METODE PENELITIAN
Metode pengumpulan data terdiri atas, metode angket dan metode tes. Instrumen
penelitian terdiri atas tes pilihan ganda dan angket AQ mahasiswa. Uji keseimbangan
dilakukan dengan analisis variansi satu jalan dengan sel tak sama. Sebagai prasyarat
analisis data perlu dilakukan analisis data dengan meggunakan metode Lilliefors dengan
statistik uji yang digunakan adalah L = Maks|F ( z i )−S ( z i )|. Metode Lilliefors digunakan
untuk uji normalitas antara kelas eksperimen 1, eksperimen 2, dan kelas control. Adapun
uji Bartlett digunakan untuk uji homogenitas antara kelas eksperimen dan kelas control
2 2.303
dengan statistic uji adalah χ = ( f log RKG−∑ f j log s j2)
c
Dari masing-masing sampel diperoleh Lobs ∉ DK dan disimpulkan bahwa masing-
masing sampel berasal dari populasi-populasi yang berdristibusi normal. Selanjutnya,
diperoleh pada masing-masing sampel χ 2obs ∉ DK, sehingga H0 tidak ditolak, dan
disimpulkan bahwa populasi pada ketiga model pembelajaran memiliki variansi yang
sama dan populasi pada ketiga tipe AQ memiliki variansi yang sama.
Uji Hipoteis Penelitian
Berdasarkan uji hipotesis diketahui bahwa H0A ditolak, hal ini menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa yang diberi
pembelajaran dengan PMRI, pembelajaran dengan PBL dan pembelajaran klasikal.
Untuk mengetahui manakah pendekatan pembelajaran yang lebih baik dilakukan uji
lanjut antar baris. Selanjutnya dari hasil perhitungan diperoleh bahwa H 0B ditolak, ini
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa
antara mahasiswa dengan tipe AQ climbers, campers dan qiuters. Selanjutnya untuk
mengetahui manakah tipe AQ yang lebih baik dilakukan uji lanjut antar kolom.
Selanjutnya diperoleh H0AB ditolak, ini menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara
pendekatan pembelajaran dengan tipe AQ mahasiswa. Untuk mengetahui manakah yang
lebih baik pada masing-masing pendekatan pembelajaran dan tipe AQ mahasiswa maka
diperlukan uji lanjut antar sel.
Dari hasil anava dua jalan sel tak sama diperoleh Fa = 8.3924 > 3,19 = F 0,05;2;58. Nilai
Fa terletak di daerah kritik, oleh karena itu H0A ditolak, sehingga perlu dilakukan uji
lanjut pasca anava dengan metode Scheffe’ untuk analisis varisansi dua jalan. Hasil uji
komparasi ganda antar kolom antar AQ diperoleh hasil bahwa F tab= 6,38 sehingga F1.-2.=
40.0472 > Ftab, F1.-3.= 163.37 > Ftab, dan F2.-3.= 41.33001> Ftab. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa ketiga hipotesis ditolak, yang berarti bahwa terdapat perbedaan
kemampuan pemecahan masalah matematika mahasiswa yang dikenai dengan ketiga
model pemebelajaran yang berbeda. Dilihat dari rerata marginal, mahasiswa yang
dikenai PMRI memiliki rerata yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang dikenai
model pembelajaran PBL dan model pembelajaran klasikal. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa pemebelajaran dengan menggunakan PMRI menghasilkan pemecahan masalah
yang lebih baik diandingkan dengan pemebelajaran dengan problem based learning
(PBL) dan model pembelajaaran klasikal, serta pemebelajaran dengan menggunakan
PBL menghasilkan kemampuan pemecahan masalah yang lebih baik dibandingkan
dengan pembelajaran klasikal.
Keberhasilan pembelajaran dengan menggunkan pendekatan PMRI dikarenakan
pembalajaran dengan pendekatan ini lebih banyak mengarahkan mahasiswa pada konteks
masalah yang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini senada dengan Sofnidar
(2013) yang dikutip dari Marpaung (2003) mengatakan bahawa melalui pendekatan
PMRI siswa dilatih untuk aktif berpikir dan berbuat, karena pembelajaran dimuali dari
masalah-maslah yang kontekstual atau realistic bagi siswa. adapun keberhasilan
pembelajaran dengan problem based learning (PBL) diakarenakan pembelajaran diawali
dengan menyajikan suatu maslah kontekstual sehingga mampu merangsang mahasiswa
untuk belajar lebih lanjut hal in senada dengan pendapat (Demitra, 2003) mengatakan
bahwa Problem-based learning merupakan pendekatan yang membelajarkan siswa yang
dikonfrontasikan dengan masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open ended melalui
stimuli dalam belajar. Hasil penelitian lain menujukkan bahwa pemecahan masalah
matematika dengan model pembelajaran konvensional tidak lebih baik daripada prestasi
belajar metematika siswa dengan pembelajaran berbasis masalah (Sri wahyuni,2009).
