Anda di halaman 1dari 13

Journal Reading

Profil Klinis, Epidemiologi, dan Terapeutik dari


Dermatofitosis

Oleh :
Sri Pertiwi Andry 1840312713
Syilvianti Renny 1940312107

Preseptor :

Dr. Rina Gustia, SpKK, FINSDV, FAADV


Dr.Ennesta Asri, SpKK(K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP Dr. M. DJAMIL PADANG
2020

1
Profil Klinis, Epidemiologi, dan Terapeutik dari
dermatofitosis
Carla Andréa Avelar Pires.1, 2 Natasha Ferreira Santos da Cruz.2 Amanda Monteiro Lobato.2 Priscila Oliveira de
Sousa.2 Francisca Regina Oliveira Carneiro.2 Alena Margareth Darwich Mendes.2 Work performed at the
Dermatology service, Universidade do Estado do Pará (UEPA), and Centro de Ciências Biológicas e da Saúde
(CCBS) – Belém (PA), Brazil. Anais Brasileiros de Dermatologia.2014
DOI: http://dx.doi.org/10.1590/abd1806-4841.20142569

Abstrak:
Latar belakang : Infeksi jamur yang sering ditemukan di dunia salah satunya adalah
Mikosis kulit, terutama disebabkan oleh jamur dermatofita. Prevalensi berkisar 10-
15% dari populasi di dunia.
Tujuan : Menganalisis profil klinis, epidemiologis, dan terapeutik dermatofitosis
pada pasien di Dermatologi Universidade do Estado do Pará, Brasil, dari Juli 2010
hingga September 2012.
Metode: Sebanyak 145 rekam medis pasien yang didiagnosis dengan dermatofitosis
disurvei. Data dikumpulkan dan selanjutnya dicatat sesuai dengan protokol yang
dikembangkan oleh para peneliti. Protokol ini terdiri dari informasi mengenai aspek
epidemiologi dan klinis dari penyakit dan terapi yang digunakan.
Hasil: Bentuk klinis utama dari infeksi dermatofita adalah onikomikosis, tinea
korporis, tinea pedis, dan tinea kapitis. Kelompok ini ditemukan pada Wanita dan
umur 51 sampai 60 tahun. Mengenai terapi, terdapat preferensi untuk pengobatan
yang menggabungkan obat topikal dan sistemik, dan obat yang paling banyak
digunakan adalah flukonazol (sistemik) dan ciclopiroxolamine (topikal).
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan pentingnya analisis dari profil epidemiologi
dermatofitosis untuk manajemen terapeutik dan pencegahan yang tepat pada pasien,
yang memiliki konsekuensi klinis yang signifikan, dengan lesi kronis yang sulit
diobati yang dapat menurunkan kualitas hidup pasien.

Kata kunci: Dermatomikosis; Jamur; Tinea.

