit Dalam RSUD Koja Tahun 2013. Desain dalam penelitian ini
adalah kuasi eksperimen, dengan one group time series pre-post test design. Jumlah
responden 19 pasien PPOK. Variabel independent adalah tindakan pursed-lips
breathing saja, serta pursed - lips breathing dan tiup balon , variabel dependent
adalah kenaikan nilai arus puncak ekspirasi. Analisa bivariat menggunakan uji T-
paired diferent test. Hasil penelitian, rata-rata nilai arus puncak ekspirasi PPOK
berbeda bermakna antara sebelum dan sesudah intervensi pursed-lips breathing dan
tiup balon (P=0,000). Terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan
peningkatan arus puncak ekspirasi. Tidak ada hubungan antara tinggi badan dengan
peningkatan arus puncak ekspirasi (P=0,326). Jenis kelamin tidak berhubungan
terhadap peningkatan arus puncak ekspirasi (P= 0,827). Rekomendasi hasil penelitian
ini adalah pursed-lips breathing dan tiup balon dapat diterapkan oleh perawat pada
pasien PPOK sehingga dapat meningkatkan arus puncak ekspirasi.

Kata Kunci : Pursed-lips breathing dan tiup balon,Peningkatan arus puncak


ekspirasi, Pasien PPOK,
Daftar Pustaka : 31 (1999-2013)

iv
UNIVERSITY OF MUHAMMADIYAH
MASTER OF SCIENCE NURSING PROGRAM
GRADUATED PROGRAMS UNIVERSITY OF MUHAMMADIYAH JAKARTA

Thesis , October 2014


Ari Susiani

Pursed - Lips Breathing effectiveness and Balloon Blow to increase peak expiratory
flow in patients with COPD in Disease Treatment Room RSUD Koja Hospital in
2013

X + 116 things + 20 table + 3 scheme + 6 attachments

ABSTRACT

Chronic Obstructive Pulmonary Disease is a lung disease characterized by prolonged


increased resistance to airflow , air trapping and lung hyperinflation , with the state
led to a decrease in peak expiratory flow . Pursed lips breathing can improve the
flexibility of the chest cavity and diaphragm and expiratory muscles for exhalation to
extend this study to analyze the effectiveness of pursed - lips breathing and Balloon
Blow to increase peak expiratory flow in patients with COPD in Disease Treatment
Room Koja Hospital in 2013 . Design in this study is quasi-experimental , one-group
time series with pre - post test design . The number of respondents 19 COPD patients
. Independent variable is the act of pursed - lips breathing alone , and pursed - lips
breathing and inflatable balloon , the dependent variable is the increase in value of
peak expiratory flow . Bivariate analysis using a paired T- test diferent test . Results
of the study , the average value of peak expiratory flow COPD significantly different
between before and after intervention pursed - lips breathing and inflatable balloon (
P = 0.000 ) . There is a significant relationship between age and increase in peak
expiratory flow . There is no relationship between height with increase in peak
expiratory flow ( P = 0.326 ) . Gender was not related to the increase in peak
expiratory flow ( P = 0.827 ) . Recommendations resulting from this research is
pursed - lips breathing and inflatable balloon can be applied by nurses in COPD
patients in order to improve peak expiratory flow .

Keywords : Pursed - lips breathing and inflatable balloons , Increased peak


expiratory flow , COPD patients ,

Bibliography : 31 (1999-2013)

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat

dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian

dengan judul “ Efektifitas Pursed-Lips Breathing dan Tiup Balon Terhadap

Peningkatan Arus Puncak Ekspirasi Pada Pasien PPOK di Ruang Perawatan Penyakit

Dalam RSUD Koja Tahun 2013”. Laporan hasil penelitian ini disusun sebagai

salah satu persyaratan untuk menyelesaikan tahap akademik pada Program Magister

Keperawatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).

Penyusunan penelitian ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan serta arahan dari

banyak pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis dengan tulus ikhlas

menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada :

1. Hj Tri Kurniati S.Kp.,M.Kes, sebagai Ketua Prodi Program Magister

Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta.

2. Ns. Yani Sofiani, M.Kep.,Sp KMB, sebagai Sekretaris Prodi Program Magister

Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta dan selaku pembimbing I yang

telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingannya dan membantu

penulis dalam memberikan arahan, serta motivasi kepada peneliti sehingga

penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

3. Dr. Rohadi Haryanto, M.Sc, sebagai pembimbing II yang telah banyak

meluangkan waktu, memberikan masukan dengan secara teliti, serta arahan dalam

penggunaan metodologi, pengolahan data dan motivasi kepada peneliti dalam

penyusunan penelitian ini.

vi
4. Ns. Diana Irawati, M.Kep., Sp.KMB, sebagai penguji III yang telah memberikan

masukan dan mengsyahkan hasil penelitian ini.

5. Ns. Welas Riyanto, M.Kep., Sp.KMB, sebagai penguji IV yang telah meluangkan

waktunya untuk menguji sidang akhir dan meengsyahkan penelitian ini.

6. Muhammmad Hadi, SKM, M.Kep, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan

Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta.

7. Miciko Umeda, SKp, M.Biomed selaku koordinator mata ajar tesis yang telah

memberikan pengarahan tentang penyususnan tesis.

8. Dr. Togi Asman Sinaga, M.Kes selaku Direktur RSUD Koja, yang telah

memberikan ijin peneltian ini.

9. Ns. Lusinda, S.Kep, selaku kepala ruangan dan staf karyawan lantai 6 blok B

RSUD Koja yang telah memberikan ijin dan membantu dalam pelaksanaan

penelitan.

10. Seluruh dosen dan staf karyawan Program Studi Magister Keperawatan Sekolah

Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta.

11. Ibu Rusmawati Sitorus, SPd.,SKep.,M.A, selaku Direktur Akademi Keperawatan

Harum Jakarta dan staf, yang telah memberikan doa, kasih tulusnya, dan

motivasi yang tak terhingga.

12. Seluruh keluarga di Tegal (Ibu,mba susi,& adekku-adeku tersayang) serta

orang-orang tercinta yang telah memberikan dukungan, doa serta material yang

tak ternilai harganya.

13. Sobat S2 keperawatan Medikal Bedah UMJ (WES) atas kekompakanya, bantuan

dan yang telah banyak memberikan dukungan, motivasi serta doa yang tak

ternilai harganya selama mengikuti perkuliah ini.

vii
14. Rekan-rekan mahasiswa bimbingan ibu Ns. Yani Sofiani, M.Kep, Sp. KMB dan

bapak DR. Rohadi Haryanto, MSc, serta seluruh angkatan I/2011 Program

Magister Keperawatan Medikal Bedah Universitas Muhammadiyah Jakarta

dalam memberikan motivasi dalam keadaan suka dan duka.

15. Rekan-rekan Program Magister Keperawatan Medikal Bedah Universitas

Muhammadiyah Jakarta, atas semua bantuan dan kerjasamanya selama ini.

16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu telah ikut berperan serta

dalam penyelesaian penyusunan penelitian ini.

Peneliti menyadari penyusunan hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna,

peneliti sangat mengharapkan masukan, saran, kritik yang bersifat membangun.

Semoga Alloh SWT memberikan balasan atas semua kebaikan yang telah

bapak/ibu/saudara berikan.

Jakarta, Oktober 2013

Ari susiani

viii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi/derajat berat PPOK gambaran klinis


sebelum pengobatan ...................................................... 14
Tabel 2.2 Klasifikasi Tingkat Keparahan PPOK berdasarkan
Spirometri .................................................................... 15
Tabel 2.3 Klasifikasi PPOK berdasarkan tahapan penyakit ............... 16
Tabel 3.1 Definisi Operasional .................................................... 34
Tabel 5.1 Distribusi responden pasien PPOK berdasarkan
Frekuensi jenis kelamin di ruang penyakit dalam
RSUD Koja ............................................................. 69
Tabel 5.2 Distribusi umur responden pasien PPOK di ruang
Perawatan penyakit dalam RSUD Koja............................ 70
Tabel 5.3 Distribusi tinggi badan responden pasien PPOK
Diruang perawatan penyakit dalam RSUD Koja ............. 71
Tabel 5.4 Hasil pengukuran Arus Puncak Ekspirasi sebelum
Dan sesudah pursed-lips breathing respon (perempuan)
Pasien PPOK di ruang penyakit dalam RSUD Koja ........... 72
Tabel 5.5 Hasil pengukuran arus puncak ekspirasi sebelum
Sesudah pursed lips breathing dan tiup balon
Responden (perempuan) pasien PPOK di ruang
Perawatan penyakit dalam RSUD Koja ........................... 74
Tabel 5.6 Hasil pengukuran arus puncak ekspirasi sebelum
Dan sesudah pursed lips breathing responden (laki-laki)
Di ruang penyakit dalam RSUD Koja ............................ 76
Tabel 5.7 Hasil pengukuran arus puncak ekspirasi sebelum
dan sesudah pursed lips breathing dan tiup balon
responden (laki-laki) pasien PPOK di ruang
perawatan penyakit dalam RSUD Koja ............................ 78
Tabel 5.8 Kesimpulan perbedaan APE kenaikan sebelum
Sesudah PLB, dan kenaikan sebelum dan sesudah
PBLTB dilihat dari jenis kelamin responden
Pasien PPOK di ruang penyakit dalam RSUD Koja .......... 80
Tabel 5.9 Nilai rata-rata APE standar deviasi, P value hasil
T test sebelum dan sesudah latihan pursed lips breathing
Pada pasien (perempuan) PPOK di ruang penyakit
Dalam RSUD Koja ....................................................... 81
Tabel 5.10 Nilai rata-rata APE standar deviasi, P value hasil
T test sebelum dan sesudah latihan pursed lips breathing
Pada pasien (laki-laki) PPOK di ruang penyakit
Dalam RSUD Koja ....................................................... 84
Tabel 5.11 Nilai rata-rata APE standar deviasi, P value hasil
T test sebelum dan sesudah latihan pursed lips breathing
Dan tiup balon Pada pasien (perempuan) PPOK
Di ruang penyakit dalam RSUD Koja .............................. 86
Tabel 5.12 Nilai rata-rata APE standar deviasi, P value hasil

ix
T test sebelum dan sesudah latihan pursed lips breathing
Dan tiup balon Pada pasien (laki-laki) PPOK
Di ruang penyakit dalam RSUD Koja .............................. 89
Tabel 5.13 Hasil pengukuran mean APE sebelum dan sesudah
Pursed lips breathing pada responden (perempuan)
Pasien PPOK di ruang rawat penyakit dalam
RSUD Koja .................................................................. 91
Tabel 5.14 Hasil pengukuran APE sebelum dan sesudah pursed
Lips breathing pada responden (laki-laki) pasien PPOK
Di ruang rawat penyakit dalam RSUD Koja .................... 92
Tabel 5.15 Rata-rata kenaikan APE sebelum dan sesudah
Latihan pursed lips breathing antara laki-laki
Perempuan pasien PPOK di ruang penyakit
Dalam RSUD Koja ....................................................... 92
Tabel 5.16 Hasil pengukuran mean APE sebelum dan sesudah
pursed lips breathing dan tiup balon pada
responden (perempuan) PPOK di ruang rawat penyakit
dalam RSUD Koja ........................................................ 94
Tabel 5.17 Hasil pengukuran mean APE sebelum dan sesudah
pursed lips breathing dan tiup balon pada
responden (laki-laki) PPOK di ruang rawat penyakit
dalam RSUD Koja ......................................................... 95
Tabel 5.18 Rata-rata kenaikan APE sebelum dan sesudah
Latihan pursed lips breathing dan tiup balon antara
laki-laki Perempuan pasien PPOK di ruang penyakit
Dalam RSUD Koja .................................................. ........ 97
Tabel 5.19 Usia dan tinggi badan responden perempuan dengan
Dengan kenaikan APE sebelum dan sesudah latihan
Pursed lips breathing di ruang penyakit dalam
RSUD Koja .................................................................. 97
Tabel 5.20 Usia dan tinggi badan responden laki-laki
Dengan kenaikan APE sebelum dan sesudah latihan
Pursed lips breathing di ruang penyakit dalam
RSUD Koja .................................................................. 98

x
DAFTAR SKEMA

1. Skema 2.1 Kerangka Teori .................................................. 51


2. Skema 3.1 Kerangka konsep .................................................. 53
3. Skema 4.1 Alur Tindakan penelitian ....................................... 64

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Penjelasan Penelitian

Lampiran 2 : Lembar Persetujuan

Lampiran 3 : Permohonan Ijin Penelitian

Lampiran 4 : Balasan Permohonan Izin Penelitian dari RSUD Koja

Lampiran 5 : Prosedur Pemeriksaan APE

Lampiran 6 : Pedoman Prosedur Aktivitas Meniup Balon

Lampiran 7 : Lembar Hasil Observasi Penelitian

xiii
BIODATA

Nama : Ari Susiani


Tempat/Tanggal Lahir : Tegal, 09 Februari 1979
Alamat : Jln. Cumi No.37 Tanjung Priok Jakarta Utara

xiv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................


LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................. i
ABSTRAK ................................................................. ii
ABSTRAK .................................................................. iii
KATA PENGANTAR .................................................................. iv
DAFTAR ISI .................................................................. vii
DAFTAR TABEL .................................................................. viii
DAFTAR SKEMA .................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................. xi

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................... ....... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................... 7
C. Tujuan penelitian ................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 9

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA


A. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ...................................................... 11
B. Fungsi Ventilasi Paru-paru ...................................................... 37
C. Pursed-Lips Breathing ....................................................... 46
D. Therapeutic Play ....................................................... 49
E. Kerangka Teori ........................................................ 51

BAB III : KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI


OPERASIONAL
A. Kerangka konsep ................................................................ 52
B. Hipotesis ................................................................ 53
C. Definisi Operasional ................................................................ 54

xv
BAB IV : METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian ................................................................ 57
B. Populasi dan sampel ................................................................ 58
C. Tempat Penelitian ................................................................ 60
D. Waktu Penelitian ................................................................ 61
E. Etika Penelitian ................................................................ 61
F. Alat pengumpul data dan Prosedur penelitian ...................................... 62
G. Prosedur Pengumpul Data ............................................................... 63
H. Validitas dan Reabilitas instrumen ................................................... 65
I. Pengolahan data ................................................................ 66
J. Rencana Analisa Data ................................................................ 67

BAB V : HASIL PENELITIAN


A. Analisa Univariat ................................................................ 69
B. Analisa Bivariat ................................................................. 80

BAB VI : PEMBAHASAN
A. Interpretasi dan diskusi hasil .................................................... 100
B. Keterbatasan Penelitian ................................................................ 110
C. Implikasi Hasil penelitian ................................................................ 110

BAB VII : KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan ....................................................................... .... 114
B. Saran ............................................................................ 115

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xvi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Proses pergerakan udara ke dalam dan keluar paru-paru dapat berlangsung

secara sempurna memerlukan fungsi paru yang baik dari saluran sistem

pernapasan, otot-otot pernapasan, elastisitas jaringan paru-paru dan dinding

dada. Proses oksigenisasi mengalami ganguan jika fungsi dari saluran sistem

pernapasan mengalami gangguan, seperti yang terjadi pada pasien yang

menderita penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) (Price &Wilson,2002)

PPOK merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang

telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan

oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor

risiko, semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia

muda , serta pencemaran udara didalam ruangan maupun diluar ruangan dan

ditenpat kerja.

Di Indonesia PPOK sudah menjadi masalah kesehatan yang membutuhkan

perhatian, dimana jumlah penderita PPOK di Indonesia meningkat dari waktu

ke waktu. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen

Kesehatan Republik Indonesia tahun 1997 dan Survei Kesehatan Nasional

tahun 2000, Di Indonesia PPOK bersama asma bronkial merupakan

1
2

penyebab, peringkat kelima. Dalam South East Medical Center (SEAMIC)

health Statistic yang diterbitkan Maret 2011 tampak bahwa bronkitis ,

emfisema, dan asma merupakan penyebab kematian ke 5 di negara kita.

World Health Organization (WHO) memperkirakaan ± 1 % masyarakat

berusia antara 45-60 tahun, dan ± 4% masyarakat berusia lebih dari 60 tahun

menderita PPOK yang dapat menyebabakan kematian sebesar lebih dari 2,75

juta jiwa/tahun (Ruane,2004, Global Initiative for COPD).

Jumlah pasien PPOK dengan derajat sedang hingga berat di negara-negara

Asia Pasifik diperkirakan mencapai 56,6 juta pasien dengan angka prevalensi

6,3 % dan merupakan penyebab kematian keempat di dunia (The Asia Pasifik

Chronic Pulmonary Disease, 2006)

PPOK merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran

udara didalam saluran napas yang tidak reversibel. Gangguan ini bersifat

progresif dan disebabkan karena inflamasi kronik akibat pajanan partikel atau

gas beracun yang terjadi dalam waktu lama (PDPI, 2010). Menurut GOLD

(Global Inisiative for Chronic Obstructive Lung Disease), PPOK adalah

penyakit paru yang dapat dicegah diobati dengan beberapa efek

ektrapulmonal yang signifikan berkontribusi terhadap tingkat keparahan

penderita. Karakteristik penyakit ini ditandai oleh hambatan aliran udara di

saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara

tersebut biasanya bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi


3
pulmonal terhadap partikel atau gas berbahaya. Hal ini berkaitan dengan

variasi kombinasi dari kelainan saluran nafas dan parenkim. Adanya gejala

sesak nafas, berkurangnya kapasitas kerja dan kekambuhan yang sering

berulang menyebabkan menurunnya kualitas hidup pasien.

Pasien PPOK akan mengalami peningkatan tahanan aliran udara, air

trapping, dan hiperinflasi paru. Hiperinflasi paru menyebabkan masalah pada

otot inspiratori secara mekanik, sehingga terjadi peningkatan

ketidakseimbangan antara tugas magnetik pada pernapasan, kekuatan dan

kemampuan usaha bernafas untuk memenuhi volume tidal (Smeltzer & Bare,

2005). Pernapasan pasien PPOK rata-rata menjadi cepat, sehingga terjadi

kelelahan otot diagfragma. Hal ini karena terjadi penurunan aktivitas sistem

syaraf yang menurunkan aliran darah ke otot, efeknya otot mengalami

kelelahan dan meningkatnya metabolisme anaerob yang akan memperberat

kerja jantung dan mendukung terjadinya keterbatasan aktivitas. Keterbatasan

aktivitas merupakan keluhan utama penderita PPOK yang sangat

mempengaruhi kualitas hidup. Tujuan penatalaksanaan PPOK terutama

suportif, paliatif, meredakan gejala, meningkatkan kapasitas fungsional dan

memperbaiki kualitas hidup pasien. Salah satu strategi penatalaksanaan

PPOK adalah dengan rehabilitasi paru. Komponen dan rehabilitasi paru

adalah edukasi, terapi fisik (latihan pernafasan, fisioterapi dada, postural

drainase), latihan rekondisi (jalan kaki, bersepeda, berlari) dan bantuan

psikososial.
4
Pasien PPOK yang tidak segera ditangani akan mengalami gagal pernapasan

yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya penurunan

kekuatan otot pernapasan sehingga recoil dan compliance paru menurun.

Penurunan ini akan menyebabkan gangguan aliran udara secara progresif,

sehingga dapat menyebabkan gangguan perfusi yang dapat berkembang

menjadi hipoksemia (Price & Wilson, 2002). Bila terjadi obstruksi berat,

memungkinkan ventilasi alveolar yang tidak adekuat dengan akibat terjadi

hipoventilasi dan hipoksemia.

Hasil pemeriksaan spirometri PPOK didapatkan rasio penurunan forced

expiration volumein 1 second (FEV1) dan rasio FEV1 / FVC yang abnormal,

dan terjadi penurunan arus puncak ekspirasi (APE) (Black & Hawk, 2005).

Komponen rehabilitasi paru yaitu nutrisi, olahraga, dan latihan pernapasan

(Lewis, dirksen, & Heitkemper, 2000). Selama menderita PPOK, pasien

membutuhkan nutrisi lebih banyak untuk metabolisme sehingga dihasilkan

energi yang sesuai dengan kebutuhan untuk perbaikan kerusakan sel paru.

Jenis diet yang dibutuhkan adalah tinggi protein rendah karbohidrat oleh

karena itu pasien PPOK yang dirawat di RSUD Koja jakarta mendapatkan

jenis diet tinggi protein rendah karbohindrat.

Pasien PPOK akan mengalami peningkatan frekuensi pernapasan dengan

ekspirasi memanjang sebagai kompensasi dari sesak napas, biasanya otot-otot

asesoris pernapasan bagian dada atas digunakan secara eksesif untuk


5

membantu pergerakan dada. Otot-otot ini tidak dapat digunakan dalam jangka

waktu lama sehingga fungsi ventilasi paru mengalami penurunan (Black &

Hawk, 2005). Latihan pernapasan dapat membantu meningkatkan fungsi

ventilasi paru pasien selama istirahat dan aktivitas, sangat dibutuhkan pada

pasien PPOK, karena pasien tidak hanya mengalami perubahan dalam

dinding mekanik dada yang dapat mengurangi efektifitas pengembaangan

diafragma frekuensi pernapasan.

Latihan pernapasan yang dilakukan dalam satu minggu akan terjadi efek

positif pada pasien PPOK (Spengler et al, 2005). Bila latihan ini dilakukan

selama 20-30 menit dalam sehari dapat meningkatkan efek maksimal (Lewis,

Driksen, & Heitkemper, 2000). Melakukan latihan ini secara teratur setiap

hari dapat memperkuat otot- otot pernapasan. Otot pernapasan menyebabkan

ventilasi paru dengan mengempis dan mengembang secara bergantian yang

kemudian menyebabkan peningkatan dan penurunan tekan pada alveolus.

Sebelum melakukan latihan pernapasan agar mendapatkan hasil yang lebih

baik sebelumnya dilakukan teknik relaksasi otot , karena pada pasien yang

mengalami sesak napas akan mengalami kekakuan pada otot-otot bantu

pernapasan (Hoeman,1996). Pengukuran jumlah aliran udara maksimal yang

dapat dicapai saat ekspirasi paksa dalam waktu tertentu dapat dilakukan

dengan pemeriksaan sederhana menggunakan alat Peak Expiratory Flow

meter (PEF meter) (PDPI, 2006)


6

Fenomena yang terjadi dilapangan pasien PPOK cenderung takut melakukan

latihan/aktivitas, karena mereka beranggapan bila melakukan latihan/aktivitas

dapat menyebabkan timbulnya sesak nafas. Selain itu pasien PPOK yang

dirawat di rumah sakit jarang diajarkan tentang cara dan manfaat latihan

pernafasan secara spesifik. Pursed lips breathing sangat dibutuhkan pada

pasien PPOK, karena pasien tidak hanya mengalami kelemahan otot-otot

pernapasan tetapi mereka juga mengalami perubahan dalam dinding mekanik

dada yang dapat mengurangi efektifitas pengembangan diafragma dan

frekuensi pernapasan.

Berdasarkan wawancara pada perawat di ruang penyakit dalam lantai enam

RSUD Koja bulan April 2013, latihan pernapasan diruangan secara khusus

belum diajarkan dan hanya dilakukan saat pasien akan dilakukan spirometri

di Poli Penyakit Dalam. Kondisi pasien PPOK yang mengalami gangguan

pada sistem pernafasan, maka pasien memerlukan kebutuhan yang tidak

dapat pasien penuhi dengan sendirianya, terutama oksigenisasi yang

merupakan kebutuhan dasar. Disinilah peran perawat sebagai pemberi

pelayanan langsung serta sebagai pendidik sangat dibutuhkan guna dapat

menjelaskan manfaat dan tujuan dilkukanya latihan pernafsaan pada pasien

PPOK dalam memenuhi kebutuhan oksigenisasi.

RSUD Koja merupakan rumah sakit umum daerah yang berlokasi didaerah

Jakarta Utara dengan angka rawat inap pasien PPOK pada tahun 2012 yaitu

120 pasien, dilihat dari angka rawat inap yang cukup tinggi hal ini dapat
7

disebabkan dari penyebab PPOK seperti: debu dan polusi udara , dimana

didaerah Jakarta Utara khususnya daerah Tanjung Priok yang lokasinya

berdekatan dengan Pelabuhan barang Tanjung Priok pada saat ini sedang

dilakukanya pembangunan jalan tol yang langsung menuju kepelabuhan dan

banyaknya kendaraan bermotor yang beroperasi dijalanan mengeluarkan gas

buang yang banyak dan pekat. Gas buang dari kendaraan tersebut

menimbulkan polusi udara. Dengan meningkatkatnya pembangunan jalan dan

pembuangan gas dari kendaraan bermotor inilah faktor risiko terbesar yang

terjadi di sekitar daerah Jakarta Utara.

