Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

CVA HEMORAGIK (ICH, IVH, SAH)

Untuk Memenuhi Tugas Individu Profesi Departemen Medikal


Pembimbing Akademik : Ns. Alfrina Hany, S.Kp, M.Ng (AC)

Disusun Oleh:

Desi Christin Saragih

KELOMPOK 3A

PROGRAM PROFESI NERS FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
DEFENISI

Gagal jantung adalah suatu keadaan dimana jantung tidak dapat mempertahankan
sirkulasi yang adekuat yang ditandai oleh adanya suatu sindroma klinis berupa dispneu
(sesak nafas), dilatasi vena dan edema yang diakibatkan oleh adanya kelainan struktur
atau fungsi jantung (Sudoyo, 2006). Gagal jantung ( GJ ) adalah sindrom klinis
( sekumpulan tanda dan gejala ), ditandai oleh sesak napas dan fatik ( saat istirahat atau
saat aktivitas ) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung ( ARU W.
Sudoyo,dkk, 2009). Gagal jantung atau payah jantung (fungsi jantung lemah) adalah
ketidakmampuan jantung memompa darah yang cukup ke seluruh tubuh yang ditandai
dengan sesak nafas pada saat beraktifitas dan atau saat tidur terlentang tanpa bantal,
dan atau tungkai bawah membengkak. Didefinisikan sebagai penyakit gagal jantung jika
pernah didiagnosis menderita penyakit gagal jantung (decompensatio cordis) oleh dokter
atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit gagal jantung tetapi mengalami gejala
atau riwayat: sesak napas pada saat aktifitas dan sesak napas saat tidur terlentang tanpa
bantal, kapasitas aktivitas fisik menurun atau mudah lelah dan tungkai bawah bengkak
(Riskesdas, 2013).

KLASIFIKASI

Berdasarkan presentasinya gagal jantung dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal
jantung kronik, dan acute on chronic heart failure.

1. Gagal Jantung Akut

Timbulnya sesak napas secara cepat (<24 jam) akibat kelainan fungsi jantung, gangguan
fungsi sistolik atau diastolik atau irama jantung, atau kelebihan beban awal (preload),
beban akhir (afterload) atau kontraktilitas. Keadaan ini mengancam jiwa jika tidak
ditangani dengan cepat (Liwang F, et al, 2014).

Contoh gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat
endokarditis, trauma atau infark miokard luas. Curah jantung yang menurun secara tiba-
tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer (Panggabean
MM, 2009).

2. Gagal Jantung Kronik

Sindrom klinis yang kompleks akibat kelainan structural fungsional yang mengganggu
kemampuan pompa jantung atau mengganggu pengisian jantung (Liwang F, et al, 2014).

Contoh gagal jantung kronik adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan multivalvular yang
terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer sangat menyolok, namun tekanan darah
masih terpelihara dengan baik (Panggabean MM, 2009).

Pada gagal jantung kronis, derajat penyakit secara klinis fungsional dapat dikategorikan
berdasarkan criteria New York Heart Association (NYHA):
NYHA I : Penyakit jantung, namun tidak ada gejala atau keterbatasan dalam aktivitas fisik
sehari-hari biasa, misalnya berjalan, naik tangga, dan sebagainya (Liwang F, et al, 2014).

NYHA I : Gejala ringan (sesak napas ringan dan atau angina) serta terdapat keterbatasan
ringan dalam aktivitas fisik biasa sehari-hari (Liwang F, et al, 2014).

NYHA III : Terdapat keterbatasan fisik sehari-hari akibat gejala gagal jantung pada
tingkatan yang lebih ringan. Misalnya berjalan 20-100 m. Pasien hanya merasa nyaman
saat beristirahat (Liwang F, et al, 2014).

NYHA IV : Terdapat keterbatasan aktivitas yang berat, misalnya gejala muncul saat
istirahat (Liwang F, et al, 2014).

Klasifikasi terbaru yang dikeluarkan American Collage of Cardiology/American Heart


Association (ACC/AHA) pada tahun 2005 menekankan pembagian gagal jantung
berdasarkan progessivitas kelainan structural dari jantung dan perkembangan status
fungsional. Klasifikasi dari ACC/AHA ini dibagi menjadi 4 stage :

Stage A : Ada faktor risiko gagal jantung (seperti diabetes, hipertensi, penyakit jantung
koroner) namun belum ada kelainan structural dari jantung (cardiomegali, LVH, dll)
maupun kelainan fungsional (Manurung D, 2009).

Stage B : Ada faktor risiko gagal jantung dan sudah terdapat kelainan structural dengan
atau tanpa kelainan fungsional, namun bersifat asimptomatik (Manurung D, 2009).

Stage C : Sedang dalam dekopensasi dan atau pernah gagal jantung, yang didasari oleh
kelainan structural dari jantung (Manurung D, 2009).

Stage D : Sudah masuk ke dalam refractory heart failure, dan perlu advanced treatment
strategies (Manurung D, 2009).

ETIOLOGI

Menurut beberapa penelitian penyakit jantung disebabkan oleh


beberapa hal (Panggabean, 2009) yaitu:
 usia,
 jenis kelamin,
 konsumsi garam berlebihan,
 keturunan,
 hiperaktivitas system syaraf simpatis,
 stress,
 obesitas,
 olahraga tidak teratur,
 merokok,
 konsumsi alcohol dan kopi berlebihan,
 hipertensi,
 ischaemic heart disease,
 konsumsi alkohol,
 Hypothyroidsm,
 penyakit jantung kongenital (defek septum, atrial septal defek,
ventrical septal defek),
 Kardiomiopati (dilatasi, hipertropik, restriktif), dan
 infeksi juga dapat memicu timbulnya gagal jantung.