Dari analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama diperoleh F b = 6.2339 > 3,190 =
F0,05;2;58. Nilai Fb terletak di daerah kritik, oleh karena itu H 0B ditolak berarti terdapat
perbedaan prestasi belajar matematika ditinjau dari AQ tipe climbers, campers dan
quitters, sehingga perlu dilakukan uji lanjut pasca anava dengan metode Scheffe’ untuk
analisis varisansi dua jalan. Dari hasil uji komparasi ganda antar kolom antar AQ
diperoleh hasil bahwa Ftab= 6,38 sehingga F.1-.2= 86.85747 > Ftab, F.1-.3= 198.959< Ftab ,
dan F.2-.3= 26.65899> Ftab. Berdasarkan hasil tersebut diperoleh bahwa H0 dari ketiga
hipotesis ditolak.. hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pemecahan masalah
matematika antara mahasiswa tipe climbers, campers dan quitters. Dilihat dari rerata
marginal pada Tabel 4, mahasiswa tipe climbers memiliki rerata yang lebih tinggi
dibandingkan dengan mahasiswa dengan tipe campers dan quitters, dan mahasiswa tipe
campers memiliki rerata yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa tipe quitters. Hasil
tersebut sesui dengan hasil penelitian Huijuan (2009) yang menyimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara AQ dengan prestasi akademik siswa. Selain
itu, hasil tersebut juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fitri Era
Sugesti (2013) menyimpulkan bahwa siswa AQ kategori climbers (tinggi) mempunyai
pemecahan masalahmatematika lebih baik dibanding siswa dengan AQ kategori campers
(sedang) dan AQ kategori quitters (rendah). Siswa dengan AQ kategori sedang
mempunyai pemecahan masalahmatematika lebih baik dibanding siswa AQ kategori
rendah.
Dari hasil variansi dua jalan diperoleh {F|F > 2,52}, Fab = 3.9693 Nilai Fab terletak di
daerah kritik, oleh karena itu H0AB ditolak yang artinya terdapat interaksi antara
pendekatan pembelajaran dengan AQ mahasiswa sehingga perlu dilakukan uji lanjut
pasca anava dengan menggunakan metode Scheffe’ untuk anava dua jalan. Dari hasil ini
diperoleh bahwa:
a. Pada mahasiswa dengan pembelajaran PMRI, pemecahan masalah mahasiwa tipe
AQ climbers memiliki pemecahan masalah yang sama baiknya dengan mahasiswa
tipe campers dan lebih baik dari mahasiswa tipe quitters.
b. Pada mahasiswa dengan dengan pembelajaran problem based learning (PBL)
pemecahan masalah mahasiswa dengan tipe climbers sama baiknya dengan
mahasiswa tipe campers dan lebih baik dari mahasiswa tipe quitters, selain itu
pemecahan masalah mahasiswa dengan tipe campers lebih baik dibandingkan
dengan mahasiswa tipe quitters.
c. Pada mahasiswa dengan dengan pembelajaran klasikal pemecahan masalah
mahasiswa dengan tipe AQ climbers sama baiknya dengan mahasiswa tipe campers
dan quiters. sedangkan pemecahan masalah mahasiswa dengan tipe campers lebih
baik dibandingkan dengan mahasiswa tipe quitters.
d. Pada siswa tipe climbers dan tipe quitters, penggunaan model PMRI menghasilkan
kemampuan pemecahan masalah mahasiswa yang sama baiknya dengan model
pembelajaran kooperatif PBL dan lebih baik daripada model pembelajaran klasikal.
Dan model pembelajaran kooperatif tipe PBL menghasilkan kemampuan pemecahan
masalah yang sama baiknya dengan model pembelajaran klasikal. Pada siswa tipe
campers, penggunaan pembelajaran PMRI menghasilkan pemecahan masalah yang
sama baiknya dengan model pembelajaran PBL dan lebih baik daripada model
pembelajaran klasikal. Dan penggunaan model pembelajaran dengan PBL
menghasilkan pemecahan masalah lebih baik daripada model pembelajaran klasikal.
Dari hasil tersebut nampak bahwa pada mahasiswa tipe climbers memiliki
pemecahan masalah yang lebih baik dari mahasiswa tipe quitters. Hal ini disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain mahasiswa mampu mengikuti setiap langkah dalam
kegiatan pembelajaran, baik dengan pendekatan realistic matematika atau dengan
probem based learning. hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Cornista And
Macasaet (2013) yang menyimpulkan bahwa responden dengan tingkat AQ tinggi
(climbers) memiliki tingkat motivasi tinggi untuk berprestasi dan juga memiliki
kekuatan interpersonal yang tinggi.
Nana Sudjana. (2009) Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru
Algesindo
Phoolka, S., & Kaur N,. (2012). Adversity Quotient: A New Paradigm in
Management to Explore.TheInternational Journal’s Research Journal of
Social Science & Management, vol. 2, no. 7, hlm. 110-118.