Berdasarkan fenomena-fenomena diatas, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul “Efektifitas Pursed-Lips Breathing dan

Tiup Balon Terhadap Peningkatan Arus Puncak Ekspirasi Pada Pasien PPOK

di Ruang Perawatan Penyakit Dalam RSUD Koja”

B. Rumusan Masalah

Pada pasien PPOK akan mengalami kondisi kesehatan yang cenderung

menurun, hal ini terjadi disebabkan karena gagal pernapasan yang

mengakibatkan terjadinya kematian. Pasien PPOK akan mengalami

penurunan fungsi ventilasi paru yang dapat dilihat dari hasil pemeriksaan

APE / FEV1. Hasil pemeriksaan APE menunjukkan fungsi ventilasi paru

yang pada setiap pasien PPOK dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia, tinggi

badan. Arus puncak ekspirasi yang cenderung menurun mengakibatkan


8

pasien PPOK mengalami gangguan pernafasan dalam aktivitas sehari-hari

sehingga kualitas hidup semakin menurun.

Latihan pursed-lips breathing dalam penelitian terdahulu menjelaskan banyak

sekali manfaatnya untuk pasien dengan gangguan sistem pernafasan dan

pasien pasca operasi torakoabdominal, karena dengan melakan pursed-lips

breathing meningkatkan dan mengkoordinasi otot-otot pernapasan yang

dapat membantu peningkatan ventilasi paru. Pursed-lips breathing dan tiup

balon pernah dilakukan pada pasien asma di RSUD Banyumas (2006) dan

didapatkan hasil menunjukan adanya pengaruh latihan pursed-lips breathing

dengan tiup balon dalam meningkatkan ventilasi paru pada pasien asma yang

mengalami obstruksi. Pursed-lips breathing sangat mudah dilakukan dan

biayanya murah, bahkan pada pasien yang tidak mampu turun dari tempat

tidurpun dapat dilakukan. Akan tetapi banyak pasien PPOK yang belum

melakukan latihan ini secara rutin. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian

ini. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka pertanyaan dalam

penelitian ini adalah “Apakah pursed-lips breathing dan tiup balon efektif

dalam meningkatkan arus puncak ekspirasi pada pasien PPOK yang dirawat

diruang penyakit dalam RSUD Koja di RSUD Koja Jakarta Utara?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
9

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektifitas pursed-lip

breathing dan tiup balon terhadap puncak arus ekspirasi pada pasien

PPOK yang dirawat diruangan penyakit dalam RSUD Koja.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi karakteristik pasien PPOK ( usia, jenis kelamin, dan

Tinggi badan ) di rawat diruang penyakit dalam RSUD Koja.

b. Mengetahui nilai arus puncak ekspirasi sebelum dan sesudah Pursed-

lips breathing pada pasien PPOK yang dirawat diruang penyakit

dalam RSUD Koja.

c. Mengetahui nilai arus puncak ekspirasi sebelum dan sesudah pursed-

lips breathing dan tiup balon masing-masing tahap pada pasien PPOK

yang dirawat di ruang penyakit dalam RSUD Koja.

d. Mengetahui perbedaan hasil rata-rata Arus Puncak ekspirasi untuk

Pursed-lips breathing dan tiup balon sebelum dan sesudah antara

tahap I samapai III menurut karakteristik responden pada pasien

PPOK yang diraat di ruang penyakit dalam RSUD Koja.

e. Menjelaskan perbedaan kenaikan APE pada karakteristik pasien

PPOK ( faktor confounding ) sebelum dan sesudah Pursed-lips

breathing serta pursed-lips breathing dan tiup balon masing-masing

tahap I sampai tahap III setelah latihan pada pasien PPOK dirawat

diruang penyakit dalam RSUD Koja

D. Manfaat Penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi :


10

1. Bagi Pelayanan Keperawatan

Penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan

pemberian asuhan keperawatan pada pasien PPOK yang dirawat di rumah

sakit ataupun dalam perawatan keluarga dan masyarakat, yang berfokus

pada mengurangi gejala, mencegah kecacatan dan meningkatkan kualitas

hidup. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan bagi

perawatan PPOK. Melalui pemberian Latihan pernapasan dengan cara

pursed-lips breathing dan tiup balon dalam konteks asuhan keperawatan,

sehingga pasien dapat melaksanakan latihan pernapasan secara mandiri

tanpa bantuan dari perawat.

2. Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan keilmuan keperawatan

yang dapat dijadikan dasar dalam mengembangkan intervensi

keperawatan khususnya yang dapat dilakukan diruangan sehingga terjadi

penurunan gejala sesak, peningkatan mobilisasi dan kualitas hidup pasien

dan pasien PPOK dapat mengalami perbaikan yang sangat berarti selama

dan sesudah perawatan.

3. Bagi Penelitian selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai data dasar dalam

melakukan penelitian yang berkaitan dengan latihan pernapasan pada

pasien PPOK dilihat dari faktor yang mempengaruhi peningkatan

ventilasi paru secara optimal sebelum dan sesudah pemberian obat

bronkhodilator .
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini peneliti akan menguraikan beberapa konsep, teori, dan hasil

penelitian yang telah dilakukan, yang berkaitan dengan PPOK, fungsi ventilasi

paru, pursed lips breathing dan kerangka konsep.

A. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)

1. Pengertian PPOK

PPOK merupakan suatu istilah digunakan untuk sekelompok penyakit

paru yang berlangsung lama dan ditandai dengan peningkatan resistensi

terhadap alairan udara sebagai patofisiologi utamanya (Price &

Wilson,2006). Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang

dikenal dengan PPOK adalah bronkitis kronis, emfisema paru dan asma

bronkial. Bronkitis kronis adalah suatu gangguan klinis yang ditandai

dengan pembentukan mukus yang berlebihan dalam bronkus

dimanifestasikan sebagai batuk kronis dan pembentukan mukus mukoid

ataupun mukopurulen sedikitnya 3 bulan dalam setahun, sekurang-

kurangnya 2 tahun berturut-turut. Definisi ini mempertimbangkan bahwa

penyakit-penyakit seperti bronkiektasis dan tuberkulosis paru juga

menyebabkan batuk kronis dan produksi sputum, tetapi keduanya tidak

termasuk dalam kategori ini. Emfisema paru merupakan suatu perubahan

anatomi parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveolus dan

duktus alveolaris, serta destruksi dinding alveolar. Sedangkan asma

merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitifitas cabang-

11
12
cabang trakeabronkial terhadap berbagai jenis rangsangan. Keadaan ini

bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran pernafasan secara

periodik dan reversible akibat bronkospasme, oedem mukosa dan

hipersekresi mukus (Price & Wilson , 2006).

Global Initiative for Chronis Obstructive Lung Disease (GOLD, 2013)

juga menyatakan bahwa PPOK adalah penyakit yang disebabkan oleh

beberapa hal yang dapat dicegah dan diobati, dimana beberapa efek

ekstrapulmonal memberikan kontribusi pada keparahan yang dialami

pasien. Kerusakan komponen paru ditandai dengan keterbatasan aliran

udara yang tidak sepenuhnya reversible, bersifat progresif dan

berhubungan dengan respon inflamasi abnormal paru pada gas atau

partikel berbahaya.

PPOK merupakan kondisi irreversibel yang berkaitan dengan sesak napas

saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru. Unsur

patofisiologi yang utama pada PPOK adalah gangguan aliran udara yang

progresif dan dapat menjurus pada terjadinya kegagalan pernapasan. Dua

unsur penyebab saling berkaitan adalah hilanganya kepegasan (loos of

recoil) serta peningkatan tahanan saluran pernapasan. PPOK dijabarkan

sebagai keadaan klinik dengan nilai APE menurun dan rasio FEV 1/FVC

yang abnormal, yang tidak reversibel sepenuhnya dengan bronkodilator

(Han & Martinez, Diagnosis and Treatment of Mild to Moderate COPD).


13

Sedangkan PDPI (2010) menyatakan Penyakit paru obstruksi kronik

(PPOK) adalah penyakit yang ditandai adanya hambatan udara di saluran

napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial.

Obstruksi jalan napas yang menyebabkan reduksi udara beragam

tergantung pada penyakit. Pada bronkitis kronik dan bronkiolitis,

penumpukan lendir dan sekresi yang sangat banyak menyumbat jalan

napas. Pada emfisema, obstruksi pada pertukaran oksigen dan

karbondioksida terjadi akibat kerusakan dinding alveoli yang disebabkan

oleh overekstensi ruang udara dalam paru (Brunner & Suddarth, 2002).

Pada asma , jalan napas bronkial menyempit dan membatasi jumlah

udara yang mengalir ke dalam paru-paru. Protokol pengobatan tertentu

digunakan dalam semua kelalaian ini, meski patofisiologi dari masing-

masing kelalaian ini membutuhkan spesifik.

PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan interaksi

genetik dengan lingkungan : merokok, polusi udara, dan pemajanan di

tempat kerja (terhadap batubara, kapas, padi-padian) merupakan faktor-

faktor risiko penting yang menunjang terjadinya penyakit ini. Prosesnya

dapat terjadi dalam rentang lebih dari 20 sampai 30 tahunan. PPOK juga

ditemukan pada individu yang tidak mempunyai enzim yang normal guna

mencegah penghancuran jaringan paru oleh enzim tertentu. PPOK dapat

terlihat sejak dini dalam kehidupan dan merupakan kelainan yang


14

mempunyai kemajuan lambat yang timbul bertahun-tahun sebelum

awitan gejala-gejala klinis kerusakan fungsi paru.

2. Klasifikasi PPOK

World health Organization (WHO) melalui Global Initiative for Chronic

Obstructive Lung Disease (GOLD) 2006 melakukan pengklasifikasian

terhadap PPOK, sebagai berikut:

Tabel 2.1. Klasifikasi / Derajat Berat PPOK Gambaran

Klinis sebelum Pengobatan

Derajat Fungsi Faal Paru

Ringan  VEP1 (FEV1) ≥ 80% nilai prediksi

 APE ≥ 80% terbaik

 VEP1 /KVP < 75%

Sedang  VEP1 (FEV1) 30% - 80% nilai prediksi

 APE 30% - 80% terbaik

 VEP1 / KVP< 75%

Berat  VEP1 (FEV1) ≤ 30% nilai prediksi

 APE ≤ 30% terbaik

 VEP1 / KVP< 75%

Black dan Hawk, (2005), Medical surgical nursing , (ed 7th), St. Louis:
Elsevier,PDPI, (2003), PPOK Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
di Indonesia , Jakarta .

a. Klasifikasi Tingkat Keparahan Berdasarkan Spirometri

Spirometri adalah alat yang digunakan untuk mengukur fungsi paru,

diperlukan untuk mendiagnosis dan memberikan gambaran keparahan

patofisiologi yang disebabkan oleh PPOK. Berdasarkan pengukuran


15

fungsi paru dengan menggunakan spirometri, PPOK diklasifikasikan

sebagai berikut :

Tabel 2.2

Klasifikasi Tingkat Keparahan PPOK Berdasarkan Spirometri

Tahap Keterangan

Tahap I : Mild  FEV1/ FVC < 0,70%

 FEV1 ≥ 80% predicted

Tahap II : Moderate  FEV1/ FVC < 0,70

 50% ≤ FEV1 < 80% predicted

Tahap III : Severe  FEV1/ FVC < 0,70

 30% ≤ FEV1 < 50% predicted

Tahap IV : Very Severe  FEV1/ FVC < 0,70

FEV1 < 30% predicted FE1 < 50%

predicted plus chronic respiratory

failure

Ket : FEV1: Forced Expiratory Volume dalam 1 detik

FVC : Forced Vital Capacity

Sumber : Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease

(2006)

b. Klasifikasi PPOK Berdasarkan Tahapan Penyakit

WHO mengkladifikasikan penyakit PPOK berdasarkan tahapan

penyakitnya sebagai berikut :


16

Tabel 2.3

Klasifikasi PPOK Berdasarkan Tahapan Penyakit

Tahap Keterangan

Tahap I : Mild  Keterbatasan aliran udara

ringan FEV1/FVC<0,70 FEV1 ≥

80%

 Gejala batuk kronis

 Sputum produktif

 Pasien tidak menyadari adanya

penurunan fungsi paru

Tahap II : Moderate  Keterbatasan aliran udara buruk

FEV1/FVC<0,70;50%≤

FEV1<80%

 Batuk kronis

 Sputum produktif

 Sesak nafas saat aktifitas

 Pasien mulai mencari pelayanan

kesehatan karena keluhannya

Tahap III : Severe  Keterbatasan aliran udara buruk

FEV1/FVC<0,70;30%≤

FEV1<50%

 Batuk kronis
17

 Sputum produktif

 Sesak nafas sangat berat

 Mengurangi aktifitas, kelelahan

 Eksaserbasi berulang

 Mengurangi kualitas hidup

Tahap IV : Very Severe  Keterbatasan aliran udara

sangat buruk

FEV1/FVC<0,70;30%≤

FEV1<50% ditambah kegagalan

nafas kronis

 Gagal nafas (PaO2: <60mmHg,

dengan atau tanpa Pa CO2 : 50

mmHg

 Batuk kronis

 Sputum produktif

 Sesak nafas sangat berat

 Eksaserbasi berulang

 Mengurangi kualitas hidup

 Terjadi komplikasi gagal

jantung

 Mengancam nyawa

Sumber : Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease

(2006)
18

3. Faktor Risiko PPOK

PPOK adalah penyakit kronis yang merupakan penyebab utama

morbiditas dan mortalitas diseluruh dunia dimana mengakibatkan

beban ekonomi dan sosial yang akan terus meningkat. PPOK telah

berkembang karena interaksi genenvirenment (GOLD, 2013).

Faktor-faktor risiko pada PPOK meliputi :

a. Genetik

α-1 – antitripsin (AAT) adalah sejenis protein yang berperan

sebagai inhibitor diproduksi di hati dan bekerja pada paru-paru.

Seseorag dengan kelainan genetik kekurangan enzim tersebut

maka akan berpeluang lebih besar untuk terserang PPOK. Enzim

ini bekerja dengan menetralkan enzim proteolitik yang sering

dikeluarkan pada saat terjadi peradangan dan merusak jaringan,

termasuk jaringan paru, sehingga kerusakan jaringan lebih jauh

dapat dicegah. Defisiensi AAT adalah suatu kelainan yang

diturunkan secara autonom resesif, yang sering menderita

emfisema paru adalah pasien dengan gen S atau Z. Emfisema

paru atau lebih cepat timbul bila pasien tersebut merokok. Gen

lain yang diperkirakan terlibat pada patofisiologi PPOK lainya,

adalah Transforming Growth Faktor Beta 1 (TGF-β1).

Microsomal Expoxide Hydrolase I (mEPHXI) dan Tumor

Necrosis Faktor Alpha (TNFα) (GOLD, 2013; Ignatavicius &

Workman, 2006, Smeltzer & Bare,2008)


19

b. Partikel

Setiap jenis partikel tergantung ukuran dan komposisinya akan

memberikan kontribusi yang berbeda terhadap risiko yang

terjadi. Dari banyaknya partikel yang terhirup selama seumur

hidup akan meningkatkan risiko berkembangnya PPOK.

1) Asap tembakau

Asap rokok merupakan faktor risiko utama penyebab

terjadinya PPOK. Perokok mempunyai prevalensi lebih

tinggi mengalami gangguan pernapasan (GOLD, 2013).

Menurut buku Report of the WHO Expet Commite on

Smoking Control, merokok adalah penyebab utama

timbulnya bronkitis kronis dan emfisema paru. Terdapat

hubungan yang erat antara merokok dan penurunan VEP

(tekanan volume ekspirasi) dalam 1 detik. Secara patologis

merokok akan menyebabkan hyperplasia kelenjar mukus

bronkus dan metaplasia skuamusa epitel saluran pernapasan

bronkokonstriksi akut. Selain itu merokok juga dapat

menyebabkan inhibisi aktifitas sel rambut getar, makrofag

alveolar dan surfaktan (Price & Wilson, 2006; Ignatavicius

Workman, 2006)
20

2) Debu dan bahan kimia

Debu organik, non organik, bahan kimia dan asap merupakan

faktor risiko yang dapat menyebabkan seseorang terserang

PPOK. Dalam sebuah survei yang dilakukan Thoracic

Society para pekerja yang terpapar debu dan bahan kimia

diperkirtakan 10-20% mengalami gangguan fungsional paru

karena terserang PPOK (GOLD, 2013)

3) Polusi didalam rumah

Polusi udara didalam ruangan disebabkan oleh penggunaan

biomassa termasuk batu bara, kayu, kotoran hewan, dan sisa

tanaman yang dibakar dalam api terbuka di dalam tempat

tinggal dengan ventilasi yang buruk. Penggunaan batu bara

sebagai sumber energi untuk memasak, pemanas dan

kebutuhan rumah tangga lainya meningkatkan risiko

terjadinya PPOK. Pembakaran kayu dan bahan bakar

biomassa lainnya diperkirakan sebagai penyebab kematian

dua juta perempuan dan anak- anak setiap tahun (GOLD,

2013)

4) Polusi diluar rumah

Tingginya kadar polusi ulang didaerah perkotaan berbahaya

bagi individu terutama pembakaran dari bahan bakar

kendaraan, bila ditambah dengan merokok akan


21

meningkatkan risiko terjadinya PPOK. Zat - zat kimia yang

juga dapat menyebabkan bronkitis adalah zat pereduksi

seperti O2, zat pengoksidasi N2O, hidrokarbon, aldehid dan

ozon (Price & Wilson, 2006)

c. Pertumbuhan dan perkembangan paru

Pertumbuhan dan perkembangan paru terkait dengan proses

yang terjadi selama kehamilan, kelahiran dan proses tumbuh

kembang. Setiap faktor yang mempengaruhi pertumbuhan paru-

paru selama kehamilan dan tumbuh kembang anak akan

memilki potensi untuk meningkatkan risiko terserang PPOK.

Dalam sebuah penelitian terdapat hubungan positif anatara berat

lahir dan fungsi paru yang akan berdampak pada saat seseorang

setelah dewasa (GOLD, 2013)

d. Stress Oksidasi

Paru – paru yang terpapar oksidan secara terus menerus baik

yang berasal dari endogen (sel fagosit dan jenis lainnya) ataupun

secara eksogen (polusi udara dan merokok) akan berisiko lebih

tinggi terserang PPOK. Di dalam paru terdapat keseimbangan

antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak

ada kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan akan

menimbulkan kerusakan jaringan elastis paru. Bentuk dan

susunan paru akan berubah dan timbul emfisema. Sumber


22

elastase yang penting adalah pankreas, sel-sel PMN

(Polymorphonuclear) dan makrofag alveolar PAM

(Polymorphonuclear Alveolar Macrophage). Perangsangan pada

paru antara lain oleh asap rokok dan infeksi, menyebabkan

elastase bertambah banyak. Aktifitas sistem anti elastase yaitu

sistem enzim α-1 protease-inhibitor terutama enzim α-1 anti

tripsin (α-1 globulin), menjadi menurun. Akibat tidak ada lagi

keseimbangan antara elatase dan anti elastase akan

menimbulkan kerusakan jaringan elastin paru dan kemudian

emfisema (GOLD, 2013)

e. Jenis Kelamin

Jenis kelamin dalam menentukan risiko terjadinya PPPOK

masih belum jelas. Dimasa lalu penelitian menunjukkan

prevalensi dan kematian pada PPOK lebih besar terjadi pada laki

– laki dari pada perempuan. Pada penelitian dibeberapa negara

akhir – akhir ini prevalensi penyakit ini sekarang hampir sama

antar laki-laki dan perempuan, yang mungkin mencerminkan

perubahan gaya hidup merokok dengan menggunakan tembakau

(GOLD, 2013)

f. Infeksi

Infeksi oleh virus dan bakteri memberikan kontribusi dalam

berkembangnya PPOK. Riwayat infeksi pernapasan pada anak –


23

anak telah berhubungan dengan fungsi paru-paru yang

berkurang. Dan meningkatnya gejala pernapasan ganda pada

saat dewasa. Infeksi saluran pernafasan bagiaan atas pada

seseorang pasien brokitis kronik hampir selalu menyebabkan

infeksi paru bagian bawah, serta menambah kerusakan paru.

Eksaserbasi bronkitis kronik disangka paling sering diawali

dengan infeksi virus, yang kemudian menyebabkan infeksi

sekunder oleh bakteri. Bakteri yang diisolasi paling banyak

adalah Haemophilus Influenzae dan Streptococcus Pneumonia

(Price & Wilson, 2006; Ignatavicius & Workman, 2006 ;

GOLD, 2013)

g. Status sosial ekonomi

Dalam sebuah penelitian menyebutkan risiko PPOK

berkembang terbalik dengan status sosial ekonomi. Kematian

pada pasien bronkitis kronis terjadi lebih banyak pada golongan

sosial ekonomi rendah. Pola ini diperkirakan mencerminkan

udara yang buruk, kepadatan lingkungan, gizi buruk sebagai

faktor yang berkaitan dengan sosial ekonomi (Price & Wilson,

2006; GOLD, 2013)

h. Nutrisi

Seseorang dengan gizi buruk, mal nutrisi dan penurunan berat

badan dapat mengurangi kekuatan masa otot pernapasan daya


24

tahan tubuh. Dalam penelitian terdapat hubungan antara

kelaparan, anabolik dan status katabolik dengan perkembangan

emfisema. Penelitian lainnya menyebabkan seorang wanita

dengan kekurangan gizi kronis karena anoreksia nervosa pada

gambaran CT Scan parunya menunjukkan terjadinya emfisema

(GOLD, 2013)

i. Komorbiditas

Asma adalah salah satu penyakit yang dapat menjadi faktor

risiko berkembangnya PPOK. Sebuah studi yang dilakukan oleh

The Tucson Epidemiological Study of Airway Obstructive

disease pada orang dewasa menyebutkan seseorang pasien asma

mempunyai risiko 12 kali lebih tinggi tertular PPOK setelah

merokok dibandingkan seseorang yang tidak mempunyai

riwayat asma (GOLD, 2013)

4. Patofisiologi

Dibawah ini dijelaskan lebih lanjut tentang penyakit-penyakit yang

termasuk kedalam PPOK beserta perjalanan penyakitnya :

a. Bronkitis Kronik

Bronkitis kronik adalah adanya batuk produktif yang

berlangsung 3 bulan dalam satu tahun selama 2 tahun berturut-

turut. Sekresi yang menumpuk dalam bronkioles mengganggu

pernapasan yang efektif (Bruner & Suddarth, 2002). Faktor


25

etiologi utama adalah merokok dan polusi udara yang biasa

terdapat pada daerah industri (Alsagaff & Mukty, 2005).

Pemajanan terhadap polusi adalah penyebab utama bronkitis

kronik. Pasien dengan bronkitis kronik lebih rentan terhadap

kekambuhan infeksi saluran pernapasan bawah.

Hipersekresi lendir dan terjadinya inflamasi penyebabnya yaitu

asap yang mengiritasi jalan napas, karena iritasi yang konstan

ini, kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel – sel

goblet meningkat jumlahnya, maka terjadi penurunan pada silia,

dan produksi lendir yang dihasilkan meningkat jumlahnya.

Sebagai akibat, bronkiolus menjadi menyempit dan tersumbat.

Alveoli yang berdekatan dengan bronkiolus dapat menjadi rusak

dan membentuk fibrosis, mengakibatkan perubahan fungsi

makrofag alveolar, yang berperan penting dalam

menghancurkan partikel asing, termasuk bakteri. Penyempitan

bronkial lebih lanjut terjadi sebagai akibat perubahan fibrotik

yang terjadi dalam jalan napas. Pada waktunya, mungkin terjadi

perubahan paru yang ireversibel, kemungkinan mengakibatkan

emfisema dan bronkiektasis (Smeltzer & Bare, 2002).

b. Emfisema paru

Emfisema paru adalah suatu distensi abnormal ruang udara di

luar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli.