FAKTOR RESIKO

Ada beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan gagal jantung, antara lain:

a. Usia

Resiko gagal jantung meningkat seiring bertambahnya usia, semakin bertambahnya usia
maka akan semakin besar kemungkinan menderita gagal jantung (Ponikowski P, et al,
2014).

b. Jenis Kelamin

Pada umumnya laki-laki beresiko untuk mendapat gagal jantung lebih besar dibandingkan
perempuan, setelah menopause, frekuensinya menjadi hampir sama, mungkin karena
adanya hormone estrogen pada perempuan yang berpengaruh terhadap bagaimana
tubuh menghadapi lemak dan kolesterol. Menurut penelitian di Amerika laki-laki memiliki
resiko relatif lebih besar (53%) dibandingkan perempuan (47%) (Whelten, et al, 2001).

c. Riwayat merokok

Merokok adalah faktor resiko yang kuat pada gagal jantung. Setelah melakukan penelitian
studi cohort pada tahun 2001 didapatkan adanya hubungan antara merokok dan resiko
menderita gagal jantung. Merokok pada usia 50 tahun, maka resiko menderita gagal
jantung akan lebih tinggi 60%. Di Amerika merokok sebagai faktor resiko dari gagal
jantung menduduki posisi kedua setelah CHD (Whelten, et al, 2001).

d. Hipertensi

Hipertensi pada dasarnya didefinisikan sebagai tekanan sistol ≥ 120 mmHg, tekanan
diastol ≥ 80 mmHg, atau memiliki riwayat menggunakan obat antihipertensi. Berdasarkan
penelitian di Amerika, hipertensi menduduki urutan ketiga sebagai faktor resiko gagal
jantung setelah merokok dan CHD (Whelten, et al, 2001).

e. Diabetes

Hipertensi dan diabetes sangat penting perannya sebagai faktor resiko pada gagal
jantung. Penemuan ini mengindikasikan bahwa dalam menjaga kesehatan, kontrol
hipertensi dan diabetes pada populasi umum sangat berperan dalam mengurangi insiden
dan mortalitas dari gagal jantung (Whelten, et al, 2001).
TANDA DAN GEJALA (Arif Mutaqin, 2009) :

1.Gambaran klinis relative dipengaruhi oleh tiga factor :

 Kerusakan jantung
 Kelebihan beban hemodinamik, dan
 Mekanisme kompensasi sekunder yang timbul saat gagal jantung terjadi.
2.      Gejala-gejala yang terjadi akibat gagal jantung :

 Batuk
 Edema
 Dispenia
 Disritmia
 Ortopnea
 Paroksismal
 Kulit dingin
 Kelemahan fisik
 Dispenia nocturnal
 Edema pulmonal akut
 Distensi vena jugularis
 Adanya bunyi jantung ketiga dan keempat dan crackles pada paru-paru
 Perubahan nadi ( takikardi, thread pulse, hipotensi sistolik, pulsus alternans )
  Gambaran pada gagal jantung sisi kiri adalah sebagai berikut ( Jhon E. Hall, 2010):

