Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Acquired Immune deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan

gejala penyakit yang diakibatkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus,

yakni retrovirus yang menyerang dan merusak sel-sel limfosit T-helper (CD4+)

sehingga imunitas tubuh akan terus menurun secara progresif. Imunitas tubuh

yang melemah, menyebabkan kerentanan berbagai infeksi dan penyakit.

(Widayanti Mirna, 2015)

Target utama dari HIV adalah populasi CD4 yang berfungsi

mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis. CD4 merupakan salah satu dari

bagian limfosit T. Limfosit T merupakan komponen sel yang berperan utama

dalam sistem imun yang berfungsi dalam pertahanan terhadap infeksi melawan

organisme dan berperan dalam penyembuhan luka. Limfosit T terbagi menjadi

dua populasi yaitu sel T CD4+ dan sel T CD8+ , dimana sel T CD4+ berperan

dalam penyembuhan luka. (Widayanti Mirna, 2015)

Pada percobaan oleh Davis PA dan kawan kawan tahun 1997, dilaporkan bahwa

dengan tidak adanya limfosit T akan terjadi pemanjangan penyembuhan luka.

Pada penelitian tersebut, dilaporkan pula bahwa sel T CD4+ akan mempercepat

penyembuhan luka sedangkan sel T CD8+ akan memperlambat penyembuhan

luka 4 (Sudraad Imam, 2006)

1
Sel T CD4+ sangat berperan dalam penyembuhan luka karena

memproduksi sitokin dan faktor pertumbuhan. Terbukti penelitian oleh Blotnick S

dan kawan kawan th 1993, mereka mengisolasi limfosit T terutama sel T CD4+

dari darah tepi manusia yang menghasilkan dua karakteristik faktor pertumbuhan

yaitu heparin-binding epidermal growth factor (HB-EGF) dan basic

fibroblastgrowth factor (bFGF)2. Sel T CD4+ diketahui menginduksi dan

mengatur respon imun dengan memproduksi sitokin seperti IL2, IFN γ, tumor

necrosis factor α (TNF α) dan granulosit atau macrophage-colony-stimulating

factor yang berperan dalam proses penyembuhan luka2. Sel T CD4+ berperan

penting dalam regulasi penyembuhan luka. Berdasarkan pembahasan di atas maka

kami membahas dalam makalah ini dan mengangkat judul Sel CD 4 (Sudraad

Imam, 2006)

B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan CD 4 ?

2. Bagaimana cara pemeriksaan CD 4 ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui Pengertian CD 4

2. Untuk mengetahui bagaimana cara pemeriksaan CD 4

D. Manfaat Penulisan

1. Untuk memberikan informasi kepada para pembaca tentang CD 4.

2
BAB II

ISI

A. Definisi Sel T CD4

CD 4 (cluster of differentiation) yang merupakan glycoprotein expresi dari

sel T helper, regulator dari sel T, monosit, makrofak, dan dendrite sel. Di

temukan pada tahun 1984 dinamakan CD4, yang di kode dengan CD4 gen. Ini

merupakan domain dari MHC class II, yang merupakan protein yang spesifik dan

berperan dalam lapisan luar sel, nilai normal CD4 500-1600/m Kubik

CD 4 ini merupakan dari golongan sel limfosit, yang sangat berperan

terhadap system imun. Ada dua golongan sel limfosit ini yaitu, CD4 yang disebut

“helper” yang mempunyai fungsi untuk melawan infeksi, dan CD8 yang disebut

“kiler” yang akan membunuh sel kangker atau virus. Pada pasien dengan infeksi

HIV akan mengallami penurunan secara drastis. Fungsi CD4 adalan koreseptor

yang akan membentuk sel T-cell reseptor (TCR) dengan APC (antigen presenting

cell) (Umam Khairul, 2015)

B. Pengaruh CD4+ dalam respon imun seluler

Sel T CD4+ yang telah teraktifasi akan berdiferensiasi tergantung tipe

stimulan terutama adalah sitokin yang dihasilkan pada saat pengenalan antigen.