26

Kondisi ini merupakan tahap akhir, dari perkembangan proses

yang berjalan lambat selama beberapa tahun. Pada kenyataanya,

ketika pasien mengalami gejala, fungsi paru sering sudah

mengalami kerusakan ireversibel. Dibarengi dengan bronkitis

obstruksi kronik, kondisi ini merupakan penyebab utama

kecacatan (Smeltzer & Bare, 2002).

Merokok merupakan penyebab utama emfisema, akan tetapi,

beberapa diantaranya pasien (dalam presentase yang kecil)

terdapat predisposisi familial terhadap emfisema yang berkaitan

dengan abnormalitas protein plasma, defisiensi antitripsin-α,

yang merupakan suatu enzim inhibitor. Tanpa enzim inhibitor

ini, enzim tertentu akan menghancurkan jaringan paru. Individu

yang sensitif terhadap faktor-faktor lingkungan dapat melakukan

modifikasi terhadap faktor lingkungan tersebut atau mencegah

timbulnya gejala.

5. Tanda dan Gejala PPOK

Alasan utama pasien PPOK mencari bantuan ke pelayanan

kesehatan yaitu pada saat merasakan sesak napas yang disertai

fase inspirasi pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi. Hal

tersebut dapat diikuti bunyi nafas mengi (wheezing) terutama saat

ekspirasi, batuk dan dahak putih bersih (semakin kental dahak

mengakibatkan sesak napas semakin berat) (Hudak & Gallo, 2005).


27

Sesak nafas pada PPOK bersifat persisten dan progresif. Awalnya

sesak nafas hanya dirasakan ketika beraktifitas seperti berjalan,

berlari dan naik tangga yang dapat dihindari, tetapi ketika fungsi

paru memburuk, sesak nafas menjadi lebih progresif dan pasien

tidak dapat melakukan aktifitas sebagaimana orang lain dengan

usia yang sama dapat melakukannya.

Pada tahap lanjut pasien PPOK akan mengalami batuk produktif

dan berulang kali mengalami infeksi pernapasan. Batuk produktif

ini akibat adanya pembentukan mukus yang meningkat dan disertai

adanya sekresi bronkus sehingga mempengaruhi bronkiolus

menjadi rusak dan dindingnya mengalami pelebaran. Batuk yang

dialami pasien PPOK dapat disebabkan karena polutan dan

lingkungan (Price & Wilson, 2006).

Pada pasien PPOK juga akan mengalami pink puffers (berkaitan

dengan emfisema panlobular primer) dimana timbulnya dispnea

tanpa disertai batuk dan pembentukan sputum yang berarti (Sylvia

& Wilson, 2006). Biasanya dispnea akan timbul antara usia 30-40

tahun dan semakin lama semakin berat. Pada penyakit yang sudah

lanjut, pasien kehabisan napas sehingga tidak lagi dapat makan dan

tubuhnya tampak kurus tak terurus. Pada perjalanan penyakit lebih

lanjut, pink puffers dapat berlanjut menjadi bronkitis kronik

sekunder. Dada pasien berubah bentuk bagaikan tong; diafragma


28

terletak lebih rendah dan bergerak tidak lancar. Selanjutnya akan

terjadi gangguan keseimbangan ventilasi dan dan perfusi minimal,

sehingga hiperventilasi. Pasien PPOK yang mengalami pink puffers

biasanya dapat mempertahankan gas-gas darah dalam batas normal

sampai tahap lanjut. Paru-paru biasanya membesar sekali sehingga

kapasitas paru-paru total dan volume residu meningkat. (Sylvia &

Wilson, 2006) .

Pada tahap lanjut pasien PPOK akan mengalami blue bloaters

(bronkitis tanpa bukti-bukti emfisema obstruksi yang jelas). Pasien

akan mengalami batuk produktif dan berulang kali mengalami

infeksi pernapasan yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun

sebelum tampak gangguan fungsi paru. Dengan adanya gangguan

fungsi paru pada saat melakukan kegiatan fisik pasien akan

mengalami dispnea, sulit dalam bernapas, mengalami hipoventilasi

dan menjadi hipoksia dan hiperkapnea. Selain itu juga terlihat

pengurangan yang nyata dari rasio ventilasi/perfusi. Hipoksia yang

kronik merangsang peningkatan pembentukan sel-sel darah merah,

sehingga terjadi polisitemia sekunder. Kadar hemoglobin dapat

mencapai 20 g/100 ml atau lebih, dan sianosis terlihat karena

hemoglbin tereduksi mencapai 5 mg/100ml walaupun hanya

sebagaian kecil dari hemoglobin dalam bentuk hemoglobin

tereduksi (oleh karena itu dinamakan blue bloaters). Ini adalah

gambaran khas pada pasien bronkhitis kronik. Pasien dengan tanda


29

gejala diatas tidak mengalami dispnea sewaktu istirahat, mereka

tampak sehat, biasanya berat tubuh normal, kapasitas total paru-

paru mungkin normal, sedangkan diafragma berada dalam posisi

normal (Price & Wilson, 2006).

Perjalanan PPOK dimulai pada usia 20-30 tahun dengan “batuk

merokok” atau “batuk pagi” disertai pembentukan sedikit sputum

mukoid. Infeksi pernapasan ringan cenderung berlangsung lebih

lama dari biasanya. Karena berlangsungnya dalam jangka waktu

lama, seringkali kondisi terhadap penurunan aktifitas fisik tidak

dirasakan , akhirnya serangan bronkhitis akut makin sering timbul,

terutama pada musim dingin, dan kemampuan kerja mulai

berkurang, sehingga pada waktu mencapai usia 50-60 tahun

penderita mungkin harus berhenti bekerja (Price & Wilson, 2006)

Tanda dan gejala spesifik yang sering dialami pada pasien PPOK

bervariasi tergantung kondisi pasien, seperti sesak dada. Gejala ini

dijumpai pada pasien PPOK ringan yang lebih spesifik pasien asma

atau PPOK berat atau sangat berat. Sesak dada dapat disebabkan

karena percabangan trakeabronkhial melebar dan memanjang

selama inspirasi, tetapi sulit untuk memaksakan udara keluar dari

bronkiolus yang sempit (mengalami odema dan berisi mukus),

yang dalam kondisi normal akan berkontraksi sampai pada tingkat

tertentu ekspirasi. Udara terperangkap pada bagian distal tempat


30

penyumbatan sehingga terjadi hiperinflasi progresif paru. Sewaktu

pasien berusaha memaksakan udara keluar akan timbul mengi

ekspirasi memanjang yang merupakan ciri khas asma. Sedangkan

sesak dada adalah kondisi yang huruk sebagai kontraksi isometrik

otot-otot interkostal (Price & Wilson, 2006; GOLD, 2013)

6. Komplikasi

a. Akibat lanjut dari PPOK yang terjadi adalah pasien akan

mengalami gagal nafas kronis secara tahap ketika struktur paru

mengalami kerusakan sevara irreversible. Gagal nafas dapat

terjadi apabila penurunan oksigen terhadap karbondioksida

dalam paru menyebabkan ketidakmampuan memelihara

kebutuhan oksiegen. Hal ini mengakibatkan tekanan arteri

kurang dari 50 mmHg ( Hipoksia) dan peningkatan tekanan

karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (Hiperkapnia)

(Smeltzer & Bare,2008)

b. Atelektasis

Pasien PPOK yang mengalami peningkatan produksi sekret

mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran napas, sehingga

terjadi hambatan karena udara yang akan masuk ke dalam

alveolus. Udara yang terdapat dalam alveolus tersebut

terabsorbsi sedikit demi sedikit ke dalam aliran darah dan

alveolus kolaps. Akibatnya paru menjadi terisolasi karena


31

kekurangan udara dan ukurannya menyusut dan bagian sisa paru

lainya berkembang secara berlebihan. Atelektasis absorbsi dapat

disebabkan karena obstruksi bronkus intrinsik yang paling

sering disebakan sekret atau eksudat tertahan.(Price &

Wilson,2006 ; Smeltzer & Bare, 2006)

c. Pneumonia

Pneumonia dapat terjadi karena adanya dari PPOK sebagai

akibat terjadinya karena infeksi dan peradangan akut parenkim

paru-paru. Agen–agen yang dapat menimbulkan infeksi paling

sering masuk melalui inhalasi atau merupakan flora normal

saluran pernapasan. Dengan demikian setiap keadaan defisiensi

mekanisme pertahanan paru – paru menjadi faktor predisposisi

dari pneumonia (Price & Wilson,2006).

d. Pneumotoraks

Hal ini terjadi karena adanya udara dalam rongga pleura akibat

robeknya pleura. Penyakit paru–paru yang sering

mengakibatkan pneumotoraks spontan adalah emfisema

(pecahnya bleb atau bula) dan pneumonia. Pneumotoraks akan

terjadi apabila ada hubungan antara bronkhus dan alveolus

dengan rongga pleura sehingga udara dapat masuk ke rongga

pleura melalui kerusakan yang ada, dan menyebabkan

pneumotoraks. (Price & Wilson,2006)


32

e. Hipertensi Paru

Hipertensi paru yang dialami pada pasien PPOK adalah

hipertensi sekunder, prognosisnya tergantung pada keparahan

gangguan yang mendasari dan perubahan pada jaring – jaring

vaskuler paru. Pada kondisi normal jaring – jaring vaskuler paru

dapat mengatasi volume darah yang dikirimkan oleh ventrikel

kanan. Ventrikel kanan mempunyai resistensi rendah terhadap

aliran darah dan mengkompensasi peningkatan volume darah

dengan dilatasi pembuluh darah dalam sirkulasi paru. Jika jaring

– jaring vaskular paru rusak atau tersumbat, maka kemampuan

mengabsorsi untuk mengatasi seberapun aliran darah dan

volume yang diterima menjadi hilang dan sehingga terjadi

peningkatan aliran darah lebih lanjut dan peningkatan tekanan

arteri pulmonal (Price & Wilson,2006).

f. Penatalaksanaan PPOK

Penatalaksanaan PPOK bertujuan untuk memperbaiki kualitas

hidup , memperlambat kemajuan proses penyakit dan

menghilangkan atau mengurangi obstruksi yang terjadi

seminimal mungki agar secepatnya oksigenisasi dapat kembali

normal. Keadaan ini diusahakan dan dipertahankan untuk

menghindari meburuknya penyakit atau timbulnya penyakit.

Pendekatan terapeutik pada pasien PPOK mencakup : tindakan


33

pengobatan yang ditujukan untuk memperbaiki ventilasi dan

menurunkan upaya bernapas, pencegahan dan pengobatan cepat

infeksi, teknik terapi fisik untuk memelihara dan meningkatkan

ventilasi pulmonari, pemeliharaan kondisi lingkungan yang

sesuai untuk memudahkan pernapasan, dukungan psikologis,

penyuluhan pasien dan rehabilitasi yang bersinambungan

(Smeltzer & Bare, 2006)

Pada obstruksi kronik yang terdapat pada PPOK,

penatalaksananaan bertujuan untuk memperlambat proses

memburuknya faal paru dengan menghindari eksaserbasi akut

dan faktor-faktor yang memperburuk penyakit. Kemungkinan

pasien PPOK mengalami penurunan faal paru lebih besar

dibandingkan dengan orang normal. Penatalaksanaan PPOK

secara umum terdiri dari : 1) penatalaksanaan umum ;

menghindari merokok, manajemen sekresi bronkial, 332)

pemberian obat-obatan; bronkodilator, mukolitik atau

ekspetoran, antibiotik, dan kortikosteroid, 3) terapi oksigen dan

4) rehabilitasi pulmonal ; breathing retraining , olahraga

(exercise), dan nutrisi (Alsagaff & Mukty, 2005).

Bronkodilator merupakan obat untuk mendilatasi jalan napas

karena preparat ini melawan edema mukosa maupun spasme

muskular dan membantu baik dalam mengurangi obstruksi jalan


34

napas maupun dalam memperbaiki pertukaran gas. Medikasi ini

mencakup agonis β-adrenergik (metaproterenol, isoproterenol)

dan metilxantin (teofilin, aminofilin), yang menghasilkan

dilatasi bronkial melalui mekanisme yang berbeda.

Terapi aerosol sering kali digunakan untuk membantu dalam

bronkodilatasi. Ukuran partikel dalam kabut aerosol harus cukup

kecil untuk memungkinkan medikasi dideposisikan dalam-

dalam di dalam percabangan trakeobronkial. Aerosol yang

dinebuliser menghilangkan bronkospasme, menurunkan edema

mukosa, dan mengecerkan sekresi bronkial. Hal ini

memudahkan proses pembersihan bronkiolus, membantu

mengendalikan proses inflamasi, dan memperbaiki fungsi

ventilasi paru (Smeltzer & Bare, 2006).

Pengobatan infeksi diutamakan pada pasien emfisema yang

rentan terhadap terjadinya infeksi paru dan harus diobati pada

saat awal timbulnya tanda-tanda infeksi. S. Pneumonia, H.

Influenzae, dan Branhamella catarrhalis adalah organisme yang

paling umum pada infeksi tersebut. Terapi antimikroba dengan

tetrasiklin, ampisilin, amoksilin, atau trimetoprim-

sulfametoxazol digunakan untuk tanda pertama infeksi

pernapasan, seperti yang dibuktikan dengan sputum purulen,

batuk meningkat, dan demam.


35

Terapi Oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada

pasien dengan emfisema berat hipoksemia berat diatasi dengan

kosentrasi oksigen rendah untuk meningkatkan PaO2 hingga

antara 65 dan 80 mm Hg. Pada emfisema berat, oksigen

diberikan sedikitnya 16 jam per hari, dan apabila dapat

dilakukan sampai dengan 24 jam akan lebih baik (Smeltzer &

Bare, 2006).

Rehabilitasi pada pasien bertujuan untuk mengembalikan fungsi

fisik, mental, sosial pada kemampuan yang semaksimal

mungkin, sehingga dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan

sebaik-baiknya. Pasien dapat beradaptasi sesuai dengan

kapasitas kardiopulmunal yang masih tinggi, serta melatih

pasien untuk dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sesuai

dengan kemampuanya (American Thoracic Society Pulmonary

rehabilitation, 2011)

Kebanyakan program rehabilitasi paru resmi menyertakan tim

penyedia layanan kesehatan bekerja sama, seperti dokter,

perawat, terapis rehabilitasi, staf psikososial dan ahli gizi. Tim

mengevaluasi status fisik dan emosional secara keseluruhan

setiap orang, dan kemudian mengembangkan program individu

baginya. Dokter, perawat terdaftar yang terlatih khusus, spesialis

rehabilitasi atau praktisi perawatan pernapasan


36

mengkoordinasikan program (chronic-obstructive-pulmonary-

disease/treatment/pulmonary-rehabilitation).

Program rehabilitasi paru secara komprehensif adalah sebagai

berikut :

1) Latihan

Latihan adalah bagian penting dari program rehabilitasi

paru yang dapat meningkatkan fungsi jantung dan paru-

paru. Olahraga juga dapat memperkuat otot-otot yang

digunakan untuk bernapas untuk mengurangi sesak napas.

Pada umumnya pasien PPOK membatasi aktivitas fisik

karena takut mengalami sesak napas, padahal pembatasan

aktifitas yang menyebabkan terjadinya penurunan fungsi

pada otot jantung dan paru-paru. Latihan dapat berlangsung

secara bertahap , yang bisa dilakukan seperti ; berjalan,

bersepeda, renang, atau aerobik sederhana sesuai dengan

kemampuan pasien

2) Pendidikan

Pendidikan merupakan bagian penting dari program

rehabilitasi paru untuk pasien dan keluarga. Pendidikan

dapat diberikan dengan cara penyuluhan kesehatan,

kelompok kelas dan bentuk video. Didalam pendidikan bisa


37

diberikan tentang penyedia layanan kesehatan dan informasi

tentang obat, perawatan dan pengelolaan diri di rumah.

3) Manajemen Emosi

Beberapa emosi dapat menggangu kehidupan sehari-hari

pasien. Ini termasuk kecemasan dan depresi. Pada pasien

PPOK sering mengalami depresi disebabkan karena

keterbatasan fisik. Konseling dapat membantu pasien dan

keluarga mengatasi penyakit kronis.

4) Nutrisi

Beberapa pasien PPOK mengalami berat badan kurang

disebabkan karena kelainan pulmonal. Malnutrisi dapat

meningkatkan kegagalan pernapasan dan kematian pada

pasien. Hal ini disebabkan antara lain oleh karena kerja

pernapasan yang meningkat, anoreksia sebagai akibat rasa

sesak, air swallowing, dan rasa mual karena obat. Insiden

tukak lambung yang meningkat sebagai akibat dari

peningkatan sekresi asam lambung dalam usaha kompensasi

asidosis melalui sekresi HCL di gastrointestinal. Anjuran

makan untuk pasien PPOK adalah tinggi protein dalam

porsi kecil tapi sering, banyak minum air putih, kurangi

garam, dan hindari makanan yang dapat merangsang sekresi


38

sputum (coklat, gorengan/makanan berlemak, krim)

(Alsagaff & Mukty, 2005).

5) Breathing retraining

Breathing retraining merupakan strategi yang dapat

digunakan dalam rehabilitasi pulmonal untuk mengurangi

sesak napas dengan cara diaphragmatic breathing dan

pursed-lips breathing (/copd-chronic-obstructive-

pulmonary-disease/treatment/pulmonary-rehabilitation/).

B. Fungsi Ventilasi Paru

1. Fisiologi Ventilasi Paru

Proses fisiologi perapasan dimana oksigen dipindahkan di mana oksigen

dipindahkan dari udara ke dalam jaring-jaringan, dan karbon dioksida

dikeluarkan ke udara ekspirasi dapat dibagi menjadi tiga stadium.

Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya campuran gas-gas ke

dalam dan ke luar paru-paru. Stadium ke dua, transportasi, yang harus

dianggap terdiri dari beberapa aspek: (1) difusi gas-gas antara alveolus

dan kapiler paru-paru (respirasi eksterna) dan antara darah sistemik dan

sel-sel jaringan ; (2) distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan


38
penyesuainnya dengan distribusi udara dalam alveolus-alveolus; dan (3)

reaksi kimia dan fisik dari oksigen dan karbon dioksida dengan darah

(Price & Wilson, 2006).


39

Dalam Proses pernapasan ada 3 peranan sistem yang membantu

terjadinya proses pernapasan, yaitu peranan sistem pernapasan yang

terdiri dari serangakaian saluran udara yang menghantarkan udara luar

agar bersentuhan dengan alveoli. Peranan sistem syaraf pusat

memberikan dorongan ritmik dari dalam untuk bernapas melalui impuls.

Impuls berjalan sepanjang saraf menuju otot respirasi untuk merangsang

kontraksi, dimana merangsang reflek otot-otot diafragma dan dada yang

akan memberikan tenaga pendorong gerakan udara. Peranan sistem

kardiovaskuler menyediakan pompa, jaringan pembuluh darah dan darah

yang diperlukan untuk mengangkut gas dari paru ke sel-sel tubuh (Price

& Wilson, 2006).

Paru-paru dapat dikembangkan dan dikempiskan dalam dua cara yaitu

gerakan turun dan naik diafragma untuk memperbesar atau memperkecil

rongga dada dan elevasi dan depresi iga-iga untuk meningkatkan dan

menurunkan diameter anteroposterior rongga dada ( Guyton,2005).

Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisish tekanan

yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik dari

otot-otot. Dinding toraks sebagai penghembus udara mengalami

perubahan tekanan intrapleura dan tekanan intrapulmonar (saluran udara)

dan perubahan volume paru-paru selama vemtilasi. Volume toraks

bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat

kontraksi beberapa otot yaitu otot sternokledomastoideus mengangkat


41

sternum ke atas dan otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus

mengangkat iga-iga. Toraks membesar ke tiga arah ; anteroposterior,

lateral dan vertikal (Price & wilson, 2006).

Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat

elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis

eksternus relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke

atas ke dalam rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang.

Otot interkostalis internus dapat menekan iga ke bawah dan ke dalam

dengan kuat pada waktu ekspirasi kuat dan aktif, batuk, muntah, atau

defikasi (Price & Wilson, 2006).

Dua pusat pernapasan di pons yang bekerja dengan pusat inspirasi

menghasilkan irama pernapasan normal. Pusat apneustik memperlama

inhalasi, dan kemudian diinterupsi oleh impuls pneumotaksis, yang

merupakan salah satu yang mempengaruhi ekhalasi. Pada pernapasan

normal inhalasi berlangsung satu sampai dua detik, diikuti oleh ekhalasi

yang sedikit lebih lama (dua sampai tiga detik), yang menghasilkan

kisaran normal frekuensi pernapasan antara 12 sampai 20 kali per menit

(Scalon & Sanders, 2006).

Terdapat beberapa mekanisme yang berperan memasukakan udara ke

dalam paru-paru sehingga pertukaran gas dapat berlangsung. Fungsi

pergerakan uadara masuk dan keluar dari paru-paru disebut ventilasi, dan
42

mekanisme ini dilaksanakan oleh sejumlah komponen yang saling

berinteraksi. Pompa resiproaktif (pompa penghembus napas) mempunyai

dua komponen yaitu; paru-paru dan dinding yang mengelilingi paru-paru.

Dinding ini terdiri dari ; jaringan dinding toraks, diafragma, isi abdomen

dan dinding abdomen. Otot-otot pernapasan yang merupakan bagian dari

dinding toraks merupakan sumber kekuatan untuk mengehembuskan

udara. Diafragma (dibantu otot-otot yang dapat mengangkat tulang

sternum) merupakan otot utama yang berperan dalam peningkatan

volume paru-paru dan dinding toraks selama inspirasi (Guyton & Hall,

2001). Otot-otot pernapasan diatur oleh pusat pernapasan yang terdiri

dari neuron dan reseptor pada paru-paru dan medula oblongata. Faktor

utama pada pernapasan adalah respon dari pusat kemoreseptor dalam

pusat pernapasan terhadap tekanan parsial karbon dioksida (PaCo 2) dan

pH darah arteri. Peningkatan PaCo2 atau penurunan pH merangsang

pernapasan (Alsagaff & Mukty,2005). Otot-otot pernapasan

menyebabkan ventilasi paru dengan mengempiskan dan mengembangkan

paru-paru secara berganti-ganti, yang kemudian menyebabkan

peningkatan dan penurunan tekanan dalam alveolus. Selama inspirasi

tekanan intra alveolar menjadi negatif bila dibandingkan dengan tekanan

atmosfer. Biasanya kurang dari 1 mmHg, hal ini menyebabkan aliran

udara kedalam melalui saluran pernapasan. Sebaliknya pada saat

ekspirasi tekanana intra alveolar meningkat lebih dari 1 mmHg yang

menyebabkan aliran udara keluar melalui saluran pernapasan (Guyton &

Hall, 2001).
Paru-paru terus menerus mempunyai kecenderungan elastik untuk

kempis sehingga menjauhi dinding dada. Kecenderungan elastik ini

disebabkan oleh dua macam ; pertama, di seluruh paru-paru terdapat

banyak serabut elastik yang diregangkan oleh pengembanga paru,

sehingga berusaha untuk memendek. Kedua, regangan permukaan cairan

yang melapisi alveolus mempunyai kecenderungan elastik yang terus

menerus untuk mengempiskan alveolus. Efek ini disebabkan oleh daya

tarik antar molekul-molekul permukaan cairan tersebut yang terus

cenderung mengurangi luas permukaan masing-masing alveolus (Guyton

& Hall, 2001).

2. Pemeriksaan Fungsi Ventilasi Paru .

Aliran udara yang masuk dan keluar paru-paru memberikan ukuran yang

nyata berupa volume paru-paru. Uji fungsi ventilasi paru ini dibagi dalam

dua kategori yaitu; uji yang berhubungan dengan volume paru dan

dinding dada, serta uji yang berhubungan denga pertukaran gas. Uji

fungsi ventilasi termasuk pengukuran volume paru=paru dalam keadaan

statis dan dinamis, juga pengukuran tekanan. Uji yang berhubungan

dengan pertukaran gas mencakup analisis gas-gas yang terdapat dalam

udara ekspirasi dan dalam darah (Pagana & Pagana, 1999).