 Meningkatnya tekanan atrium kiri


 Bendungan paru
 Edema paru jika tekanan kapiler paru lebih dari sekitar 28 mmHg.
 Tekanan arteri dan curah jantung tetap mendekati normal selama pasien beristirahat
 Intoleransi terhadap olah raga, yang jika dicoba dapat memperparah edema paru.
Gambaran klinis gagal jantung kanan ( Huon H. Gray, 2005):
a.Gejala
1. Nyeri dada
2. Penurunan kapitas aktivitas
3. Pembengkakan pergelangan kaki
4. Dispnu (namun bukan ortopnu atau PND)
b.Tanda
1. Edema
2. S3 ata S4 RV
3. ( efusi pleura )
4. Hepatomegali dan asite
5. Peningkatan JVP (±TR)
6. Denyut nadi (aritmia takikardial)
7. Gerakan bergelombang parasternal
PATOFISIOLOGI
Terdapat beberapa kondisi yang mendasari terjadinya gagal jantung, yaitu gangguan
mekanik (beberapa faktor yang mungkin bisa terjadi secara tunggal atau bersamaan
yaitu beban tekanan, beban volume, tamponade jantung atau kontriksi perikard,
jantung tidak dapat diastol, obstruksi pengisian ventrikel, aneurisme ventrikel,
disenergi ventrikel, restriksi endokardial atau miokardial) dan abnormalitas otot jantung
yang terdiri dari primer (kardiomiopati, miokarditis metabolic (DM, gagal ginjal kronik,
anemia) toksin atau sitostatika) dan sekunder (iskemia, penyakit sistemik, penyakit
infiltrative, dan korpulmonal) (Soeparman, 2001).
1. Gangguan irama jantung atau konduksi
Menurut Soeparman (2001) beban pengisian (preload) dan beban tekanan (afterload)
pada ventrikel yang mengalami dilatasi atau hipertrofi memungkinkan adanya
peningkatan daya kontraksi jantung yang lebih kuat, sehingga curah jantung
meningkat. Pembebanan jantung yang lebih besar meningkatkan simpatis, sehingga
kadar katekolamin dalam darah meningkat dan terjadi takikardi dengan tujuan
meningkatkan curah jantung. Pembebanan jantung yang berlebihan dapat
mengakibatkan curah jantung menurun, maka akan terjadi redistribusi cairan dan
elektrolit (Na) melalui pengaturan cairan oleh ginjal dan vasokontriksi perifer dengan
tujuan untuk memperbesar aliran balik vena (venous return) ke dalam ventrikel
sehingga meningkatkan tekanan akhir diastolic dan menaikkan kembali curah jantung
(Soeparman, 2001).
Dilatasi, hipertrofi, takikardi, dan redistribusi cairan badan merupakan mekanisme
kompensasi untuk mempertahankan curah jantung dalam memenuhi kebutuhan
kompensasi untuk mempertahankan curah jantung dalam memenuhi kebutuhan
sirkulasi badan. Bila semua kemampuan mekanisme kompensasi jantung tersebut di
atas sudah dipergunakan seluruhnya dan sirkulasi darah dalam badan belum juga
terpenuhi, maka terjadilah keadaan gagal jantung (Rang, 2003).
Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya gangguan
pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri menurun dengan
akibat tekanan akhir diastole dalam ventrikel kiri dan volume akhir diastole dalam
ventrikel kiri meningkat. Keadaan ini merupakan beban atrium kiri dalam kerjanya
untuk mengisi ventrikel kiri pada waktu diastolic, dengan akibat terjadinya kenaikan
tekanan rata-rata dalam atrium kiri. Tekanan dalam atrium kiri yang meninggi ini
menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dari vena-vena pulmonal. Bila
keadaan ini terus berlanjut, maka bendungan akan terjadi juga dalam paru-paru
dengan akibat terjadinya edema paru dengan segala keluhan dan tanda-tanda akibat
adanya tekanan dalam sirkulasi yang meninggi. Keadaan yang terakhir ini merupakan
hambatan bagi ventrikel kanan yang menjadi pompa darah untuk sirkuit paru (sirkulasi
kecil). Bila beban pada ventrikel kanan itu terus bertambah, maka akan meransang
ventrikel kanan untuk melakukan kompensasi dengan mengalami hipertropi dan
dilatasi sampai batas kemampuannya, dan bila beban tersebut tetap meninggi maka
dapat terjadi gagal jantung kanan, sehingga pada akhirnya terjadi gagal jantung kiri-
kanan. Gagal jantung kanan dapat pula terjadi karena gangguan atau hambatan pada
daya pompa ventrikel kanan sehingga isi sekuncup ventrikel kanan tanpa didahului
oleh gagal jantung kiri. Dengan menurunnya isi sekuncup ventrikel kanan, tekanan
dan volume akhir diastole ventrikel kanan akan meningkat dan ini menjadi beban
atrium kanan dalam kerjanya mengisi ventrikel kanan pada waktu diastole, dengan
akibat terjadinya kenaikan tekanan dalam atrium kanan. Tekanan dalam atrium kanan
yang meninggi akan menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dalam vena
kava superior dan inferior ke dalam jantung sehingga mengakibatkan kenaikan dan
adanya bendungan pada vena-vena sistemik tersebut (bendungan pada vena jugularis
dan bendungan hepar) dengan segala akibatnya (tekanan vena jugularis yang
meninggi dan hepatomegali). Bila keadaan ini terus berlanjut, maka terjadi bendungan
sistemik yang lebih berat dengan akibat timbulnya edema tumit atau tungkai bawah
dan asites (Osama Gusbi, 2002).
Manifestasi CHF tidak hanya disebabkan karena ketidakmampuan jantung dalam
mensuplai oksigen yang adekuat ke jaringan perifer, tapi juga tergantung pada respon
sistemik dalam mengkompensasi ketidakadekuatan suplai oksigen ke jaringan.
Beberapa faktor yang menentukan cardiac output meliputi heart rate dan stroke
volume. Stroke volume ditentukan oleh preload, kontraktilitas, dan afterload. Variabel-
variabel ini penting diketahui dalam patofisiologis CHF dan potensi terapi. Selain itu
interaksi kardiopulmonary penting juga untuk diketahui dalam peranannya dalam
kegagalan jantung (Figueroa, et al, 2006).
Preload dapat dilihat dari jumlah volume darah yang harus dipompa oleh jantung,
kontraktilitas merupakan kemampuan memompa jantung, sedangkan afterload
merupakan kekuatan yang harus dikeluarkan oleh jantung untuk memompa darah.
Preload tidak hanya dipengaruhi oleh volume intravaskuler, tapi juga dipengaruhi oleh
keadaan restriksi saat pengisian ventrikel. Fungsi diastolic ditentukan oleh dua faktor
yaitu elastisitas dari ventrikel kiri, yang mana merupakan fenomena yang pasif, dan
relaksasi myocardial yang mana proses ini merupakan proses yang aktif dan
membutuhkan energi. Ketidaknormalan ventrikel kiri untuk relaksasi atau
elastisitasnya baik itu karena structural (contoh: hypertropi ventrikel kiri) atau
perubahan pada fungsional (contoh: iskemia) mempengaruhi juga pengisian ventrikel
(preload) (Figueroa, et al, 2006).
Variable kedua dari stroke volume adalah kontraktilitas jantung, Pada jantung normal
fungsi sistolik fraksi ejeksi akan selalu dipertahankan diatas 50-55%. Infark myokard
