Anda di halaman 1dari 11

EKSPERIMENTASI PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA DAN

PROBLEM BASED LEARNING (PBL) TERHADAP PEMECAHAN MASALAH


DITINJAU DARI AQ MAHASISWA PADA MATA KULIAH MATEMATIKA SMA
SEMESTER III TAHUN AKADEMIK 2016/2017

Neny Endriana & Abdul Aziz


Abstrak

Peneleitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui manakah yang menghasilkan


pemecahan masalah matematika yang lebih baik pada (1) masing-masing
pendekatan pembalajaran (2) pada masing-masing tipe AQ mahasiswa (3) pada
masing-masing tipe AQ mahasiswa terhadap pendekatan pembelajaran (4) pada
masing-masing pendekatan pembelajaran terhadap tipe AQ mahasiswa pada
mata kuliah Matematika SMA tahun akademik 2016/2017. Jenis penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimental semu (quasi-
eksperimental) dengan rancangan faktorial 3 x 3.Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah tes dan angket. Instrumen penelitian adalah tes pemecahan
masalah matematika dan angket AQ. Teknik analisis data yang digunakan
adalah analisis data kuantitatif berdasarkan hasil tes pemecahan masalah
matemtika mahasiswa. populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa semester
III pada mata kuliah matematika SMA yang terdiri dari 4 kelas, adapun sampel
dalam penelitian ini terdiri dari 3 kelas yang terdiri dari satu kelas dengan
pendekatan matematika realistic Indonesia (PMRI), satu kelas dengan model
pembelajaran problem based learning (PBL), dan satu kelas control.
Analisis data dilakukan dengan anlisis variansi dua jalan dengan sel tak
sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) pembelajaran dengan
pendekatan matematika realistic Indonesia lebih baik dibandingkan dengan
pembelajaran model problem based learning dan pembelajaran klasikal,
Pembelajaran dengan model problem based learning lebih baik dibandingkan
dengan pemebelajaran klasikal; (2) Pemecahan masalah mahasiswa dengan tipe
climbers lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa dengan tipe campers dan
quitters, pemecahan masalah mahasiswa dengan tipe campers lebih baik
dibandingkan dengan mahasiswa tipe quitters; (3) mahasiwa dengan tipe
climbers dan quitters menggunakan pendekatan realistic matematika Indonesia
dalam pemecahan masalah lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran model
problem based learning dan pembelajaran klasikal, pembelajaran model
problem based learning lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran klasikal.;
(4) Pada pembelajaran dengan pendekatan matematika realistic Indonesia
pemecahan masalah mahasiswa dengan tipe climbers lebih baik dibandingkan
dengan mahmahasiswa tipe campers dan quitters, dan mahasiswa tipe campers
lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa tipe quiiters, pada pembelajaran
model problem based learning pemecahan masalah mahasiswa dengan tipe
climbers lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa tipe campers dan quitters,
dan mahasiswa tipe campers lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa tipe
quiiters, pada pembelajaran klasikal kemampuan pemecahan masalah
mahasiswa sama.
Kata kunci : Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI), Problem
Based Learning (PBL), Adversity Quoetient (AQ) dan Pemecahan Masalah.
PENDAHULUAN

Undang-undang No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pasal 12 ayat 1, dosen