Tes fungsi ventilasi paru-paru mengukur kemampuan dada dan paru-paru

untuk menggerakkan udara masuk dan keluar alveoli. Pengukuran ini


dipengaruhi oleh latihan dan penyakit. Usia, jenis kelamin, dan tinggi

badan adalah variabel lain yang harus dipertimbangkan bila hasil tes

diinterpretasikan (Hudak & Gallo,2005). Uji ini memperlihatkan

pengaruh penyakit terhadap fungsi paru-paru, seperti adanya gangguan

ventlasi obstruksi dan restriktif, seperti pada pasien PPOK. Gangguan

ventilasi obstruksi mempengaruhi kemampuan ekspirasi, sedangkan

gangguan restriktif mempengaruhi kemampuan inspirasi. Orang yang

melakukan latihan berhubungan dengan peningkatan kekuatan otot-otot

pernapasan, fungsi ventilasi parunya akan lebih tinggi dibandingkan

orang yang tidak melakukan latihan. Hal ini disebabkan karena dengan

peningkatan otot-otot pernapasan dapat meningkatkan pengembangan

paru. Contoh latihan yang dapat meningkatkan fungsi ventilasi paru

seperti; senam aerobik, renang, jalan kaki, breathing retraining ( pursed

lips breathing) dan sebagainya.

Semakin tua usia seseorang, maka fungsi ventilasi paru-parunya akan

semakin menurun. Hal ini disebakan karena elastisitas dinding dada

semakin menurun. Perubahan struktur pernapasan terjadi menurut usia,

dimana perubahan ini dimulai pada awal masa dewasa pertengahan.

Selama proses penuaan terjadi penurunan elastisitas alveoli, penebalan

kelenjar bronkhial, penurunan kapasitas paru dan peningkatan jumlah

ruang rugi. Perubahan ini menyebabkan penurunan kapasitas difusi

oksigen. Hal ini menyebabkan lanjut usia mengalami penurunan toleransi

terhadap aktivitas yang berkepanjangan atau olah raga yang berlebihan


membutuhkan istirahat setelah melakukan aktivitas lama dan berat

(Smeltzer & Bare, 2005).

Menurut Guyton & Hall (2001), laki-laki fungsi ventilasi parunya lebih

tinggi 20% - 25 % dibandingkan pada wanita, karena ukuran anatomi

paru-paru laki-laki lebih besar dibandingkan wanita. Selain itu aktivitas

laki-laki lebih tinggi dibandingkan wanita, sehingga recoil dan

compliance paru telah terlatih. Demikian pula dengan tinggi badan dan

berat badan, seseorang yang tubuhnya tinggi besar maka fungsi ventilasi

parunya akan lebih tingggi dibandingkan dengan orang yang bertubuh

kecil pendek.

Alat yang digunakan untuk pengukuran tes fungsi ventilasi paru adalah

spirometri dan peak ekspiratory flow meter (PEF meter). Spirometri

adalah suatu metode pengukuran volume udara yang keluar dan masuk

paru-paru (McMorrow,2000). Pemeriksaan ini sangat tergantung pada

kemampuan pasien sehingga dibutuhkan intruksi petugas yang jelas dan

kooperatif pasien, selain itu alat spirometri dilihat dari harganya terlalu

mahal dan cukup berat untuk dibawa , sebagai alternatif dapat dilakukan

dengan menggunakan peak Ekspiratory flow meter (PEF meter).

Menurut PDPI (2006), merekomendasikan Peak Ekspiratory Flow Meter

(PEF Meter) atau Peak Ekspiratory Flow Rate (PEFR) dapat digunakan

karena pemeriksaan ini relatif murah, mudah dibawa, mudah


pemakaiannya, dan dapat digunakan oleh pasien dalam kondisi pasien

apapun. Alat ini dapat juga digunakan pasien dirumah sehari-hari, untuk

44
memantau kondisi PPOK yang dideritanya. Pemeriksaan dengan

menggunakan alat ini akan diperoleh nilai arus puncak ekspirasi (APE)

sama dengan FEV1 pada pemeriksaan spirometri. Nilai APE adalah

pengukuran jumlah udara yang dapat dicapai pada saat ekspirasi paksa

dalam waktu tertentu yang dilakukan dengan menggunakan Peak

Ekspiratory Flow Meter atau spirometri (Rasmin, et.al.,2004). APE

menggambarkan kemampuan pengembangan paru maksimal yang

mencerminkan sebagai fungsi ventilasi paru (Perry & Potter, 2004).

Tujuan dari penggunaan alat ini adalah; meningkatkan ekspansi paru

secara maksimal, mengukur secara obyektif arus udara pada saluran

napas besar. Indikasi dilakukanya pemeriksaan dengan alat ini adalah

sebagai berikut; 1) Menegakkan diagnosa asma dan PPOK, 2).

Mendapatkan nilai dasar APE pada pasien asma dan PPOK dalam

keadaan stabil, 3). Memperoleh nilai dari pasien PPOK setelah

pemberian terapi (pengobatan dan latihan) untuk mengevaluasi efek

terapi, 4). Mengevaluasi progresivitas penyakit PPOK dan, 5).

Mendapatkan variasi harian arus udara pada saluran napas pasien dan

memonitor faal paru.

Kontraindikasi pemeriksaan Peak Ekspiratory flow Meter secara absolut

tidak ada. Tetapi secara relatif pada kondis-kondisi ini tidak boleh

dilakukan, seperti; batuk darah, pneumotorak, status kardiovaskuler tidak


stabil, AMI, emboli paru, post pembedahan abdomen dan torak, post

pembedahan mata dan pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial.

Hasil pemeriksaan ini adalah nilai arus puncak ekspirasi (APE) yang

mempunyai manfaat dalam mendiagnosa PPOK. Manfaat ini dapat

dilihat dari reversibility, yaitu perbaikan nilai APE ≥ 15 % setelah

inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator) (Rasmini, dkk, 2004). Nilai

APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru

lain, oleh karena itu pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan

dengan nilai terbaik sebelumnya, bukan nilai prediksi normal, kecuali

tidak diketahui nilai terbaik pasien sebelumnya.

Prosedur pemeriksaan ini menurut PDPI (2006) dan Perry dan Potter

(2004) adalah sebagai berikut ;

a. Persiapkan alat : Peak Ekspiratory Flow Meter dan tisue

b. Persiapan sebelum melakukan pemeriksaan

1) Perawat menset plastik pointer (marker) pada angka terendah

2) Jika mungkin pasien berdiri tegak lurus, jika tidak bisa duduk

tegak lurus jangan membungkuk

3) Pegang alat dengan posisi tegak lurus

c. Prosedur pengukuran

1) Pasang mouthpiece ke ujung flow meter

2) Pasien berdiri tegak/duduk tegak dan memegang Peak

Ekspiratory Flow Meter pegang mendatar tanpa


menyetuh/menggangu pergerakan marker (skala

pengukuran). Yakinkan marker berada pada skala terendah.

3) Minta pasien untuk menarik napas dalam, kemudian masukan

mouthpiece ke mulut dengan bibir menutup mengelilingi

mouthpiece, dan hembuskan napas sesgera dan sekuat

mungkin.

4) Saat menghembuskan atau membuang napas, marker

bergerak dan menunjukkan angka pada skala dan catat

hasilnya. Ulangi 3 kali prosedur diatas dan catat nilai yang

tertinggi. Bandingkan dengan nilai terbaik atau prediksi.

5) Bersihkan mulut dan alat dangan tissue.

C. Pursed Lips Breathing

Pursed-lips breathing adalah mengeluarkan udara (ekshalasi) secara lambat

melalui mulut dengan bibir mencucu/dirapatkan/setengah tertutup. Hal ini

merupakan teknik pertama yang diajarkan pada pasien dan biasanya paling

mudah dilakukan (Bach,1997). Selama Pursed-lips breathing, tidak ada

aliran udara pernapasan terjadi melalui hidung karena sumbatan involunter

dari nasofaring oleh palatum lunak. Pursed-lips breathing menimbulkan

obstruksi terhadap aliran udara ekshalasi dan meningkatkan tahanan udara,

menurunkan gradien tekanan transmural dan mempertahankan kepatenan

jalan napas yang kolap selama ekshalasi. Proses ini membatu menurunkan

pengeluaran udara yang terjebak, tidak secara langsung menurunkan

kapasitas fungsional residu, tetapi perbaikan sesak napas merupakan akibat


restorasi diafragma terhadap posisi thorak yang mengalami kontraksi.

Pursed-lips breathing juga meningkatkan kerja pernapasan, penggunaan

transnasal dengan menempatkan balon dilambung dan esofagus untuk

menguur tekanan pleura, gastrik, dan transdiafragma selama pernapasan

(Bach, 1997).

Tujuan Pursed-lips breathing adalah memperbaiki kelenteruan rongga dada

serta diafragma, dapat melatih otot-otot ekspirasi untuk memperpanjang

ekhalasi dan meningkatkan tekanan jalan napas selama ekspirasi, dengan

demikian mengurangi jumlah tahanan dan jebakan udara. Latihan ini juga

dapat membantu menginduksikan pola napas terutama frekuensi napas

menjadi lambat dan dalam (Yunus, 2005).

Hasil penelitian yang dilakukan Gosselinkm di Belgium menyampaikan

bahwa teknik pernapasan dengan pursed-lips breathing dapat menghasilkan

; 1) Meningkatnya kekuatan otot pernapasan, 2) Mengurangi hiperinflasi

pada tulang iga dan membantu melancarkan pertukaran gas serta

mengoptimalkan kondisi torakoabdominal

Penelitian yang dilakukan oleh Enright, Chatam, & Ionescu (2004) di

Australia pada pasien PPOK yang tidak dirawat di rumah sakit,

menghasilkan peningkatan fungsi faal paru rata-rata sebesar 60% setelah

latihan pursed-lips breathing dan latihan otot-otot pernapasan selama 8


minggu, sedangkan pasien yang tidak dilakukan teknik ini rata-rata hanya

meningkat 10%.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Natalia, Saryono, dan Dina (2006)

yang dilakukan di RSUD Banyumas , terhadap pasien asma bronchial yang

melakukan pursed lips breathing efektif dan tiup balon efektif untuk

membantu mencapai peningkatkan arus puncak ekspirasi dengan rata-rata

peningkatan sebesar 26,20 liter / menit dan memperbaiki tingkat obstruksi.

Cara melakukan pursed-lips breathing menurut Lewis, Dirksen, dan

Heikemper (2000), adalah menganjurkan pasien untuk menghirup udara

melalui hidung beberapa detik dengan mulut tertutup, kemudian keluarjan

udara secara perlahanlahan lebih dari 4-6 detik melalui bibir yang

dirapatkan / dikerutkan seperti orang bersiul atau posisi mencium. Hal ini

dilakukan dengan atau tanpa kontraksi otot-otot abdomen. Anjurkan pada

pasien untuk melakukan pursed-lips breathing selama melakukan aktivitas

yang dapat mengurangi sesak napas pasien atau napas cepat. Pasien harus

yakin jika sesak napas akan berkurang setelah melakukan teknik ini.

Beberapa teknik pursed-lips breathing dapat dilakukan seperti; meniup air

dalam gelas melalui sedotan sehingga menghasilkan gelembung-gelembung

udara kecil, meniup lilin, tetapi tidak memadamkan lilin tersebut, dan secara

terus menerus meniup bola tenis meja menyeberangi meja. Pursed lips

breathing juga dapat menurunkan sesak napas, sehingga pasien dapat

toleransi terhadap aktivitas dan meningkatkan kemampuan memenuhi


kebutuhan sehari-hari. Jika teknik ini dilkukan secara rutin dan benar dapat

mengoptimalkan fungsi mekanik paru, membatasi peningkatan volume

akhir ekspirasi paru dan mencegah efek hiperinflasi (Sheadan Martinez,

2006). Pursed lips breathing dilakukan untuk mendapatkan pengaturan

napas yang lebih baik dari napas sebelumnya yaitu, pernapasan cepat dan

dangkal menjadi pernapasan yang lebih lambat dan dalam.

D. Therapeutic Play (bermain Meniup Balon)

Bermain meniup balon dapat dianalogkan dengan latihan napas dalam

(pursed-lips breathing). Meniup balon merupakan suatu permainan atau

aktivitas yang memerlukan inspirasi dalam dan ekspirasi memanjang

dengan mulut dimonyongkan, ini dilakukan pada pasien dengan penyakit

pernapasan terutama PPOK. Pada penyakit PPOK aliran udara menjadi

besar terutama selama ekspirasi, hal ini menyebabkan terjadi penurunan

volume ekspirasi paksa atau Forced expiration Volume (FEV1) dan arus

puncak ekspirasi (APE) (Williams, 2006).

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Tuti (2009) di poli klinik Asthma

pada anak, hasil uji statistik yang diperoleh p value < 0,05 dengan nilai (η)

> 0,14 kesimpulan bahwa ada pengaruh yang kuat antara terapi aktivitas

bermain meniup balon terhadap perubahan fungsi paru anak pra sekolah

dengan asthma.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Natalia, Saryono, dan Dina (2006)

yang dilakukan di RSUD Banyumas , terhadap pasien asma bronchial yang

melakukan pursed lips breathing efektif dan tiup balon efektif untuk

membantu mencapai peningkatkan arus puncak ekspirasi dengan rata-rata

peningkatan sebesar 26,20 liter / menit dan memperbaiki tingkat obstruksi

Alat yang digunakan berupa balon yang masih kempis. Adapun caranya

dengan menggunakan pursed-lips breathing, pasien PPOK bernapas dalam

dan ekhalasi lambat melalui mulut, mulut dimonyongkan atau mencucu dan

dikerutkan, sehingga balon menjadi mengembang terisi udara.


51
E. Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)

Bronkhitis kronis Emphisema

 Edema bronkus  Kerusakan alveolar


 Vasokontriksi bronkus  Ketidakstabilan jalan napas
 Hipersekresi mukus
 Batuk kronik

1. Obstruksi jalan napas


2. Air trapping (udara sisa)
3. Sesak napas

Penurunan arus puncak ekspirasi

Faktor internal :
Rehabilitasi pulmonal pada pasien  Umur
PPOK:
 Jenis kelamin
 Nutrisi  Tinggi badan
 Breathing retraining  Berat badan
 Terapi aktivitas tiup balon Faktor eksternal : latihan
 Olahraga (exercise) dan penyakit

Fungsi ventilasi paru meningkat Fungsi ventilasi paru tetap/menurun


Sumber : Price & Wilson (2002); Pery & Potter (2004); Alsagaff & Mukty (2005); Smeltzer & Bare

(2005).
BAB III

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN

DEFINISI OPERASIONAL

Bab ini akan menggambarkan tentang kerangka konsep penelitian yang akan

dilakukan, merumuskan hipotesis dan membuat definisi operasional variabel

yang digunakan. Hipotesis merupakan jawaban sementara tentang masalah

penelitian yang akan dirumuskan oleh peneliti. Sedangkan definisi operasional

adalah pelaksanaan cara pengukuran terhadap variabel termasuk yang diamati

(Arikunto,2000).

A. Kerangka Konsep

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis efektifitas pursed-lips

breathing dan tiup balon terhadap peningkatan arus puncak ekspirasi paru

pada pasien PPOK yang dirawat diruang penyakit dalam di RSUD Koja.

Kerangka konsep merupakan justifikasi ilmiah terhadap penelitian yang akan

dilakukan dan memberikan landasan kuat terhadap topik yang dipilih sesuai

dengan identifikasi masalah. Kerangka konsep dibuat dibuat berlandaskan

teori yang telah dibahas pada bagian sebelumnya. Kerangka konsep

menggambarkan keterkaitan antar variabel dalan penelitian .

52
53

Hubungan antara variabel-variabel dalam penelitian ini dapat kita lihat pada

skema 3.1.

Skema 3.1. Kerangka Konsep penelitian

Arus Puncak Pursed lips


Arus Puncak Ekspirasi
Ekspirasi breathing pada
pasien PPOK Setelah tindakan
Sebelum tindakan

Variabel Dependen Variabel independen

Pursed lips
breathing dan tiup
balon pada pasien
PPOK

Usia, jenis kelamin, dan Tinggi badan

Variabel Confounding

B. Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap pertanyaan penelitian, sampai

terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto, 2002). Hipotesis

menggambarkan antara 2 variabel atau lebih. Sebuah hipotesa yang baik

disusun secara sederhana, jelas dan menggambarkan definisi variabel secara

kongkret (Polit & Hugler, 1999).

Rumusan hipotesis mayor dan minor dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :
54
1. Hipotesis Mayor

Pursed-lips breathing dan tiup balon efektif terhadap peningkatan arus

puncak ekspirasi pada pasien PPOK di ruang perawatan penyakit dalam

RSUD Koja.

2. Hipotesis Minor

Karakteristik pasien (usia, jenis kelamin, dan tinggi badan)

mempengaruhi efektifitas terhadap peningkatan arus puncak ekspirasi

pasien PPOK dari pelaksanaan pursed-lips breathing dan tiup balon

yang diruang penyakit dalam RSUD Koja.

C. Definisi

1. Definisi Operasional

Tabel 3.1. Defiisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Dependen

Arus puncak Kecepatan Peak Nilai APE hasil Interval

ekspirasi maksimum arus expiratory pengukuran

yang dihasilkan saat flow meter

ekspirasi (PEF meter)

Independen

1. Pursed – Cara mengeluarkan Lembar Nominal

lips udara secara lambat observasi


55

breathing melalui mulut responden

dengan bibir melakukan

mencucut/dirapatkan pursed-lips

setengah tertutup breathing

selama 3x

dipandu oleh

peneliti

2. Tiup balon Suatu kegiatan Lembar 0 = Pasien Nominal

meniup balon observasi PPOK tidak

dengan (check list) melakukan

menggunakan teknik aktivitas tiup

pursed-lips balon

breathing , yaitu

pasien bernapas 1 = Pasien

dalam dengan PPOK

ekshalasi melalui melakukan

mulut yang aktivitas tiup

dimonyongkan atau balon

mencucu dan

dikerutkan sehingga

balon mengembang

karena terisi udara.

Confounding

:
56

1. Umur Lama hidup Kuisioner Umur dalam

responden umur dalam tahun

berdasarkan tanggal tahun pada

lahir sampai dengan karakteristik

ulang tahun terakhir demografi

saat mengisi data

2. Jenis Karakteristik Kuisioner Dinyatakan Nominal

Kelamin seksual berdasarkan karakteristik dengan :

ciri fisik biologi demogafi 1. Perempuan

yang dibawa sejak tentang jenis 2. Laki-laki

lahir hingga saat kelamin

mengisi data responden

berupa

perempuan

atau laki-laki

3. Tinggi Ukuran tubuh dalam meteran .....cm Ratio

badan sisi Tinggi yang tinggi badan

diukur dalam berdiri

keadaan berdiri

tegak
BAB IV

METODE PENELITIAN

Pada bab ini akan membahas tentang rancangan penelitian, populasi dan sampel,

tempat penelitian, waktu penelitian, etika penelitian, alat pengumpul data,

prosedur pengumpulan data, dan rencana analisis data.

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, dengan desain penelitian

menggunakan metoda Quasy Experimental atau kuasal komparatif. Penelitian

ini bertujuan untuk mengungkapkan kemungkinan adanya hubungan sebab

akibat antar variabel (Polit & Hungler, 2006). Rancangan penelitian yang

digunakan adalah one group pretes-postes design, desain ini digunakan

untuk memberikan perlakuan pada kelompok studi tetapi sebelumnya diukur

atau ditest dahulu (pretest) selanjutnya perlakuan kelompok studi diukur atau

ditest kembali (postest). Dalam penelitian ini tidak dilakukan randomisasi dan

dilakukan pada satu kelompok studi (Budiman, 2011).

Skema 4.1.Bentuk rancangan Penelitian

X1 (pretest) Pursed-Lips breathing X2

X3 (pretest) Pursed-lips breathing dan tiup balon X4

X2 - X4 = X5

Keterangan :

X1 = Nilai Arus Puncak Ekspirasi sebelum dilakukan pursed-lips breathing

57
58

X2 = Nilai Arus Puncak Ekspirasi sesudahh dilakukan pursed-lips breathing

X3 = Nilai Arus Puncak Ekspirasi sebelum dilakukan pursed-lips breathing

dan tiup balon

X4 = Nilai Arus Puncak Ekspirasi sesudah dilakukan pursed-lips breathing

dan tiup balon

X5 = Nilai selisih dari hasil tindakan sesudah tindakan pursed-lips breathing

dan nilai dari hasil sesudah tindakan pursed-lips breathing dan tiup

balon

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/ subjek yang

mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya

(sugiyono,2004). Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah

pasien PPOK yang menjalani rawat inap ruang penyakit dalam di RSUD

Koja Jakarta Utara pada bulan-bulan dilakukanya penelitian (Juli-

Agustus 2013) 19 orang . Adapun kriteria yang dimaksud dari peneltian

ini adalah sebagai berikut :

Kriteria inklusi :

1. Bersedia menjadi responden

2. Pasien laki-laki atau perempuan yang dirawat diruang penyakit dalam

di RSUD Koja Jakarta Utara dengan diagnosa medis PPOK

3. Pasien PPOK dengan arus puncak ekspirasi (APE) <80%


59
4. Pasien kooperatif

5. Mendapatkan terapi bronkodilator

6. Terdapat sekret banyak, mendapatkan tindakan sekresi bronkhial

7. Tidak menderita penyakit lain yang menggangu fungsi ventilasi paru-

paru

8. Pasien tidak mengalami cacat pada bagian mulut (bibir sumbing)

2. Sampel

Sampel penelitian adakah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti

dan dianggap mewakili seuruh populasi (Noto Atmojo,1993), dengan kata

lain , sampel adalah elemen-elemen populasi yang dipilih berdasarkan

kemampuan mewakilinya. Besar kecilnya jumlah sampel sangat

dipengaruhi oleh desain dan ketersediaan subjek dari penelitian itu

sendiri.

Penentuan pengambilan sampel dengan menggunakan rumus minimal

sampel size menurut Lemeshow (1997)

n = N.Z2 p.q

d (N-1)+ Z.p.q

= 20 (1,96)2 .0,5.0,5

(0,1)2 (10-1) + (1,96)2 .0,5 . 0,5

= 16,9

= 17 responden

Jadi sampel penelitian ini adalah sejumlah 17 responden.


60

Keterangan :

n = Besar jumlah sampel minimal

N = Jumlah populasi

Z = Standar deviasi normal untuk 1,96 dengan CI 95%

d = Derajat ketepatan yang digunakan oleh 90% atau 0,1

p = Proporsi target populasi adalah 0,5

q = Proporsi tanpa atribut 1-p = 0,5

untuk mengantisipasi kemungkinan subyek dan sampel yang terpilih drop out

karena tidak sesuai dengan kriteria yang diharapkan, maka perlu

menambahkan jumlah sampel agar besar sampel tetap terpenuhi dengan

rumus sebagai berikut (Sastroasmoro & Ismail, 2010)

n’ = n

(1- f)

keterangan :

n’ = Jumlah sampel yang akan diteliti

n = Besar sampel yang akan dihitung

f = Perkiraan proporsi drop out (0,1)

maka besar sampel dalam penelitian ini adalah n’ = 17/ (1-0,1) = 19 orang
61

C. Tempat penelitian

Penelitian ini dilakukan di Ruang Rawat Penyakit dalam di RSUD Koja

Jakarta Utara. Pemilihan tempat ini karena rumah sakit ini merupakan rumah

sakit yang mendukung adanya pengembangan ilmu, sehingga mendukung

untuk dilakukanya penelitian di RSUD Koja Jakarta Utara .

D. Waktu Penelitian

Pengambilan data penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan

Agustus 2013 di ruang perawatan penyakit dalam di RSUD Koja. Rincian

proses penelitian sebagai berikut :

1. Persiapan penelitian, dimulai dari bulan Maret sampai dengan Juni 2013

2. Ujian proposal dilaksanakan pada bulan Juni 2013 minggu pertama

3. Pengurusan ijin penelitian minggu ke 4 di bulan Juni 2013

4. Pengumpulan data minggu 4 sampai minggu ke empat di bulan Agustus

2013

5. Penyusunan Hasil minggu kedua dibulan september 2013

6. Sidang hasil di minggu ke dua di bulan Oktoberi 2013.

7. Sidang Akhir bulan Oktober 2013.

E. Etika Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika penelitian dan

menyakini bahwa responden dilindungi dengan memperhatikan aspek-aspek;

self determination, privacy, anonymity, informed consent dan protection from

discomfort and harm (Polit & Hungler,2006). Responden diberikan


62

kebebasan untuk menentukan pilihan bersedia atau tidak turut serta dalam

penelitian, setelah menerima semua informasi tentang penelitian yang akan

dilakukan. Responden juga mendapat penjelasan untuk berhak mengundurkan

diri sewaktu-waktu tanpa sanksi apapun. Apabila responden bersedia

mengikuti penelitian, maka responden diminta untuk menandatanganilembar

informed consent. Responden dijaga ketat yaitu dengan cara merahasiakan

informasi-informasi yang di dapat hanya untuk kepentingan penelitian.