akan menyebabkan myokard tidak dapat bekerja dengan baik, hal ini dikarenakan
jantung tidak dapat berkontraksi dengan baik. Jaringan yang infark dapat diperbaiki
dengan pembedahan atau dengan terapi obat-obatan. Beberapa hal yang juga
mempengaruhi kontraktilitas jantung adalah agent farmakologik (calcium channel
blocker), hipoksemia, dan asidosis yang parah (Figueroa, et al, 2006).
Variabel terakhir dari komponen stroke volume adalah afterload. Afterload biasanya
dilihat dengan pengukuran mean arterial pressure. Afterload dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu tahanan vaskuler, dan tekanan intratorakal. Bersama-sama
ketiga komponen ini saling mempengaruhi dalam patofisiologi CHF. Pada kondisi
dimana terjadi penurunan cardiac output, maka heart rate atau stroke volume harus
berubah untuk menjaga kelangsungan perfusi. Jika stroke volume tidak dapat dirubah,
maka heart rate harus ditingkatkan untuk menjaga cardiac output (Figueroa, et al,
2006).
Sistem neurohormonal teraktivasi pada disfungsi ventrikel dengan penurunan cardiac
output, terjadi aktivasi baroreseptor pada arkus aorta, sinus karotikus, dan ventrikel
kiri. Baroreseptor ini menstimulasi pusat regulator vasomotor pada medula, yang
mana kemudian mengaktivasi system saraf simpatis, arginin vasopressin, dan rennin-
angiotensin aldosteron system. Aktivasi system saraf simpatis dapat terlihat dari
adanya peningkatan kadar norepinephrin plasma, hasilnya dapat terlihat dari
peningkatan heart rate, kontraktilitas myocardium, vasokonstriksi perifer. Renin
angiotensin system teraktivasi pada kegagalan jantung, melalui mekanisme intrarenal,
yang distimulasi oleh perubahan tekanan atau perubahan pada kadar sodium pada
macula densa, yang kemudian menyebabkan terjadinya retensi sodium dan cairan
(Tsutsui, et al, 2007).
2. Mekanisme Frank Starling
Mekanisme Frank Starling meningkatkan stroke volume berarti terjadi peningkatan
volume ventrivuler dan diastolik. Bila terjadi peningkatan pengisian diastolic, berarti
ada peningkatan peregangan dari serat otot jantung, lebih optimal pada filament aktin
dan myosin, dan hasilnya meningkatkan tekanan pada kontraksi berikutnya. Pada
keadaan normal, mekanisme Frank Starling mencocokkan output dari dua ventrikel
(Boron, et al, 2005).
Pada gagal jantung, mekanisme Frank Starling membantu mendukung kardiak output.
Kardiak output mungkin akan normal pada penderita gagal jantung yang sedang
beristirahat, dikarenakan terjadinya peningkatan volume ventricular end diastolic dan
mekanisme Frank-Starling. Mekanisme ini menjadi tidak efektif ketika jantung
mengalami pengisian yang berlebihan dan serat otot mengalami peregangan yang
berlebihan (Boron, et al, 2005).
Hal penting yang menentukan konsumsi energy otot jantung adalah ketegangan dari
dinding ventricular. Pengisian ventrikel yang berlebihan menurunkan ketebalan
dinding pembuluh darah dan meningkatkan ketegangan dinding pembuluh darah.
Peningkatan ketegangan dinding pembuluh darah akan meningkatkan kebutuhan
oksigen otot jantung yang menyebabkan iskemia dan lebih lanjut lagi adanya
gangguan fungsi jantung (Loscalzo, et al, 2008).
3. Aktivasi neurohormonal yang mempengaruihi sistem saraf simpatetik
Stimulasi system saraf simpatetik berperan penting dalam respon kompensasi
menurun cardiac output dan pathogenesis gagal jantung. Baik cardiac sympathetic
tone dan katekolamin (epinephrine dan norepinephrin) meningkat selama tahap akhir
dari hampir semua bentuk gagal jantung. Stimulasi langsung irama jantung dan
kontraktilitas otot jantung oleh pengaturan vascular tone, sistem saraf simpatetik
membantu memelihara perfusi berbagai organ, terutama otak dan jantung (Loscalzo,
et al, 2008).
Aspek negatif dari peningkatan aktivitas system saraf simpatetik melibatkan
peningkatan tahanan sistem vaskular dan kelebihan kemampuan jantung dalam
memompa. Stimulasi simpatetik yang berlebihan juga menghasilkan penurunan aliran
darah ke kulit, otot, ginjal, dan organ abdominal. Hal ini tidak hanya menurunkan
perfusi jaringan tetapi juga berkontribusi meningkatkan sistem tahanan vaskular dan
stres berlebihan dari jantung (Rang, 2003).
4. Mekanisme Renin-Angiotensin-Aldosteron
Salah satu efek yang paling penting dalam menurunkan cardiac output dalam gagal
jantung adalah reduksi aliran darah pada ginjal dan kecepatan filtrasi glomerulus, yang
menyebabkan retensi garam dan air. Penurunan aliran darah ke ginjal, meningkatkan
sekresi renin oleh ginjal yang secara paralel akan meningkatkan pula angiotensin II.
Peningkatan konsentrasi angiotensin II berkontribusi pada keadaan vasokonstriksi dan
menstimulasi produksi aldosterone dari adrenal korteks. Aldosteron akan
meningkatkan reabsorpsi natrium dengan meningkatkan retensi air (Tsutsui, et al,
2007). Selain itu angiotensin II dan aldosteron juga terlibat dalam inflamasi proses
perbaikan karena adanya kerusakan jaringan. Keduanya menstimulasi produksi
sitokin, adhesi sel inflamasi (contoh neutrofil dan makrofag) dan kemotaksis;
mengaktivasi makrofag pada sisi kerusakan dan perbaikan; dan menstimulasi
pertumbuhan fibroblas dan sintesis jaringan kolagen (Loscalzo, et al, 2008).
5. Peptida natriuretik dan substansi vasoaktif yang diproduksi secara lokal
Ada tiga jenis natriuretic peptide yaitu atrial natriuretic peptide (ANP), brain natriuretic
peptide (BNP), dan C-type natriuretic peptide (CNP). ANP dihasilkan dari sel atrial
sebagai respon meningkatkan ketegangan tekanan atrial, memproduksi natriuresis
cepat dan sementara, diuretik dan kehilangan kalium dalam jumlah sedang dalam
urine. BNP dikeluarkan sebagai respon tekanan pengisian ventrikel sedangkan fungsi
CNP masih belum jelas (Loscalzo, et al, 2008).
6. Hipertrofi otot jantung dan remodeling
Perkembangan hipertrofi otot jantung dan remodeling merupakan salah satu
mekanisme akibat meningkatnya kerja yang berlebih. Meskipun hipertrofi ventrikel
memperbaiki kerja jantung, ini juga merupakan faktor risiko yang penting bagi
morbiditas dan mortalitas. Keadaan hipertrofi dan remodeling dapat menyebabkan
perubahan dalam struktur (massa otot, dilatasi chamber) dan fungsi (gangguan fungsi
sistolik dan diastolik). Ada 2 tipe hipertrofi, yaitu pertama Concentric hypertrophy,
terjadi penebalan dinding pembuluh darah, disebabkan oleh hipertensi.dan kedua
Eccentric hypertrophy, terjadi peningkatan panjang otot jantung disebabkan oleh
dilated cardiomyopathy (Shigeyama, et al, 2005).
PATHWAY GAGAL JANTUNG (HEART FAILURE).