2
Pendahuluan

Mikosis kulit, terutama disebabkan oleh jamur dermatofit, merupakan salah satu
infeksi jamur yang sering ditemukan di dunia yang dapat mempengaruhi beberapa
kelompok umur dan kualitas hidup pasien yang terinfeksi. 1,2 Diperkirakan bahwa
infeksi jamur superfisial mempengaruhi sekitar 20-25% populasi dunia.³ Di Brasil,
survei oleh Siqueira et al (2006) dan Brilhante et al (2000) menunjukkan bahwa
prevalensi dermatofitosis pada lesi kulit berkisar antara 18,2 hingga 23,2%. 4,5 Di
wilayah Amazon, dermatofitosis memiliki kejadian tertinggi di antara infeksi mikotik
superfisial.6 Hal ini disebabkan oleh karakteristik faktor lingkungan, seperti suhu yang
tinggi dan kelembaban, yang memberikan kondisi yang mendukung penyebaran dan
perkembangan jamur. Faktor sosiodemografi, seperti Status sosial ekonomi, pergaulan
bebas, kontak lama dengan hewan, dan kondisi kebersihan yang buruk merupakan
predisposisi untuk penyebaran infeksi mikotik di daerah tersebut.7
Dermatofitosis adalah dermatomikosis yang disebabkan oleh kelompok jamur
tertentu yang dikenal sebagai Ring warm atau tineas yang terdiri dari
Mikrosporum,trikopiton, epidermopiton. Penularan dapat terjadi melalui kontak
langsung dengan manusia atau hewan yang terinfeksi atau secara tidak langsung,
melalui kontak dengan benda yang terkontaminasi. 9 Manifestasi klinis bervariasi
tergantung pada penyebab dan respon imun pejamu; bisa berlangsung berbulan-bulan
atau bertahun-tahun, dan mungkin asimtomatik atau hanya bermanifestasi sebagai
pruritus.10 Pada sebagian besar kasus ini memiliki tampilan klinis berupa lepuh,fisura
sisik, atau bercak.11
Manifestasi lain dapat berupa: lesi pada kulit kepala, yang disebabkan oleh tinea
kapitis (kurap kulit kepala); lesi luas yang disebabkan oleh tinea korporis; lesi di
ruang interdigital dan daerah plantar kaki, yang disebabkan oleh tinea pedis (kaki
atlet); dan lesi kuku, yang disebabkan oleh tinea unguium (Gambar 1-3).11,12,13
Pengobatan ditentukan oleh lokasi dan luasnya lesi, spesies jamur yang terlibat,
keamanan dan farmakokinetik dari agen antijamur yang ada. Terapi lini pertama
didasarkan pada penggunaan agen topikal, biasanya antijamur imidazol. 15 Jika terapi
tersebut tidak efektif, terapi oral dengan agen antijamur seperti terbinafine,
itraconazole, ketoconazole, dan flukonazol dapat diberikan.16 Pengobatan juga dapat
dilakukan dengan Kombinasi antijamur topikal dan oral serta agen antiradang.8

3
Penyakit kulit ini tidak memiliki mortalitas atau morbiditas yang tinggi, namun
klinis dapat menjadi buruk dan sulit untuk diobati.17 Penyakit ini dapat menimbulkan
diskriminasi sosial.18 Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menentukan
profil klinis, epidemiologi, dan terapeutik dari dermatofit. Penelitian ini dilakukan
pada pasien yang ada di layanan Dermatologi Universidade do Estado do Pará, Brasil,
dari Juli 2010 hingga September 2012. Tujuannya agar dapat menurunkan prevalensi
dan komplikasi yang nantinya akan ditimbulkan dari dermatofitosis.

Gambar 1: Tinea korporis

Gambar 2: Tinea kapitis

Gambar 3 : Onikomikosis

Metode
Penelitian ini termasuk, retrospektif, cross-sectional yang dilakukan di Belém,
negara bagian Pará, Brasil, dengan 145 pasien di layanan Dermatologi Centro de
Ciências Biológicas e da Saúde da Universidade Estadual do Pará, pusat rujukan