Selama kegiatan penelitian nama dari responden tidak dicantumkan , tetapi

hanya inisial dan pada saat pengisian dengan menggunakan nomer responden.

Penelitian yang dilakukan tidak mengakibatkan ketidaknyamanan bagi

responden, baik fisik maupun psikis. Apabila responden merasa tidak aman

dan tidak nyaman selama penelitian, maka responden dapat mengajukan

pilihan yaitu ; menghentikan partisipasinya atau terus melanjutkan, resiko

yang mungkin muncul pada responden dalam penelitian ini adalah sesak

napas dan kelelahan, jika latihan dilakukan terlalu lama. Cara mengatasi

resiko ini adalah latihan dilakukan selama 15 menit, dan dihentikan bila

responden merasa lelah. Sebelum pelaksanaan latihan responden terlebih

dahulu untuk diberikan latihan dan pemberian booklet tentang prosedur

pursed-lisp breathing, sehingga pada saat latihan mandiri dapat melakukan

sendiri.

F. Alat pengumpul data dan Prosedur penelitian

1. Alat Pengumpul Data

a. Timer / Penggaris
63

Timer digunakan untuk menghitung waktu saat terapi meniup balon

selama 10-60 detik. Pengaris untuk mengukur tinggi balon yang

ditiup.

b. Balon

Balon adalah media yang digunakan dalam terapi menarik napas

dalam pada penelitian ini.

c. Peak Flow Meter

alat ukur mengukur ventilasi paru-paru menggunakan peak expiratory

flow meter (PEF meter), yaitu suatu metode pengukuran volume udara

yang keluar masuk paru-paru dilihat dari arus puncak ekspirasi

(Mcmorrow,2000). Prosedur cara pengukuran teori PDPI (2003) dan

Pery & potter (2004) dapat dilihat pada lampiran.

d. Lembar Observasi

Lembar obsderavsi digunakan untuk mencatat karakteristik responden

yaitu, nama (inisial), usia, jenis kelamin dan hasil pengukuran APE

sebelum dan sesudah intervensi.

e. Meteran tinggi badan

Alat untuk mengukur tinggi badan responden sebelum dilakukanya

tindakan.
64
G. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data derajat PPOK dan karakteristik akan dikumpulkan oleh

peneliti dan perawat ruangan. Intervensi dilakukanya pursed-lips breathing

diruangan, dokter yang merawat responden, responden dan keluarga.

Prosedur pengumpulan data dilakukan sebagai berikut :

1. Tahap persiapan

a. Persiapan instrumen

Intervensi meniup balon pada pasien yang didiagnosa PPOK oleh

dokter diperiksa fungsi parunya dengan menggunakan peak flow

meter dengan mengukur arus puncak ekspirasi (APE) selama satu

menit sebelum tindakan, kemudian hasil dicatat pada lembar

observasi. Pasien PPOK diberikan balon karet dan peneliti

mengisntruksikan untuk meniupnya dengan cara inspirasi dalam dan

ekspirasi memanjang dengan mulut dimonyongkan selama 10-60

detik dengan tiupan berulang, terapi ini dilakukan 3 siklus yaitu 3 kali

10-60 detik dengan waktu istirahat 10 menit, waktu istirahat 10 menit,

waktu yang dibutuhkan untuk melakukan intervensi yaitu 36 menit.

Satu menit sesudah intervensi APE diukur kembali dengan

menggunakan peak flow meter. Data diperoleh dimasukkan dalam

lembar observasi. Terapi ini dilakukan satu kali pada saat pagi hari

selama 3 hari. Setelah data terkumpul dilakukan analisa.


65

Skema 4.1. Alur Tindakan Penelitian

Pasien Informed Ukur APE Pursed-lips


PPOK consent selama 1 menit breathing

Ukur APE selama 1


Istirahat 10-15
menit dan catat dalam
menit
lebar observasi

Ukur APE selama 1 Pursed-lips


menit dan catat breathing dan Ukur APE selama 1
dalam lebar tiup balon menit dan catat dalam
observasi selama 10-60 lembar observasi
detik

b. Persiapan administrasi

1) Peneliti mengurus perizinan tempat peneliti dengan mengajukan

surat permohonan izin penelitian dari pimpinan Prodi Magister

Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta yang ditujukan

kepada Direktur, kepala bidang diklat dan kepala ruangan rawat


66
inap penyakit dalam RSUD Koja.

2) Memilih pasien PPOK yang memenuhi kriteria inklusi untuk

dijadikan responden
3) Meminta responden yang telah dipilih, untuk bersedia menjadi

responden setelah mendapatkan penjelasan tentang tujuan,

manfaat, prosedur penelitian, serta hak dan kewajiban bila

menjadi responden (informed consent). Memberikan kesempatan

pada responden untuk bertanya. Jika calon responden bersedia,

selanjutnya diminta menandatangani lembar informed consent.

Kemudian peneliti memberitahukan kepada kepala ruangan dan

perawat yang berdinas diruangan tersebut bahwa pasien dengan

identitas tersebut telah setuju untuk dijadikan responden.

4) Responden mengisi kuisioner karakteristik responden

5) Mengukur tinggi badan dan APE.

H. Validitas dan Reliabilitas instrumen

Validitas adalah kesahihan, alat ukur dikatakan sahih atau valid bila alat ukur

itu benar-benar mengukur apa yang hendak diukur (Machfoedz, 2006).

Sedangkan reliabilitas artinya ketetapan atau paling sedikit berbeda amat

sedikit. Bila berkali-kali untuk mengukur bedanya banyak, maka alat ukur

tersebut tidak reliabel. Penelitian ini untuk mengurangi random error dan

meningkatkan keandalan pengukuran menggunakan strategi yaitu ;

standarisasi cara pengukuran, penyempurnaan instrumen, dan mengulang

pengukuran.

Validitas yang dicapai dalam penelitian ini menggunakan alat ukur yang

sesuai dengan apa yang diukur, seperti; pengukuran arus puncak ekspirasi
67

(APE) diukur menggunakan PEF meter yang diproduksi oleh Samsung, dan

tinggi badan diukur menggunakan microtoice. PEF meter sebelum digunakan

dilakukan kalibrasi. Selain itu dibuat prosedur pursed-lips breathing dan tiup

balon berdasarkan teori.

Reliabilitas dicapai dengan pemakaian PEF meter, timbangan berat badan,

dan balon dengan merek dan jenis yang sama sama.

I. Pengolahan data

Data yang telah terkumpul sebelum dianalisis, terebih dahulu dilakukan hal-

hal sebagai berikut :

1. Editing data

Eding data , pada kegiatan ini peneliti akan mengkoreksi data yang

diperoleh meliputi : kebenaran pengisian, kelengkapan jawaban terhadap

lembar kuisioner.

2. Coding data

Pada kegiatan coding data peneliti akan memberikan kode pada setiap

variabel untuk mempermudah peneliti dalam melakukan tabulasi dan

analisis data yaitu memberikan nama responden dengan kode (rspn).

3. Tabulating data

Data dikelompokkan menurut kategori yang telah ditentukan selanjutnya

data ditabulasi. Dengan cara tiap kuisioner dilakukan pengkodean untuk

keperluan analisis statistik dengan menggunakan batuan komputerisasi.

4. Entry data
68

Merupakan suatu proses memasukkan data dimana peneliti melakukan

analisa data dengan menggunakan program komputer.

5. Cleaning data

Data-data yang telah peneliti entry dimasukan ke program komputer

dilakukan pembersihan agar seluruh data yang diperoleh terbebas dari

kesalahan sebelum dilakukan analisa.

J. Rencana Analisa Data

1. Analisis Univariat

Tujuan analisis univariat ini mendeskripsikan mengenai distribusi

frekuensi dan proporsi masing-masing variabel yang diteliti , untuk data

numerik dengan menghitung mean, median, simpangan baku (SD), dan

nilai minimal dan maksimal, sedangkan untuk data kategorik dengan

menghitung frekuensi dan prosentase. Pengujian masing-masing variabel

dengan menggunakan tabel dan diinterpretasikan berdasarkan hasil yang

diperoleh (Sumantri, 2012).

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk membuktikan hipotesis penelitian yaitu

efektifitas pursed-lips breathing dan tiup balon terhadap peningkatan arus

puncak ekspirasi pada pasien PPOK derajat ringan, sedang, dan berat

yang dirawat diruang penyakit dalam di RSUD Koja Jakarta Utara. Uji

statistik yang digunakana untuk penelitian ini menggunakan Uji Beda

Dua Mean Dependen (Paired Sample T-Test), dengan nilai α = 0,5.


Tujuan pengujian ini adalah untk menguji perbedaan mean antara dua

tindakan yang berbeda (Sabri, 2011).

a. Hubungan antara Arus Puncak ekspirasi sebelum pemberian latihan

pursed –lips breathing dan setelah pursed-lips breathing, jenis Uji

statistiknya dependent sample test (paired t-test)

b. Hubungan antara arus puncak ekpirasi sebelum diberikan pursed-lips

breathing dan tiup balon , dan setelah pemberian latihan pursed-lips

breathing dan tiup balon

c. Hubungan antara arus puncak ekspirasi dengan jenis kelamin, usia dan

tinggi badan (variabel confounding), jenis uji statistik yang

digunakan independent sample test (korelasi pearson)


BAB V

HASIL PENELITIAN

Bab ini akan memaparkan secara lengkap, hasil penelitian efektifitas pursed-lips

breathing dan tiup balon terhadap penigkatan arus puncak ekspirasi pada pasien

PPOK, yang telah dilaksanakan di RSUD Koja. Telah diteliti sebanyak 19 pasien

PPOK. Hasil penelitian terdiri dari dua bagian yaitu analisis univariat dan analisis

bivariat.

A. Analisis Univariat

Dalam analisis ini dijelaskan secara deskriptif mengenai karakteristik

responden sesuai hasil pengumpulan data berdasarkan variabel penelitian.

Data-data tersebut disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan rata-rata

(mean) sebagai berikut.

1. Karakteristik Responden
a. Jenis Kelamin

Tabel 5.1

Distribusi Responden Pasien PPOK


Berdasarkan Frekuensi Jenis Kelamin
Di Ruang Penyakit Dalam RSUD Koja
Karakteristik Jumlah Persen
(orang) (%)
Laki-laki 14 73.7 %
Perempuan 5 26.3 %
Total 19 100

69
70

Dari data diatas dapat dilihat jenis kelamin responden pasien PPOK yang

mendapatkan latihan Pursed-Lips Breathing dan Tiup Balon di Ruang

Rawat Penyakit Dalam adalah laki-laki sebanyak 14 orang (73.7 %) dan

perempuan sebanyak 5 orang (26.3 %). Hal ini menunjukkan bahwa jenis

kelamin responden terbanyak adalah laki-laki yaitu 73.7 %.

b. Umur dan Tinggi Badan

Tabel 5.2
Distribusi Umur Responden Pasien PPOK
Di Ruang Perawatan Penyakit Dalam RSUD Koja

Variabel Jenis Kelamin N Min Maks Mean Standar


Deviasi

Umur Perempuan 5 48 67 56,4 9,127

Laki-laki 14 44 71 58,79 9,209

Total 19

1) Umur

Dari data diatas dapat dilihat dari umur responden pasien PPOK

untuk jenis kelamin perempuan (5 orang) yang mendapatkan

latihan Pursed-Lips Breathing dan Tiup Balon di Ruang Rawat

Penyakit Dalam mempunyai nilai rata-rata (mean) sebesar 56,4

tahun dengan nilai terendah sebesar 48 tahun dan terbesar 67

tahun. Sedangkan pada laki-laki dengan jumlah 14 orang

responden mempunyai nilai rata-rata (mean) sebesar 58,79 tahun

dengan nilai terendah 44 tahun dan umur tertinggi 71 tahun.


71

Tabel 5.3
Distribusi Tinggi Badan Responden Pasien PPOK
Di Ruang Perawatan Penyakit Dalam RSUD Koja

Variabel Jenis Kelamin N Min Maks Mean Standar


(cm) (cm) Deviasi

Tinggi Perempuan 5 150 160 155,2 4,324


Badan

Laki-laki 14 153 168 161,7 4,232

Total 19

2) Tinggi Badan

Dari data diatas dapat dilihat untuk jenis kelamin perempuan (5

orang) mempunyai nilai rata-rata (mean) tinggi badan sebesar

155,2 cm dengan nilai terendah sebesar 150 cm dan terbesar 160

cm, sedangkan pada 14 responden laki-laki mempunyai nilai rata-

rata (mean) tinggi badan sebesar 161,7 cm dengan nilai terendah

sebesar 153 cm dan tertinggi sebesar 168 cm.

2. Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE)

Dalam mengukur peningkatan ventilasi paru pada pasien PPOK dilihat

dari nilai rata-rata APE normal sesuai dengan tinggi badan ,usia dan jenis

kelamin masing-masing jenis kelamin dibandingkan dengan hasil

pengukuran.yang diperoleh sebagai berikut :


72

1) Jenis kelamin perempuan

Tabel 5.4

Hasil Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE)


Sebelum dan sesudah Pursed-lips Breathing
Responden (Perempuan) Pasien PPOK
Di Ruang Penyakit Dalam RSUD Koja
Pengukuran APE N Minimum Maksimum Mean Standar
(liter/mnt) (liter/mnt) (liter/mnt Deviasi
)

APE Normal 5 416 462 438 20.869

APE Sebelum PLB I 5 250 260 255 4

APE Sesudah PLB I 5 255 265 258,8 4,147

APE Sebelum PLB II 5 250 300 264 20,543

APE Sesudah PLB II 5 252 310 268,8 23,942

APE Sebelum PLB III 5 254 320 271,4 27,673

APE Sesudah PLB III 5 255 330 278,6 31,262

Dari data diatas dapat menurut hasil pengukuran arus puncak ekspirasi

normal pada 5 responden perempuan diperoleh dengan nilai rata-rata

(mean) yaitu sebesar 438 dengan nilai terendah sebesar 416 dan nilai

tertinggi sebesar 462. Sedangkan untuk hasil pengukuran APE yang

dilakukan kepada masing-masing responden Pursed-lips breathing I

sampai dengan Pursed-Lips breathing III diperoleh sebagai berikut :

a. Arus Puncak Ekspirasi latihan Pursed-lips breathing Hari ke I

Dari data diatas dapat dilihat pengukuran arus puncak ekspirasi

sebelum latihan pursed-lips breathing hari ke I pada 5 (perempuan)


73

responden mempunyai nilai rata-rata (mean) APE yaitu sebesar 255

liter/menit dengan nilai terendah sebesar 250 liter/menit dan terbesar

260 liter/menit. Sedangkan setelah latihan pursed-lips breathing hari

ke I, nilai rata-rata (mean) APE sebesar 258.8 liter/menit dengan nilai

terendah 255 liter/menit dan terbesar 265 liter/menit. Terjadi

peningkatan rata-rata (mean) APE dari sebelum dan sesudah latihan

pursed-lips breathing hari ke I sekitar 3,8 liter/menit.

b. Arus Puncak Ekspirasi latihan Pursed-lips breathing hari ke II

Dari data diatas dapat dilihat pengukuran arus puncak ekspirasi

sebelum latihan pursed-lips breathing hari ke II pada 5 responden

(perempuan) pasien PPOK di Ruang Penyakit Dalam RSUD Koja

mempunyai nilai rata-rata (mean) APE yaitu sebesar 264 dengan nilai

terendah sebesar 250 liter/menit dan terbesar 300 liter/menit.

Sedangkan setelah latihan pursed-lips breathing hari ke II, nilai rata-

rata (mean) APE sebesar 268.8 liter/menit dengan nilai terendah 252

liter/menit dan terbesar 310 liter/menit. Terjadi peningkatan rata-rata

(mean) APE dari sebelum dan sesudah latihan pursed-lips breathing

hari ke II sekitar 4.8 liter/menit.

c. Arus Puncak Ekspirasi latihan Pursed-lips breathing hari ke III

Untuk pengukuran arus puncak ekspirasi sebelum latihan pursed-lips

breathing hari ke III diperoleh nilai rata-rata (mean) APE yaitu

sebesar 271.4 liter/menit dengan nilai terendah sebesar 254 liter/menit

dan terbesar 320 liter/menit. Sedangkan setelah latihan pursed-lips

breathing, nilai rata-rata (mean) APE sebesar 278.6 liter/menit dengan


74

nilai terendah 255 liter/menit dan terbesar 330 liter/menit. Terjadi

peningkatan rata-rata (mean) APE dari sebelum dan sesudah latihan

pursed-lips breathing hari ke III sekitar 7.2 liter/menit.

Tabel 5.5

Hasil Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE)


Sebelum dan sesudah Pursed-lips Breathing dan Tiup Balon
Responden (Perempuan) Pasien PPOK
Di Ruang Perawatan Penyakit Dalam RSUD Koja
Pengukuran APE N Minimum Maksimum Mean Standar
(ltr/mnt) (ltr/mnt) Deviasi

APE Sebelum PLBTB I 5 260 285 268 9,747

APE Sesudah PLBTB I 5 267 300 276,6 13,777

APE Sebelum PLBTB II 5 258 345 284,2 35,898

APE Sesudah PLBTB II 5 260 350 289,4 37,240

APE Sebelum PLBTB III 5 268 368 297,4 41,095

APE Sesudah PLBTB III 5 272 379 305,2 43,917

Dari hasil pengukuran arus puncak respirasi responden perempuan

sebelum dan sesudah pursed-lips breathing dan tiup balon I sampai

dengan pursed-lips breathing dan tiup balon III diperoleh hasil sebagai

berikut :

a. Arus Puncak Ekspirasi latihan Pursed-lips breathing dan Tiup Balon

Hari ke I

Dari data diatas dapat dilihat pengukuran arus puncak ekspirasi

sebelum latihan pursed-lips breathing dan tiup balon hari ke I pada 5

responden (perempuan) pasien PPOK di Ruang Penyakit Dalam


75

RSUD Koja mempunyai nilai rata-rata (mean) APE yaitu sebesar 268

liter/menit dengan nilai terendah sebesar 260 liter/menit dan terbesar

285 liter/menit. Sedangkan setelah latihan pursed-lips breathing dan

tiup balon hari ke I, nilai rata-rata (mean) APE sebesar 276,6

liter/menit dengan nilai terendah 267 liter/menit dan terbesar 300

liter/menit. Terjadi peningkatan rata-rata (mean) APE dari sebelum

dan sesudah latihan pursed-lips breathing dan tiup balon hari ke I

sekitar 8.6 liter/menit.

b. Arus Puncak Ekspirasi latihan Pursed-lips breathing dan Tiup Balon

Hari ke II

Untuk pengukuran arus puncak respirasi sebelum latihan pursed-lips

breathing dan tiup balon hari ke II mempunyai nilai rata-rata (mean)

APE yaitu sebesar 284,2 liter/menit dengan nilai terendah sebesar 258

liter/menit dan terbesar 345 liter/menit. Sedangkan setelah latihan

pursed-lips breathing dan tiup balon hari ke II, nilai rata-rata (mean)

APE sebesar 289,4 liter/menit dengan nilai terendah 260 liter/menit

dan terbesar 350 liter/menit. Terjadi peningkatan rata-rata (mean)

APE hari ke II sekitar 5.2 liter/menit.

c. Arus Puncak Ekspirasi latihan Pursed-lips breathing dan Tiup Balon

Hari ke III

Dari pengukuran arus puncak respirasi sebelum latihan pursed-lips

breathingdan tiup balon hari ke III nilai rata-rata (mean) APE

diperoleh sebesar 297.4 liter/menit dengan nilai terendah sebesar 268

dan terbesar 368 liter/menit. Sedangkan setelah latihan pursed-lips


76

breathingdan tiup balon hari ke III, nilai rata-rata (mean) APE sebesar

305.2 liter/menit dengan nilai terendah 272 liter/menit dan terbesar

379 liter/menit. Terjadi peningkatan rata-rata (mean) APE dari

sebelum dan sesudah latihan pursed-lips breathing dan tiup balon hari

ke III sekitar 7.8 liter/menit.

2) Jenis kelamin laki-laki

Tabel 5.6

Hasil Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE)


Sebelum dan sesudah Pursed-Lips Breathing
Responden (Laki-laki) Pasien PPOK
Di Ruang Penyakit Dalam RSUD Koja
Pengukuran APE N Minimum Maksimum Mean Standar
(ltr/mnt) (ltr/mnt) (ltr/mnt) Deviasi

APE Normal 14 515 613 562.29 20.869

APE Sebelum PLB I 14 250 270 254,43 5,374

APE Sesudah PLB I 14 250 275 258,07 6,662

APE Sebelum PLB II 14 248 275 257,43 7,013

APE Sesudah PLB II 14 250 279 260,86 7,523

APE Sebelum PLB 14 250 275 261,14 8,365


III

APE Sesudah PLB 14 255 280 267,43 9,171


III

Dari data diatas menurut hasil pengukuran arus puncak ekspirasi

normal pada 14 responden pasien PPOK di Ruang Penyakit Dalam

RSUD Koja dari responden laki-laki diperoleh nilai rata-rata (mean)

yaitu sebesar 562,29 liter/menit dengan nilai terendah sebesar 515


77

liter/menit dan nilai tertinggi sebesar 613 liter/menit. Sedangkan hasil

pengukuran APE yang dilakukan kepada responden pursed-lips

breathing hari I sampai dengan hari ke III sebagai berikut :

a. Arus Puncak Ekspirasi latihan Pursed-lips breathing Hari ke I

Dari data diatas dapat dilihat pengukuran arus puncak ekspirasi

sebelum latihan pursed-lips breathing hari ke I pada 14 responden

(laki-laki) mempunyai nilai rata-rata (mean) APE yaitu sebesar

254.43 liter/menit dengan nilai terendah sebesar 250 liter/menit dan

terbesar 270. Sedangkan setelah latihan pursed-lips breathing hari

ke I, nilai rata-rata (mean) APE sebesar 258.07 liter/menit dengan

nilai terendah 250 liter/menit dan terbesar 275 liter/menit. Terjadi

peningkatan rata-rata (mean) APE dari sebelum dan sesudah latihan

pursed-lips breathing hari ke I sekitar 3.64 liter/menit.

b. Arus Puncak Ekspirasi latihan Pursed-lips breathing hari ke II

Untuk pengukuran arus puncak ekspirasi sebelum latihan pursed-

lips breathing hari ke II pada 14 responden (laki-laki) diperoleh

rata-rata (mean) APE yaitu sebesar 257.43 liter/menit dengan nilai

terendah sebesar 248 liter/menit dan terbesar 275 liter/menit.

Sedangkan setelah latihan pursed-lips breathing hari ke II, nilai

rata-rata (mean) APE sebesar 260.86 liter/menit dengan nilai

terendah 250 liter/menit dan terbesar 279 liter/menit. Terjadi

peningkatan rata-rata (mean) APE dari sebelum dan sesudah latihan

pursed-lips breathing hari ke II sekitar 3.43 liter/menit.