Iskemia Miokard

Infark Miokard

Pengkajian Malfungsi Katup Hipertensi Karolomiopati Fungsi ventrikel kiri


Disfungsi otot papilaris & gangguan
Defek septum ventrikel, kontraktilitas:
Waktu Tromboembolisme, Nekrosis Ejeksi
pengisian Perikarditis. sel otot ventrikel kiri  Daya kontraksi
diastolic ↑ jantung terganggu  Perubahan daya
kembang dan
Pe↓ isi Hipertrofi Statis darah gerakan dinding
sekuncup ventrikel dalam ventrikel
ventrikel dan  Curah sekuncup
atrium
Meningkatkan Peningkatan
beban ventrikel beban awal
Disfungsi Peningkatan ↑ Tekanan
diastolic dan beban awal dan ventrikel kiri
sistolik,iskemia beban akhir
miokard dan
aritmia.

Gagal Jantung
(Heart/Cardiac Failure)

Tercetusnya aktivasi Kongesti


Aritmia (after potential), Pulmonalis >>
ventrikular otomatisasi↑ dan re- Curah jantung ↓
entry
Tekanan hidrostatik >>
tekanan osmotik
Kematian
Peningkatan Aktivasi sisten Hipertrofi
mendadak
aktivitas adrenergic rennin-angiotensin- ventrikel
Perembesan cairan ke
simpatik aldosteron
alveoli
Peningkatan Aktivasi sisten Hipertrofi Perembesan cairan ke
aktivitas adrenergic rennin-angiotensin- ventrikel alveoli
simpatik aldosteron

Vasokonstriksi Angiotensin Pemendekan 3. Kerusakan


sistemik I→ACE→II miokard pertukaran gas

Pengeluaran Pengisian LV↓ Edema paru


Me↓ GFR Vasokonstriksi aldosteron (LVEDP↓)
nefron ginjal
Pengembangan
Curah jantung ↓
Me↑ reabsorbsi Na +
paru tidak adekuat
Me↓ ekskresi Na+ dan H2O oleh
tubulus Aliran tidak 3. Resiko pola
dan H2O dalam urin
adekuat ke napas tidak
jantung dan otak adekuat
Urin output↓ 8. Resiko
volume plasma↑ terjadinya GGA
4. Resiko tinggi
tekanan hidrostatik↑ 10. Gangguan
gangguan
pemenuhan
perfusi jaringan
6. Resiko tinggi istirahat dan tidur
kelebihan volume
5. Resti ↓ tingkat
cairan 6. Resiko tinggi
kesadaran
kelebihan volume
cairan
1. Resiko tinggi
Perubahan penurunan curah
metabolisme Penurunan suplai jantung
miokardium O2 ke miokardium Kelemahan fisik

Peningkatan hipoksia Syok kardiogenik


2. Nyeri dada 9. Gangguan
jaringan miokardium pemenuhan aktivitas
Kematian sehari-hari
7. Pemenuhan
nutrisi kurang dari Iskemia
kebutuhan tubuh miokardium
11. Resiko tinggi trauma

Infark 12. Resiko tinggi Infeksi


10. Resiko tinggi miokardium
konstipasi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Berikut adalah beberapa pemeriksaan penunjang untuk diagnosis gagal jantung:
1. Laboratorium rutin: darah tepi lengkap, elektrolit, BUN, kreatinin, enzim hepar, serta
urinalisis. Pemeriksaan untuk diabetes mellitus, dislipidemia, dan kelainan tiroid juga
penting untuk dilakukan (Kabo P, 2012).
2. EKG: pada gagal jantung, interprestasi EKG yang dicari adalah ritme, ada atau
tidaknya hipertrofi ventrikel kiri, serta ada atau tidaknya infark (riwayat atau sedang
berlangsung). Meski tidak spesifik, EKG yang normal dapat mengeklusi disfungsi
sistolik (Kabo P, 2012).
3. Rontgen toraks: dapat dinilai ukuran dan bentuk jantung, serta vaskularisasi paru
dan kelainan non-jantung lainnya (hipertensi pulmonal, edema intertisial, edema paru)
(Kabo P, 2012).
4. Pemeriksaan fungsi ventrikel kiri: Ekokardiogram 2-D/Doppler, untuk menilai ukuran
dan fungsi ventrikel kiri, serta kondisi katup dan gerakan dinding jantung (Kabo P,
2012).
5. Pemeriksaan biomarka: Brain Natriuteric Peptide (BNP) dan pro-BNP sensitif untuk
mendeteksi gagal jantung. Dikatakan gagal jantung bila nilai BNP≥100 pg/mL atau NT-
proBNP≥300 pg/mL (Kabo P, 2012).

PENANGANAN GAGAL JANTUNG


Tujuan umum penanganan gagal jantung adalah: meniadakan tanda klinik seperti
batuk dan dispne, memperbaiki kinerja jantung sebagai pompa, menurunkan beban
kerja jantung, dan mengontrol kelebihan garam dan air. Obat yang digunakan untuk
penanganan gagal jantung bervariasi tergantung pada etiologi, keparahan gagal
jantung, spesies penderita, dan faktor lainnya. Untuk mencapai tujuan dalam
penanganan gagal jantung dapat dilakukan dengan cara (Ramani dkk, 2010):
1. Membatasi aktivitas fisik. Latihan/aktivitas akan meningkatkan beban jantung dan
juga meningkatkan kebutuhan jaringan terhadap oksigen. Pada pasien yang fungsi
jantungnya mengalami tekanan, latihan dapat menimbulkan kongesti. Karena itu maka
kerja jantung harus diturunkan dengan istirahat atau membatasi aktivitas.
2. Membatasi masukan garam. Pada pasien yang mengalami CHF, aktivitas renin-
angiotensi-aldosteron mengalami peningkatan. Hal tersebut akan merangsang ginjal
untuk menahan natrium dan air sehingga ekskresi natrium dan air akan berkurang.
Bila ditambah pakan yang mengandung natrium tinggi maka retensi air dan
peningkatan volume darah akan semakin parah, dan pada gilirannya akan
menimbulkan kongesti dan edema.
3. Menghilangkan penyebab atau faktor pemicu gagal jantung. Menghilangkan
penyebab gagal jantung merupakan tindakan yang paling baik. Malformasi kongenital
seperti patent ductus arteriosus dapat diperbaiki dengan cara operasi dengan tingkat
keberhasilan yang tinggi. Ballon valvuloplasti telah berhasil digunakan untuk
menangani stenosis katup pulmonik. CHF yang disebabkan oleh penyakit perikardium
dapat ditangani sementara atau permanen dengan perikardiosentesis atau
perikardektomi. Tetapi sayangnya hal tersebut sering tidak mungkin dilakukan dengan
berbagai alasan.
4. Menurunkan preload. Karena adanya retensi garam dan air oleh ginjal pada pasien
CHF, maka preload jantung pada umumnya tinggi. Hal tersebut akan mengakibatkan
kongesti pada sistem sirkulasi. Oleh karena itu, penurunan preload akan menurunkan
kongesti dan edema pulmoner, yang akan memperbaiki pertukaran gas pada paru-
paru pada kasus CHF jantung kiri, dan menurunkan kongesti vena sistemik dan asites
pada CHF jantung kanan. Preload ditentukan oleh volume cairan intravaskular dan
tonus vena sistemik.