Sitokin terpenting yang dihasilkan sel Th1 pada fase efektor adalah IFN-γ. IFN-γ

akan memacu aktifitas pembunuhan mikroba sel-sel fagosit dengan meningkatkan

destruksi intrasel pada mikroba yang difagositosis. Jadi fungsi pokok efektor Th1

adalah sebagai pertahanan infeksi dimana proses fagositosis sangat diperlukan.

Th1 juga mengeluarkan IL-2 yang berfungsi sebagai faktor pertumbuhan autokrin

3
dan memacu proliferasi dan diferensiasi sel T CD8+. Jadi Th1 berfungsi sebagai

pembantu (helper) untuk pertumbuhan sel limfosit T sitotoksik yang juga

meningkatkan imunitas terhadap mikroba intrasel. Sel-sel Th1 memproduksi LT

yang meningkatkan pengambilan dan aktifasi netrofil (Hartono Didit, 2009)

Karakteristik sitokin yang dihasilkan Th2 adalah IL-4 dan IL-5. Sehingga

Th2 adalah mediator untuk reaksi alergi dan pertahanan infeksi terhadap cacing

dan arthropoda. Th2 juga memproduksi sitokin seperti IL-4, IL-13 dan IL-10 yang

bersifat antagonis terhadap IFN-γ dan menekan aktifasi makrofag. Jadi Th2

kemungkinan berfungsi sebagai regulator fisiologis pada respon imun dengan

menghambat efek yang mungkin membahayakan dari respon Th1. Pertumbuhan

yang berlebihan dan tak terkontrol dari Th2 berhubungan dengan berkurangnya

imunitas seluler terhadap infeksi mikroba intraseluler seperti mikobakteria.

Diferensiasi Sel T CD4+ menjadi Th1 dan Th2 tergantung sitokin yang

diproduksi pada saat merespon mikroba yang memacu reaksi imunitas. Beberapa

bakteria intaseluler seperti Listeria dan Mycobakteria dan beberapa parasit seperti

Leishmania menginfeksi makrofag dan makrofag merespon dengan mengeluarkan

IL 12. Mikroba lain mungkin memacu produksi IL-12 secara tidak langsung.

(Hartono Didit, 2009)

Misalnya virus dan beberapa parasit memacu sel NK untuk memproduksi

IFN-γ yang memacu makrofag mengeluarkan IL-12. IL-12 berikatan dengan Sel T

CD4+ sehingga memacu untuk menjadi sel Th1. IL-12 juga meningkatkan

produksi IFN-γ dan aktifitas sitolitik yang dilakukan oleh sel T sitotoksik dan sel

4
NK sehingga memacu imunitas seluler. IFN-γ yang diproduksi Th1 akan

menghambat proliferasi sel Th2 sehingga meningkatkan dominasi sel Th1.

Pada banyak kasus , inhibisi tumor tergantung secara langsung dari

aktivitas CD8 sitotoksis. Meskipun demikian ternyata CD4 mempunyai peranan

yang penting dalam modulasi sistem imun terutama dalam hal efek jangka

panjang anti tumor.

Pada karsinoma mama, CD4 T sel mempunyai fungsi sebagai helper atau

effektor sel untuk repon anti tumor. CD4 T sel menunjukkan peran penting dalam

hal imunitas antitumor oleh adenoviral HER2 vaksin. CD8 dalam hal ini justru

tidak mempengaruhi respon antitumor. (Hartono Didit, 2009)

CD4 dapat menfasilitasi imunitas anti tumor melalui beberapa jalan yaitu

1. CD4 T sel mampu memproduksi beberapa sitokin yang mampu

memfasilitas perkembangan dan pematangan dari CD8 T sel. Sitokin itu

antara lain sitokin tipe 1 seperti IL1, IL2, dan IFN . Sitokin tipe2 seperti

IL4, IL5,IL10 dan IL13. Selain itu beberapa sitokin seperti GM CSF dan

IL3.

2. CD4 T sel mampu membantu CD8 sel dengan menghasilkan CD40 pada

APC yang mempunyai efek antigen presentasi dan co stimulator

3. CD4 T sel dapat secara langsung maupun tidak langsung melisiskan sel

target. Sebagai contoh GSM CSF mengaktifkan tumor spesifik CD4 yang

memacu beberapa sitokin. Sitokin ini mampu mengaktifkan makrofag

dan eosinofil menghasilkan nitrid okside dan superoksida yang mampu

melisiskan sel.