78

c. Arus Puncak Ekspirasi latihan Pursed-lips breathing hari ke III

Dari data diatas dapat dilihat pengukuran arus puncak respirasi

sebelum latihan pursed-lips breathinghari ke III pada 14 responden

(laki-laki) pasien PPOK di Ruang Penyakit Dalam RSUD Koja

mempunyai nilai rata-rata (mean) APE yaitu sebesar 261.14

liter/menit dengan nilai terendah sebesar 250 liter/menit dan

terbesar 275 liter/menit. Sedangkan setelah latihan pursed-lips

breathing hari ke III, nilai rata-rata (mean) APE sebesar 27,43

liter/menit dengan nilai terendah 255 liter/menit dan terbesar 280

liter/menit. Terjadi peningkatan rata-rata (mean) APE dari sebelum

dan sesudah latihan pursed-lips breathing hari ke III sekitar 6.29

liter/menit.
79

Tabel 5.7

Hasil Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE)


Sebelum dan sesudah Pursed-Lips Breathing dan Tiup Balon
Responden (Laki-laki) Pasien PPOK
Di Ruang Perawatan Penyakit Dalam RSUD Koja
Pengukuran APE N Min Mak Mean Standar
(ltr/ (ltr/ (ltr/mnt) Deviasi
mnt) mnt)

APE Normal 14 515 613 562.29

APE Sebelum PLBTB I 14 258 285 265,71 7,549

APE Sesudah PLBTB I 14 260 288 270,07 8,704

APE Sebelum PLBTB 14 252 285 265,93 10,824


II

APE Sesudah PLBTB 14 255 290 270,86 11,973


II

APE Sebelum PLBTB 14 259 295 274,93 11,042


III

APE Sesudah PLBTB 14 268 300 284,86 11,265


III

Dari hasil pengukuran arus puncak respirasi responden laki-laki

sebelum dan sesudah pursed-lips breathing dan tiup balon I sampai

dengan pursed-lips breathing dan tiup balon III diperoleh hasil

sebagai berikut :

a. Arus Puncak Ekspirasi latihan Pursed-lips breathing dan Tiup

Balon Hari ke I

Dari data diatas dapat dilihat pengukuran arus puncak ekspirasi

sebelum latihan pursed-lips breathing dan tiup balon hari ke I pada

14 responden (laki-laki) pasien PPOK di Ruang Penyakit Dalam


80

RSUD Koja mempunyai nilai rata-rata (mean) APE yaitu sebesar

265.71 liter/menit dengan nilai terendah sebesar 258 liter/menit dan

terbesar 285 liter/menit. Sedangkan setelah latihan pursed-lips

breathing dan tiup balon hari ke I, nilai rata-rata (mean) APE

sebesar 270.07 liter/menit dengan nilai terendah 260 liter/menit dan

terbesar 288 liter/menit. Terjadi peningkatan rata-rata (mean) APE

dari sebelum dan sesudah latihan pursed-lips breathingdan tiup

balon hari ke I sekitar 4.36 liter/menit.

b. Arus Puncak Ekspirasi latihan Pursed-lips breathing dan Tiup

Balon Hari ke II

Untuk pengukuran arus puncak ekspirasi sebelum latihan pursed-

lips breathing dan tiup balon hari ke II pada 14 responden ( laki-

laki) pasien PPOK mempunyai nilai rata-rata (mean) APE yaitu

sebesar 265,93 dengan nilai terendah sebesar 252 dan terbesar 285.

Sedangkan setelah latihan pursed-lips breathing dan tiup balon

hari ke II, nilai rata-rata (mean) APE sebesar 270.86 dengan nilai

terendah 255 dan terbesar 290. Terjadi peningkatan rata-rata

(mean) APE hari ke II 4.93.

c. Arus Puncak Ekspirasi latihan Pursed-lips breathing dan Tiup

Balon Hari ke III

Dari pengukuran arus puncak ekspirasi sebelum latihan pursed-lips

breathingdan tiup balon hari ke III pada 14 responden (laki-laki)

mempunyai nilai rata-rata (mean) APE yaitu sebesar 274,93

liter/menit dengan nilai terendah sebesar 259 liter/menit dan


81

terbesar 295 liter/menit. Sedangkan setelah latihan pursed-lips

breathing dan tiup balon hari ke III, nilai rata-rata (mean) APE

sebesar 284.86 liter/menit dengan nilai terendah 268 liter/menit dan

terbesar 300 liter/menit. Terjadi peningkatan rata-rata (mean) APE

dari sebelum dan sesudah latihan pursed-lips breathing dan tiup

balon hari ke III sekitar 9.93 liter/menit.

Kesimpulan dari hasil pengukuran arus puncak ekspirasi yang

dilakukan pada 19 responden yang terdiri dari 5 orang responden

perempuan dan 14 orang respon laki-laki pada pasien PPOK yang

dirawat di ruangan penyakit dalam di RSUD Koja dapat

disimpulkan sebagai berikut :

Tabel 5.8

Kesimpulan Perbedaan APE Kenaikan sebelum dan sesudah


PLB, dan kenaikan sebelum dan sesudah PLBTB dilihat dari
jenis kelamin responden pasien PPOK di Ruang Penyakit
Dalam di RSUD Koja
Perbedaan APE Perbedaan APE
jenis Kenaikan sebelum & Sesudah Kenaikan sebelum &
kelamin PLB sesudah PLB+TB
Hari Hari Hari Rata- Hari Hari Hari Rata-
I II III rata I II III rata
Perempuan 3,8 4,8 7,2 5,27 8,6 5,2 7,8 7,2
laki-laki 3,64 3,43 6,29 4,45 4,36 4,93 9,93 6,41
Rata-rata 3,72 4,12 6,75 8,6 5,07 8,87

B. Analisis Bivariat

Analisa bivariat dilakukan untuk melihat signifikasi dengan test statistik

perbedaan pengaruh peningkatan Arus Puncak Ekspirasi (APE) sebelum dan

sesudah dilakukan pursed-lips breathing saja dan pursed-lips breathing dan


81

tiup balon selain itu juga melihat pengaruh variabel confounding perbedaan

pengaruh pelatihan Pursed-lips breathing antara sebelum dan sesudah dan,

sebelum dan setelah dilakukan pursed-lips breathing dan tiup balon selama 3

hari .

1. Perbedaan Arus Puncak Ekspirasi (APE) sebelum dan sesudah

latihan Pursed-lips breathing

Analisa APE sebelum dan sesudah latihan pursed-lips breathing dilakukan

dengan uji paired t-test yaitu membandingkan antara variabel nilai APE

sebelum dan sesudah dilakukan latihan.untuk masing-masing jenis

kelamin.

A. Perempuan

Tabel 5.9

Nilai Rata-Rata Arus Puncak Ekspirasi (APE) Standar Deviasi, P


value hasil T test sebelum dan sesudah latihan Pursed-lips
breathing Pada Pasien (Perempuan) PPOK
Di Ruang Penyakit Dalam RSUD Koja
Pengukuran APE N Mean Standar P Value
Deviasi
Sebelum PLB I 5 255 4 0.000
Sesudah PLB I 258.8 4.147
Sebelum PLB II 5 264 20.543 0.000
Sesudah PLB II 268.8 23.942
Sebelum PLB III 5 271.4 27.673 0.000
Sesudah PLB III 278.6 31.262

b. Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) sebelum dan sesudah

latihan pursed-lips breathing I

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari pengukuran terhadap 5

orang responden pasien (perempuan) PPOK di Ruang Penyakit


82

Dalam RSUD Koja didapatkan hasil bahwa rata-rata APE

sebelum latihan pursed-lips breathing I sebesar 255 liter/menit

dan rata-rata APE sesudah latihan pursed-lips breathing I lebih

tinggi yaitu sebesar 258.8 liter/menit Dari hasil uji statistik dapat

disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara

rata-rata APE sebelum latihan pursed-lips breathing I

dibandingkan dengan rata-rata APE sesudah latihan pursed-lips

breathing I (nilai p= 0.000) atau secara statistik rata-rata APE

sebelum latihan pursed-lips breathing I lebih rendah dari rata-

rata APE setelah latihan pursed-lips breathing I dengan kenaikan

rata-rata pada responden perempuan sebesar 3.8 liter/menit.

c. Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) sebelum dan sesudah

latihan pursed-lips breathing II

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari pengukuran terhadap 5

orang responden pasien (perempuan) PPOK di Ruang Penyakit

Dalam RSUD Koja didapatkan hasil bahwa rata-rata APE

sebelum latihan pursed-lips breathing II sebesar 264 liter/menit

dan rata-rata APE sesudah latihan pursed-lips breathing II lebih

tinggi yaitu sebesar 268.8 liter/menit. Dari hasil uji statistik dapat

disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara

rata-rata APE sebelum latihan pursed-lips breathing II

dibandingkan dengan rata-rata APE sesudah latihan pursed-lips

breathing II (nilai p= 0.000) atau secara statistik rata-rata APE


83

sebelum latihan pursed-lips breathing II lebih rendah dari rata-

rata APE sesudah latihan pursed-lips breathing II dengan

kenaikan rata-rata pada responden perempuan sebesar 4.8

liter/menit.

d. Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) sebelum dan sesudah

latihan pursed-lips breathing III

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari pengukuran terhadap 5

orang responden pasien (perempuan) PPOK di Ruang Penyakit

Dalam RSUD Koja didapatkan hasil bahwa rata-rata APE

sebelum latihan pursed-lips breathing III sebesar 271.4

liter/menit dan rata-rata APE sesudah latihan pursed-lips

breathing III lebih tinggi yaitu sebesar 278.6 liter/menit. Dari

hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan

yang bermakna antara rata-rata APE sebelum latihan pursed-lips

breathing III dibandingkan dengan rata-rata APE sesudah latihan

pursed-lips breathing III (nilai p= 0.000) atau secara statistik rata-

rata APE sebelum latihan pursed-lips breathing III lebih rendah

dari rata-rata APE sesudah latihan pursed-lips breathing III

dengan kenaikan rata-rata pada responden perempuan sebesar 7.2

liter/menit.
84

B. Laki-laki

Tabel 5.10

Nilai Rata-Rata Arus Puncak Ekspirasi (APE) Standar Deviasi,


P value hasil T test sebelum dan sesudah latihan Pursed-lips
breathing Pada Pasien (Laki-laki) PPOK
Di Ruang Penyakit Dalam RSUD Koja
Pengukuran APE N Mean Standar P Value
Deviasi
Sebelum PLB I 14 254.43 5.374 0.000
Sesudah PLB I 258.07 6.662
Sebelum PLB II 14 257.43 7.013 0.000
Sesudah PLB II 260.86 7.523
Sebelum PLB III 14 261.14 8.365 0.000
Sesudah PLB III 267.43 9.171

a. Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) sebelum dan sesudah

latihan pursed-lips breathing I

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari pengukuran terhadap 14

orang responden (laki-laki) pasien PPOK di Ruang Penyakit

Dalam RSUD Koja didapatkan hasil bahwa rata-rata APE

sebelum latihan pursed-lips breathing I sebesar 254.43

liter/menit dan rata-rata APE sesudah latihan pursed-lips

breathing I lebih tinggi yaitu sebesar 258.07 liter/menit Dari hasil

uji statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang

bermakna antara rata-rata APE sebelum latihan pursed-lips

breathing I dibandingkan dengan rata-rata APE sesudah latihan

pursed-lips breathing I (nilai p= 0.000) atau secara statistik rata-

rata APE sebelum latihan pursed-lips breathingI lebih rendah


85

dari rata-rata APE sesudah latihan pursed-lips breathing I dengan

kenaikan rata-rata pada responden laki-laki sebesar 3.64

b. Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) sebelum dan sesudah

latihan pursed-lips breathing II

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari pengukuran terhadap 14

orang responden pasien (laki-laki) PPOK di Ruang Penyakit

Dalam RSUD Koja didapatkan hasil bahwa rata-rata APE

sebelum latihan pursed-lips breathing II sebesar 257.43

liter/menit dan rata-rata APE sesudah latihan pursed-lips

breathing II lebih tinggi yaitu sebesar 260.86 liter/menit. Dari

hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan

yang bermakna antara rata-rata APE sebelum latihan pursed-lips

breathing II dibandingkan dengan rata-rata APE sesudah latihan

pursed-lips breathing II (nilai p= 0.000) atau secara statistik rata-

rata APE sebelum latihan pursed-lips breathing II lebih rendah

dari rata-rata APE sesudah latihan pursed-lips breathing II

dengan kenaikan rata-rata pada responden laki-laki sebesar 3.43

liter/menit.

c. Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) sebelum dan sesudah

latihan pursed-lips breathing III

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari pengukuran terhadap 14

orang responden pasien (laki-laki) PPOK di Ruang Penyakit


86

Dalam RSUD Koja didapatkan hasil bahwa rata-rata APE

sebelum latihan pursed-lips breathing III sebesar 261.14

liter/menit dan rata-rata APE sesudah latihan pursed-lips

breathing III lebih tinggi yaitu sebesar 267.43 liter/menit. Dari

hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan

yang bermakna antara rata-rata APE sebelum latihan pursed-lips

breathing III dibandingkan dengan rata-rata APE sesudah latihan

pursed-lips breathing III (nilai p= 0.000) atau secara statistik rata-

rata APE sebelum latihan pursed-lips breathing III lebih rendah

dari rata-rata APE sesudah latihan pursed-lips breathing III

dengan kenaikan rata-rata pada responden laki-laki sebesar 6.29

liter/menit

2. Arus Puncak Ekspirasi (APE) sebelum dan sesudah latihan Pursed-

lips breathing dan Tiup Balon

Analisa APE sebelum dan sesudah latihan pursed-lips breathing dan tiup

balon dilakukan dengan uji paired t-test yaitu membandingkan antara

variabel nilai APE sebelum dan sesudah dilakukan latihan berdasarkan

masing-masing jenis kelamin.


87

1) Perempuan

Tabel 5.11

Nilai Rata-Rata Arus Puncak Ekspirasi (APE) Standar deviasi, P value


Hasil Uji T-test sebelum dan sesudah latihan Pursed-lips breathing
dan Tiup Balon Pasien (perempuan) PPOK
Di Ruang Penyakit Dalam RSUD Koja
Pengukuran APE N Mean Standar P Value
Deviasi
Sebelum PLBTB I 5 268 9.747 0.000
Sesudah PLBTB I 276.6 13.777
Sebelum PLBTB II 5 284.2 35.898 0.000
Sesudah PLBTB II 289.4 37.240
Sebelum PLBTB III 5 297.4 31.262 0.000
Sesudah PLBTB III 305.2 41.095

a. Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) sebelum dan sesudah

latihan pursed-lips breathing dan tiup balon I

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari pengukuran terhadap 5

orang responden (perempuan) pasien PPOK di Ruang Penyakit

Dalam RSUD Koja didapatkan hasil bahwa rata-rata APE

sebelum latihan pursed-lips breathing dan tiup balon I sebesar

268 liter/menit dan rata-rata APE sesudah latihan pursed-lips

breathingdan tiup balon I lebih tinggi yaitu sebesar 276.6

liter/menit. Dari hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa

terdapat perbedaan yang bermakna antara rata-rata APE sebelum

latihan pursed-lips breathing dan tiup balon I dibandingkan

dengan rata-rata APE sesudah latihan pursed-lips breathingdan

tiup balon I (nilai p= 0.000) atau secara statistik rata-rata APE

sebelum latihan pursed-lips breathingdan tiup balon I lebih

rendah dari rata-rata APE sesudah latihan pursed-lips breathing

dan tiup balon I.


88

b. Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) sebelum dan sesudah

latihan pursed-lips breathing dan tiup balon II

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari pengukuran terhadap 5

orang responden (perempuan) pasien PPOK di Ruang Penyakit

Dalam RSUD Koja didapatkan hasil bahwa rata-rata APE

sebelum latihan pursed-lips breathingdan tiup balon II sebesar

284.2 dan rata-rata APE sesudah latihan pursed-lips breathingdan

tiup balon II lebih tinggi yaitu sebesar 289.4 liter/menit. Dari hasil

uji statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang

bermakna antara rata-rata APE sebelum latihan pursed-lips

breathingdan tiup balon II dibandingkan dengan rata-rata APE

sesudah latihan pursed-lips breathingdan tiup balon II (nilai p=

0.000) atau secara statistik rata-rata APE sebelum latihan pursed-

lips breathingdan tiup balon II lebih rendah dari rata-rata APE

sesudah latihan pursed-lips breathingdan tiup balon II.

c. Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) sebelum dan sesudah

latihan pursed-lips breathing dan tiup balon III

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari pengukuran terhadap

5orang responden pasien PPOK di Ruang Penyakit Dalam RSUD

Koja didapatkan hasil bahwa rata-rata APE sebelum latihan

pursed-lips breathingdan tiup balon III sebesar 297.4 liter/menit

dan rata-rata APE sesudah latihan pursed-lips breathingdan tiup


89

balon III lebih tinggi yaitu sebesar 305.2 liter/menit. Dari hasil uji

statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang

bermakna antara rata-rata APE sebelum latihan pursed-lips

breathing dan tiup balon III dibandingkan dengan rata-rata APE

sesudah latihan pursed-lips breathingdan tiup balon III (nilai p=

0.000) atau secara statistik rata-rata APE sebelum latihan pursed-

lips breathing dan tiup balon III lebih rendah dari rata-rata APE

sesudah latihan pursed-lips breathing dan tiup balon III.

2) Laki-laki

Tabel 5.12

Nilai Rata-Rata Arus Puncak Ekspirasi (APE) Standar deviasi, P value


Hasil Uji T-test sebelum dan sesudah latihan Pursed-lips breathing
dan Tiup Balon Pasien (Laki-laki) PPOK
Di Ruang Penyakit Dalam RSUD Koja

Pengukuran APE N Mean Standar P Value


Deviasi
Sebelum PLBTB I 14 265.71 7.549 0.000
Sesudah PLBTB I 270.07 8.704
Sebelum PLBTB II 14 265.93 10.824 0.000
Sesudah PLBTB II 270.86 11.973
Sebelum PLBTB III 14 274.93 11.042 0.000
Sesudah PLBTB III 284.86 11.265

a. Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) sebelum dan sesudah

latihan pursed-lips breathingdan tiup balon I

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari pengukuran terhadap 14

orang responden (laki-laki) pasien PPOK di Ruang Penyakit

Dalam RSUD Koja didapatkan hasil bahwa rata-rata APE sebelum

latihan pursed-lips breathing dan tiup balon I sebesar 265.71


90

liter/menit dan rata-rata APE sesudah latihan pursed-lips

breathingdan tiup balon I lebih tinggi yaitu sebesar 270.07

liter/menit. Dari hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa

terdapat perbedaan yang bermakna antara rata-rata APE sebelum

latihan pursed-lips breathing dan tiup balon I dibandingkan dengan

rata-rata APE sesudah latihan pursed-lips breathing dan tiup balon

I (nilai p= 0.000) atau secara statistik rata-rata APE sebelum

latihan pursed-lips breathingdan tiup balon I lebih rendah dari rata-

rata APE sesudah latihan pursed-lips breathing dan tiup balon I.

b. Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) sebelum dan sesudah

latihan pursed-lips breathing dan tiup balon II

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari pengukuran terhadap 5

orang responden (perempuan) pasien PPOK di Ruang Penyakit

Dalam RSUD Koja didapatkan hasil bahwa rata-rata APE sebelum

latihan pursed-lips breathingdan tiup balon II sebesar 265.93

liter/menit dan rata-rata APE sesudah latihan pursed-lips breathing

dan tiup balon II lebih tinggi yaitu sebesar 270.86 liter/menit. Dari

hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang

bermakna antara rata-rata APE sebelum latihan pursed-lips

breathingdan tiup balon II dibandingkan dengan rata-rata APE

sesudah latihan pursed-lips breathingdan tiup balon II (nilai p=

0.000) atau secara statistik rata-rata APE sebelum latihan pursed-


91

lips breathingdan tiup balon II lebih rendah dari rata-rata APE

sesudah latihan pursed-lips breathing dan tiup balon II.

c. Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) sebelum dan sesudah

latihan pursed-lips breathing dan tiup balon III

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari pengukuran terhadap

5orang responden pasien PPOK di Ruang Penyakit Dalam RSUD

Koja didapatkan hasil bahwa rata-rata APE sebelum latihan

pursed-lips breathingdan tiup balon III sebesar 274.93 liter/menit

dan rata-rata APE sesudah latihan pursed-lips breathingdan tiup

balon III lebih tinggi yaitu sebesar 284,86 liter/menit. Dari hasil uji

statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang

bermakna antara rata-rata APE sebelum latihan pursed-lips

breathing dan tiup balon III dibandingkan dengan rata-rata APE

sesudah latihan pursed-lips breathingdan tiup balon III (nilai p=

0.000) atau secara statistik rata-rata APE sebelum latihan pursed-

lips breathing dan tiup balon III lebih rendah dari rata-rata APE

sesudah latihan pursed-lips breathing dan tiup balon III.

3. Analisa Perbedaan Kenaikan Arus Puncak Ekspirasi (APE) sebelum

dan sesudah latihan Pursed-lips breathing menurut jenis kelamin.

Analisis perbedaan kenaikan APE antara laki-laki dan perempuan dari

sebelum dan sesudah latihan pursed-lips breathing dilakukan dengan uji

independen t-test. Dari perhitungan sebagai berikut :


92

Tabel 5.13

Hasil Pengukuran Mean APE sebelum dan sesudah Pursed-Lips Breathing


Pada Responden ( Perempuan) pasien PPOK Di Ruang Rawat Penyakit
Dalam RSUD Koja

Pursed-lips Breathing Pursed-Lips Breathing Pursed-Lips Breathing


N D= D=
sebe Sesu D= X2- sebel Sesud Sebel Sesu
o d2 X6- d2 X10- d2
lum dah X1 um ah um dah
X5 X9
1 250 255 5 25 258 266 8 64 265 268 3 9
10
258 259 1 1 300 310 10 320 330
2 0 10 100
3 253 255 2 4 260 264 4 16 264 285 21 441
4 254 260 6 36 250 252 2 4 254 255 1 1
5 260 265 5 25 252 252 0 0 254 255 1 1
Mean 3,8 4,8 7,2
mean
total 3,95
Tabel 5.14

Hasil Pengukuran Mean APE sebelum dan sesudah Pursed-Lips Breathing


Pada Responden ( Laki-laki) PPOK Di Ruang Rawat Penyakit Dalam
RSUD Koja

Pursed-Lips Breathing Pursed-Lips Breathing Pursed-Lips Breathing

No
D= D= D=
Sebel Sesud Sebel Sesud Sebel Sesud
X2- d2 X6- d2 X10 d2
um ah um ah um ah
X1 X5 -X9
1 250 252 2 4 248 250 2 4 255 259 4 16
2 250 253 3 9 252 257 5 25 250 257 7 49
3 255 255 0 0 260 265 5 25 275 280 5 25
4 250 250 0 0 254 260 6 36 258 269 11 121
5 251 255 4 16 260 264 4 16 265 275 10 100
6 255 268 13 169 260 262 2 4 268 280 12 144
7 253 255 2 4 260 265 5 25 268 270 2 4
8 270 275 5 25 275 279 4 16 272 278 6 36
9 254 258 4 16 260 264 4 16 260 262 2 4
10 260 262 2 4 265 268 3 9 270 275 5 25
11 250 254 4 16 250 254 4 16 250 255 5 25
12 253 258 5 25 253 253 0 0 254 258 4 16
13 257 260 3 9 255 256 1 1 256 268 12 144
14 254 258 4 16 252 255 3 9 255 258 3 9
mean 3,64 3,43 6,29
mean
Tot 3,34

Tabel 5.15

Rata-Rata Kenaikan Arus Puncak Ekspirasi (APE)


sebelum dan sesudah latihan Pursed-lips breathing
antara Laki-laki dan Perempuan Pasien PPOK
Di Ruang Penyakit Dalam RSUD Koja
Jenis Kelamin N Mean Standar T (t-test) Nilai p
Deviasi
Laki-laki 14 3,34 1.591 0.369 0.827
Perempuan 5 3.95 5.418
93

Dari tabel 5.13 sampai dengan tabel 5.15 diatas dapat dilihat bahwa dari

pengukuran terhadap 19 orang responden pasien PPOK di Ruang

Penyakit Dalam RSUD Koja didapatkan hasil bahwa ada 14 orang

responden laki-laki diperoleh rata-rata kenaikan APE sebelum dan

sesudah latihan pursed-lips breathing sebesar 3.34 dan ada 5 orang

responden perempuan dan mempunyai rata-rata kenaikan APE sebelum

dan sesudah latihan pursed-lips breathing sebesar 3.39. Dari hasil uji

statistik dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang

bermakna antara kenaikan APE sebelum dan sesudah latihan pursed-

lips breathing dan tiup balon pada laki-laki dibandingkan dengan antara

kenaikan APE sebelum dan sesudah latihan pursed-lips pada

perempuan (nilai p= 0.549) atau secara statistik kenaikan APE sebelum

dan sesudah latihan pursed-lips breathing dan tiup balon pada laki-laki

lebih rendah dari kenaikan APE sebelum dan sesudah latihan pursed-

lips breathing dan tiup balon pada perempuan.