PENGOBATAN GAGAL JANTUNG


Pengobatan dilakukan agar penderita merasa lebih nyaman dalam melakukan
berbagai aktivitas fisik, dan bisa memperbaiki kualitas hidup serta meningkatkan
harapan hidupnya. Pendekatannya dilakukan melalui 3 segi, yaitu mengobati penyakit
penyebab gagal jantung, menghilangkan faktor-faktor yang bisa memperburuk gagal
jantung dan mengobati gagal jantung. Tujuan pengobatan gagal jantung adalah untuk
mengurangi gejala-gejala gagal jantung sehingga memperbaiki kualitas hidup
penderita. Cara dan golongan obat yang dapat diberikan antara lain mengurangi
penumpukan cairan (dengan pemberian diuretik), menurunkan resistensi perifer
(pemberian vasodilator), memperkuat daya kontraksi miokard (pemberian inotropik)
(Dickstein dkk, 2008;Ramani, 2010) :
1. Diuretik digunakan pada semua keadaan dimana dikehendaki peningkatan
pengeluaran air, khususnya pada hipertensi dan gagal jantung. Diuterik yang sering
digunakan golongan diuterik loop dan thiazide. Diuretik Loop (bumetamid, furosemid)
meningkatkan ekskresi natrium dan cairan ginjal dengan tempat kerja pada ansa
henle asenden, namun efeknya bila diberikan secara oral dapat menghilangkan pada
gagal jantung berat karena absorbs usus. Diuretik ini menyebabkan hiperurisemia.
Diuretik Thiazide (bendroflumetiazid, klorotiazid, hidroklorotiazid, mefrusid,
metolazon). Menghambat reabsorbsi garam di tubulus distal dan membantu
reabsorbsi kalsium. Diuretik ini kurang efektif dibandingkan dengan diuretic loop dan
sangat tidak efektif bila laju filtrasi glomerulus turun dibawah 30%. Penggunaan
kombinasi diuretic loop dengan diuretic thiazude bersifat sinergis. Tiazide memiliki
efek vasodilatasi langsung pada arterior perifer dan dapat menyebabkan intoleransi
karbohidrat.
2. Digoksin, pada tahun 1785, William Withering dari Birmingham menemukan
penggunaan ekstrak foxglove (Digitalis purpurea). Glikosida seperti digoksin
meningkatkan kontraksi miokard yang menghasilkan inotropisme positif yaitu
memeperkuat kontraksi jantung, hingga volume pukulan, volume menit dan dieresis
diperbesar serta jantung yang membesar menjadi mengecil. Digoksin tidak
meneyebabkan perubahan curah jantung pada subjek normal karena curah jantung
ditentukan tidak hanya oleh kontraktilitas namun juga oleh beban dan denyut jantung.
Padagagal jantung, digoksin dapat memperbaiki kontraktilitas dan menghilangkan
mekanisme kompensasi sekunder yang dapat menyebabkan gejala.
3. Vasodilator dapat menurunkan afterload jantung dan tegangan dinding ventrikel,
yang merupakan determinan utama kebutuhan oksigen moikard, menurunkan
konsumsi oksigen miokard dan meningkatkan curah jantung. Vasodilator dapat
bekerja pada system vena (nitrat) atau arteri (hidralazin) atau memiliki efek campuran
vasodilator dan dilator arteri (penghambat ACE, antagonis reseptor angiotensin,
prazosin dan nitroprusida). Vasodilator menurukan prelod pada pasien yang memakan
diuterik dosis tinggi, dapat menurunkan curah jantung dan menyebabkan hipotensi
postural. Namun pada gagal jantung kronis, penurunan tekanan pengisian yang
menguntungkan biasanya mengimbangi penurunan curah jantung dan tekanan darah.
Pada gagal jantung sedang atau berat, vasodilator arteri juga dapat menurunkan
tekanan darah.
4. Beta Blocker (carvedilol, bisoprolol, metoprolol). Penyekat beta adrenoreseptor
biasanya dihindari pada gagal jantung karena kerja inotropik negatifnya. Namun,
stimulasi simpatik jangka panjang yang terjadi pada gagal jantung menyebabkan
regulasi turun pada reseptor beta jantung. Dengan memblok paling tidak beberapa
aktivitas simpatik, penyekat beta dapat meningkatkan densitas reseptor beta dan
menghasilkan sensitivitas jantung yang lebih tinggi terhadap simulasi inotropik
katekolamin dalam sirkulasi. Juga mengurangi aritmia dan iskemi miokard.
Penggunaan terbaru dari metoprolol dan bisoprolol adalah sebagai obat tambahan
dari diuretic dan ACE-blokers pada dekompensasi tak berat. Obatobatan tersebut
dapat mencegah memburuknya kondisi serta memeperbaiki gejala dan keadaan
fungsional. Efek ini bertentangan dengan khasiat inotrop negatifnya, sehingga perlu
dipergunakan dengan hati-hati.
5. Antikoagolan adalah zat-zat yang dapat mencegah pembekuan darah dengan jalan
menghambat pembentukan fibrin. Antagonis vitamin K ini digunakan pada keadaan
dimana terdapat kecenderungan darah untuk memebeku yang meningkat, misalnya
pada trombosis. Pada trobosis koroner (infark), sebagian obat jantung menjadi mati
karena penyaluran darah kebagian ini terhalang oleh tromus disalah satu cabangnya.
Obat-obatan ini sangat penting untuk meningkatkan harapan hidup penderita.
6. Antiaritmia dapat mencegah atau meniadakan gangguan tersebut dengan jalan
menormalisasi frekuensi dan ritme pukulan jantung. Kerjanya berdasarkan penurunan
frekuensi jantung. Pada umumnya obat-obatn ini sedikit banyak juga mengurangi daya
kontraksinya. Perlu pula diperhatikan bahwa obat-obatan ini juga dapat
memeperparah atau justru menimbulkan aritmia. Obat antiaritmia memepertahankan
irama sinus pada gagal jantung memberikan keuntungan simtomatik, dan amiodaron
merupakan obat yang paling efektif dalam mencegah AF dan memperbaiki
kesempatan keberhasilan kardioversi bila AF tetap ada.
TINDAKAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Pemeriksaan Fisik
 Auskultasi nadi apikal, biasanya terjadi takikardi (walaupun dalam keadaan berustirahat)
 Bunyi jantung, S1 dan S2 mungkin lemah karena menurunnya kerja pompa. Irama gallop
umum (S3 dan S4) dihasilkan sebagai aliran darah ke atrium yang distensi. Murmur dapat
menunjukkan inkompetensi / stenosis katup.
 Palpasi nadi perifer, nadi mungkin cepat hilang atau tidak teratur untuk dipalpasi dan pulsus
alternan (denyut kuat lain dengan denyut lemah) mungkin ada.
 Tekanan darah : mungkin rendah (gagal pemompaan).
 Pemeriksaan kulit : kulit pucat (karena penurunan perfusi perifer sekunder) dan sianosis
(terjadi sebagai refraktori Gagal Jantung Kronis). Area yang sakit sering berwarna
biru/belang karena peningkatan kongesti vena
a. Aktivitas dan istirahat
Kelemahan, kelelahan, ketidakmampuan untuk tidur (mungkin di dapatkan Tachycardia
dan dispnea pada saat beristirahat atau pada saat beraktivitas).
b. Sirkulasi
 Mempunyai riwayat IMA, Penyakit jantung koroner, CHF, Tekanan darah tinggi, diabetes
melitus.Tekanan darah mungkin normal atau meningkat, nadi mungkin normal atau
terlambatnya capilary refill time, disritmia.
 Suara jantung , suara jantung tambahan S 3 atau S4 mungkin mencerminkan terjadinya
kegagalan jantung/ ventrikel kehilangan kontraktilitasnya, terjadi, S1 dan S2 mungkin
melemah.