4
sekunder regional untuk penyakit kulit. Sampel penelitian terdiri dari semua pasien
yang dirawat di layanan Dermatologi antara Juli 2010 dan September 2012 dengan
diagnosis klinis dermatofitosis, tanpa memandang spesies penyebab, tempat infeksi,
usia, jenis kelamin, atau terapi sebelumnya.
Kasus dengan diagnosis klinis yang meragukan dapat dikonfirmasi dengan
pemeriksaan langsung yang dilakukan di laboratorium. Pasien dengan data yang tidak
lengkap atau diagnosis klinis yang tidak sesuai dapat dikeluarkan dari sampel yang
ada. Data dikumpulkan dan dicatat serta kuesioner dirancang untuk mengumpulkan
informasi tentang epidemiologi, aspek klinis, dan terapi. Microsoft Word 2010 dan
Microsoft Excel 2007 digunakan untuk memproses manuskrip, bagan, dan tabel.
Analisis statistik dengan perangkat lunak Bioestat 5.0. Uji independensi chi-squared
dan uji-G Williams. Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik Penelitian Universidade
do Estado do Pará dengan nomor penilaian 180.297 / 2012.
Hasil
Analisis data menunjukkan bahwa, dari 145 pasien yang ada, 89 adalah
perempuan (61,4%) dan 56 orang laki-laki (38,6%). Kelompok umur terbanyak
adalah 51-60 tahun. Bentuk klinis utama dermatofitosis pada sampel adalah
onikomikosis (38,6%), tinea korporis (24,1%), tinea kapitis (22,1%), dan tinea pedis
(15,2%). Terdapat proporsi yang signifikan dari pasien dengan onikomikosis dan tinea
pedis pada rentang usia dewasa ( P < 0,001), sedangkan tinea capitis lebih umum pada
anak-anak dan remaja (P = 0,010). Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam
distribusi usia pada dermatofitosis. Mengenai pengobatan, terapi kombinasi dengan
agen topikal dan sistemik (62,8%), dengan flukonazol (33,1%) dan ciclopirox olamine
(49%) sebagai agen sistemik dan topikal yang paling sering digunakan. Terdapat 31%
pasien yang tidak melanjutkan pengobatan.
Diskusi
Analisis karakteristik sampel penelitian ini menunjukkan bahwa populasi
wanita yang terkena dermatofitosis 1,5 kali lebih banyak dari populasi pria (Tabel 1).
Penelitian lain juga mendapatkan prevalensi yang lebih tinggi pada wanita. 6,19,20
Usia rata-rata pasien dengan diagnosis dermatofitosis sangat bervariasi. Dalam
sebuah penelitian pada tahun 2010, Araújo dkk. menemukan bahwa di negara bagian
Paraíba, Brasil hampir setengah dari semua kasus dermatofitosis pasien berusia 0-20
tahun.21 Di Natal, negara bagian Rio Grande do Norte, penelitian Calado dkk. (2006)
usia rata-rata pasien dengan dermatofitosis 47 tahun. 22 Penelitian ini juga

5
mendapatkan prevalensi dermatofitosis yang tinggi yaitu antara usia 51 hingga 60
tahun (Tabel 1).
Pada penelitian ini didapatkan gejala klinis dermatofitosis yang paling banyak
berupa onikomikosis. Klinis lain dapat juga ditemukan berupa tinea korporis, tinea
kapitis, dan tinea pedis. (Tabel 2). Penelitian sebelumnya di Italia dan Kroasia juga
melaporkan maniestasi klinis yang sama persis.23,24
Penelitian lain mendapatkan terdapat hubungan antara onikomikosis dengan
peningkatan penggunaan kolam renang, olahraga, penggunaan alas kaki, diabetes dan
penyakit vaskular.8,27,28
Pada penelitian ini didapatkan insiden onikomikosis yang relatif rendah pada
anak-anak, yang mungkin disebabkan oleh pertumbuhan kuku yang lebih cepat, area
permukaan kuku yang lebih kecil untuk diinvasi, dan kemungkinan trauma yang lebih
rendah. Sebaliknya, 98,2% pasien dengan onikomikosis adalah orang dewasa atau
lanjut usia, yang mungkin disebabkan oleh penurunan laju pertumbuhan kuku dan
peningkatan kemungkinan trauma pada rentang usia ini (Tabel 3).29
Terdapat hubungan usia dan tipe lesi pada dermatofitosis dimana kulit kepala
merupakan tempat predominan dermatofitosis pada anak-anak (Tabel 3). Binder dkk
(2011) dan Cortez dkk (2012) mendapatkan kesimpulan yang sama bahwa prevalensi
tinea kapitis tertinggi ditemukan pada populasi anak.30,31
Tinea kapitis sering didapatkan pada anak-anak dan jarang ditemukan pada
dewasa, seperti yang ada pada penelitian ini. Penyebab sering ditemukan
dermatofitosis pada anak-anak yaitu tidak adanya sekresi sebum dan kolonisasi oleh
Malassezia spp yang mengurangi kemampuan kulit kepala untuk melindungi diri dari
infeksi oleh dermatofita tersebut.32 Selain itu, anak-anak lebih banyak terpapar faktor
risiko lain, seperti hygiene yang buruk, tempat yang ramai (fasilitas penitipan anak
dan sekolah), kontak langsung dengan hewan peliharaan, dan bermain pasir.6
Pengobatan dermatofitosis butuh waktu yang lama. Terapi dapat
dilakukan dengan pemberian agen antijamur dari golongan alilamin (seperti
terbinafine) dan golongan azole (ketokonazol, mikonazol, oxikonazol). Kebanyakan
infeksi dapat ditangani dengan terapi topikal saja; namun, dalam upaya meningkatkan
angka kesembuhan, obat topikal dan sistemik (oral) sering dikombinasikan. Dalam
sampel penelitian ini, 62,8% pasien menerima terapi kombinasi topikal dan sistemik
(Tabel 4).33
Tabel 1. Profil Sosiodemografi sampel penelitian