5
C. Peran sistem imun pada tumor

Fungsi sistem imun adalah fungsi protektif dengan mengenal dan

menghancurkan sel-sel abnormal itu sebelum berkembang menjadi tumor atau

membunuhnya kalau tumor itu sudah tumbuh. Peran sistem imun ini disebut

immune survaillance, oleh karena itu maka sel-sel Efektor seperti limfosit B,

T-sitotoksik dan sel NK harus mampu mengenal antigen tumor dan

memperantarai/menyebabkan kematian sel-sel tumor. Beberapa bukti yang

mendukung bahwa ada peran sistem imun dalam melawan tumor ganas diperoleh

dari beberapa penelitian, diantaranya yang mendukung teori itu adalah:

a. Banyak tumor mengandung infiltrasi sel-sel mononuklear yang terdiri

atas sel T, Sel NK dan Makrofag

b. Tumor dapat mengalami regresi secara spontan

c. Tumor lebih sering berkembang pada individu dengan imunodefisiensi

atau bila fungsi sistem imun tidak efektif; bahkan imunosupresi

seringkali mendahului pertumbuhan tumor

d. Dilain fihak tumor seringkali menyebabkan imunosupresi pada

penderita ( Sukawati Eko, 2011).

D. Contoh Bahan dan Alat Penelitian

1. Bahan Untuk Perlakuan

Hewan coba adalah tikus Wistar dengan umur 2,5 sampai 3 bulan dan

berat 250-300 gram. Tikus diperoleh dari Laboratorium Unit Pemeliharaan Hewan

Percobaan UGM, Yogyakarta. Selama percobaan, hewan coba ditempatkan pada

6
kandang dan diberi pakan dan minum ad libitum. Sebelum penelitian, tikus

menjalani masa adaptasi selama 7 hari. (Setiabudi Andri, 2005)

2. Bahan Untuk Eksisi-biopsi a) Inkubator 560 C

a. Mikrotom

b. Kaca obyek dan penutup

3. Bahan Untuk Pemeriksaan Imunohistokimia

a. Antibodi primer : Mouse monoclonal antibody (MoAb) anti

CD4+

b. Kit universal streptavidin-biotin

c. Pensil parafin

d. Waterbath

e. Tempat pewarnaan dan cucian

f. Mikropipet 100µl , 1-10 µl ; 40-200 µl ; 200-100 µl. white tip,

yellow tip, blue tip.

g. Kertas saring

h. Freezer

i. Timer

j. Tabung plastik dan pipet

4.Cara Perlakuan

Sejumlah 10 ekor tikus Wistar dilakukan adaptasi di laboratorium dengan

dikandangkan secara individual dan diberi pakan standar ad libitum selama 7 hari.

Tikus dibagi menjadi 2 kelompok masing-masing terdiri dari 5 ekor tikus yang

ditentukan secara acak. Perlakuan yang diberikan adalah:

7
K1 : Kelompok 1, tikus yang setelah dilakukan insisi 2 cm,

sampai subkutan tanpa diberikan infiltrasi levobupivakain.( untuk

mendapat perlakuan stres yang sama tiap 8 jam selama 24 jam juga

dilakukan infiltrasi sekitar luka dengan spuit kosong ).

K2 : Kelompok 2 , tikus yang setelah dilakukan insisi 2 cm

sampai subkutan, diberikan infiltrasi levobupivakain tiap 8 jam

selama 24 jam.

Setelah adaptasi selama 7 hari , tikus-tikus dari kelompok perlakuan dibius

dengan menggunakan ether. Sesudah terbius, bulu di sekitar punggung dicukur

bersih dan didesinfeksi menggunakan betadin. Selanjutnya dibuat irisan sepanjang

2 cm dan kedalaman sampai subkutis. Luka irisan dibersihkan dan dioles larutan

betadin, kemudian luka ditutup dengan 5 jahitan tunggal sederhana menggunakan

benang nylon steril nomor 004. Selanjutnya jahitan dibersihkan dan dioles dengan

betadin dan dirawat. Pasca bedah diberikan penicillin oil 15 mg, intra muskular.