 Murmur jika ada merupakan akibat dari insufisensi katub atau muskulus papilaris yang tidak
berfungsi.
 Heart rate mungkin meningkat atau menglami penurunan (tachy atau bradi cardia).
 Irama jantung mungkin ireguler atau juga normal.
 Edema: Jugular vena distension, odema anasarka, crackles mungkin juga timbul dengan
gagal jantung.
 Warna kulit mungkin kebiruan, pucat abu-abu baik di bibir dan di kuku atau sianotik dengan
pengisian kapiler lambat.
c. Eliminasi
Bising usus mungkin meningkat atau juga normal.
d. Nutrisi
Mual, kehilangan nafsu makan, penurunan turgor kulit, berkeringat banyak, muntah dan
perubahan berat badan.
e. Hygiene perseorangan
Dispnea atau nyeri dada atau dada berdebar-debar pada saat melakukan aktivitas.
f. Neoru sensori
Nyeri kepala yang hebat, Changes mentation.
g. Kenyamanan
 Timbulnya nyeri dada yang tiba-tiba yang tidak hilang dengan beristirahat atau dengan
nitrogliserin.
 Lokasi nyeri dada bagian depan substerbnal yang mungkin menyebar sampai ke lengan,
rahang dan wajah.
 Karakteristik nyeri dapat di katakan sebagai rasa nyeri yang sangat yang pernah di alami.
 Sebagai akibat nyeri tersebut mungkin di dapatkan wajah yang menyeringai, perubahan
pustur tubuh, menangis, penurunan kontak mata, perubahan irama jantung, ECG, tekanan
darah, respirasi dan warna kulit serta tingkat kesadaran.
h. Respirasi
 Dispnea dengan atau tanpa aktivitas, batuk produktif, riwayat perokok dengan penyakit
pernafasan kronis.
 Pada pemeriksaan mungkin di dapatkan peningkatan respirasi, pucat atau cyanosis, suara
nafas crakcles atau wheezes atau juga vesikuler.
 Sputum jernih atau juga merah muda/ pink tinged.
i. Interaksi sosial
Stress, kesulitan dalam beradaptasi dengan stresor, emosi yang tak terkontrol.
j. Pengetahuan
Riwayat di dalam keluarga ada yang menderita penyakit jantung, diabetes, stroke,
hipertensi, perokok.
k. Studi diagnostic
 ECG menunjukan: adanya S-T elevasi yang merupakan tanda dri iskemi, gelombang T
inversi atau hilang yang merupakan tanda dari injuri, dan gelombang Q yang mencerminkan
adanya nekrosis.
 Enzym dan isoenzym pada jantung: CPK-MB meningkat dalam 4-12 jam, dan mencapai
puncak pada 24 jam. Peningkatan SGOT dalam 6-12 jam dan mencapai puncak pada 36 jam.
 Elektrolit: ketidakseimbangan yang memungkinkan terjadinya penurunan konduksi jantung
dan kontraktilitas jantung seperti hipo atau hiperkalemia.
 Whole blood cell: leukositosis mungkin timbul pada keesokan hari setelah serangan.
 Analisa gas darah: Menunjukan terjadinya hipoksia atau proses penyakit paru yang kronis
atau akut.
 Kolesterol atau trigliseid: mungkin mengalami peningkatan yang mengakibatkan terjadinya
arteriosklerosis.
 Chest X ray: mungkin normal atau adanya cardiomegali, CHF, atau aneurisma ventrikuler.
 Echocardiogram: Mungkin harus di lakukan guna menggambarkan fungsi atau kapasitas
masing-masing ruang pada jantung.
 Exercise stress test: Menunjukan kemampuan jantung beradaptasi terhadap suatu stress/
aktivitas.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN RENCANA TINDAKAN
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan iskemia jaringan jantung
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasiendi harapkan mampu menunjukan adanya
penurunan rasa nyeri dada, menunjukan adanya penuruna tekanan dan cara berelaksasi.
Rencana : - Monitor dan kaji karakteristik dan lokasi nyeri.
- Monitor tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respirasi, kesadaran).
- Anjurkan pada pasien agar segera melaporkan bila terjadi nyeri dada.
- Ciptakan suasana lingkungan yang tenang dan nyaman.
- Ajarkan dan anjurkan pada pasien untuk melakukan tehnik relaksasi.
Kolaborasi dalam: - Pemberian oksigen.
- Obat-obatan (beta blocker, anti angina, analgesic)
Ukur tanda vital sebelum dan sesudah dilakukan pengobatan dengan narkosa.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen,
adanya jaringan yang nekrotik dan iskemi pada miokard.
Tujuan: setelah di lakukan tindakan perawatan pasienmenunnjukan peningkatan kemampuan
dalam melakukan aktivitas (tekanan darah, nadi, irama dalam batas normal) tidak adanya angina.
Rencana : - Catat irama jantung, tekanan darah dan nadi sebelum, selama dan sesudah
melakukan aktivitas.
- Anjurkan pada pasien agar lebih banyak beristirahat terlebih dahulu.
- Anjurkan pada pasien agar tidak “ngeden” pada saat buang air besar.
- Jelaskan pada pasien tentang tahap- tahap aktivitas yang boleh dilakukan oleh
pasien.
- Tunjukan pada pasien tentang tanda-tanda fisiki bahwa aktivitas melebihi batas.
3. Resiko terjadinya penurunan cardiac output berhubungan dengan perubahan dalam rate, irama,
konduksi jantung, menurunya preload atau peningkatan SVR, miocardial infark.
Tujuan: tidak terjadi penurunan cardiac output selama di lakukan tindakan keperawatan.
Rencana : - Lakukan pengukuran tekanan darah (bandingkan kedua lengan pada posisi berdiri,
duduk dan tiduran jika memungkinkan).
- Kaji kualitas nadi.
- Catat perkembangan dari adanya S3 dan S4.
- Auskultasi suara nafas.
- Dampingi pasien pada saat melakukan aktivitas.
- Sajikan makanan yang mudah di cerna dan kurangi konsumsi kafeine.
- Kolaborasi dalam: pemeriksaan serial ECG, foto thorax, pemberian obat-obatan anti
disritmia.
4. Resiko terjadinya penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan tekanan darah,
hipovolemia.
Tujuan: selama dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi penurunan perfusi jaringan.
Rencana : - Kaji adanya perubahan kesadaran.
- Inspeksi adanya pucat, cyanosis, kulit yang dingin dan penurunan kualitas nadi
perifer.
- Kaji adanya tanda Homans (pain in calf on dorsoflextion), erythema, edema.
- Kaji respirasi (irama, kedalam dan usaha pernafasan).
- Kaji fungsi gastrointestinal (bising usus, abdominal distensi, constipasi).
- Monitor intake dan out put.
- Kolaborasi dalam: Pemeriksaan ABG, BUN, Serum ceratinin dan elektrolit.
5. Resiko terjadinya ketidakseimbangan cairan excess berhubungan dengan penurunan
perfusi organ (renal), peningkatan retensi natrium, penurunan plasma protein.
Tujuan : tidak terjadi kelebihan cairan di dalam tubuh pasienselama dalam
perawatan. Rencana : - Auskultasi suar nafas (kaji adanya crackless).
- Kaji adanya jugular vein distension, peningkatan terjadinya edema.
- Ukur intake dan output (balance cairan).
- Kaji berat badan setiap hari.
- Najurkan pada pasien untuk mengkonsumsi total cairan maksimal 2000 cc/24
jam.
- Sajikan makan dengan diet rendah garam.
- Kolaborasi dalam pemberian deuritika.
3. IMPLEMENTASI
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan rencana keperawatan oleh perawat terhadap
pasien.
4. EVALUASI
Evaluasi dilaksanakan berdasarkan tujuan dan outcome.
REFERENSI