6
Variabel Sosiodemografi
Jenis Kelamin n %
Laki-laki 56 38.6
Perempuan 89 61.4
Jumlah 145 100.0

Usia rerata
0-10 tahun 27 18.6
11-20 tahun 15 10.3
21-30 tahun 14 9.7
31-40 tahun 9 6.2
41-50 tahun 22 15.2
51-60 tahun 35 24.1
61-80 tahun 23 15.9
Jumlah 145 100.0

Pekerjaan
Ibu rumah tangga 39 26.9
Pelajar 34 23.4
Tidak dilaporkan 17 11.7
Pensiunan 14 9.7
Pramuniaga 4 2.8
Pembantu rumah tangga 3 2.1
Sopir 3 2.1
Buruh 3 2.1
Lainnya 28 19.3
Jumlah 145 100.0

Terapi topikal dengan pemberian antijamur allilamine dikaitkan dengan


tingkat kesembuhan yang sedikit lebih tinggi dan pengobatan yang lebih singkat
34,35,36
daripada terapi dengan azol fungistatik. Tetapi, pemberian terapi ini memakan
biaya yang mahal.37 Oleh karena itu, karena penelitian ini menilai ekonomi pasien,
penulis dapat menyimpulkan bahwa pilihan terapi harus disesuaikan dengan status
ekonomi pasien. Ini mungkin menjelaskan mengapa tidak ada resep terapi terbinafine
topikal.
Pemberian terapi topikal terbinafine, ciclopirox olamine adalah agen
38
yang paling efektif melawan dermatofitosis. Itulah mengapa pada penelitian ini,
penggunaan ciclopirox olamine topikal banyak digunakan yaitu 49% (Tabel 4).
ciclopirox enamel adalah obat lini pertama pada onikomikosis, karena dapat
digunakan pada pasien yang tidak mampu atau tidak mau menjalani terapi sistemik. 39
Tabel 2. Profil klinis sampel penelitian
Variabel klinis
Jenis diagnosis dermatofitosis n %

7
Onikomiosis 56 38.6
Tinea korporis 35 24.1
Tinea kapitis 32 22.1
Tinea pedis 22 15.2
Tinea kruris 6 4.1
Tinea interdigitalis 2 1.4
Tina manuum 2 1.4

Daerah tubuh terkena


Tidak diketahui 36 24.8
Kepala 33 22.8
Tungkai bawah 26 17.9
Kuku jari 20 13.8
Kuku kaki 18 12.4
Alat kelamin 10 6.9
Tungkai atas 10 6.9
Saluran 10 6.9

Tabel 3. Hubungan antara jenis dermatofitosis dengan usia rerata


Usia rerata Jumlah
Anak/Rem Dewasa Usia lanjut
Dermatofitosis
aja
n % n % n % n % p
Onikomikosis 1 1.8 37 66.1 18 32.1 56 100 0.001
Tinea korporis 12 34.3 19 54.3 4 11.4 35 100 0.352
Tinea kapitis 29 90.6 2 6.3 1 3.1 32 100 0.001
Tinea pedis 1 4.5 14 63.6 7 31.8 22 100 0.010
Tinea kruris 1 16.7 5 83.3 0 6 100 0.204
Tinea interdigitalis 0 2 100 0 2 100 0.402
Tinea manum 0 2 100 0 2 100 0.402