sebagai anggota sivitas akademika memiliki tugas mentransformasikan Ilmu
Pengetahuan dan/atau Teknologi yang dikuasainya kepada Mahasiswa dengan
mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran sehingga Mahasiswa aktif
mengembangkan potensinya. Mencermati hal tersebut, maka tingkat keberhasilan
pendidikan di perguruan tinggi sangat dipengaruhi oleh seberapa besar rasa peduli,
tanggung jawab, dan kompetensi dosen dalam melaksanakan suatu pembelajaran
Kualitas pembelajaran tersebut dapat ditunjang oleh beberapa unsur penting dalam
pembelajaran, antara lain: (1) tujuan yang harus dicapai; (2) bahan ajar yang akan
mewarnai dan memberi isi terhadap tujuan ; (3) metode dan alat bantu yang akan
mengantarkan bahan ajar sampai pada tujuan; dan (4) penilaian sebagai alat untuk
mengetahui tercapai atau tidaknya tujuan (Nana Sudjana, 2008:23).
Berdasarkan observasi kepada mahasiswa,dalam proses pembelajaran matematika
SMA kemampuan pemecahan masalah mahasiswa cendrung rendah, Hal ini ditunjukkan
dengan kebanyakan mahasiswa yang belum mampu menyelesaikan suatu permasalahan.
Permasalahan yang dimaksudkan adalah pemecahan masalah dalam bentuk soal yang
diberikan. Hal ini kemungkinan besar berpengaruh dari faktor dosen yang belum mampu
merencanakan, melaksanakan pembelajaran dengan maksimal, penggunaan metode
pembelajaran yang bervariasi yang masih kurang, sehingga proses pembelajaran tidak
begitu bermakna bagi mahasiswa. Hal ini disadari bahwa pembelajaran yang digunakan
cenderung berpusat pada dosen (lecturer centered), yang berdampak pada rendahnya
kemampuan pemecahan masalah oleh mahasiswa
Untuk mengatasi permasalahan di atas, perlu diusahakan pembelajaran yang
bermakna dan memberi kesempatan untuk menemukan kembali serta mengkonstruksi
sendiri ide matematika, sehingga mahasiswa dapat memahami apa yang mereka pelajari
dan mengaplikasikannya pada penyelesaian masalah. Sehubungan dengan itu diperlukan
pendekatan pembelajaran yang relevan diantaranya adalah pendidikan matematika
realistic Indonesia (PMRI) dan Problem Based Learning (PBL).
Alasan utama diterapkannya PMRI dan PBL pada mata kuliah Matematika SMA
antara lain pendekatan Metode PMRI dipilih dalam pembelajaran karena: (1)
mengunakan masalah kontekstual sebagai penerapan dan titik tolak darimana matematika
yang diinginkan bisa muncul); (2) menggunakan model atau jembatan dengan instrumen
vertikal, perhatian diarahkan pada pengembangan model, skema dan simbolisasi
daripada hanya mentransfer rumus atau matematika formal secara langsung; (3)
menggunakan kontribusi mahasiswa. (4) interaktivitas, negosiasi secara eksplisit,
intervensi, kerjasama dan evaluasi sesama mahasiswa dan dosen adalah faktor penting
dalam proses pembelajaran secara konstruktif; (5) terintegrasi dengan topik pembelajaran
lainnya, pendekatan holistik yang menunjukkan bahwa unit-unit belajar tidak akan
dicapai secara terpisah namun keterkaitan dan keintegrasian harus dieksploitasi dalam
pemecahan masalah yang berupa jawaban non formal (De Lange, 1987, 1996: Treffers,
1991: Gravemeijer, 1994 dalam Zulkardi 2003: 5).
Adapun pembelajaran dengan Pendekatan PBL menyediakan lebih banyak
kesempatan kepada mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan matematis mereka,
menggali, mencoba, mengadaptasi, dan mengubah prosedur penyelesaian, termasuk
memverifikasi solusi, yang sesuai dengan situasi yang baru diperoleh.(Stanley P.
Dewanto, 2008: 124).
Adapun prinsip kunci dalam pendidikan matematika realistic Indonesia adalah
sebagai berikut:
1. Guided Reinvention (menemukan kembali secara terbimbing).
Prinsip ini menekankan “penemuan kembali secara terbimbing” Melalui topik-topik
tertentu yang disajikan, mahasiswa diberi kesempatan sama untuk membangun dan
menemukan kembali ide-ide dan konsep-konsep matematika
2. Progressive mathematization (Matematisasi Progresif).
Bagian dari prinsip ini menekankan “matematisasi” atau “pematematikaan” yang
dapat diartikan sebagai “upaya untuk mengarahkan kepada pemikiran matematika”.
Dikatakan prograsif karena terdapat dua langkah matematisasi itu, yaitu
matematisasi (1) horisontal dan (2) vertical yang berawal dari masalah kontekstual