Sudoyo WA. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Ed. IV, Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta.
Sudoyo, W. Aru. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ( edisi ke lima, jilid II ).
Jakarta : Interna Publishing.
Kemenkes RI., 2013., Riskesdas 2013, Kementerian Kesehatan RI: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Liwang, F., Wijaya, I.P., 2014, Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4 Jilid II, Media
Aesculapius, Jakarta, hal 742-745.
Panggabean, M.M., 2009, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V, Interna
Publishing, Jakarta, hal 1584.
Manurung, D., 2009, Buku Ajar Ilmu Peyakit Dalam Jilid II Edisi V, Interna
Publishing, Jakarta, hal 1586.
Ponikowski, P., 2014, Heart Failure Preventing Disease and Death Worldwide
World Heart Failure Alliance.
Whelten, 2001, Risk Factor for Congestive Heart Failure in US Men and Women:
NHANES I Episemiologic Follow-up Study, Arch Intern Med.
Muttaqin, Arif. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskuler. Jakarta : Salemba Medika.
Hall, E. Jhon. 2010. Buku Saku Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.
Gray, H. Huon. 2005. Kardiologi. Jakarta : Erlangga.
Soeparman, 2001, Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 11. Ed 3, FKUI, Jakarta, p. 127,
ISBN 0-443-07145-4.
Osama, G.M.D., 2002, Topic Review – Heart Failure, Albany Medical Review.
Figueroa, M.S., Peters, J.I., 2006, Congestive Heart Failure: Diagnosis,
Pathophysiology,Therapy, and Implications for Respiratory Care, Respir
Care, 51 (4), pp. 403– 412.
Tsutsui, H., Matsushima, S., Kinugawa, S., 2007, Angiotensin II type 1 receptor
blocker attenuates myocardial remodeling and preserves diastolic function in
diabetic heart, Hypertens Res, 30 (5): 439–49.
Loscalzo, Joseph, Fauci, Anthony, S., Braunwald, Eugene, Dennis, L., Kasper,
Hauser, Stephen, L., Longo, Dan, L., 2008, Harrison's Principles of Internal
Medicine(17 ed.), McGraw- Hill Medical, ISBN 978-0-07 147693-5.
Boron, Walter, F., Boulpaep, Emile, L., 2005, Medical Physiology: A Cellular and
Molecular Approach(Updated ed.), Saunders, p. 533.
Shigeyama, J., Yasumura, Y., Sakamoto, A., 2005, Increased gene expression
of collagen Types I and III is inhibited by beta-receptor blockade in patients
with dilated cardiomyopathy, Eur Heart J, 26 (24): 705–2698.
Kabo, P., 2012, Bagaimana Menggunakan Obat-Obat Kardiovaskular Secara
Rasional, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, hal 181- 201.

Anda mungkin juga menyukai