Butenafine, merupakan antijamur mirip alilamina, sebagai agen topikal kedua


pada dermatofitosis. Butenafine dapat digunakan untuk tinea korporis, pedis, dan
kruris, karena dapat sebagai anti-inflamasi dan retensi kulit setelah penggunaan
topikal (Tabel 4). 40,41
Terapi sistemik diindikasikan jika lesi bersifat umum, berulang, kronis, atau
tidak responsif terhadap terapi topikal. Regimen pengobatan oral dikaitkan dengan
durasi pengobatan yang lama dan kepatuhan yang buruk. 42
Antijamur sistemik yang paling banyak digunakan untuk tujuan ini adalah
terbinafine, itrakonazole, ketokonazole, dan flukonazole.43 Beberapa studi komparatif
menemukan bahwa fluconazole adalah agen antijamur yang paling tidak aktif, dan
38,44
memiliki efek yang bervariasi tergantung pada spesies penyebabnya. Namun
demikian, dalam sampel penelitian ini, merupakan agen yang paling banyak
digunakan untuk pengobatan dermatofitosis sistemik (Tabel 4).

8
Griseofulvin adalah antijamur sistemik kedua, dalam penelitian ini dapat
digunakan untuk tinea kapitis (Tabel 4).35 Dibandingkan dengan ketokonazole,
griseofulvin menghasilkan hasil yang sangat baik, dengan onset kerja yang lebih cepat
dan tanpa efek samping. 32,45
Terdapat perbedaan harga antijamur azole dan allylamine, sehingga butuh
analisis biaya dalam penentuan terapeutik yang akan digunakan dan klinis yang baik
dalam alternatif kondisi yang ada. Akhirnya, penulis menemukan bahwa 31% pasien
tidak melanjutkan pengobatan. Angka yang tinggi ini berhubungan dengan lesi yang
membaik sebelum jadwal kontrol, karena pengobatan rata-rata dermatofitosis (tidak
termasuk onikomikosis) berlangsung selama 20 sampai 45 hari.1

Tabel 4. Profil pengobatan sampel penelitian


Variabel pengobatan N %
Modalitas pengobatan
Topikal 25 17.2
Sistemik 25 17.2
Kombinasi 91 62.8
Tidak dilaporkan 4 2.8
Jumlah 145 100.0

Antijamur topikal
Ciclopirox olamine 71 49.0
Butenafine 34 23.4
Ketoconazole 8 5.5
Oxiconazole 7 4.8
Miconazole 6 4.1
Amorolfine 3 2.1
Clotrimazole 2 1.4
Fenticonazole 2 1.4
Betalfatrus 1 0.7

Antijamur sistemik
Fluconazole 48 33.1
Griseofulvin 45 31
Terbinafine 18 12.4
Itraconazole 9 6.2
Ketoconazole 1 0.7
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan pentingnya analisis berulang dari profil
epidemiologi dermatofitosis untuk manajemen terapeutik dan pencegahan lesi kronis
yang sulit diobati sehingga menurunkan kualitas hidup pasien.

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Azulay RD, Azulay DR, Azulay-Abulafia L. Dermatologia. 5. ed. Rio de


Janeiro: Guanabara Koogan; 2008.
2. Peres NTA, Maranhão FCA, Rossi A, Martinez-Rossi NM. Dermatophytes:
host-pathogen interaction and antifungal resistance. An Bras Dermatol.
2010;85:657-67.
3. Havlickova B, Czaika VA, Friedrich M. Epidemiological trends in skin