4. Analisa Perbedaan Kenaikan Arus Puncak Ekspirasi (APE) sebelum

dan sesudah latihan Pursed-lips breathing dan Tiup Balon menurut

jenis kelamin.

Analisis perbedaan kenaikan APE antara laki-laki dan perempuan dari

sebelum dan sesudah latihan pursed-lips breathing dan tiup balon

dilakukan dengan uji independen t-test. Dari perhitungan sebagai berikut :


94
Tabel 5.16

Hasil Pengukuran Mean APE sebelum dan sesudah Pursed-Lips Breathing


dan Tiup Balon Pada Responden ( Perempuan)
PPOK Di Ruang Rawat Penyakit Dalam RSUD Koja
Pursed-Lips Breathing& tiup Balon Pursed-Lips Breathing& tiup Balon Pursed-Lips Breathing& tiup Balon
Hari I Hari II Hari III
No
D= D=
Sebelu D= X8- Sebelu
Sebelum Sesudah X4- d2 Sesudah d2 Sesudah X12- d2
m X7 m
X3 X11
260 270 10 100 285 297 12 144 296 310 14 196
1 285 300 15 225 345 350 5 25 368 379 11 121
2 265 278 13 169 275 280 5 25 285 290 5 25
3 265 268 3 9 258 260 2 4 270 272 2 4
4 265 267 2 4 258 260 2 4 268 275 7 49
152
5 1340 1383 43 1.849 1421 1447 26 676 1487 1526 39
1
Ʃ 8,6 5,2 7,8
Mea
7,2
n
95

Tabel 5.17

Hasil Pengukuran Mean APE sebelum dan sesudah Pursed-Lips


Breathing dan Tiup Balon Pada Responden (Laki-laki)
PPOK Di Ruang Rawat Penyakit Dalam RSUD Koja

Pursed-Lips Breathing& tiup


Pursed-Lips Breathing& tiup Balon
Pursed-Lips Breathing& tiup Balon Balon
Hari II
No Hari I Hari III

Sesuda D=X Sesud D=X4 Sebel Sesu D=X4


Sebelum d2 Sebelum d2 d2
h 4-X3 ah -X3 um dah -X3

1 260 263 3 9 256 258 2 4 259 285 26 676

2 259 260 1 1 257 262 5 25 265 295 30 900

3 268 279 11 121 265 275 10 100 295 300 5 25

4 258 260 2 4 265 268 3 9 279 295 16 256

5 259 263 4 16 280 284 4 16 280 285 5 25

6 275 280 5 25 279 285 6 36 285 290 5 25

7 265 268 3 9 278 283 5 25 286 297 11 121

8 285 288 3 9 285 290 5 25 286 298 12 144

9 268 276 8 64 265 275 10 100 270 275 5 25

10 270 278 8 64 270 278 8 64 280 283 3 9

11 260 263 3 9 252 255 3 9 262 268 6 36

12 260 265 5 25 255 260 5 25 262 270 8 64

13 265 268 3 9 260 262 2 4 272 275 3 9

14 268 270 2 4 256 257 1 1 268 272 4 16


Mean 4,36 4,93 9,93

Mean total 6,40 96

Tabel 5.18

Rata-Rata Kenaikan Arus Puncak Ekspirasi (APE)


sebelum dan sesudah latihan Pursed-lips breathing
dan Tiup Balon antara Laki-laki dan Perempuan
Pasien PPOK Di Ruang Penyakit Dalam RSUD Koja
Jenis Kelamin N Mean Standar T (t-test) Nilai p
Deviasi
Laki-laki 14 6.40 3.561 -0.232 0.827
Perempuan 5 7.20 8.556

Dari tabel 5.16 sampai dengan tabel 5.18 diatas dapat dilihat bahwa dari

pengukuran terhadap 19 orang responden pasien PPOK di Ruang

Penyakit Dalam RSUD Koja didapatkan hasil bahwa ada 14 orang

responden laki-laki diperoleh rata-rata kenaikan APE sebelum dan

sesudah latihan pursed-lips breathing dan tiup balon sebesar 6.40 dan ada

5 orang responden perempuan dan mempunyai rata-rata kenaikan APE

sebelum dan sesudah latihan pursed-lips breathing dan tiup balon

sebesar 7.20. Dari hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa tidak

terdapat perbedaan yang bermakna antara kenaikan APE sebelum dan

sesudah latihan pursed-lips breathing dan tiup balon pada laki-laki

dibandingkan dengan antara kenaikan APE sebelum dan sesudah latihan

pursed-lips breathingdan tiup balon pada perempuan (nilai p= 0.827)

atau secara statistik kenaikan APE sebelum dan sesudah latihan pursed-

lips breathing dan tiup balon pada laki-laki lebih rendah dari kenaikan
97

APE sebelum dan sesudah latihan pursed-lips breathing dan tiup balon

pada perempuan.

5. Analisa Hubungan Variabel Usia dan Tinggi Badan dengan

Kenaikan Arus Puncak Ekspirasi (APE) sebelum dan sesudah

latihan Pursed-lips breathing dan Tiup Balon

Analisa hubungan variabel usia dan tinggi badan dengan kenaikan APE

sebelum dan sesudah latihan pursed-lips breathingdan tiup balon

dilakukan dengan uji Korelasi Pearson, maka dilakukan uji korelasi

antara variabel variabel usia dan tinggi badan dengan kenaikan APE

sebelum dan sesudah latihan pursed-lips breathing dan tiup balon.

Tabel 5.19

Usia dan Tinggi Badan Responden Perempuan dengan Kenaikan


Arus Puncak Ekspirasi (APE) sebelum dan sesudah latihan Pursed-
lips breathing Di Ruang Penyakit Dalam RSUD Koja

Variabel N Koefisien Korelasi Nilai p


Kenaikan APE - Usia 5 0,100 0,000
Kenaikan APE – Tinggi 5 -0,191 1,231
Badan

a. Usia dengan Kenaikan APE Sebelum dan Sesudah Latihan Pursed-lips

breathing dan tiup balon

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari pengukuran terhadap 4

orang responden perempuan pasien PPOK di Ruang Penyakit Dalam

RSUD Koja didapatkan hasil bahwa koefisien korealsi Pearson antara

usia dan kenaikan APE sebelum dan sesudah latihan pursed-lips

breathingdan tiup balon adalah 0.100 dan korelasi ini bermakna secara
98
statistik dengan nilai p= 0.000. jadi dapat disimpulkan bahwa ada

hubungan yang bermakna antara usia responden perempuan dengan

kenaikan APE sebelum dan sesudah latihan pursed-lips breathing dan

tiup balon.

b. Tinggi Badan dengan Kenaikan APE Sebelum dan Sesudah Latihan

Pursed-lips breathing dan tiup balon

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari pengukuran terhadap 19

orang responden pasien PPOK di Ruang Penyakit Dalam RSUD Koja

didapatkan hasil bahwa koefisien korelasi Pearson antara tinggi badan

dan kenaikan APE sebelum dan sesudah latihan pursed-lips breathing

dan tiup balon adalah -0.191 dan korelasi ini tidak bermakna secara

statistik dengan nilai p= 1.231. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak

ada hubungan yang bermakna antara tinggi badan dengan kenaikan

APE sebelum dan sesudah latihan pursed-lips breathing dan tiup

balon.

Tabel 5.20

Usia dan Tinggi Badan responden Laki-laki dengan Kenaikan Arus


Puncak Ekspirasi (APE) sebelum dan sesudah latihan Pursed-lips
breathing di Ruang Penyakit Dalam RSUD Koja

Variabel N Koefisien Korelasi Nilai p


Kenaikan APE - Usia 14 0.027 1,702
Kenaikan APE – Tinggi 14 0.556 7,144
Badan

a. Usia dengan Kenaikan APE Sebelum dan Sesudah Latihan Pursed-lips

breathing dan tiup balon


99

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari pengukuran terhadap 14

orang responden (laki-laki) pasien PPOK di Ruang Penyakit Dalam

RSUD Koja didapatkan hasil bahwa koefisien korealsi Pearson antara

usia dan kenaikan APE sebelum dan sesudah latihan pursed-lips

breathingdan tiup balon adalah 0.0271 dan korelasi ini tidak bermakna

secara statistik dengan nilai p= 1.702. jadi dapat disimpulkan bahwa

ada hubungan yang bermakna antara usia responden laki-laki dengan

kenaikan APE sebelum dan sesudah latihan pursed-lips breathing dan

tiup balon.

b. Tinggi Badan dengan Kenaikan APE Sebelum dan Sesudah Latihan

Pursed-lips breathing dan tiup balon

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari pengukuran terhadap 14

orang responden pasien PPOK di Ruang Penyakit Dalam RSUD Koja

didapatkan hasil bahwa koefisien korelasi Pearson antara tinggi badan

dan kenaikan APE sebelum dan sesudah latihan pursed-lips breathing

dan tiup balon adalah 0.556 dan korelasi ini tidak bermakna secara

statistik dengan nilai p= 7.144 Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada

hubungan yang bermakna antara tinggi badan dengan kenaikan APE

sebelum dan sesudah latihan pursed-lips breathing dan tiup balon.


BAB VI

PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan tentang pembahasan yang meliputi: interpretasi

dan diskusi hasil penelitian seperti yang telah dipaparkan dalam bab V,

keterbatasan penelitian yang terkait dengan desain penelitian yang digunakan

dan karakteristik sampel yang digunakan, selanjutnya akan dibahas pula

tentang bagimana implikasi hasil penelitian ini terhadap pelayanan , institusi

pendidikan, dan pengembangan penelitian berikutnya.

A. Interpretasi dan diskusi hasil

Tujuan dilakukan penelitian ini seperti telah dijelaskan pada bab II adalah

untuk menjelaskan efektifitas pursed- lips breathing dan tiup balon terhadap

peningkatan arus puncak ekspirasi pada pasien PPOK yang dirawat di

Ruang penyakit dalam di RSUD Koja. Nilai arus puncak ekspirasi sebelum

dilakukan pursed-lips breathing dan sesudah yang dilakukan selama tiga

hari akan dibandingkan dengan nilai arus puncak ekspirasi sebelum dan

sesudah pursed-lips breathing dan tiup balon.

Arus puncak ekspirasi paru dalam penelitian ini adalah kemampuan dada

dan paru untuk menggerakkan udara masuk dan keluar alveoli, yang

ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan arus puncak (APE) dengan

menggunakan alat peak flow meter (PEF meter), dan dipengaruhi usia, jenis

100
101

kelamin, dan tinggi badan (Hudak & Gallo, 2005; Guyton & Hall,1997).

Berikut ini akan diuraikan interpretasi hasil penelitian dari semua variabel.

1. Efektifitas Pursed- lips breathing dan Tiup Balon terhadap Peningkatan

arus puncak ekspirasi

Rata-rata nilai arus puncak ekspirasi pada pasien PPOK dilihat dari jenis

kelamin perempuan sejumlah 5 orang yang melakukan sebelum

intervensi pursed-lips breathing selama tiga hari sebesar 263,46 dan

sesudah intervensi pursed-lips breathing menjadi 268,73, berarti fungsi

ventilasi pasien PPOK mengalami peningkatan sebesar 5,27 (1,05%)

setelah dilakukan pursed- lips breathing. Sedangkan rata-rata nilai

fungsi ventilasi paru yang dilakukan dengan intervensi pursed- lips

breathing dan tiup balon sebelum intervensi sebesar 283,2 dan sesudah

intervensi sebesar 290,4, berarti arus puncak ekspirasi pada pasien

PPOK mengalami peningkatan sebesar 7,2 (1,44%). Fungsi ventilasi

paru pasien PPOK pada intervensi yang hanya dilakukan pursed- lips

breathing saja dan intervensi pursed- lips breathing dan tiup balon

sama-sama mengalami peningkatan .

Hal ini menunjukkan bahwa tindakan pursed- lips breathing dan tiup

balon yang dilakukan pada pasien PPOK di RSUD Koja dapat

meningkatkan nilai arus puncak ekspirasi. Intervensi yang dilakukan

mengalami kenaikan dengan intervensi pursed- lips breathing dan tiup

balon kenaikanya 7,2 (1,44%). Sedangkan rata-rata nilai arus puncak

ekspirasi pada pasien PPOK yang berjenis kelamin laki-laki sebelum


102

intervensi pursed-lips breathing selama tiga hari sebesar 257,67 dan

sesudah intervensi pursed-lips breathing menjadi 262,12 berarti fungsi

ventilasi paru pasien PPOK mengalami kenaikan setelah pursed-lips

breathing. Sedangkan rata-rata nilai arus puncak ekspirasi yang

dilakukan dengan intervensi pursed-lips breathing dan tiup balon

sebelum intervensi sebesar 268,86 dan sesudah intervensi sebesar

275,26. Dilihat dari hasil intervensi pursed-lips breathing saja terjadi

kenaikan sebesar 31% sedangkan intervensi yang dilakukan dengan

pursed-lips breathing dan tiup balon kenaikan sebesar 45,7%. Kenaikan

ini sangat berarti bagi pasien PPOK. Kenaikan kecil ini dapat

disebabkan karena lamanya latihan cukup singkat yaitu selama tiga hari.

Diketahui bahwa pasien PPOK mengalami obstruksi saluran pernapasan

yang umumnya bersifat progresif irreversibel sebagaian, ini

mengakibatkan kadar karbon dioksida (CO2) dalam paru cenderung

menetap tinggi, sehingga perlu dilakukan latihan pernapasan yaitu

pursed- lips breathing.

Hasil uji statistik juga menunjukkan arus puncak ekspirasi setelah

dilakukanya pursed- lips breathing dan tiup balon berbeda makna

dengan intervensi yang hanya melakukan pursed- lips breathing

(p=0.000, α=0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa intervensi yang

diberikan pada pasien PPOK di RSUD Koja telah mampu menaikan arus

puncak ekpsirasi, tetapi kenaikan arus puncak ekspirasi pasien PPOK

akan lebih tinggi bila dalam pelaksanaan intervensi yang dilakukan


103

perawat dilakukan secara berkesinambungan dan secara optimal dengan

pemberian pursed- lips breathing dan tiup balon atau dengan alat yang

lain.

Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa pursed- lips breathing dan tiup

balon berpengaruh secara signifikan dalam meningkatkan fungsi

ventilasi paru pasien PPOK (p=0.000, α=0,05). Selain itu efektifitas

pursed- lips breathing dan tiup balon sebesar 18,05%, artinya pursed-

lips breathing dan tiup balon dapat meningkatkan fungsi ventilasi paru

sebesar 18,05%. Pursed- lips breathing adalah strategi yang digunakan

dalam rehabilitasi pulmonal untuk menurunkan sesak napas dengan cara

relaksasi diapraghma. Pasien PPOK akan mendapatkan keuntungan bila

menggunakan teknik ini, karena strategi ini dapat bertujuan untuk :

membantu pasien mengontrol pola napas, meningkatkan mekanisme

batuk efektif, mencegah atelektasis, meningkatkan relaksasi dan

mencegah terjadinya kekambuhan dan sesak napas

(Hoieman,1996;Dechman & wilson,2004; Kisner & Colby, 1998).

Selain itu pursed lips breahing yang merupakan bagian dari breathing

retraining juga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien, karena

setelah melakukan latihan ini secara teratur maka pasien PPOK akan

dapat mengontrol sesak napasnya sehingga dapat hidup dengan normal.

Hal ini didukung hasil penelitian Thomas et al (2003) tehadap 33 pasien

asma yang melakukan breathing retraining selama 6 bulan ditemukan


104

kualitas hidup (diukur menggunakan Nijmegen Questioner Scores)

pasien meningkat dengan P value sebesar 0,018 pada α = 0,05.

Penelitian Frankdan Ramlar dkk (2010) terhadap 35 pasien PPOK ,

dihaslkan pursed- lips breathing berpengaruh dalam mengatasi masalah

sesak nafas.

Pasien PPOK rata-rata mengalami peningkatan tahanan aliran udara, air

trapping, dan hiperinflasi paru. Hiperinflasi paru menyebabkan kerugian

otot inspiratori secara mekanik, sehingga terjadi peningkatan

ketidakseimbangan antara tugas magnetik pada pernapasan, kekuatan

dan kemampuan usaha bernafas untuk memenuhi volume tidal. Oleh

karena itu perlu dilakukan pursed-lips breathing dan tiup balon , karena

selama pursed-lips breathing dan tiup balon , tidak ada aliran udara

pernapasan terjadi melalui hidung karena sumbatan involunter dari

nasofaring oleh palatum lunak. Pursed-lips breathing dan tiup balon

menimbulkan obstruksi terhadap aliran udara ekshalasi dan

meningkatkan tahanan udara, menurunkan gradien tekanan transmural

dan mempertahnakan kepatenan jalan napas yang kolap selama

ekshalasi. Proses ini membantu menurunkan pengeluaran udara yang

terjebak, sehingga dapat mengontrol ekspirasi dan memfasilitasi

pengosongan alveoli secara maksimal (Dechman & Wilson, 2004).

Penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Division

of Phsyiotherapy di Rumah sakit Karolinska University Swedia pada


105

tahun 2003 pada pasien PPOK berjumlah 32 pasien yang dirawat di

rumah sakit, dihasilkan fungsi faal paru rata-rata sebesar 90 % setelah

latihan pursed-lips breathing dan jalan kaki selama 1 minggu.

Pursed- lips breathing tidak secara langsung menurunkan kapasitas

fungsional residu, tetapi perbaikan sesak napas merupakan akibat

restorasi diafragma terhadap posisi thorak yang mengalami kontraksi.

Pursed- lips breathing juga meningkatkan kerja pernapasan

(Bach,1997). Diperkuat saat pelaksanaan, catatan hasil wawancara

terhadap pasien (walaupun tidak ada dalam kuisioner penelitian)

sebagaian besar pasien mengatakan rasa nyaman bila menggunakan

teknik pursed-lips breathing dan merasa sesak napas berkurang. Tetapi

bagi pasien yang tidak sering latihan mengalami kesulitan menerapkan

teknik ini saat serangan sesak napas timbul. Penelitian ini mendukung

hasil penelitian seberlumnya yang dilakukan oleh Tiep et.al dalam

Hoeman (1996) yang melakukan pursed-lips breathing pada pasien

PPOK menglami peningkatan saturasi oksigen arteri (SaO 2) meningkat

sekitar 15-30%, selain itu pasien mengungkapkan keuntungunnya

diantaranya merasa nyaman dan sesak napas berkurang setelah

mengikuti pelatihan pursed-lips breathing dan tiup balon.

2. Hubungan Usia dengan peningkatan Fungsi Ventilasi Paru pasien PPOK

Dilihat dari pengertian PPOK itu sendiri adalah penyakit paru obstruksi

kronik yang ditandai adanya hambatan alairan udara di salauran


106

pernapasan yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial

(PDPI,2010). PPOK sering menjadi simtomatik selama usia dewasa

awal, tetapi insidenya meningkat sejalan dengan peningkatan usia. Usia

memiliki hubungan yang signifikan dalam meningkatkan arus puncak

ekspirasi pasien PPOK setelah pursed-lips breathing dan tiup balon.

Penelitian didukung oleh Guyton (2001) yang menyatakan bahwa

semakin tua usia seseorang, maka fungsi ventilasi parunya akan

semakin menurun, hal ini disebabkan karena elastisitas dinding dada

semakin menurun. Selama proses penuaan terjadi penurunan elastisitas

alveoli, penebalan kelenjar bronkhial, penurunan kapasitas paru dan

peningkatan jumlah ruang rugi (Smeltzer & Bare,2005). Semakin

bertambah usia semakin meningkat perubahan rasio ventilasi-perfusi

paru pasien PPOK. Keadaan yang demikian dapat mengakibatkan

terjadinya sesak napas pada saat aktivitas dan penurunan aliran udara

masuk dan keluar paru yang bersifat irreversibel. PPOK juga dapat

menyebabkan semakin buruk perubahan fisiologis yang berkaitan

dengan pennuaan dan mengakibatkan obstruksi jalan napas (pada

bronkitis) dan kehilangan elastik paru (emfisema).

Rentang usia responden dalam penelitian ini adalah 44 tahun sampai 71

tahun, hal ini sesuai dengan teori Leis,Driksen, dan Heitkemper (2000)

yang mengatakan kejadian PPOK pada usia diatas 30 tahun. Selain itu

WHO memperkirakan ± 1% masyarakat berusia lebih dari 60 tahun

menderita PPOK (Ruane,2004, Global Initiative for COPD). Hal ini


107

kelompok usia dewasa pertengahan ditemukan sebesar 14 dari 19 orang

(73,6%), dan usia dewasa akhir (usia>65 tahun) sebanyak 5 dari 19

orang (47,3%)

Pasien PPOK dalam penelitian ini terbanyak usia dewasa pertengahan

yaitu antara 44 tahun sampai 65 tahun. Perubahan struktur pernapasan

terjadi menurut usia, dimana perubahan ini dimulai pada awal masa

dewasa pertengahan (Smeltzer & Bare,2005). Perubahan struktur dan

penurunan fungsi fisiologis secara bersama-sama meningkat setelah

umur 30 tahun. Bertambahnya usia dewasa juga mempengaruhi

berkurangnya kapaitas vital, volume maksimal ventilasi, kapasitas

maksimal pernapasan dan pengambilan oksigen secara maksimal

selama latihan. Penuunan kapsitas vital dari umur 30 tahun sampai 80

tahun adalah 40%, sedangkan pengurangan kapasitas maksimal

pernapasan hampir 60%. Perubahan-perubahan yang besar terjadi dalam

kapasitas total paru-paru, dan dalam pengeluaran pernapasan residu.

Usia terbanyak kedua, pada responden pasien PPOK adalah usia dewasa

akhir atau yang biasa kita sebut lanjut usia. Semakin tua usia seseorang ,

maka fungsi ventilasi parunya akan mengalami penurunan. Hal tersebut

terjadi karena elastisitas dinding dada semakin menurun, terjadi

peningkatan diameter anteroposterior dada, penurunan efisiensi otot

pernapasan, peningkatan rigiditas paru, dan penurunan luas permukaan

alveoli. (Guyton & Hall,2001).


108

3. Hubungan Tinggi Badan dengan Peningkatan Fungsi Ventilasi Paru

Tinggi badan tidak berhubungan secara langsung dengan terjadinya

PPOK atau kekambuhan PPOK , akan tetapi tinggi badan berhubungan

dengan anatomi paru yaitu khususnya luas permukaan paru. Seseorang

yang tubuhnya tinggi besar maka arus puncak ekspirasinya lebih tinggi

dibandingkan dengan orang yang bertubuh kecil pendek (Guyton &

Hall, 2001). Hasil penelitian ini menjelaskan dari hasil uji statistik

menunjukkan tidak ada hubungan (P=0,326) antara tinggi badan dengan

terjadinya peningkatan fungsi ventilasi paru pasien PPOK. Hal ini

menunjukkan bahwa proporsi tinggi badan bermakna terhadap

peningkatan arus puncak ekspirasi pasien PPOK, tetapi secara statistik

tidak bermakna. Hal ini disebabkan karena tinggi badan responden pada

penelitian ini minimal pada laki-laki 153 cm dan pada perempuan 150

cm.

Hasil penelitian ini bukan berarti tinggi badan tidak berpengaruh

terhadap fungsi ventilasi paru pasien PPOK, akan tetapi tinggi badan

tidak mempengaruhi terjadinya peningkatan arus puncak ekspirasi

pasien PPOK setelah intervensi penelitian.

4. Hubungan jenis kelamin dengan peningkatan fungsi ventilasi paru

Menurut Black & Hawk tahun 2005, sebagian besar pasien PPOK

adalah laki-laki, dan penyebab utamanya adalah merokok. Hal ini tidak
109

berbeda dengan di Indonesia dimana sebagaian besar penderita PPOK

adalah laki-laki dan rata-rata adalah perokok. Didukung hasil penelitian

Yulismar (2003) remaja mulai merokok mulai usia kurang dari 10 tahun

dan sebagaian besar adalah berjenis kelamin laki-laki. Hasil penelitian

ini menunjukkan jumlah pasien PPOK berjenis kelamin laki-laki

sebanyak 21 dari 34 orang (61,8%), akan tetapi dalam penelitian ini

peneliti tidak menggali seberapa besar pasien yang memilki riwayat

merokok.