Pada hari ke 5 pasca perlakuan, pada kedua kelompok masing-masing 5 ekor.

Dilakukan pembiusan dengan menggunakan ether. Setelah tikus terbius kemudian

dibuat eksisi biopsi pada jaringan bekas irisan kira-kira 0,5 cm persegi melintasi

garis irisan. Jaringan biopsi diproses secara imunohistokimia menjadi preparat

setelah dibuat dengan blok parafin. Interpretasi hasil dilakukan di laboratorium

Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran UNS Surakarta. (Setiabudi Andri, 2005)

5. Prosedur Eksisi-biopsi

Pada hari ke 5 pasca perlakuan, pada kedua kelompok masing-masing 5

ekor. Dilakukan pembiusan dengan menggunakan ether. Setelah tikus terbius

8
kemudian pada jaringan bekas irisan diusap dengan alkohol 70% lalu dibuat

eksisi-biopsi kira-kira 0,5 cm persegi melintasi garis irisan. Jaringan biopsi

diproses menjadi preparat imunohistokimia setelah dibuat dengan blok parafin.

6. Prosedur Pembuatan Preparat Imunohistokimia

a. Deparafinisasi

Rendam slide yang ditempeli potongan jaringan biopsi dari blok

parafin ke dalam xylol I dan xylol II masing masing selama 5 menit,

kemudian kedalam alkohol absolut I dan alkohol absolut II masing masing

selama 5 menit, lalu ke dalam alkohol 90% dan alkohol 70% masing

masing selama selama 5 menit, dan ke dalam aquabidest I dan aquabidest

II masing masing selama 5 menit.

b. Quenching Endogenous Peroxidase

Rendam slide dalam metanol ditambah 0.3 % H2O2 selama 30

menit

c. Unmasking Antigen

Membuka kembali epitope antigen yang tertutup selama proses

parafinisasi dengan citrate buffer PH 6,4 dalam microwave oven

temperatur medium selama 2 menit kemudian dalam temperatur low

selama 2 menit. (Setiabudi Andri, 2005)

d. Immunostaning

Bloking serum albumin diteteskan diatas potongan jaringan dalam

slide selama 30 menit. diberi antibodi primer (dengan dilution 1 : 50

sampai dengan 1: 200) di inkubasi selama 1 jam dalam temperatur 25o C,

9
kemudian Cuci dua kali dengan aquadest. Di beri antibodi sekunder

biotinilated dan di inkubasi selama 30 menit, dan Cuci dua kali dengan

aquadest. Diberi ensim SA- HRP (Streptavidin horse raddish peroxidase)

kemudian Cuci dua kali dengan aquadest. Diberi subtrat ensim DAB

(diaminoben sidin) dan pewarna tandingan Hematoxidin Meyer lalu diberi

canada balsem. (Setiabudi Andri, 2005)

E. Contoh Hasil Pengamatan

Gambar imunohistokimia jaringan tikus yang diberi infiltrasi

levobupivakain di sekitar luka, pada hari ke 5 pasca insisi. Tampak sel T

CD4+ dalam jumlah banyak.

10
Gambar imunohistokimia jaringan tikus yang tidak diberi infiltrasi

levobupivakain di sekitar luka, pada hari ke 5 pasca insisi. Tampak sel T

CD4+ dalam jumlah lebih sedikit. (Setiabudi Andri, 2005)

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

CD 4 (cluster of differentiation) yang merupakan glycoprotein expresi dari

sel T helper, regulator dari sel T, monosit, makrofak, dan dendrite sel. Di

temukan pada tahun 1984 dinamakan CD4, yang di kode dengan CD4 gen. Ini

merupakan domain dari MHC class II, yang merupakan protein yang spesifik dan

berperan dalam lapisan luar sel, nilai normal CD4 500-1600/m Kubik

B. Saran

Sebaiknya kepada mahasiswa sebelum mengerjakan tugas yang

diberika perlu bertanya terlabih dahu tentang tugas yang diberikan agar

tidak terjadi keselahan dalam pengerjaan tugas.

12

Anda mungkin juga menyukai