yang diberikan dan akan berakhir pada matematika yang formal.
3. Didactical Phenomenology (fenomena didaktik)
Prinsip ini menekankan fenomena pembelajaran yang bersifat mendidik dan
menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik
matematika kepada mahasiswa.
4. Self-developed Models (pengembangan model sendiri):
Prinsip ini menunjukkan adanya fungsi “jembatan” yang berupa model. Karena
berpangkal dari masalah kontekstual dan akan menuju ke matematika formal serta
adanya kebebasan, maka tidaklah mustahil mahasiswa akan mengembangkan model
sendiri. (R. Soedjadi, 2007: 4-5).
Barrows, Min Liu (2005) dalam karyanya yang berjudul “Problem-Based Learning
in Medicine and Beyond: A Brief Overview” mengemukakan beberapa karakteristik
Problem-Based Learning sebagai berikut. 1) proses pembelajaran bersifat student-
centered, 2) proses pembelajaran berlangsung pada kelompok kecil, 3) guru berperan
sebagai fasilitator atau pembimbing, 4) permasalahan-permasalahan yang disajikan
merupakan stimulus pembelajaran, 5) informasi baru diperoleh dari belajar secara
mandiri (self- directed learning), dan 6) masalah merupakan wahana untuk
mengembangkan keterampilan pemecahan masalah.
Sementara itu, Ehlert (2004) menyatakan bahwa keuntungan model PBL adalah: (1)
menyediakan kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan penelitian; (2)
membangun keterampilan berpikir kritis; (3) mengenal content materi subyek dan
membangun tujuan sesuai konsep; (4) memberdayakan peserta didik menjadi seseorang
ahli dalam bidang tertentu; (5) memungkinkan peserta didik menghasilkan lebih dari satu
bentuk solusi; (6) menyatakan ketidaktentuan dan kebutuhan untuk mengembangkan
asumsi; dan (7) memotivasi peserta didik belajar.
Menurut Nurhadi, dkk.(2004, ada lima tahapan dalam PBL yaitu:
1. tahap orientasis mahasiswa pada masalah,
2. Tahap mengorganisasikan mahasiswa untuk belajar
3. Tahap membimbing penyelidikan individual dan kelompok
4. Tahap mengembangkan dan menyajikan hasil karya
5. Tahap menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
Selain model pembelajaran, faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan suatu
proses pembelajaran adalah sejauh mana kemampuan dari mahasiswa itu sendiri dalam
menyelesaikan kesulitan atau masalah yang dihadapinya. Ukuran mahasiswa untuk
mengetahui responnya terhadap kesulitan dinamakan dengan AQ. Stoltz (2000: 8)
Sedangkan Phoolka and Kaur (2012: 110) mendefinisikan AQ sebagai pemrediksi
keberhasilan seseorang dalam menghadapi kesulitan, bagaimana ia berperilaku dalam
situasi yang sulit, bagaimana ia mengontrol situasi, apakah dia dapat menemukan asal-
usul yang tepat dari masalah, apakah ia mengambil kepemilikannya dalam situasi itu,
apakah dia mencoba untuk membatasi efek dari kesulitan dan bagaimana ia optimis
bahwa kesulitan itu akhirnya akan berakhir).
AQ dapat dibagi menjadi tiga tipe. Pembagian ini biasanya dengan melihat respon
seseorang atau individu dalam menghadapi dan mengatasi masalah dan tantangan-
tantangan dalam hidupnya. Ketiga tipe yang dimaksud yaitu climbers, campers, dan
quitters (Stoltz, 2000: 18-38). Dengan adanya perbedaan tipe AQ ini, terlihat bagaimana
seorang siswa menghadapi kesulitan dalam proses pembelajaran dan dapat menentukan
tinggi rendahnya prestasi siswa dalam kegiatan pembelajaran matematika.
Adapun kemampuan yang ingin dicapai dalam pemebelajaran ini adalah kemampuan
pemecahan masalah mahasiswa. Baroody (Nurizzati, 2009: 53) ada tiga interpretasi
pemecahan masalah yaitu: pemecahan masalah sebagai pendekatan (approach),  tujuan
(goal), dan proses (process) pembelajaran. Dalam penelitian ini, pemecahan masalah
matematika yang dimaksud adalah tugas pemecahan masalah matematika yang meliputi
proses memahami masalah, merencanakan penyelesaian masalah, melaksanakan
perencanaan sehingga diperoleh penyelesaian (solusi), dan terakhir bagaimana memeriksa
kembali penyelesaian yang diperoleh.
Berdasarkan kajian diatas maka penelitian ini membahas tentang eksperimentasi
pendidikan matematika realistik Indonesia (PMRI) dan problem based learning (PBL)
terhadap pemecahan masalah ditinjau dari AQ mahasiswa