Merokok merupakan penyebab utama pasien PPOK (Black&Hak, 2005).

Asap rokok mengiritasi jalan napas, mengakibatkan hipersekresi lendir

dan inflamasi. Iritasi konstan inin menyebabkan kelenjar0kelenjar yang

mensekresikan lendir dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi

silia menurun, dan lebih banyak lendir yang dihasilkan. Akibatnya

bronkiolus dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis, mengakibatkan

perubahan fungsi makrofag alveolar, yang berperan penting dalam

menghancurkan partikel asing, termasuk bakteri. Penyempitan bronkhus

lebih lanjut terjadi akibat perubahan fibrotik yang terjadi dalam jalan

napas. Lama kelamaan mungkin dapat terjadi perubahan paru yang

ireversibel, kemungkinan mengakibatkan efisema dan brokioektasis

(Price & wilson,2002).

Laki-laki fungsi ventilasi parunya lebih tinggi 20%-25% dibandingkan

pada wanita, karena ukuran anatomi paru-paru laki-laki lebih besar


110

dibandingkan anita. Selain itu aktivitas laki-laki lebih tinggi

dibandingkan wanita, sehingga recoil dan compliance paru

terlatih(Joyce & Hawk,2005). Walaupun secara teori nilai fungsi

ventilasi paru laki-laki lebih tinggi dari perempuan, tetapi dalam

penelitian ini didaptkan hasil sebaliknya yaitu; pada laki-laki rata-rata

nilai fungsi ventilasi paru sebesar 19,19%, sedangkan pada perempuan

sebesar 54,88%. Hasil uji statistik juga menunjukkan penelitiatidak ada

hubungan antara jenis kelamin dengan peningkatan nilai fungsi ventilasi

paru (P = 0,326, α = 0,05). Hal ini disebabkan berat derajat PPOK antara

laki-laki dan perempuan , dalam penelitian ini pasien PPOK derajat

berat lebih banyak diderita oleh laki-laki, hal ini disebabkan karena

kebanyakan laki-laki merokok.

c. Keterbatasan Penelitian

1) Waktu Penelitian

Waktu latihan pursed- lips breathing dan tiup balon dalam penelitian ini

cukup singkat yaitu tiga hari, hal ini berkaitan dengan lama rawat pasien

PPOK yang rata-rata satu minggu. Bila penelitian ini dilanjutkan pasien

dirumah dikhawatirkan terjadi bias karena peneliti tidak mengkontrol

pelakasanaan pursed lips breathing di rumah

2) Variabel Penelitian

Jumlah variabel dalam penelitian ini cukup sedikit yaitu : arus puncak

ekspirasi, tinggi badan, jenis kelamin dan usia.. Variabel riwayat


111

merokok dan lamanya sangat berhubungan dengan terjadinya PPOK,

tetapi dalam penelitian ini lupa tidak dimunculkan. Selain itu variabel

frekwensi pernapasan tidak dimasukkan.

d. Implikasi Hasil Penelitian

Dalam penelitian ilmiah mengandung dua manfaat yaitu ; manfaat secara

teoritis dan manfaat secara praktis , dan kedua manfaat itu merupakan syarat

dilakukanya suatu penelitian menurut Gulo.W, 2004. Oleh karena itu kedua

manfaat ini hendaknya bisa diimplikasikan terhadap pelayanan dan

penelitian selanjutnaya.

1) Implikasi Terhadap Pelayanan Keperawatan

Setelah pasien PPOK melakukan pursed- lips breathing selama 3 hari

ternyata mendapatkan manfaat, diantaranya adalah pasien

mengungkapkan merasa lebih nyaman, sesak nafas berkurang, dan yang

dapat terlihat dalam penelitian ini adalah terjadinya peningkatan nilai

fungsi ventilasi paru , yang diperlihatkan dengan nilai arus puncak

ekspirasi (APE).

Pelaksanaan pursed- lips breathing dan tiup balon sangat mudah, tidak

memerlukan biaya yang mahal, dan dapat dilakukan dimana saja. Selain

itu pursed- lips breathing itu sendiri merupakan tindakan keperawatan

mandiri yang dapat dilakukan perawat untuk memandirikan pasien PPOK

dalam mengatur pola nafasnya saat serangan sesak , hal ini dapat
112

membnatu pasien PPOK toleran terhadap aktivitas sehari-harinya dalam

mengalami gangguan fungsi ventilasi paru.

Pasien dapat melakukan pursed- lips breathing dan tiup balon secara

mandiri setelah diajarkan sebelumnya, intervensi ini merupakan aplikasi

dari teori self care dari D.E Orem. Teori self care ini mengamsumsikan

baha 1) manusia memerlukan masukan utuk diri dan lingkunganya; 2)

kemampuan untuk melakukan sesuatu itu perlu dilatih dalam asuhan

keperawatan untuk dirinya dan orang lain; 3) orang dewasa juga kadang-

kadang mengalami keterbatasan untuk meraat dirinya dan orang lain; 4)

manusia lahir, berkembang dan mampu merawat diri dan orang lain

(Tomey & Aligood,2004).

Melihat manfaat tersebut perlu dikembangkan pelaksanaan pursed- lips

breathing dan tiup balon baik di rumah sakit maupun dirumah. Perawat

dapat mengajarkan ini secara kontinyu sehingga hasilnya yang

menunjukkan dapat berarti serta pada saat pasien akan pulang dilakukan

kembali sehingga pasien dapat melakasanakannya pada saat dirumah

tanpa bantuan orang lain. Dengan latihan secara rutin baik dirumah sakit

maupun dirumah akan terjadi peningkatan fungsi ventilasi paru sehingga

kualitas hidup pasien PPOK pun akan meningkat.


113
2) Aplikasi Terhadap Keilmuan

Hasil penelitian ini menjelaskan tentang efektifitas pursed- lips breathing

dan tiup balon terhadap peningkatan arus puncak ekspirasi. Intervensi

yang dilakukan selama tiga hari pada pasien PPOK yang dirawat

dirumah sakit, untuk penelitian selanjutnya waktu diperpanjang sehingga

menunjukkan peningkatan arus puncak ekspirasi yang berarti. Selain itu

untuk penelitian selanjutnya responden dalam penelitian yang tidak

dirawat di rumah sakit tetapi dengan diagnosa dokter pernah mengalami

PPOK .

Diperlukan penelitian lanjutan dengan melihat jenis obat bronkhodilator

yang sama dan jumlah sampel yang lebih banyak sehingga efek

intervensi yang diberikan bukan karena efek pengobatan tetapi karena

intervensi peneliti.
BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Penelitian ini telah mengidentifikasi beberapa karakteristik dari 19

responden. Usia pada jenis kelamin perempuan paling rendah 48 tahun

dan paling tinggi 54 tahun, sedangkan pada laki-laki usia paling rendah

44 tahun dan paling tinggi 71 tahun. Sedangkan tinggi badan responden

dalam rentang untuk perempuan 150 cm sampai 160 cm, pada laki-laki

153 sampai168 cm.

2. Rata-rata nilai arus puncak pasien PPOK setelah intervensi selama tiga

hari dengan tindakan pursed- lips breathing dan tiup balon dengan jenis

kelami perempuan sebesar 1,44 % dan yang dilakukan tiup balon saja

sebanyak 1,05 %, sedangkan pada pasien PPOK yang dirawat di

ruangan penyakit dalam RSUD Koja dengan intervensi pursed-lips

breathing saja rata-rata nilai fungsi ventilasi sebesar 31,8% dan rata-

rata nilai fungsi ventilasi paru dengan intervensi pursed-lips breathing

dan tiup balon sebesar 45,7% Artinya rata-rata nilai arus puncak

ekspirasi paru dengan tindakan pursed-lips breathing dan tiup balon

mengalami peningkatan.

3. Usia memiliki hubungan terhadap peningkatan nilai fungsi ventilasi

paru pasien PPOK. Usia mampu menjelaskan peningkatan arus puncak

114
115
ekspirasi paru pasien PPOK. Dengan demikian terdapat hubungan yang

signifikan antara usia dengan peningkatan nilai arus puncak ekspirasi

pasien PPOK setelah mendapatkan intervensi pursed-lips breathing dan

tiup balon pada perempuan (P=0,000, α = 0,05), sedangkan pada laki-

laki (P=0,055,α=0,05).

4. Tinggi badan tidak berhubungan terhadap peningkatan arus puncak

ekspirasi pasien PPOK setelah intervensi pursed- lips breathing dan

tiup balon selama tiga hari (P= 0,326, α = 0,05 ). .

5. Jenis kelamin tidak berhubungan terhadap peningkatan arus puncak

ekspirasi pasien PPOK setelah mendapatkan intervensi pursed-lips

breathing dan tiup balon selama tiga hari (P=0.827, α = 0,05)

6. Pursed – lips breathing dan tiup balon berpengaruh dalam

meningkatkan arus puncak ekspirasi pasien PPOK (P=0,000, α = 0,05).

Efektifitas pursed – lips breathing dan tiup balon sebrsar 18,05%.

Kondisi ini menunjukkan baha intervensi pursed-lips breathing dan tiup

balon efektif dalam meningkatkan arus puncak ekspirasi pasien PPOK.

B. Saran

Berkaitan dengan kesimpulan hasil penelitian di atas, ada beberapa hal

yang dapat disarankan untuk pengembangan dari hasil penelitian ini

terhadap peningkatan fungsi ventilasi paru pasien PPOK.

1. Bagi pelayanan keperawatan


116

Pursed-lips breathing dan tiup balon dapat dijadikan salah satu

intervensi keperawatan yang dapat meningkatkan arus puncak ekspirasi

pasien PPOK. Berdasarkan penelitian ini, diharapkan perawat

meningkatkan pengetahuan dan ketrampilanya tentang rehabilitasi

pulmonal lainya yang salah satunya adalah pursed-lips breathing serta

mampu melakukan pengukuran arus puncak ekspirasi pada paseien

PPOK.

2. Bagi pendidikan keperawatan

Penelitian ini dijadikan sebagai pendorong dan sumber bagi

perkembangan ilmu pengetahuan keperawatan, bagi pendidikan dapat

memasukan materi rehabilitasi pulmonal dan prosedur pengukuran Arus

puncak ekspirasi dalam mata kuliah yang berhubungan dengan

kebuthan oksigenisasi. Bagi mahasiswa keperawatan dapat menegakkan

diagnosa keperawatan pada pasien yang mempunyai masalah dengan

gangguan sistem pernafasan dan mampu memberikan asuhan

keperawatan secara mandiri salah satunya dengan memberikan

intervensi pursed-lips breathing dan tiup balon pada pasien PPOK

serta mempunyai kemampuan dalam mengukur arus puncak ekspirasi

pada pasien PPOK.

3. Bagi penelitian selanjutnya

Diharapkan penelitian selanjutnya dapat menambah variabel lainya

,jumlah responden yang lebih banyak, dan melihat jenis bronkhodilator


yang digunakan oleh pasien apakah sangat berpengaruh dalam

meningkatkan arus puncak ekspirasi, serta intervensi yang diberikan

kepada pasien dalam jangka waktu lebih lama.


DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood, & Mukty, (2005). Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru.


Surabaya: Airlangga University Press.

Arikunto. (2006). Prosedur penelitian: Suatu pendekatan praktek. Edisi revisi 5.


Jakarta : Rineka Cipta.

Black, Joice & Hawk. (2005). Medical Surgical Nursig; clinical management for
positive outcomes.(7th Ed),St.Louis: Elsevier.Inc

Bruner & Sudarth. (2002) . keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Penerbit Buku
kedokteran EGC

Budiman (2011). Penelitian Kesehatan, Bandung : Refika Aditama

Depkes RI. (2010). Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruksi Kronis


(PPOK). Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penyehatan Lingkungan
Direktorat Pengendalian Penyakt Tidak Menular. Jakarta

Guyton (2001), Human Physiology and deseases Mechanism, (3th Ed)


(terjemahan oleh Petrus andrianto,2011). Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC

Global Startegy for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic

obstructive Pulmonary Disease. (Updated 2013). Global Initiative for Chronic

Obstructive Lung Diseases (GOLD). http://www.acofp.org/education/LV

10/handouts/ Tues 4 2 13/11 am.pdf. diperoleh tanggal 2 april 2013.


Hoeman, Shirley, P. (1996). Rehabilitation Nursing: proces and Application.
(2nd Ed.), St. Louis: Mosby

Hudak & Gallo. (2005). Critical Care Nursing: A Holistic approach.


Philadelhia: J.B. Lippincott Company

Ignatavicius D.,& Workman. (2006). Medical Surgical Nursing: Critical


Thingking for Collaborative Care. 5th. St. Louis, Missouri: Elsevier Inc

Lemeshow S (1997), Hosmer, DW: Klar, J: Lwanga, SK, Adequacy of sample


size in health sudies, WHO, Jhon Wiley & Sons Ltd.England

Lewis, Sharon, M.,heitkemper, Margaret, M., & direksen, shannon. (2000).


Medical Surgical Nursing; assessment and management of clinical
problem. (5th Ed). St. Louis: CV: Mosby

Machfoedz Ircham. (2010). Statistika induktif Bidang kesehatan, Keperawatan,


dan Kebidanan. Yogyakarta: Fitramaya

Mc. Morrow, & Malarkey, Louise, M. (2000). Nurses’s Manual of Laboratory


tests and Diagnostic procedures. (2ndEd). Philadelphia: W.B. Saunders
company

Pagana, kathleen, D., & pagana, Timothy, J. (1999). Diagnostic Testing and
Nursing implications: A Case Study Approach. (5th Ed.) St. Louis : Mosby

Perry, A.G., & Potter, P.A. (2004). Clinical Nursing skills Techniques. (4th Ed.),
St. Louis: Mosby

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2010). PPOK : Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Bali Penerbit FKUI
Pollit, D.F., & beck, C.T. (2006). Essentials of Nursing Research : Methods,
Appraisal, and utilization. (6th Ed.). philadelphia: Lippincott Wiliams &
walkins.

Price, S., & wilson, L.,M. (2002). Phathophysiology. Clinical Concepts of


Disease Process. St. Louis: Mosby year Book. Inc.

Rasmin, Menaldi.,& wihastuti. Et al. (2004). Diagnostik dan Terapi: prosedur


tindakan bidang paru dan pernapasan. Jakarta: Bagian Pulmonologi
FKUI.

Smeltzer, s.C., & Bare, B.G. (2005), Brunner & sudarth’s: Textbook of Medical
Surgical Nursing. Philadelphia: Lippincot

Amalia Tuti. (2009). Pengaruh terapi aktivitas Bermain : Meniup Balon


Terhadap Perubahan Fungsi Paru Anak Pra Sekolah dengan Asthma
Tahun 2009. 19 Mei 2013.

Dewi Natalia, Saryono, Dina Indrati. (2006). Pengaruh Pursed Lips-Breathing


dan tiup balon dalam Peningkatan arus puncak Ekspirasi (APE) Pasien
Asma Bronchiale di RSUD Banyumas. Jurnal ilmiah Kesehatan
Keperawatan, Volume 3, No. 1.

Enright, Chatham, & Ionescu. (2004). Inspiratory muscle training adn pursed
lips breathing improves lung function and exercise capacity in adults with
COPD. http://www.chestnet.org. Dipeoleh tanggal 2 April 2013

Gosselink, R. (2003). Controlled breathing and dyspnea in patients with chronic


obstructive pulmonary disease (COPD). Journal of Rehabilitation
Research and development
Sharma, Vijai: Dechman,Gail< Wilson, Christine , et al. (2005). Diaphragmatic
Breathing Training : further investigation Needed/Author response.
Journal American Physical Therapy association. Washington.
http://search.proquest.com/docview. Diperoleh 27 april 2013 jam 02.50

Spahija, Jadranka:de marchie, Michael, et.al. (2005). Effects of Imposed Pursed-


Lips Breathing on respiratory Mechanics at rest and durng exercise in
COPD. American College of Chest Physicians. Chicago.
http://search.proquest.com/docview. Diperoleh 29 April 2013 jam 03.54

Spengler, et.al. (2005). Respiratory Training. http://www.pponline.o.uk/enyc.


Diperoleh tanggal 2 April 2013

Yunus, Faisal. ( 1997). Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruksi. Cermin Dunia


Kedokteran. 114. 20-32
Lampiran 1

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

JAKARTA

PENJELASAN PENELITIAN

Judul Penelitian : Efektifitas Pursed-Lips Breathing dan Tiup Balon terhadap

Peningkatan Arus Puncak Ekspirasi pada Pasien PPOK di

Ruang Perawatan Penyakit Dalam RSUD Koja

Peneliti : Ari Susiani

NPM : 2011980003

Saya, mahasiswa Program Pasca Sarjana Ilmu Keperawatan Universitas

Muhammadiyah Jakarta, bermaksud mengadakan peneliti untuk mengetahui

pengembangan paru pada pasien yang menderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik

(PPOK). Bapak / ibu/ saudara yang berpartisipasi dalam penelitian ini, akan

diberikan latihan pernapasan yang dilaksanakan selama 20 menit setiap harinya

selama 3 hari. Sebelunya dan setelah latihan pernapasan dan tiup balon dilakukan

akan diukur pengembangan paru bapak/ ibu/ saudara dengan menggunakan alat peak

flow meter.

Kami menjamin bahwa penelitian ini tidak akan berdampak negatif bagi siapapun.

Apabila selama berpartisipasi dalam penelitian ini bapak/ ibu/ saudara merasakan

ketidaknyamanan maka bapak/ ibu/ saudara mempunyai hak untuk berhenti atau

mendapatkan intervensi dari tenaga ahli. Kami berjanji akan menjunjung tinggi hak-
Lampiran 1

hak responden dengan cara menjaga kerahasiaan dari data yang diperoleh, baik

dalam proses pengumpulan, pengolahan, maupun penyajian. Peneliti juga

menghargai keinginan responden untuk tidak berpartisipasi atau mengundurkan diri

dari penelitian ini.

Adapun hasil dari penelitian ini akan dimanfaatkan sebagai masukan bagi perawat

dalam merawat pasien PPOK.

Melalui penjelasan ini, kami sangat mengharapkan partisipasi bapak/ibu/saudara.

Kami ucapkan terima kasih atas ketersediaan bapak/ibu/saudara berpartisipasi dalam

penelitian ini.

Jakarta , Juli 2013

Peneliti
Lampiran 2

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

------------------------------------------------------------------------------------------------------

LEMBAR PERSETUJUAN

Judul Penelitian : Efektifitas Pursed-Lips Breathing dan Tiup Balon terhadap

Peningkatan Arus Puncak Ekspirasi pada Pasien PPOK di

Ruang Perawatan Penyakit Dalam RSUD Koja

Peneliti : Ari Susiani

NPM : 2011980003

No HP : 085716936693

Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian yang akan dilaksanakan. Saya

mengetahui bahwa tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengembangan

paru sebelum dan seduah dilakukan latihan pernapasan (pursed-lips breathing) dan

tiup balon. Saya mengerti bahwa keikutsertaan saya dalam penelitian ini sangat besar

manfaatnya bagi peningkatan kualitas hidup pasien PPOK serta meningkatkan

kualitas pelayanan perawatan pada pasien PPOK, khususnya di RSUD Koja.

Saya mengerti bahwa resiko yang akan terjadi sangat kecil. Saya juga berhak untuk

menghentikan keikutsertaan dalam penelitian ini tanpa adanya hukuman atau

kehilangan hak perawatan.

Saya mengerti bahwa catatan mengenai penelitian ini akan dirahasiakan, dan

kerahasiaan ini dijamin. Semua berkas yang mencantumkan identitas subjek


Lampiran 2

penelitian hanya digunakan untuk keperluan pengolahan data dan bila sudah tidak

digunakan akan dimusnahkan. Hanya peneliti yang mengetahui kerahasiaan data ini.

Demikian secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, saya bersedia

berpartisipasi dalam penelitian ini.

Jakarta , ........................2013

Responden Peneliti

(.........................) (Ari Susiani )


Lampiran 3

Prosedur Pemeriksaan Arus puncak Ekspirasi (APE)

Alat : Peak Flow Meter dan tissue

Persipan sebelum melakukan pemeriksaan sebagai berikut :

1. Perawat menset plastik pointer (marker) pada angka terendah

2. Jika mugkin pasien duduk tegak lurus jangan membungkuk

3. Pegang alat dengan posisi tegal lurus.

Tahap melakukan pemeriksaan APE sebagai berikut

No Cara Pengukuran Gambar

1 Pasang mouthpiece ke ujung flow

meter

2 Pasien berdiri tegak / duduk tegak

dan memegang peak flow meter,

pegang mendatar tanpa menyetuh

/ menggangu pergerakan marker

(skala pengukuran). Yakinkan

marker berada pada skala

terendah
Lampiran 3

3 Minta pasien untuk menarik

napas dalam sebanyak

banyaknya, kemudian masukan

mouthpiece ke mulut dengan

bibir menutup mengelilingi

mouthpiece, dan buang napas

segera dan sekuat mungkin.

4 Saat membuang napas, marker

bergerak dan menunjukan angka

pada skala dan catat hasilnya.

Ulangi 3 kali langkah 2 s/d 4 dan

catat nilai yang tertinggi.

Bandiingkan dengan nilai terbaik

atau prediksi

5 Bersihkan mulut dan alat dengan

tissue

Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2006) dan (Perry & Potter,

2004)
Lampiran 3

Latihan Pernapasan (Pursed-lips breathing)

Untuk melatih pernapasan saudara, ikuti gerakan-gerakan dibawah ini;

No Cara Pengukuran Gambar

1 Tarik nafas dengan lambat dan

dalam melalui hidung dalam

dua hitungan, biarkan perut

menonjol sebesar mungkin.

Pertahankan multu tertutup

denga hitungan satu, dua.

2 Hembuskan nafas secara

perlahan melalui bibir yang

dirapatkan (seperti orang

bersiul) sambil mengecangkan

(mengkontrasikan) otot-otot

perut, dalam hitungan satu,

dua, tiga , dan empat


Lampiran 4

PEDOMAN PROSEDUR

AKTIVITAS MENIUP BALON

A. Persiapan Alat

Alat yang perlu disiapkan dalam prosedur penelitian adalah :

1. Instrumen peneltian

2. Peak Flow Meter

3. Tiup balon

4. Rekam medik responden

B. Persiapan pasien

1. Memilih calon responden sesuai dengan kriteria inklusi

2. Peneliti memperkenalkan diri dengan menjelaskan tujua penelitian,

manfaat penelitian dan kegiatan penelitian.

3. Membuat kontrak waktu dengan pasien untuk melakukan intervensi

4. Peneliti mengisi instrumen penelitian : tanggal, nama, ruang rawat, kode

responden /inisial, tanggal lahir/usia, jenis kelamin responden.

C. Pelaksanaan

1. Mendekatkan alat yang akan digunakan

2. Mengukur APE sebelum intervensi dengan menggunakan Peak Flow

Meter dan mengukur tinggi badan pasien.

3. Mengatur posisi pasien setengah duduk/duduk di tempat tidur atau kursi

4. Peneliti mendemonstrasikan cara meniup balon


5. Pasien PPOK diminta untuk mengulang kembali tiup balon seperti yang

telah dilakukan peneliti.

6. Anjurkan pasien untuk meniup balon dengan kuat selama 10-60 detik

dengan diselingi napas biasa dengan irama yang teratur

7. Motivasi pasien dan pantau kekuatan meniup selama melakukan aktivitas

tiup balon, catat kekuatan meniup pada lembar observasi.

8. Lakukan pengukuran Arus Puncak Ekspirasi dengan menggunakan Peak

Flow Meter setelah intervensi dilakukan dan catat hasil pemeriksaan pada

lembar observasi.

9. Berikan pujian pada pasien atas keterlibatanya dalam penelitian.

10. Merapihkan posisi pasien dan alat-alat

11. Mengucap salam penutup.


Lampiran 5

LEMBAR OBSERVASI HASIL PENELITIAN

No Jenis Usia Berat NILAI APE


Resp Kelamin badan Hari 1 Hari 2 Hari 3
Pursed-Lips Pursed-Lips Pursed-Lips Pursed-Lips Pursed-Lips Pursed-Lips
Breathing Breathing& tiup Breathing Breathing& tiup Breathing Breathing& tiup
Balon Balon Balon
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah

Anda mungkin juga menyukai