10
mycoses worldwide. Mycoses. 2008;51:2-15.
4. Siqueira ER, Ferreira, JC, Maffei, CML, Candido, RC. Occurrence of
dermatophyte, in nails, feet and hands of university students. Rev Soc Bras
Med Trop. 2006;39:269-71.
5. Brilhante RSN, Paixão GC, Salvino LK, Diógenes MJN, Bandeira SP, Rocha
MFG, et al. Epidemiology and ecology of dermatophytoses in the City of
Fortaleza: Trichophyton tonsurans as important emerging pathogen of Tinea
capitis. Rev Soc Bras Med Trop. 2000;33:417-25.
6. Oliveira JAA, Barros JA, Cortez ACA, Oliveira JRSL. Superficial mycoses in
the City of Manaus/AM between March and November/2003. An Bras
Dermatol. 2006;81:238-43.
7. Lacaz CS, Porto E, Melo NT. Guia para identificação: fungos, actimomicetos
e algas de interesse médico. São Paulo: Savier; 1998.
8. Seebacher C, Bouchara JP, Mignon B. Updates on the epidemiology of
dermatophyte infections. Mycopathologia. 2008;166:335-52.
9. Degreef H. Clinical Forms of Dermatophytosis (Ringworm Infection).
Mycopathologia. 2008;166:257-65
10. Turchin I, Barankin B, Alanen KW, Saxinger L. Dermatophyte infection
(tinea). Can Fam Physician. 2005;51:499-501.
11. Somenzi CC, Ribeiro TS, Menezes A. Características particulares da
micologia clínica e o diagnóstico laboratorial de micoses superficiais.
Newslab. 2006;77:106-18.
12. Sampaio SAP, Rivitti EA. Dermatologia. 3. ed. São Paulo: Artes Médicas;
2007.
13. Fitzpatrick TB. Tratado de Dermatologia. 7. ed. Rio de Janeiro: Editora
Revinter; 2010.
14. Campanha AM, Tasca RS, Svidzinski TIE. Dermatomicoses: freqüência,
diagnóstico laboratorial e adesão de pacientes ao tratamento em um sistema
público de saúde,Maringá-PR, Brasil. Lat Am J Pharm. 2007;26:442-8.
15. Kassem MA, Esmat S, Bendas ER, El-Komy MH. Efficacy of topical
griseofulvin in treatment of tinea corporis. Mycoses. 2006;49:232-5.
16. Fernández-Torres B, Cabañes FJ, Carrillo-Muñoz AJ, Esteban A, Inza I,
Abarca L, et al. Collaborative evaluation of optimal antifungal susceptibility
testing condition for dermatophytes. J Clin Microbiol. 2002;40:3999-4003.
17. Wille MP, Arantes TD, Silva JLM. Epidemiologia das dermatomicoses em
população da periferia de Araraquara - SP. Rev Bras Clin Med. 2009;7:295-8.
18. Lopes JO, Alves SH, Mari CR, Oliveira LT, Brum LM, Westphalen JB, et al.
A ten-year survey of onychomycosis in the central region of the Rio Grande
do Sul, Brazil. Rev Inst Med Trop São Paulo. 1999;41:147-9.
19. Schoeler AP, Sguissardi CH, Bernardi E, Cembranel LR, Fuentefria AM.
Prevalência de dermatófitos na rotina de micologia em hospital particular de
médio porte na cidade de Chapecó, estado de Santa Catarina, Brasil. Rev
Ciênc Farm Básica Apl. 2010;31:103-6.
20. Couto MT, Pinheiro TF, Valença O, Machin R, Silva GSN, Gomes R, et al. O
homem na atenção primária à saúde: discutindo (in)visibilidade a partir da