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental semu, dengan rancangan faktorial


3x3. Penelitian ini dilakukan pada mata kulian matematika SMA Universitas
Hamzanwadi Selong tahun akademik 2016/2107. Pada masing-masing kelas daiambil
secara acak, diantaranya kelas eksperimen 1 yang dikenai dengan pendidikan matematika
realistik Indonesia (PMRI), kelas eksperimen 2 yang dikenai model problem based
learning (PBL) dan kelas kontrol yang dikenai model pembelajaran klasikal.
Variabel bebas penelitian ini adalah pendekatan pemabelajaran yang terdiri dari
pendidikan matematika realistik Indonesia (PMRI), problem based learning (PBL) dan
pembelajaran klasikal. Variabel bebas lainnya adalah Adversity Quotient (AQ) dengan
tiga tipe AQ yaitu tipe climbers, tipe campers, dan tipe quitters. Adapun variabel
terikatnya adalah pemecahan masalah mahasiswa. Dalam tinjauan selanjutnya,
penelitian eksperimen semu digunakan untuk melihat dan menganalisis perbandingan
pemecahan maslah matematika mahasiswa dari kelompok yang diberikan perlakuan
dengan menggunakan pendekatan PMRI yang dijadikan sebagai kelas eksperimen 1,
pembelajaran dengan PBL yang dijadikan sebagai kelas eksperimen 2, dan pembelajaran
klasikal yang dijadikan sebagai kelas kontrol. Ketiga kelas tersebut diasumsikan sama
dalam semua segi dan hanya berbeda dalam pemberian perlakuan yaitu pendekatan
pembelajaran
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Metode pengumpulan data terdiri atas, metode angket dan metode tes. Instrumen
penelitian terdiri atas tes pilihan ganda dan angket AQ mahasiswa. Uji keseimbangan
dilakukan dengan analisis variansi satu jalan dengan sel tak sama. Sebagai prasyarat
analisis data perlu dilakukan analisis data dengan meggunakan metode Lilliefors dengan

statistik uji yang digunakan adalah L = Maks|F ( z i )−S ( z i )|. Metode Lilliefors digunakan
untuk uji normalitas antara kelas eksperimen 1, eksperimen 2, dan kelas control. Adapun
uji Bartlett digunakan untuk uji homogenitas antara kelas eksperimen dan kelas control