11
perspectiva de gênero. Interface Comunic Saude Educ. 2010;14:257-70.
21. Araújo Gde M, Araújo ND, Farias RP, Cavalcanti FC, Lima Mdo L, Braz RA.
Superficial mycoses in Paraíba: a comparative analysis and bibliographical
revision. An Bras Dermatol. 2010;85:943-6.
22. Calado NB, Sousa F Jr, Gomes NO, Cardoso FR, Zaror LC, Milan EP.
Fusarium nail and skin infection: a report of eight cases from Natal, Brazil.
Mycopathologia. 2006;161:27-31.
23. Vena GA, Chieco P, Posa F, Garofalo A, Bosco A, Cassano N. Epidemiology
of dermatophytoses: retrospective analysis from 2005 to 2010 and comparison
with previous data from 1975. New Microbiol. 2012;35:207-13.
24. Miklić P, Skerlev M, Budimcić D, Lipozencić J. The frequency of superficial
mycoses according to agents isolated during a ten-year period (1999-2008) in
Zagreb area,Croatia. Acta Dermatovenerol Croat. 2010;18:92-8.
25. Maraki S. Epidemiology of dermatophytoses in Crete, Greece between 2004
and 2010. G Ital Dermatol Venereol. 2012;147:315-9.
26. Drakensjö IT, Chryssanthou E. Epidemiology of dermatophyte infections in
Stockholm, Sweden: a retrospective study from 2005-2009. Med Mycol.
2011;49:484-8.
27. Kaur R, Kashyap B, Bhalla P. Onychomycosis - epidemiology, diagnosis and
management. Indian J Med Microbiol. 2008;26:108-16.
28. Nenoff P, Hanselmayer GG, Tietz HJ. Fungal nail infections--an update: Part
1:Prevalence, epidemiology, predisposing conditions, and differential
diagnosis.Hautarzt. 2012;63:30-8.
29. Araújo AJG, Bastos OMP, Souza MAJ, Oliveira JC. Onicomicoses por fungos
emergentes: análise clínica, diagnóstico laboratorial e revisão. An Bras
Dermatol. 2003; 78:445-55.
30. Binder B, Lackner HK, Poessl BD, Propst E, Weger W, Smolle J, et al.
Prevalence of tinea capitis in Southeastern Austria between 1985 and 2008:
up-to-date picture of the current situation. Mycoses. 2011;54:243-7.
31. Cortez AC, de Souza JV, Sadahiro A, de Oliveira JA. Frequency and aetiology
of dermatophytosis in children age 12 and under in the state of Amazonas,
Brazil. Rev Iberoam Micol. 2012;29:223-6.
32. Rebollo N, López-barcenas AP, Arenas R. Tiña de la cabeza. Actas
Dermosifiliogr. 2008; 99:91-100.
33. Gupta AK, Cooper EA. Update in antifungal therapy of
dermatophytosis.Mycopathologia. 2008;166:353-67.
34. Andrews MD, Burns M. Common tinea infections in children. Am Fam
Physician.2008;77:1415-20.
35. Bell-Syer SE, Khan SM, Torgerson DJ. Oral treatments for fungal infections
of the skin of the foot. Cochrane Database Syst Rev. 2012;10:CD003584.
36. Rotta I, Otuki MF, Sanches AC, Correr CJ. Eficácia de antifúngicos tópicos
em diferentes dermatomicoses: uma revisão sistemática com metanálise. Rev
Assoc Med Bras.2012;58:308-18.
37. Martins GG. Terapêutica de onicomicoses humanas: epidemiologia,
manifestações clí-nicas e uso clínico de antifúngicos [tese]. Belo Horizonte

12
(MG): Universidade Federal de Minas Gerais; 2009.
38. Magagnin CM, Stopiglia CD, Vieira FJ, Heidrich D, Machado M, Vetoratto
G, et al. Antifungal susceptibility of dermatophytes isolated from patients with
chronic renal failure. An Bras Dermatol. 2011;86:694-701.
39. Shemer A, Nathansohn N, Trau H, Amichai B, Grunwald MH. Ciclopirox nail
lacquer for the treatment of onychomycosis: an open non-comparative study. J
Dermatol.2010;37:137-9.
40. Singal A. Butenafine and superficial mycoses: current status. Expert Opin
Drug Metab Toxicol. 2008;4:999-1005.
41. Das S, Barbhuniya JN, Biswas I, Bhattacharya S, Kundu PK. Studies on
comparison of the efficacy of terbinafine 1%cream and butenafine 1% cream
for the treatment of Tinea cruris. Indian Dermatol Online J. 2010;1:8-9.
42. Shivakumar V, Okade R, Rajkumar V, Sajitha K, Prasad SR. Intermittent
pulse-dosed terbinafine in the treatment of tinea corporis and/or tinea cruris.
Indian J Dermatol. 2011; 56:121-2.
43. Carrillo-Muñoz AJ, Tur-Tur C, Hernández-Molina JM, Santos P, Cárdenes D,
Giusiano G.Antifungal agents for onychomycoses. Rev Iberoam Micol.
2010;27:49-56.
44. Manzano-Gayosso P, Mendez-Tovar LJ, Hernandez-Hernandez F, Lopez-
Martinez R. La resistencia a los antifúngicos: un problema emergente en
México. Gac Méd Méx. 2008; 144:23-6.
45. Zaraa I, Hawilo A, Trojjet S, El Euch D, Mokni M, Ben Osman A. Letter:
tinea capitis in infants in their first 2 years of life: a 12-year study and a review
of the literature Dermatol Online J. 2012 Jul 15;18:16

13

Anda mungkin juga menyukai