2 2.303
dengan statistic uji adalah χ = ( f log RKG−∑ f j log s j2)
c
Dari masing-masing sampel diperoleh Lobs ∉ DK dan disimpulkan bahwa masing-
masing sampel berasal dari populasi-populasi yang berdristibusi normal. Selanjutnya,
diperoleh pada masing-masing sampel χ 2obs ∉ DK, sehingga H0 tidak ditolak, dan
disimpulkan bahwa populasi pada ketiga model pembelajaran memiliki variansi yang
sama dan populasi pada ketiga tipe AQ memiliki variansi yang sama.
Uji Hipoteis Penelitian
Berdasarkan uji hipotesis diketahui bahwa H0A ditolak, hal ini menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa yang diberi
pembelajaran dengan PMRI, pembelajaran dengan PBL dan pembelajaran klasikal.
Untuk mengetahui manakah pendekatan pembelajaran yang lebih baik dilakukan uji
lanjut antar baris. Selanjutnya dari hasil perhitungan diperoleh bahwa H 0B ditolak, ini
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa
antara mahasiswa dengan tipe AQ climbers, campers dan qiuters. Selanjutnya untuk
mengetahui manakah tipe AQ yang lebih baik dilakukan uji lanjut antar kolom.
Selanjutnya diperoleh H0AB ditolak, ini menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara
pendekatan pembelajaran dengan tipe AQ mahasiswa. Untuk mengetahui manakah yang
lebih baik pada masing-masing pendekatan pembelajaran dan tipe AQ mahasiswa maka
diperlukan uji lanjut antar sel.
Dari hasil anava dua jalan sel tak sama diperoleh Fa = 8.3924 > 3,19 = F 0,05;2;58. Nilai
Fa terletak di daerah kritik, oleh karena itu H0A ditolak, sehingga perlu dilakukan uji
lanjut pasca anava dengan metode Scheffe’ untuk analisis varisansi dua jalan. Hasil uji
komparasi ganda antar kolom antar AQ diperoleh hasil bahwa F tab= 6,38 sehingga F1.-2.=
40.0472 > Ftab, F1.-3.= 163.37 > Ftab, dan F2.-3.= 41.33001> Ftab. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa ketiga hipotesis ditolak, yang berarti bahwa terdapat perbedaan
kemampuan pemecahan masalah matematika mahasiswa yang dikenai dengan ketiga
model pemebelajaran yang berbeda. Dilihat dari rerata marginal, mahasiswa yang
dikenai PMRI memiliki rerata yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang dikenai
model pembelajaran PBL dan model pembelajaran klasikal. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa pemebelajaran dengan menggunakan PMRI menghasilkan pemecahan masalah
yang lebih baik diandingkan dengan pemebelajaran dengan problem based learning
(PBL) dan model pembelajaaran klasikal, serta pemebelajaran dengan menggunakan
PBL menghasilkan kemampuan pemecahan masalah yang lebih baik dibandingkan
dengan pembelajaran klasikal.
Keberhasilan pembelajaran dengan menggunkan pendekatan PMRI dikarenakan
pembalajaran dengan pendekatan ini lebih banyak mengarahkan mahasiswa pada konteks
masalah yang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini senada dengan Sofnidar
(2013) yang dikutip dari Marpaung (2003) mengatakan bahawa melalui pendekatan
PMRI siswa dilatih untuk aktif berpikir dan berbuat, karena pembelajaran dimuali dari
masalah-maslah yang kontekstual atau realistic bagi siswa. adapun keberhasilan
pembelajaran dengan problem based learning (PBL) diakarenakan pembelajaran diawali
dengan menyajikan suatu maslah kontekstual sehingga mampu merangsang mahasiswa
untuk belajar lebih lanjut hal in senada dengan pendapat (Demitra, 2003) mengatakan
bahwa Problem-based learning merupakan pendekatan yang membelajarkan siswa yang
dikonfrontasikan dengan masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open ended melalui
stimuli dalam belajar. Hasil penelitian lain menujukkan bahwa pemecahan masalah
matematika dengan model pembelajaran konvensional tidak lebih baik daripada prestasi
belajar metematika siswa dengan pembelajaran berbasis masalah (Sri wahyuni,2009).
Dari analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama diperoleh F b = 6.2339 > 3,190 =
F0,05;2;58. Nilai Fb terletak di daerah kritik, oleh karena itu H 0B ditolak berarti terdapat
perbedaan prestasi belajar matematika ditinjau dari AQ tipe climbers, campers dan
quitters, sehingga perlu dilakukan uji lanjut pasca anava dengan metode Scheffe’ untuk
analisis varisansi dua jalan. Dari hasil uji komparasi ganda antar kolom antar AQ
diperoleh hasil bahwa Ftab= 6,38 sehingga F.1-.2= 86.85747 > Ftab, F.1-.3= 198.959< Ftab ,
dan F.2-.3= 26.65899> Ftab. Berdasarkan hasil tersebut diperoleh bahwa H0 dari ketiga
hipotesis ditolak.. hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pemecahan masalah
matematika antara mahasiswa tipe climbers, campers dan quitters. Dilihat dari rerata
marginal pada Tabel 4, mahasiswa tipe climbers memiliki rerata yang lebih tinggi
dibandingkan dengan mahasiswa dengan tipe campers dan quitters, dan mahasiswa tipe
campers memiliki rerata yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa tipe quitters. Hasil
tersebut sesui dengan hasil penelitian Huijuan (2009) yang menyimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara AQ dengan prestasi akademik siswa. Selain
itu, hasil tersebut juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fitri Era
Sugesti (2013) menyimpulkan bahwa siswa AQ kategori climbers (tinggi) mempunyai
pemecahan masalahmatematika lebih baik dibanding siswa dengan AQ kategori campers
(sedang) dan AQ kategori quitters (rendah). Siswa dengan AQ kategori sedang
mempunyai pemecahan masalahmatematika lebih baik dibanding siswa AQ kategori
rendah.
Dari hasil variansi dua jalan diperoleh {F|F > 2,52}, Fab = 3.9693 Nilai Fab terletak di
daerah kritik, oleh karena itu H0AB ditolak yang artinya terdapat interaksi antara
pendekatan pembelajaran dengan AQ mahasiswa sehingga perlu dilakukan uji lanjut
pasca anava dengan menggunakan metode Scheffe’ untuk anava dua jalan. Dari hasil ini
diperoleh bahwa:
a. Pada mahasiswa dengan pembelajaran PMRI, pemecahan masalah mahasiwa tipe
AQ climbers memiliki pemecahan masalah yang sama baiknya dengan mahasiswa
tipe campers dan lebih baik dari mahasiswa tipe quitters.
b. Pada mahasiswa dengan dengan pembelajaran problem based learning (PBL)
pemecahan masalah mahasiswa dengan tipe climbers sama baiknya dengan
mahasiswa tipe campers dan lebih baik dari mahasiswa tipe quitters, selain itu
pemecahan masalah mahasiswa dengan tipe campers lebih baik dibandingkan
dengan mahasiswa tipe quitters.
c. Pada mahasiswa dengan dengan pembelajaran klasikal pemecahan masalah
mahasiswa dengan tipe AQ climbers sama baiknya dengan mahasiswa tipe campers
dan quiters. sedangkan pemecahan masalah mahasiswa dengan tipe campers lebih
baik dibandingkan dengan mahasiswa tipe quitters.
d. Pada siswa tipe climbers dan tipe quitters, penggunaan model PMRI menghasilkan
kemampuan pemecahan masalah mahasiswa yang sama baiknya dengan model
pembelajaran kooperatif PBL dan lebih baik daripada model pembelajaran klasikal.
Dan model pembelajaran kooperatif tipe PBL menghasilkan kemampuan pemecahan
masalah yang sama baiknya dengan model pembelajaran klasikal. Pada siswa tipe
campers, penggunaan pembelajaran PMRI menghasilkan pemecahan masalah yang
sama baiknya dengan model pembelajaran PBL dan lebih baik daripada model
pembelajaran klasikal. Dan penggunaan model pembelajaran dengan PBL
menghasilkan pemecahan masalah lebih baik daripada model pembelajaran klasikal.
Dari hasil tersebut nampak bahwa pada mahasiswa tipe climbers memiliki
pemecahan masalah yang lebih baik dari mahasiswa tipe quitters. Hal ini disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain mahasiswa mampu mengikuti setiap langkah dalam
kegiatan pembelajaran, baik dengan pendekatan realistic matematika atau dengan
probem based learning. hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Cornista And
Macasaet (2013) yang menyimpulkan bahwa responden dengan tingkat AQ tinggi
(climbers) memiliki tingkat motivasi tinggi untuk berprestasi dan juga memiliki
kekuatan interpersonal yang tinggi.

SIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan analisis data yang dilakukan diperoleh simpulan bahwa: (1)
pembelajaran dengan pendekatan matematika realistic Indonesia lebih baik
dibandingkan dengan pembelajaran model problem based learning dan pembelajaran
klasikal, Pembelajaran dengan model problem based learning lebih baik
dibandingkan dengan pemebelajaran klasikal; (2) Pemecahan masalah mahasiswa
dengan tipe climbers lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa dengan dengan tipe
campers dan quitters, pemecahan masalah mahasiswa dengan tipee campers lebih baik
dibandingkan dengan mahasiswa tipe quitters; (3) mahasiwa dengan tipe climbers dan
quitters menggunakan pendekatan realistic matematika Indonesia dalam pemecahan
masalah lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran model problem based learning
dan pembelajaran klasikal, pembelajaran model problem based learning lebih baik
dibandingkan dengan pembelajaran klasikal. Mahasiswa dengan tipe campers
menggunakan pendekatan realistic matematika Indonesia dalam pemecahan masalah
lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran model problem based learning dan
pembelajaran klasikal, pembelajaran model problem based learning (PBL) lebih baik
dibandingkan dengan pembelajaran klasikal; (4) Pada pembelajaran dengan
pendekatan matematika realistic Indonesia pemecahan masalah mahasiswa dengan
tipe climbers lebih baik dibandingkan dengan mahmahasiswa tipe campers dan
quitters, dan mahasiswa tipe campers lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa tipe
quiiters, pada pembelajaran model problem based learning pemecahan masalah
mahasiswa dengan tipe climbers lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa tipe
campers dan quitters, dan mahasiswa tipe campers lebih baik dibandingkan dengan
mahasiswa tipe quiiters, pada pembelajaran klasikal kemampuan pemecahan masalah
mahasiswa sama.
Adapun saran dalam penelitian ini diantaranya: (1) Bagi dosen pengampu
hendaknya memperhatikan pemilihan model pembelajaran yang tepat dan sesuai
dengan kompetensi yang diajarkan pada kegiatan pembelajaran matematika. Salah
satu model pembelajaran matematika yang bisa diterapkan adalah pembelajaran
dengan pendekatann PMRI dan pembelajaran model problem based learning (PBL).
Selain itu, hendaknya memperhatikan tipe AQ yang dimiliki oleh masing-masing
mahasiswa untuk mampu mencari solusi untuk perbaikan dalam pembelajaran; (3)
Adapun saran bagi peneliti lain, hendaknya penelitian ini dapat digunakan sebagai
acuan bagi peneliti lain yang meneliti masalah serupa dan diharapkan bagi peneliti
lain mampu mengembangkan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA

Barrows, H. S. (1996). Problem-Based Learning in Medicine and Beyond. New


Direction for Teaching and Learning. Jossey: Bass Publishers.

Budiyono. (2013). Statistika Untuk Penelitian. Surakarta: UNS Press

Demitra (2003). Pembelajaran Pemecahan Masalah Matematika Sekolah Dasar dengan


Pendekatan Problem Based Learning. Makalah disampaikan dalam Seminar
Nasional Teknologi Pembelajaran di Hotel Inna Garuda Tanggal 22 – 23
Agustus 2003.

Ehlert, M. (2004). An Evaluation of Problem-Based Learning: Application in an


Undergraduated Supply Chain Management Course. Northwestern
University.

Fitri Era Sugesti. (2013). Eksperimentasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe


Structured Numbered Heads (SNH) Dan Two Stay Two Stray (TSTS)
Dengan Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) Pada
Prestasi Belajar Matematika Ditinjau Dari Adversity Quotient (AQ) Siswa.
Tesis. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Huijuan, Z. (2009). The adversity Quotient And Academic Performance Among


College Students AT ST. Joseph’scollege, Quezon City. Thesis. Quezon
City: the Faculty of The Departments of Arts and Sciences St. Joseph’s
College.

Nana Sudjana. (2009) Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru
Algesindo

Nurhadi dkk. (2004). Pembelajaran Kontekstual Dan Penerapannya Dalam KBK.


Malang.UMPRESS

Nurizzati.(2009). Berpikir Kreatif dan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis:


Apa, Mengapa, dan Bagaimana Mengembangkannya Pada Peserta Didik.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika,
Bandung 19 Desember 2009, hlm. 49-60

Phoolka, S., & Kaur N,. (2012). Adversity Quotient: A New Paradigm in
Management to Explore.TheInternational Journal’s Research Journal of
Social Science & Management, vol. 2, no. 7, hlm. 110-118.

Sofnidar, dkk (2013). Penerapan Pendekatan PMRI untuk Meningkatkan


Kemampuan Konsep Geometri Mahasiswa PGSD Universitas Jambi.
Prosiding Seminar FMIPA Universitas Lampung, 2013

Stanley P. Dewanto. (2008). Peranan Kemampuan Akademik Awal, Self-Efficacy, dan


Variabel Nonkognitif Lain Terhadap Pencapaian Kemampuan
Representasi Multipel Matematis Mahasiswa Melalui Pembelajaran
Berbasis Masalah. Educationist Vol. II No. 2 Juli 2008. ISSN : 1907 – 8838

Stoltz, P. G. (2000). Adversity Quotient Mengubah Hambatan Menjadi Peluang


(Edisi Terjemahan T. Hermaya). Jakarta: Grasindo.

R. Soedjadi, (2007). Inti Dasar-dasar Pendidikan MatematikaRealistik Indonesia.


Jurnal Pendidikan Matematika, Volume 1, No.2, Juli 2007

Zulkardi. (2003). Realistic Mathematics Education (RME) atau


PendidikanMatematika Realistik Indonesia (PMRI). Makalah disajikan
dalamLokakarya Nasional Pendidikan Matematika pada tanggal 21
Agustus2003. Universitas Sriwijaya. Palembang.

Anda mungkin juga menyukai